Konservasi Ikan Endemik Rono, Xenopoecilus Oophorus, Kottelat 1990 Di Danau Poso, Sulawesi Tengah

KONSERVASI IKAN ENDEMIK
RONO, Xenopoecilus oophorus, Kottelat 1990
DI DANAU POSO, SULAWESI TENGAH

MERIA TIRSA GUNDO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Konservasi
Ikan Endemik Rono, Xenopoecilus oophorus, Kottelat 1990 di Danau Poso”,
Sulawesi Tengah adalah karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015
Meria Tirsa Gundo
NRP C261100061

RINGKASAN
MERIA TIRSA GUNDO. Konservasi Ikan Endemik Rono, Xenopoecilus
oophorus, Kottelat 1990 di Danau Poso, Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh M. F.
RAHARDJO, DJAMAR T. F. LUMBAN BATU, WARTONO HADIE.
Pulau Sulawesi secara geografis berada di tengah kepulauan Nusantara dan
merupakan jantung kawasan Wallacea. Persis di tengah-tengah pulau ini ditemukan sebuah danau yakni Danau Poso. Danau Poso merupakan salah satu dari dua
danau purba Asia Tenggara. Danau ini merupakan danau oligotrofik yang kaya
biota bersifat endemik, termasuk jenis-jenis ikan. Persebaran ikan Xenopoecilus
spp.terbatas di dunia, tiga spesies anggota genus ini semuanya ditemukan di danau yang berada di Sulawesi Tengah. Dua spesies di antaranya hanya ditemukan
di Danau Poso yaitu, Xenopoecilus poptae, Xenopoecilus oophorus.
Xenopoecilus oophorus yang dikenal dengan nama lokal ikan rono, merupakan salah satu spesies yang populasinya masih banyak dijumpai di Danau Poso
saat ini. IUCN mencatat ikan ini dalam Red List of Threatened Species, dengan
status konservasi terancam punah. Ikan rono ditangkap nelayan menggunakan alat
tangkap bagan perahu tradisional yang selektivitasnya sangat rendah sehingga
mengancam keberadaan spesies ikan ini di Danau Poso.
Untuk memperkecil ancaman kepunahan spesies ikan rono diperlukan sebuah konsep konservasi spesies. Upaya konservasi dengan strategi yang tepat

diharapkan menjaga keberadaan sumber daya ikan ini akan tetap berkelanjutan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam aspek biologi
reproduksi ikan rono dan keterkaitannya dengan lingkungan perairan di Danau
Poso, serta untuk menyusun suatu strategi konservasi ikan ini. Kajian tersebut
meliputi: 1) dimorfisme seksual; 2) hubungan panjang bobot dan faktor kondisi;
3) kematangan gonad; 4) lama pengeraman telur oleh induk betina; dan 5) habitat.
Penelitian dilakukan di Danau Poso Sulawesi Tengah. Secara keseluruhan
alokasi waktu kegiatan dilakukan 16 bulan yaitu penelitian pendahuluan mulai
Oktober 2011 – Februari 2012. Penelitian utama dimulai bulan Agustus 2012 –
Juli 2013. Pengumpulan data laboratorium dilakukan di Laboratorium Biologi
Makro/Biologi Mikro Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK, Laboratorium Histopatologi FKH IPB, dan Laboratorium Biologi FMIPA Universitas
Tadulako Sulawesi Tengah.
Ikan rono memiliki dimorfisme seksual yaitu ikan betina memiliki ukuran
sirip perut yang lebih panjang daripada ikan jantan. Sirip perut ikan rono betina
lebih panjang yang berfungsi sebagai tempat untuk mengerami sekumpulan
telurnya sampai menetas. Ikan ini memiliki ovarium tunggal berbentuk kantung
oval. Ukuran ovarium terbesar memiliki panjang sekitar 5 mm dan lebar 3 mm
dengan posisi lateral di bawah rongga perut. Ovarium ikan rono memiliki oosit
dengan semua fase perkembangan, digolongkan ke dalam tipe ovarium yang
perkembangan oositnya tak sinkron.

Panjang ikan jantan maupun ikan betina berkisar antara 41 sampai 86 mm,
bobot berkisar antara 0,46 sampai 6,14 g. Diketahui persamaan hubungan panjang
bobot ikan jantan dan betina berturut-turut W = 6 x 10-6 L3,074dan W = 8x 10-6 L3,011.
Pola pertumbuhan ikan rono jantan maupun betina bersifat isometrik. Nilai rata-

rata faktor kondisi ikan jantan dan betina berturut-turut 0,936 ±0,127 dan 0,973
±0,103.
Ikan rono memiliki waktu reproduksi yang panjang terjadi selama musim
hujan. Pada periode reproduksi didapati empat puncak waktu pemijahan yakni
bulan November, Januari, Februari dan April. Fekunditas total ikan rono berkisar
33 -135 butir per individu. Gugus fekunditas tertinggi ikan rono 36 butir per
individu. Berdasarkan analisis sebaran ukuran diameter oosit diketahui tipe pemijahan ikan rono adalah pemijah berulang. Hubungan gugus fekunditas dengan
bobot tubuh tanpa gonad berkorelasi kuat (r = 0,78) menunjukkan bobot tubuh
tanpa gonad dapat digunakan sebagai penduga gugus fekunditasnya. Masa pengeraman telur oleh induk betina diperkirakan berlangsung selama empat sampai lima
hari. Larva yang dihasilkan tidak mengalami fase planktonik.
Ikan rono merupakan ikan permukaan berukuran kecil, ditemukan hidup di
perairan terbuka pada kedalaman lima sampai tujuh meter. Kondisi perairan ini
memiliki perairan dangkal yang sempit dengan substrat berbatuan masif, dengan
lereng dasar yang curam diikuti kedalaman yang meningkat drastis (pinggiran
tubir).

Strategi konservasi ikan endemik rono dilakukan dengan cara, melakukan
perlindungan badan air danau dari introduksi spesies ikan asing, pengendalian sedimentasi perairan, dan pengaturan alat tangkap serta musim penangkapan ikan ini
di Danau Poso.
Kata kunci: X. oophorus, dimorfisme seksual, oosit, panjang-bobot, fekunditas,
pemijah berulang, faktor kondisi, isometrik.

SUMMARY
MERIA TIRSA GUNDO. Conservation of the Rono, Xenopoecilus oophorus, Kottelat 1990 the endemic fish to Lake Poso, Central Sulawesi. Supervised
by M. F. RAHARDJO, DJAMAR T. F. LUMBAN BATU, WARTONO HADIE.
The Island of Sulawesi is situated at the heart of the Indonesian Archipelago
and Wallacea region. Lake Poso is to be found right in the centre of this island and
is one of the ancient lakes in South-East Asia. This lake is oligotrophic and rich in
endemic species, including several endemic fishes. Fish of the genus Xenopoecilus have extremely restricted global distributions, and three species are only found in lakes in Central Sulawesi. Two of these, Xenopoecilus poptae and Xenopoecilus oophorus, are endemic to Lake Poso.
Xenopoecilus oophorus, known locally as ikan rono, is one of the species
which are still quite abundant in Lake Poso, however in the IUCN Red List of
Threatened Species this fish is listed as Endangered. Local fishermen catch X.
oophorus around the lake using traditional lift-net boats with very low selectivity
and thereby threaten the continued existence of this Lake Poso fish species (Gundo, 2009).
A suitable management concept is needed to reduce the risk of X. oophorus
becoming extinct, including species conservation measures. It is hoped that rono

populations can be sustained through the implementation of an effective conservation strategy.
The goal of this research was to study in depth some aspects of X. oophorus
reproductive biology and it’s relationship with the environment in the waters of
Lake Poso. The study comprised the following aspects: 1) sexual dimorphism; 2)
length-weight relationship and condition factor; 3) gonad maturation; 4) the length
of egg-brooding time in female; 5) habitat.
Field research was carried out in Lake Poso, Central Sulawesi. The total
timeframe allocated was 16 months, begining with exploratory research from
October 2011 to February 2012. The main research ran from August 2012 to July
2013. The initial field data were collected at the northern end of the lake, data
were obtained from laboratory work in the Macro/Micro Biology Laboratory in
the Aquatic Resources Management Department of the Fisheries and Marine Science Faculty and the Histopathology Laboratory, Faculty of Veterinary, both at
the Bogor Agricultural University, as well as the Biology Laboratory at the Faculty of Mathematics and Science, Tadulako University in Central Sulawesi. The
main field data were collected from four stations situated respectively in the
northern, eastern, western and south-western parts of Lake Poso.
Rono exhibit sexual dimorphism, with females having longer ventral fins
than males. The longer ventral fins of female serve as a place to brood the egg
mass until the eggs hatch. This fish species has a single ovary shaped like an oval
sack. The largest ovary observed was about 5 mm long by 3 mm wide, and was
positioned laterally below the abdominal cavity. Oocytes in all phases of development were found, so that the ovarian development can be categorized as asynchronous, typical of batch spawning fishes.

For both male and female specimens, the length varied between 41 and 86
mm, while weight was between 0.46 and 6. g. Regression yielded length-weight

relationships for male and female respectively of W = 6 x 10-6L3.074dan W = 8x
10-6L3.011. Growth patterns for both male and female are isometric. The average
condition factor was 0.936 (±0.127) for males and 0.973 (±0.103) for females.
Rono reproductive season occurred throughout the rainy season. During this
reproduction period there were spawning peaks in November, January, February
and April. The total fecundity 33 -135 eggs per individual. The highest observed
individual batch fecundity was 36 eggs. The distribution of oocyte diameters
shows that rono is a multiple spawner. There was a strong correlation (r = 0,78)
between batch fecundity and body weight excluding gonad weight, showing that
net body weight (without the gonad) can be used to predic batch fecundity. It was
estimated that female brood their eggs for four or five days. The larva produced
do not go through a planktonic phase.
Rono is small-bodied pelagic fish, generally found in the water column at
five to seven meters depth. These conditions are found in a narrow ledge around
the lake with a substrate of massive rock, close to a steeply shelving slope (dropoff) where depth increases very rapidly.
A conservation strategy for the endemic fish rono should include: firstly
protecting the waters of Lake Poso from the introduction of alien species (nonnative fishes) either on purpose or by accident; secondly, protection of the habitat

and measures to control (reduce) sedimentation; and thirdly the regulation of the
fishery in Lake Poso including the fishing gear used and the fishing seasons.
Key words: Lake Poso, X. oophorus, sexual dimorphism, oocytes, length-weight,
multiple spawner, condition factor, isometric.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KONSERVASI IKAN ENDEMIK
RONO, Xenopoecilus oophorus, Kottelat 1990
DI DANAU POSO, SULAWESI TENGAH

MERIA TIRSA GUNDO


Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1. Prof. (R). Dr. Ir. Endi. S. Kartamihardja, M.Sc (Profesor Riset Balai Penelitian
Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan
Perikanan)
2. Dra. Renny Kurnia Hadiaty, D. Sc (Peneliti Utama Puslit Biologi – LIPI)
Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi Terbuka:
1. Prof. Dr. Ir. Ridwan Affandi (Guru Besar FPIK – IPB)
2. Dra. Renny Kurnia Hadiaty, D. Sc (Peneliti Utama Puslit Biologi – LIPI)


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Allah yang maha kasih,
yang telah memberi kekuatan, hikmat dan akal budi sehingga penulis dapat
menyelesaikan disertasi berjudul Konservasi Ikan Endemik Rono, Xenopoecilus
oophorus, Kottelat 1990 di Danau Poso, Sulawesi Tengah.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada : komisi pembimbing Bapak Prof. Dr. Ir. M. F. Rahardjo,
DEA. selaku ketua komisi pembimbing; Bapak Prof. Dr. Ir. Djamar Tumpal F.
Lumban Batu, M.Agr. dan Bapak Dr. Wartono Hadie, M.Si selaku anggota komisi
pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama
penyusunan disertasi ini.
Selain itu terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada para
penguji di luar Komisi Pembimbing: Bapak Prof. (R). Dr. Ir. Endi. S.
Kartamihardja, M.Sc, Bapak Prof. Dr. Ir. Ridwan Affandi, dan Ibu Dra. Renny
Kurnia Hadiaty, D. Sc. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan,
yang berkenan menyumbangkan buah pikiran untuk memperkaya tulisan ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Meria Tirsa Gundo


UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Kementerian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
atas bantuan beasiswa BPPS 2010.
2. Rektor Universitas Sintuwu Maroso Poso Sulawesi Tengah atas kesempatan
yang telah diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3.
3. Rektor IPB yang telah menerima penulis menjadi mahasiswa pada Sekolah
Pascasarjana IPB Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan.
4. Papa An. Gundo (Alm) dan mama P. Paduli (Alm) atas doa, curahan kasih
sayang, dorongan dan pengorbanan bagi penulis semasa hidup mereka, menjadi semangat bagi penulis untuk menempuh pendidikan S3.
5. Mama N. Dumola (Alm) atas kasih sayang, doa, dan semangat yang selalu
diberikan kepada penulis.
6. Suami Ir. Herlan Dumola, M.Si. dan kedua putriku terkasih Sheren Shelyna
Imanuella Dumola, Rachel Cyntialona Dumola atas kasih sayang, doa,
pengertian, pengorbana dan dorongan semangat selama penulis menempuh
pendidikan S3.
7. Kakak-kakakku: Ir. M. Gundo, Dr. Ir. Cakra.W.B. Gundo, M.Si, Dikson
Gundo Am. Ak. Ketiga adikku: Ribka Gundo S.Kes, David Gundo dan Desmurni Gundo (Alm) bersama semua keluarga besar mereka atas bantuan, doa,

dorongan dan semangat untuk menyelesaikan studi.
8. Pembantu lapangan: Papa Tesa, Papa Ivan, Teknisi Laboratorium: Pak Ruslan,
Pak Aris, Bu Sami, dan Bu Hamidah.
9. Teman-teman seperjuangan: (Bu Norce, Bu Mia, Bu Anita, Bu Adel, Bu
Dade, Bu Ani, Pak Asbar, Pak Haryono, Pak Lukman, Pak Indra, Pak Alfred,
Pak Tedjo) atas bantuan, dukungan semangat dan kerja sama yang telah diberikan selama masa studi.
10. Berbagai pihak yang turut memberikan andil dalam keberhasilan penulis menyelesaikan studi S3 di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan,
SPs IPB, Bogor.

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xv

DAFTAR GAMBAR

xv

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Kebaruan

2

GONAD DAN DIMORFISME SEKSUAL

Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan

1
1
3
3
5
5
5
6
11
13

3

HUBUNGAN PANJANG-BOBOT DAN FAKTOR KONDISI
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan

14
14
14
16
19
21

4

KEMATANGAN GONAD DAN TIPE PEMIJAHAN
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan

22
22
22
25
28
31

5

HABITAT DAN TINGKAH LAKU PEMIJAHAN
Pendahuluan
Bahan dan metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan

32
32
32
34
38
39

6

KONSERVASI
Pendahuluan
Ancaman terhadap kelestarian ikan rono
Strategi Konservasi
Penutup dan Saran

40
40
42
47

DAFTAR PUSTAKA

48

RIWAYAT HIDUP

55

DAFTAR TABEL
1

Hasil uji beda antara proporsi panjang sirip perut dan panjang baku ikan
rono jantan dan betina

7

Kisaran ukuran panjang total dan bobot ikan rono jantan dan betina
yang tertangkap setiap bulan di Danau Poso

17

Nilai faktor kondisi relatif ikan rono jantan dan betina yang tertangkap
setiap bulan

14

4

Nilai faktor kondisi ikan rono betina menurut perkembangan gonad

18

5

Hubungan panjang bobot ikan pada berbagai lokasi

20

6

Deskripsi tingkat kematangan ovarium ikan rono secara makroskopis
dan bentuk mikroanatominya

23

7

Nisbah kelamin ikan rono jantan dan betina

25

8

Nilai indeks kematangan gonad ikan rono betina yang tertangkap setiap
bulan selama penelitian

27

Hasil pengukuran parameter fisika kimiawi perairan pada dua musim
berbeda

35

2
3

9

DAFTAR GAMBAR
1

Ikan betina Xenopoecilus oophorus Kottelat, 1990 (PB.76 mm)

2

2

Peta lokasi stasiun penelitian ikan rono di Danau Poso, Sulawesi
Tengah

6

a. Ikan rono betina dan jantan; b. sirip dada ikan betina lebih panjang
daripada sirip ikan jantan

7

a. Sirip ikan rono betina berfungsi menahan dan melindungi kumpulan
telur yang sudah dibuahi sampai menetas; b. Ikan rono betina
mengembangkan cekungan di bagian bawah perutnya untuk tempat
pengeraman

7

5

Posisi dan morfologi ovarium ikan rono

8

6

Tingkat kematangan ovarium ikan rono secara makroskopis

8

7

Penampang melintang ovarium ikan rono

10

8

Fase perkembangan oosit dalam ovarium ikan rono

10

9

Makroskopis gonad ikan rono jantan

11

10

Mikro anatomi gonad jantan

11

11

Sebaran frekuensi panjang total ikan rono jantan dan betina yang
tertangkap selama penelitian di Danau Poso

16

Kurva hubungan panjang bobot ikan rono di Danau Poso

17

3
4

12

13 Grafik nilai faktor kondisi jantan, betina ikan rono yang tertangkap
selama penelitian dan curah hujan di lokasi penelitian

19

14 Grafik persentase tingkat kematangan gonad ikan rono betina yang
tertangkap selama penelitian

26

15 Nilai indeks kematangan gonad (IKG) ikan rono yang tertangkap
selama penelitian

26

16 Persamaan hubungan gugus fekunditas (Fg) dengan (a) bobot tubuh
tanpa gonad (W-wg) dan (b) panjang total ikan rono (L)

27

17 Sebaran diameter telur ikan rono

28

18 Stasiun pengamatan habitat dan lama pengeraman telur ikan rono

33

19 Sketsa lokasi persebaran ikan rono di Danau Poso

34

20 Ikan rono yang diamati di lokasi penelitian

36

21 Sketsa penampang melintang danau yang merupakan habitat ikan rono

36

22 Ikan rono yang diamati di lokasi penelitian

37

23 Diagram strategi konservasi ikan Xenopoecilus oophorus berdasarkan
ekobiologi reproduksi di Danau Poso

45

24 Daerah-daerah berperan ekologis penting yang perlu dikonservasi di
Danau Poso

46

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Asia Tenggara empat danau diperkirakan merupakan danau purba yakni
Danau Inlé di Burma, Danau Lanao di Mindanao, Danau Poso dan Danau-danau
Malili di Sulawesi, Indonesia. Di antara keempat danau tersebut, dua danau yang
ada di Sulawesi merupakan danau yang benar-benar danau purba dilihat berdasarkan perkiraan umur dan fauna yang dimilikinya (von Rintelen et al. 2012).
Danau Poso merupakan danau oligotrofik yang berada terisolasi di atas
pegunungan dengan ketinggian 500 m di atas permukaan laut berada persis di
tengah-tengah Pulau Sulawesi (von Rintelen et al. 2004) suatu pulau yang
dikenal sebagai jantung kawasan Wallacea. Danau ini memiliki kedalaman
maksimal 450 m dan luas 32.320 ha, merupakan danau kedua terdalam ketiga
terluas di Indonesia (Whitten et al. 1987b).
Danau Poso dikenal kaya akan biota perairan yang bersifat endemik, di
antaranya ikan. Beberapa jenis ikan endemik menghuni Danau Poso yaitu: ikan
Adrianichthys kruyti Weber, 1913; Xenopoecilus poptae Weber & de Beaufort,
1922, Xenopoecilus oophorus Kottelat, 1990; Adrianichthys roseni Parenti &
Soeroto, 2004; Nomorhamphus celebensis Weber & de Beaufort, 1922, Mugilogobius sarasinorum Boulenger, 1897; Mugilogobius amadi Weber, 1913; Anguilla celebensis Kaup, 1856, Oryzias nigrimas Kottelat, 1990, Oryzias orthognathus Kottelat, 1990, Oryzias nebulosus Parenti & Soeroto, 2004 (Whitten et
al. 1987a, Kottelat 1990, Kottelat et. al. 1993, Parenti dan Soeroto 2004, Parenti
2008).
Hampir semua aspek ekobiologi spesies endemik Danau Poso belum pernah dikaji secara mendalam. Ikan A. kruyti, X. poptae, dan M. amadi diduga telah punah, padahal banyak aspek ekobiologinya belum pernah dipelajari.
Xenopoecilus oophorus merupakan salah satu spesies yang populasinya
masih banyak dijumpai di Danau Poso saat ini. Ikan X. oophorus memiliki nama
lokal ikan rono. IUCN mencatat ikan ini dalam Red List of Threatened Species,
dengan status konservasi Endangered (A2e) (Kottelat 1996).
Ikan rono (Gambar 1) dikenal secara luas setelah hasil eksplorasi yang
dilakukan oleh Maurice Kottelat seorang ahli Biologi Swiss dipublikasikan pada
tahun 1990an dengan nama ilmiah Xenopoecilus oophorus (Kottelat 1990).
Kemudian Parenti (2008) melakukan revisi taksonomi dan memberi nama ilmiah
ikan ini Adrianichthys oophorus. Namun demikian berdasarkan Kottelat (2013)
ikan ini tetap menggunakan nama ilmiah Xenopoecilus oophorus. Ada pun
sistematika ikan tersebut menurut Kottelat (1990); Naruse (1996); Kottelat
(2013) sebagai berikut:
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Actinopterygii
Sub Kelas : Neopterygii
Ordo : Beloniformes
Sub Ordo : Adrianichthyoidei
Family : Adrianichthyidae

2
Genus : Xenopoecilus
Spesies : Xenopoecilus oophorus

Gambar 1 Ikan Xenopoecilus oophorus Kottelat, 1990 (PT.76 mm)
Ikan rono merupakan ikan konsumsi yang disukai masyara-kat sekitar
danau. Ikan ini ditangkap nelayan di sekitar danau menggunakan bagan perahu
tradisional. Penangkapan dilakukan pada malam hari tanpa cahaya bulan dan
kondisi perairan tenang tanpa gelombang. Alat tangkap bagan tersebut mengancam keberadaan ikan-ikan ini di Danau Poso karena selektivitasnya sangat
rendah (Gundo 2009).
Sumber daya ikan-ikan endemik Danau Poso termasuk ikan rono belum
dikelola secara baik dan benar. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan
laporan masyarakat diketahui bahwa introduksi spesies ikan asing ke badan air
danau marak dilakukan baik secara sengaja maupun tidak. Introduksi spesies
asing yang merajalela di danau-danau tektonik menurut Parenti (2010) merupakan ancaman serius bagi keberadaan ikan-ikan endemik air tawar, termasuk
ikan rono di Danau Poso.
Selain itu kondisi ekosistem Danau Poso terus mengalami tekanan seiring
dengan pesatnya pembangunan dan pertumbuhan penduduk di sekitar danau ini.
Tekanan yang terus berlangsung tanpa terkendali dapat mengakibatkan degradasi komponen fisik maupun biologi perairan danau yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh buruk terhadap keberlangsungan kehidupan
biota endemik yang hidup di danau ini termasuk ikan rono. Alih fungsi pemanfaatan daerah sempadan danau menjadi lahan pertanian dan permukiman, dan semakin menyusutnya luas tutupan hutan di daerah tangkapan air di sekitar Danau
Poso, menjadikan badan air danau rawan sedimetasi.
Untuk mengatasi ancaman kepunahan spesies ikan rono diperlukan sebuah
konsep pengelolaan yang tepat agar pemanfaatan sumber daya ikan ini tidak
melampaui batas kemampuannya untuk pulih, dan habitatnya tetap terjaga.
Sebuah konsep pengelolaan yang benar dan tepat sasaran diharapkan dapat
mengatasi ancaman kepunahan ikan rono di Danau Poso ke depan. Konservasi
ikan rono merupakan suatu kegiatan yang bertujuan melindungi spesies ini dari
ancaman kepunahan. Berbagai strategi konservasi dapat dilakukan, antara lain
berdasarkan ekobiologi reproduksinya.
Sebuah strategi konservasi berdasarkan ekobiologi reproduksi ikan rono
disusun dengan terlebih dahulu mempelajari dan memahami berbagai aspek
yang berkaitan dengan ekologi dan biologi reproduksi ikan ini. Apabila konsep
strategi konservasi tersebut dapat disusun dengan baik dan dapat diimplementa-

3
sikan di lapangan, diharapkan ketersediaan sumber daya ikan rono di Danau
Poso akan tetap berkelanjutan.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam karakteristik
reproduksi ikan rono dan keterkaitannya dengan lingkungan perairan di Danau
Poso. Kajian tersebut meliputi: dimorfisme dan karakteristik gonad secara
mikroanatomis maupun secara makroskopis, hubungan panjang bobot dan fakor
kondisi, tingkat kematangan gonad secara makroskopis dan indeks kematangan
gonad, musim pemijahan, tipe dan pola pemijahan, lama pengeraman telur oleh
induk betina dan karakteristik habitatnya.
Informasi yang diperoleh dari hasil kajian tersebut selanjutnya akan dijadikan dasar penyusunan konsep strategi konservasi ikan rono. Konsep strategi
konservasi ikan rono di Danau Poso diharapkan dapat dijadikan sebagai salah
satu pilihan dalam mengelola sumber daya ikan ini di masa yang akan datang.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi para
pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan. Selain itu hasil penelitian ini
kiranya dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan ekobiologi reproduksi
ikan air tawar di dunia.
Kebaruan
Berbagai aspek ekobiologi ikan-ikan endemik Danau Poso masih kurang
dikaji. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang secara lebih mendalam
mengungkap informasi ekobiologi reproduksi ikan endemik rono di Danau Poso.
Sebagian besar informasi yang diperoleh merupakan informasi baru bagi khazanah ilmu pengetahuan biologi reproduksi ikan air tawar.
Beberapa informasi baru tersebut, antara lain ikan ini memiliki sifat
dimorfisme yang dapat digunakan untuk membedakan antara ikan jantan dan
ikan betina. Ikan betina memiliki sirip perut yang lebih panjang daripada ikan
jantan. Sirip perut ikan betina berperan dalam proses pengeraman yakni melindungi sekumpulan telur yang sudah dibuahi di bawah perutnya yang cekung, dan
membawanya sampai kumpulan telur tersebut menetas menjadi larva. Lama pengeraman telur diperkirakan berlangsung selama empat sampai lima hari. Berdasarkan tipe memijahan ikan ini diusulkan sebuah istilah baru yakni pengeram
di sirip perut. Ikan ini memiliki ovarium yang perkembangan oositnya tak
sinkron, memijah beberapa kali dalam satu musim pemijahan sehingga dapat
digolongkan kedalam kelompok ikan pemijah berulang, memijahkan telurnya
dalam bentuk gugus (batch). Waktu pemijahan berlangsung mulai pada awal
sampai akhir musim hujan. Selain itu diketahui pula ikan ini merupakan ikan
permukaan yang berukuran kecil yang hidup di kolom perairan yang memiliki
dasar perairan berbentuk lereng yang curam (pinggiran tubir) dengan kedalaman
lebih dari lima meter. Keberadaan zona pinggiran danau yang dipadati bebatuan
masif, diduga kuat merupakan daerah pemijahan karena substrat seperti ini
memiliki fungsi fisik bagi larva yang baru menetas untuk berlindung dan mencari makan.

4
Berdasarkan informasi tersebut di atas disusun sebuah konsep strategi
konservasi ikan rono di Danau Poso. Konsep strategi konservasi ini merupakan
kebaruan karena belum pernah dibuat sebelumnya.

5

2

GONAD DAN DIMORFISME SEKSUAL
Pendahuluan

Informasi biologi reproduksi antara lain yang terkait dengan dimorfisme
seksual dan mikroanatomi ovarium ikan rono belum banyak dilaporkan. Dimorfisme merupakan salah satu ciri seksual sekunder ikan yang dapat dipakai untuk
membedakan ikan jantan dan betina, dan berhubungan dengan organ yang
merupakan alat bantu dalam proses pemijahan (Rahardjo et al. 2011).
Untuk menjamin keberlangsungan daur pemijahan sangat dibutuhkan sejumlah sel telur yang matang yang hanya mungkin dihasilkan dalam proses
oogenesis. Oogenesis merupakan proses sangat dinamis yang berlangsung dalam
ovarium. Dalam proses ini oosit melewati berbagai fase yang mirip pada semua
ikan yang berbeda spesies (Yön et al. 2008). Menurut Selman dan Wallace
(1989), ovarium ikan dapat diklasifikasikan dalam tiga tipe berdasarkan bentuk
perkembangan oositnya yaitu tipe berkembang bersamaan (synchronic), berkembang bersamaan secara berkelompok (group synchronic) dan berkembang tidak
sinkron (asynchronic). Tipe perkembangan oosit tidak sinkron dapat ditemukan
dalam ovarium yang memiliki beberapa kelompok oosit yang berbeda-beda
tingkat perkembangan dan kematangannya (Nagahama 1983, Nejedli et al.
2004).
Penelitian ini bertujuan melakukan analisis terhadap ciri seksual sekunder
untuk memastikan apakah ada bentuk morfologi ikan rono yang merupakan
dimorfisme seksual dan mendeskripsikan bentuk mikroanatomi ovarium ikan.
Dengan mempelajari dimorfisme seksual dan mikroanatomi ovarium diharapkan akan diperoleh informasi bermanfaat dalam mempelajari dan memahami
ekobiologi reproduksi ikan ini.
Bahan dan Metode
Penelitian dilaksanakan di Danau Poso Sulawesi Tengah, selama empat
bulan (Oktober 2011 – Februari 2012). Posisi geografis danau ini berada pada
1o441-2o041 Lintang Selatan dan 120o321-120o431 Bujur Timur. Pengambilan
sampel dalam penelitian ini dilakukan di stasiun 1 yang berada di utara danau.
(Gambar 2).
Ikan rono yang diamati dalam penelitian ini diambil dari hasil tangkapan
nelayan yang melakukan penangkapan di perairan utara Danau Poso. Alat tangkap yang digunakan bagan perahu tradisional. Sebanyak 150 ekor ikan rono
diambil dari hasil tangkapan nelayan. Untuk pengamatan morfometrik dan meristik ikan contoh disimpan dalam larutan formalin 5%.
Selanjutnya untuk pengamatan mikroanatomi gonad ikan rono betina,
ovarium dari berbagai ukuran panjang individu ikan rono dikeluarkan dari rongga perut dan diangkat dengan hati-hati disimpan dalam larutan fiksatif bouin
selama 4 sampai 24 jam, kemudian dipindahkan ke dalam larutan alkohol 70%.
Di laboratorium ovarium dibersihkan, dicuci, didehidrasi dengan larutan alkohol,
diselubungi dengan parafin, diiris dengan ketebalan 6 - 8 µm pada posisi melintang. Setelah itu, preparat mikroanatomi ovarium dibuat dengan metode pewarnaan Hematoxylin dan Eosin. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan

6
mikroskop cahaya. Kegiatan ini dilakukan di Laboratorium Histopatologi
Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Laboratorium Biologi Mikro Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
(FPIK) IPB. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif mengacu pada
Takashima dan Hibiya (1995) dan Genten et al. (2009).

Gambar 2

Peta lokasi stasiun penelitian ikan rono di Danau Poso,
Sulawesi Tengah (O: stasiun penelitian).
Hasil

Dimorfisme seksual
Hasil pengamatan bentuk morfologi ikan rono diperlihatkan pada Gambar
3. Gambar 3a menampakkan adanya sifat seksual sekunder yang merupakan
dimorfisme seksual pada sirip perut ikan rono. Hasil analisis berdasarkan uji-t (α
= 0,05 ) terhadap nilai proporsi panjang sirip perut dengan panjang baku masingmasing ikan jantan dan betina menunjukkan perbedaan nyata antara panjang
sirip perut ikan rono jantan dan betina (Tabel 1). Sirip perut ikan rono betina
lebih panjang dan lebih kuat dibandingkan dengan sirip perut ikan jantan
(Gambar 3b).
Panjang baku ikan betina berkisar antara 42 - 77 mm. Perbedaan ukuran
panjang sirip dada ikan betina ini mulai teramati pada panjang baku 52 - 58 mm.
Ukuran pertama kali matang kelamin dapat ditentukan karena ikan-ikan betina
yang sudah pernah memijah mengembangkan cekungan di bagian perut sebagai
ruang untuk menempatkan kumpulan telur yang sudah dibuahi, dilindungi dengan sirip perut dan dierami sampai menetas menjadi larva (Gambar 4a, 4b).

7
Tabel 1 Hasil uji beda antara proporsi panjang sirip perut dan panjang baku
ikan rono jantan dan betina
Variabel

PSP/PB

Jenis Kelamin
Jantan
Betina
Rata-rata
0,0914
0,1634
Simpangan baku
0,0238
-10,0290
t-hitung
0,0000*
p
PB: panjang baku; PSP: panjang sirip perut; *: berbeda nyata (α = 0,05)

Gambar 3 a. Ikan rono betina dan jantan; b. sirip dada ikan betina lebih
panjang daripada sirip ikan jantan.

Gambar 4 a. Sirip ikan rono betina berfungsi menahan dan melindungi kumpulan telur yang sudah dibuahi sampai menetas; b. Ikan rono
betina mengembangkan cekungan di bagian bawah perutnya
untuk tempat pengeraman.
Makroskopis gonad betina
Ikan rono merupakan ikan gonokoristik, yaitu jenis kelamin jantan dan
betina terpisah pada dua individu. Ikan ini hanya memiliki ovarium tunggal
berbentuk kantung bundar menggelembung, agak lonjong, dan bagian anterior
berbentuk oval. Pada ovarium bagian bawah terdapat cekungan lurus memanja-

8
ng dari anterior ke posterior terlihat seperti belahan simetris yang dipenuhi
pembuluh darah kapiler. Cekungan ini merupakan tempat melekatnya usus yang
menuju kloaka. Ukuran panjang ovarium yang matang sekitar 5,5 mm dan lebar
4 mm mengisi hampir ½ rongga perut. Ovarium ini berada pada posisi lateral di
bagian bawah rongga perut (Gambar 5).

Gambar 5 Posisi dan morfologi ovarium ikan rono. a. Posisi gonad dalam
rongga perut; b. Ovarium tampak bawah; c. Penampang melintang ovarium; d. Ovarium tampak atas.

Gambar 6 Tingkat kematangan ovarium ikan rono secara makroskopis a.
Fase perkembangan awal; b. Fase perkembangan; c. Fase pematangan; d. Fase salin
Gonad ikan rono betina mulai berkembang pada ukuran panjang total ikan
52-58 mm. Tingkat kematangan ovarium ikan rono secara makroskopis dibedakan atas empat fase, yaitu: fase perkembangan awal, fase perkembangan, fase

9
pematangan, dan fase salin (Gambar 6). Secara makroskopis deskripsi ovarium
ikan rono ini diuraikan sebagai berikut.
Fase perkembangan awal: ukuran ovarium sangat kecil, panjang 2 mm
lebar 1,5 mm bewarna putih susu, mengisi 1/6 rongga perut. Permukaan licin,
belum terlihat jelas butiran telur. Ovarium berbentuk satu kantong kecil berbentuk oval agak memanjang. Anterior lebih lancip. Fase ini hanya ditemukan
pada ikan betina pertama kali matang gonad, yaitu pada ukuran berkisar antara
52-58 mm (Gambar 6a).
Fase perkembangan: Ukuran ovarium lebih besar daripada fase perkembangan awal, mengisi 1/3 rongga perut bewarna lebih kekuningan, butiran telur
terlihat sangat jelas. Kantung ovarium mulai terisi penuh, bagian anteriornya
mulai berbentuk oval tetapi masih agak lancip. Mulai terlihat adanya pembuluh
darah di selaput gonad. Induk betina sudah mengembangkan cekungan di
perutnya (Gambar 6b).
Fase pematangan: Ukuran ovarium lebih besar daripada fase perkembangan, panjang sekitar 5,5 mm dan lebar 4 mm, mengisi hampir 1/2 rongga
perut. Bewarna kuning tua, butiran telur sangat jelas terlihat, kantung ovarium
terisi penuh dan menggelembung, bagian anterior gonad berbentuk oval, pembuluh darah di selaput gonad terlihat jelas. Pada lubang pelepasan telur (urogenital pore) terlihat adanya berkas filamen (Gambar 5B). Induk betina sudah
mengembangkan cekungan di perutnya (Gambar 6c).
Fase salin: Ukuran ovarium lebih kecil daripada fase pematangan, dan
mengempis. Bagian anterior gonad lebih lancip, bewarna kuning pucat terlihat
butiran telur sisa (Gambar 6d). Pada fase ini induk betina baru memijah dan terlihat sedang mengerami sekumpulan telur yang masih transparan di bawah sirip
perutnya (Gambar 4a).
Mikroanatomi gonad betina
Berdasarkan hasil analisis mikroanatomi diketahui bahwa dalam satu ovarium ikan rono ditemukan oosit dengan tingkat perkembangan bervariasi. Oosit
dalam ovarium ikan dibagi dalam lima fase perkembangan yaitu fase pertumbuhan primer, fase cortical alveoli, fase vitellogenic, fase pematangan, dan fase
atresia. Empat fase yang disebutkan pertama dapat diamati pada penampang melintang ovarium ikan rono (Gambar 7), sedangkan fase yang disebutkan terakhir
dapat dilihat pada Gambar 8d.
Empat kriteria fase kematangan ovarium secara makroskopis yang sudah
ditetapkan di atas (fase perkembangan awal, fase perkembangan, fase pematangan, dan fase salin), selanjutnya dideskripsikan bentuk mikroanatominya berdasarkan perkembangan oosit berturut-turut sebagai berikut:
Fase perkembangan awal. Pada fase ini secara mikroanatomi terlihat
ovarium memiliki dua kelompok fase oosit, yaitu fase pertumbuhan primer (pp)
dan fase cortical alveoli (ca). Fase pertumbuhan terdiri atas fase chromatinnucleolus (cn) dan fase perinucleolar (p). Oosit yang telah mencapai tiga fase
perkembangan berikutnya yaitu fase vitellogenic (v), fase matang (m), dan fase
atresia belum terlihat. Hal ini disebabkan fase ini hanya ditemukan pada ikan
betina yang pertama kali matang gonad (Gambar 8a).
Fase perkembangan. Pada fase ini ditemukan empat kelompok fase oosit,
yaitu: fase pertumbuhan primer (pp), fase cortical alveoli (ca), fase vitellogenic

10

Gambar 7 Penampang melintang ovarium ikan rono. Op = Oosit primer; Ca =
Cortical alveoli; V = Vitellogenic; M = Pematangan; Pd = Pembuluh
darah)

Gambar 8 Fase perkembangan oosit dalam ovarium ikan rono:
a. Fase perkembangan awal. fase chromatin-nucleolus (cn), fase perinucleolar
(p), fase cortical alveoli (ca), pembuluh darah (pd)
b. Fase perkembangan. fase chromatin-nucleolus, fase perinucleolar, fase cortical
alveoli (ca), fase vitellogenic (v), fase pematangan (m).
c. Fase pematangan. fase pertumbuhan primer (pp), fase cortical alveoli (ca),
fase vitellogenic (v), fase pematangan (m), pembuluh darah (pd).
d. Fase salin. postovulatory follicle (po), telur yang sedang mengalami atresia
(a), fase pertumbuhan primer (pp), fase cortical alveoli (ca), fase vitellogenic
(v), fase pematangan (m), pembuluh darah (pd).

(v), dan fase pematangan (m) (Gambar 8b). Namun demikian ukuran oosit yang
telah memasuki fase pematangan masih sedikit dibandingkan dengan tiga fase
lainnya.
Fase pematangan. Pada fase ini ditemukan empat kelompok fase oosit,
yaitu fase pertumbuhan primer (pp), fase cortical alveoli (ca), fase vitellogenic

11
(v), dan fase pematangan (m). Fase ini didominasi oleh oosit yang telah memasuki fase pematangan (Gambar 8c).
Fase salin. Terlihat adanya postovulatory follicle (po) yaitu folikel yang
sudah kosong, dan telur yang sedang mengalami atresia (a). Namun demikian
masih ditemukan kehadiran oosit dalam empat kelompok fase perkembangan,
yaitu fase pertumbuhan primer (pp), fase cortical alveoli (ca), fase vitellogenic
(v), dan fase pematangan (m) (Gambar 8d).
Makroskopis dan Mikroanatomi gonad Jantan
Ikan rono jantan memiliki testis berupa lobus tunggal, berada pada posisi
lateral di bawah rongga perut (Gambar 9a). Testis yang telah matang berukuran
8 mm, bewarna putih keruh dan hampir transparan ditemukan pada ikan jantan
berukuran panjang 76 mm, (Gambar 9b).
Dalam penelitian tingkat kematangan gonad ikan rono jantan baik secara
makroskopis tidak dapat deskripsikan karena ukuran gonad yang belum matang
berukuran sangat kecil.

Gambar 9 Makroskopis gonad ikan rono jantan, a. Posisi gonad, b. Ukuran
gonad jantan yang telah matang

Gambar 10 Mikro anatomi gonad jantan ikan rono, a. Gonad yang sudah
memijah tidak terlihat adanya sperma, b. Gonad yang masih
berisi sperma
Pembahasan
Perbedaan panjang sirip perut ikan rono jantan dan betina dapat dinyatakan sebagai sifat dimorfisme seksual yang muncul setelah ikan ini matang kelamin. Hal serupa juga dilaporkan Arbour et al. (2010), ikan alligator Aspidophoroides monopterygius jantan memiliki sirip perut yang lebih panjang dan

12
lebih kuat dibandingkan dengan sirip perut ikan betina dan diduga sirip ikan
alligator jantan tersebut digunakan untuk memegang ikan betina pada saat
berlangsungnya pengeluaran sperma. Sirip ikan rono betina lebih panjang, yang
berfungsi untuk melindungi dan mengerami kumpulan telur yang sudah dibuahi
sampai menetas. Namun demikian belum dapat ditentukan berapa lama pengeraman tersebut berlangsung. Tingkah laku pemijahan seperti ini masih baru,
tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu bentuk strategi reproduksi ikan
berdasarkan tingkah laku pemijahan menurut Balon (1975, 1984) in Moyle dan
Cech (2004) sehingga berdasarkan tingkah laku pemijahan tersebut diusulkan
satu nama penggolongan baru untuk jenis ikan ini yaitu pengeraman di sirip
perut. Hal ini serupa dengan laporan Kottelat (1990) yang juga mengusulkan
penggolongan jenis ikan ini dalam kelompok ikan dengan nama pelvic brooders.
Menurut Jobling (1995) dan Rahardjo et al. (2011), karakter dimorfis pada
ikan ada yang bersifat permanen dan ada juga yang bersifat sementara yang
hanya terlihat pada awal dan pada saat sedang terjadi pemijahan. Dimorfisme
seksual yang dijumpai pada sirip ikan lazim ditemukan, dan merupakan karakter
seksual sekunder yang perkembangannya dikendalikan oleh hormon androgen
atau estrogen (Bond 1979). Karakter seksual sekunder yang terlihat pada sirip
perut ikan rono diduga kuat merupakan karakter dimorfisme yang bersifat permanen yang perkembangannya dikendalikan oleh hormon estrogen. Hal serupa
juga dilaporkan oleh Gonçalves et al. (2005), karakter seksual sekunder ikan
jantan Aphyocharax anisitsi yaitu adanya cantelan pada sirip dan kelenjarkelenjar pada insang yang ukurannya meningkat seiring dengan perkembangan
gonad, merupakan dimorfisme yang perkembangannya bergantung pada hormon,
khususnya hormon androgen.
Secara makroskopis bentuk penampang melintang ovarium ikan rono
mirip dengan ovarium ikan Hippichthys spicifer yang berbentuk silinder seperti
yang dilaporkan oleh Ishihara dan Tachihara (2009). Namun demikian bentuk
morfologi ovarium ikan rono tidak sama seperti gonad ikan teleost yang juga
mengerami telurnya yaitu ikan pipa, Microphis brachyurus. Menurut Miranda et
al. (2004), spesies ikan ini memiliki satu pasang ovarium yang menyatu dan
menempati ¾ panjang rongga badan ikan betina. Berbeda dengan Microphis
brachyurus lineatus, ikan rono hanya memiliki satu kantung ovarium tunggal.
Dalam penelitian ini pembagian tingkat kematangan ovarium ikan rono secara
makroskopis tidak mendeskripsikan fase belum matang (immature) karena ukurannya sulit terlihat dengan mata telanjang. Hal ini dilakukan untuk menghindari kekeliruan dengan memperhatikan penegasan Murua et al. (2003) bahwa
dalam menggolongkan tingkat kematangan ovarium secara makroskopis, pada
fase pematangan, fase istirahat dan fase baru memijah kemungkinan besar bisa
terjadi kekeliruan.
Hasil penelitian histologi ovarium ikan-ikan teleost sebagian besar membagi perkembangan oosit dalam empat, enam, atau tujuh tingkatan (Nejedli et al.
2004, Kuan dan Wann 2008) Namun dalam penelitian mikroanatomi ikan rono
ini tingkat perkembangan oosit ikan rono dibagi dalam lima tahapan seperti yang
dilakukan oleh Yön et al. (2008), yaitu: fase pertumbuhan primer, fase cortical
alveolar, fase vitellogenesis, fase matang, dan fase atresia.
Apabila dalam satu ovarium ditemukan kelompok oosit dengan tingkat
perkembangan yang berbeda-beda maka perkembangan ovarium tersebut digo-

13
longkan dalam tipe ovarium tak sinkron (Murua et al. 2003 dan Nejedli et al.
2004). Kemudian mereka menyatakan pula bahwa tipe ovarium yang memiliki
oosit dengan semua fase perkembangan tersebut ditemukan pada ikan yang
memiliki musim pemijahan yang panjang atau terus menerus, seperti pada ikan
G. equulus (Iqbal et al. 2007) dan ikan Danio rerio (Yön et al. 2008). Terkait
dengan hal tersebut hasil analisis mikroanatomi ikan rono menunjukkan bahwa
ikan ini memiliki ovarium dengan perkembangan oosit dalam semua fase. Hal
ini menunjukkan bahwa ikan rono memiliki tipe ovarium yang perkembangan
oositnya tidak bersamaan (asynchronic), dan dapat mengovulasikan telurnya
beberapa kali dalam satu musim pemijahan.
Simpulan
Sirip perut ikan rono jantan dan betina yang matang kelamin memiliki
panjang yang berbeda. Sirip perut ikan rono betina lebih panjang daripada sirip
perut ikan rono jantan merupakan dimorfisme seksual ikan rono. Sifat dimorfisme ini dapat menjadi ciri seksual sekunder yang dapat dijadikan pembeda
antara ikan jantan dan ikan betina. Berdasarkan hasil analisis bentuk mikroanatomi ovarium, maka ikan ini digolongkan ke dalam kelompok ikan yang
memiliki perkembangan oositnya tak sinkron.

14

3 HUBUNGAN PANJANG-BOBOT DAN FAKTOR KONDISI
Pendahuluan
Kottelat (1990), Parenti (2008), dan Gundo et al. (2013) melaporkan
bahwa bahwa ikan rono memiliki karakteristik reproduksi yang unik dan spesifik.
Ikan ini merupakan ikan pembawa (bearer) berukuran kecil. Sampai saat ini
aspek hubungan panjang bobot dan faktor kondisi ikan ini belum pernah dilaporkan. Padahal informasi tersebut penting karena merupakan salah satu dasar
pertimbangan dalam mempelajari populasi sumber daya ikan rono di Danau
Poso.
Informasi aspek kuantitatif seperti hubungan panjang bobot penting dalam
studi biologi ikan, antara lain dipakai untuk membandingkan daur hidup (WuShan et al. 2012), membandingkan dan menggambarkan karakteristik populasi
ikan antarjenis kelamin dan antar musim (Gomiero et al. 2012), dan mengkaji
aspek morfologi populasi ikan yang mendiami daerah yang berbeda (Gonçalves
et al. 1997). Faktor kondisi dapat dijadikan sebagai indikator kesehatan populasi
ikan (Moyle dan Cech 2004), dan merupakan instrumen yang efisien dalam
menunjukkan perubahan kondisi ikan sepanjang tahun (Rahardjo et al. 2011).
Nilai rata-rata faktor kondisi yang tinggi pada periode tertentu dapat mengindikasikan pada saat itu ikan dalam kondisi kebugaran yang baik (Dias et al. 2005).
Faktor kondisi juga dapat menjadi indikator tingkat energi secara individu dan
kualitas secara keseluruhan selama masa reproduksi (Neff dan Cargnelli 2004).
Mempelajari faktor kondisi penting untuk memahami daur hidup spesies ikan
yang dapat dikontribusikan bagi pengelolaan suatu jenis ikan (Lizama dan
Ambrósio 2002).
Penelitian ini bertujuan mengkaji hubungan panjang-bobot dan faktor
kondisi ikan rono di Danau Poso. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat dalam
mempelajari populasinya di Danau Poso.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di perairan Danau Poso Sulawesi Tengah pada bulan
Agustus 2012 - Juli 2013. Secara geografis danau ini berada di tengah Pulau
Sulawesi, pada posisi antara 1o441-2o041 LS dan 120o321-120o431 BT. Pengumpulan ikan contoh dilakukan setiap bulan di empat stasiun pengamatan (Gambar
2).
Stasiun satu: terletak di utara Danau Poso. Daratan di sekitar stasiun ini
merupakan daerah pertanian. Sebagian besar daratan memiliki kemiringan lereng
yang tergolong curam, terdapat batu-batuan berukuran besar yang menjorok ke
perairan. Daerah perairan memiliki zona dangkal yang sempit, diikuti lereng
dasar perairan yang curam.
Stasiun dua: terletak di timur Danau Poso yaitu di perairan Desa Tolambo.
Sebagian daratan merupakan daerah pertanian dan sebagian lagi merupakan
daerah hutan semak berbatu. Kemiringan lereng daratan sebagian besar tergolong curam, dan terdapat batu-batuan besar yang berbatasan langsung dengan
perairan. Sebagian besar perairan memiliki zona dangkal yang sempit, dan
diikuti lereng yang curam, dengan kedalam yang meningkat tajam.

15
Stasiun tiga: terletak di barat Danau Poso yaitu di sekitar perairan Tando
Taipa, daerah ini merupakan wilayah Desa Taipa. Pantai berbentuk tanjung
berbatu, perairan memiliki zona dangkal yang sangat sempit, dan diikuti dasar
lereng perairan yang curam dengan kedalaman yang meningkat tajam.
Stasiun empat: terletak barat daya Danau Poso yaitu di daerah perairan
Desa Tonusu. Daerah daratan merupakan kawasan hutan berbatu dengan
kemiringan lereng curam. Pantai berbatu dan berkerikil pasir, perairan memiliki
zona dangkal yang sempit, dan diikuti dasar perairan dengan lereng yang curam.
Waktu penangkapan dilakukan pada malam hari dengan menggunakan
bagan perahu tradisional yang terdiri atas perahu tradisional dan lampu petromaks menggunakan minyak tanah sebagai alat bantu penangkapan. Ikan rono
bersifat fototaksis positif, dipancing menggunakan cahaya lampu. Setelah ikan
yang terkumpul cukup banyak perahu didayung perlahan ke lokasi yang agak
dangkal dan ikan dikurung menggunakan waring plastik bewarna hitam. Ikan
contoh diambil secara acak pada setiap stasiun penangkapan. Ikan contoh
diawetkan dalam larutan formalin 5%, dikemas dalam botol sampel kemudian
dibawa ke laboratorium Biologi FMIPA Universitas Tadulako untuk dianalisis
lebih lanjut. Panjang total ikan diukur menggunakan mistar ukur dengan ketelitian 1 mm dan bobot tubuh diukur menggunakan timbangan digital dengan
ketelitian 0,01 g. Jenis kelamin ditentukan dengan cara mengamati bentuk tubuh
dan ukuran panjang sirip perut yang merupakan sifat dimorfisme ikan (Gundo et
al. 2013).
Analisis hubungan panjang bobot ikan dilakukan dengan menggunakan
rumus:
W = aLb
W : bobot tubuh (g)
L : panjang total (mm)
a dan b adalah konstanta
Uji t (p < 0,05) digunakan untuk menguji apakah nilai b = 3 atau tidak.
Jika nilai b = 3 berarti ikan memiliki pola pertumbuhan isometrik, sebaliknya
bila b ≠ 3 berarti pola pertumbuhan ikan bersifat allometrik.
Faktor kondisi merupakan sebuah nilai indeks yang menunjukkan kondisi
kesehatan ikan. Nilai indeks tersebut diperoleh dengan rumus (Le Cren 1951):
K=

*

K
: faktor kondisi
W : bobot tubuh tertimbang (g)
W* : bobot tubuh terhitung dari persamaan hubungan panjang-bobot
a dan b adalah konstanta
Data curah hujan diperoleh dari dua stasiun penakar curah hujan pada
Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Dinas Pertanian Kabupaten Poso yakni BPP
Tendea Dongi dan BPP Pandayora yang berada masing-masing di utara dan
selatan Danau Poso.

16
Hasil
Persebaran ukuran dan hubungan panjang-bobot
Ikan rono yang tertangkap selama penelitian berjumlah 735 ekor, terdiri
atas 566 ekor betina dan 169 ekor jantan. Panjang dan bobot ikan yang tertangkap ini bervariasi. Secara keseluruhan panjang ikan jantan dan betina berkisar
antara 41 - 86 mm. Bobot ikan jantan berkisar antara 0,51 - 6,1 g sedangkan
bobot ikan betina berkisar antara 0,46 - 6,14 g. Ikan rono jantan terpendek (41
mm) ditemukan pada bulan Februari 2013 dan terpanjang (86 mm) ditemukan
pada bulan Agustus, November 2012 dan Februari 2013. Ikan rono betina
terpendek (41 mm) ditemukan pada bulan Desember 2012 dan terpanjang (86
mm) ditemukan pada bulan Agustus 2012, November dan Juli 2013 (Tabel 2).
Berdasarkan sebaran frekuensi panjang ikan rono, jumlah ikan betina terbanyak
(184 indi-vidu) berada pada selang ukuran antara 76 - 86 mm dan terendah (3
individu) berada pada selang ukuran antara 41 - 45 mm. Jumlah ikan jantan
terbanyak (40 individu) berada pada selang ukuran antara 71 - 75 mm dan
terendah (3 individu) pada dua selang ukuran 40 - 45 mm dan 86 - 90 mm
(Gambar 11).

Gambar 11 Sebaran frekuensi panjang total ikan rono jantan dan betina
yang tertangkap selama penelitian di Danau Poso
Hasil analisis hubungan panjang bobot ikan rono yang tertangkap selama
penelitian diperoleh persamaan panjang bobot sebagai W = 6 x 10 -6 L3,089 (r² =
0,923; N = 735). Persamaan hubungan panjang bobot ikan jantan sebagai W = 6
x 10-6L3,074 (r²=0,941, N=169) dan betina sebagai W = 8x 10