Lembaga Penyelesaian Sengketa Kepailitan

Pemberesan harta perseroan telah selesai dilakukan dan ada sisa sejumlah uang, maka sisa uang tersebut dibagikan kepada semua sekutu menurut perbandingan pemasukan masing- masing. Jika setelah pemberesan terdapat kekurangan kerugian, maka pemberesan kerugian tersebut dilakukan menurut perbandingan pemasukan masing-masing. Kecuali, sekutu komanditer hanya bertanggung jawab sebatas pemasukannya. 56

C. Lembaga Penyelesaian Sengketa Kepailitan

1. Pengadilan Niaga Pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara permohonan perkara pailit adalah pengadilan niaga dalam lingkungan peradilan umum. Hal ini, merupakan pengkhususan pengadilan di bidang perniagaan. UUK ketentuan tentang pengadilan niaga diatur khusus di dalam bab tersendiri yaitu Bab Ketiga mulai pasal 280-289. Ketentuan tersebut berdeda dengan Fv yang tidak mengatur kedudukan pengadilan niaga sebagai pengadilan yang berwenang menyelesaikan perkara kepailitan. UUKPKPU pengaturan tentang pengadilan niaga dimasukkan dalam Bab Kelima tentang Ketentuan Lain-lain Pasal 299-302 selain itu juga menyebar dalam berbagai pasal lainnya dengan penyebutan pengadilan. Pasal 1 angka 7 UUKPKPU 56 I b i d, Hlm.60. menafsirkan bahwa Pangadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum. Hakim Pengadilan Niaga diangkat berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung, dengan syarat-syarat: a. Berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum; b. mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah yang menjadi kewenangan pengadilan niaga; c. berwibawa, jujur, adil dan berkelakukan tidak tercela. d. menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai Hakim Pengadilan Niaga. Selain syarat-syarat diatas, juga dimungkinkan mengangkat seorang ahli sebagai Hakim Ad-Hoc dengan Keppres atas usul Katua Mahkamah Agung. Dan dalam menjalankan tugasnya, mereka dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera dan juru sita. Hierarki putusan pengadilan niaga, ditingkat pertama hanya dapat diajukan Kasasi, sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat 1 bahwa upaya hukum yang dapat terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Kasasi ke Mahkamah Agung, dan terhadap putusan pengadilan niaga yang mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali 57 Pasal 295 UUKPKPU apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan apabila pengadilan niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum. 2. Arbitrase Perkembangan dunia usaha dan lalu lintas perdagangan baik nasional maupun internasional menuntut adanya proses penyelesaian senngketa perdagangan dengan cepat dan efisien, maka arbitrase merupakan jawaban dari keinginan pelaku usaha. Batasan-batasan tentang arbitrase cukup beragam, Subekti mengartikan Arbitrase merupakan penyelesaian suatu perselisihan perkara oleh seorang atau beberapa orang wasit arbiter yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan. 58 Dalam Black’s Law Dictionary, Arbitration is: ”The reference of dispute to an impartial third person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by arbitrator’s award issued after hearing at which both parties have an opportunyty to be heard. An arrengement for taking an abiding by the judgment of selected persons in some diputed matter. instead of carrying it to establisd to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation” . Penyelesaian persengketaan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh pihak yang bersengketa bertikai yang telah menyetujui untuk mematuhi keputusan arbitrator arbiter yang 57 Lihat 285-286 UUK jo Pasal 11 Bab IV “Peninjauan Kembali” Pasal 295 UUKPKPU. 58 Subekti dalam Priyatno Abdur Rasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Senngketa, Makalah Seminar Nasional tentang Arbitrase dan E-Commerce, Jakarta, 2000, Hlm.8 dikeluarkan sebellumnya setelah mendapat kesempatan untuk didenngarkan. Suatu pengaturan untuk mengambil dan mematuhi keputusan orang-orang yang terpilih mengenai hal-hal yang diper-sengketakan. Tidak dengan membawanya ke pengadilan, dan dimaksudkan untuk menghindari formalitas, penundaan, dan biaya litigasi yang lazim. Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar lembaga peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak secara tertulis, oleh para pihak yang bersengketa. Munir Fuady, 59 lembaga arbitrase menganit prinsip-prinsip: 1. Efisien, dalam hubungan waktu dan biaya dalam penyelesaian sengketa bila dibanding peradilan umum; 2. Accessibility, terjangkaunya biaya, waktu dan tempat; 3. Proteksi Hak Para Pihak, untuk pihak yang kurang mampu harus mendapat perlakuan yang wajar; 4. Final dan Binding, keputusan harus bersifat final dan binding kecuali para pihak tidak mennghendaki atau ada alasan- alasan yang berhubungan dengan due process; 5. Fair and Just, tepat dan adil untuk pihak bersengketa, sifat sengketa dan sebagainya; 6. Sesuai dengan Sence of justice dari masyarakat, akan menjamin unsur deterantdari si pelanggarm dan sengleta akan dapat dicegah; 7. Kredibilitas, para arbiter dan ban arbitrase yang bersangkutan haruslah orang-orang yang diakui kredibilitasnya sehingga keputusannya akan lebih dihormati. Syarat-syarat arbitrase, harus ada pengakuan para pihak bahwa jika terjadi sengketa maka diselesaikan melalui jalur arbitrase Pasal 7 Undang-undang Arbitrase, untuk itu prinsipnya 59 Munir Fuady, Alternatif Penyelasaian Sengketa Bisnis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, Hlm.33-60. hanya perjanjian yang memuat klausula arbitrase, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui jalur arbitrase. Sengketa yang dapat diselesaikan melelui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sementara sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian Pasal 5, Undang-undang Arbitrase. Pasal 3 Undang-undang Arbitrase, secara tegas disebutkan pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase. Pasal 11 disebutkan Pengadilan negeri wajib menolaktidak campur tangan dalam penyelesaian suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan undang- undang ini. Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut meniadakan kewenangan peradilan umum untuk menyelesaikan kasus perdata khususnya perjanjian yang memuat klausula arbitrase. a. Hukum Acara Arbitrase. Berdasarkan undang-undang arbitrase, terkait beracara di atur dalam bab IV dan pasal-pasal lain yang tersebar, maka secara ringkas acara arbitrase, sebagai berikut: 1 Pemohon memberitahukan kepada termohon untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui jalur arbitrase dengan surat tercatat, telegram, teleks, faks, e-mail, atau dengan buku ekspedisi; 2 Penunjukkan arbiter oleh maing-masing pihak, dan jika para pihak tidak mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua PN menunjuk arbiter atau majelis arbiter Pasal 13 jo. Pasal 15 UU Arbitrase; 3 Penunjukkan arbiter ketiga oleh arbiter yang ditunjuk oleh para pihak yang sekaligus sebagai ketua majelis arbiter. Dalam hal para arbiter gagal menunjuk arbiter ketiga dalam tenggang waktu 14 hari sejak arbiter yang terakhir ditunjuk, atas permohonan salah satu pihak, Ketua PN dapat mengangkat arbiter ketiga, di mana pengangkatan tersebut tidak dapat diajukan upaya pembatalannya Pasal 15 UU Arbitrase; 4 Penerimaan sebagai arbiter oleh arbiter yang ditunjuk. 60 5 Penyampaian surat tuntutan oleh pemohon kepada arbiter atau majelis arbiter dalam jangka waktu yang ditentukan 60 Yahya Harahao, Beberapa Catatan yang Perlu Mendapat Perhatian atas UU No.30 tahun 1999, dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume 21, Oktober-November 2002, Hlm.20. oleh arbiter atau majelis arbiter Pasal 16 Undang-undang Arbitrase; 6 Ketua majelis menyampaikan jawaban termohon kepada pemohon sekaligus memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka sidang arbitrase, dalam tenggang waktu 14 hari sejak dikeluarkannya perintah tersebut Pasal 40, Undang-Undang Arbitrase; 7 Persidangan dilakukan tertutup dengan menggunkan bahasa Indonesia atau bahasa lain yang dipilij oleh para pihak, dengan acara arbitrase, tempat dan jangka waktu arbitrase yang ditentukan oleh para pihak atau majelis arbitrase. Dalam sidang pertama termohon dapat mengajukan tuntutan balasan yang akan diperiksa dan diputus oleh majelis arbitrase bersamaan dengan pokok sengketa Pasal 27, 28 dan 31, Undang-Undang Arbitrase. 8 Upaya perdamaian oleh majelis arbitrase. Jika perdamaian tercapai, maka majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para ppihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut Pasal 45 Undang-Undang Arbitrase. 9 Jika perdamaian gagal, maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan terhadap pokok perkara; 10 apabila pemeriksaan selesai pemeriksaan ditutup dan ditetapkan hasil sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase. Pusutan bersifat final dan binding, olehnya putusan memuat syarat normatif diantaranya dengan mamuat kepala putusan irah-irah “Demi Keadilan Berdasrkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Pasal 54, 55, 57 dan Pasal 60 Undang-Undang Arbitrase. 11 Koreksi atas kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi suatu tuntutan putusan dalam tenggang waktu 14 hari setelah diterimanya putusan Pasal 58 Undang-undang Arbitrase. 12 Eksekusi pelaksanaan putusan arbitrase. b. Pelaksanaan putusan Arbitrase Pelaksanaan putusan arbitrase terbagi dalam 2 bagian, yaitu putusan arbitrase nasional dan putusan internasional. Namun, baik putusan nasional maupun internasional berlaku ketentuan Universal yang bersifat final dan mengikat. Putusan-putusan tersebut tidak dapat di banding atau kasasi, seperti diatur dalam Pasal 60 Undang-undang Arbitrase. c. Arbiter Seorang Arbiter harus berkompeten di bidang nyam jujur dan memiliki integritas bukan saja pribadinya akan tetapi juga kemampuan dan keahlian tentang inti sengketa yang dihadapi. Arbiter memiliki hak dan kewajiban arbritator, yang mana menurut Priyatna Abdurrasid 61 meliputi: 1 Independen; 2 harus menyampaikan kepada para pihak dan tentunya kepada institusi di mana ia terdaftar agar setiap fakta dan keadaan yang mungkin akan menimbulkan keragu-raguan atas independensi; 3 terikat untuk menerapkan tata cara secara pantas equitable. 4 menyelesaikan dan memberi putusan dalam waktu sesingkat-singkatnya; 5 memelihara konfidealitas para pihak juga setelah dikeluarkannya putusan. 6 selama pemeriksaan ia berhak memperoleh kerjasama yang jujur dan terbuka dari para pihak; 7 Arbiter tidak bida dituttut karena isi putusannya kecuali terbukti memihak atau tidak independen. Syarat untuk menjadi arbiter, yaitu: 61 Priyatna Abdurrasid, Op Cit, Hlm.16-17. 1 cakap melakukan tindakan hukum; 2 berumur minimal 35 tahun; 3 tidak mempunyai hubungan keluarga dengan salah satu pihak yang bersengketa; 4 tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; 5 aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun; dan 6 Hakim, Jaksa, Panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak boleh menjadi Arbiter. d. Kewenangan sengketa arbitrase. Yuridiksi kewenangan arbitrase diatur dalam Pasal 2, 3, dan Pasal 11 Undang-Undang Arbitrase. Sengketa bisnis yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah jika telah diperjanjikan terlebih dahulu secara tegas bahwa sengketa yang akan mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan melalui arbitrase. e. Putusan mengikat Arbitrase Putusan arbitrase bersifat final, dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak final dan binding. 62 Jadi, putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. 62 Pasal 60, Undang-Undang Arbitrase.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN