. Cadangan Karbon Dan Emisi Gas Rumah Kaca Dari Input Budidaya Pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Di Lahan Gambut.

i

CADANGAN KARBON DAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI
INPUT BUDIDAYA PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
(Elaeis guineensis Jacq.) DI LAHAN GAMBUT

GANI CAHYO HANDOYO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Cadangan Karbon dan
Emisi Gas Rumah Kaca dari Input Budidaya pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) di Lahan Gambut adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Gani Cahyo Handoyo
NIM A252110141

_________________________
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar
IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait

RINGKASAN
GANI CAHYO HANDOYO. Cadangan Karbon dan Emisi Gas Rumah Kaca dari
Input Budidaya pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Lahan
Gambut. Dibimbing oleh HERDHATA AGUSTA dan ARMANSYAH H.
TAMBUNAN.
Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati terbesar di dunia.
perluasan lahan yang masif di Indonesia terjadi dari tahun 1986 dari 119 ribu ha
menjadi 11 juta ha pada tahun 2015, dimana 1.71 juta hektar ditanam di lahan
gambut. Ekosistem gambut merupakan sumber cadangan karbon tertinggi. Lahan

gambut di Indonesia sekitar 21 juta hektar dan menyimpan cadangan karbon 37 giga
ton, sehingga dalam melakukan budidaya di lahan gambut ini memerlukan
perhatian yang lebih serius agar kehilangan karbon dapat ditekan. Alih guna lahan
menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan adanya perubahan nilai cadangan
karbon, sedangkan input dalam budidaya menghasilkan emisi gas rumah kaca
(GRK). Pengukuran cadangan karbon dan emisi GRK dari input budidaya di sebuah
perkebunan kelapa sawit menjadi sangat penting untuk mengetahui nilai cadangan
karbon dan emisi yang dihasilkan, sehingga dapat dilakukan perbaikan teknik
budidaya guna mempertahankan maupun meningkatkan cadangan karbon yang
sudah ada serta menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi cadangan karbon di lahan gambut
perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta dan perusahaan, serta emisi
karbon yang dihasilkan dari input budidaya yang dilakukan. Penelitian ini
dilaksanakan di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara.
Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan September 2013 sampai dengan Maret 2014
Pengukuran cadangan karbon menggunakan rancangan tersarang empat ulangan
dengan metode transek yang mengacu pada SNI 7024:2011 tentang metode
penghitungan cadangan karbon. Penghitungan emisi dilakukan menggunakan
MILCA-JEMAI. Analisis statistik menggunakan uji-T.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan cadangan karbon

perkebunan kelapa sawit lahan gambut hingga kedalaman gambut 150 cm milik
perusahaan yaitu 1 276 ± 187 ton C ha-1 dibandingkan milik masyarakat yaitu 1 216
± 28 ton C ha-1. Nilai cadangan karbon atas permukaan kebun perusahaan adalah
37.7 ± 11.8 ton C ha-1, sedangkan pada kebun masyarakat adalah 61.1 ± 36.5 ton C
ha-1. Tingginya nilai cadangan karbon pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut
masyarakat disebabkan oleh tingginya sumber cadangan karbon dari kayu mati
yaitu 41.1 ± 39.2 ton C ha-1. Cadangan karbon atas permukaan tanpa kayu mati pada
kebun perusahaan adalah 23.2 ± 2.1 ton C ha-1, sedangkan pada perkebunan kelapa
sawit rakyat adalah 20.1 ± 4.2 ton C ha-1. Deviasi yang lebih tinggi pada cadangan
karbon permukaan kebun kelapa sawit masyarakat menandakan rentang data yang
luas, hal ini disebabkan oleh perbedaan pemeliharaan kebun antar kebun kelapa
sawit masyarakat. Nilai cadangan karbon biomasa bawah permukaan dan gambut
perkebunan kelapa sawit perusahaan 8.9 ± 1.7 ton C ha-1 dan 1 229 ± 187 ton C
ha-1, sedangkan pada perkebunan kelapa sawit rakyat 6.8 ± 1.1 ton C ha-1 dan 1 148
± 29 ton C ha-1. Sekuestrasi karbon tanaman kelapa sawit lahan gambut perusahaan
umur 12 tahun adalah 7.28 ± 0.12 ton C ha-1 tahun-1, dimana tajuk dan akar kelapa
sawit menyumbang 1.52 ± 0.1 ton C ha-1 tahun-1, TBS menyumbang 3.14 ton C

ha-1 tahun-1 dan pelepah dari pemangkasan pemeliharaan menyumbang 2.61 ton C
ha-1 tahun-1. Sekuestrasi karbon tanaman kelapa sawit lahan gambut masyarakat

umur 12 tahun adalah 7.15 ± 0.09 ton C ha-1 tahun-1, dimana tajuk dan akar kelapa
sawit menyumbang 1.45 ± 0.1 ton C ha-1 tahun-1, TBS menyumbang 3.17 ton C
ha-1 tahun-1 dan pelepah dari pemangkasan pemeliharaan menyumbang 2.53 ± 0.07
ton C ha-1 tahun-1. Estimasi cadangan karbon total kebun perusahaan hingga
kedalaman gambut 437.5 ± 75 cm adalah 4 113 ± 697 ton C ha-1, sedangkan pada
kebun masyarakat dengan kedalaman gambut 425.0 ± 29 cm adalah 3 416 ± 227
ton C ha-1.
Emisi CO2-eq dari input budidaya perkebunan kelapa sawit perusahaan
berdasarkan data tahun 2012 (922 kg CO2-eq ha-1 tahun-1) lebih tinggi 52.4%
dibandingkan pada perkebunan kelapa sawit masyarakat (604.8 ± 238.5 kg CO2-eq
ha-1 tahun-1). Emisi dari penambahan pupuk merupakan emisi tertinggi baik pada
perkebunan kelapa sawit perusahaan yaitu 584 kg CO2-eq ha-1 tahun-1 dan
perkebunan kelapa sawit masyarakat yaitu 584 ± 245.27 kg CO2-eq ha-1 tahun-1.
Emisi dari penggunaan pestisida pada perkebunan kelapa sawit perusahaan adalah
19.50 kg CO2-eq ha-1 tahun-1 dan perkebunan kelapa sawit masyarakat adalah 13.78
± 13.72 kg CO2-eq ha-1 tahun-1. Emisi dari penggunaan bahan bakar pada
perkebunan kelapa sawit perusahaan adalah 319 kg CO2-eq ha-1 tahun-1 dan
perkebunan kelapa sawit masyarakat adalah 6.92 ± 2.56 kg CO2-eq ha-1 tahun-1.
Kata kunci: kelapa sawit, gambut, cadangan karbon, emisi karbon, MILCA, LCA


SUMMARY
GANI CAHYO HANDOYO. Carbon Stock and Greenhouse Gas Emission from
Cultivation Input on Peatland Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Plantation.
Supervised by HERDHATA AGUSTA and ARMANSYAH H. TAMBUNAN.
Oil palm contributes largest edible oil producer in the world. the massive
expansion of oil palm plantation in Indonesia from year 1986 was 119 thousand
hectares to 11 million ha in 2015, where 1.71 million hectares planted in peatland.
Peat ecosystem is a source of carbon reserves. From 21 million hectares of peat land
in Indonesia store carbon reserves 37 giga ton, so that cultivation in peatland
requires serious attention to prevent carbon losses. Oil palm plantation on peatland
by smallholders or company influences ecological issues, two of them are carbon
stock and emissions status. Measurement of carbon stocks and emissions in oil palm
plantation became very important to know the value of carbon stocks and emissions
generated, so that improvement of cultivation techniques in order to maintain and
improve the existing carbon stocks and reduce greenhouse gas emissions generated
can be done.
The objective of this study were to determine the carbon stocks in company
and smallholders peatland oil palm plantations, as well as carbon emissions
resulting from the cultivation input. This research was conducted in Bilah Village,
Labuhanbatu District, North Sumatra Province. The first observation was the

identification of carbon stocks in company and smallholders peatland oil palm
plantations. The second research stage was CO2-eq emission calculation on the
input process in the cultivation of company and smallholders oil palm plantations.
Carbon stocks calculation were prepared using transect method referring to ISO
7024: 2011 concerning the method of calculating carbon stocks, nested design with
four replications. Calculation of emissions is done using MILCA-JEMAI.
Statistical analysis using t-test.
Results of the study showed that no difference on carbon stocks value in the
peatland oil palm plantation until 150 cm peat depth owned by company was 1 276
± 187 ton C ha-1 compared to smallholders plantation was 1 216 ± 28 ton C ha-1.
The value of aboveground carbon stocks on the company oil palm plantation was
37.7 ± 11.8 ton C ha-1, while at the smallholders oil palm plantation was 61.1 ± 36.5
ton C ha-1. High value in aboveground carbon stock in smallholders plantation
because high contribution of dead wood (41.1 ± 39.2 ton C ha-1). Aboveground
carbon stock without dead wood in company palm oil plantation was 23.2 ± 2.1 ton
C ha-1, while in smallholders plantation was 20.1 ± 4.2 ton C ha-1. However higher
aboveground carbon stock in smallholders plantation followed by high deviation
values that means high data range in aboveground carbon stock, because of different
maintenance in smallholders plantation. Belowground carbon stock value from
biomass and peat in company plantation was 8.9 ± 1.7 ton C ha-1 and 1 229 ± 187

ton C ha-1, while smallholders plantation was 6.8 ± 1.1 ton C ha-1 and 1 148 ± 29
ton C ha-1. Peatland oil palm 12-years-old carbon sequestration owned by company
was 7.28 ± 0.12 ton C ha-1 year-1, where shoot and root oil palm was contribute 1.52
± 0.1 ton C ha-1 year-1, FFB was contribute 3.14 ton C ha-1 year-1, and frond from
pruning was contribute 2.61 ton C ha-1 year-1. While, peatland oil palm 12-yearsold carbon sequestration owned by smallholders was 7.15 ± 0.09 ton C ha-1 year-1,

where shoot and root oil palm was contribute 1.45 ± 0.1 ton C ha-1 year-1, FFB was
contribute 3.17 ton C ha-1 year-1, and frond from pruning was contribute 2.53 ± 0.07
ton C ha-1 year-1. Estimated total carbon stock value of company oil palm pantation
until 437.5 ± 75 cm peat depth was 4 113 ± 697 ton C ha-1and smallholders oil palm
plantation until 425.0 ± 29 cm peat depth was 3 418 ± 227 ton C ha-1.
CO2 emissions equivalent from cultivation input of company peatland oil
palm plantation based on data in 2012 (922 kg CO2-eq ha-1 year-1) was 52.4% higher
than smallholders peatland oil palm plantations (604.8 ± 238.5 kg CO2-eq ha-1
year-1). Emissions from anorganic fertilizer addition was highest emissions in
company oil palm plantation (584 kg CO2-eq ha-1 year-1) and smallholders oil palm
plantation (584 ± 245.27 kg CO2-eq ha-1 year-1). Emissions from the use of
pesticides in company oil palm plantation was 19.50 kg CO2-eq ha-1 year-1 and
smallholders oil palm plantation was 13.78 ± 13.72 kg CO2-eq ha-1 year-1.
Emissions from fuel use in the company oil palm plantation was 319 kg CO2-eq

ha-1 year-1 and smallholders oil palm plantations was 6.92 ± 2.56 kg CO2-eq ha-1
year-1.
Keywords: carbon stock, carbon emission, oil palm, MILCA, LCA

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ii

CADANGAN KARBON DAN EMISI GAS RUMAH KACA
DARI INPUT BUDIDAYA PADA PERKEBUNAN KELAPA
SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI LAHAN GAMBUT

GANI CAHYO HANDOYO


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

vi

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Suwarto, MSi

vii

Judul Tesis : Cadangan Karbon dan Emisi Gas Rumah Kaca dari Input Budidaya
pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Lahan

Gambut
Nama
: Gani Cahyo Handoyo
NIM
: A252110141
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Herdhata Agusta
Ketua

Prof Dr Ir Armansyah H. Tambunan, M. Agr
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agronomi dan Hortikultura

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr Ir Maya Melati, MS, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 5 Februari 2016

Tanggal Lulus:

ix

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan September 2013-Maret 2014
ini adalah Cadangan Karbon dan Emisi Gas Rumah Kaca dari Input Budidaya pada
Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Lahan Gambut. Bagian tesis
ini diajukan untuk diterbitkan di Jurnal Agronomi Indonesia dengan judul Estimasi
Cadangan Karbon Perkebunan Kelapa Sawit Lahan Gambut: Studi Kasus Di Desa
Bilah, Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada:
1. Dr Ir Herdhata Agusta dan Prof Dr Ir Armansyah H. Tambunan, MAgr, selaku
komisi pembimbing atas segala kesabarannya memberikan bimbingan, dan
saran selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis.
2. Direktorat Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Republik Indonesia, yang telah mendanai kuliah penulis melalui program
Beasiswa Unggulan Dikti-Diktendik.
3. Dr Ir Suwarto MSi selaku dosen penguji luar komisi.
4. Dr Ir Maya Melati, MS, MSc selaku Ketua Program Studi AGH.
5. Bapak, ibu, kakak, adik, keluarga besar Upoyo serta Riana Murti H atas segala
doa, dukungan dan kasih sayangnya yang tulus.
6. SBRC IPB atas bantuan perijinan dan materiil sehingga penelitian dapat
berjalan dengan lancar.
7. PT Daya Labuhan Indah (Wilmar Group) atas segala kemudahan dan fasilitas
yang diberikan selama penelitian.
8. Petani kelapa sawit desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu.
9. Dr Ir Dwi Guntoro, Ir Megayani Sri Rahayu MS atas segala dukungan moril
dan materiil selama studi.
10. Bapak, Ibu dosen pengajar IPB yang telah memberikan banyak ilmu selama
penulis menempuh pendidikan di program S2.
11. Sahabat-sahabatku, rekan-rekan pascasarjana AGH 2011, rekan-rekan
seperjuangan Lab Pindah Panas dan Massa, rekan-rekan Lab Mikologi dan
semua pihak yang selalu memberikan semangat dan doa serta bantuannya,
sehingga penelitian dan tulisan ini terselesaikan dengan baik.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2016
Gani Cahyo H

xi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Hipotesis
1.5 Manfaat Penelitian
1.6 Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
3
3
3
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekologi Kelapa Sawit
2.2 Emisi Gas Rumah Kaca
2.3 Karbon Dioksida
2.4 Metana
2.5 Dinitrogen Oksida
2.6 Serapan Karbon Kelapa Sawit

5
5
5
5
6
8
8

3 METODE
3.1 Waktu dan Tempat
3.2 Bahan dan Alat
3.3 Prosedur Analisis Data
3.4 Pelaksanaan Percobaan

9
9
9
10
10

4 HASIL
4.1 Kondisi umum
4.2 Kondisi Pemeliharaan Kebun
4.3 Kandungan Karbon dan Bobot Isi Gambut
4.4 Kandungan Karbon Biomasa
4.5 Biomasa Permukaan
4.6 Biomasa Bawah Permukaan
4.7 Cadangan Karbon Permukaan
4.8 Cadangan Karbon Bawah Permukaan
4.9 Sekuestrasi Tanaman Kelapa Sawit
4.10 Cadangan Karbon Total
4.11 Emisi Input Budidaya

15
15
16
19
20
21
22
23
24
26
27
27

5 PEMBAHASAN
5.1 Biomasa dan Cadangan Karbon Permukaan
5.2 Biomasa dan Cadangan Karbon Biomasa Bawah Permukaan
5.3 Sekuestrasi Tanaman Kelapa Sawit

30
30
32
33

xii

5.4 Cadangan Karbon Gambut
5.5 Cadangan Karbon Total
5.6 Emisi dari Input Budidaya
5.7 Batasan

34
34
35
36

6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
6.2 Saran

36
36
37

DAFTAR PUSTAKA

38

LAMPIRAN

45

RIWAYAT HIDUP

51

xiii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Koordinat pengambilan contoh
Kondisi umum perkebunan kelapa sawit di Desa Bilah, Kabupaten
Labuhanbatu
Bobot isi dan kandungan karbon organik gambut pada kedalaman 0-150
cm
Kandungan karbon organik pada sumber karbon biomasa
Biomasa permukaan pada agroekosistem kelapa sawit di Desa Bilah,
Kabupaten Labuhanbatu
Biomasa bawah permukaan pada agroekosistem kelapa sawit di Desa
Bilah, Kabupaten Labuhanbatu
Cadangan karbon gambut di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu
Sekuestrasi C pada tanaman kelapa sawit umur 12 tahun di Desa Bilah,
Kabupaten Labuhanbatu
Emisi CO2-eq hasil input proses budidaya per hektar berdasarkan potensi
pemanasan global 100 tahun (IPCC 1995)
Emisi gas rumah kaca berdasarkan jenis gas dari penambahan input dalam
proses budidaya
Emisi berdasarkan jenis input budidaya
Diameter batang dan tinggi tanaman kelapa sawit di perkebunan kelapa
sawit lahan gambut Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu

9
15
20
21
21
22
25
26
28
29
30
31

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

10

Bagan alir kegiatan penelitian
Sumber cadangan karbon pada agroekosistem kelapa sawit
Diagram dasar yang digunakan pada penghitungan emisi dari input
budidaya di perkebunan kelapa sawit
Kondisi kebun kelapa sawit lahan gambut masyarakat di area penelitian
Kondisi kebun kelapa sawit lahan gambut perusahaan di area penelitian
Tanda panah pada pelepah kelapa sawit yang patah akibat serangan
Oryctes rhinoceros
Cadangan karbon biomasa permukaan pada berbagai sumber karbon
perkebunan kelapa sawit di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu
Cadangan karbon biomasa bawah permukaan pada perkebunan kelapa
sawit di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu
Cadangan karbon bawah permukaan gambut hingga kedalaman 150 cm
dan cadangan karbon bawah permukaan hingga kedalaman 437.5 ± 75 cm
pada perkebunan kelapa sawit perusahaan, kedalaman 425.0 ± 29 cm pada
perkebunan kelapa sawit masyarakat di desa Bilah, Kabupaten
Labuhanbatu
Cadangan karbon total hingga kedalaman 150 cm dan estimasi cadangan
karbon total pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut di Desa Bilah,
Labuhan Batu

4
10
14
18
18
19
23
24

25
27

xiv

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Karakteristik kimia tanah yang digunakan dalam penelitian di Desa Bilah,
Kabupaten Labuhanbatu
Input dalam budidaya tanaman kelapa sawit
Konversi dan kandungan C-organik dalam beberapa sumber sekuestrasi
hasil panen tandan buah segar (TBS) tanaman kelapa sawit
Daftar istilah

47
48
49
50

1

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemanasan global dan perubahan iklim menjadi masalah utama lingkungan,
sosial dan ekonomi dunia hingga saat ini. Suhu global telah meningkat sebesar 0.30.6 °C selama 100 tahun terakhir dan diperkirakan akan meningkat lebih lanjut 13.5 °C hingga 2100, disertai dengan perubahan curah hujan, pola badai, dan frekuensi
kekeringan yang semakin sering (Santer et al. 1996; Kattenberg et al. 1996).
Pemanasan global telah dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca
(GRK) antara lain CO2, N2O, CH4, CFC, SF6, HFC, PFC di atmosfer, dapat
menyebabkan dampak negatif terhadap ekosistem, peningkatan intensitas dan
frekuensi gelombang panas, serta kegagalan panen dan kelangkaan air. Pertanian
menyumbang 14% emisi GRK dunia, berdasarkan jenis GRK dunia pertanian
menyumbang 10-12% CO2, 60% N2O dan 50% CH4 pada tahun 2005 (Smith et al.
2007). Hingga tahun 2013, konsentrasi CO2 di atmosfir mencapai 400 ppm,
peningkatan ini terjadi dari tahun 1950, setelah sebelumnya selama 400 000 tahun
tidak pernah melebihi 300 ppm (NASA 2015)
Ekspansi perkebunan kelapa sawit mendorong adanya peningkatan pembukaan
hutan dan konversi lahan, khususnya di Indonesia. Limabelas juta hektar ditanami
sawit diseluruh dunia dan terus bertambah (Koh dan Ghazoul 2008; Koh dan Wilcove
2008; FAO 2009). Lahan yang ditanami kelapa sawit di Indonesia hingga tahun 2015
mencapai 11 juta hektar dengan kecepatan ekspansi mencapai 400 000 ha tahun-1
(Ditjenbun 2012; Ditjenbun 2014), dimana 1.71 juta hektar ditanam di lahan gambut
(Gunarso et al. 2013). Ekosistem gambut merupakan sumber cadangan karbon dan
penyerap karbon tertinggi, dari 21 juta hektar lahan gambut di Indonesia menyimpan
cadangan karbon 37 giga ton, sehingga dalam melakukan budidaya di lahan gambut
ini memerlukan perhatian yang lebih serius agar kehilangan karbon dapat ditekan.
Konversi lahan dan penggunaan lahan untuk budidaya kelapa sawit tentu saja
merubah cadangan karbon dan menghasilkan emisi dalam budidaya akibat
penggunaan pupuk, pestisida maupun peralatan budidaya dan transportasi. Menurut
van Noordwijk et al. (2010) emisi yang dihasilkan oleh kebun milik swasta di tanah
mineral mencapai 25.31 ton CO2 ha-1 tahun-1, sedangkan emisi kebun milik
masyarakat 18.81 ton CO2 ha-1 tahun-1 atau 25% lebih rendah dibandingkan kebun
milik perusahaan swasta.
Cadangan karbon merupakan jumlah karbon (C) yang terkandung dalam
sumber karbon (carbon pool). Cadangan karbon dari perkebunan sawit merupakan
jumlah keseluruhan karbon dari C yang terkandung dari biomassa tanaman sawit,
tumbuhan yang hidup dibawah tegakan sawit, nekromassa (bagian batang/pelepah
daun kelapa sawit dan batang pohon lain yang mati), serasah (bahan organik yang
ada di permukaan tanah selain nekromassa), dan bahan organik yang terkandung di
dalam tanah. Alih guna lahan dari hutan menjadi kebun sawit menyebabkan
perubahan cadangan karbon. Cadangan karbon pada hutan primer 230-264 t C ha-1
(Samsoedin et al. 2009), sedangkan estimasi rata-rata cadangan karbon diatas
permukaan pertahun di perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut selama 25 tahun
berdasarkan penelitian van Noordwijk et al. (2010) di Sumatera adalah 36.9-40.5 ton
C ha-1, dengan sekuestrasi tahunan pada perkebunan inti mencapai 1.64 ton C ha-1

2

tahun-1 sedangkan pada perkebunan plasma milik masyarakat mencapai 2.54 ton C
ha-1 tahun-1. Lebih lanjut dalam penelitian Khasanah et al. (2015), estimasi cadangan
karbon rata-rata selama 25 tahun pada perkebunan kelapa sawit perusahaan swasta
di lahan mineral adalah 42.07 ton C ha-1, pada perkebunan kelapa sawit perusahaan
di lahan gambut 40.03 ton C ha-1, pada perkebunan kelapa sawit masyarakat (plasma)
di lahan mineral 37.76 ton C ha-1. Cadangan karbon ini tidak merepresentasikan
secara umum gambaran cadangan karbon yang ada pada perkebunan kelapa sawit
yang ada di Indonesia, karena tergantung pada jenis tanah dan manajemen
perkebunan ( Perkebunan inti/perusahaan swasta, plasma, dan swadaya). Meskipun
secara umum terjadi penurunan cadangan karbon diatas permukaan, namun net
fotosintesis masih tinggi dibandingkan hutan tropis. Menurut Henson (1999) dalam
Malaysian Palm Oil Board, net fotosintesis perkebunan kelapa sawit mencapai 64.5
t CO2 ha-1 tahun-1 sedangkan pada hutan hujan tropis 42.4 t CO2 ha-1 tahun-1. Lebih
lanjut dalam penelitian Hadiwijaya dan Caliman (2012) yang dilakukan di sebuah
perkebunan kelapa sawit di propinsi Riau menggunakan NEE (Net Ecosystem
Exchange), asimilasi bersih mencapai 10 g C m-2 hari-1 atau setara 142.94 ton CO2
ha-1 tahun-1.
Pengelolaan kebun kelapa sawit pada tahun 2010 oleh pihak perusahaan swasta
sebesar 52.1%, masyarakat 40.4% dalam bentuk plasma dan swadaya, dan 7.5% oleh
perusahaan Negara (Ditjenbun 2012). Hingga tahun 2015, peningkatan perluasan
lahan kebun kelapa sawit terbesar oleh pihak perusahaan swasta dan masyarakat yaitu
masing-masing mengalami peningkatan 1 juta hektar, sedangkan perusahaan negara
hanya mengalami peningkatan 100 000 hektar. Hal ini mendorong perlunya
informasi cadangan karbon dan emisi akibat budidaya kelapa sawit pada perusahaan
swasta dan masyarakat. Perkebunan perusahaan swasta mengacu pada perkebunan
yang dikelola oleh perusahaan besar dimana pengelolaannya dilakukan secara
profesional, memiliki modal besar, memiliki manajemen budidaya yang baik.
Perkebunan plasma merupakan merupakan perkebunan di sekeliling kebun inti milik
perusahaan yang dikelola oleh perusahaan pada saat awal penanamannya, biasanya
4-5 tahun hingga tanaman menghasilkan (TM1), kemudian petani plasma wajib
memberikan 25% dari hasil panen kepada perusahaan untuk membayar cicilan
pinjaman modal selama pembukaan lahan hingga tanaman menghasilkan.
Perkebunan rakyat swadaya mengacu pada perkebunan yang dimiliki dan dikelola
sendiri oleh masyarakat dengan modal sendiri (Khasanah et al. 2015).
Pengukuran cadangan karbon dan emisi di sebuah perkebunan kelapa sawit
menjadi sangat penting untuk mengetahui nilai cadangan karbon dan emisi yang
dihasilkan dari input budidayanya, sehingga dapat dilakukan perbaikan teknik
budidaya guna mempertahankan maupun meningkatkan cadangan karbon yang
sudah ada serta menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan, sehingga
paradigma perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dapat diwujudkan di masa
depan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan kajian pengukuran cadangan karbon
agroekosistem kelapa sawit di lahan gambut dan penghitungan emisi dari input
budidaya hingga menghasilkan tandan buah segar (TBS). Data tersebut dapat
menjadi acuan emisi yang dihasilkan dari proses budidaya di perkebunan jika TBS
yang dihasilkan digunakan sebagai bahan baku biodiesel.

3

1.2 Perumusan Masalah
Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak terbesar di dunia,
perluasan lahan yang masif dari tahun 1986 dari 119 ribu ha menjadi 11 juta ha pada
tahun 2015, dimana 1.71 juta hektar ditanam di lahan gambut. Ekosistem gambut
merupakan sumber cadangan karbon dan penyerap karbon tertinggi dimana dari 21
juta hektar di Indonesia menyimpan cadangan karbon 37 juta ton, sehingga dalam
melakukan budidaya di lahan gambut ini memerlukan perhatian yang lebih serius
agar kehilangan karbon dapat ditekan. Alih guna lahan ini menyebabkan adanya
perubahan nilai cadangan karbon dan emisi yang disebabkan oleh proses budidaya.
Pengukuran cadangan karbon dan emisi di sebuah perkebunan kelapa sawit menjadi
sangat penting untuk mengetahui nilai cadangan karbon dan emisi yang dihasilkan,
sehingga dapat dilakukan perbaikan teknik budidaya guna mempertahankan maupun
meningkatkan cadangan karbon yang sudah ada serta menurunkan emisi gas rumah
kaca yang dihasilkan, sehingga paradigma perkebunan kelapa sawit yang
berkelanjutan dapat diwujudkan di masa depan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan
kajian pengukuran cadangan karbon agroekosistem kelapa sawit di lahan gambut dan
penghitungan emisi dari input budidaya hingga menghasilkan tandan buah segar
(TBS).

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan membandingkan
cadangan karbon dan emisi gas rumah kaca dari input budidaya pada perkebunan
kelapa sawit lahan gambut sebagai salah satu bahan baku bioenergi.

1.4 Hipotesis
Terdapat perbedaan cadangan karbon dan emisi dari input budidaya antara
perkebunan kelapa sawit lahan gambut perusahaan dibandingkan pada perkebunan
rakyat. Cadangan karbon pada perkebunan kelapa sawit perusahaan lebih tinggi
dibandingkan perkebunan kelapa sawit rakyat, sedangkan emisi input budidaya pada
perkebunan kelapa sawit perusahaan 25% lebih tinggi dibandingkan perkebunan
rakyat.

1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan informasi
mengenai berapa cadangan karbon lahan gambut yang telah dikonversi menjadi
agroekosistem kelapa sawit dan emisi dari input budidaya. Selain itu data yang
diperoleh dapat menjadi pertimbangan dalam pengelolaan dan pengembangan
perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang berwawasan lingkungan di masa
depan.

4

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama yang dilaksanakan mulai
bulan September sampai November 2013. Bagian ke dua dilaksanakan pada bulan
Januari 2014 sampai Maret 2014. Lingkup percobaan terdapat pada Gambar 1.1

Penghitungan cadangan karbon di
perkebunan kelapa sawit lahan
gambut perusahaan dan masyarakat.

1. Cadangan karbon di atas permukaan
yang berasal dari tumbuhan bawah, tajuk
kelapa sawit, serasah, kayu mati,
nekromasa.

Penghitungan emisi CO2-eq dari
input budidaya di perkebunan
kelapa sawit lahan gambut
perusahaan dan masyarakat

Emisi pada proses budidaya
termasuk pupuk, pestisida, herbisida
dan bahan bakar untuk transportasi.
Input dat pada software MILCA
versi 1.1.6 dengan database IDEA
1.2.6

2. Cadangan karbon di bawah permukaan
yang berasal dari akar tumbuhan bawah,
akar dan pangkal batang kelapa sawit,
serta gambut hingga kedalaman 150 cm.

Kondisi cadangan karbon dan emisi karbon di
perkebunan kelapa sawit lahan gambut
perusahaan dan masyarakat

Gambar 1. 1 Bagan alir kegiatan penelitian

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekologi Kelapa Sawit
Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis yang umumnya dapat tumbuh di
daerah antara 12 oLintang Utara 12 oLintang Selatan. Curah hujan optimal yang
dikehendaki antara 2 000-2 500 mm per tahun dengan pembagian yang merata
sepanjang tahun. Penyinaran matahari yang optimum antara 5-7 jam per hari dan
suhu optimum berkisar 24-38 oC. Elevasi yang optimum berkisar 0-500 m diatas
permukaan laut (Lubis 1992).
Evapotranspirasi pada tanaman kelapa sawit lahan mineral di Jambi dengan
menggunakan pengukuran berdasarkan eddy covariance pada tanaman kelapa sawit
umur 2 tahun adalah 2.8 mm hari-1, sedangkan pada umur kelapa sawit 12 tahun di
PTPN adalah 4.7 mm hari-1. Pengukuran penggunaan air oleh tanaman kelapa sawit
menggunakan metode sap flux didapatkan bahwa tingkat penggunaan air per daun
dan per tanaman meningkat lima kali lipat dari umur 2 tahun hingga 10 tahun,
kemudian konstan. Tren yang sama ditunjukkan pada transpirasi tanaman kelapa
sawit, dari 0.2 mm hari-1 tanaman-1 pada tanaman kelapa sawit umur 2 tahun,
kemudian konstan 1.6 ± 0.4 mm hari-1 tanaman-1 mulai umur 6 tahun hingga 25 tahun.
Transpirasi pada tanaman kelapa sawit umur 2 tahun menyumbang 8%
evapotranspirasi, sedangkan pada umur 6 hingga 25 tahun menyumbang 53% dari
total evapotranspirasi (Röll et al. 2015).

2.2 Emisi Gas Rumah Kaca
Penggunaan bahan bakar secara tidak disadari memiliki dampak negatif yaitu
dapat menimbulkan polusi yang mengarah ke pemanasan global. Pemanasan global
diakibatkan oleh terganggunya komposisi gas udara terutama karbondioksida (CO2),
metan (CH4), dinitro-oksida (N2O), sulfur heksaflorida (SF6), perflorokarbon
(PFCS) dan hidroflorokarbon (HFCs).
Selain dari transportasi dan penerangan, bidang pertanian juga penyumbang
emisi GRK. Irmansyah (2004) menyatakan bahwa sektor pertanian merupakan
penyumbang emisi gas metan (CH4) terbesar yang dihasilkan dari lahan padi,
peternakan, pembakaran residu pertanian dan padang sabana. Selain CH4, bidang
pertanian juga menyumbang emisi CO2. Dinitro-oksida atau nitrous oksida (N2O)
juga merupakan emisi gas yang dihasilkan dari lahan pertanian khususnya saat
aplikasi pupuk nitrogen yang berlebih.

2.3 Karbon Dioksida
Peningkatan konsentrasi CO2 atmosfer dianggap sebagai penyebab utama
adanya pemanasan global. Karbon dioksida adalah suatu senyawa tak berwarna, tak
berbau dan tak mudah terbakar. Karbon dioksida diemisikan ke udara melalui nafas
manusia, pembakaran bahan bakar fosil sebagai energi dan kegiatan pembukaan
lahan melalui pembakaran.

6

Pada skala global, pengeluaran CO2 dari tanah lebih besar dibandingkan
pengeluaran CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil dan alih fungsi lahan. Emisi CO2
dari tanah biasa dikenal sebagai respirasi tanah. Respirasi tanah adalah total CO2
yang diproduksi dari proses metabolisme tanah terutama dekomposisi oleh mikroba
tanah terhadap bahan organik tanah dan respirasi akar. Tingkat respirasi tanah sangat
sensitif terhadap temperatur dan perubahan iklim (Schlesinger 1991; Jenkinson et al.
1991; Townsend et al. 1992; Gates 1993).
Sektor pertanian berperan dalam menghasilkan gas CO2. Emisi yang
disebabkan oleh oksidasi gambut pada perkebunan kelapa sawit adalah sekitar 0.370.51 ton CO2 ha-1 tahun-1 setiap penurunan tinggi muka air 1 cm (Nurzakia 2014,
Mazwar 2011), Hooijer (2010) melaporkan angka yang lebih tinggi yaitu 0.91 t CO2
ha-1 tahun-1. Emisi CO2 hasil respirasi akar dan mikroorganisme pada perkebunan
kelapa sawit menyumbang ± 29%-30% dari total emisi atau rata-rata 12.6 ton CO2
ha-1 tahun-1 di perkebunan kelapa sawit umur 10 tahun di lahan gambut (Melling et
al. 2005; Handayani 2009; Yuniastuti 2011).
Emisi CO2-eq dari input budidaya pada perkebunan kelapa sawit yang
digunakan oleh RSPO berkisar antara 1000-1500 kg CO2-eq ha-1 tahun-1 yang
merupakan data dari Ninkander (2008), sedangkan di Brazil 1494.8 kg CO2-eq ha-1
tahun-1 (de Souza et al. 2010), di Malaysia 2159.8 kg CO2-eq ha-1 tahun-1 (Youseff
dan Hansen 2007), di Indonesia 1298 kg CO2-eq ha-1 tahun-1 (Siregar 2013) pada
lahan mineral. Emisi CO2 dapat dikurangi dengan cara meningkatkan daya serap
tanaman (carbon stock) dengan meningkatkan efisiensi fotosintesis dan menanami
lahan gundul serta meningkatkan hasil produksi (IPCC 2001).

2.4 Metana
Kadar metana (CH4) global saat ini telah mencapai konsentrasi 1780 ppbv,
lebih tinggi dua kali dibandingkan kadarnya pada masa sebelum industri sebesar 800
ppbv. Laju peningkatan kandungan CH4 relatif lambat dari sekitar 15 ppbv per tahun
pada tahun 1980-an hingga mendekati nol pada 1999 (Dlugokencky 2001). Semenjak
1990, rataan tahunan CH4 di atmosfer bervariasi antara kurang dari nol (turun) dan
meningkat hingga 15 ppbv (Rudolph 1994).
Proses pembentukan metana melibatkan organisme metanogen. Metanogen
adalah organisme uniseluler anaerobik yang awalnya digolongkan sebagai bakteri
namun saat ini digolongkan sebagai archea (Garcia 1990; Woese et al. 1990).
Metanogen menggunakan NH4+ sebagai sumber nitrogen, meskipun kemampuan
untuk menangkap molekul nitrogen dan gen nif terdapat pada ketiga ordo metanogen
(Methanobacteriales, Methanococcales and Methano-microbiales). Dengan semakin
tingginya amonium, penghambatan dalam proses oksidasi CH4 semakin tinggi
sehingga emisi CH4 makin tinggi. Kemampuan bakteri nitrifikasi untuk
mengoksidasi CH4 berkurang pada konsentrasi amonium ≥15 ppm. Aplikasi pupuk
urea mampu meningkatkan flux CH4 yang kemungkinan disebabkan oleh
peningkatan pH yang mengikuti hidrolisis urea dan penurunan potensial redoks, yang
menstimulasi aktivitas metanogenik. Nilai potensial redoks pada kisaran -100 mV
hingga +200 mV seharusnya dapat mengurangi tingkat emisi CH4 dikarenakan
kisaran ini terlalu tinggi bagi produksi CH4.

7

CO2 + 8 H+ + 8 e- → CH4 + 2 H2O
Proses ini melibatkan enzim methyl-coenzyme M reductase (Jones dan Morita, 1983;
Wang et al. 1993; Palmer dan Reeve 1993; Scheutz dan Kjeldsen 2004).
Tanah adalah salah satu faktor kunci yang berperan penting dalam produksi
dan emisi CH4. Tanah memiliki kapasitas baik sebagai produsen maupun penyerap
CH4. Jenis mikroorganisme tanah khusus, metanogen bertanggung jawab dalam
produksi metana. Sedangkan jenis yang lain yaitu methanotrop berperan dalam
mengkonsumsi CH4. Saat ini diperkirakan emisi CH4 dari tanah di seluruh dunia
berkisar antara 150 hingga 250 Tg CH4 tahun-1 (IPCC 2001). Sebanyak 1/3 dan 1/4
(kira-kira 65 Tg CH4 tahun-1) diemisikan dari lahan basah pada lintang tinggi (Walter
et al. 2001). Diperkirakan konsumsi CH4 oleh mikroba tanah berkisar antara 10
hingga 30 Tg CH4 tahun-1 (IPCC 2001).
Emisi CH4 memiliki nilai yang rendah pada lahan kering karena CH4 dapat
dikonsumsi oleh metanotrop tanah. Tingkat flux CH4 pada lahan kering lebih
dominan dipengaruhi oleh suhu, sedangkan peningkatan kelembaban tanah pada
lahan kering menyebabkan terjadinya peningkatan flux CH4 (McLain dan Martens
2006; Wu et al. 2010; Silva et al. 2011).
Emisi CH4 dari lahan pertanian tropis menyumbangkan porsi yang signifikan
terhadap emisi global tahunan CH4. Lahan sawah, pembakaran biomassa, dan
fermentasi dipandang sebagai kontributor utama (Mosier et al. 2004). Sektor
pertanian merupakan penyumbang emisi gas metan terbesar yang dihasilkan dari
lahan padi, peternakan, pembakaran residu pertanian dan padang sabana (Irmansyah
2004). Kontribusi seekor sapi dewasa dalam mengemisikan metan yaitu sebesar 80110 kg tahun-1 (Thalib 2008). Hasil penelitian Puah (2009), emisi CH4 tertinggi
berasal dari limbah sludge dari produksi Crude Palm Oil (CPO), emisi yang
dihasilkan dari kolam pengolahan limbah sludge mencapai 50% lebih dari total emisi
yang dihasilkan untuk memproduksi 1 ton biodiesel di Malaysia yaitu dari 1 711 kg
CO2-eq menjadi 835 kg CO2-eq per ton biodiesel, berkurang 876 kg CO2-eq setara
41.71 kg CH4. Lebih lanjut berdasarkan penelitian Reijnders dan Huijbregts (2006),
emisi CH4 dari kolam limbah akibat kondisi anaerobik yang membuat bakteri
metanogen memproduksi gas metan adalah 0.16-0.24 ton CO2-eq per ton CPO atau
setara 7.62-11.43 kg CH4. Emisi CH4 rata-rata pada 3 tempat yaitu dibawah naungan
kelapa sawit, diantara tanaman kelapa sawit dan di ujung kanopi kelapa sawit yang
diambil pada jam 06.00-07.00 dan 12.00-13.00 pada perkebunan kelapa sawit lahan
gambut di Labuhanbatu, Sumatera Utara berdasarkan penelitian Yuniastuti (2011)
tertinggi pada umur kelapa sawit 16 tahun sebesar 7.70 ton ha-1 tahun-1, kemudian
pada TBM 5.72 ton ha-1 tahun-1, kelapa sawit umur 10 tahun 5.59 ton ha-1 tahun-1,
dan terendah sebesar 5.50 ton ha-1 tahun-1 pada umur kelapa sawit 22 tahun. Emisi
CH4 menurun dengan semakin dalam muka air tanah. Metan dapat diturunkan
dengan pemberian sulfur, karena mampu mempertahankan potensial redoks relatif
lebih tinggi sehingga menghambat CO2 tereduksi menjadi CH4, sehingga mengganti
penggunaan urea dengan ZA mampu menurunkan emisi CH4.

8

2.5 Dinitrogen Oksida
Saat ini, konsentrasi N2O diatmosfer berkisar pada 317 ppbv, yang meningkat
dari 200 ppbv pada tahun 2001. Kebanyakan dari peningkatan ini terjadi selama 50
tahun terakhir dengan pola peningkatan yang linier sebesar 0.7 ppbv per tahun
(CMDL 2001). Peningkatan antara 0.2-0.3 % pada konsentasi atmosfer akan
berkontribusi sebesar 5% terhadap pemanasan akibat gas rumah kaca (Cicerone dan
Oremland 1988). Satu molekul N2O memiliki kemampuan menyerap panas 310 kali
dibandingkan CO2 (IPPC 2001)
Sumber utama N2O adalah mikroba denitrifikasi tanah yang memproduksi N2
dan N2O dalam jumlah yang sangat besar. Berbagai faktor lingkungan dapat
mempengaruhi faksi mol N2O, diantaranya kelembaban tanah, konsentrasi nitrat dan
nitrit, pH, aerasi, temperatur, ketersediaan karbon, aktivitas relatif NO2- dan N2O
reduktase (Colourn dan Dowdell 1984; Sahrawat dan Keeney 1986; Tiedje 1988;
Aulakh et al. 1992; Robertson 1999).
Kadar NH4+ dan NO3- yang tinggi mampu meningkatkan emisi gas N2O. Kadar
NO3 berperan penting dalam meningkatkan emisi dikarenakan mampu mendukung
proses denitrifikasi. Ketersediaan NO3- menjadi sangat penting dalam proses
denitrifikasi yang berperan dalam menghasilkan emisi gas N2O. Proses denitrifikasi
melibatkan bakteri fakultatif anaerob yang mampu menggunakan NO3- sebagai
aksepor elektron proses respirasi pada kondisi oksigen yang rendah atau kondisi
anaerob. (Bing et al. 2006; Woodward et al. 2009)
Pada konsentrasi O2 yang lebih tinggi, metabolisme aerobik dari denitrifier
akan terpacu dan terjadi penghambatan nitrogen oksida reduktase sehingga proses
reduksi NO3- tidak dapat terjadi. Banyaknya N2O yang diemisikan akan lebih tinggi
bila pH rendah. Hal ini dikarenakan N2O reduktase akan terhambat pada pH rendah.
Produksi N2O secara signifikan terjadi pada potensial redoks diatas +250 mV,
sedangkan dibawah +200 mV tidak signifikan. (Wrage et al. 2001)
Lahan pertanian dianggap sebagai sumber utama gas N2O atmosfer (IPCC
1995). Dinitro-oksida atau nitrous oksida (N2O) merupakan emisi gas yang
dihasilkan dari lahan pertanian khususnya saat aplikasi pupuk nitrogen yang berlebih.
Seperti yang dilaporkan oleh Wahyuni dan Wihardjaka (2007) bahwa sekitar 94%
emisi gas dinitro-oksida (N2O) berasal dari bidang pertanian yang bersumber dari
pembakaran sisa- sisa tanaman (41%) dan pupuk nitrogen anorganik (18%). Emisi
N2O pada perkebunan kelapa sawit akibat penggunaan pupuk nitrogen berdasarkan
penelitian Ninkander (2008) adalah 616 kg CO2-eq ha-1 tahun-1 (40-60% dari total
emisi penggunaan pupuk anorganik). de Souza et al. (2010) menggunakan angka
18.6 kg CO2-eq per kg N pupuk dari Ecoinvent Inventory Database sebagai emisi
N2O yang dihasilkan dari penggunaan pupuk N di tanah.

2.6 Serapan Karbon Kelapa Sawit
Berdasarkan hasil penelitian Hassan et al. (2011), dalam setiap ton biodiesel
yang dihasilkan, tanaman menyerap CO2 sebesar 5 462 ton. Sedangkan cadangan
karbon bervariasi tergantung dari umur tanaman. Menurut Syahrinudin (2005)
perkebunan sawit di Jambi memiliki cadangan karbon 16.6 ton ha-1 pada umur 3
tahun, 49.3 ton C ha-1 pada umur 10 tahun, 65.3 ton C ha-1 pada umur tanam 20 tahun

9

dan mencapai 84.6 Mg C/ha pada umur 30 tahun. Lamade dan Setiyo (2012)
menambahkan bahwa kelapa sawit umur 9 tahun fase vegetatif memiliki cadangan
karbon 25.4 ton C ha-1, sedangkan fase generatif mampu menghasilkan 6.2 ton C
ha-1. Lebih lanjut pada penelitian van Noordwijk et al. (2010) sawit memiliki serapan
karbon rata-rata 2.09 ton C ha-1 tahun-1, sedangkan berdasarkan data penelitian
Yulianti (2009), sekuestrasi tajuk tanaman dari kelapa sawit umur 17 tahun di lahan
gambut adalah 0.97 ton C ha-1 tahun-1.

3 METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2013 sampai dengan Maret
2014. Penelitian dilaksanakan di kebun milik perusahaan swasta dan masyarakat
yang ada di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara.
Pengujian kandungan C organik tanaman dilakukan di Laboratorium Pascapanen,
Departemen Agronomi dan Hortikultura-IPB. Penghitungan emisi dilakukan di
Laboratorium Pindah Panas dan Massa Departemen Teknik Mesin dan BiosistemIPB.
Tabel 3. 1 Koordinat pengambilan contoh
Kebun
Ulangan Latitude Longitude
Perusahaan
1
2.163945 100.166306
Perusahaan
2
2.164056 100.163002
Perusahaan
3
2.161833 100.162949
Perusahaan
4
2.162111 100.166443
Masyarakat
Masyarakat
Masyarakat
Masyarakat

1
2
3
4

2.169417
2.168445
2.167833
2.169250

100.133308
100.143890
100.142334
100.148636

3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah tanaman kelapa sawit dan tumbuhan bawah
(tumbuhan yang hidup di bawah tegakan kelapa sawit), serasah (bahan organik dari
tumbuhan bawah), nekromassa ( bagian tanaman kelapa sawit yang mati), kayu
mati dan tanah. Alat yang digunakan adalah bor gambut, phi-band, laser distance
meter, spektrofotometer UV-VIS, software MILCA-JEMAI.

10

3.3 Prosedur Analisis Data
Percobaan menggunakan Rancangan Tersarang, dimana faktornya adalah
kepemilikan kebun yaitu milik perusahaan (swasta) dan milik masyarakat. Setiap
perlakuan diulang empat kali sehingga terdapat 16 satuan percobaan. Setiap satuan
percobaan terdiri dari 100 tanaman kelapa sawit. Percobaan identifikasi cadangan
karbon kebun kelapa sawit menggunakan metode destruktif dan non destruktif. Emisi
secara tidak langsung dihitung menggunakan software Multiple Interface Life Cycle
Assessment (MILCA) dari Japan Environmental Management Association for
Industry (JEMAI) versi 1.1.6 dengan database IDEA 1.2.6. Data dianalisis
menggunakan Uji-T.

3.4 Pelaksanaan Percobaan
Penghitungan cadangan karbon
Plot yang digunakan untuk pengambilan contoh biomassa, plot 2 m x 2 m
untuk pengambilan contoh nekromassa dan tumbuhan lain diameter < 5 cm, plot
20 m x 20 m digunakan untuk pengambilan contoh tumbuhan diameter > 50 cm (SNI
7722:2011). Setiap ulangan dibuat 5 plot.
Penghitungan cadangan karbon di lahan perkebunan milik perusahaan swasta
adalah dilakukan pada 4 blok dengan tanaman kelapa sawit berumur 12 tahun.
Sedangkan lahan perkebunan milik masyarakat, pengamatan dilakukan pada 4 kebun
yang berbeda dengan umur tanaman kelapa sawit 10-12 tahun.
Biomassa tajuk dan akar tanaman kelapa sawit dihitung dengan metode non
destruktif menggunakan persamaan alometrik. Pengambilan data contoh tanah,
biomassa tumbuhan bawah, serasah, kayu mati dan nekromassa menggunakan data
primer. Perhitungan cadangan karbon mengacu pada SNI 7722:2011.

Gambar 3. 1 Sumber cadangan karbon pada agroekosistem kelapa sawit

11

Pengamatan cadangan karbon dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Kandungan C tanaman kelapa sawit.
a. Biomassa tajuk tanaman kelapa sawit lahan gambut dihitung dengan metode
non destruktif menggunakan persamaan alometrik yang dikembangkan oleh
Yulianti (2009) dari persamaan Chave et al. (2005) :
y = 2.45 × 10−4 × D2.31 × H 0.6

(1)

Keterangan:
y = biomassa diatas tanah (kg tanaman-1)
D = diameter batang pada ketinggian 1.3 m (cm)
H = tinggi tanaman bebas daun (cm)
b. Biomassa akar kelapa sawit menggunakan rasio biomasa tajuk:akar dalam
penelitian sebelumnya. Rasio tajuk:akar kelapa sawit umur 12 tahun yang
ditanam pada tanah gambut yaitu 0.49 (Kiyono et al. 2015).
c. Kandungan karbon dihitung menggunakan metode Walkley dan Black (1934)
dalam ISRIC (2002) yang dimodifikasi yaitu:
Contoh yang telah lolos saringan 0.5 mm ditimbang sebanyak 0.5
gram, kemudian ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 1N dan ditambahkan 20 ml
H2SO4 pekat, dikocok perlahan, lalu dibiarkan hingga dingin. Larutan
diencerkan sampai 250 ml dengan air bebas ion/aquades, kemudian larutan
dimasukkan ke dalam spektrofotometer dengan panjang gelombang 561 nm.
Konsentrasi yang didapatkan dimasukkan ke dalam persamaan berikut:
%C − org = ppm kurva ×

ml ekstrak
1000 ml

×

100 mg
mg contoh

× fk

(2)

Keterangan:
ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar
deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko
100
= konversi ke %
fk
= faktor koreksi: 100/(100- % kadar air contoh)
d. Kandungan C kelapa sawit pada tajuk atau akar dapat diperoleh dengan
persamaan matematika :
Cts = %C − orgts × B × Densitas
Cas = Cts × 0.49

(3)
(4)

Keterangan:
Cts
= cadangan C tajuk kelapa sawit
Cas
= cadangan C akar kelapa sawit
B
= biomassa tajuk atau akar sawit
Densitas = jumlah tanaman kelapa sawit per hektar
%C-orgts = nilai konversi kandungan C dari biomasa kelapa sawit hasil
analisis laboratorium.
0.49
= rasio tajuk:akar kelapa sawit lahan gambut

12

2. Kandungan C pada tumbuhan bawah, serasah, nekromassa dan kayu mati
a. Lima contoh diambil dengan ukuran plot 2 m x 2 m, contoh ditimbang bobot
basah, diambil 200 g dioven suhu 80 oC selama 48 jam atau hingga bobotnya
stabil, kemudian ditimbang.
b. Kandungan karbon dihitung menggunakan metode Walkley dan Black
c. Kandungan C total tanaman bawah diperoleh dengan persamaan matematika :
Cttb = % C − orgttb × KAttb x BBttb plot ×

1 ha
× 0.001
luas plot

Catb = % C − orgatb × KAatb x BBatb plot ×
Cs = % C − orgs × KAs x BBs plot ×

1 ha
×
luas plot

1 ha
×
luas plot

Cn = % C − orgn × KAn × BBn plot ×

0.001 ton

0.001 ton

1 ha
×
luas plot

Ckm = % C − orgkm × KAs × BBs plot ×

ton

0.001 ton

1 ha

luas plot

× 0.001 ton

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

Keterangan:
Cttb
= cadangan C tajuk tumbuhan bawah (ton ha-1)
Catb
= cadangan C akat tumbuhan bawah (ton ha-1)
Cs
= cadangan C serasah (ton ha-1)
Cn
= cadangan C nekromasa (ton ha-1)
Ckm
= cadangan C kayu mati (ton ha-1)
% C-orgttb
= persentase C hasil analisis tajuk tumbuhan bawah (%)
% C-orgatb = persentase C hasil analisis akar tumbuhan bawah (%)
% C-orgs
= persentase C hasil analisis serasah (%)
% C-orgn
= persentase C hasil analisis nekromasa (%)
% C-orgkm = persentase C hasil analisis kayu mati (%)
KAtb
= kadar air tajuk tumbuhan bawah basis basah
KAatb
= kadar air akar tumbuhan bawah basis basah
KAs
= kadar air serasah basis basah
KAn
= kadar air nekromasa basis basah
KAkm
= kadar air kayu mati basis basah
BBs plot
= bobot basah serasah (kg)
BBn plot
= bobot basah nekromasa (kg)
BBkm plot
= bobot basah kayu mati (kg)
1 ha
= luasan lahan 1 hektar
0.001 ton
= konversi 1 kg ke 1 ton
3. Kandungan C tanah
a. Contoh tanah diambil menggunakan bor dengan kedalaman 0-15 cm, 1530 cm, 30-45 cm, 45-60 cm, 60-75 cm, 75-90 cm, 90-120 cm, 120-150 cm
dalam satu plot besar masing-masing 200 g.
b. Kandungan karbon dihitung menggunakan metode Walkley dan Black
c. Bobot isi, pengambilan contoh menggunakan bor dengan diameter 3.5 cm.

13

Perhitungan total kandungan C tanah :
Ct = ∑(C − org ke i × BI ke i × Kt ke i) × 100

(10)

Keterangan:
Ct
= cadangan C tanah (ton ha-1)
C-org ke i
= kandungan C tanah kedalaman contoh-i (%)
BIt ke i
= bobot isi tanah kedalaman contoh-i (g cm-3)
Kt ke i
= kedalaman tanah pada kedalaman contoh-i (cm)
100
= konversi g cm-3 menjadi ton ha-1
4. Cadangan karbon total
Perhitungan cadangan karbon menggunakan rumus:
C total= (Cbap + Cbbp + Cs + Cn + Ct+ Ckm)

(11)

Keterangan:
Ctotal
= total cadangan C per hektar (ton ha-1)
Cbap
= total cadangan C biomassa atas permukaan per hektar
(Cts + Cttb) (ton ha-1)
Cbbp
= total cadangan C biomassa bawah permukaan per hektar
(Cas + Catb) (ton ha-1)
Cs
= total cadangan C biomassa serasah per hektar (ton ha-1)
Cn
= total cadangan C nekromassa per hektar (ton ha-1)
Ct
= total cadangan C tanah per hektar (ton ha-1)
Ckm
= total cadangan C kayu mati per hektar (ton ha-1)
Penghitungan sekuestrasi
Penghitungan sekuestrasi tanaman kelapa sawit hingga tanaman umur 12 tahun
menggunakan asumsi sebagai berikut:
1. Akar mati tanaman kelapa sawit tidak dihitung
2. Tandan buah segar (TBS) hasil panen dimasukkan dalam penghitungan
sekuestrasi, dimana hasil panen tanaman kelapa sawit umur 5-12 tahun dianggap
sama dan menggunakan hasil panen TBS tahun 2012.
3. Biomasa dan kandungan C-organik TBS dipilah berdasarkan Department of
Environtment (1999), Mahlia et al. (2001), Yaser et al. (2007), Pereira et al.
(2012) dan Sahad et al. (2004), dengan asumsi kadar air sama yaitu 44.8%
(Lampiran 3).
4. Pelepah yang dipangkas masuk dalam perhitungan sekuestrasi, dengan asumsi
bahwa tanaman kelapa sawit dipangkas saat mulai panen yaitu umur 5 tahun,
sedangkan pelepah yang dipangkas hingga umur tanaman 4 tahun tidak
diperhitungkan. Tanaman kelapa sawit dalam setahun menghasilkan 30 pelepah,
biomasa C dari 30 pelepah berdasarkan data yang diolah dari Yulianti (2009)
dengan perhitungan nilai tengah antara umur 5 hingga 12 tahun adalah senilai
27.4 kg C.
Sekuestrasi dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :

Sekuestrasi =

A+(t ×B)+t×(C+D+E+F+G+H+I)
Umur tanaman

(12)

14

Keterangan :
A = Cadangan karbon tajuk dan akar tanaman kelapa sawit (ton C ha-1)
B = Cadangan karbon pelepah yang dipangkas (ton C ha-1)
C = Cadangan karbon CPO (ton C ha-1)
D = Cadangan karbon PKO (ton C ha-1)
E = Cadangan karbon TBS (ton C ha-1)
F = Cadangan karbon POME (ton C ha-1)
G = Cadangan karbon serat/fibre (ton C ha-1)
H = Cada

Dokumen yang terkait

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 10 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat

3 83 102

Respons Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Pemberian Kompos Sampah Pasar dan Pupuk NPKMg (15:15:6:4) di Pre Nursery

6 79 69

Evaluasi Karakter Pertumbuhan Beberapa Varietas Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Pre Nursery Pada Beberapa Komposisi Media Tanam Tanah Gambut

1 56 86

Studi Sebaran Akar Tanaman Kelapa Sawit(Elaeis guineensis Jacq.) Pada Lahan Gambut Di Perkebunan PT. Hari Sawit Jaya Kabupaten Labuhan Batu

6 87 123

Respon Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Pada Media Kombinasi Gambut Dan Tanah Salin Yang Diaplikasi Tembaga (Cu) Di Pembibitan Utama

0 42 79

Studi Karakteristik Ganoderma Boninense Pat. Pada Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) Di Lahan Gambut

9 86 83

Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis quenensis Jacq), Coklat (Theobroma cacao) Dan Karet (Havea brasiliensis) Di Desa Belinteng Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat

0 26 52

Model pendugaan cadangan karbon pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) umur 5 tahun di perkebunan kelapa sawit PT. Putri Hijau, Kabupaten Langkat.

6 77 76

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Umur 15 Tahun di Perkebunan Kelapa Sawit Putri Hijau, Besitang Sumatera Utara

5 61 75

EMISI GAS KARBON DIOKSIDA (CO2) PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) YANG DITUMPANGSARI DENGAN TANAMAN PANGAN DI LAHAN GAMBUT

0 0 8