Analisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di kawasan timur Indonesia

(1)

ANALISIS KETIMPANGAN PENDAPATAN

ANTAR KABUPATEN/KOTA DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

OLEH

PUPUT MALAHAYATI SARI H14102100

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(2)

Kabupaten/Kota di Kawasan Timur Indonesia (dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS).

Negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari ribuan pulau yang memiliki perbedaan karakteristik tiap daerah dan keragaman yang tinggi antar daerahnya yang menyebabkan pola pembangunan ekonomi di Indonesia tidak seragam, sehingga akan berpengaruh pada kemampuan untuk tumbuh tiap daerah berbeda-beda, ada beberapa wilayah yang tumbuh lebih cepat dan ada wilayah yang tumbuh lebih lambat. Kemampuan untuk tumbuh yang berbeda inilah yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan pendapatan antar wilayah.

Pada awal pembangunan beberapa wilayah mempunyai pendapatan per kapita yang sama yaitu pola perkembangan pendapatannya cenderung untuk terus naik. Setelah beberapa tahun, ternyata terjadi ketimpangan pendapatan antar wilayah. Ini dapat terjadi karena pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah tidak seragam, salah satunya dikarenakan proses penetesan kebawah (trickle down effect) dari manfaat pertumbuhan ekonomi untuk daerah miskin tidak terjadi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di KTI, menganalisis konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di KTI, dan mengkaji pengaruh variabel pendidikan terhadap konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di KTI. Wilayah yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah seluruh dari 109 kabupaten/kota yang ada di Kawasan Timur Indonesia. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi: PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 1993 menurut kabupaten/kota di KTI, jumlah penduduk, dan tingkat pendidikan dilihat dari jumlah murid SD, SMP, SMU seluruh kabupaten/kota di KTI. Tahun yang dianalisis dalam penelitian ini adalah tahun 1993, tahun 1996, dan tahun 1998. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu analisis tingkat ketimpangan pendapatan dihitung dengan menggunakan formulasi Williamson (CVw), dan yang kedua analisis regresi linier sederhana dan regresi linier berganda untuk melihat apakah terjadi konvergensi absolut dan analisis konvergensi bersyarat serta melihat apakah variabel pendidikan mempengaruhi pertumbuhan PDRB per kapita antar kabupaten/kota di KTI.

Hasil penelitian dari perhitungan menunjukan bahwa tingkat ketimpangan pendapatan Kawasan Timur Indonesia memiliki ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota yang cukup besar, tetapi ketimpangan tersebut cenderung menurun pada tahun 1996-2004. Nilai CVw yang diperoleh pada tahun 1993 sebesar 0,99113, sedangkan pada tahun 1996 nilainya meningkat menjadi 0,99136, dan pada tahun 1998 menurun menjadi 0,99077. Perkembangan pertumbuhan PDRB per kapita di Kawasan Timur Indonesia mengalami konvergensi pendapatan pada tahun 1993, 1996, dan 1998. Nilai koefisien regresi


(3)

yang didapat secara berturut-turut adalah sebagai berikut 0,0324, 0,0658, dan 0,0426. Pada tahun 1996 tingkat konvergensi pendapatan mengalami peningkatan dari tahun 1993, sedangkan tahun 1998 mengalami penurunan dari tahun 1996. Hal ini disebabkan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah berpengaruh pada perekonomian di Kawasan Timur Indonesia. Variabel pendidikan yang ditambahkan pada perhitungan regresi menunjukan hasil bahwa pendidikan tidak mempengaruhi konvergensi pendapatan di Kawasan Timur Indonesia.

Dengan adanya kebijakan seperti halnya otonomi daerah yang diberlakukan oleh pemerintah pada tahun 2001, diharapkan setiap daerah dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk memaksimalkan kegiatannya untuk memperoleh pendapatan yang dapat dirasakan oleh semua masyarakat. Sehingga setiap daerah dapat mensejajarkan diri dengan daerah yang lain, dan dapat menghilangkan ketimpangan yang terjadi antar daerah. Untuk penelitian yang akan datang, dapat menggunakan data panel untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Variabel yang digunakan pada penelitian yang akan datang sebaiknya tidak hanya dari pendidikan saja, tetapi dapat berupa investasi, keamanan, kesehatan, dan sebagainya.


(4)

Oleh

PUPUT MALAHAYATI SARI H14102100

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Puput Malahayati Sari Nomor Registrasi Pokok : H14102100

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Kawasan Timur Indonesia

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Muhammad Firdaus, SP, M. Si NIP. 132 158 758

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S NIP. 131 846 872


(6)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI PENELITIAN ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Januari 2007

Puput Malahayati Sari H14102100


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Puput Malahayati Sari lahir pada tanggal 2 Maret 1984 di Jakarta, sebagai anak ketiga dari pasangan Bapak Ngaderi dan Ibu Suparmi. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri Mekar Jaya pada tahun 1990 sampai dengan 1996 dan melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SMPN 8 Cimanggis Depok dari tahun 1996 sampai dengan 1999. Pada tahun 1999 – 2002, penulis melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat atas di SMAN 8 Bogor.

Pada tahun 2002 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), dan diterima sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi seperti SES-C, dan panitia PGCA.


(8)

yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Kawasan Indonesia Timur”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Dr. Muhammad Firdaus, SP, M. Si yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Selain itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Sahara, SP, M. Si dan Widyastutik, SE, M. Si selaku dosen penguji hasil karya ini yang telah berkenan meluangkan waktunya,

2. Ayah, Ibu, dan kakak-kakakku yang telah banyak memberikan do’a, semangat dan kasih sayangnya kepada penulis,

3. Mulyani Efendi, S. Hut selaku suami yang telah memberikan dorongan dan motivasi, kasih sayang dan waktunya kepada penulis selama penulisan skripsi ini,

4. Pusatakawan FEM, IPB, dan BPS yang telah berkenan membantu penulisan skripsi ini,

5. Semua teman-teman FEM angkatan 39 (Nonon, Endang, Burik, Cenong, Galon, Cerus, Venti, Mamae, Mami, Iyas, Mailo) atas motivasi dan kebersamaannya selama penulisan skripsi ini,

6. Bapak Encep Entah selaku orang tua angkat yanmg selalu membantu dan memberikan doa restunya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini,

7. Kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


(9)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, Januari 2007

Puput Malahayati Sari H14102100


(10)

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Ruang Lingkup... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 8

2.1.Pertumbuhan Ekonomi ... 8

2.2.Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah ... 10

2.3.Definisi konvergensi ... 14

2.4.Hasil Penelitian Terdahulu ... 17

2.5.Kerangka Pemikiran Teoritis ... 21

2.5.1.Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 21

2.5.2. Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah ... 28

2.5.3. Pendapatan Domestik Regional Bruto ... 29

2.5.4. Konvergensi Absolut dan Konvergensi Bersyarat ... 32

2.6.Kerangka Pemikiran Konseptual ... 36

2.7.Hipotesis ... 39

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian ... 40

3.2.Jenis dan Sumber Data ... 40

3.3.Metode Analisis ... 41

3.3.1. Analisis Ketimpangan Pendapatan... 42


(11)

ANALISIS KETIMPANGAN PENDAPATAN

ANTAR KABUPATEN/KOTA DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

OLEH

PUPUT MALAHAYATI SARI H14102100

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(12)

Kabupaten/Kota di Kawasan Timur Indonesia (dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS).

Negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari ribuan pulau yang memiliki perbedaan karakteristik tiap daerah dan keragaman yang tinggi antar daerahnya yang menyebabkan pola pembangunan ekonomi di Indonesia tidak seragam, sehingga akan berpengaruh pada kemampuan untuk tumbuh tiap daerah berbeda-beda, ada beberapa wilayah yang tumbuh lebih cepat dan ada wilayah yang tumbuh lebih lambat. Kemampuan untuk tumbuh yang berbeda inilah yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan pendapatan antar wilayah.

Pada awal pembangunan beberapa wilayah mempunyai pendapatan per kapita yang sama yaitu pola perkembangan pendapatannya cenderung untuk terus naik. Setelah beberapa tahun, ternyata terjadi ketimpangan pendapatan antar wilayah. Ini dapat terjadi karena pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah tidak seragam, salah satunya dikarenakan proses penetesan kebawah (trickle down effect) dari manfaat pertumbuhan ekonomi untuk daerah miskin tidak terjadi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di KTI, menganalisis konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di KTI, dan mengkaji pengaruh variabel pendidikan terhadap konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di KTI. Wilayah yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah seluruh dari 109 kabupaten/kota yang ada di Kawasan Timur Indonesia. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi: PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 1993 menurut kabupaten/kota di KTI, jumlah penduduk, dan tingkat pendidikan dilihat dari jumlah murid SD, SMP, SMU seluruh kabupaten/kota di KTI. Tahun yang dianalisis dalam penelitian ini adalah tahun 1993, tahun 1996, dan tahun 1998. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu analisis tingkat ketimpangan pendapatan dihitung dengan menggunakan formulasi Williamson (CVw), dan yang kedua analisis regresi linier sederhana dan regresi linier berganda untuk melihat apakah terjadi konvergensi absolut dan analisis konvergensi bersyarat serta melihat apakah variabel pendidikan mempengaruhi pertumbuhan PDRB per kapita antar kabupaten/kota di KTI.

Hasil penelitian dari perhitungan menunjukan bahwa tingkat ketimpangan pendapatan Kawasan Timur Indonesia memiliki ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota yang cukup besar, tetapi ketimpangan tersebut cenderung menurun pada tahun 1996-2004. Nilai CVw yang diperoleh pada tahun 1993 sebesar 0,99113, sedangkan pada tahun 1996 nilainya meningkat menjadi 0,99136, dan pada tahun 1998 menurun menjadi 0,99077. Perkembangan pertumbuhan PDRB per kapita di Kawasan Timur Indonesia mengalami konvergensi pendapatan pada tahun 1993, 1996, dan 1998. Nilai koefisien regresi


(13)

yang didapat secara berturut-turut adalah sebagai berikut 0,0324, 0,0658, dan 0,0426. Pada tahun 1996 tingkat konvergensi pendapatan mengalami peningkatan dari tahun 1993, sedangkan tahun 1998 mengalami penurunan dari tahun 1996. Hal ini disebabkan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah berpengaruh pada perekonomian di Kawasan Timur Indonesia. Variabel pendidikan yang ditambahkan pada perhitungan regresi menunjukan hasil bahwa pendidikan tidak mempengaruhi konvergensi pendapatan di Kawasan Timur Indonesia.

Dengan adanya kebijakan seperti halnya otonomi daerah yang diberlakukan oleh pemerintah pada tahun 2001, diharapkan setiap daerah dapat memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk memaksimalkan kegiatannya untuk memperoleh pendapatan yang dapat dirasakan oleh semua masyarakat. Sehingga setiap daerah dapat mensejajarkan diri dengan daerah yang lain, dan dapat menghilangkan ketimpangan yang terjadi antar daerah. Untuk penelitian yang akan datang, dapat menggunakan data panel untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Variabel yang digunakan pada penelitian yang akan datang sebaiknya tidak hanya dari pendidikan saja, tetapi dapat berupa investasi, keamanan, kesehatan, dan sebagainya.


(14)

Oleh

PUPUT MALAHAYATI SARI H14102100

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(15)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Puput Malahayati Sari Nomor Registrasi Pokok : H14102100

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Kawasan Timur Indonesia

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Muhammad Firdaus, SP, M. Si NIP. 132 158 758

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S NIP. 131 846 872


(16)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI PENELITIAN ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Januari 2007

Puput Malahayati Sari H14102100


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Puput Malahayati Sari lahir pada tanggal 2 Maret 1984 di Jakarta, sebagai anak ketiga dari pasangan Bapak Ngaderi dan Ibu Suparmi. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri Mekar Jaya pada tahun 1990 sampai dengan 1996 dan melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SMPN 8 Cimanggis Depok dari tahun 1996 sampai dengan 1999. Pada tahun 1999 – 2002, penulis melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat atas di SMAN 8 Bogor.

Pada tahun 2002 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), dan diterima sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi seperti SES-C, dan panitia PGCA.


(18)

yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Kawasan Indonesia Timur”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Dr. Muhammad Firdaus, SP, M. Si yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Selain itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Sahara, SP, M. Si dan Widyastutik, SE, M. Si selaku dosen penguji hasil karya ini yang telah berkenan meluangkan waktunya,

2. Ayah, Ibu, dan kakak-kakakku yang telah banyak memberikan do’a, semangat dan kasih sayangnya kepada penulis,

3. Mulyani Efendi, S. Hut selaku suami yang telah memberikan dorongan dan motivasi, kasih sayang dan waktunya kepada penulis selama penulisan skripsi ini,

4. Pusatakawan FEM, IPB, dan BPS yang telah berkenan membantu penulisan skripsi ini,

5. Semua teman-teman FEM angkatan 39 (Nonon, Endang, Burik, Cenong, Galon, Cerus, Venti, Mamae, Mami, Iyas, Mailo) atas motivasi dan kebersamaannya selama penulisan skripsi ini,

6. Bapak Encep Entah selaku orang tua angkat yanmg selalu membantu dan memberikan doa restunya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini,

7. Kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


(19)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, Januari 2007

Puput Malahayati Sari H14102100


(20)

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Ruang Lingkup... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 8

2.1.Pertumbuhan Ekonomi ... 8

2.2.Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah ... 10

2.3.Definisi konvergensi ... 14

2.4.Hasil Penelitian Terdahulu ... 17

2.5.Kerangka Pemikiran Teoritis ... 21

2.5.1.Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 21

2.5.2. Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah ... 28

2.5.3. Pendapatan Domestik Regional Bruto ... 29

2.5.4. Konvergensi Absolut dan Konvergensi Bersyarat ... 32

2.6.Kerangka Pemikiran Konseptual ... 36

2.7.Hipotesis ... 39

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian ... 40

3.2.Jenis dan Sumber Data ... 40

3.3.Metode Analisis ... 41

3.3.1. Analisis Ketimpangan Pendapatan... 42


(21)

iv

3.3.3. Koefisien Determinasi (R2 dan Adj R2) ... 44

3.3.4. Pengujian Terhadap Model Penduga (Uji F) ... 45

3.3.5. Uji Signifikan Individu (Uji t) ... 45

3.4.Definisi Operasional ... 46

IV. GAMBARAN UMUM KETERTINGGALAN KAWASAN TIMUR INDONESIA... 48

4.1. Keadaan Umum Kawasan Timur Indonesia ... 48

4.2. Permasalahan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia... 52

4.3. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan Timur Indonesia ... 53

4.4. Perkembangan PDRB di Kawasan Timur Indonesia ... 54

V. ANALISIS KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/ KOTA DI KAWASAN TIMUR INDONESIA... 58

5.1. Analisis Ketimpangan Pendapatan... 58

5.2. Analisis Konvergensi Pendapatan Absolut ... 60

5.3. Analisis Konvergensi Pendapatan Bersyarat ... 68

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 74

6.1. Kesimpulan ... 74

6.2. Saran... ... 75

DAFTAR PUSTAKA... 76


(22)

Halaman 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 1986-2003 ... 2 2. Indeks Ketimpangan Pendapatan Tingkat Nasional ... 18 3. Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau di Indonesia... 19 4. Analisis Konvergensi Absolut di Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1993 ... 60 5. Analisis Konvergensi Absolut di Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1996 ... 63 6. Analisis Konvergensi Absolut di Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1998 ... 65 7. Analisis Konvergensi Bersyarat di Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1993 ... 68 8. Analisis Konvergensi Bersyarat di Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1996 ... 70 9. Analisis Konvergensi Bersyarat di Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1998 ... 72 Nomor


(23)

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kemajuan Teknologi dan Model Pertumbuhan Solow ... 25 2. Kerangka Pemikiran Penelitian... 38 3. Jumlah Penduduk tiap Propinsi di KTI (1993-2004) ... 49 4. Jumlah Murid tiap Propinsi di KTI (1993-2004) ... 51 5. Pertumbuhan PDRB per kapita per Tahun... 53 6. Persentase PDRB per kapita tiap Pulau KTI... 56 7. Persentase PDRB per kapita tiap propinsi terhadap PDRB di KTI ... 58 8. Indeks Kesenjangan Pendapatan antar kabupaten/kota di KTI... 59 9. Plot pola hubungan antara PDRB 1993 dengan pertumbuhan

tahun 2004... 62 10. Plot pola hubungan antara PDRB 1996 dengan pertumbuhan

tahun 2004... 64 11. Plot pola hubungan antara PDRB 1998 dengan pertumbuhan

tahun 2004... 67 Nomor


(24)

1. PDRB atas dasar harga berlaku dan peranannya menurut

propinsi, pulau. Tahun 1996, 2000, 2003 ... 79 2. Pertumbuhan Ekonomi Antar Provinsi, Tahun 1993-2003 (%)... 80 3. Data Pendidikan Dilihat dari Jumlah Murid SD-SMU Menurut

Kabupaten/Kota Di Kawasan Timur Indonesia (jiwa)... 81 4. Perhitungan CVw Kawasan Timur Indonesia Tahun 1993 ... 82 5. Perhitungan CVw Kawasan Timur Indonesia Tahun 1996 ... 86 6. Perhitungan CVw Kawasan Timur Indonesia Tahun 1998 ... 89 7. Persentase PDRB per kapita Propinsi di KTI ... 92 8. Plot Antara Sisaan Baku (SRES) dan Dugaan (Fits) Tahun 1993 93 9. Plot Antara Sisaan Baku (SRES) dan Dugaan (Fits) Tahun 1996 93 10. Plot Antara Sisaan Baku (SRES) dan Dugaan (Fits) Tahun 1998 94 11. Analisis Konvergensi Absolut Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1993 ... 95 12. Analisis Konvergensi Absolut Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1996 ... 96 13. Analisis Konvergensi Absolut Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1998 ... 97 14. Analisis Konvergensi Bersyarat Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1993 ... 98 15. Analisis Konvergensi Bersyarat Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1996 ... 99 16. Analisis Konvergensi Bersyarat Kawasan Timur Indonesia

Tahun 1998 ... 100


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia terdiri dari berbagai pulau dengan perbedaan karakteristik dan keragaman yang tinggi antar daerahnya. Perbedaan tersebut meliputi sumber daya alam, ekonomi, sosial budaya, adat-istiadat, jumlah dan kepadatan penduduk, mutu sumber daya manusia, letak geografis, serta sarana dan prasarana yang tersedia di setiap daerah. Hal ini akan berpengaruh pada kemampuan tumbuh di daerah tersebut sehingga ada daerah mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah lainnya, sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan antar wilayah. Pada awal pembangunan semua wilayah mempunyai pendapatan per kapita yang sama yaitu pola perkembangan pendapatannya cenderung untuk terus naik. Setelah beberapa tahun, ternyata terjadi ketimpangan pendapatan antar wilayah karena pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah tidak seragam.

Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menilai kesejahteraan penduduk antar daerah. Namun kenyataannya bahwa PDRB per kapita tidak sepenuhnya dapat menggambarkan kesejahteraan rakyat karena ada daerah yang PDRB-nya besar tetapi kebanyakan masyarakatnya masih dalam keadaan miskin. Provinsi-provinsi yang kaya sumber daya dapat menghasilkan PDRB yang lebih besar, namun hasilnya tidak menetes ke bawah (trickle down effect) sehingga masyarakat miskin tidak merasakan atas kekayaan daerah yang dimiliki.


(26)

Pertumbuhan ekonomi di negara sedang berkembang lebih diarahkan untuk mencapai peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakatnya dengan berusaha meningkatkan pendapatan perkapita yang masih rendah. Sedangkan di negara maju lebih mengutamakan masalah pemerataan karena tingkat pendapatan per kapitanya tinggi dan lebih memperhatikan kualitas hidup (quality of life). Hal ini dapat terlihat dengan adanya gerakan lingkungan hidup.

Menurut Tabel 1 dalam Sukirno (2004) menunjukkan bahwa selama periode 1986-1996 perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan yang relatif pesat, hanya pada tahun 1987 tingkat pertumbuhannya dibawah 5 persen. Dalam periode 1986-1996 secara rata-rata pertumbuhan ekonomi hampir mencapai 7 persen. Sejak tahun 1997 pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kemunduran yang disebabkan oleh krisis pada tahun 1997. Puncaknya pada tahun 1998 tingkat pertumbuhan Ekonomi Indonesia berada di bawah 0 persen (-13,1 %) dan pada tahun berikutnya perekonomian mulai mengalami perbaikan walaupun belum mencapai kondisi seperti pada saat belum terjadi krisis.

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 1986-2003

Tahun Pertumbuhan ekonomi (%) Tahun Pertumbuhan ekonomi (%) 1986 5,9 1995 6,8 1987 4,9 1996 5,8 1988 6,9 1997 4,7 1989 7,5 1998 -13,1 1990 7,0 1999 0,9 1991 7,0 2000 4,9 1992 6,2 2001 3,4 1993 5,8 2002 3,6 1994 7,2 2003 4,1 Sumber : Sukirno (2004)


(27)

3

Perkembangan hasil pembangunan yang telah dicapai di Indonesia menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan GDP per kapita antar provinsi, maupun antar Kawasan Timur Indonesia dengan Kawasan Barat Indonesia. Jawa mendominasi aktivitas ekonomi Indonesia karena dari wilayah-wilayah di Indonesia, SDM wilayah Jawa baik dilihat dari jumlah maupun mutu dianggap lebih baik dari wilayah lainnya. Selain itu, pada masa orde baru proses pembangunan di Indonesia dilaksanakan dengan sistem sentralistik. Semua kebijakan pembangunan diatur oleh pemerintah pusat. Sistem pemerintahan inilah yang diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan selama ini. Ketimpangan yang terjadi selama ini telah membuat beberapa daerah merasa diberlakukan tidak adil. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan pembangunan antar daerah seperti ketimpangan yang terjadi antar Kawasan Timur Indonesia dengan Kawasan Barat Indonesia bahkan antar sub wilayah atau daerah dalam suatu wilayah atau kawasan.

Pembangunan yang dilaksanakan selama PJP I telah mampu menaikkan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia sebesar 27,35 kali lipat selama periode 1970 sampai 1992, yakni sebesar Rp 17.417 per kapita pertahun menjadi Rp 476.348 per kapita per tahun. Akan tetapi, selama PJP I juga telah terjadi pergeseran pendapatan dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, serta semakin meningkatnya ketimpangan pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia. Pada awal tahun 70-an pendapatan di luar Pulau Jawa jauh lebih besar, kenyataan ini didukung oleh hasil penelitian Esmara (1975), berdasarkan data tahun 1972 ditemukannya secara umum Jawa yang menyumbang 60 persen terhadap Produk


(28)

Nasional Bruto (GDP) ternyata pendapatan per kapita masyarakatnya berada di bawah pendapatan Nasional (sebesar Rp 33.695,81). Sebaliknya luar Jawa secara umum pendapatan perkapitanya berada di atas pendapatan perkapita Nasional, misalnya Kalimantan Timur yang merupakan provinsi dengan pendapatan per kapita paling tinggi (Rp 211.546,36), mencapai hampir tujuh kali lipat dari pendapatan per kapita Nasional.

Kawasan Timur Indonesia menyimpan berbagai keunggulan untuk diberdayakan misalnya sumber daya alam yang berlimpah. Wilayah ini sesungguhnya sangat potensial untuk menjadi kekuatan ekonomi baik pada tingkat nasional, regional, maupun internasional. Namun sumber daya manusia yang tersedia di kawasan ini sangat terbatas, baik dari segi kualitas maupun kuantitas untuk menggali potensi yang ada, inilah yang disebut “kaya tetapi miskin”, artinya bahwa sumber daya alamnya sangat berpotensi tetapi pengolahannya masih sangat minim atau belum optimal.

Adapun beberapa kendala atau indikator yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi, yang pertama adalah begitu luasnya kawasan dengan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang sangat rendah, kedua keaneka-ragaman masyarakat dan kultural dengan tingkat penguasaan informasi dan teknologi yang rendah, ketiga rendahnya tingkat pendidikan, melek huruf dan akses atas pendidikan tinggi, keempat adalah tingkat pendapatan per kepita yang masih rendah. Sebuah wilayah yang kaya akan sumber daya alam, tidaklah dengan sendirinya memberikan kemakmuran bagi warga masyarakatnya, jika sumber daya manusia yang ada tidak mampu memanfaatkan dan mengembangkan


(29)

5

teknologi guna memanfaatkan sumber alamnya. Sebaliknya, sebuah wilayah yang miskin sumber alam, namun cakap dalam mengembangkan teknologi, ternyata lebih cepat berkembang dibandingkan wilayah lainnya yang tidak cukup mempunyai sumber daya alam dan manusia yang unggul. Ada lima kepulauan yang diambil sebagai sampel dalam tulisan ini, antara lain Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya serta pulau Bali

1.2. Perumusan Masalah

Ketimpangan pembangunan selama ini berlangsung dan berwujud dalam berbagai bentuk, aspek, dan dimensi. Bukan hanya berupa ketimpangan hasil pembangunan misalnya dalam hal pendapatan perkapita atau pendapatan daerah, tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Ketika arus globalisasi semakin tak terbendung di Indonesia, semangat regionalisasi dari berbagai daerah semakin menguat, terutama daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah.

Semangat itu muncul sebagai perlawanan terhadap sistem sentralisasi yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru yang runtuh akibat adanya krisis ekonomi pada tahun 1997. semangat regionalisasi tersebut akhirnya ditanggapi oleh pemerintah dengan dikeluarkannya undang-undang tentang otonomi daerah yang mulai dilaksanakan pada tahun 2001.


(30)

Di Kawasan Timur Indonesia, dengan melihat potensi yang dimiliki masing-masing daerah diharapkan daerah tersebut mampu meningkatkan pertumbuhan ekonominya dan mengatasi ketimpangan baik antar golongan masyarakat, antar daerah, maupun antar propinsi yang terjadi selama ini. Dengan perbedaan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah secara otomatis menyebabkan PDRB antar daerah di kawasan timur Indonesia berbeda-beda pula. Berdasarkan data PDRB tahun 1993, 1996 dan 1998 belum diketahui terjadinya ketimpangan pendapatan antar daerah. Tapi secara umum terjadi kenaikan PDRB untuk tiap daerah tersebut dan diharapkan terjadi konvergensi sehingga daerah yang miskin dapat mengejar daerah yang kaya. Di samping itu perlu adanya kajian untuk mengetahui dampak variabel pendidikan dalam mempercepat terjadinya konvergensi sehingga kesejahteraan antar daerah dapat tercapai secepatnya.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:

1) Menganalisis ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Kawasan Timur Indonesia.

2) Menganalisis konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di Kawasan Timur Indonesia.

3) Mengkaji pengaruh pendidikan terhadap konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di Kawasan Timur Indonesia.


(31)

7

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi bagi: 1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah, baik

pemerintah pusat dan khususnya pemerintah daerah kabupaten/kota di KTI mengenai arah kebijakan yang tepat dalam mengatasi ketimpangan dan dalam merencanakan program pembangunan untuk meningkatkan konvergensi pendapatan antar daerah kabupaten/kota di KTI.

2) Bagi penulis, adalah sebagai wahana untuk mengaplikasikan pemahaman penulis tentang teori-teori yang di dapatkan selama mengikuti kegiatan perkuliahan di Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB, serta peneliti dan akademis yang ingin melakukan penelitian lanjutan berkaitan dengan masalah konvergensi pendapatan antar wilayah.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan

Penelitian tentang konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota dari seratus sembilan kabupaten/kota yang ada di KTI menggunakan data PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 1993, jumlah penduduk, dan pendidikan. Data yang dipakai adalah data tahun 1993, tahun 1996, tahun 1998 dan tahun 2004.


(32)

Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi sama-sama menerangkan mengenai perkembangan ekonomi yang berlaku. Pertumbuhan selalu digunakan sebagai suatu ungkapan umum yang menggambarkan tingkat perkembangan suatu negara yang diukur melalui persentasi pertambahan pendapatan nasional riil (Sukirno, 2004).

Pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi. Para ahli ekonomi bukan saja tertarik kepada masalah perkembangan pendapatan nasional riil, tetapi juga kepada modernisasi kegiatan ekonomi, misalnya kepada usaha merombak sektor pertanian yang tradisional, masalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan masalah perataan pembagian pendapatan. Dalam pembangunan ekonomi tingkat pendapatan per kapita terus menerus meningkat, kalau pertumbuhan ekonomi belum tentu diikuti oleh kenaikan pendapatan per kapita (Sukirno, 2004).

Pembangunan ekonomi adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang sering kali diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan riil per kapita. Tujuan pembangunan ekonomi disamping untuk menaikkan pendapatan nasional riil juga untuk meningkatkan produktivitas (Todaro, 1999). Tingkat output pada suatu saat tertentu ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor ini berhubungan satu sama lain. Faktor-Faktor-faktor tersebut digolongkan menjadi dua yaitu faktor ekonomi dan faktor non-ekonomi (seperti sistem hukum,


(33)

9

pendidikan, kesehatan, agama, pemerintah, dan sebagainya). Jadi ekonomi pembangunan atau ilmu yang mempelajari tentang pembangunan ekonomi tidak hanya menggambarkan jalannya perkembangan ekonomi saja, tetapi juga menganalisa hubungan sebab akibat dari faktor-faktor perkembangan tersebut.

Dikatakan ada pertumbuhan ekonomi apabila terdapat lebih banyak output dan dapat meliputi penggunaan input lebih banyak dan lebih efisien. Ada perkembangan atau pembangunan ekonomi kalau tidak hanya terdapat lebih banyak output, tetapi juga perubahan-perubahan dalam kelembagaan dan pengetahuan teknik dalam menghasilkan output yang lebih banyak. Pembangunan atau perkembangan ekonomi menunjukkan perubahan-perubahan dalam struktur output dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian di samping kenaikan output. Jadi pada umumnya perkembangan atau pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan atau perkembangan (Sukirno, 2004).

Menurut Boediono (1985), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, jadi persentase pertambahan output itu haruslah lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk dan ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut. Para teoritis ilmu ekonomi pembangunan masa kini, masih terus menyempurnakan makna, hakikat dan konsep pertumbuhan ekonomi. Para teoritis tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan pertambahan PDB dan PDRB saja, tetapi juga diberi bobot yang bersifat immaterial seperti kenikmatan,


(34)

kepuasan dan kebahagiaan dengan rasa aman dan tentram yang dirasakan masyarakat luas.

2.2. Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah

Adanya perbedaan kemajuan antar daerah di jelaskan Myrdal dalam teorinya, Myrdal berpendapat pembangunan ekonomi proses sebab dan penyebab sirkuler yang membuat si kaya mendapat keuntungan yang semakin banyak dan mereka yang tinggal di belakang akan menjadi semakin terhambat. Perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effect) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effect) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Jhingan, 1990).

Perbedaan kemajuan antar wilayah berarti tidak samanya kemampuan untuk bertumbuh yang sama dengan kesenjangan sehingga yang timbul adalah ketidakmerataan, sehingga muncul pendapat dan studi-studi empiris yang menempatkan pemerataan dan pertumbuhan pada posisi yang dikotomis. Dalam hal ini (Kuznet, 1955) mengemukakan suatu hipotesis yang di kenal dengan sebutan “ U Hypothesis”, hipotesa ini dihasilkan lewat kajian empiris terhadap pola pertumbuhan ekonomi terhadap trade off antara pertumbuhan dan pemerataan. Seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi maka setelah mencapai tahap tertentu trade off tersebut akan menghilang diganti dengan


(35)

11

hubungan kolerasi positif antara pertumbuhan dan pemerataan yang disebabkan karena pertumbuhan pada tahap awal pembangunan cenderung dipusatkan pada sektor modern perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga kerja.

Ketimpangan membesar karena kesenjangan antar sektor modern dan tradisional meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena perkembangan di sektor modern lebih cepat dibandingkan sektor tradisional. Berdasarkan tingkat kemajuannya wilayah-wilayah dalam suatu Negara dapat di kelompokkan sebagai berikut (Hanafiah, 1998) yaitu:

1.Wilayah terlalu maju terutama kota-kota besar dimana terdapat batas pertumbuhan atau polarisasi, umpamanya dalam menghadapi masalah

diseconomies of scale yang menyebabkan masalah manajemen, kenaikan biaya produksi, kenaikan biaya fasilitas pelayanan umum, kenaikan gaji dan upah, kenaikan harga bahan baku energi, peningkatan ongkos sosial.

2.Wilayah netral di cirikan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, tidak ada kesesakan dan tekanan ongkos sosial dan merupakan kota satelit bagi wilayah yang terlalu padat.

3.Wilayah sedang merupakan wilayah dengan ciri-ciri campuran pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif baik yang merupakan gambaran kombinasi antara daerah maju dan kurang maju dimana terdapat juga pengangguran dan kelompok masyarakat miskin. 4.Wilayah kurang berkembang atau kurang maju yan merupakan wilayah


(36)

dan tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pembangunan nasional seperti daerah-daerah konsentrasi industri yang sudah mundur.

5.Wilayah tidak berkembang merupakan wilayah tidak maju atau wilayah miskin dimana industri modern tidak pernah dapat berkembang dalam berbagai skala umumnya di tandai dengan daerah pertanian dengan usaha tani subsisten dan kecil, berpenduduk jarang dan tersebar dan tidak terdapat kota atau konsentrasi pemukiman yang relatif besar.

Kesenjangan regional oleh Murty dalam Abel (2006) diartikan sebagai ketidakseimbangan pertumbuhan antar sektor primer, sekunder, tersier atau sektor sosial di suatu negara, distrik, atau tempat dimana peristiwa itu terjadi. Di setiap negara apakah itu negara maju atau berkembang, negara pertanian atau industri, negara besar atau kecil, mempunyai wilayah yang maju dan tertinggal secara ekonomi. Adalah penting untuk menghubungkan pola pembangunan ekonomi regional dengan beragam variabel fisik dan sosial ekonomi untuk mengidentifikasikan variabel mana yang mempunyai pengaruh terbanyak terhadap pola pertumbuhan. Meskipun kesenjangan tidak berlaku di semua wilayah dengan kekuatan (tingkatan) yang sama, tetap terdapat aspek-aspek umum yang dapat memberikan beberapa generalisasi, penyebab utama kesenjangan adalah:

a). Faktor Geografis.

Apabila suatu wilayah yang sangat luas, distribusi dari sumberdaya nasional, sumber energi, sumberdaya pertanian, topografi, iklim dan curah hujan


(37)

13

tidak akan merata. Apabila faktor-faktor lain sama, maka kondisi geografi yang lebih baik akan menyebabkan suatu wilayah berkembang lebih baik.

b). Faktor Historis.

Tingkat pembangunan suatu masyarakat juga bergantung pada masa yang lalu untuk menyiapkan masa depan. Bentuk organisasi ekonomi yang hidup di masa lalu menjadi alasan penting yang dihubingkan dengan isu insentif, untuk pekerja dan pengusaha. Sistem feodal memberikan sangat sedikit insentif untuk bekerja keras. Sistem industri dimana pekerja merasa tereksploitasi, bekerja tanpa istirahat, suatu perencanaan dan sistem yang membatasi akan memberi sedikit insentif dan menyebabkan pembangunan terhambat.

c). Faktor Politik.

Ketidakstabilan politik dapat menjadi penghambat pembangunan yang sangat kuat. Selain itu, jika pemerintah stabil tapi lemah, korupsi dan ketidakmampuan untuk mengalahkan sikap mementingkan diri sendiri dan menolak tekanan atau kontrol sosial akan menggagalkan tujuan dari kebijakan pembangunan. Kondisi politik disetiap wilayah tidak sama.

d). Faktor Kebijakan Pemerintah

Belakangan ini, hampir semua negara kaya sedang diterapkan konsep negara kesejahteraan (welfare of state). Di negara tersebut, kebijakan pemerintah mulai diarahkan secara langsung pada pemerataan regional yang lebih besar. Kekuatan pasar yang menghasilkan efek ”backwash” dihilangkan, sementara yang menghasilkan efek menyebar didukung sementara di negara-negara miskin, kebijakan yang demikian masih sangat sedikit.


(38)

e). Faktor Administrasi (birokrasi)

Faktor administrasi yang efisien atau tidak efisien berpengaruh dalam menambah kesenjangan antar wilayah. Saat ini pemerintah dalam menjalankan fungsinya membutuhkan administrator yang jujur, terdidik, terlatih dan efisien karena birokrasi yang efisien akan berhasil dalam pembangunan regional dan sebaliknya.

f). Faktor Sosial

Banyak faktor sosial yang menjadi penghalang dalam pembangunan. Penduduk di wilayah yang belum berkembang memiliki lembaga dan keinginan (attitude) yang kondusif untuk pembangunan ekonomi. Di lain pihak penduduk dari wilayah yang lebih maju memiliki kelembagaan dan keinginan yang kondusif untuk pembangunan.

g). Faktor Ekonomi

Penyebab secara ekonomis seperti perbedaan-perbedaan dalam faktor produksi, proses kumulatif dari berbagai faktor, siklus kemiskinan yang buruk, kekuatan pasar yang bebas dan efek ”backwash” dan efek menyebar (spread) dan pasar tidak sempurna, berlangsung dan menambah kesenjangan dalam pembangunan ekonomi.

2.3. Definisi Konvergensi

Konvergensi pertumbuhan adalah kecenderungan perekonomian miskin tumbuh lebih cepat dibandingkan perekonomian-perekonomian kaya dengan demikian diharapkan perekonomian-perekonomian daerah miskin


(39)

15

dapat mengejar ketertinggalannya dan ketimpangan perekonomian antar daerah dapat menurun (Sukirno, 1985).

Menurut Barro and Martin dalam Garcia dan Soelistianingsih (1998) terdapat dua pendekatan utama dalam konvergensi regional, yang pertama yaitu analisa konvergensi regional yang diturunkan dari pokok penelitian utama di tingkat internasional. Analisa jenis ini umumnya menggunakan cross section

regretion antara Negara, antar tingkat pertumbuhan dengan tingkat awal pendapatan perkapita. Pendekatan yang kedua berakar pada tradisi panjang dalam penelitian regional dimana perhatian utama diberikan pada analisa disparitas pendapatan yang membedakan dengan pendekatan satu dalam analisa pendekatan dua kesenjangan regional di pelajari secara independen dari teori pertumbuhan. Williamson (1965) menjelaskan bahwa proses konvergensi regional terkait dengan proses pembangunan nasional, Williamson memprediksi bahwa disparitas pendapatan regional akan memusat (konvergen) setelah melalui tiga fase yaitu dari tahap awal pembangunan hingga tahap kematangan (maturity) dalam proses pembangunan.

Menurut teori pertumbuhan Neo Klasik, konvergensi adalah kondisi dimana daerah miskin yang belum mencapai kemapanan cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah kaya yang telah mencapai kemapanan. Pada kondisi ini, pendapatan per kapita akan tumbuh konstan sebagai tidak adanya pertambahan modal kecuali untuk menutupi pertambahan penduduk dan depresiasi. Dengan demikian, setiap daerah atau Negara yang mengalami


(40)

kemapanan akan tumbuh konstan. Sedangkan Negara atau daerah lain akan terus tumbuh hingga posisi kemapanannya.

Menurut Solow-Swan model menyatakan bahwa Negara-negara yang mempunyai perbedaan dalam proses produksi, tabungan, dan pertumbuhan penduduk akan tetapi mempunyai kesamaan dalam kemajuan teknologi akan menyebabkan rata-rata pendapatan perkapita mencapai konvergen menuju titik keseimbangan pertumbuhan akan tetapi jika teknologi, tabungan dan pertumbuhan penduduk sama antar Negara maka Negara-negara tersebut akan mencapai konvergen dengan tingkat pendapatan per kapita yang tinggi (Mankiw,2000).

Menurut teori basis ekspor dalam Richardson (1991), faktor-faktor yang menimbulkan konvergensi antara lain :

1. Adanya kemungkinan arus faktor yang bersifat menyeimbangkan seperti yang diprediksikan oleh model Neo Klasik. Dimana tenaga kerja akan berpindah dari daerah-daerah upah rendah ke daerah-daerah upah tinggi dan jika upah dan produk marjinal dari modal mempunyai korelasi terbalik, modal akan mengalir menurut arah yang sebaliknya. Dengan demikian, daerah-daerah upah rendah pun cenderung untuk tumbuh lebih cepat.

2. Alokasi sumber daya di dalam lingkungan daerah-daerah yang bersangkutan dari sektor upah rendah (seperti sektor pertanian) ke sektor produktivitas yang tinggi, upah tinggi, sehingga meningkatkan pendapatan rata-rata per kapita.


(41)

17

3. Ciri-ciri kematangan dalam daerah-daerah yang sudah lama berpendapatan tinggi dapat melambatkan kenaikan pendapatan per kapita di masa mendatang.

2.4. Hasil Penelitian Terdahulu

Esmara dalam Wijaya (2001) melakukan penelitian dengan menggunakan data PDRB dan menerapkan koefisien Williamson yang dibobot. Ia memperkirakan tingkat perbedaan pendapatan regional untuk tahun 1968-1972. Menurut tulisan yang merupakan perintis ini, indeks ketidaksamaan Williamson dari tahun tersebut meningkat tajam dari 0,571 menjadi 0,945 jika semua pendapatan dimasukkan, tetapi jika pendapatan dari minyak bumi dikeluarkan dari PDRB propinsi-propinsi yang kaya minyak (seperti Riau dan Kalimantan Timur) maka angka-angka itu antara 0,34 sampai 0,552. Ia menunjukkan bahwa propinsi-propinsi dengan pendapatan per kapita yang lebih tinggi juga mempunyai biaya hidup yang lebih tinggi, sehingga kalau PDRB per kapita di koreksi berdasarkan perbedaan-perbedaan harga, indeks ketidakmerataan tersebut akan banyak merosot.

Penelitian mengenai ketimpangan pendapatan untuk tingkat nasional pernah dilakukan oleh Uppal dan Handoko (1986) dengan menggunakan formulasi Williamson (CVw) untuk tahun 1976-1980. Uppal dan Handoko mengukur ketimpangan pendapatan di Indonesia dengan menggunakan PDRB diluar sektor pertambangan. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat tendensi menurunnya tingkat ketimpangan pendapatan, pola pertumbuhan belum mengarah


(42)

pada perbaikan ketimpangan dan faktor yang cenderung menurunkan ketimpangan pendapatan adalah anggaran belanja pemerintah pusat dan bantuan kepada propinsi.

Tadjoedin (1996) juga mengukur ketimpangan pendapatan nasional dengan menggunakan konsep pengukuran yang sama dengan diatas untuk periode 1984-1993. Hasil yang diperolehnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ketimpangan pendapatan selama periode analisis.

Tabel 2. Indeks Ketimpangan Pendapatan Tingkat Nasional Di luar Migas Tahun

Uppal & Handoko Tadjoedin Tadjoedin, et al

1976 0,4631 1977 0,4609 1978 0,4344 1979 0,5240 1980 0,4435

1984 0,4875 1985 0,4714 1986 0,4600 1987 0,4567 1988 0,4609 1989 0,5632 1990 0,5385 1991 0,5392 1992 0,5442

1993 0,5489 0,923

1994 0,938

1995 0,962

1996 0,966

1997 0,982

1998 0,965

Sumber: Uppal dan Handoko (1986) dan Tadjoedin (1996) dan Tadjoedin, et al, (2001) Tadjoedin, et al, (2001) melakukan penelitian untuk mengukur tingkat ketimpangan nasional untuk tahun 1993-1998. Ketimpangan dihitung dengan menggunakan PDRB per kapita menurut kabupaten/kota yang ada di Indonesia


(43)

19

berdasarkan harga konstan tahun 1993. Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat ketimpangan semakin meningkat, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 di atas.

Selain mengukur Ketimpangan nasional, Tadjoedin (1996) juga mengukur besarnya ketimpangan pendapatan antar pulau, hasil yang diperoleh yaitu pulau yang perekonomiannya di dominasi oleh sektor pertanian (Pulau Sumatra) mempunyai tingkat ketimpangan yang lebih kecil dibandingkan dengan pulau yang perekonomiannya didominasi oleh sektor industri (Pulau Jawa). Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertanian tidak berada pada posisi yang dikotomis dengan pemerataan.

Tabel 3. Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau di Indonesia

Tahun Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Lainnya 1984 0,2460 0,5680 0,4381 0,0522 0,3435 1985 0,2459 0,5377 0,4629 0,0408 0,3582 1986 0,2470 0,5177 0,4420 0,0423 0,3780 1987 0,2460 0,5120 0,4710 0,0390 0,3324 1988 0,2521 0,5054 0,4595 0,0460 0,4129 1989 0,2157 0,6209 0,4681 0,0508 0,4183 1990 0,1931 0,6034 0,4516 0,0515 0,4086 1991 0,1814 0,6041 0,4448 0,5800 0,4507 1992 0,1860 0,6108 0,4502 0,0591 0,4550 1993 0,1883 0,6158 0,4401 0,0632 0,4775 Sumber: Tadjoedin (1996)

Mattola (1985) melakukan penelitian untuk menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan daerah di Jawa Barat tahun 1977-1981 dengan menggunakan formulasi Williamson. Mattola juga menganalisis peranan sektor pertanian dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah. Untuk melihat peranan tersebut, dibandingkan besarnya ketimpangan pendapatan daerah dengan dan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan. Hasil yang


(44)

diperoleh dari analisi tersebut menunjukkan bahwa besarnya ketimpangan dengan memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan lebih kecil dibandingkan dengan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peran untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang terjadi.

Lutvi (1995) dalam penelitiannya yang berjudul kesenjangan kondisi ekonomi regional antara Kawasan Barat dan Timur Indonesia menyimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan suatu daerah secara nyata adalah pendapatan regional yang mencerminkan perolehan nilai tambah, kapital/modal dan investasi, tenaga kerja yang dipengaruhi tingkat pendidikan, upah, dan jumlah penduduk, dan pembiayaan pembangunan baik dari pusat maupun pendapatan asli daerah (PAD) yang mempengaruhi secara tidak langsung pembentukkan investasi.

Selama sebelas tahun pengamatan 1983-1993 terlihat kesenjangan pertumbuhan masing-masing peubah pembangunan Kawasan Barat dan Kawasan Timur. Pertumbuhan kawasan barat diketahui jauh lebih pesat dan ini semakin dikuatkan dari hasil perhitungan terhadap efek yang dimiliki masing-masing kawasan. Dari hasil analisis deskriptif, kesenjangan yang terjadi antara Kawasan Barat dan Timur sepanjang tahun 1983-1993 antara lain adalah kesenjangan PDRB non migas dan PDRB non migas perkapita, dimana kawasan barat mempunyai keadaan yang lebih baik dari kawasan timur. Selain itu terdapat kesenjangan dalam arus penanaman modal/investasi, kapital, pembiayaan pembangunan baik dari pusat maupun PAD, tingkat kemampuan baca tulis, tingkat partisipasi pendidikan yang mempengaruhi kualitas sumber daya manusia


(45)

21

serta partisipasi angkatan kerja yang menunjukkan ketidakmerataan distribusi dan produktivitas tenaga kerja.

2.5. Kerangka Pemikiran Teoritis 2.5.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Dalam Teori pertumbuhan basis ekspor, pertumbuhan suatu daerah tergantung pada pertumbuhan industri-industri ekspornya dan kenaikan permintaan yang bersifat eksternal bagi daerah yang bersangkutan adalah penentu pokok dari pertumbuhan regional. Sektor-sektor perekonomian suatu daerah dikelompokkan menjadi sektor basis dan non basis. Prediksi-prediksi dari hipotesa basis ekspor berbeda dari prediksi model lainnya. Pertama, bertambah luasnya basis ekspor suatu daerah akan cenderung menaikkan tingkat pertumbuhan. Kedua, teori basis ekspor tidak mencakup tingkat pertumbuhan keseimbangan; Ketiga, teori ini sama sekali tidak mempersoalkan apakah tingkat pertumbuhan regional cenderung untuk konvergen atau divergen. Terdapat tiga kekuatan potensial yang penting dalam konvergensi. Pertama, adanya kemungkinan arus faktor yang bersifat menyeimbangkan seperti yang diprediksikan oleh model Neo-Klasik. Dimana tenaga kerja akan berpindah dari daerah-daerah upah rendah ke daerah-daerah upah tinggi dan jika upah dan produk marjinal dari modal mempunyai korelasi terbalik, modal akan mengalir menurut arah yang sebaliknya. Dengan demikian, daerah-daerah upah rendah pun cenderung untuk tumbuh lebih cepat. Sumber utama kedua yang menimbulkan konvergensi, alokasi sumber daya di dalam lingkungan daerah-daerah yang bersangkutan dari sektor upah rendah (seperti sektor pertanian) ke sektor produktivitas yang tinggi, upah tinggi,


(46)

sehingga meningkatkan pendapatan rata-rata per kapita. Ketiga, ciri-ciri kematangan dalam daerah-daerah yang sudah lama berpendapatan tinggi dapat melambatkan kenaikan pendapatan per kapita di masa mendatang. Teori ini menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk di ekspor, akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja. Model ini sangat berguna untuk menentukan keseimbangan antara jenis-jenis industri dan sector yang dibutuhkan masyarakat untuk mengembangkan stabilitas ekonomi (Richardson, 1991).

Dalam Arsyad (1999) teori pertumbuhan ekonomi Neo Klasik berkembang sejak tahun 1950-an, berdasarkan analisis mengenai pertumbuhan ekonomi menurut pandangan ekonomi Klasik. Teori pertumbuhan ini dirintis oleh Robert M. Solow (1970) dari Amerika Serikat dan T.W Swan (1956) dari Australia. Teori Solow-Swan melihat bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan sehingga pemerintah tidak perlu terlalu banyak mencampuri atau mempengaruhi pasar. Campur tangan pemerintah hanya sebatas kebijakan fiskal dan moneter. Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi tergantung kepada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Teknologi ini terlihat dari peningkatan skill atau kemajuan teknik sehingga produktivitas perkapita meningkat. Dalam model tersebut masalah teknologi di anggap fungsi dari waktu oleh karena itu fungsi produksinya berbentuk Yi = fi (K,L,t). Apabila tiap daerah


(47)

23

dimisalkan menghasilkan output yang homogen dan fungsi produksi yang identik maka di daerah yang memiliki K atau L yang tinggi terdapat upah riil yang tinggi dan MPK yang rendah dan adapun daerah yang K atau L yang rendah terdapat upah rill yang rendah dan MPK yang tinggi sebagai akibatnya modal akan mengalir dari daerah yang upahnya tinggi ke daerah yang upahnya rendah karena akan memberikan balas jasa untuk modal yang lebih tinggi dan sebaliknya tenaga kerja akan mengalir dari daerah yang upahnya rendah ke daerah yang upahnya tinggi sehingga mekanisme diatas pada akhirnya menciptakan balas jasa faktor-faktor produksi di semua daerah sama, dengan demikian perekonomian regional atau pendapatan perkapita regional akan mengalami proses konvergensi (makin sama). Paham neoklasik melihat peran kemajuan teknologi/inovasi sangat besar memacu pertumbuhan wilayah dan menciptakan pertumbuhan yang mantap (steady growth).

Teori pertumbuhan Solow menunjukkan bagaimana pertumbuhan dalam persediaan modal dan angkatan kerja serta kemajuan tehnologi berinteraksi dalam perekonomian dan pengaruhnya terhadap output total barang dan jasa. Model ini mengasumsikan hubungan yang tidak berubah antara input modal dan tenaga kerja dan output barang dan jasa. Tetapi model ini bisa dimodifikasi, yang memungkinkan peningkatan dalam kemampuan masyarakat untuk berproduksi. Untuk memasukkan kemajuan tehnologi, kita harus kembali ke fungsi produksi yang mengaitkan modal total K dan tenaga kerja L ke output total Y. Jadi, fungsi produksi itu adalah :


(48)

Kini kita tulis fungsi produksi sebagai berikut :

Y = F (K, L x E) ...(2) Dimana E adalah variabel baru (dan abstrak) yang disebut efisiensi tenaga kerja. Efisiensi tenaga kerja berarti mencerminkan pengetahuan masyarakat tentang metode-metode produksi : ketika tehnologi mengalami kemajuan, efisiensi tenaga kerja meningkat. Efisiensi tenaga kerja juga meningkat ketika ada pengembangan dalam kesehatan, pendidikan, atau keahlian angkatan kerja. L x E mengukur jumlah para pekerja efektif. Fungsi produksi yang baru ini menyatakan bahwa output total Y bergantung pada jumlah unit modal K dan jumlah pekerja efektif, L x E. Peningkatan dalam efisiensi tenaga kerja E, sebagai dampaknya, seperti peningkatan dalam angkatan kerja L. Asumsi yang paling sederhana tentang kemajuan tehnologi adalah kemajuan tehnologi yang menyebabkan efisiensi tenaga kerja tumbuh pada tingkat konstan g. Bentuk kemajuan tehnologi disebut pengoptimalan tenaga kerja dan g disebut tingkat kemajuan tehnologi yang mengoptimalkan tenaga kerja. Karena angkatan kerja L tumbuh pada tingkat n, dan efisiensi dari setiap unit tenaga kerja E tumbuh pada tingkat g, jumlah pekerja efekti L x E tumbuh pada tingkat n + g (Mankiw, 2000).

Analisis tentang perekonomian membuahkan hasil ketika mengkaji pertumbuhan populasi, persamaannya adalah:

Δk = sf (k) – ( + n + g)k ...(3) Dimana Δk sama dengan infestasi sf (k) dikurangi investasi pulang pokok ( + n + g)k. Investasi pulang pokok meliputi 3 kaidah, yaitu: menjaga k tetap konstan, k dibutuhkan untuk mengganti modal yang disusutkan, nk dibutuhkan


(49)

25

untuk memberi modal bagi pekerja baru, dan gk dibutuhkan untuk memberi modal bagi para pekerja efektif baru yang diciptakan oleh kemajuan teknologi.

Sumber : Mankiw,2000

Gambar 1. Kemajuan Teknologi dan Model Pertumbuhan Solow

Dampak kemajuan teknologi menunjukkan empat variabel kunci dalam kondisi mapan dengan kemajuan teknologi. Dimana k adalah konstan dalam kondisi mapan, y = f(k), output per pekerja efektif juga konstan. Tingkat efisiensi setiap pekerja aktual tumbuh pada tingkat g, output per pekerja juga tumbuh pada tingkat g, sehingga output total tumbuh pada tingkat n + g.

Kemajuan teknologi dan model pertumbuhan Solow melihat kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja pada tingkat g mempengaruhi model pertumbuhan Solow dalam jumlah yang sama dengan pertumbuhan populasi pada tingkat n. Sekarang k didefinisikan sebagai jumlah modal per pekerja efektif. Kenaikan dalam jumlah pekerja efektif karena kemajuan teknologi cenderung mengurangi k. Dalam kondisi mapan investasi sf (k) benar-benar menghilangkan

Investasi

Pulang-pokok Investasi pulang-pokok ( + n+ g)k

Investasi, Sf(k)

Modal per pekerja, k k*


(50)

penurunan dalam k yang terkait dengan penyusutan, pertumbuhan populasi, dan kemajuan teknologi.

Dengan adanya kemajuan teknologi, menunjukkan bahwa kemajuan teknologi dapat mengarah ke pertumbuhan yang berkelanjutan dalam output per pekerja. Sebaliknya, tingkat tabungan yang yang tinggi mengarah ke tingkat pertumbuhan yang tinggi hanya jika kondisi mapan dicapai. Sekali perekonomian berada pada kondisi mapan, tingkat pertumbuhan output per pekerja hanya bergantung pada tingkat kemajuan teknologi. Mengacu pada model solow, hanya kemajuan teknologi bisa menjelaskan peningkatan standar kehidupan berkelanjutan (Mankiw, 2000).

Teori pertumbuhan endogen (Endogenous Growth Theory) berusaha untuk menjelaskan faktor-faktor yang menentukan besaran λ, yaitu tingkat pertumbuhan GDP yang tidak dijelaskan dan dianggap sebagai variabel eksogen dalam perhitungan teori Neo Klasik Solow. Teori pertumbuhan endogen ini mempunyai fungsi produksi sebagai berikut: Y = AK, dimana Y adalah output, K adalah modal fisik dan sumber daya manusia, dan A adalah semua faktor yang mempengaruhi teknologi. Fungsi produksi ini tidak menunjukkan muatan dari pengembalian modal yang kian menurun. Satu unit modal tambahan memproduksi unit output tambahan A, tanpa memperhitungkan berapa banyak modal di sini. Keberadaan pengembalian modal yang kian menurun merupakan perbedaan penting antar model pertumbuhan endogen dan model Solow. Jika diasumsikan sebagai pendapatan ditabung dan diinvestasikan, akumulasi modal dengan persamaan sebagai berikut: ΔK = sY – K. Persamaan ini menyatakan bahwa


(51)

27

perubahan dalam persediaan modal (ΔK) sama dengan investasi (sY) kurang penyusutan ( K). Menggabungkan fungsi persamaan ini dengan fungsi produksi Y= AK, kita dapatkan ΔY/Y = ΔK/K = sA- , persamaan ini menunjukkan apa yang menentukan tingkat pertumbuhan output ΔY/Y. Selama sA > , pendapatan perekonomian tumbuh selamanya bahkan tanpa asumsi kemajuan tehnologi eksogen. Dalam model pertumbuhan endogen, tabungan dan investasi bisa mendorong pertumbuhan yang berkesinambungan (Mankiw, 2000).

Dalam Arsyad (1999) teori pertumbuhan Harrod-Domar dikembangkan oleh Evsey Domar dan Sir Roy F. Harrod. Teori Harrod-Domar ini menganalisis syarat-syarat yang diperlukan agar perekonomian bisa tumbuh dan berkembang dalam jangka panjang. Teori ini berusaha menunjukkan syarat yang dibutuhkan agar perekonomian bisa tumbuh dan berkembang dengan mantap (steady growth). Menurut Harrod-Domar, setiap perekonomian dapat menyisihkan suatu proporsi tertentu dari pendapatan nasionalnya jika hanya untuk mengganti barang-barang modal ( gedung-gedung, peralatan, material) yang rusak. Namun demikian, untuk menumbuhkan perekonomian tersebut, diperlukan investasi-investasi baru sebagai tambahan stok modal . Teori Harrod-Domar ini mempunyai beberapa asumsi yaitu:

1. perekonomian dalam keadaan pekerja penuh (full employment) dan barang-barang modal yang terdiri dalam masyarakat digunakan secara penuh. 2. perekonomian terdiri dari 2 sektor yaitu sektor rumah tangga dan sector


(52)

3. besarnya tabungan masyarakat adalah proposional dengan besarnya pendapatan nasional, berarti fungsi tabungan dimulai dari titik nol.

4. kecenderungan untuk menabung (marginal propensity to save = MPS) besarnya tetap, demikian juga ratio antara modal-output (capital-output ratio = COR) dan rasio pertambahan modal-output (incremental capital-output ratio = ICOR).

2.5.2. Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah

Ketimpangan pendapatan antar daerah atau wilayah dapat dipandang sebagai salah satu ukuran dalam melihat perbedaan tingkat kemakmuran antar daerah, walaupun kemakmuran itu sendiri tidak hanya diukur dengan indikator pendapatan per kapita, sebagaimana indikator yang digunakan dalam ketimpangan pendapatan daerah. Penyajian ketimpangan pendapatan antar daerah pada dasarnya hanyalah memberikan gambaran secara makro mengenai ketimpangan pendapatan rata-rata antara berbagai daerah atau wilayah tertentu dan tidak memperlihatkan pola pembagian pendapatan antar golongan penerima pendapatan.

Todaro (1981) menggambarkan ketimpangan dengan mempertimbangkan hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dan tingkat ketimpangan pendapatan untuk negara maju dan negara sedang berkembang dan menggambarkan ketimpangan pendapatan dari negara-negara tersebut dalam tiga kelompok, dimana pengelompokan tersebut disesuaikan dengan tinggi, sedang dan rendahnya tingkat pendapatan di masing-masing wilayah.


(53)

29

(

)

Υ ⋅ Υ − Υ =

i

i i W n f CV 2 i Υ Υ

Metode CVw umum digunakan untuk mengukur ketimpangan PDRB per

kapita. Tingkat ketimpangan yang terjadi dalam metode ini tercermin dalam sebuah angka indeks. Cara pengukuran ini diperkenalkan oleh Williamson (1965) dengan menimbangnya dengan proporsi penduduk. Semakin besar angka indeks berarti semakin tinggi pula tingkat ketimpangan regional yang terjadi. Indeks CVw

yang dihasilkan dari suatu perhitungan akan sangat sensitif terhadap perbedaan data yang digunakan. Rumus indeks yang diformulasikan Williamson (1965) adalah sebagai berikut:

…………..………... (4) Dimana:

CVw = indeks ketimpangan pendapatan daerah fi = jumlah penduduk di daerah i (jiwa) n = penduduk total (jiwa)

= PDRB per kapita di daerah i (rupiah) = PDRB per kapita untuk propinsi (rupiah) 2.5.3. Pendapatan Domestik Regional Bruto

Prestasi ekonomi suatu bangsa atau Negara dapat dinilai dengan berbagai ukuran agregat. Secara umum, prestasi tersebut diukur melalui sebuah besaran dengan istilah Pendapatan Nasional. Pendapatan Nasional tidak hanya berguna untuk menilai perkembangan ekonomi suatu bangsa dari waktu ke waktu, tetapi juga membandingkannya dengan Negara lain. Dikenal beberapa ukuran pendapatan nasional, diantaranya: Gross National Product (GNP) atau Produk


(54)

Nasional Bruto (PNB), Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto, Net National Product (NNP) atau Produk Nasional Neto (PNN), dan

National Income (NI) atau Pendapatan Nasional (PN) (Dumairy, 1996).

Menurut Gillis et al. dalam Hendra (2004), produk Nasional Bruto (PNB) adalah penjumlahan nilai produk akhir barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun) tanpa menghitung nilai produk antara. Produk Domestik Bruto (PDB) adalah penjumlahan nilai produk akhir barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun) tanpa menghitung nilai produk antara, dalam penghitungannya mengeluarkan pendapatan warga Negara yang berada di luar negeri, dan memasukkan seluruh produksi dalam negeri termasuk pendapatan yang diterima warga Negara asing. PDB diangkat regional menjadi PDRB (Produk Domestik Regional Bruto).

Penghitungan PDRB dapat dilakukan dengan dua metode yaitu: a. Metode Langsung

Dalam menghitung PDRB dengan metode langsung, penghitungan didasarkan sepenuhnya kepada data daerah yang terpisah dari data nasional, sehingga hasil penghitungannya mencakup seluruh produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Dalam metode ini PDRB dapat dihitung atau diukur dengan tiga pendekatan yaitu (Dumairy, 1996):

1. Pendekatan Produksi

PDRB merupakan jumlah barang dan jasa terakhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di dalam suatu wilayah dalam jangka waktu


(55)

31

tertentu. Unit-unit produksi dimaksud secara garis besar dipilah-pilah menjadi 11 sektor (dapat juga dibagi menjadi 9 sektor) yaitu: (1) pertanian; (2) pertambangan dan galian; (3) industri pengolahan; (4) listrik, gas dan air minum; (5) bangunan; (6) perdagangan; (7) pengangkutan dan komunikasi; (8) bank dan lembaga keuangan lainnya; (9) sewa rumah; (10) pemerintahan; (11) jasa-jasa.

2. Pendekatan Pendapatan

PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang turut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu setahun. Balas jasa produksi dimaksudkan meliputi upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. Semuanya dihitung sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam hal ini mencakup juga penyusutan dan pajak-pajak tak langsung neto. Jumlah komponen semua pendapatan persektor disebut nilai tambah bruto sektoral. Oleh sebab itu PDRB menurut pendekatan pendapatan merupakan penjumlahan dari nilai tambah bruto seluruh sektor atau lapangan usaha.

3. Pendekatan Pengeluaran

PDRB adalah jumlah seluruh komponen permintaan akhir, meliputi (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari keuntungan; (2) pembentukan modal tetap domestik bruto dan perubahan stok; (3) pengeluaran konsumsi pemerintah; (4) ekspor neto (yaitu ekspor dikurangi impor), dalam jangka waktu satu tahun.


(56)

b. Metode Tidak Langsung/Alokasi

Menghitung nilai tambah suatu kelompok kegiatan ekonomi dengan mengalokasikan nilai tambah nasional ke dalam masing-masing kelompok kegiatan ekonomi pada tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator yang paling besar pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktivitas kegiatan ekonomi tersebut.

Pemakaian masing-masing metode pendekatan sangat tergantung pada data yang tersedia. Pada kenyataannya, pemakaiaan kedua metode tersebut akan saling menunjang satu sama lain, karena metode langsung akan mendorong peningkatan mutu atau kualitas data daerah, sedang metode tidak langsung akan merupakan koreksi dan pembanding bagi data daerah.

Dilihat dari penjelasan diatas PDRB dari suatu daerah/wilayah lebih menunjukkan pada besaran produksi suatu daerah, bukan pendapatan yang sebenarnya diterima oleh penduduk di daerah bersangkutan. Walaupun demikian PDRB merupakan data yang paling representative dalam menunjukkan pendapatan dibandingkan dengan data-data yang lainnya.

2.5.4. Konvergensi Absolut dan Konvergensi Bersyarat

Studi empiris menunjukkan bahwa meskipun perekonomian miskin tumbuh lebih cepat dibanding perekonomian kaya, ketimpangan pada tahap awal pembangunan persaingan perekonomian justru meningkat, hal ini disebabkan ketimpangan perekonomian daerah yang kaya lebih rendah namun secara relatif nilai perubahan itu masih terlalu besar dibandingkan perubahan perekonomian di daerah miskin (Garcia dan Soelistianingsih, 1998).


(57)

33

Dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi terdapat dua pandangan tentang konsep konvergensi. Konvergensi terjadi ketika perekonomian miskin cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan perekonomian kaya. Property ini dihubungkan dengan konsep β-convergence yang diperoleh dari analisa regresi antar perekonomian. Konsep konvergensi adalah β-convergence yang terdiri dari konvergensi absolut dan bersyarat serta α-convergence (Garcia dan Soelistianingsih, 1998).

Terjadinya proses konvergensi dimana daerah miskin cenderung tumbuh lebih cepat tidak serta merta menyebabkan menurunnya disparitas pendapatan regional per kapita. Artinya β-convergence tidak selalu identik dengan α -convergence. Meskipun tidak identik tetapi secara empiris β-convergence akan terverifikasi ketika α konvergen juga terverifikasi sehingga dalam prakteknya kedua konsep di atas dapat dilaksanakan bergantian. α-convergence akan terjadi antar beberapa negara ketika negara-negara tersebut mempunyai dispersi pendapatan per kapita yang cenderung menurun lebih cepat.

Satu kelebihan utama dari β-convergence adalah analisa bersifat dinamis. Bila pengamatan jangka pendek tidak mampu memberi jawaban tentang dampak dari kebijakan publik, maka kita tidak dapat melihat bahwa dampak tersebut dalam kecenderungan jangka panjang. Dari sudut pandang teoritis, analisa β -convergence hanyalah analisa deskriptif dan sama sekali tidak berbicara tentang mekanisme di balik bekerjanya konvergensi tersebut, walaupun demikian analisanya berupa tes langsung terhadap hipotesis teori pertumbuhan neoklasik dengan asumsi diminishing return of capital.


(58)

(

yt y0

)

t=a+bln

( )

y0 +εt ln

Dengan analisa β-convergence, dapat diketahui kecepatan konvergensi secara pasti. Jika konvergensi adalah cepat, maka fokus kita adalah prilaku steady-state sebagaimana telah di ketahui bahwa mayoritas perekonomian berada dekat pada posisi steady-state. Jika konvergensi tidak cepat berarti bahwa posisi perekonomian berada jauh dari posisi steady-state maka lebih baik difokuskan pada pengalaman pertumbuhan yang dialami perekonomian dalam dinamika transisional.

Model standar pertumbuhan ekonomi menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan tergantung dari perekonomian awal. Hubungan yang negatif antara pendapatan dengan tingkat pertumbuhan berarti daerah kaya mengalami pertumbuhan ekonomi rendah yang menunjukkan pendapatan cenderung konvergen secara absolut. Proses konvergen seperti ini disebut dengan konvergensi absolut (Absolute Convergence), karena kenyataanya bahwa antar daerah mempunyai karakteristik perekonomian yang beragam mengakibatkan dugaan proses konvergensi absolut dinilai menjadi lemah sehingga konvergensi absolut pada umumnya diikuti oleh konvergensi bersyarat (Conditional Convergence).

Untuk melihat konsep konvergensi absolut tersebut dengan menggunakan persamaan

... (5) Dimana:

ln(yt/y0)/t = Pertumbuhan pendapatan per kapita per tahun pada tahun akhir t


(59)

35

(

yt y0

)

t=a+b1ln

( )

y0 +bit ln

yt = PDRB per kapita tahun akhir t (rupiah)

a = Konstanta b = Koefisien regresi

t = Tahun akhir dikurangi tahun awal

εt = error

Dimana persamaan ini menunjukkan bahwa untuk ß-convergence yang diperoleh adalah harus memenuhi syarat b<0, yang mengimplikasikan tingkat pengembalian rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita per tahun. Dengan nilai b yang lebih tinggi akan mengakibatkan kecenderungan mencapai konvergen yang tinggi pula.

Hipotesis konvergensi absolut tidak selalu ada dengan keluarnya hubungan negatif antar pendapatan dengan tingkat pertumbuhan. Adakalanya hubungan tersebut tidak muncul namun ada ketika variabel-variabel lain yang dianggap berpengaruh seperti pendidikan, kesuburan dan kesehatan yang diikutsertakan dalam proses regresi. Kecenderungan konvergensi yang timbul dengan syarat keadaan variabel-variabel tersebut disebut konvergensi bersyarat. Konvergensi bersyarat merupakan alternatif uji konvergensi apabila daerah-daerah yang diteliti tidak memiliki heterogenitas parameter-parameter yang memungkinkan setiap daerah memiliki posisi kondisi mapan (steady-state). Untuk melihat konsep konvergensi bersyarat dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

...(6) Dimana:


(60)

y0 = PDRB per kapita tahun awal (rupiah)

yt = PDRB per kapita tahun akhir (rupiah)

Xi = Tingkat Pendidikan tahun awal

a = Konstanta b1, b2 = Koefisien regresi

t = tahun akhir dikurangi tahun awal

εt = error

2.6. Kerangka Pemikiran Konseptual

Dalam pertumbuhan ekonomi di Negara sedang berkembang, pemerintah lebih memusatkan kepada peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat, seperti halnya di Indonesia karena memiliki pendapatan yang rendah. Tetapi hasil perkembangan pembangunan di Indonesia belum merata, masih terjadi ketimpangan antar KBI dengan KTI, antar daerah maupun antar golongan masyarakat.

Pembangunan yang dilaksanakan selama PJP 1 telah meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat di Indonesia, tetapi efek yang diharapkan dari proses trickle down effect sangat lambat mengalir kebawah, bahkan terjadi pergeseran pendapatan yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar daerah.

Ketimpangan yang terjadi antar daerah, baik daerah miskin maupun daerah kaya salah satunya disebabkan karena adanya perbedaan dari faktor pendidikan, jumlah maupun kualitas penduduknya, SDA, letak geografisnya, kesehatan, dan lain-lain. Hal tersebut yang bisa menyebabkan pertumbuhan pendapatan per


(61)

37

kapita di suatu daerah bisa rendah, sedang atau tinggi. Sebagai satu kepulauan pertumbuhan ekonomi di KTI juga sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi di setiap kabupaten/kota yang ada.

Oleh karena itu, untuk melihat apakah terjadi konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di KTI dilakukan analisis konvergensi. Bila dari hasil regresi tersebut tidak terjadi konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota, maka ketimpangan pendapatan makin tinggi. Tetapi bila terjadi konvergensi antar kabupaten/kota, maka ketimpangan makin menurun. Kerangka pemikiran konseptual dapat dilihat pada Gambar 2.


(62)

Keterangan : = hal yang dibahas

= hal yang dianalisis lebih lanjut

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian

Pendapatan antar kabupaten/Kota makin Konvergen

Implikasi Kebijakan dari faktor-faktor yang mempengaruhi ke konvergen pendapatan Pertumbuhan PDRB

(rendah, sedang, tinggi)

Pertumbuhan PDRB (rendah, sedang,tinggi)

Konvergen (Analisis Regresi)

Ketimpangan makin tinggi Daerah Miskin

• Penduduk

• Pendidikan

• dll Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pertumbuhan Ekonomi KTI

Daerah Kaya

• Penduduk

• Pendidikan

• dll Analisis tahun selanjutnya

(1993,1996,& 1998)


(63)

39

2.5. Hipotesis

Untuk memberi arahan dalam melakukan analisis data, dikemukakan hipotesis sebagai berikut:

1. Ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Kawasan Timur Indonesia semakin berkurang.

2. Pertumbuhan pendapatan per kapita yang terjadi antar kabupaten/kota di Kawasan Timur Indonesia semakin konvergen.

3. Pendidikan meningkatkan kecepatan konvergensi pendapatan antar kabupaten/ Kota di Kawasan Timur Indonesia.


(64)

Penulisan skripsi di mulai pada bulan April 2006. Waktu yang diperlukan dalam rencana penulisan penelitian, pengumpulan data, hingga penulisan laporan dilakukan sampai bulan Desember 2006.

Adapun wilayah yang dipilih sebagai obyek studi dan sekaligus sebagai lokasi penelitian adalah Kabupaten Dati II di Kawasan Timur Indonesia. Lokasi ini diambil dengan pertimbangan: (1) tersedianya data PDRB kabupaten/kota yang ada di Kawasan Timur Indonesia, (2) kondisi sumber daya alam yang begitu melimpah namun kesejahteraan masyarakat rendah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diharapkan ketimpangan yang terjadi dapat tergambar dengan nyata dan diharapkan adanya solusi penanggulangan dari permasalahan tersebut, supaya antar kabupaten Dati II di Kawasan Timur Indonesia dapat mencapai konvergensi.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Analisis data dilakukan dengan regresi yang menggunakan data dari seratus sembilan kabupaten/kota yang berada dalam wilayah Kawasan Timur Indonesia. Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi: (1) PDRB atas dasar harga konstan (tahun 1993, 1996, 1998 dan 2004) menurut kabupaten/kota yang ada di Kawasan Timur Indonesia, (2) jumlah penduduk (tahun 1993, 1996, 1998 dan 2004) menurut kabupaten/kota Kawasan Timur Indonesia, (3) Kawasan Timur Indonesia dalam angka, (4) pendidikan


(1)

Lampiran 11. Analisis Konvergensi Absolut Kawasan Timur Indonesia Tahun 1993

ln(2004/1993)/11 = 0.403 - 0.0324 ln1993 Predictor Coef SE Coef T P Constant 0.40341 0.05440 7.42 0.000 ln1993 -0.032367 0.008627 -3.75 0.000 S = 0.05732 R-Sq = 11.6% R-Sq(adj) = 10.8% Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 0.046252 0.046252 14.08 0.000 Residual Error 107 0.351603 0.003286

Total 108 0.397856

Unusual Observations

Obs ln1993 ln(04/93 Fit SE Fit Residual St Resid 25 8.57 0.20200 0.12619 0.02052 0.07581 1.42 X 27 7.93 0.09800 0.14691 0.01527 -0.04891 -0.89 X 28 8.14 0.23000 0.13982 0.01705 0.09018 1.65 X 29 7.21 0.36000 0.17021 0.00974 0.18979 3.36R 34 6.32 0.36100 0.19882 0.00551 0.16218 2.84R 67 6.60 0.30500 0.18992 0.00616 0.11508 2.02R 70 7.95 0.05200 0.14620 0.01545 -0.09420 -1.71 X 95 5.32 0.40600 0.23109 0.00986 0.17491 3.10R 99 6.42 0.05700 0.19559 0.00564 -0.13859 -2.43R 104 7.09 0.30900 0.17390 0.00894 0.13510 2.39R 105 8.47 -0.05500 0.12917 0.01976 -0.18417 -3.42RX


(2)

Lampiran 12. Analisis Konvergensi Absolut Kawasan Timur Indonesia tahun 1996

ln(04/96)/8 = 0.621 - 0.0658 ln1996

Predictor Coef SE Coef T P Constant 0.62105 0.07331 8.47 0.000 ln1996 -0.065767 0.009845 -6.68 0.000 S = 0.08150 R-Sq = 29.4% R-Sq(adj) = 28.8%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 0.29642 0.29642 44.62 0.000 Residual Error 107 0.71075 0.00664

Total 108 1.00717

Unusual Observations

Obs ln1996 ln(04/96 Fit SE Fit Residual St Resid 25 10.3 0.06300 -0.05509 0.02938 0.11809 1.55 X 28 9.5 0.15000 -0.00222 0.02185 0.15222 1.94 X 29 8.5 0.33100 0.06105 0.01344 0.26995 3.36R 34 7.1 0.39500 0.15168 0.00824 0.24332 3.00R 67 7.1 0.35500 0.15352 0.00833 0.20148 2.49R 76 9.9 -0.09600 -0.02708 0.02536 -0.06892 -0.89 X 83 9.3 -0.12000 0.01251 0.01981 -0.13251 -1.68 X 95 6.3 0.43900 0.20791 0.01353 0.23109 2.88R 99 7.8 -0.09800 0.10603 0.00887 -0.20403 -2.52R 104 7.1 0.42000 0.15194 0.00825 0.26806 3.31R 105 10.4 -0.32000 -0.06489 0.03080 -0.25511 -3.38RX


(3)

Lampiran 13. Analisis Konvergensi Absolut Kawasan Timur Indonesia tahun 1998

ln(04/98)/6 = 0.503 - 0.0426 ln1998

Predictor Coef SE Coef T P Constant 0.50315 0.08482 5.93 0.000 ln1998 -0.04260 0.01151 -3.70 0.000 S = 0.08705 R-Sq = 11.4% R-Sq(adj) = 10.5%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 0.10382 0.10382 13.70 0.000 Residual Error 107 0.81089 0.00758

Total 108 0.91471

Unusual Observations

Obs ln1998 ln(04/98 Fit SE Fit Residual St Resid 25 9.99 0.13263 0.07753 0.03170 0.05510 0.68 X 28 9.46 0.20353 0.10024 0.02584 0.10329 1.24 X 29 8.82 0.39031 0.12717 0.01910 0.26314 3.10R 34 7.22 0.51203 0.19542 0.00843 0.31661 3.65R 67 7.13 0.46986 0.19938 0.00866 0.27047 3.12R 80 7.11 0.38396 0.20011 0.00871 0.18385 2.12R 95 6.29 0.58326 0.23500 0.01458 0.34826 4.06R 99 7.80 -0.12569 0.17075 0.00994 -0.29645 -3.43R 104 9.88 0.10178 0.08226 0.03047 0.01952 0.24 X


(4)

Lampiran 14. Analisis Konvergensi Bersyarat Kawasan Timur Indonesia Tahun 1993

ln(04/93)/11 = 0.396 - 0.0320 ln1993 + 0.00000008 X1993 Predictor Coef SE Coef T P Constant 0.39614 0.05580 7.10 0.000 ln1993 -0.032005 0.008672 -3.69 0.000 X1993 0.00000008 0.00000014 0.62 0.537 S = 0.05749 R-Sq = 11.9% R-Sq(adj) = 10.3%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 2 0.047520 0.023760 7.19 0.001 Residual Error 106 0.350335 0.003305

Total 108 0.397856 Source DF Seq SS ln1993 1 0.046252 X1993 1 0.001268

Unusual Observations

Obs ln1993 ln(04/93 Fit SE Fit Residual St Resid 25 8.57 0.20200 0.13209 0.02268 0.06991 1.32 X 28 8.14 0.23000 0.13827 0.01728 0.09173 1.67 X 29 7.21 0.36000 0.17487 0.01232 0.18513 3.30R 34 6.32 0.36100 0.19526 0.00798 0.16574 2.91R 62 6.63 0.21900 0.20104 0.02045 0.01796 0.33 X 66 6.08 0.20600 0.21659 0.01694 -0.01059 -0.19 X 67 6.60 0.30500 0.18981 0.00618 0.11519 2.02R 95 5.32 0.40600 0.22833 0.01085 0.17767 3.15R 99 6.42 0.05700 0.19284 0.00718 -0.13584 -2.38R 104 7.09 0.30900 0.17216 0.00940 0.13684 2.41R 105 8.47 -0.05500 0.12655 0.02026 -0.18155 -3.37RX


(5)

Lampiran 15. Analisis Konvergensi Bersyarat Kawasan Timur Indonesia Tahun 1996

ln(04/96)/8 = 0.619 - 0.0658 ln1996 +0.00000003 X1996 Predictor Coef SE Coef T P Constant 0.61914 0.07425 8.34 0.000 ln1996 -0.065819 0.009893 -6.65 0.000 X1996 0.00000003 0.00000017 0.20 0.841 S = 0.08187 R-Sq = 29.5% R-Sq(adj) = 28.1%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 2 0.29669 0.14835 22.13 0.000 Residual Error 106 0.71048 0.00670

Total 108 1.00717 Source DF Seq SS ln1996 1 0.29642 X1996 1 0.00027

Unusual Observations

Obs ln1996 ln(04/96 Fit SE Fit Residual St Resid 25 10.3 0.06300 -0.05254 0.03214 0.11554 1.53 X 29 8.5 0.33100 0.06303 0.01671 0.26797 3.34R 34 7.1 0.39500 0.15003 0.01165 0.24497 3.02R 62 7.7 0.16200 0.11963 0.03852 0.04237 0.59 X 67 7.1 0.35500 0.15346 0.00837 0.20154 2.47R 76 9.9 -0.09600 -0.02646 0.02566 -0.06954 -0.89 X 95 6.3 0.43900 0.20683 0.01460 0.23217 2.88R 99 7.8 -0.09800 0.10493 0.01047 -0.20293 -2.50R 104 7.1 0.42000 0.15097 0.00958 0.26903 3.31R 105 10.4 -0.32000 -0.06667 0.03217 -0.25333 -3.37RX


(6)

Lampiran 16. Analisis Konvergensi Bersyarat Kawasan Timur Indonesia Tahun 1998

ln(04/98)/6 = 0.489 - 0.0425 ln1998 +0.00000017 X1998 Predictor Coef SE Coef T P Constant 0.48943 0.08581 5.70 0.000 ln1998 -0.04249 0.01151 -3.69 0.000 X1998 0.00000017 0.00000016 1.04 0.302 S = 0.08702 R-Sq = 12.2% R-Sq(adj) = 10.6%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 2 0.111957 0.055979 7.39 0.001 Residual Error 106 0.802757 0.007573

Total 108 0.914714 Source DF Seq SS ln1998 1 0.103820 X1998 1 0.008137

Unusual Observations

Obs ln1998 ln(04/98 Fit SE Fit Residual St Resid 25 9.99 0.13263 0.09326 0.03514 0.03937 0.49 X 28 9.46 0.20353 0.10291 0.02595 0.10063 1.21 X 29 8.82 0.39031 0.13776 0.02165 0.25255 3.00R 34 7.22 0.51203 0.18586 0.01250 0.32617 3.79R 62 7.64 0.23359 0.22646 0.04774 0.00714 0.10 X 67 7.13 0.46986 0.19851 0.00870 0.27134 3.13R 80 7.11 0.38396 0.20270 0.00906 0.18126 2.09R 95 6.29 0.58326 0.24208 0.01609 0.34118 3.99R 97 7.50 0.03178 0.20215 0.01993 -0.17037 -2.01R 99 7.80 -0.12569 0.16528 0.01125 -0.29098 -3.37R 104 9.88 0.10178 0.07654 0.03096 0.02524 0.31 X