Emisi Karbon Dioksida (Co2), Metana (Ch4) Dan Dinitrogen Oksida (N2o) Dari Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut

EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2), METANA (CH4) DAN
DINITROGEN OKSIDA (N2O) DARI PERKEBUNAN KELAPA
SAWIT PADA LAHAN GAMBUT

TRI TIANA AHMADI PUTRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Emisi Karbon Dioksida
(CO2), Metana (CH4) dan Dinitrogen Oksida (N2O) dari Perkebunan Kelapa Sawit
pada Lahan Gambut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Pebruari 2016
Tri Tiana Ahmadi Putri
NIM P052120011

RINGKASAN
TRI TIANA AHMADI PUTRI. Emisi Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4) dan
Dinitrogen Oksida (N2O) dari Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut.
Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA dan GUSTI ZAKARIA ANSHARI.
Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit merupakan
dampak dari meningkatnya kebutuhan perluasan areal kelapa sawit. Perkebunan
kelapa sawit di lahan gambut ini kemungkinan besar akan melepaskan GRK.
Emisi GRK yang paling dominan di lahan gambut adalah emisi CO2, CH4 dan
N2O. Emisi GRK terdiri atas respirasi autorof dan heterotrof. Respirasi autotrof
diasumsikan tidak berpengaruh pada pemanasan global, dan sebaliknya respirasi
heterotrof berdampak pada pemanasan global. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi karakteristik fisik dan kimia tanah pada lahan gambut dangkal
bagian rizosfer dan non rizosfer, mengevaluasi besaran emisi CO2, CH4 dan N2O
di rizosfer (respirasi akar dan dekomposisi) dan non rizosfer (dekomposisi) lahan

gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan membandingkan
metode pengkuran emisi CO2 dengan menggunakan Gas Kromatografi dengan
EGM-4.
Lokasi penelitian terletak di Rasau Jaya Umum, Kecamatan Rasau Jaya,
Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Umur tanaman kelapa sawit 6
sampai 7 tahun. Emisi CO2, CH4 dan N2O yang diukur dari dua belas sungkup
tertutup dengan menggunakan alat Gas Kromatografi dan analisis gas inframerah
(EGM-4). Pengukuran sampel dilakukan satu bulan sekali. Pengambilan sampel
tanah untuk analisis sifat fisik dan kimia dilaksanakan bulan Juni dan September
2014. Pengukuran gas metode Gas Kromatografi dilakukan pada bulan Juni
sampai September 2014, sedangkan metode EGM-4 dilakukan dari bulan Januari
sampai Mei 2015.
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik fisik dan kimia gambut pada
perkebunan kelapa sawit di lokasi penelitian tidak berbeda nyata (p > 0.05) antara
rizosfer dengan non rizosfer. Emisi CO2 dengan metode Gas Kromatografi di
rizosfer lebih kecil yaitu 0.12 g m-2 jam-1 dibandingkan non rizosfer sebesar 0.16 g
m-2 jam-1, tetapi tidak berbeda nyata (p > 0.05). Emisi CH4 dan N2O di rizosfer
masing-masing sebesar 0.00069 g m-2 jam-1 dan 0.00004 g m-2 jam-1, sedangkan di
non rizosfer masing-masing sebesar 0.00136 g m-2 jam-1 dan 0.00007 g m-2 jam-1,
berdasarkan uji t antara rizosfer dengan non rizosfer tidak berbeda nyata (p >

0.05). Emisi CO2 metode EGM-4 lebih tinggi di rizosfer dengan besaran
0.93 g m-2 jam-1 dan berbeda sangat nyata (p < 0.01) terhadap non rizosfer sebesar
0.44 g m-2 jam-1. Hal ini karena emisi CO2 yang dihasilkan dari respirasi akar dan
juga berasal dari mikrooganisme dan perakaran tanaman. Akar tanaman selain
menyumbangkan CO2 dari kegiatan respirasinya, juga mengeluarkan eksudat
berupa ion, enzim-enzim, karbohidrat serta asam amino yang dapat meningkatkan
aktivitas respirasi di rizosfer. Hasil pengukuran emisi CO2 menggunakan metode
Gas Kromatografi berbeda sangat nyata (p < 0.01) dengan metode EGM-4, baik di
rizosfer maupun non rizosfer. Rendahnya nilai emisi CO2 metode Gas
Kromatografi karena terjadinya peningkatan suhu dan tekanan. Peningkatan suhu

dan tekanan udara di dalam sungkup akan menyebabkan kebocoran atau difusi gas
di dalam tanah. Difusi gas di dalam tanah dapat menurunkan emisi CO2 di dalam
sungkup. Selain dari terjadinya proses difusi gas, kelemahan dari metode Gas
Kromatografi adalah terbentuknya uap air (H2O) di dalam sungkup akibat dari
peningkatan suhu yang dalam sungkup. Adanya uap air akan menurunkan emisi
CO2 di dalam sungkup. Penggunaan metode EGM-4 yang dilakukan secara
langsung dilapangan lebih disarankan dalam analisis sampel gas, karena dapat
mengurangi terjadinya kebocoran gas.
Kata kunci : emisi gas rumah kaca, gambut, kelapa sawit, non rizosfer, rizosfer


SUMMARY
TRI TIANA AHMADI PUTRI. Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4) and
Nitrous Oxide (N2O) Emissions from Oil Palm Plantation on Peatlands.
Supervised by LAILAN SYAUFINA and GUSTI ZAKARIA ANSHARI.
The use of peat land for oil palm plantation is the impact of the increasing
need of oil palm plantation area extension. Oil palm plantation in peat land would
likely emit greenhouse gasses (GHGs). The most dominant GHGs emitted from
peat land are CO2, CH4 and N2O. GHG emissions consists of autotrophic and
heterotrophic respirations. An autotrophic emission is not considered as negative,
and in contrast, a heterotrophic respiration has detrimental impact on global
warming. The aim of this study is to: identify the physical and chemical
characteristics of soil in the rhizosphere and non-rhizosphere of shallow peat;
investigate rates of emissions from rhizosphere (root respiration and
decomposition) and non-rhizosphere (decomposition), generated by oil palm
(Elaeis guineensis) plantation on shallow peat, and; compare the Gas
Chromatography and EGM-4 method in measuring CO2 emission.
The research site was located in Rasau Jaya Umum, Kubu Raya District,
West Kalimantan Province, Indonesia. The ages of palms are 6 to 7 years. A total
of twelve closed chambers were placed in both rhizospheres and nonrhizospheres. CO2, CH4 and N2O emissions were measured once a month, with

Gas Chromatography and an infrared gas analyzer (EGM-4). Soil sampling for the
analysis of physical and chemical properties held in June and September 2014.
Gas measurement using Gas Chromatography method were carried out from June
to September 2014, while EGM-4 method conducted from January to May 2015.
The results show that there was not any significant difference (p > 0.05) of
physical and chemical characteristics between the rhizosphere and nonrhizosphere of peat at oil palm plantation. The rates of CO2 emission, measured
using the Gas Chromatography method, from the rhizosphere (0.12 g m-2 hr-1)
were lower than the emission from the non-rhizosphere (0.16 g m-2 hr-1), but were
not significantly different (p > 0.05). CH4 and N2O emission from the rhizosphere
each as much as 0.00069 g m-2 hr-1 and 0.00004 g m-2 hr-1, while from the nonrhizosphere as much as 0.00136 g m-2 hr-1 and 0.00007 g m-2 hr-1; and the t-test
between rhizosphere and non-rhizosphere emission showed no significant
difference (p > 0.05). EGM-4 method resulted in higher measure of CO2 emission
from rhizosphere (0.93 g m-2 hr-1) than from non-rhizosphere (0.44 g m-2 hr-1),
which showed significant difference (p < 0.01). CO2 emission from rhizosphere
were resulted not only from root respiration, but also from microorganism and
plant roots. Plant roots, aside from contributing CO2 from its respiration activity,
it also release exudates in the form of ions, enzymes, carbohydrates, and amino
acid, which could increase respiratory in the rhizosphere. Gas Chromatography
method resulted in significantly different measurement of CO2 emission from
EGM-4 method (p < 0.01), both in rhizosphere and non-rhizosphere. The low

measurement of CO2 emission of Gas Chromatography method was due to the
increase of temperature and pressure. The increase of air temperature and pressure
in the chamber would lead to gas leakage or diffusion in the soil. Gas diffusion in

the soil would decrease the CO2 emission in the chamber. Besides the gas
diffusion process, the weakness of Gas Chromatography method is the formation
of water vapor (H2O) in the chamber as a result of temperature increase. Water
vapor would reduce the CO2 emission in the chamber. EGM-4 method, carried out
directly in the field, is recommended for the analysis of gas samples, since it
would reduce gas leakage.
Key words: GHG emission, non-rhizosphere, oil palm, peat, rhizosphere

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2), METANA (CH4) DAN
DINITROGEN OKSIDA (N2O) DARI PERKEBUNAN KELAPA
SAWIT PADA LAHAN GAMBUT

TRI TIANA AHMADI PUTRI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini
adalah Emisi Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4) dan Dinitrogen Oksida
(N2O) dari Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Lailan Syaufina, MSc
dan Prof Dr Ir Gusti Zakaria Anshari, MES selaku pembimbing yang telah banyak
membantu, mengarahkan dan membimbing dalam pelaksanaan penelitian dan
penyusunan tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir
Surjono Hadi Sutjahjo, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan
saran dan koreksi konstruktif. Terima kasih kepada seluruh Staf Dosen Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan lingkungan SPs IPB yang telah
memberikan tambahan ilmu kepada penulis.
Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Partnerships for
Enchanced Engagement in Research (PEER) Amerika Serikat, Grant No. NSF
1114161 yang telah membantu membiayai penelitian ini. Terima kasih penulis
sampaikan pula kepada pemilik lahan dan para pekerja di perkebunan kelapa sawit
di Desa Rasau Jaya Umum. Terima kasih kepada orang tua, adik kakak, serta

seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Kepada teman-teman
seperjuangan angkatan 2012, terima kasih atas kebersamaannya selama ini,
semoga silahturahmi diantara kita tetap terjaga. Terima kasih untuk semua pihak
yang membantu hingga tesis ini berhasil diselesaikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Pebruari 2016
Tri Tiana Ahmadi Putri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Gambut

Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida, Metana dan
Dinitrogen Oksida
Tanah Gambut dan Emisi Gas Rumah Kaca
Kelapa Sawit di Lahan Gambut dan Emisi GRK
Peraturan Perundang-undangan terkait Lingkungan dan Perubahan
Iklim
3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penetapan Titik Pengamatan
Penetapan Sampel
Perhitungan Emisi CO2, CH4, dan N2O
Pengukuran Parameter Pendukung
Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Lokasi Penelitian
Karakteristik Fisik dan Kimia Tanah Gambut
Emisi GRK di Rizosfer dan Non Rizosfer
Perbandingan Emisi CO2 Metode Gas Kromatografi dengan EGM-4
Hubungan Parameter Pendukung dengan Emisi CO2
5 SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI

Simpulan
Saran
Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xiv
xiv
xv
1
1
2
4
4
4
5
5
5
6
8
8
12
12
12
14
15
16
17
18
18
21
25
27
31
36
36
36
36
37
44

xiv

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Konsentrasi gas rumah kaca utamaa
Variabel sifat fisik dan kimia gambut yang diamati
Sifat fisik tanah di sekitar rizosfer (R) dan non rizosfer (NR)
Sifat kimia tanah di sekitar rizosfer (R) dan non rizosfer (NR)
Hasil perhitungan emisi CO2, CH4 dan N2O di sekitar rizosfer dan non
rizosfer metode Gas Kromatografi
Hasil perhitungan emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode
EGM-4
Perbandingan Emisi CO2 metode Gas Kromatografi dengan metode
EGM-4
Emisi karbon dioksida dari tanaman kelapa sawit pada lahan gambut dari
berbagai studi
Kedalaman muka air tanah dan emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non
rizosfer pada bulan Januari sampai Mei 2015

6
14
21
24
26
27
28
29
31

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Bagan alir kerangka pemikiran penelitian
Peta lokasi penelitian
Denah titik pengamatan Rizosfer dan Non Rizosfer
Rata-rata curah hujan bulanan dari tahun 2006-2015 (BMKG Supadio
Pontianak 2016)
5 Profil suhu tanah
6 Profil suhu permukaan tanah
7 Profil suhu udara
8 Profil kedalaman muka air tanah
9 Pola sifat fisik (a) kadar air, (b) bobot isi terhadap kedalaman tanah
10 Pola sifat fisik (a) bahan organik, (b) kadar abu terhadap kedalaman
tanah
11 Regresi bobot isi terhadap kadar abu
12 Hubungan positif antara emisi CO2 dengan muka air tanah
13 Nilai rata-rata emisi CO2 menurut pengelompokan kedalaman muka air
tanah. Tanda negatif menunjukkan air tanah berada di bawah permukaan
tanah
14 Regresi suhu tanah gambut terhadap emisi CO2
15 Regresi suhu permukaan tanah gambut terhadap emisi CO2
16 Regresi suhu udara tanah gambut terhadap emisi CO2

3
12
13
19
19
20
20
21
22
23
24
32

33
34
34
35

xv

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Peta titik pengamatan
Hasil pengukuran ketebalan gambut
Hasil pengukuran kedalaman muka air tanah
Uji t emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode Gas
Kromatografi
5 Uji t emisi CH4 pada bagian rizosfer dan non rizosfer
6 Uji t emisi N2O pada bagian rizosfer dan non rizosfer
7 Uji t emisi CO2 di sekitar rizosfer dan non rizosfer metode EGM-4
8 Uji t emisi CO2 di sekitar rizosfer metode Gas Kromatografi dan EGM-4
9 Uji t emisi CO2 di sekitar non rizosfer metode Gas Kromatografi dan
Enviromental EGM-4
10 Analisis ragam emisi CO2 EGM-4 di sekitar rizosfer di beberapa
kedalaman muka air tanah gambut
11 Analisis ragam emisi CO2 EGM-4 di sekitar non rizosfer di beberapa
kedalaman muka air tanah gambut
12 BNJ (Tukey) emisi CO2 EGM-4 di sekitar rizosfer di beberapa
kedalaman muka air tanah gambut
13 Analisis sifat fisik gambut
14 Analisis sifat kimia gambut
15 Analisis sifat kimia gambut
16 Hasil pengukuran suhu tanah bulan Juni-September 2014
17 Hasil pengukuran suhu tanah bulan Januari-Mei 2015
18 Hasil pengukuran suhu permukaan tanah bulan Juni-September 2014
19 Hasil pengukuran suhu permukaan tanah bulan Januari-Mei 2015
20 Hasil pengukuran suhu udara bulan Juni-September 2014
21 Hasil pengukuran suhu udara bulan Januari-Mei 2015
22 Dokumentasi penelitian

45
45
46
46
46
47
47
47
47
48
48
48
49
50
51
52
52
53
53
54
54
55

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem gambut mempunyai peranan yang sangat penting dalam skala
global, baik dari aspek ekologis, sosial maupun perekonomian masyarakat karena
menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, menyimpan dan mensuplai
air, menyimpan karbon, dan merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati
dengan berbagai jenis flora dan fauna langka yang hanya ada dijumpai pada
ekosistem ini (Dinerstein et al. 2006). Luas lahan gambut dunia hanya sekitar 3%
dari luas permukaan bumi yaitu sekitar 400 juta hektar (Global Peatlands Initiative
2002; Hooijer et al. 2006), namun menyimpan karbon yang sangat banyak yakni
diperkirakan sebanyak 550 Giga ton, atau setara dengan 75% dari seluruh karbon
di atmosfer (Alex dan Joosten 2008; Joosten 2009). Total luas lahan gambut yang
ada di Indonesia seluas 14.9 juta ha yang tersebar di Sumatera seluas 6 436 649
ha, Kalimantan seluas 4 778 004 ha dan Papua seluas 3 690 921 ha (Ritung et al.
2011).
Perubahan iklim yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca
(GRK) merupakan permasalahan seluruh dunia yang memerlukan penanganan
secara serius dan menjadi isu hangat saat ini. Tanah gambut dapat bertindak
sebagai sumber (source) dan penambat/rosot (sink) CO2 atmosfer. CO2 yang diikat
oleh biomassa tanaman selama proses fotosintesis dapat disimpan dalam tanah
sebagai karbon organik melalui perubahan residu tanaman menjadi bahan organik
tanah setelah residu tersebut dikembalikan ke tanah. Apabila lahan gambut dibuka
untuk perkebunan, maka praktek-praktek manajemen seperti drainase dan
penambahan unsur hara dapat berakibat pada meningkatnya emisi GRK (Rinnan
et al. 2003).
Meningkatnya kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia,
menyebabkan semakin terbatasnya ketersediaan lahan yang memiliki daya dukung
yang tinggi, baik dari faktor tanah maupun iklim untuk usaha budidaya kelapa
sawit. Akibatnya, usaha perkebunan kelapa sawit saat ini mengarah pada lahanlahan yang memiliki faktor pembatas untuk budidaya kelapa sawit. Salah satu
lahan yang dimanfaatkan untuk usaha perkebunan kelapa sawit adalah di lahan
gambut yang memiliki faktor pembatas tanah secara fisik maupun kimia tidak
mendukung untuk budidaya kelapa sawit, di mana saat ini perkebunan kelapa
sawit di lahan gambut menjadi isu hangat perhatian dunia karena dianggap dapat
menyumbangkan emisi CO2 yang besar. Pada tahun 2013 total luas areal
perkebunan kelapa sawit mencapai luas 9 074 621 Ha (DPDJP 2013) yang mana
total luasan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut pada tahun 2010 menurut
hasil penelitian Gunarso et al. (2013) seluas 1.709 juta ha yang tersebar di
Sumatra seluas 1.4 juta ha, di Kalimantan seluas 307 515 ha dan di Papua seluas 1
727 ha. Perkebunan kelapa sawit di lahan gambut Kalimantan Barat pada tahun
2013 mencapai 265 081 ha (Rehman et al. 2015).
Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan mengharuskan adanya saluran
drainase untuk meningkatkan ketersediaan oksigen bagi akar yang bertujuan agar
tanaman bisa tumbuh dan berkembang dengan baik (Hooijer et al. 2006).
Pembuatan drainase menyebabkan penurunan muka air tanah, akibatnya terjadi

2
perubahan kondisi lingkungan dari anaerob menjadi aerob pada lapisan dekat
permukaan gambut, sehingga meningkatkan kehilangan karbon melalui proses
dekomposisi gambut (Chimner dan Cooper 2003). Kegiatan pemupukan
diperlukan untuk meningkatkan kesuburan tanaman kelapa sawit di lahan gambut.
Ketersediaan unsur N dalam tanah mempunyai peranan penting dalam
mengendalikan reaksi-reaksi biologi dalam tanah, termasuk mengendalikan
mikroorganisme dan akar tanaman yang memproduksi CO2, sehingga aplikasi
pemupukan N mempunyai pengaruh nyata dalam meningkatkan respirasi (Lai et
al. 2002; Zhang et al. 2007). Pemupukan urea akan meningkatkan emisi CO2
dengan cara memacu pertumbuhan akar, aktivitas mikrob, dan proses dekomposisi
bahan organik. Menurut Silva et al. (2008), dampak dari meningkatnya respirasi
dengan penambahan urea adalah peningkatan produksi dan emisi CO2. Proses
yang terlibat dalam dinamika emisi CO2, CH4 dan N2O dari lahan gambut
dikendalikan oleh beberapa faktor, seperti muka air tanah, suhu dan konsentrasi
mineral nitrogen (Melling et al. 2007a).
IPCC (2013a) menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca yang paling
dominan di lahan gambut adalah emisi CO2, CH4 dan N2O. Data emisi CO2 di
lahan gambut Indonesia saat ini cukup banyak seperti hasil penelitan (Agus et al.
2010, 2013; Hooijer et al. 2006, 2010; Jauhiainen et al. 2012), tetapi masih sedikit
sekali tersedianya data emisi CH4 dan N2O di lahan gambut Indonesia padahal
gas-gas tersebut sangat besar potensinya terhadap pemanasan global dibandingkan
dengan emisi CO2 (IPCC 2013b). Dengan semakin pesatnya perkembangan
perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dan menjawab isu dunia, maka perlu
kajian yang mendalam terhadap emisi CO2, CH4 dan N2O di lahan gambut untuk
perkebunan kelapa sawit, baik dari segi karakteristik lahan, alat atau metode
pengukuran emisi, dan daerah pengamatan (rizosfer dan non rizosfer).
Penelitian ini akan menyediakan data dasar emisi CO2, CH4 dan N2O di
lahan gambut Indonesia yang dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit, serta
dapat membantu menyediakan data dalam merumuskan rencana aksi nasional
penurunan emisi gas rumah kaca, sesuai dengan Peraturan Presiden No. 61 Tahun
2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RANGRK) untuk memenuhi komitmen pemerintah RI dalam menurunkan emisi gas
rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri atau mencapai 41% dengan
bantuan internasional pada tahun 2020. Hal ini juga mendukung dalam rencana
aksi daerah penurunan emisi gas rumah kaca (RAD-GRK) Provinsi Kalimantan
Barat yang berbasis lahan (BAPPENAS 2014), serta mewujudkan pengelolaan
lahan gambut yang berkelanjutan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.71
Tahun 2014 tengan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Kerangka Pemikiran
Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik dengan kadar
karbon sekitar 50-60% dari berat keringnya (Anshari et al. 2010), sehingga lahan
gambut mempunyai potensi besar dalam melepaskan emisi karbon, emisi CO2
terbentuk di kondisi aerob sedangkan emisi CH4 terbentuk di kondisi anaerob.
Pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit yang paling penting
adalah mengatur tinggi muka air tanah dan pemberian pupuk untuk perbaikan
kesuburan lahan agar pertumbuhan kelapa sawit optimal. Pengelolaan perkebunan

3
kelapa sawit lahan gambut ini kemungkinan besar akan melepaskan GRK (CO2,
CH4 dan N2O). Pemberian pupuk N di lahan gambut untuk pertumbuhan kelapa
sawit optimal merupakan hal yang harus dilakukan, akan tetapi akan memicu
emisi N2O. Sama halnya dengan penurunan muka air tanah merupakan hal yang
wajib dilakukan akan tetapi menyebabkan kondisi gambut teroksidasi sehingga
meningkatkan emisi CO2 dan menurunkan emisi CH4. Tetapi permasalahnnya
gambut merupakan tanah yang mengandung kadar air tinggi sekitar 300-1500%
atau 3-15 kali daripada berat keringnya (Anshari et al. 2010) sehingga ada
kemungkinan CH4 terlepas ke udara akibat kondisi reduksi tanah gambut. Oleh
karena itu dalam pengukuran emisi GRK (CO2, CH4 dan N2O) sangat penting juga
mengetahui karakteristik sifat fisik (kadar air, bobot isi, bahan organik dan kadar
abu) dan sifat kimia (pH tanah, potensial redoks, C-organik, N total, N tersedia, P
tersedia, kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa) lahan gambut. Selain
karakteristik lahan, daerah pengamatan emisi GRK dalam hal ini rizosfer dan non
rizosfer harus dipisahkan karena dianggap non rizosfer berkontribusi terhadap
peningkatan emisi GRK terutama CO2, sedangkan rizosfer tidak berkontribusi
terhadap peningkatan GRK. Secara teknis besar kecilnya emisi GRK tergantung
pada metode yang digunakan dalam mengukur emisi GRK, oleh karena itu
penting dalam pemilihan metode yang digunakan.
Kerangka pemikiran kajian emisi GRK di lahan gambut untuk perkebunan
kelapa sawit dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian

4
Perumusan Masalah
Pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan mengharuskan pembuatan
drainase dan pemupukan sehingga mengubah karakteristik fisik dan kimia
gambut. Penelitian emisi CO2, CH4 dan N2O sebagian besar berdasarkan pada
pengukuran total respirasi tanah tapi tidak dapat membedakan antara respirasi
autotrof (akar tanaman) dengan respirasi heterotrof (organisme tanah) (Melling et
al. 2007a). Oleh karena itu penelitian ini akan membandingkan data emisi GRK
(CO2, CH4 dan N2O) di rizosfer dan non rizosfer yang mana di rizosfer merupakan
total emisi dari respirasi akar dan dekomposisi (aktivitas mikroorganisme),
sedangkan di non rizosfer merupakan emisi dari dekomposisi tanah gambut.
Perumusan masalah dalam penelitian ini dapat diformulasikan sebagai
berikut:
1. Bagaimana karakteristik fisik (kadar air, bobot isi, bahan organik dan
kadar abu) dan sifat kimia tanah (pH tanah, potensial redoks, C-organik, N
total, N tersedia, P tersedia, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa) pada
lahan gambut dangkal di rizosfer dan non rizosfer?
2. Berapa besar emisi CO2, CH4 dan N2O di rizosfer (respirasi akar dan
dekomposisi) dan non rizosfer (dekomposisi) lahan gambut yang
digunakan untuk perkebunan kelapa sawit?
3. Apakah ada perbedaan emisi CO2 dengan menggunakan Gas Kromatografi
dengan Enviromental Gas Monitor (EGM-4)?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
Mengidentifikasi karakteristik fisik (kadar air, bobot isi, bahan organik
dan kadar abu) dan sifat kimia tanah (pH tanah, potensial redoks, Corganik, N total, N tersedia, P tersedia, kapasitas tukar kation, kejenuhan
basa) pada lahan gambut dangkal di rizosfer dan non rizosfer.
2. Mengevaluasi besaran emisi CO2, CH4 dan N2O di rizosfer (respirasi akar
dan dekomposisi) dan non rizosfer (dekomposisi) lahan gambut yang
digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.
3. Membandingkan metode pengukuran emisi CO2 menggunakan Gas
Kromatografi dengan Enviromental Gas Monitor (EGM-4).
1.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan menghasilkan data dasar yang bermanfaat untuk
perkembangan ilmu pengetahuan mengenai emisi GRK di lahan gambut yang
digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, serta harapannya dapat membantu
pemerintah Indonesia dalam menyediakan data untuk merumuskan rencana aksi
nasional penurunan emisi GRK di tingkat Provinsi Kalimantan Barat yang
berbasis lahan.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Gambut
Istilah gambut merupakan istilah Indonesia untuk tanah-tanah yang sebagian
besar bahan penyusunnya berupa bahan organik. Nama gambut berasal dari nama
suatu kecamatan yaitu Kecamatan Gambut, dekat Kota Banjarmasin Kalimantan
Selatan, di kecamatan tersebut usaha pertanian pada lahan gambut dapat berhasil
dengan baik untuk pertama kalinya, yaitu pada awal tahun 1930-an. Atas dasar
itulah maka para ahli tanah di Indonesia sepakat untuk menggunakan istilah peat
sebagai gambut (Sabiham 2006).
Dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk bidang ilmu tanah, gambut
dikenal dengan sebutan Histosols. Berdasarkan Soil Survey Staff (1999, 2010,
2014), Histosols adalah tanah yang memiliki lapisan organik berserat setebal 60
cm, dan bobot isi lebih kecil dari 0.1 g cm-3, pada lapisan organik pelapukan awal
(fibrik). Pada lapisan organik yang telah mengalami pelapukan tingkat
pertengahan sampai lanjut (hemik-saprik), mempunyai ciri ketebalan lapisan
organik minimum 40 cm, bobot isi lebih dari 0.1 g cm-3. Dengan kandungan Corganik lebih atau sama dengan 20% (berdasarkan berat) jika tidak pernah
mengalami jenuh air lama (1 bulan) maka bahan tanah tersebut harus mengandung C-organik (tidak
termasuk akar hidup) berdasarkan berat:
a. ≥18% jika kadar liat lebih atau sama dengan 60%.
b. ≥12% jika kadar liat 0%.
c. ≥(0.1 x persen liat + 12) jika kadar liat kurang dari 60%.
Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida, Metana dan
Dinitrogen Oksida
Persoalan pemanasan global menjadi isu lingkungan hidup sejak tahun
1990-an dan merupakan ancaman serius bagi kelestarian ekosistem bumi. Gas
rumah kaca (GRK) adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk
dapat menyerap radiasai matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga
menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi hangat. Jenis GRK yang
keberadaanya di atmosfer berpotensi menyebabkan perubahan iklim global adalah
CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs, SF6 dan tambahan gas-gas yaitu NF3, SF5, CF3,
C4F9OC2H5, CHF2OCF2OC2F4OCHF2, CHF2OCF2OCHF2 dan senyawa senyawa
halocarbon yang tidak termasuk Protokol Montreal, yaitu CF3I, CH2Br2, CHCl3,
CH3Cl, CH2Cl2. Dari semua jenis gas tersebut, GRK utama ialah CO2, CH4, dan
N2O (IPCC 2006a). Gas CO2, CH4 dan N2O di atmosfer memiliki sifat seperti
kaca yakni meneruskan radiasi gelombang pendek dari cahaya matahari, tetapi
menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang
dipancarkan bumi yang bersifat panas. Karakteristik gas CO2, CH4 dan N2O
disajikan pada Tabel 1.

6
Tabel 1 Konsentrasi gas rumah kaca utamaa
Tahun
CO2
1750 (pra industri)
278 ppm
2005
379 ppm
2011
391 ppm
Potensi pemanasan
1
global (CO2eq)
a

CH4
722 ppb
1774 ppb
1803 ppb
34

N2O
270 ppb
319 ppb
324 ppb
298

Sumber: IPCC (2013b)

Keberadaan GRK di alam dalam jumlah yang wajar memang dibutuhkan
untuk menjaga kehangatan suhu permukaan bumi dan kenyamanan bagi
kehidupan. Namun apabila jumlah GRK tersebut berlebihan dan cenderung
meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan global. Pemanasan global ini
tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur-angsur. Pada Tabel 1 terlihat bahwa
pada tahun 1750-an ketika revolusi industri baru dimulai, emisi CO2 di atmosfer
baru 278 (276-280) ppm, pada tahun 2011 telah mencapai 390.5 (390.3-390.7)
ppm. Emisi CH4 secara global telah meningkat dari 722 ppb pada tahun 1750
menjadi 1803 ppb pada tahun 2011. Emisi N2O meningkat dari 270 ppb pada
tahun 1750 menjadi 324.2 ppb pada tahun 2011, terjadi peningkatan emisi N2O
sebesar 5 ppb sejak tahun 2005. Metana di atmosfer bumi mempunyai potensi
pemanasan global 34 kali lebih besar daripada CO2 dalam periode 100 tahun.
Sedangkan N2O termasuk gas yang berbahaya karena memiliki 298 kali pengaruh
yang lebih kuat per satuan berat daripada CO2 dalam rentang waktu 100 tahun.
Tanah Gambut dan Emisi Gas Rumah Kaca
Indonesia diperkirakan memiliki cadangan karbon terbesar pada gambut
tropis yaitu 57.4 Gt atau setara 65% dari total karbon gambut tropis (Page et al.
2011). Simpanan karbon dalam gambut dapat keluar ke atmosfer melalui dua cara
yaitu: (1) pembakaran lahan gambut dan (2) oksidasi lahan gambut akibat
turunnya muka air tanah gambut yang disebabkan pembuatan saluran drainase
(Hooijer et al. 2006), selain karena faktor pembuatan saluran oksidasi gambut
tergantung juga pada faktor lama musim kemarau-hujan, kuantitas dan kualitas
bahan organik gambut, temperatur dan kelembaban tanah (Hirano et al. 2007).
Hasil penelitian Agus et al. (2010) yang mengukur emisi CO2 di lahan
gambut untuk penggunaan kelapa sawit menyatakan bahwa emisi CO2 di non
rizosfer (dekomposisi) adalah sekitar 62% dari emisi CO2 yang berada di rizosfer
(sekitar perakaran). Respirasi akar tidak berkontribusi dalam emisi CO2 yang
seimbang dengan serapan CO2 selama proses fotosintesis. Data non rizosfer lebih
dapat digunakan untuk menggambarkan dekomposisi gambut dalam penelitian gas
rumah kaca (Agus et al. 2010).
Metana merupakan salah satu komponen gas rumah kaca yang diemisikan
oleh tanah akibat metabolisme bakteri metanogen. Metana terbentuk dari senyawa
karbon organik atau gas karbon pada kondisi anaerob oleh bakteri metanogen
(lapisan gambut anaerob). Pada lapisan atas (aerob) bakteri metanotropik
mengoksidasi bagian dari CH4, menyebar ke atas sebagai CO2 (Schrier-Uijl et al.
2013). Tanah gambut merupakan salah satu sumber potensial emisi CH4 karena
mengandung jumlah karbon tanah yang sangat besar (Murdiyarso et al. 2004).

7
Diyakini bahwa emisi CH4 dari lahan gambut tropis hanya memberikan kontribusi
kecil untuk emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan emisi CO2, tetapi karena
metana mempunyai kemampuan menyerap sinar infra merah yang dipancarkan
oleh permukaan bumi sebesar 34 kali lebih tinggi dibandingkan dengan CO2
(IPCC 2013b), dengan demikian maka CH4 dapat memainkan peranan dalam
keseimbangan karbon.
Emisi CH4 tergantung dari lapisan air tanah, seperti hasil penelitian Roulet
et al. (1995) menyatakan bahawa emisi CH4 menurun dengan meningkatnya
kedalaman muka air tanah, hal ini diperkuat lagi dari hasil penelitian Couwenberg
et al. (2009), emisi CH4 terjadi apabila permukaan air tanah lebih dangkal dari 20
cm, dan sebaliknya hampir tidak ada emisi apabila permukaan air tanah lebih
dalam dari 20 cm. Melling et al. (2005) melaporkan emisi CH4 pada ekosistem
hutan gambut berkisar dari -4.53 sampai 8.40 μg C m-2 jam-1, pada ekosistem
kelapa sawit berkisar dari -32.78 sampai 4.17 μg C m-2 jam-1, dan pada ekosistem
sagu berkisar dari -7.44 sampai 102.06 μg C m-2 jam-1. Dengan pendekatan
analisis regresi diperoleh hasil bahwa fluks CH4 pada masing-masing ekosistem
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berbeda yakni kelembaban udara untuk
ekosistem hutan, muka air tanah untuk ekosistem kelapa sawit dan ekosistem
sagu. Ekosistem hutan dan sagu merupakan sumber CH4 dengan emisi 18.34 mg
C m-2 jam-1 untuk hutan dan 180 mg C m-2 jam-1 untuk sagu, sedangkan ekosistem
kelapa sawit merupakan penyimpan CH4 sebesar -15.14 mg C m-2 jam-1.
Kelembaban udara merupakan faktor penting yang mempengaruhi emisi CH4
dengan batas kritis 90.55%. Emisi CH4 tertinggi sebesar 9.23 μg C m-2 jam-1
terjadi pada kelembaban udara 90.55% dan muka air tanah lebih dari 49 cm. Pada
ekosistem sagu meningkatnya suhu akan meningkatkan emisi CH4 akibat
tingginya difusi gas, tetapi pada ekosistem kelapa sawit yang memiliki lapisan
aerobik lebih tebal, meningkatnya suhu memungkinkan meningkatkan oksidasi
CH4, sehingga CH4 semakin besar.
Emisi dinitrogen oksida (N2O) merupakan produk sampingan dari nitrifikasi
dan denitrifikasi di lahan pertanian maupun ekosistem alami. Dinitrogen oksida
(N2O) diproduksi secara alami dalam tanah melalui proses nitrifikasi dan
denitrifikasi. Proses nitrifikasi yaitu oksidasi amonia menjadi nitrat pada kondisi
aerobik, dan denitrifikasi yaitu pengurangan mikroba nitrat menjadi gas nitrogen
pada kondisi anaerobik. Salah satu faktor pengendali utama dalam reaksi ini
adalah ketersediaan nitrogen dalam tanah. Emisi N2O disebabkan oleh
penambahan unsur N pada tanah berupa pupuk anorganik maupun organik yang
semuanya mengandung bentuk nitrogen (IPCC 2006b).
Penggunaan pupuk nitrogen, merupakan faktor yang menentukan sebagian
besar emisi N2O, yang tergantung pada penggunaan lahan seperti hasil penelitian
Takakai et al. (2006) menyatakan bahwa lahan pertanian yang diberi pupuk
sebanyak 65-1278 kg N ha-1 tahun-1, menghasilkan emisi N2O sekitar 21-259 kg N
ha-1 tahun-1, nilai emisi N2O yang sangat besar signifikannya terhadap lahan hutan
alami 0.62-4.4 kg N ha-1 tahun-1, hutan baru 0.40-4.0 kg N ha-1 tahun-1 dan hutan
terbakar 0.97-1.5 kg N ha-1 tahun-1. Emisi N2O dapat dikurangi dengan
mengurangi penggunaan pupuk nitrogen dengan menerapkan pemupukan yang
efisien.

8
Kelapa Sawit di Lahan Gambut dan Emisi GRK
Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap
keseimbangan karbon pada ekosistem gambut. Pembuatan drainase pada lahan
gambut digunakan untuk menurunkan muka air tanah agar pertumbuhan akar
tanaman kelapa sawit baik. Sejak dimulainya drainase, wilayah gambut telah
menjadi sumber CO2 sebagai akibat meningkatnya oksidasi gambut. Dilain pihak
peningkatan muka air tanah dapat merubah area gambut menjadi sumber CH4
yang lebih efektif sebagai gas rumah kaca daripada CO2 (Hendriks et al. 2007).
Ikkonen dan Kurets (2002) menyatakan bahwa drainase lahan gambut selama 10
tahun akan menurunkan muka air dari 10 menjadi 30 cm dan emisi CO2 dari tanah
meningkat 1.5 kali. Sebelum drainase sekitar 70% produksi CO2 dari gambut
sphagnum merupakan hasil dari mineralisasi bahan organik, namun setelah
drainase respirasi akar menyumbangkan 40% dari total respirasi tanah. Intensitas
maksimum dari emisi CO2 dihasilkan dari respirasi akar dan mikroorganisme pada
kelembaban gambut 70-75%. Klemedtsson et al. (1997) melaporkan bahwa jika
dibandingkan dengan gambut yang tidak didrainase, tindakan drainase pada tanah
organik untuk lahan pertanian akan meningkatkan emisi GRK sekitar 1 t CO2 ha-1
tahun-1.
Manajemen di perkebunan kelapa sawit lahan gambut menghasilkan emisi
CO2 sekitar 55-73 ton ha-1 tahun-1 (Couwenberg dan Hooijer 2013). Emisi CO2
dari setiap 10 cm kedalaman drainase menghasilkan 9 ton ha-1 tahun-1
(Couwenberg et al. 2010). Kedalaman muka air tanah perkebunan kelapa sawit
sekitar 50-80 cm (Mutert et al. 1999). Berbeda halnya dengan emisi CH4 karena
dengan menurunnya kedalaman muka air tanah untuk perkebunan kelapa sawit
berarti terjadi penurunan emisi CH4 karena hasil penelitian Furukawa et al. (2005)
menyatakan bahwa dengan menurunnya kedalaman muka air tanah 20-30 cm
menyebabkan emisi CH4 mengalami penurunan sebesar 25%. Menurut Mutert et
al. (1999) di perkebunan kelapa sawit, aplikasi pupuk nitrogen di lahan gambut
sebesar 0.6 kg N pohon-1 tahun-1 akan mempengaruhi besaran emisi N2O, seperti
hasil penelitian Melling et al. (2007) adalah sebesar 1.2 kg N2O ha-1 tahun-1.
Peraturan Perundang-undangan terkait Lingkungan dan Perubahan Iklim
Salah satu fungsi negara hukum adalah membentuk berbagai peraturan
perundang-undangan. Menurut Attamimi (1993) wawasan negara yang
berdasarkan atas hukum menempatkan perundang-undangan dalam kedudukan
yang sentral. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai
landasan konstitusional bagi penyelenggaraan pemerintah dalam Pasal 33 ayat (3)
menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dkuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Hal yang sama dipertegas lagi pada tahun 1982, di mana
Indonesia untuk pertama kalinya mengundangkan suatu undang-undang yang
sangat penting mengenai pengelolaan lingkungan hidup, yaitu Undang-undang
No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup, selanjutnya Undang-undang ini telah diganti dengan Undang-undang No.
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan kemudian kembali
diganti dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

9
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat dengan UUPPLH.
UUPPLH juga merupakan “payung” pengelolaan lingkungan hidup, maka
undang-undang sektoral bidang lingkungan yang diantaranya kehutanan,
perkebunan, ekosistem gambut dan lain-lain, harus memenuhi beberapa kondisi.
Antara lain, pertama UU tersebut tersebut harus taat pada UUPPLH. Kedua,
pelaksanaan UU sektoral bidang lingkungan hidup tidak boleh bertentangan
dengan UUPPLH. Ketiga, segala penegakan hukum yang berkaitan dengan
lingkungan hidup harus berpedoman kepada UUPPLH.
Salah satu undang-undang sektoral bidang lingkungan mengenai lahan
gambut adalah Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2014 tengan Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Lahan Gambut. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem
Gambut ini mengatur mengenai perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, serta sanksi administratif. Perencanaan meliputi inventarisasi
Ekosistem Gambut, penetapan Ekosistem Gambut, serta penyusunan dan
penetapan rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Pemanfaatan Gambut ditentukan berdasarkan rencana Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut. Pengendalian kerusakan Ekosistem Gambut
dilakukan dengan penetapan kriteria baku kerusakan Ekosistem Gambut dan
penerapan instrumen izin lingkungan bagi usaha dan/atau kegiatan yang
memanfaatkan Ekosistem Gambut yang wajib memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan dan upaya pengelolaan lingkungan, upaya pemantauan
lingkungan. Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut disertai dengan
pemeliharaan Gambut, penerapan sanksi administratif, dan pengawasan terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap Peraturan
Pemerintah ini dan izin lingkungan.
Perkembangan hukum lingkungan telah memperoleh dorongan yang kuat
karena adanya Stockholm Declaration ini, baik pada taraf nasional, regional
maupun internasional. Keuntungan yang tidak sedikit adalah mulai tumbuhnya
kesatuan pengertian dan bahasa di antara para ahli hukum dengan menggunakan
Stockholm Declaration sebagai referensi bersama (Hardjasoemantri 1999).
Berbagai forum internasional terus digelar untuk membahas tindakan nyata
mengatasi perubahan iklim yang antara lain diselenggarakan di Copenhagen,
Denmark, tanggal 7-12 Desember 2009. Perubahan iklim merujuk pada variasi
rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara
statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih) (IPCC
2001).
Momentum keterlibatan aktif Indonesia didunia internasional dalam
mengantisipasi dampak perubahan iklim dimulai sejak ditandatanganinya
Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework
Convention on Climate Change/UNFCCC) pada Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan (United
Nations Conference on Environment and Development/UNCED) di Rio de
Janeiro, Brasil pada tahun 1992. Konvensi Perubahan Iklim tersebut kemudian
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 1994
tentang Pengesahan United Nations Conference on Environment and Development
(Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim) yang menandakan telah
dimulainya komitmen bersama untuk mengatasi dampak perubahan iklim tidak
hanya terbatas oleh lembaga pemerintah, namun juga berbagai sektor-sektor

10
swasta dan pelaku bisnis serta seluruh masyarakat luas. Sejak tahun 1995, para
pihak telah bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference on
Parties/COP) guna menerapkan dan mengimplementasikan kerangka kerja
tersebut.
Protokol Kyoto yang terbentuk pada saat Conference of Parties 3 pada
tanggal 12 Desember 1997 merupakan amandemen terhadap UNFCCC. Protokol
ini dirancang sebagai penguatan mekanisme pengurangan emisi GRK bagi para
peserta penandatanganan Konvensi Perubahan Iklim, sehingga tidak menggangu
sistem iklim bumi. Dalam berbagai laporan dijelaskan, guna mengakomodasi
kepentingan antara blok negara-negara maju dan negara-negara berkembang,
Protokol Kyoto dijadikan kesepakatan internasional untuk meletakan komitmen
bersama dalam mengurangi emisi GRK dengan cara mengatur soal
pengurangannya secara lebih tegas dan terikat hukum. Walaupun Protokol Kyoto
mengatur ketentuan pengurangan emisi GRK hanya selama periode pertama dari
tahun 2008 hingga 2012, namun target jangka panjangnya adalah adanya
pengurangan rata-rata cuaca global antara 0.02°C dan 0.28°C pada tahun 2050.
Beberapa peraturan yang berkaitan langsung dengan lingkungan dan
perubahan iklim.
1. Undang-undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNFCCC
2. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
4. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan
dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan
Kebakaran hutan dan atau Lahan
5. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tengan Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Lahan Gambut. Perlindungan dan Pengelolaan
Ekosistem Gambut
6. Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional
Perubahan Iklim
7. Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
8. Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional
9. Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan
Pembentukan Kelembagaan ReDD+
10. Keputusan Presiden No. 5 Tahun 2013 tentang perubahan atas keputusan
Presiden No 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (ReDD+)
11. Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin
Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan
Gambut
12. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 35
Tahun 1992 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Komite Nasional
Perubahan Iklim dan Lingkungan
13. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 53 Tahun 2003 tentang
Komisi Nasional dan Tim Teknis Perubahan Iklim

11
14. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 206 Tahun 2005
tentang Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih
15. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 03 Tahun 2006 tentang Program
Menuju Indonesia Hijau
16. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 15 Tahun 2013 tentang
Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim
17. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.14 Tahun 2004 tentang Tata Cara
Aforestasi dan Reforestrasi Dalam Rangka Mekanisme Pembangunan
Bersih
18. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon
dari Deforestasi dan Degradasi Hutan
19. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.36 Tahun 2009 tentang Tata Cara
Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon
pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung
20. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30 Tahun 2009 tentang Tata Cara
Pengurangan emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (ReDD)
21. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.20 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Karbon Hutan
22. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11 Tahun 2012 tentang Rencana
Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Tahun 2012-2020
Kementerian Pekerjaan Umum

12

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian di perkebunan kelapa sawit milik perseorangan di Desa
Rasau Jaya Umum, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat, pada koordinat
00°12’40.7” LS 109°22’27.4” BT. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan dari bulan Juni 2014 sampai bulan Mei
2015. Pengambilan sampel gas dengan metode Gas Kromatografi dilakukan dari
bulan Juni sampai bulan September 2014. Pengukuran emisi CO2 dengan metode
EGM-4 dilakukan dari bulan Januari sampai bulan Mei 2015.
Penetapan Titik Pengamatan
Penentuan titik pengamatan di lokasi penelitian dilakukan dengan penentuan
transek terlebih dahulu. Transek dibuat berdasarkan pada jarak tanaman dengan
saluran drainase utama. Titik pengamatan pertama pada pohon kedua yang
jaraknya terdekat dari saluran drainase, kemudian titik kedua pada pohon
keempat, dan titik ketiga pada pohon keenam yang semakin menjauhi saluran
drainase utama. Jarak Titik pengamatan pertama dengan saluran drainase
sekunder yaitu sekitar 500 m, jarak titik pengamatan pertama dengan saluran

13
drainase tersier sekitar 100 m dan jarak titik pengamatan pertama dengan saluran
cacing sekitar 12 m (Lampiran 1). Pada setiap titik pengamatan dipasang dua buah
sungkup untuk pengambilan sampel gas rizosfer (respirasi akar kelapa sawit dan
dekomposisi gambut) dan non rizosfer (dekomposisi gambut).
Transek yang dibuat pada penelitian ini terdapat dua transek yaitu: a)
transek ke-1; tiga pasang titik pengamatan (rizosfer dan non rizosfer) dan b)
transek ke-2; tiga pasang titik pengamatan (rizosfer dan non rizosfer). Setelah
pembuatan transek, dilakukan pemasangan sungkup permanen rizosfer dan non
rizosfer pada masing-masing titik pengamatan. Hasil penelitian Fauzi et al. (2006)
mengatakan bahwa respirasi akar terjadi pada akar tersier dan kuarter yang banyak
ditumbuhi bulu-bulu halus akar yang jarak penyebaran akar tersebut tergantung
pada umur kelapa sawit. Sungkup untuk mengukur emisi rizosfer ditempatkan di
atas “piringan” perakaran, dengan jarak 100 cm dari batang tanaman. Metode
yang serupa telah dilakukan oleh Agus et al. (2010) yang memasang sungkup
berada 1 meter dari batang tanaman untuk tanaman sawit yang berusia 5 tahun.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Marwanto et al. (2013), bahwa emisi CO2 terbesar
adalah pada jarak 1 meter dari batang kelapa sawit, di mana pada jarak tersebut
kerapatan akar tersier dan kuarter sangat tinggi, oleh karena itu jarak 1 meter
merupakan jarak yang ideal untuk pengamatan emisi CO2 rizosfer.
Sungkup untuk mengukur emisi non rizosfer ditempatkan di atas gambut
yang telah dibersihkan dari akar-akar hidup tanaman. Sebelum sungkup dipasang,
dilakukan pemotongan akar dan kemudian dipasang lapisan pembatas berupa
terpal sedalam satu meter, dan lebar 0.5 meter. Tujuan pemasangan terpal supaya
tidak terjadi penetrasi akar. Pemasangan terpal dilakukan 1 minggu sebelum
pengukuran CO2. Jarak sungkup untuk pengukuran emisi non rizosfer sejauh 4.5
meter dari batang tanaman Hasil penelitian Marwanto et al. (2013) menunjukkan
bahwa pada jarak 4.5 meter kerapatan akar tanaman kelapa sawit sangat jarang,
dan tidak berpengaruh nyata karena kecilnya emisi autotrof pada radius 4.5 meter
dari batang tanaman kelapa sawit. Penetapan titik pengamatan dapat dilihat pada
Gambar 3.

Gambar 3 Denah titik pengamatan

(Rizosfer)

(Non Rizosfer)

14
Penetapan Sampel
Sifat Fisik dan Kimia Gambut
Pada setiap titik pengamatan di rizosfer dan non rizosfer, dilakukan
pengambilan sampel tanah dengan menggunakan bor gambut pada kedalaman 515, 15-25 dan 25-35 cm untuk pengamatan sifat fisik gambut. Pengambilan
sampel tanah untuk analisa sifat kimia gambut secara komposit pada kedalaman 030 cm dari setiap titik pengamatan. Analisis sifat fisik kimia gambut dilakukan
pada Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas
Tanjungpura, Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas Pertanian IPB dan Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Beberapa sifat fisik dan kimia gambut yang dianalisis dan metode
analisis yang digunakan terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2 Variabel sifat fisik dan kimia gambut yang diamati
No

Variabel Pengamatan

Metode

1. Kadar air

Gravimetri

2. Bobot Isi

Gravimetri

3. Bahan organik

Loss On Ignition (5500C, 5 jam) Heiri
et al. (2001)

4. Kadar Abu

Loss On Ignition (5500C, 5 jam) Heiri
et al. (2001)

5. pH tanah (pH H2O dan CaCl2)

pH meter

6. Potensial redoks (Eh)

pH ORP

7. C-organik

CN Analyzer (LECO)

8. N total

CN Analyzer (LECO)

9. N tersedia

Destilasi (NO3-, NH4+)

10. P tersedia

Bray-I

11. Kapasitas tukar kation (KTK)

Ekstraksi NH4OAc pH 7

12. Kejenuhan Basa (KB)

Ekstraksi NH4OAc pH 7

Emisi CO2, CH4 dan N2O
Pengukuran sampel emisi CO2, CH4, dan N2O menggunakan teknik sungkup
tertutup (closed chamber) yang di adopsi dari IAEA (1993). Analisis sampel gas
menggunakan dua metode yang berbeda yaitu dengan analisis Gas Kromatografi
dan analisis gas infra merah EGM-4 (Environmental Gas Monitor). Sampel gas
dianalisis dengan menggunakan alat Gas Kromatografi Shimadzu GC-14A. Gas
kromatografi Shimadzu GC-14A series yang digunakan un