Studi kebijakan fiskal untuk mengatasi ketimpangan pendapatan antar wilayah di Indonesia

STUDI KEBIJAKAN FISKAL UNTUK MENGATASI
KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR WILAYAH
DI INDONESIA

ADHITYA WARDHANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Studi Kebijakan Fiskal
untuk Mengatasi Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah di Indonesia adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Adhitya Wardhana
NIM H162080021

RINGKASAN
ADHITYA WARDHANA. Studi Kebijakan Fiskal untuk Mengatasi Ketimpangan
Pendapatan antar Wilayah di Indonesia. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA,
HERMANTO SIREGAR dan KODRAT WIBOWO.
Ketimpangan pendapatan antar wilayah mengalami peningkatan di tahun
2001-2010. Akibatnya daerah miskin belum dapat meningkatkan belanja modal
sehingga dampak belanja modal terhadap PDRB perkapita belum terjadi secara
optimal. Oleh karena itu diperlukan peningkatan belanja modal dari daerah miskin,
baik yang langsung maupun tidak langsung akan berdampak maksimal terhadap
PDRB perkapita. Ketimpangan pendapatan yang terus meningkat memperbesar
gap pendapatan antara daerah kaya dan miskin. Kemudian adanya kebijakan hold
harmless semakin memperburuk ketimpangan antar daerah. Dalam era
desentralisasi fiskal, pemberian DAU berperan untuk mengurangi gap antara
daerah kaya dan daerah miskin.
Tujuan umum penelitian ini yaitu menganalisis ketimpangan antar

wilayah dan merumuskan kebijakan fiskal untuk mengatasinya. Sedangkan tujuan
khusus dalam penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi belanja modal, PDRB perkapita dan ketimpangan antar wilayah.
Tujuan khusus lainnya yaitu mengkaji alternatif formula DAU untuk memperkuat
perannya sebagai equalization grants. Metode yang digunakan dalam studi ini
yaitu metode regresi panel dengan rentan periode 2001-2010. Hasil ini dilengkapi
dengan korelasi antara DAU aktual, DAU revisi dan DAU Shah (2012) dengan
PDRB perkapita. Analisis juga dilengkapi penghitungan ketimpangan horizontal
melalui indeks Williamson.
Penelitian ini, menemukan ketimpangan antar wilayah semakin memburuk
meskipun ada perbaikan setelah kebijakan hold harmless dihapuskan. Berdasarkan
hasil estimasi pada model persamaan belanja modal, faktor yang dapat
meningkatkan belanja modal adalah peningkatan PAD, DAU dan DAK serta
penghapusan kebijakan hold harmless. Sementara dari model persamaan PDRB
perkapita, penelitian ini menemukan peningkatan belanja modal, investasi,
penghapusan hold harmless, dan jumlah penduduk berpengaruh signifikan
terhadap PDRB perkapita. Dampak belanja modal terhadap PDRB di daerah kaya
lebih efektif karena alokasi belanja yang relatif besar dibandingkan daerah miskin
maka dari itu pemberian DAU dan DAK pada daerah miskin dapat meningkatkan
kapasitas belanja. Berdasarkan hasil estimasi pada model ketimpangan pendapatan,

faktor yang dapat menurunkan ketimpangan pendapatan adalah peningkatan DAU,
DAK, infrastruktur jalan, kebijakan penghapusan hold harmless, infrastruktur
(panjang jalan), dan pengendalian penduduk. Penelitian ini juga menemukan
bahwa penghapusan kebijakan hold harmless semakin memperkuat peranan DAU
dalam menurunkan ketimpangan antar wilayah. Dari penemuan ini, perlunya
reformulasi formula DAU sehingga dapat menurunkan ketimpangan pendapatan
serta DAU yang adil untuk semua daerah dapat tercapai. Formula DAU alternatif
berdasarkan revisi UU No 33/2004 dan formula Shah (2012) dapat memberikan
alokasi DAU yang lebih adil dan menurunkan ketimpangan antar wilayah.
Kata Kunci : belanja modal, DAU, ketimpangan pendapatan

SUMMARY
ADHITYA WARDHANA. The Study of Fiscal Policy to Overcome Regional
Inequalty in Indonesia. Supervised by BAMBANG JUANDA, HERMANTO
SIREGAR and KODRAT WIBOWO.
In the past decade Indonesia has witnessed an increase in regional income
inequality. The inequality causes government capital expenditure in poor regions
has an effect that is far from optimal to regional GDP. To maximize this, we argue
the need to increase the capital expenditure by regional government in poor
regions. An increase in income inequality induces an income gap between rich

and poor regions. The installment of hold harmless rule adds to an increase in
regional inequality. In decentralization era, General Allocation Fund (also known
as Dana Alokasi Umum (DAU)), has primary function to minimize the gap
between rich and poor regions.
The general objective of this study is to analyze regional inequality and find
some fiscal policy that could be used to address the inequality issue. In specific,
this study analyzes the determinants of regional government capital goods,
regional GDP and regional inequality. In addition to that, this study also aims to
find an alternative formula for the DAU to strengthen its function as equalization
grants.
We use panel data regression at the provincial level that spans between
2001-2010 to find the determinants of regional government capital goods, regional
GDP and regional inequality. In addition to panel data regression, we also use
correlation analysis between actual DAU, revision DAU and Shah’s DAU (2012)
with regional GDP per capita to infer which of the formula could serve DAU true
purpose. For the horizontal inequality, this study calculates Williamson Index.
We find that in the last decade Indonesia has witnessed a worsening regional
inequality despite the improvement made by the removal of the hold harmless rule.
Based on the panel estimation, the determinants for regional government capital
expenditure are increase in PAD, DAU, DAK and the removal of the hold

harmless rule. While in the other model, we find that increased in regional
government’s capital expenditure, investment, the removal of hold harmless rule,
and population has positive effect to regional GDP per capita. Finding that the
effect of capital expenditure to regional GDP in rich regions reiterates the need to
increase poor regions government expenditure capacity by allocating more DAU
and DAK. The determinants for decreasing inequality are increased in DAU,
DAK, the removal of hold harmless, infrastructure and population control. Lastly,
this study finds that the removal of hold harmless rule could reinforce DAU
primary purpose to reduce regional income inequality. On the alternative formula,
this study advocates the use of the revisional DAU formula based UU. No.
33/2004 and Shah’s (2012) DAU formula.
Keyword : DAU, inequality, local capital expenditure,

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STUDI KEBIJAKAN FISKAL UNTUK MENGATASI
KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR WILAYAH
DI INDONESIA

ADHITYA WARDHANA

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Yusman Syaukat MEc
Dr. Ir. Setia Hadi MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Rusli Ghalib
Dr. Ir. Slamet Sutomo

Judul Disertasi
Nama
NIM

:

Studi Kebijakan Fiskal Untuk Mengatasi Ketimpangan
Pendapatan Antar Wilayah di Indonesia
: Adhitya Wardhana
: H162080021

Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing


Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Ketua

Prof Dr Ir Hermanto Siregar,MEc
Anggota

Dr Kodrat Wibowo, SE
Anggota

Diketahui Oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

Tanggal Ujian : 5 Juli 2013


Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Melalui penelitian ini penulis mengucapkan terimakasih yang sedalamdalamnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku Ketua
Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MSc dan Bapak
Dr. Kodrat Wibowo, SE selaku anggota komisi pembimbing; atas bimbingan
arahan dan motivasinya. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang
sedalam-dalamnya sekali lagi kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda,
MS dan Ibu Dr. Eka Intan sekretaris Program Studi PWD beserta jajarannya
atas arahan dan motivasinya. Kepala Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan : Dr. Kodrat Wibowo SE, dan Prof. Dr. Armida S Alisjahbana
telah memberikan dorongan dan motivasi kepada peneliti. Ir Rubaman
Surawinata dan Setyati Rubaman yang tiada hentinya mendukung peneliti
untuk terus menjadi yang terbaik. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada
Ira Nuraeni SE, Raqi Raichan Rubaman dan Rafa Raditya Rubaman dengan
penuh kesabaran dan memberikan motivasi untuk menyelesaikan studi kepada

peneliti. Keluarga Alm. Ajang Sukarsa yang tiada hentinya membantu
peneliti. Keluarga Arifin Ramdhani, SE, ME memberikan dorongan moril
kepada peneliti. Rido Cahya Mulyawan yang selaku mendorong dan
mendukung penuh secara motivasi dan materil kepada peneliti. Arief
Bustaman, SE, MIB memberikan dukungan penuh kepada penulis Viktor
Firmana SE, MSi, terima kasih atas bantuannya. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Dr. A Kemal Hidayat, Dr Arief Ramayandi, Dr Bagdja
Muljarijadi, memberikan dukungan penuh kepada penulis. Penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala dukungannya kepada
Rifa Utama, SE, ME, Wawan Gunawan SE, Tito Dimas Pradono SE, MSi,
Achmad Maulana, SE, Mdev, Dr. A Faudzan, Dr. Yayan, Dr Panca Bagja,
Firman Nurzain, SE, Edi Rahayu, SE, Isvan Taufik, MT, dan Kel. Suhartono.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada FEB UNPAD dan DIKTI atas
perhatiannya. Demikian juga kepada teman-teman PWD 2008, 2009, 2010,
2011 dan 2012 terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya. Penulis menyadari
penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
sangat diharapkan untuk perbaikannya
Bogor, Juli 2013
Adhitya Wardhana


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat dan Ruang Lingkup Penelitian
Kebaruan (Novelty)
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Distribusi Pendapatan
Belanja Modal
Produk Domestik Regional Bruto
Sumber Penerimaan Daerah
Transfer Pusat ke Daerah
Dana Alokasi Umum Sebagai Equalization Grants
Perbandingan DAU Versi Shah (2012), DAU Saat ini dan DAU Revisi
Investasi
Penduduk
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Rancangan Penelitian
Metode Pengujian
Pengujian Masalah Regresi
4 GAMBARAN UMUM KEUANGAN DAERAH, INVESTASI
INFRASTRUKTUR DAN PDRB PERKAPITA DI INDONESIA
Gambaran Umum Penerimaan Daerah Provinsi di Indonesia
Gambaran Umum Belanja Modal Provinsi di Indonesia
Gambaran Umum Investasi dan Infrastruktur Provinsi di Indonesia
Gambaran PDRB perkapita Provinsi di Indonesia

xiii
xiv
1
1
8
9
9
10
11
11
11
12
13
14
17
18
19
20
21
22
28
31
33
33
34
34
40
42
47
47
48
51
54

xi

5 FENOMENA KETIMPANGAN PEREKONOMIAN ANTAR DAERAH
DI INDONESIA

57

Kondisi Keuangan Daerah Provinsi di Indonesia
Kondisi Investasi, Infrastruktur, Jumlah Penduduk dan PDRB Perkapita
Provinsi di Indonesia
Ketimpangan Pendapatan Provinsi di Indonesia Tahun 2001-2010
6 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELANJA
MODAL, PDRB PERKAPITA DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN
DI INDONESIA
Hasil Estimasi Model Persamaan Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Belanja
Modal Provinsi di Indonesia
Pembahasan Model Persamaan Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Belanja
Modal Provinsi di Indonesia
Hasil Estimasi Model Persamaan Faktor -Faktor yang Mempengaruhi PDRB
perkapita
Pembahasan Model Persamaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PDRB
perkapita
Hasil Estimasi Model Persamaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ketimpangan Pendapatan
Pembahasan Model Persamaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ketimpangan Pendapatan
Simulasi Perhitungan DAU
Hasil Perhitungan Formula Alternatif DAU Versi Shah (2012)
Kota/Kabupaten di Indonesia
Hasil Simulasi DAU Perbandingan DAU Versi Shah (2012), DAU aktual
Tahun 2010 dan DAU Revisi Tahun 2010
Penghapusan PDRB perkapita dalam Kebutuhan Fiskal pada Simulasi
Perhitungan Formula DAU

57
67

Hasil Perhitungan Formula Alternatif DAU berdasarkan Ukuran Disparitas
Implikasi Kebijakan : Sebuah Sintesa
7 SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan
Rekomendasi
Rekomendasi untuk Penelitian Lanjut
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
RIWAYAT HIDUP

xii

73
75

75
77

81
84
89
91
96
97
99
101
102
103
1 105
105
105
106
107
113
140
141

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Distribusi PDRB per pulau di Indonesia tahun 2006-2010
Gini rasio provinsi di Indonesia tahun 2008-2010
Provinsi yang memiliki belanja modal terbesar tahun 2001-2010 (jutaan)
Lima provinsi dengan kontribusi investasi tertinggi terhadap
PDRB perkapita 2001-2006 (dalam persen)
Lima provinsi dengan kontribusi investasi tertinggi
terhadap PDRB perkapita 2007-2010 (dalam persen)
Provinsi terbesar dalam pembangunan panjang jalan beraspal
kondisi baik tahun 2001-2006
Provinsi terbesar dalam pembangunan panjang jalan beraspal kondisi baik
tahun 2007-2010
Perkembangan rata-rata PAD lima tahunan provinsi di Indonesia (dalam
jutaan)
DAK total dan DAK bidang infrastruktur jalan rata-rata tahun 2001-2005
dan tahun 2006-2010 (dalam juta)
Jumlah penerima DAK provinsi, kabupaten, kota dan kabupaten dan kota
di Indonesia tahun 2003-2010
Koefisien variasi dari DAU dan DAK provinsi di Indonesia tahun 2001-2010
Kontribusi dana transfer pusat terhadap belanja modal provinsi
di Indonesia tahun 2008-2010 (dalam persen)
Kondisi panjang jalan beraspal kondisi baik provinsi di Indonesia
rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010 (km2)
Jumlah penduduk provinsi di Indonesia rata-rata tahun 2001-2005
dan tahun 2006-2010 (dalam juta)
Koefisien variasi dari PDRB perkapita, investasi dan infrastruktur jalan tahun
2001-2010

16 Ketimpangan pendapatan tertinggi dan terendah sepuluh provinsi
17
18
19
20
21
22
23
24
25

2
3
50
51
52
53
53
58
62
63
64
66
69
71
73
74

di Indonesia Tahun 2001-2010 (dalam indeks)
Uji Haussman persamaan belanja modal
Persamaan belanja modal provinsi di Indonesia
Hasil coefficient correlation persamaan belanja modal provinsi di Indonesia
Durbin Watson test persamaan belanja modal
Uji Haussman persamaan PDRB perkapita
Hasil Estimasi PDRB perkapita provinsi di Indonesia
Hasil coefficient correlation persamaan PDRB perkapita provinsi di Indonesia
Observasi nilai residual persamaan PDRB perkapita
Uji Haussman persamaan ketimpangan pendapatan

xiii

75
76
76
77
81
82
83
83
85

26 Hasil estimasi persamaan ketimpangan pendapatan provinsi di Indonesia
27 Hasil coefficient correlation persamaan ketimpangan pendapatan provinsi di
Indonesia
28 Durbin Watson test persamaan ketimpangan pendapatan
29 Jumlah penerima dau hasil formula Shah (2012) pada klaster kota dan kabupaten
berdasarkan kelompok (dalam juta)
30 Korelasi perhitungan alternatif DAU Shah (2012), DAU aktual
dan DAU revisi dengan PDRB perkapita
31 Indeks Williamson dengan alternatif DAU Shah (2012), DAU revisi dan DAU
aktual : pemerintah kota dan kabupaten

90
90
91
98
101
103

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Box plot PDRB perkapita provinsi di Indonesia tahun 2005-2010
Korelasi belanja modal dengan PAD dan DAU daerah kaya dan miskin di
Indonesia tahun 2010 (dalam persen)
Korelasi belanja modal dengan DAK daerah kaya dan miskin di Indonesia
tahun 2010 (dalam persen)
Korelasi PDRB perkapita dengan belanja modal, investasi dan infrastruktur di
Indonesia tahun 2010 (dalam persen)
Korelasi PDRB perkapita tahun sebelumnya dengan DAU dan DBH di
Indonesia tahun 2010
Korelasi PDRB perkapita dua tahun sebelumnya dengan DAK di Indonesia
tahun 2010
Proses penetapan variabel dan rumus DAU
Kerangka pemikiran
Tahapan Model Empiris (Juanda, 2009)

10 Kontribusi total PAD, DAU dan DAK terhadap total penerimaan daerah di
provinsi Indonesia tahun 2001-2010 (dalam persen)
11 Perkembangan belanja modal seluruh provinsi di Indonesia tahun 2001-2010
(dalam jutaan)
12 Panjang jalan beraspal kondisi baik seluruh provinsi di Indonesia tahun 20012010

1
4
5
6
7
7
16
30
38
48
49
54

13 PDRB perkapita provinsi di Indonesia tahun 2001-2005 (dalam juta)

55

14 PDRB perkapita provinsi di Indonesia tahun 2007-2010 (dalam juta)

56

xiv

15 Jumlah DAU provinsi rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010 (dalam
jutaan)
16 Scatter plot korelasi antara kapasitas fiskal dan DAU provinsi di Indonesia

60
61

17 Kontribusi belanja modal terhadap investasi provinsi di Indonesia
rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 2006-2010
18 Scatter plot korelasi provinsi dengan kapasitas fiskal tinggi dan kapasitas fiskal
rendah terhadap belanja modal di Indonesia tahun 2010

65

19 Pembentukan modal tetap bruto rata-rata tahun 2001-2005 dan tahun 20062010 provinsi di Indonesia (jutaan)

68

Rata-rata PDRB perkapita provinsi di Indonesia tahun 2001-2005 dan tahun
20 2006-2010 (dalam juta)
Distribusi peneriman DAU perhitungan Shah (2012) pada klaster kota
21 kelompok berpenduduk 500-1 juta orang
22 Distribusi peneriman DAU perhitungan Shah (2012) pada klaster kabupaten
pada kuartil satu

72

xv

65

99
99

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dengan adanya era otonomi, pemerintah daerah diberi wewenang lebih
luas untuk mengalokasikan belanjanya. Salah satu implementasi otonomi daerah
adalah memberikan dana transfer kepada pemerintah daerah dari pemerintah pusat
seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU dan
DAK digunakan untuk menyeimbangkan kapasitas fiskal daerah. Daerah yang
memiliki kapasitas fiskal yang rendah akan diberikan dana transfer pusat (DAU
dan DAK) relatif lebih besar. Namun sejauh ini ketimpangan pendapatan antar
provinsi setiap tahunnya semakin timpang.
Berdasarkan data periode tahun 2005-2010, ketimpangan antar provinsi
terus mengalami peningkatan. Gambar dibawah ini memperlihatkan perbedaan
PDRB perkapita yang lebih besar untuk provinsi yang memiliki potensi ekonomi
tinggi. Semakin besarnya biaya hidup karena adanya inflasi, kurang memadainya
sarana infrastruktur, tingginya beban ketergantungan akan membuat ketimpangan
antar daerah ini semakin besar. Selain itu, terdapat kecenderungan perbedaan
potensi sumber penerimaan di setiap provinsi dapat memicu peningkatan
ketimpangan pendapatan.

Sumber : BPS pusat tahun 2005-2010 (diolah)

Gambar 1 Boxplot PDRB perkapita provinsi di Indonesia tahun 2005-2010
Pada gambar boxplot diatas, terlihat ketimpangan antar daerah atau
provinsi semakin besar dalam setiap tahunnya. Menurut Nazara (2010),
ketimpangan antar daerah diawali dari distribusi spasial sumber daya
pembangunan yang mengikuti sebaran kegiatan ekonomi dan penduduk. Akibat
kegiatan ekonomi tidak merata maka alokasi sumber daya ekonomi untuk

2

pembangunan juga tidak merata. Ketidakmerataan tersebut menguatkan
penyebaran kegiatan ekonomi di daerah-daerah tertentu saja. Pemerataan
pembangunan daerah tidaklah dimaksudkan sekedar menyamakan proporsi
pendapatan setiap daerah, dengan kata lain pemerataan dapat dilihat berdasarkan
kebutuhan yang ingin dicapai oleh masing-masing daerah. Setiap daerah
memiliki kebutuhan yang berbeda, sehingga diperlukan usaha yang berbeda untuk
mencapai kebutuhan tersebut. Ketidakmerataan pendapatan antar daerah berasal
dari perbedaan sumber daya. Pada gambar boxplot memperlihatkan provinsi
Kalimantan Timur dan Riau memiliki nilai PDRB perkapita diatas provinsi lain.
PDRB yang termasuk minyak dan gas, membuat PDRB perkapita provinsi
Kalimantan Timur dan Riau lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Peningkatan penduduk juga merupakan salah satu penyebab ketimpangan
pendapatan antar daerah semakin buruk. Semakin tinggi laju pertumbuhan
penduduk tanpa dibarengi peningkatan PDRB yang lebih besar maka nilai PDRB
perkapita suatu daerah akan semakin rendah.

Tabel 1 Distribusi PDRB per pulau di Indonesia tahun 2006-2010
Pulau
2006
2007
2008
2009

2010

Sumatera
Jawa
Bali dan Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku dan Papua

16.67
61.05
2.77
8.57
4.68
1.74

17.19
60.25
2.71
9.04
4.33
1.67

17.15
60.54
2.70
8.85
4.38
1.66

16.88
60.88
2.71
8.75
4.50
1.59

16.71
60.92
2.77
8.63
4.59
1.76

Sumber : BPS pusat tahun 2006-2010 (diolah)

Ketimpangan pendapatan dapat juga dilihat dari perbedaan nilai PDRB.
Dilihat pada tabel 1, tidak ada perubahan yang signifikan dari penyebaran PDB
Indonesia berdasarkan klaster pulau. Pulau Jawa dan Sumatera merupakan pulau
dengan nilai PDRB tertinggi, bahkan nilai kontribusi PDRB pulau Jawa terhadap
nasional dalam setiap tahunnya sudah mencapai 60%. Pulau diluar Sumatera dan
Jawa mempunyai nilai proporsi PDRB yang relatif rendah. Nazara (2010)
menjelaskan bahwa pulau Jawa dan Sumatera masih mendominasi distribusi PDB
di Indonesia. Sedangkan pulau di luar Jawa dan Sumatera tidak mengalami
perubahan yang signifikan.
Pemerataan antar daerah tidak diarahkan agar setiap provinsi memiliki
pendapatan yang sama, tetapi bagaimana setiap provinsi dapat memiliki
kemampuan untuk melakukan kegiatan dan memanfaatkan sumber daya yang
dimiliki. Di satu sisi provinsi di luar Jawa memiliki sumber daya alam melimpah
namun belum dapat meningkatkan outputnya akibat tidak dapat memanfaatkan
sumber daya yang dimilikinya. Hanya sebagian provinsi yang sudah
memanfaatkan sumber daya alamnya seperti Kalimantan Timur dan Riau.
Ketimpangan antar wilayah dapat dilihat juga dari koefisien gini rasio.
Berdasarkan data tahun 2008-2010, koefisien gini rasio provinsi di Indonesia
cenderung mengalami peningkatan. Koefisien gini rasio memperlihatkan

3

ketimpangan pendapatan masyarakat pada suatu daerah, semakin besar nilai
koefisien gini rasio maka ketimpangan pendapatan masyarakat di daerah tersebut
semakin timpang. Berdasarkan data dari BPS secara individu terlihat adanya
perbedaan pendapatan antar propinsi yang terus meningkat dalam setiap tahunnya.
Perkembangan gini rasio yang kian meningkat, membuat ketimpangan pendapatan
masyarakat semakin besar. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat
belum memberikan perubahan cukup signifikan dalam penurunan ketimpangan
perekonomian. Terlihat dari gini rasio seperti provinsi DIY dan Banten
mempunyai gini rasio yang cukup besar pada tahun 2010. Meskipun pulau Jawa
mendominasi PDB Indonesia namun masih terdapat ketimpangan cukup besar
yang terjadi antar provinsi di pulau Jawa. Provinsi NTB, Gorontalo, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara dan Papua memiliki gini rasio terbesar sepanjang
tahun 2010. Ketimpangan pendapatan yang sangat besar membuat ketimpangan
pendapatan antar individu yang begitu tajam.
Tabel 2 Gini rasio provinsi di Indonesia tahun 2008-2010
Gini Rasio
Provinsi
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Kep. Riau
Jambi
Sumsel
Babel
Bengkulu
Lampung
DKI
Jabar
Banten
Jateng
DIY
Jatim
Bali

2008
0,27
0,31
0,29
0,31
0,30
0,28
0,30
0,26
0,33
0,35
0,33
0,35
0,34
0,31
0,36
0,33
0,30

2009
0,29
0,32
0,30
0,33
0,29
0,27
0,31
0,29
0,30
0,35
0,36
0,36
0,37
0,32
0,38
0,33
0,31

Gini Rasio
2010
0.30
0.35
0.33
0,33
0,29
0.30
0.34
0,30
0,37
0,36
0,36
0,36
0,42
0,34
0,41
0,34
0,37

Provinsi
NTB
NTT
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Gorontalo
Sulteng
Sulsel
Sulbar
Sultra
Maluku
Malut
Papua
Papua Barat

2008
0,33
0,34
0,31
0,29
0,33
0,34
0,28
0,34
0,33
0,36
0,31
0,33
0,31
0,33
0,40
0,31

2009
0,35
0,36
0,32
0,29
0,35
0,38
0,31
0,35
0,34
0,39
0,30
0,36
0,31
0,33
0,38
0,35

2010
0,40
0,38
0,37
0,30
0,37
0,37
0,37
0,43
0,37
0,40
0,36
0,42
0,33
0,34
0,41
0,38

Sumber : BPS Pusat (2010)

Untuk mengurangi ketimpangan, perlu upaya mendorong daerah-daerah
miskin untuk meningkatkan PDRB perkapita karena peningkatan PDRB perkapita
diharapkan dapat menurunkan ketimpangan antar daerah. Salah satu cara untuk
mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah dan meningkatkan PDRB
perkapita yaitu dengan cara meningkatkan belanja modal pada daerah miskin.
Peningkatan belanja modal akan mendorong peningkatan PDRB perkapita.
Setelah diberi keleluasaan mengelola keuangan, seharusnya daerah mampu
meningkatkan belanja modal. Peningkatan belanja modal pada dasarnya
tergantung pada besaran penerimaan daerah yang bersumber dari PAD dan dana

4

transfer pusat (DAU, DBH dan DAK). Daerah yang mampu menggali sumber
ekonomi potensial maka daerah tersebut dapat meningkatkan nilai PAD.
Karenanya daerah kaya cenderung mempunyai nilai PAD yang lebih besar
dibandingkan daerah miskin. Selama ini tidak terdapat definisi daerah kaya dan
daerah miskin, maka dalam penelitian ini untuk menentukan daerah kaya dan
miskin menggunakan perhitungan median dari PDRB perkapita. Provinsi yang
berada di bawah nilai median PDRB perkapita maka diasumsikan sebagai daerah
miskin.
Peningkatan PAD didapat dari peningkatan potensi objek pajak. Daerah
yang dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki maka daerah tersebut tidak
sulit mendapatkan sumber-sumber peningkatan PAD. Dukungan pemerintah pusat
untuk meningkatkan pembangunan daerah dengan cara memberikan Dana Alokasi
Umum (DAU). DAU merupakan transfer pusat ke daerah dalam bentuk hibah,
penggunaan DAU ditetapkan sendiri oleh daerah. Tujuan DAU yaitu
menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah sehingga daerah
kurang mampu akan mendapat alokasi DAU yang relatif besar. Setiap daerah akan
mempunyai kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal yang berbeda, maka peranan
DAU menjadi penting untuk mencukupi kebutuhan fiskal disetiap daerah agar
celah fiskal tidak terlalu besar. DAU digunakan oleh daerah untuk meningkatkan
pembangunan daerahnya yang disalurkan melalui belanja modal. Belanja modal
merupakan elemen penting dalam meningkatkan pembangunan. Belanja modal
yang besar maka diharapkan dapat mempercepat penurunan ketimpangan
pendapatan.
Gambar 2 dibawah ini, memperlihatkan korelasi positif antara PAD, DAU
dengan belanja modal berdasarkan daerah yang kaya dan miskin. Hasil dari
korelasi ini memperlihatkan PAD dan DAU dapat meningkatkan belanja modal.
Pada gambar 2 memperlihatkan daerah kaya dan daerah miskin yang diproksikan
dengan provinsi ternyata masih membutuhkan transfer pusat yang sebanding
dengan kebutuhan belanja modal.

Sumber : DJPK tahun 2010 (diolah)
Ket. p : daerah miskin dan r : daerah kaya, berdasarkan dari perhitungan median pada PDRB
perkapita

Gambar 2 Korelasi belanja modal dengan PAD dan DAU daerah kaya dan miskin
di Indonesia tahun 2010 (dalam persen)

5

Kemudian terdapat DAK yang digunakan untuk keperluan daerah dan
prioritas nasional. DAK lebih fokus terhadap pembiayaan infrastruktur daerah.
Dana transfer pusat DAK akan menambah besaran belanja modal daerah dan
alokasi DAK ini diharapkan dapat meningkatkan PDRB perkapita. Gambar 3
memperlihatkan hasil korelasi DAK dengan belanja modal pada daerah kaya dan
daerah miskin dimana ditunjukkan bahwa DAK berkorelasi positif dengan belanja
modal. Berdasarkan hasil korelasi DAK ini, diindikasikan bahwa dengan
meningkatkan jumlah DAK maka akan berdampak terhadap penambahan jumlah
belanja modal.

Scatterplot of Belanja_Modal(r) vs DAK(r), Belanja_Modal(p) vs DAK(p)
11.5
16

12.0
12.5
13.0
13.5
Belanja_Modal(r)*DAK(r)

11.0

11.5

12.0

12.5

Belanja_Modal(p)*DAK(p)

16

15

15

14

14

13

13

12

12

11.5

12.0

12.5

13.0

13.5

11.0

11.5

12.0

12.5

Sumber : DJPK tahun 2010 (diolah)
Ket. p : daerah miskin dan r : daerah kaya, berdasarkan dari perhitungan median pada
PDRB perkapita

Gambar 3 Korelasi belanja modal dengan DAK daerah kaya dan miskin
di Indonesia tahun 2010 (dalam persen)
Setelah melihat mekanisme umum dari penerimaan daerah terhadap
belanja modal maka diharapkan belanja modal daerah akan lebih maksimal dalam
meningkatkan pertumbuhan output perkapita. Agar belanja modal berjalan efektif
dalam meningkatkan pembangunan daerah maka besaran belanja modal dapat
disalurkan dalam bentuk perluasan investasi dan peningkatan infrastruktur.
Dilihat dari gambar 4, korelasi PDRB perkapita dengan belanja modal, investasi
dan infrastruktur memiliki hubungan positif. Daerah miskin memiliki kapasitas
fiskal yang lebih rendah dibandingkan daerah kaya sehingga menyebabkan
belanja modal akan lebih rendah. Perlunya dana transfer dari pusat selain untuk
menyeimbangkan keuangan daerah juga untuk meningkatkan PDRB perkapita.
Mungkin saja alokasi anggaran di daerah masih rendah sehingga belum cukup
mampu untuk meningkatkan PDRB perkapita.

6

Sumber : DJPK tahun 2010 (diolah)

Gambar 4 Korelasi PDRB perkapita dengan belanja modal, investasi dan
infrastruktur di Indonesia tahun 2010 (dalam persen)
Kebijakan fiskal merupakan salah satu upaya untuk menurunkan
ketimpangan perekonomian antar daerah. Kebijakan fiskal dapat dilakukan
melalui instrumen fiskal seperti DAU dan DAK. DAU adalah instrumen fiskal
untuk mengatasi horizontal imbalance dan bertujuan untuk pemerataaan
kemampuan keuangan antar daerah. Sedangkan DAK memiliki peranan penting
terhadap penurunan ketimpangan karena berdampak langsung terhadap
infrastruktur daerah. Dari kedua instrumen fiskal ini diharapkan akan mengurangi
ketimpangan antar daerah. Perkembangan alokasi DAU dan DAK terlihat dari
aktifitas ekonomi daerah dan pendapatan perkapita tahun sebelumnya. Karenanya
penentuan besaran DAU dan DAK ditentukan oleh perkembangan pendapatan
perkapita tahun sebelumnya.
Gambar 5 memperlihatkan tren positif korelasi antara PDRB perkapita dua
tahun sebelumnya dengan DAU dan DBH. Peningkatan DAU memperlihatkan
daerah membutuhkan dana tersebut untuk kepentingan daerah. Seharusnya daerah
dengan pendapatan perkapita yang tinggi tidak diberikan DAU yang besar, tetapi
berdasarkan kebijakan hold harmless dimana DAU dalam setiap tahunnya
minimal sama dengan tahun sebelumnya maka daerah dengan pendapatan
perkapita tinggi tetap menerima transfer DAU yang besar. Formula DAU yang
ada belum memberikan penurunan ketimpangan antar daerah sehingga perlu
ditinjau kembali.
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan bagian dari dana perimbangan yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan
angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Gambar 5 memperlihatkan DBH memiliki hubungan positif
dengan PDRB perkapita dua tahun sebelumnya. Ketergantungan daerah terhadap
DBH cukup besar untuk meningkatkan PDRB perkapita. Peranan dana
perimbangan baik DAU dan DBH karenanya masih diharapkan oleh pemerintah
daerah dalam rangka menyeimbangkan keuangan daerah dan pencapaian target
pembangunan.

7

Scatterplot of PDRB_Kapita_t-2 vs DAU, DBH1
0

300000

900000

1000000
1200000

1200000

DAU

400000000

PDRB_Kapita_t-2

600000

1400000

1600000

DBH1

400000000

300000000

300000000

200000000

200000000

100000000

100000000

0

0
0

300000

600000

900000

1000000
1200000

1200000

1400000

1600000

Sumber : DJPK tahun 2010 (diolah)

Gambar 5 Korelasi PDRB perkapita tahun sebelumnya dengan DAU dan DBH di
Indonesia tahun 2010
DAK yang diberikan sesuai dengan kebutuhan daerah dan prioritas
nasional. Gambar 6, memperlihatkan hubungan tren positif antara PDRB
perkapita dua tahun sebelumnya dengan DAK. Pemberian DAK terhadap daerah
disesuaikan dengan hasil PDRB perkapita dua tahun sebelumnya agar DAK yang
disalurkan kepada daerah sesuai dengan kebutuhan daerah. DAK lebih ditekankan
terhadap pembangunan infrastruktur untuk mendukung aktifitas perekonomian
daerah. Keberadaan DAK memberikan peranan sangat penting untuk peningkatan
infrastruktur di daerah yang diharapkan dapat meningkatkan PDRB perkapita.

Scatterplot of PDRB_kat-2 vs DAK
900000
800000

PDRB_kat-2

700000
600000
500000
400000
300000
200000
10000000

20000000

30000000
40000000
DA K

50000000

60000000

Sumber : DJPK tahun 2010 (diolah)

Gambar 6 Korelasi PDRB perkapita dua tahun sebelumnya dengan DAK di
Indonesia tahun 2010

8

Peningkatan ketimpangan pendapatan antar daerah membuat pemerintah
pusat harus menetapkan kebijakan yang dapat mengatasi ketimpangan
pendapatan. Peranan penerimaan daerah seperti PAD, DAU dan DAK menjadi
sumber penerimaan belanja modal untuk menurunkan ketimpangan. Berarti
ketimpangan pendapatan dapat diturunkan melalui kemampuan daerah dalam
memenuhi kebutuhan daerah. Penelitian ini akan mengambarkan indikatorindikator yang paling mempengaruhi peningkatan belanja modal, PDRB
perkapita, dan penurunan ketimpangan pendapatan. Pemberian DAU kepada
daerah selama ini belum menunjukkan dampak pada penurunan ketimpangan
pendapatan antar daerah. Formula DAU yang sudah diperhitungkan sebelumnya
ternyata masih banyak kelemahan, oleh karena itu pemerintah pusat berusaha
membangun formula DAU yang paling tepat. Penelitian ini akan mencoba pula
perhitungan alternatif formula DAU yang tepat untuk menutupi celah fiskal dan
penurunan ketimpangan antar daerah dengan lebih baik.

Perumusan Masalah
Ketimpangan pendapatan antar wilayah mengalami peningkatan dalam
setiap tahunnya. Terutama daerah miskin belum dapat meningkatkan belanja
modal sehingga untuk meningkatkan PDRB perkapita belum optimal. Rendahnya
penerimaan daerah akan berdampak terhadap besaran belanja modal. Perlu
melakukan suatu kebijakan fiskal melalui instrumen fiskal seperti peningkatan
PAD, DAU dan DAK. Akibat potensi PAD belum tergali optimal sehingga upaya
untuk menurunkan ketimpangan pendapatan antar wilayah belum teratasi.
DAU sebagai salah satu alat instrumen fiskal untuk mengurangi
ketimpangan antar wilayah yang ternyata selama ini justru ketimpangan
pendapatan antar daerah selalu meningkat (Gambar 1). Penelitian Adi (2008)
menjelaskan bahwa DAU terkadang digunakan oleh daerah untuk pengeluaran
rutin dan sedikit sekali digunakan untuk pengeluaran pembangunan. Kurang
seriusnya daerah dalam mengoptimalkan transfer pusat untuk kebutuhan fiskal
daerah. Kemudian adanya kebijakan hold harmless sampai tahun 2008 ternyata
tidak mencerminkan penurunan ketimpangan. Kebijakan hold harmless mengatur
pemberian DAU kepada daerah agar DAU tidak lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya. Kebijakan hold harmless berdampak bagi daerah yang
berpendapatan besar akan tetap mendapat DAU dan tidak lebih kecil dalam
alokasi DAU dari tahun sebelumnya. Dari aturan tersebut, membuat konsep DAU
tidak berjalan dengan baik dan tidak mengurangi ketimpangan pendapatan.
Daerah miskin memiliki kendala dalam besaran belanja modal, sehingga
untuk meningkatkan PDRB perkapita belum maksimal. Daerah miskin dalam
meningkatkan sumber potensial yang dijadikan objek pajak masih relatif rendah.
Dibutuhkan peningkatan belanja modal dari daerah miskin yang langsung atau
tidak langsung akan berdampak terhadap PDRB perkapita. Peningkatan belanja
modal tersebut bergantung terhadap penerimaan daerah. Ketimpangan pendapatan
yang terus berkembang menjadikan jarak perbedaan pendapatan antara daerah
kaya dan miskin semakin besar. Peranan DAU untuk daerah miskin selama ini
memberikan pengaruh yang relatif rendah terhadap ketimpangan pendapatan.
Agar DAU dapat menurunkan ketimpangan pendapatan antar wilayah

9

memerlukan DAU yang adil untuk semua daerah. Transfer DAU yang tidak adil
menjadi lebih parah semenjak diberlakukan kebijakan hold harmless. Setelah hold
harmless dihapuskan, pola penentuan pemberian DAU diharapkan bisa menjadi
lebih baik. Dengan fakta bahwa dana transfer pusat berupa DAU yang diberikan
kepada pemerintah daerah masih mengalami peningkatan, diperlukan perhitungan
DAU yang dapat memeratakan kapasitas keuangan daerah dan menurunkan
ketimpangan pendapatan. Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dijelaskan
maka penelitian ini akan melihat seberapa besar faktor-faktor yang mempengaruhi
belanja modal dan PDRB perkapita serta ketimpangan pendapatan antar wilayah.
Penelitian ini akan mencoba pula alternatif kebijakan fiskal melalui
perhitungan alternatif formula DAU. Berdasarkan hasil uraian diatas maka
perumusan masalah dapat diindentifikasikan sebagai berikut :
1.
Seberapa besar pengaruh PAD, karakteristik daerah, DAU, kebijakan hold
harmless, dan DAK infrastruktur terhadap belanja modal?
2.
Seberapa besar pengaruh belanja modal, karakteristik daerah, investasi,
kebijakan hold harmless, infrastruktur, dan jumlah penduduk terhadap
PDRB perkapita?
3.
Apakah kebijakan fiskal melalui instrumen dana transfer yaitu DAU dan
DAK infrastruktur dan faktor lainnya seperti karakteristik daerah, kebijakan
hold harmless, infrastruktur, dan jumlah penduduk dapat menurunkan
ketimpangan antar daerah dan apakah ada alternatif kebijakan fiskal yang
lebih baik untuk kedepan (untuk menurunkan ketimpangan)?

Tujuan Penelitian
Ketimpangan antar wilayah yang kian meningkat dalam setiap tahunnya
terutama ketimpangan pendapatan antar daerah. Berdasarkan kondisi tersebut
maka tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis ketimpangan antar
wilayah dan merumuskan kebijakan fiskal untuk mengatasinya.
Peranan belanja modal dapat ditentukan dari besaran penerimaan daerah
untuk meningkatkan PDRB perkapita. Peningkatan PDRB perkapita untuk daerah
miskin diharapkan dapat menurunkan ketimpangan. Tujuan khusus penelitian ini
yaitu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi belanja modal, PDRB
perkapita dan ketimpangan antar wilayah. Tujuan khusus lainnya yaitu mengkaji
alternatif formula DAU untuk memperkuat perannya sebagai equalization grants.

Manfaat dan Ruang Lingkup Penelitian
Manfaat penelitian ini dijadikan sebagai bagian dari rekomendasi untuk
menurunkan ketimpangan antar daerah di Indonesia. Penelitian ini dapat
dijadikan sebagai bagian rekomendasi dan acuan revisi UU No 33/2004 tentang
tentang perimbangan keuangan antar pusat dan daerah dapat melalui reformulasi
DAU. Penelitian ini akan terkonsentrasi terhadap studi ketimpangan di Indonesia,
dengan ruang lingkup penelitian yaitu lingkup 32 Provinsi di Indonesia dengan
periode tahun 2001-2010. Untuk mendapatkan alternatif kebijakan maka
penelitian ini akan melakukan simulasi perhitungan DAU benchmark Shah

10

(2012), DAU aktual tahun 2010 dan DAU revisi tahun 2010 menggunakan data
kabupaten dan kota di Indonesia.

Kebaruan (Novelty)
Kebaruan dalam penelitian ini yaitu melakukan perhitungan alternatif
formula DAU yang dapat menurunkan ketimpangan pendapatan. Penelitian ini
dapat dijadikan sebagai acuan revisi Undang-Undang No 33/2004 tentang
perimbangan keuangan antar pusat dan daerah melalui perhitungan alternatif
formula DAU.

11

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan merupakan konsep yang lebih luas dibandingkan
kemiskinan karena cakupannya tidak hanya menganalisis populasi yang berada
dibawah garis kemiskinan. Pada umumnya, ukuran dan indikator yang mengukur
tingkat distribusi pendapatan tidak tergantung pada rata-rata distribusi. Terkadang
ukuran distribusi pendapatan dipertimbangkan lemah dalam menggambarkan
tingkat kesejahteraan. Masalah utama dari distribusi pendapatan di suatu daerah
adalah ketidakmerataan pendapatan antar kelompok masyarakat pada daerah
tersebut. Oleh karena itu sering disebut tingkat ketidakmerataan atau kesenjangan
(Todaro, 2000). Ketidakmerataan distribusi pendapatan tersebut diakibatkan
banyak hal terutama:
1.

2.

Adanya perbedaan kepemilikan faktor-faktor produksi terutama stok modal
(capital stock) antar kelompok masyarakat. Berdasarkan teori Neo-Klasik
menyatakan bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan berasal dari
kepemilikan faktor capital stock ini. Namun kondisi seperti ini dapat
diperbaiki oleh upaya pelimpahan dari pendapatan pemilik modal yang
berlebih kepada pihak yang kekurangan. Mekanisme seperti ini tidak
berjalan maka teori Keynesian mengandalkan peranan pemerintah dalam
melakukan subsidi pada pihak yang kekurangan. Hal ini diperlukan pula
kebijakan pemerintah dalam upaya redistribusi pendapatan
Ketidaksempurnaan mekanime pasar (Market Failure) yang menyebabkan
tidak terjadinya mekanisme persaingan sempurna. Tidak berjalannya
mekanisme persaingan ini karena: (i) perbedaan kepemilikan faktor produksi
(sebagaimana telah dijelaskan); (ii) timpangnya akses informasi; (iii)
intervensi pemerintah; serta (iv) keterkaitan antara pelaku ekonomi dengan
pihak pemerintah yang kemudian mendistorsi pasar (biasnya kebijakan
pemerintah dalam satu kebijakan tentang perlindungan industri tertentu
misalnya.

Distribusi Pendapatan Daerah
Adanya perbedaan kepemilikan dalam hal sumber daya alam akibat dari
perubahan distribusi antar daerah. Indeks yang sering digunakan untuk distribusi
antar daerah ini adalah Indeks Williamson. Rumus yang digunakan dalam Indeks
Williamson ini adalah sebagai berikut:

 Y  Y *  f
2

W

i

Y*

i

/ N


12

Dimana:
W
= Indeks Williamson
Y
=
i PDRB/Kapita pada propinsi i
Y*
=  PDRB/Kapita nasional
fi
=  penduduk propinsi i
N
= Jumlah total penduduk nasional
Hasil dari Indeks Williamson ini menggambarkan 2 hal yaitu:
1. Disparitas ekonomi antar daerah menjadi berkurang setelah terjadi
peningkatan laju perekonomian nasional
2. Disparitas pendapatan antar daerah di negara berkembang menjadi lebih
tinggi dibandingkan negara maju. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa
hal yaitu:
a. Migrasi tenaga kerja
b. Migrasi modal (capital)
c. Keterkaitan antar daerah
d. Kebijakan ekonomi
Belanja Modal
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah disebutkan bahwa belanja modal adalah
pengeluaran untuk pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang
mempunyai nilai manfaat lebih satu tahun untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan seperti tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan,
irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Pada umumnya belanja modal dapat
dibagi menjadi lima kategori, yaitu:
1) Belanja Modal Tanah
Belanja modal tanah untuk pengeluaran dalam memperoleh hak atas tanah
yang siap pakai.
2) Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Belanja modal yang berupa pengadaan/penambahan/penggantian, dan
peningkatan kapasitas peralatan dan mesin, serta inventaris kantor dan dapat
dimanfaatkan lebih dari 12 bulan dengan kondisi siap pakai.
3) Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Belanja modal gedung dan bangunan merupakan pengeluaran perencanaan,
pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang dpaat
menambah kapasitas dan bangunan tersebut dalam kondisi siap pakai.
4) Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan untuk pengeluaran perencanaan,
pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah
kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
5) Belanja Modal Fisik Lainnya
Belanja modal fisik lainnya termasuk didalamnya berupa pengeluaran/biaya
yang digunakan untuk pengeluaran fisik lainnya yang bukan kriteria belanja
modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan
jaringan. Kategori belanja ini adalah belanja modal seperti kontrak sewa beli,

13

pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk
museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah.
Pemerintah daerah mengalokasikan dana berupa belanja modal ke dalam
APBD. Pemerintah daerah akan mengalokasikan dana tersebut berdasarkan
kebutuhan daerah untuk keperluan sarana dan prasarana yang dimanfaatkan untuk
kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan dan fasilitas publik. Peningkatan
belanja modal diharapkan dapat menjadi faktor pendorong dan menimbulkan
investasi baru di daerah. Kemudian peningkatan belanja modal dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan produksi sehingga pada akhirnya dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Produk Domestik Regional Bruto
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan konsep PDB
(Produk Domestik Bruto) pada tingkat daerah. PDRB dapat dikatakan sebagai
hasil interaksi kegiatan-kegiatan ekonomi yang terjadi pada suatu wilayah tertentu
(negara, propinsi, kabupaten/kota). PDRB dapat dijadikan indikator kinerja
ekonomi suatu daerah. Nilai PDRB mencerminkan besaran aktivitas ekonomi
daerah tersebut. Perhitungan PDRB mencakup barang/jasa akhir, yaitu barangbarang yang siap dikonsumsi. Untuk barang setengah jadi tidak termasuk
perhitungan. PDRB dapat dihitung berdasarkan nilai tambah (value added).
Perhitungan PDRB hanya termasuk barang dan jasa yang dihasilkan di dalam
negeri pada tahun berlaku.
Perhitungan PDRB terbagi menjadi harga tahun berlaku disebut dengan
PDRB nominal. Perhitungan PDRB nominal ini didalam perhitungannya masih
terdapat unsur inflasi. Sedangkan perhitungan PDRB yang menghilangkan unsur
inflasi yaitu PDRB atas harga konstan. PDRB atas harga konstan merupakan
PDRB yang mempelihatkan output sebenarnya. Pendekatan PDRB dapat melalui
pendekatan produksi dan pengeluaran. Pendekatan produksi adalah penjumlahan
nilai produksi akhir dari aktivitas perekonomian suatu daerah. Agar tidak terjadi
penghitungan ganda (double counting), maka dilakukan cara menghitung nilai
tambah dari suatu produk, mulai dari produk mentah hingga produk (barang) jadi..
Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach) merupakan penjumlahan dari
rumah tangga konsumsi (Masyarakat), rumah tangga Pemerintah, rumah tangga
perusahaan (Swasta) dan rumah tangga luar negeri. PDRB perkapita merupakan
perbandingan PDRB dengan jumlah penduduk. PDRB perkapita memperlihatkan
pendapatan rata-rata masyarakat pada suatu wilayah/daerah. PDRB perkapita
mencerminkan tingkat kesejahteraan pada suatu wilayah atau daerah.

14

Sumber Penerimaan Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, penyediaan
sumber-sumber pendanaan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah
meliputi Pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain
pendapatan daerah yang sah. Sumber pendanaan tersebut merupakan sumber
penerimaan daerah yang terdiri dari PAD dan dana perimbangan.
PAD adalah penjumlahan nilai dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil
kekayaan daerah yang dipisahkan yang didalamnya adalah bagian laba yang
diperoleh dari perusahaan milik daerah, serta lain-lain PAD yang sah. Setiap
daerah berusaha untuk mengoptimalkan penerimaan PAD agar dapat membiayai
kebutuhan pembangunan. Peningkatan rasio PAD terhadap total pendapatan
daerah berakibat terjadinya peningkatan alokasi belanja modal.
Ketergantungan keuangan daerah terhadap pemerintah pusat dapat diukur
dari nilai perbandingan jumlah transfer dana perimbangan. Semakin tinggi dana
perimbangan maka semakin besar tingkat ketergantungan keuangan daerah
terhadap pemerintah pusat dalam mengalokasikan anggaran belanja modal. Dana
transfer dari pemerintah pusat bersumber dari pendapatan APBN. Dana transfer
pemerintah pusat dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
pelaksanaan desentralisasi yang terdiri atas Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
DAU merupakan dana transfer yang bersumber dari pendapatan APBN
bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dalam mendanai
kebutuhan pelaksanaan desentralisasi. Besarnya DAU ditentukan dengan
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah berdasarkan besar kecilnya
celah fiskal (fiscal gap) dan potensi daerah (fiscal capacity). Daerah yang potensi
fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU
relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan
fiskalnya besar akan memperoleh DAU relatif besar (Juanda, Sidik dan Qibthiyah,
2013).
Rumusan DAU sebaiknya atas formula sederhana, mudah dipahami dan
dihitung oleh daerah bila data tersedia. Selain itu perhitungan yang dibuat harus
logis dan memenuhi kaidah prinsip teori serta harus konsisten. Formula alokasi
DAU harus memiliki data dari variabel penentu DAU di setiap daerah dan harus
dapat dipertanggungjawabkan. Alokasi DAU untuk daerah dihitung dengan
menggunakan formula, celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan
kondisi keuangan pemerintah daerah yang terkait dengan kebutuhan fiskalnya dan
kapasitas fiskal. Sedangkan alokasi dasar adalah kebutuhan dana daerah untuk
membayar gaji dan tunjangnan PNS. Secara umum formulasi dasar dari DAU
kesuatu daerah adalah sebagai berikut (Brojonegoro dan Pakpahan, 2002):
DAU = AD + CF
dimana,
DAU = Dana Alokasi Umum,
AD = Alokasi Dasar
CF = Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal

15

Operasionalisasi perhitungan DAU, baik untuk tingkat popinsi maupun
tingkat Kabupaten/Kota, didasarkan atas perumusan umum sebagai berikut:

DAU Prop( i ) 

CF Prop( i )

 CF Prop

DAU Kab/Kota( i ) 

x Alokasi DAU Prop

CF Kab/Kota( i )

 CF Kab/Kota

x Alokasi DAU Kab/Kota

Sedangkan penetapan kebutuhan dan kapasitas fiskal daerah diperoleh
melalui perumusan sebagai berikut:

 α1 Indeks jumlah penduduk 



α
Indeks
luas
wilayah

 2

 α Indeks kemahalan konstruksi  
Kebutuhan Fiskal = TBDR x  3

 α 4 Indeks pembanguna n manusia  


 α 5 Indeks PDRB per kapita

dimana:
TBDR = Total Belanja Daerah Rata-rata =

i

B. Pegawai  B.Barang  B.Modal
Jmlh Prop atau Kab/Kota

= Bobot masing-masing indeks yang didapat dari hasil uji ekonometrika

Indeks Jumlah Penduduk ( i ) 

Indeks Luas Wilayah ( i ) 

Jumlah penduduk daerah

(i)

Jumlah penduduk secara nasional

Luas wilayah daerah

(i)

Luas wilayah secara nasional

Indeks Kemahalan Konstruksi Wilayah ( i ) 

Indeks Pemb Manusia Wilayah ( i ) 

Indeks kemahalan konstruksi daerah

(i)

Rata - rata indeks kemahalan secara nasional

Indeks Pemb Manusia daerah

(i)

Rata - rata indeks Pemb Manusia nasional

16

Indeks PDRB per kapita Wilayah ( i ) 

PDRB per kapita daerah

(i)

Rata - rata PDRB