Optimalisasi Integrasi Usahatani Tanaman-Ternak Di Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor

OPTIMALISASI INTEGRASI USAHATANI TANAMANTERNAK DI DESA PETIR, KECAMATAN DRAMAGA,
KABUPATEN BOGOR

SABILA MUMTAZ KHANDARI

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Optimalisasi Integrasi
Usahatani Tanaman-Ternak di Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015
Sabila Mumtaz Khandari
NIM H351140436

RINGKASAN
SABILA MUMTAZ KHANDARI. Optimalisasi Integrasi Usahatani TanamanTernak di Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh
AMZUL RIFIN dan SITI JAHROH.
Pembangunan pertanian di wilayah dengan skala usaha yang relatif kecil
perlu memperhatikan teknologi yang tepat. Mekanisasi belum bisa diterapkan
pada wilayah dengan karakteristik seperti itu, integrasi usahatani merupakan salah
satu solusi yang dapat diterapkan. Konsep integrasi usahatani sendiri adalah
dengan melakukan dua atau beberapa cabang usahatani dan ada keterkaitan antar
cabang usahatani yang terlibat. Output dari salah satu cabang usahatani yang satu
menjadi input bagi cabang usahatani lainnya, begitu pun sebaliknya.
Desa Petir merupakan salah satu desa yang terdapat keberagaman jenis
usahatani yang diterapkan. Terdapat petani yang melakukan satu jenis usahatani
ataupun melibatkan dua atau lebih cabang usahatani. Di antara keragaman yang
ada, terdapat beberapa petani yang sudah melibatkan dua cabang usahatani
terutama tanaman dan ternak ruminansia kecil. Selain itu, Desa Petir telah menjadi
salah satu desa sebagai lokasi pengembangan kerjasama antara Tokyo University

of Agriculture (TUA) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak tahun 2010.
Adanya pengusahaan dua cabang usahatani tanaman dan ternak di lokasi
penelitian dapat melibatkan keduanya sesuai dengan konsep integrasi usahatani.
Pada dasarnya, penerapan integrasi usahatani harus melibatkan cabang usahatani
yang satu sebagai input cabang usahatani lainnya, dan melakukan pengolahan
limbah. Aktivitas produksi tanaman akan menghasilkan limbah berupa dedaunan
atau jerami, sedangkan aktivitas produksi ternak akan menghasilkan limbah
berupa kotoran ternak. Limbah dari tanaman dapat difermentasi dan digunakan
sebagai alternatif pakan sebagai persediaan pakan di musim kemarau. Sedangkan
limbah kotoran ternak dapat digunakan sebagai pupuk organik yang dapat
mengurangi dampak degradasi lahan.
Keberhasilan integrasi usahatani tanaman-ternak sangat tergantung pada
ketersediaan sumberdaya yang dimiliki. Karakteristik skala usahatani yang relatif
kecil mengindikasikan adanya keterbatasan sumberdaya yang dimiliki petani.
Umumnya petani di Desa Petir hanya memiliki lahan di bawah 0.5 hektar.
Kemudian, tenaga kerja yang bekerja di pertanian merupakan kepala keluarga
dengan sesekali memperoleh bantuan dari anggota keluarganya. Selain itu,
pendapatan dari pertanian cenderung tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga.
Hal ini tentunya akan berdampak pada keberlanjutan usahatani di Desa Petir.
Keputusan penerapan integrasi usahatani tanaman-ternak sangat tergantung

terhadap pendapatan yang diperoleh. Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki
petani akan membatasi alokasi sumberdaya guna memperoleh pendapatan yang
optimal. Pendekatan model dilakukan terkait keputusan petani dalam
pengalokasian sumberdaya secara optimal. Dalam penelitian ini dibangun dua
buah model untuk membandingkan kondisi yang tidak terintegrasi dengan kondisi
terintegrasi.
Berdasarkan analisis model yang dibangun, untuk memperoleh hasil yang
optimal pada kondisi integrasi (M2) maka jenis tanaman yang diusahakan di
antaranya tanaman padi, bengkuang, kacang panjang, dan singkong. Pada model

integrasi (M2) pemanfaatan lahan yang dianjurkan bulan Januari digunakan untuk
menanam bengkuang seluas 1 541 m2, singkong seluas 806 m2, dan padi hanya
seluas 113 m2. Selanjutnya sejak bulan Mei hingga Agustus, dianjurkan untuk
menanam padi pada 1 654 m2 yang dapat dipanen pada bulan Agustus. Kemudian,
sejak bulan September hingga Desember dianjurkan menanam bengkuang pada 2
406 m2. Sementara sisa lahannya seluas 54 m2 dapat dimanfaatkan untuk
menanam kacang panjang sejak Oktober yang dapat dipanen sekitar pertengahan
bulan November hingga Desember. Selain itu, jenis ternak yang dianjurkan untuk
diusahakan adalah domba pada setiap musim sesuai dengan kapasitas kandang.
Penerapan model integrasi (M2) di lokasi penelitian memberikan

pendapatan yang lebih tinggi sebesar 12.73 persen dibandingkan dengan model
tidak integrasi (M1). Kondisi ini disebabkan adanya kombinasi jenis usahatani
yang diusahakan, serta pengaruh penggunaan silase pada ternak di musim
kemarau yang berdampak positif terhadap penerimaan usahaternak petani. Dalam
penelitian ini, diasumsikan penggunaan silase pada ternak dapat berdampak pada
peningkatan bobot jual domba yang dihasilkan.
Ditinjau dari sisi sensitivitas, model tanpa integrasi lebih sensitif terhadap
perubahan harga jual produk tanaman. Sedangkan pada model integrasi lebih
sensitif terhadap harga jual produk ternak. Di samping itu, berdasarkan analisis
sensitivitas dengan meninjau perubahan dari sisi sumberdaya, terhadap perbedaan
nilai peningkatan maksimal dari kapasitas kandang yang dimiliki pada model
integrasi. Pada musim penggemukan pertama (dominasi musim kemarau) sebesar
1.31 ekor, dan pada musim penggemukan kedua (dominasi musim hujan) sebesar
6.59 ekor. Nilai tersebut lebih sensitif dibandingkan model tidak integrasi, yaitu
sebesar 8.69 ekor pada kedua musim.
Di lokasi terdapat beberapa jenis tanaman yang rutin ditanam, maka
dibangun dua skenario untuk mengakomodir kondisi tersebut, khususnya pada
model integrasi. Pada skenario pertama (Skenario 1), tanpa adanya keterlibatan
padi dan singkong dalam model integrasi, maka jenis tanaman yang diusahakan
adalah diverisifikasi antara bengkuang seluas 2 362 m2 dan kacang panjang seluas

98 m2, serta mengusahakan domba pada setiap musim sesuai kapasitas kandang
yang dimiliki. Penerapan Skenario 1 memperoleh pendapatan lebih tinggi sebesar
10.81 persen dibandingkan model tanpa integrasi. Sedangkan skenario kedua
(Skenario 2) dengan keharusan ubi jalar ditanam pada musim pertama dan tanpa
melibatkan padi dan singkong, diperoleh bahwa jenis usaha yang diusahakan
adalah ubi jalar dan bengkuang dengan pola tanam ubi jalar-bengkuangbengkuang, serta mengusahakan domba pada setiap musim sesuai kapasitas
kandang yang dimiliki. Penerapan skenario kedua (S2) memperoleh pendapatan
lebih tinggi sebesar 8.04 persen dibandingkan model tanpa integrasi.
Kata kunci: integrasi tanaman-ternak, model optimalisasi, pendapatan petani,
program linear

SUMMARY
SABILA MUMTAZ KHANDARI. Optimalization of Integrated Farming of
Crops-Livestock at Petir Village, Dramaga Sub-district, Bogor District.
Supervised by AMZUL RIFIN and SITI JAHROH.
Agricultural development in the region with a relatively small-scale
business needs to take the appropriate technology. Mechanization can not be
applied in areas with such characteristics, those the integrated farming is one
solution that can be applied. The concept of the integrated farming itself is doing
two or more farm businesses which are linkages between one farm business and

other farm businesses involved. The output of a farm business becomes the input
for other farm businesses.
Petir village is one of the villages in which the diversity of types of farming
are applied. There are farmers who do one type of farming or involve two or more
farm businesses. Among the diversity that exists, there are some farmers who are
involved in two farm businesses especially crops and small ruminants. In addition,
Petir village has becomes a study area of research cooperation between Tokyo
University of Agriculture (TUA) and Bogor Agricultural University (IPB) since
2010.
The existence of two farm businesses cultivation of crops and livestock
farming in this village can involve both in accordance with the concept of
integrated farming. Basically, the application of integrated farming should involve
farm business as the input of the other farm businesses, and recycle waste. Crop
production activities generate waste in the form of leaves or straw, while livestock
production activities will generate waste in the form of livestock manure. Waste
from the plant can be fermented and used as the alternative feed as the feed stock
in the dry season. Whereas livestock manure can be used as an organic fertilizer
that can reduce the impact of land degradation.
Successful integration of crop-livestock farming is highly depends on the
availability of their resources. The characteristics of relatively small-scale farming

indicates that there is a limited farmer‟s resources. Generally, farmers in the Petir
village only have less than 0.5 hectares of land. Then, the labors who work in
agriculture is the head of the family and occasionally recieves the assistance from
the family members. In addition, income from agriculture along cannot fulfill the
needs of the family. This will certainly have an impact on the sustainability of
farming in Petir village.
Decisions of applying integration crop-livestock farming is highly depends
on income earning. Limited farmer‟s resources will limit the allocation of
resources to obtain the optimal revenue. Model approach is done related of
decisions of farmers in the allocation of resources optimally. In this study, two
models are built to compare the conditions that are not integrated with the
integrated condition.
Based on the analysis model is built, in order to obtain optimal results in the
integrated farming (M2), so the crops are cultivated are rice, yam, beans, and
cassava. In the integrated model, land use allocation recommended in January are
1541 m2 for yam, 806 m2 for cassava, and only 113 m2 for rice. Furthermore, from
May to August it is recommended to plant rice 1654 m2 that can be harvested in

August. Then, from September to December it is recommended to plant yam on a
2406 m2. While the rest of the land of 54 m2 can be used for growing beans since

October that can be harvested around mid-November to December. In addition, it
is recommended to cultivate sheep in every season in accordance with the
capacity of sheepfold
The application of the integrated model in the location provide a higher
income amounted to 12.73 percent compared with non integrated model. This
condition is caused by the combination of the type of farming that are cultivated,
as well as the positive effect of the use of silage in cattle in the dry season on
livestock‟s revenues. In this study, we assumed the use of silage to sheep may
have an impact on the increased weight of the selling sheep.
Sensitivity analysis resulted that non integrated model (M1) are more
sensitive to changes in the price of crops. While the integrated model is more
sensitive to the price of livestock. In addition, sensitivity analysis also reviewed
the changes in terms of resources, i.e the difference in value of the maximum
increase of the capacity of the sheepfold which held the integrated model. In the
first fattening season (mostly in the dry season) about 1.31 sheep, and in the
second fattening season (mostly in the rainy season) about 6.59 of the sheep. This
value is more sensitive than non integrated model (M1), which amounted to 8.69
sheep in both seasons.
There are several types of plants that are regurally cultivated at this village,
then to accommodate these conditions, two scenarios was built especially in the

integrated. First scenario (S1), without the involvement of rice and cassava in the
integrated model, so the types of crops that are cultivated are diversified between
yam around 2 362 m2 and the beans around 98 m2, and cultivate sheep in both
season according sheepfold capacity. Applying S1 provides the higher income
around 10.81 percent compared to the non integrated model. Whereas the second
scenario with the procondition of sweet potato grown in the first season and
without rice and cassava, found that the types of crops that are cultivated are
sweet potato and yam with cropping pattern applied sweetpotato-yam-yam. The
application of S2 provides a higher income around 8.04 percent compared to non
integrated model.
Keywords: Farmer‟s income, integrated
modelling, linear programming

crops-livestock,

optimalization

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutip hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

OPTIMALISASI INTEGRASI USAHATANI TANAMANTERNAK DI DESA PETIR, KECAMATAN DRAMAGA,
KABUPATEN BOGOR

SABILA MUMTAZ KHANDARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS

Penguji Program Studi

: Dr Ir Heny Kuswanti S Daryanto, MEc

Judul Tesis : Optimalisasi Integrasi Usahatani Tanaman-Ternak di Desa Petir,
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor
Nama
: Sabila Mumtaz Khandari
NIM
: H351140436

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Amzul Rifin, SP, MA
Ketua

Dr Siti Jahroh, BSc, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Magister Sains Agribisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 31 Agustus 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Januari 2015 ini ialah integrasi
usahatani yang dianalisis menggunakan linear programming, yang kemudian
diberi judul Optimalisasi Integrasi Usahatani Tanaman-Ternak di Desa Petir,
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.
Penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah
berkontribusi dalam menyelesaikan tesis ini. Terimakasih penulis sampaikan
kepada Dr Amzul Rifin, SP, MA serta Dr Siti Jahroh, BSc, MSc selaku Komisi
Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dalam penyusunan tesis ini.
Kemudian, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada proyek kerjasama
Tokyo University of Agriculture (TUA) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) atas
dana dan data yang diberikan terhadap penyusunan karya ilmiah ini. Selain itu,
penulis ucapkan terimakasih kepada keluarga, diantaranya kedua orangtua penulis
(H Adang Gunawan, SS, MAg dan Hj Endang Setyahayanti) serta saudara-saudari
penulis (Roiyan Mumtaz Fathul „Ashr SKm, Zahra Mumtaz Khandari ST, Hamra
Mumtaz Khandari, dan Nadheefa Mumtaz Khandari) yang telah memberikan do‟a
dan segala bentuk dukungan kepada penulis. Tidak lupa penulis ucapkan
terimakasih kepada sahabat-sahaba penulis (Ayumi, Sri, Novade, Tristi, Melvi,
Inchan, Teta, Gina, dan Pupu), rekan-rekan sinergi angkatan II, dan kakak-kakak
MSA 4.
Karya ilmiah ini dipersembahkan kepada seluruh pembaca sebagai
pengetahuan dan sumber informasi yang diharapkan dapat bermanfaat bagi
pembacanya.

Bogor, Oktober 2015
Sabila Mumtaz Khandari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Integrasi Usahatani Tanaman-Ternak
Permodelan Integrasi Tanaman-Ternak
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Integrasi Usahatani
Konsep Integrasi Usahatani dari Sisi Ekonomi
Permodelan Integrasi Usahatani
Analisis Sensitivitas
Kerangka Pemikiran Operasional
4 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Aktivitas dalam Fungsi Tujuan
Pengukuran Kendala
Analisis Sensitivitas
Asumsi dalam Penelitian
5 GAMBARAN UMUM
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Letak dan Keadaan Umum Desa Petir
Kependudukan
Karakteristik Responden Penelitian
6 KERAGAAN USAHATANI TANAMAN DAN TERNAK
DI DESA PETIR
Usahatani Tanaman
Penggunaan Lahan dan Masa Tanam
Penggunaan Input Produksi Tanaman
Kebutuhan Tenaga Kerja dan Modal Usahatani Tanaman
Produksi Usahatani Tanaman
Usahatani Ternak Domba atau Kambing
Kebutuhan Tenaga Kerja Usahaternak
Kebutuhan Input Produksi dan Modal Usahaternak
Produksi Usahaternak
Pendukung Integrasi Usahatani Tanaman-Ternak

xiii
xiv
xiv
1
1
5
6
7
7
7
7
10
12
12
12
14
18
21
21
23
23
23
24
24
24
25
30
30
32
32
32
32
33
35
35
35
35
37
38
40
41
41
42
43
43

Input-Output Usahatani Tanaman
44
Aktivitas Produksi Silase
44
Input-Output Usahaternak Domba atau Kambing
49
Aktivitas Produksi Pupuk
49
Ketersediaan Sumberdaya Petani
50
Ketersediaan Tenaga Kerja
50
Ketersediaan Modal
50
Ketersediaan Hijauan
51
7 HASIL OPTIMALISASI INTEGRASI USAHATANI TANAMAN-TERNAK
52
Penggunaan Lahan Tanaman dan Kandang Ternak Optimal
52
Ketersediaan dan Penggunaan Sumberdaya Tenaga Kerja Optimal
54
Ketersediaan dan Penggunaan Modal
55
Kegiatan Produksi Usahatani Tanaman dan Ternak
57
Produksi Usahatani Tanaman
57
Produksi Usahaternak Domba
59
Aktivitas Penjualan dan Pembelian Produk Antara
60
Aliran Produk Model Tidak Integrasi Tanaman-Ternak
61
Aliran Produk Model Integrasi Tanaman-Ternak
62
Analisis Pendapatan Usahatani
63
Analisis Sensitivitas
64
Analisis Optimal Model Integrasi dengan Skenario
67
8 SIMPULAN DAN SARAN
69
Simpulan
69
Saran
70
DAFTAR PUSTAKA
71
RIWAYAT HIDUP
79

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Produk Domestik Bruto atas dasar harga konstan 2000 menurut
lapangan usaha (Miliar Rupiah) tahun 2010-2014
Perkembangan luas lahan sawah (Ha) wilayah Indonesia tahun 19792000
Sebaran jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis tanaman
yang diusahakan di desa Petir dalam tahun 2014
Sebaran luas penggunaan lahan berdasarkan kegunaan di Desa Petir
pada tahun 2010
Jumlah penduduk Desa Petir berdasarkan kelompok usia angkatan
kerja pada tahun 2012
Jumlah penduduk Desa Petir berdasarkan mata pencaharian (tahun
2012)
Sebaran responden berdasarkan kelompok usia dan pendidikan
formal
pada tahun 2014
Sebaran responden berdasarkan jenis mata pencaharian dan
pengalaman usahatani yang dimiliki pada tahun 2014
Sebaran responden berdasarkan persentase luas kepemilikian lahan
petani di Desa Petir pada tahun 2014
Sebaran responden dan lama tanam berdasarkan jenis tanaman yang
diusahakan pada tahun 2014
Waktu tanam dan panen untuk setiap jenis tanaman dalam satu tahun
Rata-rata biaya input produksi masing-masing tanaman per bulan
(Rupiah/1000 m2)
Kebutuhan tenaga kerja untuk tanaman pada setiap bulan (HOK/
1000 m2)
Kebutuhan modal per bulan pada setiap tanaman (ribu rupiah/1000
m2 )
Rata-rata produksi dan harga jual produk tanaman dalam satu musim
tanam pada tahun 2014
Kebutuhan tenaga kerja untuk usaha ternak per bulan
Produksi dan harga jual produk ternak setiap ekor yang diperoleh per
musim penggemukan pada tahun 2014
Produksi limbah tanaman per musim (kg per 1000 m2)
Biaya investasi dan penyusutan produksi pakan ternak silase
Biaya pembuatan 100 kg silase (rupiah)
Kebutuhan tenaga kerja untuk memproduksi silase per bulan
(HOK/kg)
Bobot ternak yang diberi pakan ternak silase pada masing-masing
musim penggemukan (kg BH)
Ketersediaan modal pada setiap bulan untuk usahatani tanaman dan
ternak pada tahun 2014 (ribu Rupiah)
Penguasaan lahan dan kandang optimal setiap bulan pada model tidak
integrasi dan model integrasi
Ketersediaan dan penggunaan tenaga kerja setiap bulan pada model
tidak integrasi dan model integrasi (HOK)

1
2
31
32
33
33
34
35
36
36
37
38
39
40
41
42
43
44
46
47
48
49
50
53
54

26 Penggunaan ketersediaan modal usahatani tanaman setiap bulan pada
model tidak integrasi dan model integrasi (ribu rupiah)
27 Penggunaan pinjaman modal usahatani tanaman per bulan pada
model tidak integrasi dan model integrasi (ribu rupiah)
28 Penggunaan modal dan pinjaman untuk kegiatan usahaternak pada
model tidak integrasi dan model integrasi (ribu rupiah)
29 Produksi usahatani tanaman di bulan panen pada model tidak
integrasi dan model integrasi (kg)
30 Aktivitas produksi silase dan pembelian bahan baku silase pada
model tidak integrasi dan model integrasi (kg)
31 Produksi ternak per satu musim penggemukan pada model tidak
integrasi dan model integrasi (kg)
32 Penggunaan dan penjualan produk antara pada model tidak integrasi
dan model integrasi (kg)
33 Perbandingan pendapatan pada model tidak integrasi, model
integrasi, dan kondisi aktual (ribu rupiah)
34 Nilai kepekaan harga jual produksi tanaman, ternak, dan pupuk pada
model tidak integrasi dan model integrasi (ribu rupiah)
35 Nilai kepekaan dari biaya input yang dikeluarkan pada model tidak
integrasi dan model integrasi (ribu rupiah)
36 Alokasi penggunaan lahan dan kandang model integrasi dengan
skenario
37 Jumlah limbah yang dijual dan dibeli sebagai input-output usahatani
pada setiap skenario (kg)
38 Perbandingan pendapatan pada setiap skenario (ribu rupiah)

55
56
57
58
59
59
60
64
65
66
67
68
69

DAFTAR GAMBAR
1 Konseptual model dari sistem produksi masyarakat di pegunungan
Nepal Timur
2 Kurva kombinasi dua produk
3 Kurva kombinasi produk antara
4 Kerangka pemikiran operasional penelitian
5 Aliran produk model tidak integrasi tanaman-ternak
6 Aliran produk model integrasi tanaman-ternak

13
15
17
22
61
62

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Rincian biaya tanaman per bulan (ribu rupiah/1000 m2)
Rincian perhitungan harga jual silase di pasar

77
78

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertanian memiliki peran penting bagi perekonomian dan pemenuhan
pangan bangsa Indonesia. Berdasarkan Tabel 1, peran pertanian terhadap
perekonomian Indonesia berdasarkan sumbangan pertanian selalu meningkat
terhadap PDB Indonesia, yaitu dari tahun 2010 sebesar 304 777.10 miliar rupiah
menjadi 350 722.20 miliar rupiah pada tahun 2014. Tabel 1 juga menunjukkan
bahwa Indonesia menempati posisi ketiga setelah industri pengolahan serta
perdagangan dan hotel. Di samping itu, Indonesia dengan jumlah penduduk yang
diproyeksikan mencapai 255 juta jiwa pada tahun 2015 (BPS 2010) akan
menghadapi tantangan besar dalam memenuhi ketahanan pangan bangsanya.
Seiring dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat, maka kebutuhan
pangan akan semakin meningkat (Lemhannas RI 2013).

Tabel 1 Produk Domestik Bruto atas dasar harga konstan 2000 menurut
lapangan usaha (Miliar Rupiah) tahun 2010-2014
Lapangan Usaha
1.Pertanian,
peternakan,
kehutanan, dan
perikanan
2.Pertambangan &
Penggalian
3. Industri
Pengolahan
4. Listrik, gas, & air
bersih
5. Bangunan
6. Perdagangan &
hotel
7.Pengangkutan &
komunikasi
8.Keuangan,
persewaan, & jasa
perusahaan
9. Jasa-jasa

2010

2011

2012

2013a

2014b

304 777.10

315 036.80

328 279.70

339 560.80

350 722.20

187 152.50

190 143.20

193 139.20

195 853.20

195 425.00

597 134.90

633 781.90

670 190.60

707 481.70

741 835.70

18 050.20

18 899.70

20 094.00

21 254.80

22 423.50

150 022.40

159 122.90

170 884.80

182 117.90

194 093.40

400 474.90

437 472.90

473 152.60

501 040.60

524 309.50

217 980.40

241 303.00

265 383.70

291 404.00

318 527.90

221 024.20

236 146.60

253 000.40

272 141.60

288 351.00

217 842.20
232 659.10
244 807.00
PDB
2 314 458.80 2 464 566.10 2 618 932.00
Sumber: Badan Pusat Statistika Indonesia (2014)
Keterangan: a Angka sementara ; b Angka sangat sementara

258 198.40

273 493.30

2 769 053.00

2 909 181.50

Pertanian menghadapi beberapa permasalahan di Indonesia dalam hal
kompetisi sumberdaya. Tingginya jumlah penduduk di Indonesia akan mendorong
timbulnya kompetisi pemanfaatan sumberdaya, khususnya sumberdaya lahan. Hal
tersebut dapat ditunjukkan dengan semakin sempitnya luas lahan pertanian di
Indonesia. Lahan sawah sebagai lahan yang umumnya digunakan untuk kegiatan

2
pertanian pangan di Indonesia terus mengalami perkembangan luasan lahan yang
menurun, bahkan pada tahun 1997 hingga 2000 mengalami penyempitan lahan
sawah, terutama sebesar 99.28 persen penyempitan lahan sawah Indonesia
berlangsung di Pulau Jawa. Tabel 2 menunjukkan pada periode 1991 hingga 1996,
penyempitan lahan sawah di Pulau Jawa terjadi secara besar-besaran, yaitu
sebesar 142 626 hektar. Sementara BPS (2001) dalam Priyono (2011)
menunjukkan bahwa penyebaran lahan sawah terluas berada di Pulau Jawa, yaitu
3 430 698 hektar pada tahun 2000 yang telah mengalami penurunan sebesar 61
245 hektar selama periode 1995/1996 hingga 1998/1999 (Priyono 2011).

Tabel 2 Perkembangan luas lahan sawah (Ha) wilayah Indonesia tahun 1979-2000
Wilayah
Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Bali dan Nusa Tenggara
Indonesia

1979-1984
61 723
(41 736)
169 317
81 330
34 686
305 318

Periode (Tahun)
1985-1990 1991-1996
138 258
219 889
(37 631)
(142 626)
42 838
(55 220)
52 506
135 227
10 569
(5 923)
206 540
151 347

1997-2000
(67 851)
(186 813)
(5 978)
53 420
19 059
(188 163)

Sumber: BPS (2001) diacu dalam Priyono (2011)

Penyempitan lahan pertanian di Indonesia menimbulkan permasalahan lain ,
seperti disampaikan Priyono (2011) bahwa peralihan fungsi lahan sawah
umumnya berlangsung menjadi lahan non pertanian yang seringkali diikuti
dengan degradasi lahan. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi produksi
pertanian di Indonesia. Bantolo (2014) menyatakan bahwa produk pertanian di
Indonesia sulit bersaing dari negara lain disebabkan oleh sempitnya kepemilikan
lahan petani yang hanya sekitar 0.3 hektar per petaninya.
Permasalahan lain yang dihadapi pertanian di Indonesia juga terdapat pada
tingkat petani. Priyono (2011) menyatakan bahwa tingkat pendapatan atau
perekonomian petani merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya
tingkat konversi lahan pertanian di Indonesia. Pada tahun 2013 dari 28.7 juta
penduduk miskin di Indonesia, sekitar 13 juta penduduk miskin merupakan
penduduk bermatapencaharian petani1. Hal tersebut menunjukkan bahwa petani di
Indonesia masih belum sejahtera secara ekonomi. Hasil sensus pertanian tahun
2013 menunjukkan bahwa pendapatan petani hanya mencapai 12.41 juta per tahun
per rumah tangga petani2. Pendapatan tersebut pun juga bersumber dari pekerjaan
di luar sektor non pertanian.
Tingkat pendapatan yang rendah mempengaruhi keberlanjutan kegiatan
usahatani. Perekonomian petani yang meningkat dapat mendorong petani untuk
menerapkan teknik bertani yang lebih baik (Takeshima dan Salau). Di samping itu,
1

Tribun. 2014. 13 juta petani Indonesia masih terjerat kemiskinan. http://www.tribunnews.com/
[diakses pada 7 Maret 2015]
2
Detik. 2014. Pendapatan hanya Rp 12 juta/tahun penyebab jumlah petani RI terus berkurang.
http://finance.detik.com/ [diakses pada 7 Maret 2015]

3
hasil sensus pertanian 2013 menunjukkan bahwa karakteristik petani di Indonesia
rata-rata berusia 49-50 tahun, serta sebagian besar tamatan pendidikan petani
adalah sekolah dasar (SD) dan tidak tamat SD 3 . Berkaitan dengan pendidikan
petani yang rendah, Takeshima dan Salau (2010) menyatakan bahwa tingkat
pendidikan dan ekonomi petani yang relatif rendah mengakibatkan teknik bertani
yang cenderung tradisional.
Pengembangan kualitas pertanian dengan mekanisasi pertanian di wilayah
dengan karakteristik skala usahatani yang kecil akan sulit dilakukan (Takeshima
dan Salau 2010). Pengusahaan lahan yang kecil dan kualitas lahan yang semakin
menurun dapat berdampak pada produktivitas, yang kemudian akan berdampak
pada penerimaan petani. Selain itu, tingkat pendidikan dan pengetahuan yang
rendah terhadap adaptasi teknologi memerlukan identifikasi jenis teknologi yang
tepat (Takeshima dan Salau 2010). Integrasi usahatani dapat menjadi solusi dari
permasalahan yang ada, di mana pengembangan pertanian melalui integrasi
usahatani ini memang lebih diarahkan di wilayah pedesaan (Nurcholis dan
Supangkat 2011). Selain itu, penerapan integrasi ini dapat memberikan peluang
dalam ketahanan pangan dan pendapatan petani (Hosen 2014).
Pola integrasi usahatani sebenarnya sudah banyak diterapkan masyarakat
Indonesia, namun manajemen yang diterapkan umumnya masih diterapkan secara
konvensional (Handayani 2009; Nurcholis dan Supangkat 2011). Integrasi
usahatani merupakan salah satu solusi untuk menerapkan usahatani yang efisien
dalam kegiatan produksinya. Setidaknya pelaku usahatani menerapkan dua
aktivitas dalam satu lokasi penanaman yang sama, yaitu aktivitas yang dilakukan
saling mendukung aktivitas lainnya (Changkid 2013; Nurcholis dan Supangkat
2011). Integrasi usahatani menciptakan praktik hemat sumberdaya yang bertujuan
untuk mencapai keuntungan yang dapat diterima dan tingkat produksi yang tinggi
dan berkelanjutan, juga meminimalkan dampak negatif dari pertanian intensif dan
melestarikan lingkungan (Walia dan Kaur 2013). Integrasi usahatani dapat
diterapkan dengan melibatkan berbagai cabang usahatani, seperti tanaman pangan,
perkebunan, peternakan, perikanan, maupun pepohonan hutan (Panggabean 1982;
Igwe dan Onyenweaku 2013; Walia dan Kaur 2013; Dahong et al. 2014;
Channabasavanna 2009).
Penerapan integrasi usahatani tanaman-ternak memanfaatkan sumberdaya
lokal secara maksimal untuk keberlanjutan usahatani (Nurcholis dan Supangkat
2011; Maudi dan Kusnadi 2011). Pada dasarnya integrasi usahatani diterapkan
guna memanfaatkan limbah yang tidak termanfaatkan dari suatu aktivitas produksi
pertanian. Dengan memanfaatkan limbah pertanian tersebut dapat memberikan
beberapa manfaat bagi aktivitas tani lainnya. Limbah pertanian berupa hijauan
yang tidak termanfaatkan dapat dimanfaatkan oleh ternak sebagai pakan,
kemudian kotoran dan sisa pakan dari ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
bagi tanaman. Balemi (2012) dan Bosede (2010) menunjukkan bahwa
penggunaan kotoran ternak dapat menghemat penggunaan pupuk NP (Natrium
dan Phospor) yang direkomendasikan dan meningkatkan kualitas tanah. Selain itu,
model integrasi tanaman-ternak memberikan keuntungan lebih tinggi
dibandingkan tanpa terintegrasi (Rohaeni et al. 2014; Polakitan 2012; Handayani
2009; Igwe dan Onyenweaku 2013).
3

Detik. 2014. Pendapatan hanya Rp 12 juta/tahun penyebab jumlah petani RI terus berkurang.
http://finance.detik.com/ [diakses pada 7 Maret 2015]

4
Kendala utama yang sering dihadapi petani dalam kegiatan usahatani ternak
adalah ketersediaan pakan. Pada musim hujan, ketersediaan pakan untuk kambing
atau domba sangat tinggi bahkan berlebih. Suplai yang berlebih tersebut menjadi
membusuk dan tidak termanfaatkan dengan baik. Sedangkan ketika musim
kemarau ketersediaan hijauan sangat sedikit sehingga pakan hijauan tidak
mencukupi. Kesulitan pakan ternak pada musim kemarau bagi ternak domba dan
kambing tersebut dapat diatasi dengan memanfaatkan limbah pertanian yang
difermentasi (Hanafi 2008; Handayani 2009; Maudi dan Kusnadi 2011; Suryahadi
2013).
Limbah hasil panen tanaman dapat difermentasi dengan teknik silase yang
dapat menghasilkan kualitas pakan yang baik. Silase merupakan bahan pakan
yang diproduksi dengan cara memfermentasi hijauan dengan kadar embun tinggi
(McDonald et al. 1991). Proses fermentasi dilakukan di dalam sebuah wadah
dalam kondisi tanpa udara. Pada kondisi anaerob tersebut, oksigen akan
terperangkap di antara hijauan yang dengan cepat akan digantikan dengan enzim
pernafasan yang dimiliki tumbuhan. Silase memberikan keunggulan sebagai
promotor pertumbuhan dan penghambat penyakit pada ternak domba (Sapienza
dan Bolsen 1993). Selain itu, aktivitas mikroba yang dihasilkan kontak hijauan
dengan oksigen akan merusak produk-produk yang tidak berguna dan beracun
(McDonald et al. 1991).
Integrasi usahatani tanaman-ternak dapat dilaksanakan di Desa Petir,
Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Desa Petir merupakan satu desa yang dijadikan
objek penelitian dalam kerjasama Tokyo University of Agriculture (TUA) dengan
Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak tahun 2010. Kerjasama dilakukan bertujuan
mempromosikan pembangunan berkelanjutan di wilayah pedesaan (Syaukat et al.
2014). Di Desa Petir sendiri, keberadaan usahatani tanaman dan ternak
sebenarnya sudah berdampingan. Adanya ketergantungan petani terhadap kondisi
pasar seringkali mengakibatkan pendapatan petani rendah, sehingga beberapa
petani juga memelihara ternak ruminansia kecil domba dan kambing. Selain itu,
karakteristik kepemilikan lahan para petani di Desa Petir masih di bawah 0.5
hektar.
Hasil penelitian dari kerjasama antara TUA-IPB menunjukkan bahwa
pendapatan yang diperoleh petani belum mampu memenuhi pengeluaran keluarga
(Jahroh dan Syaukat 2014). Adapula hasil penelitian terkait lumpur kolam yang
dapat dijadikan alternatif pupuk bagi tanaman (Subroto 2014). Di samping itu,
menyikapi hasil penelitian Noveanto (2013) terkait pakan silase daun singkong
yang memberikan pertumbuhan lebih baik pada ternak, hasil penelitian Khandari
(2014) menunjukkan kelayakan usaha ternak domba dengan adanya introduksi
pakan silase daun singkong tidak layak secara finansial. Untuk itu rekomendasi
yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan integrasi usahatani tanamanternak-kolam (Syaukat et al. 2014). Namun, hasil observasi menunjukkan
usahatani budidaya kolam banyak yang berubah menjadi kolam kosong atau
kebun. Sehingga dalam penelitian ini model integrasi usahatani yang dianalisis
hanya integrasi usahatani tanaman-ternak di Desa Petir.
Keberhasilan penerapan integrasi tanaman-ternak di suatu wilayah sangat
bergantung pada ketersediaan sumberdayanya (Handayani 2009; Devendra 2011,
Maudi dan Kusnadi 2011). Oleh sebab itu, perlu dianalisis ketersediaan
sumberdaya yang dimiliki petani terkait dengan perencanaan diterapkannya

5
integrasi tanaman-ternak ini. Perencanaan dan analisis integrasi tanaman-ternak
ini dapat dilakukan dengan membangun sebuah model. Pendekatan model
dilakukan terkait keputusan petani dalam pengalokasian sumberdaya secara
optimal. Sehingga, untuk memperoleh pendapatan petani yang optimal di Desa
Petir diperlukan penelitian terkait optimalisasi integrasi usahatani tanaman-ternak.
Perumusan Masalah
Kegiatan usahatani sudah dikenal masyarakat Desa Petir sejak dulu. Pada
umumnya kegiatan yang diusahakan pun cukup beragam. Terdapat petani yang
hanya mengusahakan satu jenis cabang usahatani ataupun mengombinasikannya.
Salah satu jenis usaha yang dikombinasikan adalah dengan melibatkan usahatani
tanaman dan ternak. Jenis tanaman yang diusahakan cukup beragam, namun
terdapat beberapa tanaman yang rutin ditanam setiap tahunnya. Selain itu, jenis
ternak yang paling diminati petani di Desa Petir adalah jenis ternak ruminansia
kecil seperti domba atau kambing dalam jumlah sekitar 5-20 ekor.
Ketersediaan sumberdaya petani dalam melakukan kegiatan usahatani
tanaman maupun ternak cenderung rendah. Jahroh dan Syaukat (2014)
menyatakan bahwa pendapatan petani di Desa Petir masih belum mampu
memenuhi kebutuhan rumah tangga petani. Hal ini sejalan dengan hasil sensus
pertanian tahun 2013, bahwa tingkat pendapatan petani di Indonesia memang
masih rendah. Selain itu, kepemilikan lahan petani di Desa Petir umumnya relatif
sempit yaitu di bawah 0.5 hektar. Pada umumnya, petani mengatasi hal tersebut
dengan melakukan beberapa pekerjaan, baik di bidang pertanian ataupun di luar
bidang pertanian.
Adanya petani yang melibatkan beberapa cabang usahatani akan dihadapkan
dengan kendala ketersediaan sumberdaya yang dimiliki petani. Dalam satu rumah
tangga petani umumnya memiliki 1 kepala keluarga dan 1-2 anggota keluarga
yang berumur di atas 15 tahun. Selain itu, tingkat pendapatan yang rendah
menjadi salah satu faktor keberlanjutan usahatani, di mana pendapatan tersebut
menjadi sumber modal untuk musim tani selanjutnya. Sedangkan lahan dan
kandang sebagai faktor penting dalam kegiatan usahatani tanaman dan ternak
yang dimiliki pun relatif kecil.
Menurut Suryanti (2011), integrasi tanaman-ternak diterapkan meliputi
usahatani tanaman, usahatani ternak, dan pengolahan limbah. Dalam penerapan
integrasi tanaman-ternak, limbah pertanian tidak bisa langsung digunakan.
Limbah tanaman pertanian umumnya masih memiliki kandungan serat kasar yang
cukup tinggi (Hanafi 2008). Sedangkan, kotoran ternak domba atau kambing
dapat dimanfaatkan secara langsung ataupun tidak langsung sebagai pupuk
(Mathius 1994). Pada umumnya pelaku usaha ternak di Desa Petir membiarkan
kotoran ternak secara terbuka di dalam lubang yang terletak di bawah kandang.
Hal tersebut merupakan salah satu cara untuk memperoleh kualitas pupuk
kandang yang lebih baik (Mathius 1994). Sedangkan, limbah hasil panen tanaman
dibiarkan kurang termanfaatkan, padahal limbah tersebut dapat dimanfaatkan
sebagai pakan jika difermentasi terlebih dahulu.
Penanganan limbah pertanian dapat dilakukan dengan melakukan teknik
fermentasi pada limbah (Hanafi 2008; Handayani 2009; Suryahadi 2013). Salah
satu teknik fermentasi yang dapat diterapkan dengan mudah oleh petani adalah

6
teknik silase. Dengan melakukan teknik silase pada limbah pertanian, kualitas
pakan ternak akan lebih baik dan dapat menjaga stabilitas ketersediaan pakan
ternak, khususnya pada musim kemarau. Kualitas pakan yang lebih baik
disebabkan oleh silase yang mengandung asam organik yang berperan sebagai
promoter pertumbuhan dan penghambat penyakit (Sapienza dan Bolsen 1993). Di
samping itu, teknik silase merupakan teknik pembuatan pakan anaerob yang dapat
meningkatkan aktivitas mikroba yang dapat menghancurkan produk-produk tidak
berguna dan beracun pada limbah pertanian (Mc Donald et al. 1991).
Jenis-jenis limbah pertanian apa saja yang dapat dijadikan silase perlu
diperhatikan. Moran (2005) menyatakan bahwa banyak limbah pertanian tropis
yang sesuai untuk dijadikan silase. Limbah pertanian yang dimaksud di antaranya
adalah limbah buah-buahan (kulit pisang, pisang yang terbuang, sukun matang,
limbah jagung manis, bulir buah jeruk atau tomat), batang dan dedaunan (batang
pohon pisang, daun ubi jalar, daun singkong, daun talas, jerami jagung), akar
tanaman (akar talas, akar ubi jalar, akar singkong), dan macam limbah lainnya
seperti dadih kedelai dan limbah singkong.
Keputusan diterapkan atau tidaknya integrasi usahatani di tingkat petani ini
tergantung pada pendapatan yang akan diperoleh petani. Devendra (2011)
menyatakan bahwa adanya upaya penerapan integrasi usahatani tanaman-ternak
perlu memperhatikan kepemilikan sumberdaya yang dimiliki petani. Adanya
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki seperti lahan, modal, kapasitas kandang
dan tenaga kerja akan membatasi pilihan usaha yang akan diusahakan. Oleh sebab
itu diperlukan analisis optimalisasi integrasi usahatani tanaman-ternak dengan
membangun sebuah model.
Analisis optimalisasi dengan membangun sebuah model membutuhkan
beberapa informasi yang sudah terdeterministik. Dengan kata lain, kondisi dalam
model merupakan kondisi aktual yang disederhanakan. Untuk itu, setelah solusi
optimal diperoleh, maka diperlukan analisis untuk melihat perubahan dari
parameter yang tidak dapat diatasi model. Sehingga, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah
1. Apakah sumberdaya petani memadai untuk diterapkannya integrasi
tanaman-ternak?
2. Bagaimana alokasi sumberdaya yang tepat diterapkan petani untuk
memperoleh pendapatan yang optimal?
3. Bagaimana kemungkinan dampak penerapan integrasi usahatani
terhadap total pendapatan petani?
4. Bagaimana selang kepekaan yang dihadapi atas perubahaan parameter
dalam model?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah
1. Membangun model integrasi usahatani tanaman-ternak yang dapat
memberikan pendapatan yang optimal berdasarkan ketersediaan
sumberdaya di tingkat petani dan menganalisis kegiatan usahatani yang
sebaiknya diusahakan.

7
2. Menganalisis dampak penerapan integrasi usahatani tanaman-ternak
terhadap pendapatan yang akan diterima petani.
3. Menganalisis kepekaan model terhadap perubahaan koefisien fungsi
tujuan dan sumberdaya yang tersedia.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
pengembangan pertanian di Indonesia, khususnya di Desa Petir. Penelitian ini
bermanfaat bagi petani dalam memutuskan alokasi sumberdaya yang sesuai,
sehingga usahatani yang terintegrasi dapat beroperasi secara optimal. Di samping
itu, bermanfaat juga bagi para penentu kebijakan khususnya di Desa Petir dalam
membentuk suatu program desa.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis optimalisasi integrasi horizontal pada usahatani
tanaman ternak. Unit analisis dalam penelitian ini adalah petani yang memiliki
dua cabang usahatani, yaitu usahatani tanaman dan ternak ruminansia kecil. Hal
tersebut dikarenakan kelompok tani di lokasi yang sudah tidak berperan. Selain itu,
adanya pemilihan ternak ruminansia kecil sebagai salah satu cabang usahatani
yang diusahakan didasarkan hasil survey yang menunjukkan bahwa ternak
ruminansia kecil merupakan jenis ternak yang mendominasi diusahakan oleh
masyarakat di Desa Petir.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Integrasi Usahatani Tanaman-Ternak
Jumlah penduduk yang terus meningkat mengindikasikan dibutuhkan
pangan yang semakin meningkat pula. Hal tersebut mendorong dibutuhkannya
pengembangan pertanian yang berkelanjutan. Kondisi suatu wilayah menjadi
salah satu faktor penting dalam keberlanjutan pembangunan pertanian. Oleh
karena kondisi di Indonesia yang mayoritas petani berskala kecil, maka
mekanisasi pertanian bukanlah solusi yang tepat (Takeshima dan Salau 2010).
Perkembangan pertanian Indonesia akan berlangsung dengan baik, jika petani di
Indonesia memiliki perekonomian yang baik. Keberhasilan pembangunan
pertanian sangat tergantung pada efisiensi dalam penggunaan dan pengelolaan
sumber daya alam (Devendra 2011).
Integrasi usahatani atau usahatani terpadu dengan melibatkan tanaman dan
ternak diperkenalkan di Indonesia pada sekitar tahun 1970-an (Winarso dan
Basuno 2013). Departemen Pertanian (1979) dalam Panggabean (1982)
menjelaskan usahatani terpadu sebagai suatu kegiatan usahatani yang mempunyai
satu atau beraneka cabang usahatani dalam memanfaatkan secara optimal segala
faktor produksi yang dimilikinya untuk mencapai tujuan dan aspirasi petani.
Sistem integrasi usahatani dilakukan petani untuk mengurangi risiko akibat
adanya ketidakpastian dalam produksi usahatani (Soedjana 2007).

8
Menurut Panggabean (1982), bahwa dengan pengalokasian sumberdaya
secara optimal, produksi dan pendapatan yang diperoleh petani dapat meningkat.
Dengan kata lain, konsep integrasi usahatani ini bertujuan meningkatkan
pendapatan petani (Rohaeni et al. 2014). Di samping itu, dampak dari peningkatan
pendapatan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan petani, misalnya dalam hal
peningkatan barang konsumsi untuk kepuasan hidup, peningkatan status sosial,
dan peningkatan kebahagiaan (Panggabean 1982). Dengan perekonomian yang
membaik maka dapat juga berdampak pada perkembangan pertanian. Hal ini
mendukung petani untuk tetap berusahatani dikarenakan dengan adanya integrasi
usahatani ini dapat meningkatkan taraf hidup petani.
Penerapan sistem integrasi usahatani tanaman-ternak dapat berbeda-beda di
setiap wilayah. Sistem integrasi tanaman-ternak sudah cukup banyak diterapkan di
beberapa wilayah. Beberapa hasil penelitian di berbagai negara menunjukkan
hasil yang baik terkait integrasi usahatani terpadu tanaman-ternak. Beberapa
negara yang menerapkan usahatani tanaman-ternak di antaranya negara-negara
bagian Afrika, Cina, Jepang, India, Thailand, Indonesia, dan negara lainnya
(Chankid 2013; Walia dan Kaur 2013; Dahong et al. 2014; Rohaeni et al. 2014;
Igwe dan Onyenweaku 2013).
Winarso dan Basuno (2013) menguraikan berbagai hasil penelitian integrasi
tanaman-ternak di berbagai wilayah di Indonesia. Praktik integrasi tanaman-ternak
di Indonesia diterapkan di wilayah dengan agrosistem tanaman pangan,
hortikultura, dan perkebunan. Handayani (2009); Polakitan (2012); Rohaeni et al.
(2014) menunjukkan penelitian terkait integrasi tanaman-ternak di wilayah
agrosistem perkebunan. Pola integrasi tanaman-ternak yang diterapkan pada
wilayah tersebut dapat menggabungkan tanaman pangan-perkebunan-ternak
ataupun perkebunan-ternak saja. Sedangkan hasil penelitian Maudi dan Kusnadi
(2011); Isbandi (2003) menunjukkan penelitian terkait integrasi tanaman-ternak di
wilayah agrosistem tanaman pangan dan hortikultura.
Pola integrasi tanaman-ternak pada wilayah agrosistem perkebunan
menujukkan hasil yang beragam. Perkembangan luas perkebunan di Indonesia
semakin meningkat dari tahun ke tahun (Winarso dan Basuno 2013). Hal tersebut
memberikan peluang mengembangkan integrasi perkebunan-ternak. Peluang
tersebut muncul karena adanya potensi limbah dari hasil perkebunan (Winarso
dan Basuno 2013; Handayani 2009). Penggunaan limbah kopi yang telah
difermentasi sebagai pakan sapi lebih menguntungkan dibandingkan hanya
dengan memberikan hijauan saja (Parwati et al. 2009 dalam Winarso dan Basuno
2013). Sedangkan integrasi antara kelapa-sapi menunjukkan bentuk hubungan
yang berbeda, ternak sapi dapat digunakan sebagai tenaga kerja pada kegiatan
produksi kelapa sawit. Namun, sapi memperoleh ternak dari tanaman sekitar sawit
(Winarso dan Basuno 2013). Meskipun kegiatan integrasi diterapkan di wilayah
agrosistem perkebunan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penerapan
integrasi tanaman pangan-perkebunan-ternak merupakan kegiatan yang
memberikan pendapatan terbaik (Rohaeni et al. 2014; Polakitan 2012; Handayani
2009). Hal tersebut disebabkan oleh ternak yang lebih sesuai mengonsumsi
limbah tanaman pangan dibandingkan dengan limbah tanaman perkebunan.
Hasil penelitian lain di wilayah agrosistem tanaman pangan dan hortikultura
menunjukkan hasil yang beragam. Hasil penelitian Maudi dan Kusnadi (2011)
menunjukkan bahwa integrasi sayuran-ternak memberikan hasil yang lebih tinggi

9
sedikit bila dibandingkan tanpa integrasi. Meskipun pola integrasi optimal yang
diperoleh tidak memanfaatkan seluruh limbah ternak. Hal tersebut disebabkan
produktifitas limbah ternak di wilayah penelitian masih rendah, sehingga lebih
optimal menggunakan pupuk organik dari luar desa. Sedangkan hasil penelitian
Isbandi (2003) menunjukkan bahwa integrasi tanaman pangan-ternak dapat
diterapkan di lahan pasang surut. Usahatani tanaman pangan di lahan pasang surut
menghadapi risiko produksi yang berbeda-beda, sebab produksi palawija yang
ditanam tergantung pada tipe luapan air. Untuk mengatasi hal tersebut diterapkan
integrasi palawija-ternak yang bertujuan untuk mengurangi risiko produksi serta
memanfaatkan limbah hasil panen. Dalam penerapan integrasi tanaman panganternak, baik berdasarkan Maudi dan Kusnadi (2011); Isbandi (2003) kerjasama
antar lembaga dapat membantu integrasi tanaman-ternak yang terlaksana dengan
baik.
Keberhasilan integrasi tanaman-ternak di berbagai negara dapat pula
menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk mengembangkan pola integrasi tanamanternak. Hasil penelitian Balemi (2012) menunjukkan bahwa integrasi penggunaan
kotoran ternak sebagai pupuk pada usahatani kentang di Ethiopia dapat
menghemat penggunaan pupuk NP yang direkomendasikan. Penggunaan pupuk
organik dapat meningkatkan kembali kualitas tanah. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Igwe dan Onyenweaku (2013) juga menunjukkan bahwa
penerapan integrasi memberikan hasil yang lebih optimal. Pola integrasi tanamanternak yang dianjurkan adalah tanaman pangan-hortikultura-unggas-ikan.
Beberapa negara di Asia juga menerapkan integrasi tanaman-ternak sebagai
salah satu pembangunan pertanian. Devendra (2011) menyatakan bahwa sistem
integrasi tanaman-ternak sangat penting, namun masyarakat ASEAN masih
kurang acuh. Hasil penelitiannya mendukung statement tersebut, bahwa
penerapan integrasi kelapa sawit-ternak di Malaysia memberikan beberapa
manfaat utama, di antaranya potensi peningkatan pasokan protein hewani
(terutama daging dan susu), peningkatan hasil TBS (Tandan Buah Segar) dan
pendapatan, penghematan biaya penyiangan, terpadu dan efisiensi penggunaan
sumber daya alam, penyerapan emisi karbon, dan pengembangan sistem produksi
yang intensif dan berkelanjutan.
Penerapan integrasi usahatani harus disesuaikan dengan keadaan
sumberdaya dan hubungan antara dua produk yang akan diproduksi. Seperti
beberapa contoh di atas menunjukkan, meski terdapat beberapa komoditi
perkebunan yang menghasilkan limbah yang bermanfaat sebagai pakan ternak.
Namun, lebih efektif jika integrasi dilakukan antara tanaman pangan-ternak.
Selain itu penelitian terkait integrasi di Thailand terjadi kompetisi antara
penggunaan lahan untuk usahatani budidaya udang dengan usahatani beras. Hasil
penelitian Kiatpathomchai et al. (2008) menunjukkan bahwa usahatani budidaya
udang di lahan yang sama dengan usahatani beras akan berdampak buruk terhadap
produktivitas beras. Hal tersebut diakibatkan adanya limbah dari produksi udang
yang mengakibatkan produksi padi menurun. Oleh sebab itu, dalam penerapan
inetgrasi usahatani ini perlu diperhatikan kesinergisan antara dua produk yang
akan diproduksi.
Sejalan dengan hasil penelitian-penelitian terkait, penelitian yang akan
dilakukan ini akan meneliti penerapan integrasi tanaman-ternak di Desa Petir pada
tingkat petani. Hasil-hasil penelitian pada umumnya menunjukkan bahwa pakan

10
ternak lebih sesuai berasal dari tanaman pangan. Dapat dikatakan, karakteristik
tanaman yang diusahakan di Desa Petir dapat diintegrasikan dengan usaha ternak.
Meskipun hasil-hasil penelitian menunjukkan dampak yang positif, dalam
penerapan integrasi tanaman-ternak di Desa Petir, penting bagi petani untuk
memperhatikan ketersediaan sumberdaya