Kualitas Kayu Samama (Anthocephalus macrophyllus) dan Peningkatan Kemanfaatannya melalui Teknik Laminasi

KUALITAS KAYU SAMAMA (Anthocephalus macrophyllus)
DAN PENINGKATAN KEMANFAATANNYA
MELALUI TEKNIK LAMINASI

TEKAT DWI CAHYONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kualitas Kayu Samama
(Antocephalus macrophyllus) dan Peningkatan Kemanfaatannya Melalui Teknik
Laminasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, 24 Juni 2015

Tekat Dwi Cahyono
NIM E261120011

RINGKASAN
TEKAT DWI CAHYONO. Kualitas Kayu Samama (Anthocephalus macrophyllus)
dan Peningkatan Kemanfaatannya melalui Teknik Laminasi. Dibimbing oleh
IMAM WAHYUDI, TRISNA PRIADI dan FAUZI FEBRIANTO.
Indonesia memiliki beberapa jenis tanaman penghasil kayu cepat tumbuh
yang potensial. Salah satu di antaranya adalah samama (Anthocephalus
macrophyllus (Roxb.) Havil.) yang merupakan tumbuhan endemik Sulawesi dan
Maluku. Bentuk batangnya yang slindris dan daerah bebas cabang yang tinggi
menjadikannya sebagai salah satu “promoting species” sehingga beberapa tahun
terakhir ditanam intensif di beberapa wilayah Indonesia. Selain itu samama
memiliki riap diameter 5.05 cm th-1 dan volumenya pada umur 10 tahun mencapai
1.8 m3 (Bahidin dan Marsoem 2012).
Kayu samama telah digunakan oleh masyarakat sebagai bahan baku furnitur,
pertukangan dan bahan bangunan. Namun dengan nilai BJ sebesar 0.41 dan MOE

sebesar 48750 kg cm-2, penggunaannya akan terbatas dan setara dengan kayu-kayu
kelas kuat IV. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan nilai
gunanya maka penggunaan kayu samama dalam bentuk produk laminasi akan lebih
menjanjikan apalagi bila dikaitkan dengan kebutuhan akan kayu dan produk kayu
saat ini.
Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan kemanfaatan
kayu samama. Diawali dengan penentuan transisi daerah juvenil dan dewasa kayu
samama umur 8 tahun dan 10 tahun. Metode pengepasan dengan kurva
eksponensial termodifikasi terhadap parameter panjang serat, tebal dinding serat
dan sudut mikrofibril digunakan untuk menentukan daerah transisi tersebut. Tahap
kedua adalah analisis kualitas finir kayu samama pada segmen selebar 1 cm dari
empulur ke kulit pada saat proses pengupasannya. Parameter yang diukur adalah
retak kupas, ketebalan finir dan penyusutan pada tiap segmen. Selanjutnya
dilakukan analisis regresi (best subset regression) terhadap parameter kualitas kayu
dan kualitas finir untuk mendapatkan faktor dominan yang berpengaruh terhadap
jumlah retak kupas finir samama. Tahap ketiga adalah analisis keterbasahan
dinamis pada berbagai permukaan kayu samama. Metode yang digunakan adalah
membuat tetesan air destilata, perekat UF dan PF dengan ukuran tertentu pada
berbagai permukaan kayu dan finir samama. Tahap selanjutnya adalah pembuatan
4 tipe panel laminasi kayu samama untuk menganalisis glueability kayu samama

terhadap perekat isosianat sekaligus analisis modulus gesernya. Tahap kelima
adalah analisis kualitas kayu lapis dari bagian juvenil dan dewasa finir samama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 6-8 cm dari emplur masih juvenil,
sedangkan selebihnya telah dewasa. Persentase bagian juvenil kayu samama umur
8 tahun adalah 33.3-38.9% sedangkan pada umur 10 tahun adalah 30.4-34.8%.
Selanjutnya kayu samama umur 8 tahun dapat dibuat finir 1.5 mm dan 3.0 mm
dengan variasi ketebalan yang cukup baik. Tanpa proses pendahuluan, jumlah retak
kayu samama lebih baik dibandingkan dengan kayu cepat tumbuh lainnya.
Disamping itu perlakuan perebusan 50 C selama 4 jam terbukti mampu
menurunkan jumlah retak kupas sebesar 10.91% dan 9.93% untuk finir 1.5 mm dan
3.0 mm. Berikutnya ditemukan bahwa setelah kering udara, maka jumlah retak finir

meningkat sebesar 19.42-24.94% dibandingkan dengan pengukuran pada saat finir
masih basah.
Proses pengupasan finir akan merubah kayu yang sebelumnya berbentuk
bulat menjadi lembaran. Pada penelitian ini dirumuskan perbandingan antara tebal
finir dengan jari-jari dan selisih keliling finir yang selanjutnya disebut faktor
geometri. Faktor gometri dapat menjelaskan dua hal, pertama, finir yang lebih tebal
akan lebih kaku dibandingkan dengan finir yang tipis. Kedua, jumlah retak kupas
dari satu putaran log memiliki jumlah yang sama, tetapi karena diameternya

berkurang, maka jumlah retak kupas per panjang finir akan meningkat ke arah
empulur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Faktor geometri merupakan faktor
dominan yang bisa digunakan untuk menjelaskan peningkatan jumlah retak kupas
ke arah empulur dibandingkan faktor kualitas kayu lainnya (berat jenis, kadar air,
panjang serat, tebal dinding serat dan sudut mikrofibril). Hal ini terjadi jika finir
dikupas dengan metode yang sama.
Hasil penelitian tahap ketiga menunjukkan bahwa permukaan kayu samama
yang paling cepat mengalami proses pembasahan adalah permukaan tangensial,
kemudian radial dan RT (membentuk sudut ±45 dari permukaan radial atau
tangensial). Bagian juvenil memiliki tingkat keterbasahan yang lebih baik
dibandingkan dewasa. Hal ini berlaku pada finir maupun kayu gergajian. Finir
samama memiliki tingkat keterbasahan setara dengan permukaan TR kayu
gergajian dengan bagian loose finir lebih cepat terbasahi dibandingkan bagian tight.
Hasil ini penting dan diharapkan menjadi perhatian selama proses perekatan kayu
samama menjadi produk laminasi.
Pemilahan dan penyusunan tipe lamina pada penelitian tahap keempat
terbukti meningkatkan nilai MOE dan MOR panel laminasi masing-masing sebesar
27-36% dan 26-30%. Nilai modulus geser kayu samama adalah 592±183 MPa dan
berkontribusi meningkatkan nilai Etrue sebesar 2.09-8.03%. BJ produk laminasi juga
mengalami peningkatan karena adanya perekat yang mengisi rongga di antara

permukaan lamina. Nilai delaminasi yang masuk dalam standar JAS 2007
membuktikan bahwa perekat isosianat berikatan sangat baik dengan kayu samama.
Hal yang menjadi perhatian adalah keteguhan geser panel laminasi lebih rendah jika
dibandingkan dengan kayu solidnya.
Produk laminasi yang dibuat pada penelitian tahap kelima adalah kayu lapis
menggunakan perekat urea formaldehida. Keteguhan rekat (KGT) kayu lapis
bagian juvenil lebih kecil dibandingkan bagian dewasanya. Jika dibuat persentase,
maka peningkatan jumlah retak kupas dalam kisaran 16-20% akan menurunkan
KGT 6.3-11.9%. Namun demikian, seluruh nilai KGT masuk dalam SNI 015008.2-1999 untuk kayu lapis. Kadar air kayu lapis juga masuk SNI sedangkan BJ
kayu lapis meningkat antara 11-23% dibandingkan kayu solidnya.
Kata kunci: Anthocephalus macrophyllus, kualitas kayu dan finir, laminasi, faktor
geometri, samama

SUMMARY
TEKAT DWI CAHYONO. The quality of samama wood (Anthocephalus
macrophyllus) and its utilization enhancement with lamination technique.
Supervised by IMAM WAHYUDI, TRISNA PRIADI and FAUZI FEBRIANTO.
Indonesia has abundant potency of fast growing tree species. Among those is
samama (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil.), an endemic wood in
Celebes and Moluccas. Its cylindrical stem with high clear bole has made it as one

of “promoting species” which has been intensively planted lately at some areas in
Indonesia. Samama has diameter increment of 5.05 cm yr-1 and at 10 years old its
volume could reach 1.8 m3 (Bahidin and Marsoem 2012).
Wood of samama has been used by local people for furniture, carpentry, and
building material. However, its 0.41 specific gravity and 48750 kg cm-2 MOE is
equal to woods in strength class IV thus would limit its utilization. Lamination
technique can be used to improve the value and extend the utilization of samama
wood, considering the highest demand of wood and wood product.
Simultaneous studies have been conducted to improve the utilization of
samama wood. It started with determination of juvenile and mature woods
transition of 8 and 10 years old samama wood. Fiber length, fiber wall thickness,
and microfibril angle were fitted on a modified-exponential curve to determine the
transition of juvenile to mature part. Secondly, analysis on samama veneers quality
by making 1 cm segmentations from pith toward bark. Lathe check, veneer
thickness, and shrinkage on each segment were measured prior to regression
analysis (best subset regression) on the parameters of wood and veneer quality to
determine the dominant factor that affect the number of lathe checks on samama
veneer. The third stage was analysis of dynamic wettability of various surfaces of
samama wood. Drops of distilated water, UF and PF adhesives were applied at
particular size on various surfaces of samama wood and veneer. The next stage was

the assembly of 4 types of lamination panel of samama wood to analyze glue-ability
of samama wood against isocyanate adhesive as well as analysis of shear modulus.
The final stage was analysis of plywood quality made from juvenile and mature
wood of samama.
The results showed that the first 6-8 segments from the pith were still
juvenile, while the subsequent segments were mature wood. Juvenile portion
covered 33.3-38.9% of the 8 years old samama wood, while it was 30.4-34.8% of
the 10 years old. Moreover, the 8 years old samama wood can be peeled into 1.5
and 3.0 mm veneer with fair thickness variation. Without pretreatment, number of
lathe checks of samama veneer was better than those of other fast growing woods.
Treatment of boiling at 50 C for 4 hours noticeably decreased the number of lathe
checks by 10.91% and 9.93% for 1.5 mm and 3.0 mm veneers, respectively. I also
found that number of veneer checks increased by 19.42-24.94% at air dried
condition than those at fresh condition.
Peeling transforms round wood into sheets of veneer. This research
formulated the comparison between veneer thickness with radius and the difference
of veneer circumferences, which from this point will be referred as geometry factor.
The value of geometry factor elaborates two points: 1) thicker veneer will be stiffer
than thinner one, 2) numbers of lathe checks from a round of log are the same, but


due to the decrease diameter then numbers of lathe checks per unit length of veneer
appear to increase toward pith. The results revealed that geometry factors rather
than other wood quality factors (specific gravity, moisture content, fiber length,
fiber wall thickness, and microfibril angel) were found to be the dominant factor
causing the increasing of lathe checks toward pith.
The results of the third stage revealed that tangential surface was the most
susceptible to wetting process, followed by radial and RT (it form ±45 angle with
radial and tangential surfaces). Both wood and veneer showed a consistent result
that juvenile had better wettability than mature portion. Furthermore, samama
veneer had an equal wettability with TR surface of lumber in which the loose part
of the veneer got wet faster than the tight part. These facts are essential to notice
during gluing process of samama wood into laminated product.
Sortation and arrangement of lamina types at the fourth stage prominently
enhanced MOE and MOR panel lamina, by 27-36% and 26-30%, respectively.
Shear modulus of samama wood was 592±183 MPa and contributed to improve
Etrue by 2.09-8.03%. Specific gravity of the laminated product was increased,
perhaps due to the adhesive filled in between spaces of the lamina surfaces. The
delaminated value that met JAS 2007 implied the suitability of isocyanate adhesive
to bond samama wood. However, the laminated panels showed lower shear
modulus than its solid wood thus further improvement is necessary.

In the fifth stage, plywood with UF adhesive was assembled and studied. As
expected, bonding strength (KGT) of juvenile portion was lower than that of
plywood from mature wood. The 16-20% increased-number of lathe checks would
reduce KGT by 6.3-11.9%. It noteworthy, that all of KGTs and moisture contents
were met SNI 01-5008.2-1999 for plywood. Moreover, specific gravity of the
plywood was 11-23% higher than its solid wood..
Keywords: Anthocephalus macrophyllus, geometry factor, lamination, quality of
wood and veneer, samama

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KUALITAS KAYU SAMAMA (Anthocephalus macrophyllus)
DAN PENINGKATAN KEMANFAATANNYA

MELALUI TEKNIK LAMINASI

TEKAT DWI CAHYONO

Disertasi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji pada Ujian Tertutup:

Prof Dr Ir I Wayan Darmawan, MSc
Prof Bambang Suryoatmono, PhD

Penguji pada Ujian Terbuka:

Prof Dr Ir I Wayan Darmawan, MSc
(Dosen Departemen Hasil Hutan IPB)

Ihak Sumardi, PhD
(Dosen STIH ITB Bandung)

Judul disertasi : Kualitas Kayu Samama (Anthocephalus macrophyllus) dan
Peningkatan Kemanfaatannya melalui Teknik Laminasi
Nama
: Tekat Dwi Cahyono
NIM
: E261120011
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Imam Wahyudi, MS
Ketua

Dr Ir Trisna Priadi, Meng Sc
Anggota

Prof Dr Ir Fauzi Febrianto, MS
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi/Mayor
Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Nyoman J Wistara, PhD

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian: 17 Juni 2015

Tanggal Lulus: 25 Juni 2015

PRAKATA
Kayu yang tersedia di masa depan akan didominasi oleh jenis-jenis kayu
cepat tumbuh yang sifatnya lebih inferior sehingga dibutuhkan aplikasi teknologi
tepat guna untuk meningkatkan kualitasnya. Teknologi laminasi merupakan salah
satu upaya yang berkontribusi nyata dalam peningkatan efisiensi pemanfaatan kayu
karena dibuat dengan menggunakan kayu-kayu yang berkualitas rendah.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang
dipilih pada penelitian ini adalah peningkatan mutu kayu yang berjudul “Kualitas
Kayu Samama (Anthocephalus macrophyllus) dan Peningkatan Kemanfaatannya
melalui Teknik Laminasi”.
Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada:
1. Prof Dr Ir Imam Wahyudi MS, Dr Ir Trisna Priadi MEngSc dan Prof Dr Fauzi
Febrianto MS sebagai komisi pembimbing yang telah meluangkan waktunya
dalam memberikan bimbingan dan arahan;
2. Rektor IPB, Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan dan Wakil Dekan
Fakultas Kehutanan IPB, Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Teknologi Hasil
Hutan beserta staf yang telah memberikan pelayanan prima kepada mahasiswa;
3. Prof Dr Ir Dodi Nandika, MS dan Prof Dr Ir Sucahyo Sadiyo, MS selaku penguji
kualifikasi; Prof Dr Ir I Wayan Darmawan MSc dan Prof Bambang
Suryoatmono PhD selaku penguji ujian tertutup; Prof Dr Ir I Wayan Darmawan
MSc dan Ihak Sumardi, PhD selaku penguji ujian promosi atas masukan, kritik
dan arahannya;
4. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
yang telah memberikan bantuan biaya studi melalui BPPS sejak tahun 2012;
5. Koordinator Kopertis Wilayah XII, Rektor Universitas Darussalam Ambon,
atas ijin yang telah diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi di IPB;
Dr. Ibrahim Ohorella MP atas kehadirannya pada ujian promosi, Dekan
Fakultas Pertanian Universitas Darussalam atas dukungannya selama penulis
menjalani studi di IPB;
6. Eka Novriyanti PhD, Syarif Ohorella SHut MSi, Effendi Tri Bahtiar SHut MSi
atas bantuan dan masukannya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga besar penulis,
khususnya ayah dan ibu (Bapak M. Kumari dan Ibu Djasmi), ayah dan ibu mertua
(Bapak Hamim dan Ibu Sumartini), istri (Dr. Sri Andayani) dan Maula Riska
Cahyani atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga ingin menyampaikan
apresiasi kepada rekan-rekan pascasarjana IPB, atas segala dukungan, kekompakan,
kebersamaan sehingga penulis dapat menjalani studi dengan nyaman. Berikutnya
kepada Dosen, Guru, Kolega dan handai tolan serta semua pihak yang telah
membantu kelancaran studi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga karya ini bermanfaat bagi semua pihak sehingga tujuannya untuk
meningkatkan kemanfaatan kayu samama tercapai.
Bogor, 24 Juni 2015
Tekat Dwi Cahyono

DAFTAR ISI
PRAKATA

iv

DAFTAR ISI

v

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

ii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Noveltis
Kerangka Pemikiran

1
1
2
2
3
3
3

2 KUALITAS KAYU SAMAMA (Anthocephalus macrophyllus) UMUR 8
DAN 10 TAHUN
Pendahuluan
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran

5
5
6
6
10
16

3 KARAKTERISTIK FINIR KUPAS KAYU SAMAMA
Pendahuluan
Landasan Teori
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran

17
17
18
19
19
22
29

4 SUDUT KONTAK DAN KETERBASAHAN DINAMIS KAYU SAMAMA
PADA BERBAGAI PENGERJAAN KAYU
31
Pendahuluan
31
Bahan dan Alat
32
Metode Penelitian
32
Hasil dan Pembahasan
34
Kesimpulan dan Saran
39
5 GLUEABILITY KAYU SAMAMA PADA BERBAGAI TIPE LAMINASI
Pendahuluan
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan

40
40
41
41
44

Kesimpulan dan Saran

50

6 KUALITAS KAYU LAPIS DARI FINIR JUVENIL DAN DEWASA
SAMAMA
Pendahuluan
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran

51
51
52
52
55
59

7 PEMBAHASAN UMUM

60

8 SIMPULAN UMUM
Simpulan
Saran

63
63
63

DAFTAR PUSTAKA

64

RIWAYAT HIDUP

75

DAFTAR TABEL
1 Karakteristik contoh uji pohon samama
10
2 Transisi juvenil ke dewasa kayu samama menggunakan pengepasan
dengan kurva eksponensial termodifikasi
15
3 Sudut kontak dari berbagai tipe pengerjaan kayu samama
35
4 Keterbasahan dinamis (K) pada berbagai tipe pengerjaan kayu samama
(SE= standard error, R = koefisien korelasi, e = equilibrium contact
angle, i = sudut kontak pada awal tetesan)
37
5 Spesifikasi perekat isosianat
41
6 MOEapp, MOEtrue pada panjang bentang 66 cm, G dan MOR berbagai tipe
lamina (y adalah (1/Eapp) dan x adalah (h/L)2)
48
7 Spesifikasi perekat UF
52
8 Tipe susunan finir pada kayu lapis
52

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Peta jalan penelitian dan parameter yang akan dikaji
4
Pola pengambilan contoh uji berat jenis dan kadar air
6
Segmentasi contoh uji untuk dimensi serat dan MFA
7
Gambar pengukuran parameter kualitas kayu untuk ukuran panjang serat
(a), tebal dinding serat (b) dan sudut mikrofibril (c)
8
Berat jenis kayu samama umur 8 tahun dan 10 tahun
11
Kadar air kayu samama umur 8 tahun dan 10 tahun
11
Panjang serat kayu samama umur 8 tahun dan 10 tahun
12
TDS kayu samama umur 8 tahun dan 10 tahun
13
Sudut mikrofibril kayu samama umur 8 tahun dan 10 tahun
14
Ilustrasi faktor geometri pada pengupasan finir, modifikasi dari Baldwin
(1995)
18
Segmentasi pengupasan finir (Darmawan et al. 2015)
20
Contoh uji pengukuran finir saat basah (a) dan kering udara (b)
20
Pengukuran panjang (Lc) dan kedalaman (Dc) retak kupas
21
Ilustrasi pengukuran lebar retak finir (p)
21
Hasil pengupasan finir (a) dan proses round up (b)
22
Kadar air finir kayu samama
23
Ketebalan finir kayu samama tiap segmen (direbus pada suhu 50 C selama
4 jam)
24
Penyusutan tangensial finir kayu samama
25
Panjang retak kupas finir 1.5 mm (a) dan 3.0 mm (b) pada kondisi basah
(B) dan kering udara (KU)
26
Kedalaman retak kupas finir 1.5 mm (a) dan 3.0 mm (b) pada kondisi basah
(B) dan kering udara (KU)
27
Faktor geometri (t/rp) dari empulur ke kulit
28
Jumlah retak kupas per 10 cm finir kayu samama ketebalan 1.5 mm (a)
dan 3.0 mm (b) pada kondisi basah (B) dan kering udara (KU)
28
Pola pengambilan contoh uji wettability
32
Berbagai tipe permukaan pengujian keterbasahan dinamis
33

33
25 Pengukuran sudut kontak ()
26 Sudut kontak berbagai cairan pada awal pengamatan dan detik ke-30 pada
permukaan tangensial
34
27 Perubahan sudut kontak sebagai fungsi waktu untuk air destilasi pada
berbagai tipe pengerjaan kayu
36
28 Perubahan sudut kontak sebagai fungsi waktu untuk perekat isosianat pada
berbagai tipe pengerjaan kayu
36
29 Perubahan sudut kontak sebagai fungsi waktu untuk perekat UF pada
berbagai tipe pengerjaan kayu
36
30 Tipe laminasi kayu samama
41
31 Ilustrasi pengujian keteguhan rekat (JAS 2007), unit yang digunakan
adalah mm
42
32 Pengujian lentur pada panjang bentang 26 cm
43
33 Berat jenis (a) dan kadar air (b) panel laminasi berdasarkan tipe (B, C, D,
E) dan berat labur perekat (200, 250 dan 300 g m-2)
44
34 Keteguhan rekat panel laminasi berdasarkan tipe (B, C, D, E) dan berat
labur (200, 250 dan 300 g m-2)
46
35 Kerusakan kayu pada pengujian keteguhan rekat panel laminasi samama;
atas (a), bawah (b), samping (c), tanda panah putih menunjukkan garis
rekat, tanda panah merah adalah kerusakan kayu
46
36 Delaminasi (DAP = air panas, DAD = air dingin) panel laminasi kayu
samama berdasarkan tipe lamina (B, C, D, E) dan berat labur (200, 250,
300 g m-2)
47
37 Nilai Eapp berdasarkan panjang bentang masing-masing panel laminasi 48
38 Persentase perbedaan antara Etrue dan Eapp pada berbagai panjang
bentang
49
39 Tampilan muka kayu lapis samama (a), bagian belakang (b) dan tumpukan
acak (c)
53
40 Pengujian geser tarik
54
41 Berat jenis (a) dan kadar air (b) kayu lapis
55
42 Keteguhan rekat kayu lapis
56
43 Regresi linier antara keteguhan rekat dan jumlah retak kupas per 10 cm
panjang finir (n) samama.
57
44 Tampilan kerusakan kayu lapis saat pengujian geser bagian juvenil (kiri)
dan bagian dewasa (kanan), lingkaran merah menunjukkan serat-serat
yang mengalami kerusakan
58
45 Pengembangan dan penyusutan tebal (a) dan panjang (b) kayu lapis 58

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kurva eksponensial termodifikasi persamaan kuadratik dan logaritma orde
2 untuk panjang serat kayu samama umur 8 tahun (a, b) dan umur 10 tahun
(c, d)
71
2 Kurva eksponensial termodifikasi persamaan kuadratik dan logaritma orde
2 untuk tebal dinding serat (TDS) kayu samama umur 8 tahun (a, b) dan
umur 10 tahun (c, d)
72

Kurva eksponensial termodifikasi persamaan kuadratik dan logaritma orde
2 untuk sudut mikrofibril kayu samama umur 8 tahun (a, b) dan umur
10 tahun (c, d)
73
Ringkasan kualitas kayu dan hasil best subset regression antara kualitas
kayu, t/rp dan jumlah retak kupas per 10 cm panjang finir (n) tanpa
proses perebusan sebelum dikupas
74

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kayu merupakan material alami serbaguna yang dihasilkan oleh pohon.
Karakteristiknya yang sangat khas sebagai bahan baku untuk berbagai keperluan
telah mengakibatkan material ini tidak tergantikan oleh bahan lain. Untuk
menjamin ketersediaan kayu di masa depan, diperlukan strategi yang jitu dalam
mengelola sumberdaya hutan yang ada karena hutan itu sendiri merupakan sumber
penghasil kayu. Beberapa pendekatan yang bisa dilakukan terkait permasalahan
tersebut antara lain adalah mengoptimalkan pemanfaatan kayu yang ada,
merehabilitasi lahan-lahan kritis yang kian hari kian bertambah serta menggalakkan
kegiatan pembangunan hutan tanaman. Kelangkaan kayu sebagai bahan baku juga
dapat diatasi dengan menggunakan kayu dari jenis cepat tumbuh (fast growing
species) yang kualitasnya sudah ditingkatkan, apalagi mengingat teknologi
peningkatan mutu sudah sangat berkembang.
Salah satu jenis kayu cepat tumbuh yang layak untuk dikembangkan adalah
samama (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil.) yang merupakan tanaman
endemik Sulawesi dan Maluku. Potensinya cukup besar, pohonnya tinggi dan
bersifat pionir. Samama memiliki bentuk batang yang lurus dengan riap diameter
5.05 cm th-1 (Bahidin dan Marsoem 2012, Lempang 2014). Berikutnya menurut
Litbang PT Mangole (2011), rataan volume kayu dari pohon yang berumur 10 tahun
dapat mencapai 1.8 m3. Meskipun bersifat lokal, kayu samama telah digunakan
sebagai bahan baku furnitur, pertukangan dan bahan bangunan. Bahkan kulit
batangnya sudah dimanfaatkan sebagai obat pencahar oleh masyarakat Desa Lemolemo Halmahera Selatan dan/atau sebagai pengawet jaring ikan oleh masyarakat
Desa Tulehu Kabupaten Maluku Tengah (Ohorella dan Djumat 2009). Selain itu,
untuk mengantisipasi permintaan di masa depan dan menjadikannya sebagai salah
satu unggulan, samama telah ditanam oleh Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara
melalui program HTR APBD 2008 dan APBD 2009 seluas ± 1200 Hektar di
Kabupaten Halmahera Selatan dan Kabupaten Halmahera Utara (Dinas Kehutanan
Maluku Utara 2011).
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sifat kayu samama cenderung
berkurang dari pangkal ke ujung batang (Cahyono et al. 2012b). Berdasarkan
klasifikasi PKK NI5-1961 terhadap BJ, kayu ini masuk dalam kelas kuat IV.
Keawetan alaminya terhadap serangan rayap tanah menunjukkan bahwa kayu
samama terindikasi cukup awet (Cahyono et al. 2012a).
Terkait penggunaan kayu, konsumen -baik masa kini maupun yang akan
datang, dihadapkan pada dua kondisi. Pertama, tetap bertahan menggunakan kayukayu bermutu tinggi dengan harga yang cenderung meningkat karena semakin
terbatas, atau yang kedua, menggunakan jenis kayu yang kurang bermutu tetapi
harganya lebih murah. Kayu yang kurang bermutu pada umumnya kurang kuat,
kurang awet dan kurang stabil. Di antara kedua pilihan tersebut perlu dihadirkan
alternatif produk dari kayu kurang bermutu tetapi telah ditingkatkan kualitasnya
sehingga kemanfaatannya meningkat.
Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemanfaatan
kayu samama adalah dengan mengubahnya menjadi produk laminasi. Produk ini

2

akan meningkatkan peluang kemanfaatan kayu samama menjadi lebih tinggi.
Apalagi mengingat kayu samama belum pernah digunakan sebagai bahan baku
pembuatan produk sejenis dan atau diproduksi secara intensif dan berkelanjutan.
Selain itu, kayu samama memiliki warna kuning kecoklatan dengan tampilan yang
menarik, sehingga sangat sesuai jika digunakan sebagai lapisan muka (face) produk
laminasi, baik sebagai finir maupun lamina.
Berdasarkan berbagai pendekatan tersebut, penelitian ini berusaha untuk
mencari dan menemukan potensi penggunaan kayu samama yang paling optimal.
Setidaknya, memberikan informasi bahwa kayu samama adalah sebanding dengan
kayu-kayu konvensional yang biasa digunakan sebagai bahan baku industri
perkayuan di tanah air. Rangkaian penelitian akan diawali dengan penentuan batas
juvenil dan kayu dewasa. Kegiatan dilanjutkan dengan menganalisis perbedaan
kualitas perekatan dan produk laminasi yang dihasilkan dari kayu juvenil dan kayu
dewasa kayu samama.

Perumusan Masalah
Kayu dari hutan tanaman dan hutan rakyat, termasuk samama, pada umumnya
ditebang pada umur yang masih muda akibat pendeknya rotasi tebang yang
ditetapkan. Pada usia yang relatif muda, sebagian besar kayu akan didominasi oleh
kayu juvenil. Dari penelurusan pustaka diketahui bahwa kayu jabon, yang masih
satu genus dengan kayu samama memiliki proporsi 100% kayu juvenil pada umur
7 tahun (Darmawan et al. 2013). Tingginya persentase kayu juvenil ini akan
berdampak negatif bagi industri perkayuan baik selama proses produksi, maupun
pada sifat dan nilai produk yang dihasilkan (Ilic et al. 2003, Adamopoulos et al.
2007). Kretschmann et al. (1993) menjelaskan bahwa proporsi kayu juvenil diatas
50% akan berpengaruh terhadap kualitas produk laminasi. Oleh karena itu, sebagai
langkah awal untuk meningkatkan kemanfatan kayu samama sebagai produk
lamina, diperlukan penelitian tentang proporsi kayu juvenil pada kayu samama dan
pengaruhnya terhadap faktor-faktor perekatan.
Selain proporsi kayu juvenil, faktor yang mempengaruhi kualitas produk
laminasi adalah kualitas kayu secara keseluruhan (kadar air, kerapatan, kehalusan
permukaan) (Buyuksari et al. 2011), termasuk retak kupas saat pengkonversian log
menjadi finir (Neese et al. 2004, Güngör et al. 2013, Rohumaa et al. 2013). Faktor
lainnya adalah yang berkaitan dengan perekat yang digunakan (jenis, campuran
perekat, viskositas) dan kualitas rekatan yang dihasilkan (aplikasi perekat, waktu,
suhu kempa, kelembaban relatif dan suhu udara) (Dundar et al. 2008a). Dari
berbagai faktor tersebut, kualitas permukaan dan retak kupas akan dijadikan kajian
untuk menganalisis wettability dan glueability produk laminasi kayu samama.
Selanjutnya sebagai tahap akhir akan dibuat produk laminasi dari kayu samama
untuk meningkatkan kemanfaatannya.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diutarakan, tujuan penelitian ini adalah
untuk:

3
1. Menentukan titik transisi kayu juvenil ke kayu dewasa pada samama.
2. Menganalisis kualitas finir kupas kayu samama dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
3. Menganalisis keterbasahan (wettability) dan glueability pada berbagai tipe
pengerjaan kayu.
4. Menganalisis kualitas produk laminasi kayu samama.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk optimalisasi pemanfaatan dan
peningkatan nilai tambah kayu samama. Secara khusus, diharapkan dapat
memberikan informasi ilmiah yang bermanfaat pada masyarakat mengenai
karakteristik kayu dan produk laminasi terbaik yang memanfaatkan kayu samama
sebagai bahan baku.

Noveltis
Noveltis penelitian ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan:
1. Penetapan batas juvenil dan dewasa kayu samama.
2. Finir samama berkualitas baik saat dikupas pada saat segar tanpa proses
pendahuluan dan jika dilakukan perebusan 50C selama 4 jam, maka indikator
kualitas finirnya meningkat.
3. Kayu samama berpotensi menggantikan peran kayu meranti merah jika dibuat
sebagai bahan kayu lapis.

Kerangka Pemikiran
Kayu samama telah banyak digunakan untuk berbagai tujuan penggunaan
meski baru secara lokal. Hal ini menunjukkan bahwa kayu ini berpotensi untuk
dikembangkan (Cahyono et al. 2012b). Menurut Bowyer et al. (2003), penggunaan
suatu jenis kayu sangat ditentukan oleh sifat dan karakter yang dimiliki. Di
antaranya adalah proporsi kayu juvenil dan kayu dewasa. Untuk meningkatkan
kemanfaatan kayu samama maka penelitian sifat-sifat kayu ini perlu dilakukan
sebagai langkah awal yang menentukan.
Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa rataan nilai MOE kayu samama
sebesar 48750 kg cm-2, sedangkan BJnya 0.41 (Cahyono et al. 2012b). Hal ini
mengakibatkan penggunaan kayu samama dalam bentuk solid (utuh) diperkirakan
hanya setara dengan penggunaan kayu-kayu kelas kuat IV. Dalam rangka
meningkatkan nilai tambah dan nilai gunanya maka penggunaan kayu samama
dalam bentuk produk laminasi akan lebih menjanjikan apalagi bila dikaitkan
dengan kebutuhan akan kayu dan produk kayu saat ini.
Perbedaan kualitas kayu juvenil dan kayu dewasa merupakan parameter dasar
yang akan dikaji dan dikaitkan dengan kualitas produk laminasi. Fokus utamanya
adalah menentukan kualitas kayu samama, karakteristik permukaan lamina dan
kualitas finir kayu samama dalam kaitannya produk laminasi yang dihasilkan.
Pelaksanaan kegiatan penelitian ini diharapkan bisa menghasilkan produk laminasi

4

yang paling optimal dalam artian paling kuat dan atau sesuai standar serta memiliki
kesan dekoratif. Tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan tujuan tersebut terdiri
atas 2 tahap utama penelitian dan beberapa tahapan pendukung sesuai kebutuhan.
Diagram alir penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta jalan penelitian dan parameter yang akan dikaji

5

2 KUALITAS KAYU SAMAMA (Anthocephalus macrophyllus)
UMUR 8 DAN 10 TAHUN
Pendahuluan
Samama (Anthocephalus macrophyllus) merupakan salah satu tanaman
endemik Sulawesi dan Maluku yang saat ini sedang dikembangkan, baik di habitat
asalnya dan wilayah lain di Indonesia. Pohonnya yang cepat tumbuh, berbatang
lurus dan daerah bebas cabang yang tinggi menjadikannya sebagai potensi
pemenuhan kebutuhan kayu masa depan. Oleh karena itu, pengetahuan mendalam
tentang sifat kayu ini diperlukan untuk meningkatkan kemanfaatannya sebagai
produk kayu berkualitas.
Variasi kualitas kayu dapat dievaluasi pada penampang melintangnya. Kayu
juvenil cenderung memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan dengan kayu
dewasa yang lebih stabil dan lebih kuat (Barnett dan Jeronimidis 2009). Mengetahui
transisi kayu juvenil dan dewasa adalah langkah awal untuk menjelaskan kualitas
kayu dan peningkatan kemanfaatannya. Misalnya bagian juvenil digunakan untuk
glulam, sedangkan bagian dewasa untuk finir, atau bahkan produk bermutu tinggi
berbahan dasar finir (plywood dan LVL).
Identifikasi juvenil dan kayu dewasa dapat diketahui dari perubahan dimensi
serat dan sifat-sifat kayu (Panshin dan Zeeuw 1980). Jika dibandingkan dengan
kayu dewasa, kayu juvenil tersusun dari serat yang lebih kecil dan pendek, dinding
serat yang lebih tipis, sudut mikrofibril yang besar, kerapatan dan kekuatan yang
rendah (Tsoumis 1991, Evans et al. 2000, Adamopoulos et al. 2007). Selain itu,
sifat-sifat kayu yang menunjukkan kayu masih juvenil adalah rendahnya nilai MOE,
MOR dan stabilisasi dimensi sehingga mudah mengalami cacat pada saat
pengeringan maupun selama penggunaan kayu (Johansson dan Kliger 2002).
Setelah mengetahui transisi juvenil secara tepat, maka permasalahan tersebut dapat
diminimalisir.
Berbagai metode telah digunakan untuk menentukan transisi antara juvenil
dan dewasa. Metode yang paling sederhana adalah melakukan pengamatan secara
langsung terhadap data pengamatan (misalnya panjang serat) dari empulur ke kulit
dan menentukan titik juvenil secara visual (Clark et al. 2006). Metode lain adalah
menggunakan pendekatan persamaan matematis. Di antaranya adalah regresi
tersegmentasi (Tasissa dan Burkhart 1998, Darmawan et al. 2013), persamaan
polinomial (Koubaa et al. 2005) dan modifikasi kurva eksponensial dengan
persamaaan linier dan nonlinier (Bahtiar dan Darwis 2014). Menurut Bahtiar dan
Darwis (2014), modifikasi kurva eksponensial tersebut mampu membantu
mengidentifikasi batas juvenil kayu jati berdasarkan transisi panjang serat dari
empulur ke kulit. Di samping itu jika persamaan tersebut digunakan pada kayu yang
pada pengamatan visual terhadap panjang serat terindikasi semua bagiannya adalah
juvenil atau peneliti tidak mengetahui apakah ada bagian juvenil atau tidak, maka
persamaan kurva eksponesial termodifikasi oleh persamaan kuadratik dan
logratima orde 2 lebih layak digunakan.
Penelitian ini akan menganalisis dimensi serat, sudut mikrofibril (MFA),
berat jenis dan kadar air kayu samama pada umur 8 tahun dan 10 tahun. Pemilihan
umur ini ditetapkan karena penelitian terdahulu terhadap kayu jabon

6

(Anthocephalus cadamba) yang masih satu genus dengan samama memiliki 100%
bagian juvenil pada umur 7 tahun (Darmawan et al. 2013). Selanjutnya persamaan
eksponensial termodifikasi telah digunakan oleh Bahtiar dan Darwis (2014)
terhadap parameter panjang serat kayu jati untuk penentuan transisi juvenil, namun
belum pernah digunakan untuk menganalisis tebal dinding serat dan MFA.
Berdasarkan hal tesebut maka dua metode penentuan titik transisi juvenil dan
dewasa digunakan dan dibandingkan dalam penelitian ini. Keduanya didasarkan
pada kurva eksponensial yang telah dimodifikasi, pertama dengan persamaan
kuadratik dan kedua menggunakan persamaan logaritma orde 2. Hasil penelitian
diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatan
pemanfaatan kayu samama, baik papan laminasi, kayu lapis maupun LVL.

Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah kayu samama yang berasal dari Desa
Saleman, Kecamatan Maluku Tengah Provinsi Maluku. Kayu dipilih dari tegakan
yang memiliki batang yang lurus tanpa cacat. Tegakan samama umur 8 tahun dan
10 tahun masing-masing diwakili tiga batang. Setelah proses penebangan,
kemudian dibuat contoh uji sesuai kebutuhan. Bahan kimia dan pendukung lainnya
dirinci pada metode penelitian. Ada pun alat yang digunakan terdiri dari chainsaw,
circular saw, mistar, kamera, mikroskop dan beberapa alat lainnya disesuaikan
dengan tahapan penelitian.

Metode Penelitian
Contoh uji diambil dari potongan log segar dengan ketinggian 1.3 meter dari
permukaan tanah, berupa disk setebal 10 cm (Gambar 2a). Kadar air dan berat jenis
menggunakan segmentasi selebar 2 cm (Gambar 2b). Berikutnya dimensi serat dan
MFA, menggunakan segmentasi selebar 1 cm dari bagian empulur ke bagian kulit
(Gambar 3).

Gambar 2 Pola pengambilan contoh uji berat jenis dan kadar air
Pengukuran Kadar Air (KA) dan Berat Jenis (BJ)
Contoh uji KA ditimbang untuk menentukan berat awal dan berat kering tanur
(103±2 ºC). KA dihitung dengan Persamaan 1 :
�=

��−� �
� �

%

(1)

7
KA pada Persamaan 1 adalah kadar air, BB = berat basah dan BKT = berat
kering tanur. Sementara itu BJ (kering udara) didapatkan dengan perbandingan
antara berat kering tanur dan volume kering udara dibagi dengan kerapatan air
(Bowyer et al. 2007).
Pengukuran Panjang Serat
Pengukuran dimensi serat dilakukan dengan membuat sediaan maserasi.
Contoh uji berbentuk segmen yang berukuran (1 x 1 x 2) cm diambil dari bagian
empulur sampai kulit (Gambar 3). Sediaan maserasi dibuat dengan menggunakan
metode Schulze. Contoh uji berupa potongan berukuran kecil sebesar batang korek
api dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu diberi larutan campuran asam nitrat
(HNO3) 60% dan kalium klorida (KClO3) 0.03 gram sampai contoh uji terendam.
Setelah itu direbus dalam waterbath dengan suhu 80-85 °C selama ± 10 menit
sampai contoh uji terlihat putih dan lunak. Contoh uji dalam tabung reaksi
kemudian dikocok sampai seratnya terpisah. Serat-serat yang telah terpisah dicuci
dengan aquades sampai bebas asam, lalu ditetesi dengan safranin sebanyak 2 tetes
dan dibiarkan selama 1 jam.

Gambar 3 Segmentasi contoh uji untuk dimensi serat dan MFA
Setelah perendaman dengan safranin, contoh uji yang telah berupa serat
dicuci kembali dengan aquades untuk menghilangkan safranin dan tetap direndam
di dalam aquades sampai dilakukan pengamatan. Sebelum pengamatan, serat kayu
disiapkan diatas object glass dan ditutup dengan cover glass. Penentuan panjang
serat dilakukan dengan mengukur sebanyak 30 serat dari masing-masing segmen,
kemudian dibagi jumlah pengamatan untuk memperoleh rataan panjang serat tiap
segmen (Gambar 4a). Tebal dinding serat didapatkan dari setengah selisih diameter
serat dikurangi diameter lumen. Pengukuran diameter serat dan lumen dilakukan
terhadap 15 serat untuk tiap segmen (Gambar 4b).
Pengukuran Sudut Mikrofibril (Microfibril angle / MFA)
Contoh uji per segmen disayat dengan mikrotom pada bidang tangensial
dengan ketebalan ±30 m. Untuk preparasi obyek pengamatan, disiapkan dua
larutan. Larutan A adalah larutan Schulze, yang terdiri dari 100 ml asam nitrat
(35%) + 6 g potassium chlorate. Larutan B, terdiri dari 100 ml air destilasi + 3 gram
iodine + 4 gram potassium iodide.
Sayatan mikrotom direndam dalam larutan A selama 15 menit. Selanjutnya
diangkat dan dicuci dengan aquades. Kegiatan berikutnya adalah dehidrasi, yaitu
merendam sayatan dalam alkohol bertingkat (50, 60, 70, 80, 90 dan 96%) masingmasing selama 5 menit. Setelah proses dehidrasi, sayatan dibersihkan dari sisa
alkohol dan disiapkan di atas object glass. Selanjutnya preparat tersebut ditetesi

8

dengan larutan B. Untuk membentuk kristal Iodine, preparat ditetesi asam nitrat
50% dan sebelum proses pengambilan foto, ditambahkan 25% gliserol.

(a)

(b)

(c)

Gambar 4 Gambar pengukuran parameter kualitas kayu untuk ukuran panjang
serat (a), tebal dinding serat (b) dan sudut mikrofibril (c)
Masing-masing segmen disiapkan 5 slide dan selanjutnya masing-masing
slide diamati menggunakan mikroskop untuk mendapatkan 3 serat yang
memperlihatkan mikrofibril. Gambar ini selanjutnya di foto dan hasil fotonya
dianalisis menggunakan software AxioVision SE64 Rel. 4.9.1 untuk mendapatkan
sudut mikrofibril (MFA) (Gambar 4c). Pengukuran sudut ditetapkan pada 3
mikrofibril untuk tiap satu foto serat. Metode pengukuran MFA dan pengukuran
dimensi serat mengacu pada metode modifikasi dari Wahyudi et al. (2014) dan
Darmawan et al. (2013).
Analisis Data
Panjang serat kayu di bagian empulur lebih pendek dibandingkan dengan
bagian dekat kulit. Hal ini disebabkan karena tingginya aktifitas pembelahan
kambium. Variasi panjang elemen xilem menunjukkan prinsip perubahan ukuran
pada inisial kambium (Philipson dan Butterfield 1968). Pertumbuhan panjang serat
pada awal pertumbuhan sangat cepat dan berangsur melambat pada saat dewasa.
Pada titik tertentu, pertumbuhannya terhenti. Titik ini disebut titik batas dan laju
pertumbuhan menurun setelahnya. Panjang serat akan konstan saat tidak ada
pertumbuhan lagi. Kondisi ini bisa digambarkan dengan garis asimtot. Ketika
ukuran panjang serat lebih tinggi dari garis asimtot, berarti periode juvenil telah
berakhir dan pohon dikatakan telah dewasa.
Dasar teorinya adalah kurva pertumbuhan Malthus (Persamaan 2):


=

(2)

=

(3)

N pada Persamaan 2 adalah parameter pertumbuhan (pada penelitian ini
digunakan untuk panjang serat, tebal dinding serat dan MFA), t = waktu dan a =
konstanta. Berikutnya persamaan parametrik (Persamaan 2) diubah menjadi
persamaan eksponensial menjadi Persamaan 3:

9
Nt merupakan parameter pertumbuhan berdasarkan fungsi waktu dan N0
adalah parameter pertumbuhan awal. Selanjutnya kurva pertumbuhan (Persamaan
2 dan 3) akan terus naik sampai tanpa batas. Kondisi ini tidak rasional, karena
pertumbuhan selalu dibatasi oleh genetik, kapasitas lingkungan, kerapatan populasi.
Interaksi dari ketiga komponen tersebut menghasilkan penurunan pertumbuhan
sampai parameter pertumbuhan maksimal tercapai. Parameter tersebut dinotasikan
dengan garis asimtot (K) pada kurva pertumbuhan. Verhulst-Pearl memodifikasi
persamaan Maltus dengan fungsi linear menjadi Persamaan 4 (a dan b adalah
konstanta).


=

+

;  dan 

(4)

=

+

=

(5)

Parameter pertumbuhan maksimum (K) tercapai jika turunan pertama kurva
pertumbuhan memiliki nilai 0. K adalah garis asimtot:


=−

(6)

Selanjutnya untuk menyesuaikan dengan beberapa kasus, persamaan
pertumbuhan eksponensial dapat dimodifikasi menggunakan persamaan nonlinear.
Bentuk umum modifikasi nonlinear pada model eksponensial disajikan pada
Persamaan 7:


=

(

)

(7)

Pada penelitian ini, fungsi f(N) akan disubstitusi dengan persamaan
polinomial dan logaritma orde 2.
Polinomial orde 2 (kuadratik)
Persamaan dasar untuk modifikasi kuadratik adalah Persamaan 8 ( a, b dan c
adalah konstanta).


=

+

+

(8)

Garis asimtot atas (K2) dan garis asimtot bawah (K1) dapat ditentukan
menggunakan Persamaan 9:
,

=

− ±√



(9)

Persamaan logaritma orde 2
Persamaannya menggunakan Persamaan 10:


=

(

) +

+

(10)

10

Dan garis asimpotnya adalah:
,

= exp (

− ±√



)

(11)

Persamaan 8 dan 10 tidak selalu menghasilkan dua bilangan yang rasional
dan wajar, kadang-kadang hanya satu atau bahkan bilangan imajiner. Jika hal ini
didapatkan, maka dapat disimpulkan bahwa semua data berasal dari daerah juvenil
karena tidak memiliki garis asimtot (Bahtiar dan Darwis 2014).
Keandalan model dapat ditentukan dengan nilai koefisien determinasinya
2
(R ). Semakin tinggi nilai R2 menunjukkan bahwa model tersebut semakin layak.
Pada penelitian ini, R2 dihitung menggunakan Persamaan 12 (N adalah parameter
pertumbuhan, i = segmen pertumbuhan, N adalah rataan parameter pertumbuhan).
� =

̅ − ∑ �� −�
̂
∑ �� −�
̅
∑ �� −�

(12)

Hasil dan Pembahasan
Karakterisik contoh uji pohon samama yang disajikan pada Tabel 1
menunjukkan bahwa rataan diameter setinggi dada umur 8 tahun adalah 39.7 cm,
sedangkan rataan diameter pada umur 10 tahun adalah 46.7 cm. Rataan tinggi bebas
cabang pada umur 8 tahun dan 10 tahun berturut-turut adalah 11.7 m dan 13.3 m.
Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa riap tumbuh diameter kayu
samama sekitar 4.5-5 cm th-1. Kecepatan tumbuh tersebut tentunya tidak bisa
dikatakan seragam untuk tiap tahunnya karena pertumbuhan disebabkan banyak
faktor, di antaranya adalah faktor tempat tumbuh (Larson 1969, Antonova dan
Stasova 1993, Lindström 1996).
Tabel 1 Karakteristik contoh uji pohon samama
Umur (th)
8
8
8
10
10
10

Tinggi Bebas Cabang (m)
11
12.2
12
13
13.9
13

Diameter setinggi dada (cm)
39
39
41
46
47
47

Penelitian terdahulu tentang penentuan transisi kayu juvenil ke dewasa
menggunakan beberapa indikator, di antaranya adalah kerapatan, berat jenis, sudut
mikrofibril, panjang serat dan sifat mekanis (Evans et al. 2000, Koubaa et al. 2005,
Clark et al. 2006, Adamopoulos et al. 2007, Darmawan et al. 2013). Pada penelitian
ini, transisi juvenil ke dewasa lebih difokuskan ke berat jenis, kadar air, sudut
mikrofibril, tebal dinding serat dan panjang serat. Indikator tersebut sangat erat
hubungannya dengan perkembangan serat yang sangat cepat pada awal
pertumbuhan dan cenderung melambat dan berhenti setelah dewasa. Proses transisi

11
ini akan dianalisis menggunakan persamaan pertumbuhan yang dimodifikasi
dengan persamaan kuadratik dan logaritma orde 2.
Berat Jenis (BJ) dan Kadar Air (KA)
Rataan BJ kayu samama, baik yang berumur 8 tahun maupun 10 tahun
adalah 0.41 dengan simpangan baku sebesar 0.02. BJ segmen dekat empulur umur
8 tahun dan 10 tahun berturut-turut sebesar 0.37 dan 0.36. Berikutnya BJ segmen
dekat kulit sebesar 0.43, baik pada kayu umur 8 tahun maupun 10 tahun (Gambar
5). Selisih BJ antara segmen dekat empulur dan segmen dekat kulit tidak terlalu
besar, yaitu hanya 0.06. Variasi BJ tiap segmen penting diketahui untuk proses
pemanfaatan selanjutnya, baik selama proses pengeringan, pengerjaan maupun
pembuatan produk yang menggunakan kayu samama. Sebagai bahan perbandingan,
kayu jabon memiliki kerapatan dekat empulur dan dekat kulit masing-masing
sebesar 280 dan 580 kg m-3 (Darmawan et al. 2013).
0.46
0.44

Berat Jenis

0.42
0.40
0.38
0.36
0.34
0.32

BJ8

BJ10

0.30
0

5

10

15

20

25

Jarak dari empulur ke kulit (cm)

Gambar 5 Berat jenis kayu samama umur 8 tahun dan 10 tahun

Kadar Air (%)

Gambar 6 menunjukkan distribusi KA pada tiap segmen kayu samama. Pada
umur 8 tahun, KA dekat empulur sebesar 167.57±13.55% sedangkan bagian dekat
kulit sebesar 68.57% dengan simpangan baku sebesar 6.22%. Hasil yang tidak jauh
berbeda ditunjukkan oleh KA dekat empulur kayu samama umur 10 tahun, yaitu
sebesar 157.17±12.88%. Selanjutnya KA dekat kulit sebesar 76.81% dengan
simpangan baku sebesar 8.82%.
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0

KA8
0

5

10

15

KA10

20

Jarak dari empulur ke kulit (cm)

Gambar 6 Kadar air kayu samama umur 8 tahun dan 10 tahun

25

12

Air dalam kayu terdapat dalam dua bentuk, pertama air terikat didalam
dinding sel dan yang kedua air bebas dan uap air dalam rongga sel (Tsoumis 1991).
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa air dalam kayu terdapat dalam dinding sel
dan rongga sel. Selanjutnya masih menurut Tsoumis (1991) bagian gubal kayu daun
jarum memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan teras karena
sebagian besar selnya masih hidup dan aktif. Sebaliknya pada kayu daun lebar,
perbedaan kadar air bagian teras dan gubal tidak membentuk tren tertentu dan pada
beberapa kasus nilainya berkebalikan.

Panjang serat (m)

Panjang Serat (PS)
PS dekat empulur pada umur 8 tahun dan 10 tahun masing-masing adalah
1174±142 µm dan 1119±150 µm, sedangkan panjang serat dekat kulit umur 8 tahun
dan 10 tahun adalah 1675±220 µm dan 1743±106 µm. Selanjutnya rataan seluruh
pengamatan PS samama adalah 1581±186 µm dan 1562±196 µm untuk samama
umur 8 tahun dan 10 tahun. Berdasarkan identifikasi yang dibuat oleh IAWA, PS
samama termasuk golongan 2, yaitu memiliki panjang serat antara 900-1600 µm
(Wheeler et al. 1989).
2000
1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0

PS8
0

5

10

15

20

PS10
25

Jarak dari empulur ke kulit (cm)

Gambar 7 Panjang serat kayu samama umur 8 tahun dan 10 tahun
Gambar 7 menunjukkan bahwa PS kayu umur 8 tahun dan 10 tahun
menunjukkan nilai yang hampir sama pada tiap segmennya. Variasi PS bersifat
genetis dan dipengaruhi juga oleh faktor kualitas tempat tumbuhnya (Antonova dan
Stasova 1993). Selanjutnya sebagai bahan perbandingan PS kayu tropis lainnya,
jabon dan sengon umur 7 tahun memiliki panjang serat 1224 µm dan 1147 µm
(Darmawan et al. 2013). Berikutnya Kim et al. (2013) menyajikan data panjang
serat kayu jabon adalah 1402 µm dengan simpangan baku 341 µm. Kayu jati umur
4 tahun dan 5 tahun, panjang seratnya masing-masing adalah 876 µm dan 1071 µm
(Wahyudi et al. 2014). Panjang serat kayu jati umur 9 tahun pada segmen dekat
empulur 881 µm dan 1281 µm pada segmen dekat kulit (Bahtiar dan Darwis 2014).
PS kayu samama dekat empulur lebih pendek dan berangsur-angsur
meningkat pada segmen dekat kulit. Secara visual, pada grafik yang ditunjukkan
pada Gambar 7, transisi perubahan panjang serat secara progresif terjadi pada saat
panjang serat 1100–1700 µm dan relatif konstan setelah ukurannya sekitar 1700
µm. Periode perubahan PS yang progresif didefinisikan sebagai periode juvenil dan
periode perubahan panjang serat yang lebih konstan dikatakan bahwa kayu telah

13
mengalami transisi menuju dewasa. Berdasarkan pengamatan visual, periode
pertumbuhan progresif telah berakhir pada jarak 9 cm dari empulur, baik pada umur
8 tahun maupun 10 tahun. Penentuan secara visual periode transisi juvenil sangat
subyektif dan tergantung penilaian pengamat.
Subyektifitas pengamatan transisi juvenil dan dewasa dapat dikurangi dengan
menggunakan persamaan matematis. Penentuan transisi juvenil ke dewasa pada
penelitian ini menggunakan pendekatan kurva eksponensial yang termodifikasi
dengan persamaan kuadratik dan logaritma orde 2 (Lampiran 1). Hasilnya adalah
kayu samama umur 8 tahun dan 10 tahun (kurva eksponensial termodifikasi
persamaan kuadaratik) menunjukkan bahwa garis asimptotnya terjadi pada ukuran
PS 1668 µm dan 1688 µm. Jika menggunakan kurva eksponensial termodifikasi
persamaan logaritm