Sterilisasi Begonia Polkadot (Begonia maculata) pada Kultur in Vitro

STERILISASI BEGONIA POLKADOT (Begonia maculata)
PADA KULTUR IN VITRO

BRAYUDANTO HARDIYADI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sterilisasi Begonia
Polkadot (Begonia maculata) pada Kultur in Vitro adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014

Brayudanto Hardiyadi
NIM E34080060

ABSTRAK
BRAYUDANTO HARDIYADI. Sterilisasi Begonia Polkadot (Begonia maculata)
pada Kultur In Vitro. Dibimbing oleh EDHI SANDRA dan AGUS HIKMAT
Penelitian mengenai kultur jaringan begonia (Begonia sp.) masih sedikit,
namun sterilisasi pada tanaman ini cukup sulit sehingga perlu adanya penelitian
mengenai kultur jaringan pada begonia (Begonia sp.). Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi teknik sterilisasi yang tepat untuk begonia polkadot
(Begonia maculata) pada kultur in vitro. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Kultur Jaringan Esha Flora Bogor dari bulan September sampai Desember 2013.
Penelitian dilakukan secara bertahap, pertama dengan penelitian pendahuluan
kemudian dilanjutkan dengan penelitian lanjutan. Pada penelitian pendahuluan
hanya terdapat dua variabel yaitu penggunaan antibiotik dan HgCl2. Penggunaan
HgCl2 pada konsentrasi 15 % merupakan konsentrasi yang baik untuk begonia
polkadot, karena persentase eksplan kontam lebih sedikit dan persentase yang

hidup lebih banyak. Penggunaan eksplan tulang daun memiliki persentase
kontaminasi dan browning yang lebih kecil daripada eksplan mata tunas.
Kata kunci: begonia, kultur in vitro, sterilisasi

ABSTRACT
BRAYUDANTO HARDIYADI. Sterilization of Begonia Polkadot (Begonia
maculata) in Tissue Culture. Supervised by EDHI SANDRA dan AGUS
HIKMAT
Research on Begonia’s tissue culture (Begonia sp.) is still limited. Altough
the sterilization in this plants is moderately hard, still we need the research on
begonia’s tissue culture (Begonia sp.). This study aims to identify the technique of
sterilizing which is proper for begonia polkadot (Begonia maculata) on the culture
in vitro. The study is done in Laboratories Tissue Culture Esha Flora Bogor on
September until December 2013. Gradually, this research is done first with
preliminary research and continued with advanced research. To research prefatory
there are only two variables that is using antibiotic and HgCl2. Utilized of HgCl2
at concentrations 15 % is a suitable concentration for begonia polkadot, because
the percentage of eksplan contamination fewer and a high percentage of living
more. Utilized the bones eksplan of a leaf having the percentage of contamination
and browning smaller than buds.

Keywords: begonia, culture in vitro, sterilization

STERILISASI BEGONIA POLKADOT (Begonia maculata)
PADA KULTUR IN VITRO

BRAYUDANTO HARDIYADI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Sterilisasi Begonia Polkadot (Begonia maculata) pada Kultur in

Vitro
Nama
: Brayudanto Hardiyadi
NIM
: E34080060

Disetujui oleh

Ir Edhi Sandra, MSi
Pembimbing I

Dr Ir Agus Hikmat, MScF
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 ini ialah
kultur jaringan, dengan judul Sterilisasi begonia polkadot (Begonia maculata)
pada Kultur In Vitro.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir Edhi Sandra, MSi dan
Bapak Dr Ir Agus Hikmat, MScF selaku pembimbing, serta Ibu Edhi dan Staf
Esha Flora yang telah memberi saran dan bantuannya selama penulis
melaksanakan penelitian. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
staf Esha Flora bersama-sama berjuang di Esha Flora melaksanakan penelitian.
Tak lupa pula Keluarga Besar KSHE 45 yang telah memberi dorongan kepada
penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Brayudanto Hardiyadi


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


2

Manfaat Penelitian

2

METODE

2

HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Penelitian Pendahuluan

5

Pengaruh Pemberian HgCl2


7

Pengaruh Jenis Media
SIMPULAN DAN SARAN

10
13

Simpulan

13

Saran

14

DAFTAR PUSTAKA

14


LAMPIRAN

15

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.

Persentase browning dan kontaminasi selama 8 minggu
Persentase kelangsungan hidup eksplan dan penyebab kematiannya
Persentase jenis media terhadap kontaminasi dan browning
Persentase kelangsungan hidup eksplan dan penyebab kematiannya

6
7
9
10


DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Kontaminasi eksplan oleh mikroba pada minggu ketiga
Grafik kecepatan kontaminasi cendawan selama seminggu pengamatan
Kontaminasi eksplan oleh cendawan
Kontaminasi eksplan oleh bakteri
Eksplan yang mengalami browning
Grafik kecepatan kontaminasi cendawan selama seminggu pengamatan
Eksplan pada minggu kedelapan telah nampak daun dan akar

6
7

8
8
11
11
12

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keanekaragaman spesies begonia (Begonia sp.) dari famili Begoniaceae
yang masih tersimpan di lantai hutan Indonesia masih sangat banyak.
Keanekaragaman spesies begonia di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari
200 spesies, dan tersebar di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan
Irian. Spesies begonia di dunia diperkirakan lebih dari 1400 spesies. Di Indonesia
Begonia masih belum mendapatkan penanganan serius, bahkan cenderung
terabaikan (Hartutiningsih dan Siregar 2005).
Ancaman terbesar dari kelestarian begonia lokal adalah kerusakan habitat.
Banyaknya kerusakan hutan dan alih fungsi hutan sebagai pemukiman atau lahan
pertanian menyebabkan ruang hidup begonia semakin sempit. Begonia umumnya
rentan terhadap cahaya dan panas, biasanya tumbuh di bawah pohon yang
memiliki tajuk lebat, sehingga jika pohon itu tumbang akan mengganggu
pertumbuhan begonia di bawahnya (Kiew 2005).
Begonia dapat tumbuh cukup sukses pada berbagai jenis media tanam
(Catterall 1991). Perbanyakan begonia dapat dilakukan dengan empat cara yaitu
stek pucuk, daun, umbi, dan biji. Perbanyakan begonia dilihat dari bentuk
morfologinya, sebagai contoh pada begonia polkadot (Begonia maculata Raddi.)
yang termasuk dalam golongan cane like begonias dapat dilakukan perbanyakan
dengan stek pucuk, batang, daun, dan biji (Hartutiningsih dan Siregar 2005).
Begonia memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Warna
yang menarik, bentuk yang unik, serta keanekaragaman yang melimpah membuat
pasar begonia terus hidup. Potensi ekonomi inilah yang menjadikan begonia
sebagai salah satu andalan ekonomi masyarakat. Selain itu beberapa spesies
begonia ada yang dapat dimakan dan memiliki kasiat obat.
Saat ini masih jarang ditemukan perbanyakan begonia menggunakan
teknik kultur jaringan, penyebabnya ialah masyarakat umum masih menganggap
tanaman ini masih mudah dikembangkan dengan metode konvensional. Sehingga
pengembangan metode kultur jaringan pada begonia masih sedikit. Keuntungan
menggunakan teknik kultur jaringan ialah dapat menghasilkan jumlah banyak,
relatif singkat dan tidak memerlukan ruangan yang besar.
Problem terbesar yang sering menjadi kendala dalam teknik kultur in vitro
adalah kontaminasi mikroba. Setiap tumbuhan memiliki ketahanan yang berbedabeda terhadap mikroba dan bahan kimia. Sehingga diperlukan suatu proses
sterilisasi yang tepat untuk suatu tumbuhan. Dengan sterilisasi yang tepat dapat
diperoleh hasil yang maksimal. Tahap tersulit dalam kultur in vitro ialah pada
saat inisiasi, hal ini disebabkan resiko kontaminasi cukup tinggi pada tahap ini.
Begonia merupakan tanaman sekulen, berbatang lunak dan berair, permukaan
kulit tanaman ini licin dan berbulu. Hal ini menyebabkan sulitnya mensterilkan
eksplan karena bahan sterilisasi sulit untuk masuk ke dalam eksplan. Kontaminasi
merupakan masalah yang dihadapi dalam kultur jaringan begonia baik yang
berasal dari dalam eksplan maupun dari luar eksplan.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi teknik sterilisasi yang tepat untuk begonia polkadot
(Begonia maculata Raddi.)
2. Mengidentifikasi seberapa besar pengaruh pemberian HgCl2 pada eksplan
terhadap kontaminasi mikroba dan browning
3. Mengidentifikasi seberapa besar pengaruh pemberian antibiotik pada media
tanam terhadap kontaminasi mikroba
4. Mengidentifikasi seberapa besar pengaruh pemberian arang aktif dan vitamin
C pada media terhadap browning
5. Mengidentifikasi seberapa besar pengaruh penggunaan eksplan terhadap
kontaminasi mikroba dan browning
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi pada proses
sterilisasi pada begonia. Informasi ini di harapkan dapat dijadikan sebagai acuan
untuk proses sterilisasi begonia, agar perbanyakan begonia dapat maksimal.

METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Esha Flora Bogor,
selama empat bulan dari bulan September 2013 sampai Desember 2013.
Bahan dan Alat
Bahan
a. Bahan Media
Media yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga media, yaitu :
media MS (Murashige dan Skoog) tanpa tambahan konsentrasi lainnya atau biasa
disebut dengan MS 0, MS 0 dengan tambahan antibiotik (streptomisin) 0,5
ml/liter, dan MS 0 dengan tambahan vitamin C 250 mg/liter dan arang aktif 5
g/liter. Media ini dibuat dalam bentuk padat dengan tambahan agar-agar dan gula
pasir.
b. Bahan Eksplan
Bahan eksplan yang digunakan adalah tumbuhan begonia polkadot
(Begonia maculata) bagian yang diambil ialah mata tunas dan tulang daun dari
tumbuhan tersebut.
c. Bahan Sterilisasi
Bahan sterilisasi yang digunakan adalah alkohol 70%, HgCl2 5%, 10%,
15%, 20%, bayclin, detergen, fungisida, antibiotik, betadin, dan air steril.

3
Alat-alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi botol kultur,
aluminium foil, cawan petri, pembakar spiritus, scalpel, pinset, gelas piala, pipet
tetes, Ph meter, autoklaf, neraca analitik, laminar air flow, plastik, sprayer, karet,
dan ruang kultur.
Jenis Data
Data yang diamati dalam penelitian meliputi kecepatan kontaminasi
terhadap eksplan, jumlah eksplan yang hidup, jumlah kontaminan, jumlah sumber
kontaminan, dan jumlah eksplan browning.
Pelaksanaan Penelitian
Sterilisasi
a. Sterilisasi Lingkungan Kerja
Sebelum digunakan, laminar air flow harus disterilkan dengan
menggunakan sprayer berisi alkohol 70%. Setelah laminar air flow disemprot,
kemudian dibiarkan sekita 10 menit.
b. Sterilisasi Alat dan Media Kultur
Alat-alat yang digunakan untuk kultur jaringan, dicuci bersih kemudian di
bungkus dengan koran, kemudian dimasukan ke dalam autoklaf dengan suhu
121oC dengan tekanan 17,5-20,0 psi selama 45-60 menit. Botol yang telah diisi
media juga disterilkan dengan suhu dan tekanan yang sama, tetapi dengan waktu
yang lebih singkat sekitar 20-30 menit.
c. Sterilisasi Air
Air yang digunakan berasal dari ledeng, kemudian diendapkan terlebih
dahulu. Endapan dari air ini tidak dimasukan ke dalam botol. Air dimasukan
kedalam botol kultur kosong. Setelah itu disterilkan menggunakan autoklaf
dengan suhu 121oC dengan tekanan 17,5-20,0 psi selama 30-40 menit.
d. Sterilisasi Eksplan
Pada penelitian pendahuluan strerilisasi eksplan hanya menggunakan tunas
batang. Eksplan yang telah di cuci air bersih dipotong sekitar 2 cm kemudian di
masukan ke dalam detergen dengan konsentrasi 1 gr/100 mlair selama 10 menit.
Eksplan kemudian dibilas hingga bersih kemudian dimasukan kedalam larutan
fungisida dengan konsentrasi 1 gr/100 ml air dan dikocok selama 15 menit.
Kemudian eksplan dibagi menjadi dua perlakuan, satu perlakuan tanpa
perendaman antibiotik dan satu lagi menggunakan perendaman antibiotik selama
24 jam. Perendaman antibiotik dilakukan di luar laminar dengan memasukan
eksplan dalam botol tertutup yang telah diberi antibiotik (streptomisin) 0,5 ml/liter.
Sterilisasi selanjutnya dilakukan dalam laminar air flow
dengan
menggunakan 4 variabel berbeda, pertama tanpa penggunaan HgCl2 selanjutnya
menggunakan HgCl2 dengan konsentrasi 5%, 10%, dan 15%. Kemudian dibilas
dengan air steril selama 3 menit. Eksplan kemudian dimasukkan ke dalam larutan
bayclin 15% selama 7 menit, setelah itu kedalam larutan bayclin 10%, setelah itu
kedalam larutan bayclin 5%, terakhir dibilas dengan air steril selama 3 menit
dibilas hingga 3 kali.

4
Pada penelitian lanjutan, sterilisasi pada eksplan dilakukan dengan mencuci
eksplan yang telah di potong menggunakan detergen dengan konsentrasi 1 gr/100
ml selama 10 menit. Kemudian dibilas hingga bersih. Eksplan kemudian
dimasukan kedalam larutan fungisida dengan konsentrasi 1 gr/100 ml dan dikocok
selama 15 menit, bilas dengan air bersih selama 1 menit. Kemudian eksplan
direndam dengan antibiotik selama satu jam.
Sterilisasi selanjutnya dilakukan dalam laminar air flow dengan
menggunakan HgCl2 dengan 4 variabel berbeda, yang pertama tanpa
menggunakan HgCl2 selanjutnya menggunakan HgCl2 dengan konsentrasi 10%,
15%, dan 20%. Kemudian dibilas dengan air steril selama 3 menit. Eksplan
kemudian dimasukkan kedalam larutan bayclin 10% selama 7 menit, setelah itu
kedalam larutan bayclin 7%, setelah itu kedalam larutan bayclin 5%, terakhir
dibilas dengan air steril selama 3 menit dibilas hingga 3 kali.
Pembuatan Media
Media yang digunakan ialah media MS 0 (Murashige dan Skoog), MS 0
ditambah antubiotik 0,5 ml/liter dan MS 0 ditambah arang aktif dan vitamin C.
Langkah awal pembuatan media MS 0 dengan membuat larutan induk (stok) yang
terdiri dari larutan induk makro, larutan induk mikro, lautan vitamin, dan larutan
induk Fe-EDTA.
Tahapan pembuatannya ialah sebagai berikut :
1. Menyiapkan ai 500 ml dalam gelas piala volume 1000 ml
2. Menambahkan larutan stok ke dalam gelas piala. Terdiri dari larutan A
sebanyak 20 ml, larutan B sebanyak 20 ml, larutan C sebanyak 5 ml, larutan D
sebanyak 5 ml, larutan E sebanyak 5 ml, larutan F sebanyak 5 ml, vitamin
sebanyak 5 ml, dan Myo-inositol sebanyak 10 ml.
3. Menimbang dan memasukkan 30 gram gula pasir.
4. Menambah larutan hingga mendekati 1000 ml. Kemudian di ukur ph hingga
kisaran 5,8-6,0 bila terlalu asam dtambahkan NaOH dan bila terlalu basa
ditambah HCl.
5. Menimbang dan memasukkan agar-agar sebanyak 7 gram, lalu dipanaskan
sambil diaduk.
6. Menuangan media ke dalam botol sebanyak kurang lebih 10 ml, kemudian
tutup dengan plastik.
7. Tahap terakhir ialah mensterilkan media dalam autoklaf dengan suhu 121o C,
tekanan 17,5-20,0 psi selama 20 menit. Lalu media didinginkan dan disimpan
minimal 3 hari untuk mengetahui ada tidaknya kontaminasi.
Sedangkan untuk MS 0 yang diberi tambahan antibiotik, pada saat
pencampuran larutan di tambahkan antibiotik, untuk MS 0 dengan tambahan
arang aktif dan vitamin C, cukup ditambahkan pada saat pencampuran media.
Penanaman
Penanaman eksplan dilakukan dalam laminar air flow. Eksplan yang
sudah disterilisasi, dipindahkan kedalam cawan petri. Cawan petri harus telah
steril dan di dalamnya sudah dicampur betadin. Kemudian batang atau daun
kurang lebih 1 cm di potong bagian yang menghitam. Setelah itu di masukkan ke
dalam media tanam. Penanaman dilakukan secara bertahap, karena banyaknya
eksplan yang di tanam. Setiap variabel perlakuan menggunakan 30 sampel.

5
Pengamatan
Pengamatan pada eksplan dilakukan setiap hari pada minggu pertama
setelah penanaman, kemudian satu kali pada minggu selanjutnya. Pengamatan
dilakukan pada seluruh eksplan yang ditanam dalam satuan perlakuan meliputi :
a. Kecepatan kontaminasi terhadap eksplan
b. Jumlah eksplan yang hidup dalam persentase
c. Jumlah kontaminan (cendawan dan bakteri) dalam persentase
d. Jumlah sumber kontaminan (eksplan atau media) dalam persentase
e. Jumlah eksplan browning dalam persentase
Analisis Data
Penelitian dilakukan secara bertahap dan bersifat ekplorasi. Oleh karena
itu, analisa data dilakukan dalam dua cara yaitu kualitatif dan kuantitattif. Analisa
data secara kualitatif yaitu dengan deskriptif. Sedangkan secara kuantitatif, data
dianalisa dengan tabel dan grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Pendahuluan
Begonia memiliki ciri-ciri berupa terna tegak, semak atau menjalar, batang
berair, daun tersebar, gagang daun jelas, mempunyai daun pelindung yang mudah
luruh dan helaian daun tidak simetris yang disebut begonifolia (Hartutiningsih dan
Siregar 2008). Batang berair inilah yang menyebabkan sulitnya sterilisasi pada
begonia polkadot ditambah lagi perbanyakan begonia lebih banyak dilakukan
konvensional sehingga belum adanya standar khusus untuk menentukan proses
sterilisasi begonia.
Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) sterilisasi eksplan dapat
dilaksanakan dengan dua cara, yaitu secara mekanik dan secara kimia. Sterilisasi
eksplan secara mekanik digunakan untuk eksplan yang keras atau berdaging yaitu
dengan membakar eksplan tersebut di atas lampu spiritus sebanyak tiga kali.
Sedangkan sterilisasi eksplan secara kimia digunakan untuk eksplan yang lunak
(jaringan muda) seperti daun, tangkai daun, anther, dan sebagainya. Sedangkan
Sedangkan menurut Sandra (2003), prinsip dasar sterilisasi eksplan adalah
mensterilkan eksplan dari berbagai mikroorganisme, tetapi eksplannya tidak ikut
mati. Setiap tanaman memerlukan perlakuan khusus sehingga sebelum
mengkulturkan tanaman baru perlu melakukan percobaan sterilisasi. Gunawan
(1987) menyatakan bahwa sulit untuk menentukan suatu prosedur sterilisasi
standar yang berlaku untuk semua tanaman dan menentukan prosedur standar
yang dapat dipergunakan untuk satu spesies tanaman yang berasal dari tempat
yang berbeda. Setiap bahan tanaman harus ditentukan melalui percobaan
pendahuluan.
Pada penelitian awal dilakukan empat variabel penggunaan HgCl2 dan dua
variabel penggunaan antibiotik. Variabel tersebut ialah tanpa menggunakan HgCl2,
penggunaan dengan 5%, 10 % dan 15%. Sedangkan untuk antibiotik hanya
perendaman selama 24 jam atau tidak sama sekali. Penggunaan variabel ini

6

Persentase kontaminasi eksplan (%)

dilakukan untuk mengukur tingkat kontaminasi eksplan dengan HgCl2 dan
antibiotik.
Setelah diamati selama tiga minggu diperoleh hasil yang disajikan pada
Gambar 1. Gambar 1 menunjukan bahwa perendaman antibiotik pada eksplan
hanya terdapat sedikit perbedaan persentase kontaminan jika dibandingkan
dengan eksplan tanpa perendaman antibiotik.
100
90
80

Kontaminasi cendawan
tanpa perendaman
antibiotik

70
60

Kontaminasi cendawan
dengan perendaman
antibiotik selama 24 jam

50
40
30

Kontaminasi bakteri tanpa
perendaman antibiotik

20
10
0
Tanpa
HgCl2

5%
HgCl2

10 %
HgCl2

15 %
HgCl2

Kontaminasi bakteri
dengan perendaman
antibiotik

Konsentrasi penggunaan HgCl2

Gambar 1 Kontaminasi eksplan oleh mikroba pada minggu ketiga (%)
Gambar 1 menunjukan bahwa perendaman antibiotik pada eksplan hanya
terdapat sedikit perbedaan persentase kontaminan jika dibandingkan dengan
eksplan tanpa perendaman. Menurut Cantika (2006) antibiotik adalah antimikroba
yang diaplikasikan pada jaringan hidup atau secara sistemik membunuh atau
menghambat perumbuhan bakteri. Antibiotik pada kutur jaringan mempunyai sifat
toksik sehingga pada penelitian lanjutan hanya menggunakan perendaman selama
satu jam saja. Cukup tingginya tingkat kontaminasi oleh jamur diatas 45 % pada
minggu ketiga, sehingga pada penelitan lanjutan di tambahkan konsentrasi HgCl2
agar persentasi jamur dapat menurun, HgCl2 merupakan bahan kimia bersifat
keras dan beracun (Hendaryono dan Wijayani 1994) tetapi semakin tinggi
konsentrasinya semakin berkurang kontaminasi. Sehingga pada penelitian lanjutan
meskipun konsentrasi HgCl2 di naikan tetapi penggunaan konsentrasi bayclin
diturunkan.
Pengaruh Pemberian HgCl2
Pada penelitian ini digunakan tiga variabel pemberian HgCl2 sebesar 10 %,
15 %, dan 20 %, serta satu variabel untuk control. Keempat perlakuan tersebut
diujicobakan pada dua eksplan yang berbeda yaitu pada tulang daun dan mata
tunas. Pengamatan dilakukan setiap hari pada minggu pertama, kemudian minggu
berikutnya pengamatan setiap minggu sekali.
Eksplan yang digunakan pada penelitian lanjutan menggunakan eksplan
tulang daun dan mata tunas. Menurut Hartutiningsih dan Siregar (2005) jenis cane

7
like begonia lebih cocok dengan perbanyakan stek pucuk, batang, daun dan biji.
Dalam penelitian lanjutan ini ditambahkan eksplan tulang daun agar bisa
membandingkan mana yang lebih mudah untuk dikembangkan. Menurut
Gunawan (1987), ukuran eksplan turut mempengaruhi keberhasilan dari suatu
teknik kultur jaringan. Oleh karena itu ukuran eksplan pada penelitian sama tetapi
eksplan mata tunas tentu memiliki ketebalan lebih tinggi dibanding dengan
eksplan tulang daun.

Persentase kontaminasi cendawan (%)

Pengaruh Pemberian HgCl2 terhadap Kontaminasi dan Browning
Berdasarkan hasil pengamatan, kemunculan kontaminan pertama kali
terlihat pada hari kedua pada eksplan tulang daun tanpa pemberian HgCl 2 sebesar
3 % untuk jenis kontaminan bakteri dan cendawan. Pada hari ketujuh eksplan
sudah cukup banyak terkontaminasi sebesar 30-70 %. Perlakuan yang memiliki
tingkat kontaminasi terbesar pada eksplan mata tunas tanpa pemberian HgCl2 dan
pada eksplan dan tulang daun dengan pemberian HgCl2 sebesasar 10 % (Gambar
2).
Menurut Darmono (2003) respon kontaminasi internal yang agak lama
disebabkan oleh mikroorganisme yang terdapat dalam ruang antar sel memerlukan
waktu untuk keluar dari dalam ruang antar sel. Setelah keluar, mikroorganisme
akan menginfeksi semua bagian eksplan. Persentase kontaminan yang tinggi pada
awal pengamatan menandakan bahan sterilan kurang kuat, sehingga cendawan
masih hidup pada eksplan.
80
70
60

Tulang daun, HgCl2 0 %

50

Tulang daun, HgCl2 10 %
Tulang daun, HgCl2 15 %

40

Tulang daun, HgCl2 20 %
30
Mata tunas, HgCl2 0 %
20

Mata tunas, HgCl2 10 %

10

Mata tunas, HgCl2 15 %

0

Mata tunas, HgCl2 20 %
H+1

H+2

H+3

H+4

H+5

H+6

H+7

Pengamatan pada eksplan selama seminggu

Gambar 2 Grafik kecepatan kontaminasi cendawan selama seminggu pengamatan
Pada Gambar 2 terlihat bahwa pada hari ketujuh tidak menunjukan
peningkatan yang berarti, sedangkan pada hari ketiga dan keempat kontaminasi
menunjukan laju yang cukup tinggi. Menurut Santoso dan Nursandi (2002) bahwa
kontaminasi secara bertahap tersebut membuktikan sumber kontaminan tidak
hanya berada pada bagian permukaan eksplan saja tetapi juga berada pada bagian
dalam eksplan. Biasanya sumber kontaminan yang hanya berada pada bagian

8
permukaan saja respon kontaminasi sangat cepat, dalam tempo 2 x 24 jam sudah
bisa nampak. Tetapi bila bersifat internal respon muncul setelah beberapa hari
bahkan kadang bisa sampai 1 bulan. Dari Gambar 2 terlihat bahwa penggunaan
HgCl2 15 % dan 20 % memiliki kemampuan yang cukup baik dalam mencegah
kontaminasi yang berasal dari luar eksplan.
Biasanya sumber kontaminan yang hanya berada pada bagian permukaan
saja respon kontaminasi sangat cepat, dalam tempo 2 x 24 jam sudah bisa nampak.
Tetapi bila bersifat internal respon muncul setelah beberapa hari bahkan kadang
bisa sampai 1 bulan. Kontaminan berupa cendawan yang muncul pada eksplan
akan terlihat seperti Gambar 3, sedangkan kontaminan berupa bakteri akan terlihat
seperti Gambar 4. Kontaminasi oleh bakteri pada minggu pertama cenderung lebih
sedikit disbanding kontaminasi oleh cendawan.

Gambar 3 Kontaminasi eksplan oleh cendawan

Gambar 4 Kontaminasi eksplan oleh bakteri
Kontaminasi oleh cendawan yang terjadi pada minggu kedelapan untuk
eksplan tulang daun paling sedikit pada penggunaan HgCl2 15 % sebesar 37 %
sedangkan untuk eksplan mata tunas paling sedikit pada penggunaan HgCl2 15%
dan 20 % sebesar 60 %. Kontaminasi oleh bakteri (Gambar 4) pada minggu
kedelapan untuk eksplan tulang daun paling sedikit pada penggunaan HgCl2 15 %
dan 20 % sebesar 13 % sedangkan untuk eksplan mata tunas paling sedikit pada
penggunaan HgCl2 20 % sebesar 27 %. Sumber kontaminan terbesar berasal dari
eksplan dari 37-93 % sedangkan sumber kontaminan dari media hanya sebesar 07 %. Eksplan tulang daun pada minggu ke delapan browning paling tinggi pada
pemberian HgCl2 15 % dan HgCl2 20 % sebesar 23 %. Pada eksplan mata tunas
browning paling tinggi pada pemberian HgCl2 10 % dan 20 % sebesar 30 %.
Dari hasil pengamatan terlihat bahwa untuk mendapatkan hasil terbaik
perlakuan yang dilakukan ialah dengan penggunaan HgCl2 sebesar 15 %, baik
untuk pada eksplan tulang daun maupun mata tunas (Tabel 1). Hal ini terlihat dari

9
sedikitnya cendawan, bakteri, maupun browning yang sedikit pada eksplan tulang
daun. Pada eksplan mata tunas, meskipun kontaminasi oleh bakteri lebih banyak
terjadi pada perlakuan menggunakan HgCl2 15 %, tetapi sumber kontaminasi yang
berasal dari eksplan dan eksplan browning lebih sedikit dibanding penggunaan
HgCl2 20%.
Tabel 1 Persentase browning dan kontaminasi selama 8 minggu (%)
Eksplan dan
Perlakuan
Tulang daun,
HgCl2 0 %
Tulang daun,
HgCl2 10 %
Tulang daun,
HgCl2 15 %
Tulang daun,
HgCl2 20 %
Mata tunas,
HgCl2 0 %
Mata tunas,
HgCl2 10 %
Mata tunas,
HgCl2 15 %
Mata tunas,
HgCl2 20 %

Cendawan

Bakteri

Browning

Sumber
kontaminasi
dari eksplan

Sumber
kontaminasi
dari media

50

33

13

63

0

77

27

0

70

7

37

13

23

37

3

47

13

23

50

3

77

27

27

93

0

67

43

30

83

0

60

37

27

67

7

60

27

30

73

0

Pengaruh Pemberian HgCl2 terhadap Kelangsungan Hidup Eksplan
Penggunaan zat kimia pada sterilisasi eksplan merupakan salah satu cara
untuk mencegah terjadinya kontaminasi, tetapi zat tersebut belum tentu aman
untuk eksplan oleh sebab itu penggunaannya hendaknya dapat mendapatkan
tingkat kontaminasi sekecil mungkin dengan mempertahankan kehidupan eksplan.
Darmono (2003) menyebutkan bahwa penggunaan konsentrasi antibiotik yang
tinggi dapat mengakibatkan efek fitotoksik pada tanaman. Pada prinsipnya
penggunaan bahan sterilan diharapkan dapat mematikan sumber kontaminan
tetapi tidak menyebabkan eksplan mati.
Dari hasil pengamatan selama delapan minggu, untuk eksplan tulang daun
penggunaan HgCl2 15 % memiliki persentase hidup yang tinggi (Tabel 2), selain
itu bukan hanya hidup saja tetapi bebas dari kontaminasi dan browning. Untuk
eksplan mata tunas, meskipun persentase kehidupan eksplan memiliki persentase
yang sama, tetapi pada penggunaan HgCl2 15 % memiliki persentase hidup dan
terbebas dari kontaminasi serta browning yang lebih tinggi di banding
penggunaan HgCl2 20 %. Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) HgCl2
merupakan bahan kimia yang bersifat keras dan beracun, sehingga
penggunaannya tidak boleh terlalu banyak agar tidak mematikan bagi eksplan,
apabila terlalu lama akan menyebabkan kerusakan pada eksplan.
Pertumbuhan mata tunas pada eksplan terjadi pada minggu keempat. Satu
individu tumbuh daun pada penggunaan HgCl2 10 %, dua individu tumbuh daun
pada penggunaan HgCl2 15 %, dua individu tumbuh daun dan satu individu

10
tumbuh akar pada penggunaan HgCl2 20%. Pada perlakuan dengan HgCl2 15 %
juga tumbuh kalus pada minggu kedelapan.
Tabel 2 Persentase kelangsungan hidup eksplan dan penyebab kematiannya
Eksplan dan
Perlakuan
Tulang daun,
HgCl2 0 %
Tulang daun,
HgCl2 10 %
Tulang daun,
HgCl2 15 %
Tulang daun,
HgCl2 20 %
Mata tunas,
HgCl2 0 %
Mata tunas,
HgCl2 10 %
Mata tunas,
HgCl2 15 %
Mata tunas,
HgCl2 20 %

Hidup

Hidup tidak
kontaminasi &
browning

Mati karena
browning

Mati karena
kontaminasi

47

27

0

53

27

23

0

73

63

40

0

37

57

33

0

43

7

0

7

87

17

7

7

77

20

13

10

70

20

10

20

57

Pengaruh Jenis Media
Media pada kultur jaringan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi
kontaminasi dan browning pada eksplan (Gambar 5). Selain itu komposisi media
juga dapat menentukan keberlangsungan hidup eksplan. Pada penelitian kali ini
digunakan media MS0, MS0 ditambahkan arang aktif serta vitamin C, dan yang
ketiga media MS0 dengan tambahan antibiotik 0,5 ml. Pada setiap perlakuan
dilakukan pengulangan sebanyak 40 kali.

Gambar 5 Eksplan yang mengalami browning
Pengaruh Jenis media terhadap Kontaminasi dan Browning
Penggunaan media MS0 telah dikenal secara umum sebagai media kultur
jaringan secara umum. Penambahan arang aktif dan vitamin C diharapkan dapat
mengurangi kasus browning, sedangkan pemberian antibiotik untuk menghambat

11

Persentase kontaminasi cendawan (%)

jumlah kontaminasi. Browning (gambar 6) terjadi umumnya pada tanaman yang
sudah tua, karena pada tanaman yang sudah tua dapat mengeluarkan larutan fenol
yang akan bereaksi dengan oksigen sehingga membentuk larutan berwarna coklat
yang disebut quinon (Sandra 2003).
Penanggulangan perubahan ini dalam praktek seringkali dilakukan melalui
pra-perlakuan terhadap eksplan, antara lain dengan cara merendam dan prakondisi pada media dasar. Penambahan arang aktif ke dalam media seringkali
dapat menghindari pembentukan inhibitor fenolat (Hutami 2006).
Berdasarkan hasil pengamatan selama seminggu terhadap kontaminasi
oleh cendawan, terlihat pemberian antibiotik mengurangi laju pertumbuhan
cendawan. Meskipun untuk eksplan mata tunas pada hari ketujuh persentase
cendawan untuk media MS0 dan MS0 ditambah antibiotik memiliki persentase
yang sama tetapi pada pemberian antibiotik untuk eksplan tulang daun memiliki
persentase yang lebih kecil terkena kontaminasi cendawan.
70
Tulang daun, MS0

60
50

Tulang
daun, MS0+Arang+Vit C

40

Tulang
daun, MS0+antibiotik

30

Mata tunas, MS0

20
10

Mata
tunas, MS0+Arang+Vit C

0
H+1

H+2

H+3

H+4

H+5

H+6

H+7

Mata
tunas, MS0+antibiotik

Pengamatan selama satu minggu

Gambar 6 Grafik kecepatan kontaminasi cendawan selama seminggu pengamatan
Sedangkan untuk media yang diberi tambahan arang aktif dan vitamin C
memiliki kontaminasi terhadap cendawan yang cukup tinggi. Hasil pengamatan
selama delapan minggu didapatkan hasil bahwa tingkat kontaminasi untuk
eksplan tulang daun paling kecil persentasenya terdapat pada media dengan
tambahan antibiotik. Pemberian antibiotik sebesar 0,5 ml/liter sudah cukup tepat
terlihat dari persentase browning yang sama pada media MS0 saja. Dari hasil
pengamatan juga diperoleh hasil bahwa seluruh sumber kontaminasi pada media
MS0 dengan tambahan antibiotik sumber kontaminasinya berasal dari eksplan
sebagaimana tersaji pada Tabel 3.
Berdasarkan Tabel 3, menunjukan hasil untuk eksplan mata tunas diperoleh
hasil tidak jauh berbeda dengan eksplan tulang daun. Meskipun persentase
kontaminasi cendawan lebih besar, tetapi jika memiliki persentase kontam akibat
bakteri yang kecil, jika dilihat dari sumber kontaminasinya terlihat bahwa untuk
MS0 yang diberi tambahan antibiotik ataupun tidak memiliki persentase yang

12
sama pada sumber kontaminasi dari eksplan, tetapi pada pemberian antibiotik
tidak ditemukan kontaminasi yang berasal dari media. Penggunaan arang aktif dan
vitamin C mengurangi browning pada eksplan, berkurangnya browning
kemungkinan karena hilanganya senyawa fenol oleh arang aktif. Pendekatan yang
sering dilakukan untuk menanggulangi masalah browning dapat dilakukan dengan
menghilangkan fenol, memodifikasi potensi redoks, penghambatan aktivasi enzim
fenol oksidase dan penurunan aktivitas fenolase dan ketersediaan substrat
(George dan Serrington 1984).
Tabel 3 Persentase jenis media terhadap kontaminasi dan browning
Sumber
Sumber
Eksplan dan Media cendawan bakteri browning kontaminasi kontaminasi
dari eksplan dari media
Tulang daun, MS0
55
23
18
55
5
Tulang daun,
55
20
10
58
5
MS0+Arang+Vit C
Tulang daun,
48
23
18
53
0
MS0+antibiotik
Mata tunas, MS0
58
35
33
78
3
Mata tunas,
73
33
25
83
3
MS0+Arang+Vit C
Mata tunas,
68
33
28
78
0
MS0+antibiotik
Pengaruh Jenis Media terhadap Kelangsungan Hidup Eksplan
Antibiotik dapat menghambat pertumbuhan cendawan dan bakteri, tetapi
disisi lain dapat mengakibatkan eksplan rusak oleh karena itu penggunaannya
tidak bisa terlalu banyak. Pada eksplan tulang daun tidak ditemukan eksplan mati
karena browning. Dari hasil pengamatan juga terlihat jumlah persentase eksplan
yang hidup tidak terkontaminasi dan tidak browning pada media dengan tambahan
antibiotik memiliki persentase terbesar sebagaimana tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Persentase kelangsungan hidup eksplan dan penyebab kematiannya
Eksplan dan
Hidup
Hidup tidak
Mati karena Mati karena
Perlakuan
kontaminasi
browning
kontaminasi
& browning
Tulang daun, MS0
48
28
0
53
Tulang daun,
MS0+Arang+Vit C
Tulang daun,
MS0+antibiotik
Mata tunas, MS0

43

30

0

58

55

35

0

45

25

15

8

68

Mata tunas,
MS0+Arang+Vit C
Mata tunas,
MS0+antibiotik

8

3

13

78

15

5

13

73

13

Pada eksplan mata tunas meskipun jumlah yang mati karena kontam lebih
tinggi tetapi persentase untuk eksplan yang hidup tidak kontam dan tidak
browning lebih tinggi pada media dengan tambahan antibiotik. Penggunaan arang
aktif dan vitamin C pada media tidak menambah persentase hidup eksplan. Prinsip
dasar kultur jaringan adalah totipotensi cell yaitu di dalam tubuh multiseluler,
setiap sel memiliki potensi genetic seperti zigotnya yang mampu memperbanyak
diri dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (George dan Sherrungton 1984).
Tabel 4 menunjukan bahwa kelangsungan hidup paling tinggi ialah pada
media MS0 dengan eksplan tulang daun sebesar 48 %, tetapi dalam hal
pertumbuhan akar dan daun lebih cepat tumbuh pada ekplan mata tunas (Gambar
7). Keberhasilan dalam teknik kultur jaringan ditentukan oleh komposisi hara
yang tepat. Media Murashige dan Skoog (MS) adalah media yang paling banyak
di gunakan untuk kultur jaringan, media ini mengandung garam-garam mineral
dalam konsentrasi tinggi (Gamborg dan Shyluk 1981).

Gambar 7 Eksplan pada minggu kedelapan telah nampak daun dan akar

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.
2.

3.
4.

5.

Proses sterilisasi yang baik meliputi sterilisasi lingkungan kerja, sterilisasi
alat dan media kultur, sterilisasi air dan sterilisasi eksplan.
Penggunaan HgCl2 pada konsentrasi 15 % merupakan konsentrasi yang
baik. Hal ini terlihat dari sedikitnya jumlah eksplan kontaminasi atau
browning.
Penggunaan antibiotik pada media tanam mengurangi persentase cendawan
pada eksplan.
Penambahan arang aktif dan vitamin C memberikan pengaruh yang cukup
baik terhadap pengurangan browning. Hal ini terlihat dari persentase
browning yang lebih kecil dibandingkan media lainnya.
Penggunaan eksplan tulang daun memiliki persentase yang lebih rendah baik
dalam persentase browning maupun kontaminasi dibanding dengan eksplan
mata tunas.

14
Saran
Berdasarkan hasil penelitian eksplan tulang daun memiliki persentase
kontaminasi dan browning yang rendah, tetapi pertumbuhannya tidak secepat
eksplan mata tunas sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai
pengaruh auksin dan sitokinin pada eksplan tulang daun guna mempercepat
pertumbuhan eksplan. Perlu diadakan penyelamatan pada eksplan jika terdapat
kontaminasi atau browning sehingga tanaman dapat di selamatkan.
DAFTAR PUSTAKA

Cantika. 2006. Pengaruh jenis dan konsentrasi antibiotic terhadap kontaminasi
dan perkembangan eksplan Heliconia psittacorum L.f cv. Lady Di
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Catteral E. 1991. Begonias : The Complete Guide. The Crowood Press. Great
Britain.
Darmono DW. 2003. Menghasilkan Anggrek Silangan. Jakarta (ID) : Penebar
Swadaya.
Gamborg OL, Shyluk JK. 1981. Nutrition, media and characteristic of Plant Cell
and Tissue Culture. New York (US): Academic Pr.
George EF, Sherrington PD. 1984. Plant propagation by tissue culture. Di dalam :
Handbook and Directory of Commercial Laboratories. England (GB):
Exegetics Ltd.
Gunawan LW. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Laboratorium Kultur
Jaringan Tanaman Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB – Lembaga
Sumberdaya Informasi IPB.
Hartuningsih, Siregar M. 2005. Begonia Kebun Raya Bali. Kebun Raya Eka
Karya Bali – LIPI. Bali.
Hartutiningsih, Siregar M. 2005. Adaptasi Jenis-jenis Begonia Alam di Kebun
Raya “Eka Karya” Bali. Laporan. Kebun Raya Eka Karya Bali – LIPI.
Bali.
Hartuningsih, Siregar M. 2008. Mengenal dan merawat begonia. Jakarta (ID) : PT
Agromedia Pustaka.
Hendaryono DPS, Wijayani A. 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan
Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Modern. Yogyakarta
(ID) : Kanisius.
Hutami S. 2006. Penggunaan arang aktif dalam kultur in vitro. Berita Biologi 8
(1) : 83-89.
Kiew R. 2005. Begonias of Peninsular Malaysia. Natural History Publications
(Borneo). Singapore
Sandra E. 2003. Kultur Jaringan Anggrek Skala Rumah Tangga. Jakarta (ID) :
Agro Media Pustaka.
Santoso U, Nursandi F. 2002. Kultur Jaringan Tanaman. Malang (ID): Universitas
Muhammadiyah Malang Press.

15
Lampiran 1 Komposisi media Murashige dan Skoog
Bahan Kimia
Konsentrasi dalam media (mg/l)
Makro nutrien
Nh4NO3
1.650,000
KNO3
1.900,000
CaCl2. H2O
440,000
MgSO4. 7H2O
370,000
KH2PO4
170,000
Iron
Na2EDTA
37,000
FeSO4.7H2O
27,000
Mikro Nutrien
MnSO4.4H2O
23,300
ZnSO4.7H2O
8,600
H3BO3
6,200
KI
0,830
NaMoO4. 2H2O
0,250
CuSO4.2H2O
0,025
0,025
Co2Cl.6H2O
Vitamin
Glycine
2,000
Nicotine Acid
0,500
Pyrodoxin HCl
0,500
Thyamine HCl
0,100
Myo-inositol
100,000
Sukrosa
30.000,000
Agar
7.000,000

16

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 10 Februari 1990.
Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Yohanes Suharto dan Kasmini.
Penulis mempunyai seorang kakak yang bernama Aviantoro Hardiyanto.
Jenjang pendidikan formal dimulai tahun 1994 di TK Tunas Muda selama
2 tahun. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan dasar di SD Angkasa 1
selama 6 tahun. Tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 6 Bogor.
Pendidikan sekolah menengah atas diselesaikan oleh penulis pada tahun 2008 di
SMAN 5 Bogor. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan
IPB.
Selama menjadi mahasiswa S1 penulis mengikuti organisasi International
Forestry Students Association (IFSA) LC IPB dan HIMAKOVA IPB. Pada saat
aktif di HIMAKOVA penulis tergabung dalam Kelompok Pemerhati Flora (KPF)
Rafflesia. Penulis juga turut ikut serta dalam kegiatan ekspedisi RAFFLESIA dan
SURILI pada tahun 2010 dan 2011.