Hegemoni dan Kekuasaan dalam Film

macam distorsi imajiner yang dapat kita amati pada semua ideologi. Ke-dua bahwa ideologi bukan hanya sebagai kumpulan gagasan ilusif, tapi menuntut adanya tindakan riilnyata, sebuah praktik materiil yang dilakukan sebuah lembaga atau kelompok yang menjalani relasi imajiner Althusser, 1971: 39. Ke- tiga bahwa ideologi meminta memanggilinterpelasi individu untuk menjadi subyek Althusser, 1971: 44. Dapat dicontohkan seperti apa yang para sosiolog sebut sebagai sosialisasi proses dimana secara bertahap, individu mempelajari norma-norma budaya. Kerangka penjelasan tentang ideologi oleh Althusser tersebut, dalam penelitian ini berguna untuk melihat representasi ideologi, bagaimana Pemerintah di era Orde Baru dan Reformasi menggunakan, meletakkan dan memandang film sehingga tercermin dalam kebijakan tindakan riil subyek yang ditetapkannya. Selain itu juga apa yang melatar-belakangi kebijakan yang muncul di kedua era tersebut.

2. Hegemoni dan Kekuasaan dalam Film

Tidak ada satu kelas sekalipun yang mampu menggenggam kekuasaan negara dalam jangka periode yang panjang jika dalam kesempatan tersebut tidak menggunakan cara-cara hegemoni represif dan dalam ISA Althusser, 1970 : 20. Perbedaan ISA dan RSA antara lain: jelas bahwa ketika ada satu aparatus negara represif, ada pluralitas aparatus negara yang ideologis, yang kedua mengingat aparatus negara represif –yang bersatu- sepenuhnya berada pada wewenang publik, sebaliknya peran aparatus negara ideologis dalam penyebaran nyata yang lebih luas, kebanyakan merupakan wewenang privat. Dalam hal ini lembaga-lambaga perfilman bentukan Pemerintah dan organisasi perfilman lain 16 yang meskipun mandiri namun berada dalam pembinaan Pemerintah adalah privat. Secara mendasar kita bisa membedakan bahwa aparatus negara represifRSA berfungsi melalui kekerasan, sementara aparatus negara ideologis ISA berfungi melalui ideologi. Setiap aparatus negara baik yang represif maupun yang ideologis berfungsi melalui kekerasan maupun ideologi. Kenyataannya, aparatus negara represif berfungsi secara masif dan berkuasa melalalui represi termasuk represi fisik, sementara secara sekunder berfungsi melalui ideologi. Tak ada aparatus yang sepenuhnya represif. Dengan cara yang sama namun secara berkebalikan, aparatus negara ideologis berfungsi secara masif dan berkuasa lewat ideologi, tapi berfungsi secara sekunder melalui represi pula, bahkan dalam tingkatan tertinggi –tapi hanya pada akhirnya- fungsi ini menjelma sangat halus dan tersembunyi, bahkan simbolik. Tidak ada aparatus negara yang yang sepenuhya ideologis. Hal ini misalnya bisa kita lihat pada Lembaga sensor film yang menerapkan metode hukuman sanksi pemotongan film, sensor, atau tidak diberi ijin tayang pada film yang dianggap tidak sesuai dengan nafas Orde Baru. Ada fakta bahwa kelas penguasa pada dasarnya memegang kekuasaan negara secara terbuka atau lebih sering dengan memanfaatkan pelbagai aliansi atau fraksi diantara kelas, dan karenanya memiliki aparatus negara represi yang siap melayaninya. Aparatus negara ideologis yang berbeda-beda dan relatif otonom dan mampu menghasilkan wilayah obyektif mungkin bukan hanya pancang tapi juga situs perjuangan kelas, dan seringkali dari pelbagai bentuk perjuangan kelas yang lebih pahit. Kelas atau aliansi kelas dalam kekuasaan tidak dapat meletakkan 17 hukum di dalam ISA semudah di dalam RSA, bukan hanya karena kelas-kelas penguasa sebelumnya mampu memelihara pelbagai posisi yang kuat untuk jangka waktu yang lama, tapi juga karena perlawanan dari kelas yang tereksploitasi mampu menemukan alat dan kesempatan untuk mengekspresikan dirinya sendiri di sana, baik lewat pemanfaatan pelbagai kontradiksi mereka, ataupun dengan menaklukkan posisi militer. Bisa kita ambil contoh pergerakan orang-orang film yang menamakan dirinya MFI Masyarakat Film Indonesia dalam menolak Undang-undang No. 8 tahun 1992 dan ingin mengganti LSF dengan LKF Althusser, 1971: 21-22. Film sendiri sebenarnya bisa kita lihat sebagai ISA bagi Pemerintah Orde Baru dimana bekerja secara ideologis yang oleh karenanya dijadikan piranti “penyuntikkan” ideologi oleh Pemerintah melalui Departemen Penerangan. Meski belum sepenuhnya memanfaatkan film sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaan namun dalam beberapa sikap dan tindakannya setidaknya pernah menggunakan film sebagai media propaganda. Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana anak-anak usia sekolah dasar di seluruh penjuru negeri di setiap peringatan Hari Kesaktian Pancasila diberi tugas untuk menonton film “propaganda Orde Baru” yang berjudul “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI”. Pernah juga ditayangkan di TVRI film berjudul Tjoet Nja’ Dhien garapan sutradara Eros Djarot tahun 1988 yang menceritakan tentang pejuang wanita asal Aceh, Tjoet Nya’ Dhien dan bagaimana dia dikhianati salah satu jendralnya, Panglima Laot. Syutingnya memakan waktu sekitar 2,5 tahun dengan menghabiskan biaya sekitar 1,5 milyar rupiah. Film ini memenangkan piala Citra sebagai film terbaik. Dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nya’ Dhien, Piet 18 Burnama sebagai panglima Laot, Rudy Wowor sebagai Snouck Hurgronje dan Slamet Raharjo sebagai Teuku Umar. Tjoet Nya’ Dhien jadi film terlaris di Jakarta pada 1988 dengan 214.458 penonton data dari perfin. Film ini juga merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes pada tahun 1989. Film ini mendapat piala Citra FFI 1988 untuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Pameran Utama Terbaik, Cerita Terbaik, Musik Terbaik, Fotografi Terbaik, dan Artistik. Namun nyatanya penayangannya tidak serutin film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” yang rupanya diamplifikasi sebagai tonggak berdirinya Orde Baru. Kebijakan penayangan kedua contoh film tersebut bisa dilihat ideologis. Gambar 3. Poster film Tjoet Nja’ Dhien 1988 Demikian halnya yang terjadi pada tubuh perfilman negeri itu sendiri. Pemerintah secara langsung maupun tidak langsung “menyuntikkan” ideologi- nya dengan cara represif LSF misalnya; diperangkati oleh berbagai kewenangan yang represif sekaligus anggota TNI di dalamnya maupun di belakangnya dan secara ideologis sebut saja pada beberapa organisasi perfilman negeri bentukan 19 Pemerintah yang “dibina dan diawasi” ketat arah geraknya oleh Pemerintah: BP2N, DFN, dll.Selain itu kita bisa lihat kebijakan perfilman yang diimplementasikan dalam berbagai prosedur mengikat dan aturan sebelum memproduksi film bahkan setelah diproduksi sebelum film didistribusikan yang biasa disebut dengan sensor film, dirasa sebagai hal yang memberatkan di era Orde Baru. Bagaimana halnya dengan era paska Orde Baru yang disebut era Reformasi, apakah semua aturan dan kekangan bahkan kungkungan tersebut serta-merta sirna dan hanyut begitu saja seiring dengan tumbangnya Orde Baru? Mungkin demikianlah harapan orang-orang film yang memanfaatkan momentum pergantian rezim pemerintahan Orde Baru berganti Reformasi. Hasilnya UU No 8 tahun 1992 dicabut dan diganti dengan UU No 33 tahun 2009. Persoalan ternyata kembali muncul dalam polemik pembahasan UU perfilman terbaru tersebut. Nyatanya ideologi Pemerintah Orde Baru tidak serta-merta luntur seiring rezim- nya berganti.Pengaruh yang ditancapkan oleh Pemerintahpenguasa oleh Antonio Gramsci seorang filsuf Italy disebut sebagai hegemoni. Hegemoni dalam pengertian Gramsci adalah ‘a social condition in which all aspect of social reality are dominated by or supportive of a single class’ dalam hal ini ‘single class’ dapat diartikan sebagai pemerintah yang berkuasa Nuryatno, 2008 : 33-34. Hegemoni tidak serta-merta diciptakan melainkan melalui sebuah proses. Proses hegemoni melibatkan penetrasi dan sosialisasi nilai, keyakinan, sikap, dan moralitas di masyarakat yang dimediasi oleh praktik-praktik sosial politik dan ideologi. Kemudian prinsip tersebut diinternalisasi oleh masyarakat sebagai ‘common sense’ yang pada akhirnya menguatkan “status quo”. Hal ini terjadi lantaran masyarakat menganggap bahwa tindakan kelas yang berkuasa sebagai 20 sesuatu yang natural dan normal serta sesuai dengan kepentingan mereka. Ini yang harus kita lihat dari perspektif kritis. Agen-agen yang terlibat dalam hubungan edukatif adalah institusi- institusi yang turut membentuk masyarakat sipil, atau institusi-institusi sosial ideologis yang ikut mengkonstruksi basis kultural kekuasaan, seperti hukum, regulasikebijakan perundang-undangan, pendidikan, agama, media massa film, dan sebagainya. Menurut Gramsci hegemoni tidaklah eksklusif milik kelas penguasadominan, namun kelas pekerja dalam hal ini orang-orang film yang berada di balik layar dan menjalan sistem regulasi yang ditetapkan Pemerintah bisa membangun hegemoninya sendiri dengan cara membuat aliansi dengan kelompok minoritasberkepentingan dan kekuatan sosial yang lain dalam konteks ini bisa dicontohkan MFI – Masyarakat Film Indonesia, yang melakukan gerakan untuk berbalik menekan Pemerintah untuk mengganti sistem regulasi perfilman yang dianggap sudah usang dan tidak mengakomodir semangat jaman. Hegemoni bukanlah konsep statis, tetapi dinamis, fleksibel dan terbuka untuk dinegosiasi ulang ‘process of continuous creation’ Nuryatno, 2008 : 33-34. Potensi yang ada di dalam film ini tak ayal bisa menjadi ajang pertarungan ideologi, tak terkecuali penguasa dengan menggunakan media, mereproduksi interpretasi yang sesuai dengan kepentingan mereka rulling class Woollacott 1982: 109 dalam Daniel Chandler http:www.aber.ac.ukmediaDocumentsmarxismmarxism11.html. Film sebagai salah satu media massa memainkan peran sentralnya memelihara sekaligus mereproduksi interpretasi yang memihak kepentingan kelas penguasa dalam konteks ini Pemerintah untuk memasukkan ideologi dominan mereka. 21 Jika demikian yang terjadi maka hegemoni dalam media tak terelakkan. Hegemoni pada pelaksanaannya tak hanya merepresentasi praktik-praktik ekonomi politik namun lebih jauh lagi mencoba menaturalisasikan cara pandang bahkan sampai mengakar jauh pada pola berfikir sehingga mewujudkan apa yang telah disebutkandi atas: “common sense”. Kelompok yang less-dominant dibuat seolah-olah menyetujuimembenarkan begitu saja atas apa yang menjadi ideologi kelompok penguasa, menaati dan menerima saja kebijakan yang digulirkan oleh Pemerintah, meski secara sadar dapat dirasakan mengekang. Hegemoni tidak lahir dan tiba-tiba didapat begitu saja. Hegemoni secara konstan harus disesuaikandikontekstualkan dan direnegosiasikan dinegosiasikan kembali. Pada fase tertentu ketika kelompok less-dominant telah mendapatkan kontrol, fungsi kepemimpinan hegemonik tidak serta-merta hilang tetapi berangsur merubah karakternya. Gramsci menyebutkan dua mode berbeda untuk mendapatkan kontrol sosial, yaitu pertama dengan kontrol koersif tekanan yang termanifestasi melalui kekuatan langsung atau ancaman dibutuhkan oleh sebuah kepemimpinan ketika kepemimpinan hegemonik rendah atau lemah. Yang kedua yaitu kontrol konsesual yang muncul ketika individu secara sukarela berasimilasi dengan pandangan dari kelompok yang mendominasi kepemimpinan hegemonik, dengan kata lain, Common sense itu harus secara kontinyu dijaga Woollacott 1982: 109 dalam Daniel Chandler http:www.aber.ac.ukmediaDocumentsmarxismmarxism11.html. Demikianlah praktik penguasa kelompok dominan mempertahankan hegemoninya. Karena ideologi dihubungkan dengan gagasan tentang perjuangan, maka sudah barang tentu ada semacam keyakinan adanya relasi antara pengetahuan dan 22 kekuasaan sebagaimana diungkapkan oleh Foucault Nuryatno, 2008 : 28. Kekuasaan dalam pandangan Foucault bukanlah kepemilikan namun sebuah strategi. Oleh karena itu Foucault tidak memisahkan antara pengetahuan dan kekuasaan. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan Haryatmoko, 2002. Foucault mengajak kita memerhatikan fakta bahwa pelaksanaan kekuasaan itu sendiri menciptakan dan melahirkan obyek pengetahuan yang baru. Sebaliknya, pengetahuan menciptakan pengaruh- pengaruh kekuasaan. Tanpa pengetahuan kekuasaan tidak mungkin dijalankan, pengetahuan tidak mungkin tidak melahirkan kekuasaan. Sarup, 2008: 112. Foucault meyakini ilmu pengetahuan-kekuasaan selalu bersaing; selalu ada perlawanan yang terus menerus. Tesis Foucault yang terkenal yaitu pengetahuan dan kekuasaan saling menjalin, sehingga klaim bahwa pengetahuan akan membebaskan dari kekuasaan menjadi tawar. Melalui pengetahuan, kekuasaan mempraktikkan cara pemaksaan diri kepada orang tanpa berargumen dalam kerangka obyektif atau memaksakan ukuran normal yang dibakukan sebagai ilmiah atau yang berlaku. Hebatnya, orang biasanya tidak menyadari di balik itu sebenarnya ada praktik kesewenang- wenangan bahwa budaya yang berlaku dan diterima adalah yang dominan atau budaya sang pemenang. Di dalam pandangan Foucault mengenai kekuasaan, yang penting bukan siapa yang memiliki kekuasaan, tetapi efek, mekanisme, dan teknologinya. Efek yang dimaksud disini adalah kekuasaan itu biasanya dinikmati atau diderita. Sedangkan mekanisme kekuasaan bisa berupa penyeragaman, misalnya saja pada perilaku yang diharapkan serta menetapkan mana yang normal dan yang tidak normal. 23 Kekuasaan akan melahirkan anti kekuasaan Haryatmoko, 2002. Dimana terdapat kekuasaan disitulah muncul anti kekuasaan. Kekuasaan tidaklah dipandang sesuatu yang negatif sehingga harus ditolak, kekuasaan merupakan sebuah hal yang dapat menghasilkan produktif Storey, 2001 : 78. Hal ini akan digunakan untuk mengkaji lebih mendalam mengenai bentuk perlawananpemberontakan kekuasaan pada perfilman Indonesia di kedua era. Bagaimana orang-orang film yang kemudian tergabung dalam gerakan MFI mengajukan desakan mereka terhadap perombakan kebijakan perfilman. Dalam hal ini yang menjadi fokus persoalan adalah bagaimana kebijakan undang- undang dan peraturan pemerintah lainnya tersebut ditetapkan dan dikelola pemerintah. Memandang kekuasaan dari pemikiran Foucault dicirikan oleh 5 hal; bahwa kekuasaan itu tersebar tidak dapat dilokalisasi, merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatan-kegiatan, tidak represif tetapi produktif, serta melekat pada kehendak untuk mengetahui. Memang dari kelima ciri tersebut tidak dapat langsung memberikan gambaran bagaimana itu kekuasaan, dalam hal ini Foucault justru lebih tertarik untuk melihat bagaimana kekuasaan itu dipraktikkan, diterima, dan dilihat sebagai kebenaran dan juga kekuasaan yang berfungsi dalam bidang-bidang tertentu Ritzer, 1997 : 66. Foucault melihat bahwa setiap periode dalam sejarah diatur oleh apa yang disebut Foucault dengan episteme struktur pemaknaan suatu zaman atau total set relasi-relasi yang menyatukan pada suatu periode tertentu. Lebih mudahnya dapat dikatakan bahwa tiap masyarakat di tiap periode memiliki rezim kebenaran, yaitu tipe-tipe diskursus yang diterima dan difungsikan sebagai kebenaran. 24 Misalnya bisa kita lihat pada bagaimana pola pikir masyarakat perfilman di era Orde Baru yang menurut dan tidak berani mendobrak Pemerintah, namun setelah rezimnya tumbang kini yang menjadi “tren” adalah pemikiran yang selalu kontra dengan pemerintah, melihat Pemerintah harus selalu dikritisi. Foucault tertarik untuk menemukan kondisi-kondisi dasar yang menyebabkan sebuah diskursus tercipta. Kesatuan pernyataan semacam itu, cara ketika ia membentuk suatu sains atau disiplin, bukan berasal dari subyek manusia atau pengarang, tetapi berasal dari aturan-aturan diskursif dasar dan praktik- praktik yang masih ada pada situasi dan kondisi saat itu. Lebih jauh lagi tujuan Arkeologi yaitu untuk mengkomparasikan kontradiksi-kontradiksi. Arkeologi berkehendak mengetahui dan menyelidiki perubahan-perubahan, putusan- putusan, diskontinuitas, dan redistribusi tiba-tiba yang menyifatkan sejarah diskursus. Foucault mengartikulasikan empat prinsip yang membedakan arkeologi ilmu pengetahuan dengan sejarah Ritzer, 2009: 71-72: 1. Arkeologi lebih membahas tentang diskursus-diskursus sebagai praktik- praktik yang menuruti aturan-aturan yang pasti. 2. Arkeologi mendefinisikan diskursus dalam kekhasannya. Arkeologi tidak berusaha menemukan kembali kecenderungan linear dan gradual yang mengkarakteristikkan diskursus dan hubungan dengan diskursus lain yang mendahului, mengelilingi, dan yang menggantikannya. 3. Arkeologi tidak membahas tentang kajian individu, atau oeuvres melainkan lebih menitikberatkan pada tipe aturan-aturan yang mengaturnya secara keseluruhan atau sebagian. 25 Arkeologi tidak menyelidiki kelahiran diskursus, tetapi lebih pada deskripsi sistematik sebuah obyek diskursus. Foucault memfokuskan tentang asal-usul dalam kondisi sejarah yang konkret dan terutama keterputusan perkembangan rezim-rezim kekuasaan Ilmu pengetahuan. Poin sentralnya adalah bahwa diskursus itu berbahaya, dan kekuasaan berusaha menggunakan kontrol atas bentuk-bentuk diskursus yang dianggap potensial melemahkannya. Foucault mengidentifikasi empat domain dimana diskursus terutama sekali dianggap membahayakan: politik kekuasaan, seksualitas atau hasrat, kegilaan, dan secara umum apa yang dianggap benar atau palsu. Dalam hal ini kehendak untuk kebenaran diasosiasikan dengan kehendak untuk berkuasa; ranah pengetahuan yang satu berusaha mencapai hegemoni atas ranah-ranah yang lain. Ada kecenderungan kemudian bahwa sejarah mengarahkan antara kehendak untuk kebenaran dan kehendak untuk berkuasa sebagai sentral persoalan dan menentang diskursus yang terdapat dalam masyarakat. Foucault, 1969, 1971 1976: 219 dalam Ritzer, 2009: 79 Momentum pergantian rezim itu memunculkan dan dimunculkan dari diskursus yang lain dari diskursus yang berkembang di era Orde Baru. Yang terjadi kemudian rebel menjadi tren dan pemikiran-pemikiran yang dulu sempat terkungkung kini mendobrak yang menemukan celahnya. Jadi genealogi adalah analisis hubungan historis antara kekuasaan dan diskursus. Bagaimana rangkaian diskursus dibentuk, meskipun melalui atau dengan tujuan pembatasan sistem ini: apa yang menjadi norma tertentu masing-masing, dan bagaimana sebuah kondisi muncul dan tumbuh variasinya. Di sisi lain Foucault menyelidiki ilmu pengetahuan yang membentuk kekuasaan melalui pembentukan manusia sebagai 26 subyek dan ilmu pengetahuan yang dipergunakan untuk mengatur subyek. Foucault, 1969, 1971 1976: 232 dalam Ritzer, 2009: 80.

3. Kebijakan Retrospektif Perfilman Indonesia