Distribusi spasial dan preferensi habitat bivalvia di pesisir kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur

TESIS

!

"

#$%&

'((%%%$$&%

!)*+ +

)!+, !
!- )!-' .

-,.-,

!

)+ /+


- 01 2 !+, !

3

*

+
.

"

"

#$%4

/

%5
"


'

#$%4
%&

"

*

"

7
! 8%&

8#=
9 #" ':$ (%"
':$ (%" ;:% $4
&$
&%
&#

4>
&(
&5
&6
&=

1

Keanekaragaman dan kepadatan biota bentik relatif cukup tinggi ditemukan
di perairan pesisir. Wilayah pesisir merupakan daerah yang memiliki potensi
sumberdaya hayati laut tertinggi serta merupakan media produktif dalam
pemenuhan kebutuhan manusia di bidang pemanfaatan sumber pangan, tambang
mineral, kawasan rekreasi dan pariwisata. Oleh karena itu wilayah pesisir dan
lautan merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan di
masa sekarang dan masa mendatang. Akan tetapi saat ini terlihat jelas bahwa
perhatian terhadap biota laut ikan maupun non ikan semakin rendah karena
kurangnya kesadaran beberapa lapisan masyarakat akan pentingnya biota laut,
bahkan saat ini faktor ekonomi dan keserakahan manusia menjadi pemicu
rusaknya ekosistem pesisir dan laut.
Secara umum bivalvia sebagai salah satu kelompok biota laut yang tersebar

secara luas di pesisir perairan Indonesia. Salah satu lokasi penyebaran bivalvia
yang diduga cukup luas dengan kepadatan spesies yang tinggi adalah di perairan
pesisir kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur dimana pada
cakupan pesisir perairannya termasuk dalam kawasan Teluk Balok dan Teluk
Sembulu.
Teluk Balok Kabupaten Belitung merupakan salah satu teluk besar yang
terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Teluk ini kurang lebih memiliki
luasan 190 km2 dan dibatasi hingga sejauh 4 mil dari pantai. Letak geografis
Teluk Balok diperkirakan 107°48’00” BT / 108°01’30” BT dan 3°03’00” LS /
3°19’30”LS (Aryanto et al., 2005). Kawasan Teluk Balok hingga saat ini masih
menjadi pusat kegiatan perikanan dan kelautan khususnya pada pemanfaatan hasil
laut, eksploitasi ikan serta moluska seperti udang, kepiting, kerang, dan siput laut.
Ada beberapa prospek pengembangan sektor kelautan dan perikanan di Teluk
Balok yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dimulai dari wisata
bahari, budidaya laut, pertambakan dan pelabuhan. Berbeda halnya dengan Teluk
Sembulu yang memiliki luasan lebih kecil dibandingkan dengan Teluk Balok
sehingga diduga variasi biota laut yang ada tidak begitu besar. Secara
administratif, Teluk Sembulu termasuk dalam wilayah cakupan Kecamatan
Simpang Pesak.
Kecamatan Simpang pesak merupakan pemekaran dari wilayah Kecamatan

Dendang Kabupaten Belitung Timur yang resmi dibentuk berdasarkan Peraturan
Daerah nomor 3 tahun 2010 dengan luasan seluruhnya 24.330 ha atau kurang
lebih 243.30 km2 yang terletak di Pulau Belitung. Adapun batas wilayah
Kecamatan Simpang Pesak yaitu di sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan
Dendang, di sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Gantung, di sebelah
Selatan berbatasan dengan Laut Jawa, dan di sebelah Barat berbatasan dengan
Kecamatan Membalong. Kecamatan Simpang Pesak terbagi menjadi 4 desa yaitu
desa Simpang Pesak, desa Dukong, desa Tanjung Kelumpang dan Desa Batu itam
(Badan Pusat Statistik 2012).

2

Berdasarkan hasil survey diketahui bahwa pemanfaatan spesies/spesies
bivalvia tertentu sampai saat ini masih terus dilakukan dengan hanya
mengeksploitasi sumberdaya langsung dari alam, karena hingga saat ini belum
ada kegiatan pembudidayaan kerang/kerang laut di perairan sekitar Teluk Balok
begitu juga dengan wilayah Teluk Sembulu. Berbagai spesies bivalvia telah
ditangkap untuk kemudian diambil dagingnya sementara cangkangnya dijadikan
sebagai hiasan (ornamen). Jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan sampai
saat ini belum ditetapkan secara jelas sehingga tingkat pemanfaatan menjadi tidak

terkendali.
Distribusi lokal bivalvia secara spasial dan pertumbuhannya sangat
bergantung pada kondisi habitat (kualitas substrat), jumlah dan spesies makanan
yang tersedia serta interaksi antara ekosistem yang terdapat di pesisir perairan
yang didukung oleh beberapa faktor osenografi seperti pasang surut. Adanya
pencucian (flushing time) dari sirkulasi pasut akan membawa nutrien (unsur hara)
dari sungai masuk ke laut dan akan tersebar luas secara alami kemudian
terperangkap di kolom air dan sedimen oleh karena itu wilayah pesisir pantai
tergolong subur dan produktif sehingga diduga biota – biota laut intertidal
khususnya bivalvia juga ikut melimpah. Faktor – faktor tersebut akan
menimbulkan perbedaan karakteristik habitat dicirikan oleh variasi lingkungan
perairan yang beragam serta perbedaan substrat dasar perairan yang berdampak
pada penyebaran spesies bivalvia yang khas di suatu perairan. Secara umum
bivalvia dapat tersebar di berbagai ekosistem perairan dangkal yaitu ekosistem
lamun, alga, terumbu karang dan daerah lepas pantai.
Melihat kekhasan berbagai kerakteristik habitat yang dijumpai di pesisir
perairan Kecamatan Simpang Pesak serta di dukung oleh terbatasnya informasi
mengenai spesies – spesies bivalvia yang ditemukan di daerah tersebut, maka
perlu adanya suatu kajian mendalam mengenai struktur komunitas dan distribusi
spasial bivalvia berdasarkan preferensi habitat pada zona intertidal di sepanjang

wilayah pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak.
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi yang akurat,
jelas dan terbaru sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pengelolaan sumberdaya
bivalvia khususnya untuk spesies/spesies bivalvia yang bernilai ekonomis
penting supaya tetap lestari dimasa mendatang.

1
2
3

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mengetahui komunitas bivalvia yang ditemukan di perairan pesisir
Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten Belitung Timur.
Mengetahui distribusi spasial bivalvia berdasarkan karakteristik dan
preferensi habitat.
Mengetahui hubungan antara karakteristik biofisik perairan dan sedimen
dengan penyebaran bivalvia secara spasial.

3


Bila ditinjau dari segi ekonomi, bivalvia merupakan sumberdaya hayati laut
non ikan terpopuler ke dua setelah sumberdaya hayati ikan yang memilki nilai
ekonomis penting dan berprotein tinggi sehingga banyak digemari oleh
masyarakat pesisir di berbagai wilayah Indonesia. Tidak heran jika permintaan
pasar terhadap beberapa spesies bivalvia melambung tinggi dalam beberapa tahun
terakhir karena semakin tinggi harga perkilogram ikan di pasaran, kondisi ini
mengakibatkan bivalvia menjadi alternatif makanan yang sering dijadikan sebagai
menu protein hewani pengganti ikan.
Tidak banyak informasi/data mengenai kegiatan eksploitasi bivalvia yang
bernilai ekonomis di pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak, akan tetapi
kegiatan tersebut diperkirakan terus meningkat. Berdasarkan hasil pendugaan
warga setempat, beberapa spesies bivalvia tertentu diperkirakan telah mengalami
penurunan populasi spesies kerang yang umum dieksploitasi serta di duga terjadi
penurunan ukuran maksimum kerang yang dibarengi dengan mulai sulitnya
mendapatkan kerang – kerang konsumsi pada musim – musim tertentu, kondisi ini
disebabkan oleh laju pertumbuhan yang tidak sebanding dengan laju penangkapan
bivalvia di alam. Jika kondisi ini terus menerus terjadi tanpa adanya kegiatan
budidaya dan manajemen penangkapan kerang yang diperbolehkan, maka
populasi stok dari beberapa spesies bivalvia di pesisir perairan kecamatan
Simpang Pesak dikhawatirkan akan sangat terancam di masa mendatang. Adanya

isu degradasi lingkungan yang umumnya terjadi di spot wilayah pesisir dan laut
karena adanya perubahan fungsi lahan, masukan bahan organik/ bahan pencemar
dari daratan di duga secara langsung dapat mempengaruhi struktur komunitas dan
kepadatan spesies organisme bentik.
Pada umumnya faktor/faktor yang membatasi distribusi dan kelimpahan
spesies bivalvia di alam dapat dikategorikan ke dalam dua bagian utama yaitu
faktor dari dalam berupa sifat genetik dan tingkah laku ataupun kecenderungan
suatu biota untuk memilih tipe habitat yang disenangi serta faktor/faktor dari luar
yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan interaksi biota tersebut dengan
lingkungannya, oleh karena itu distribusi serta kepadatan bivalvia di alam dapat
dijadikan indikasi cocok tidaknya suatu habitat terhadap biota tertentu.
Salah satu indikasi yang menunjukkan tidak cocoknya suatu habitat bagi
biota adalah rendahnya kepadatan spesies biota pada suatu area ataupun
ketidakmampuan menyebar mencapai area tersebut. Perubahan lingkungan baik
secara alami ataupun sebagai akibat dari aktivitas manusia seperti perubahan
fungsi lahan mengrove untuk pembuatan tambak maupun silvikultur dapat
mengakibatkan berkurangnya suatu populasi serta dapat mengganggu struktur
komunitas bivalvia di daerah tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, muncul beberapa pertanyaan yang harus
dijawab karena merupakan akar permasalahan yang ada, yaitu:

1
Spesies – spesies bivalvia apa saja yang ditemukan dan spesies apa yang
paling mendominasi di pesisir perairan Kecamatan Simpang Pesak
Kabupaten Belitung Timur
2
Bagaimana struktur komunitas dan pola distribusi spasial bivalvia
berdasarkan karakteristik dan preferensi habitat.

4

3

Apakah terdapat hubungan yang relevan antara faktor oseanoghrafi (pasut),
faktor fisika, kimia perairan dan sedimen terhadap penyebaran spasial
bivalvia.

Wilayah pesisir Simpang Pesak Belitung Timur

Kualitas perairan


Kondisi Oseanografi

Kualitas substrat
Fraksi sedimen

Bahan organik

Karakteristik /variasi habitat

1 Strukur komunitas bivalvia
2 Distribusi spasial bivalvia
3 Preferensi habitat

Zona terdepan
(rataan pasir)

Zona pertengahan
(didominasi lamun)

Zona ekstrim
(makro alga)

Gambar 1 Alur perumusan masalah.

5

! !
Dharma (1988) mengelompokkan kelas bivalvia daerah tropis kedalam 4
ordo yaitu Taxodonta, Anisomyaria, Hippuritoida, dan Eulamellibranchia yang
mencakup didalamnya 25 famili yaitu Arcidae, Mytillidae, Pinnidae,
Isognomonidae, Malleidae, Pteridae, Ammusidae, Pectinidae, Spondylidae,
Limidae, Anomiidae, Ostreidae, Chamidae, Lucinidae, Carditidae, Tridacnidae,
Mactridae, Tellinidae, Donacidae, Psammobiidae, Corbiculidae, Unionidae,
Veneridae, Teredinidae dan Pholadidae. Dharma (1988) juga menyebutkan bahwa
kelas bivalvia terdiri dari 67 genera yang diantaranya merupakan genera yang
sangat familiar dikalangan masyarakat karena beberapa spesies memiliki nilai
ekonomis penting seperti genera Tridacna, genera Anadara (Anadara granosa,
Anadara antiquata, Barbatia decussata), genera Anadonta, Gafrarium dan Tapes.
Secara umum kerang termasuk dalam filum molusca yang memilki dua
cangkang (valve) berbentuk simetri bilateral yang terdapat pada sisi atas dan sisi
bawah tubuhnya (Brusca & Brusca 2003). Kaki berbentuk seperti kapak
(pelecypoda), tidak memilki kepala dan mata akan tetapi memilki insang tipis dan
berlapis/lapis terletak diantara mantel dimana kedua cangkangnya dapat dibuka
/ditutup (umbo) sehingga dari karakteristik morfologi tersebut kelas ini lebih
dikenal dengan nama bivalvia (Wells and Bryce 1988). Peredaran darah bivalvia
secara umum adalah peredaran darah terbuka yaitu darah dipompa dari jantung ke
sinus organ, ginjal, insang dan kembali ke jantung (Gosling 2003). Darah bivalvia
biasanya tidak berwarna, namun kerang spesies anadara granosa (famili arcidae)
mempunyai sel darah yang mengandung hemoglobin (Faulkner 2009).
Gosling (2003), menyatakan bahwa cangkang bivalvia terdiri dari 3 lapisan
yakni :
a. Lapisan luar tipis, hampir berupa kulit dan disebut periastracum yang
melindungi
b. Lapisan kedua yang tebal terbuat dari kalsium karbonat, dan
c. Lapisan dalam terdiri dari mother of pearl, dibentuk oleh selaput mantel (tipis)
yang membuat cangkang menebal saat hewannya bertambah tua. Fungsi dari
permukaan luar mantel adalah mensekresi zat organik cangkang dan menimbun
kristal/kristal kalsit (kapur).
Pada umumnya cangkang bivalvia bervariasi dalam ukuran, bentuk ukuran
dan warna. Beberapa tahun terakhir telah banyak yang mempelajari variasi garis
dan pita yang dihasilkan dalam pertumbuhan cangkang. Didalamnya memuat
informasi tentang umur organisme dan kondisi lingkungan tempat cangkang
tersebut tumbuh. Beberapa garis terlihat pada bagian luar cangkang, tapi
kebanyakan hanya terlihat ketika cangkang berputar sebagian. Diyakini bahwa
garis/garis yang terdapat pada cangkang bivalvia terbentuk ketika cangkangnya
menutup. Pada saat itu produksi asam organik dari respirasi anaerob
menyebabkan pelarutan sejumlah kecil kalsium karbonat, meninggalkan material
organik pembentuk kerangka yang kemudian membentuk garis (Barnes 1987).

6

Pada dasarnya bivalvia merupakan hewan bentik dengan kecepatan gerak
yang sangat lambat, akan tetapi remis dan tiram memiliki alat perekat yang kuat
pada substrat batu. Brandt (2009) menyatakan bahwa bivalviamampu menempati
habitat laut pada kisaran kedalaman yang berbeda dari zona intertidal hingga
kedalaman dibawah 5000 m dengan kelimpahan tertinggi terdapat pada zona
intertidal khususnya pada kedalaman 0 – 100 m dimana pada zona fotik masih
bisa dijumpai ± 40 genera (Brandt, 2009). Sebagian besar dari mereka memakan
plankton tersuspensi maupun terdeposit pada sedimen dan detritus yang terdapat
pada kolom air.
"

# $"

#

%

&

'

! ! (

Pada umumnya bivalvia ditemukan pada daerah pantai tepatnya pada zona
intertidal dan paparan benua hingga laut dalam. Beberapa faktor lingkungan yang
menjadi faktor pembatas penyebaran spasial dan keberlangsungan hidup bivalvia
meliputi pasang surut, suhu, gerakan gelombang, salinitas, oksigen terlarut,
partikel tersuspensi (TSS), tipe substrat, ketersediaan makanan dan faktor biologis
seperti adanya kompetisi dan predasi,
Pasang surut merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi kehidupan
pada zona intertidal. Menurut Illahude (1998), pasang surut merupakan proses
naik turunnya paras laut (sea level) secara berkala yang ditimbulkan oleh adanya
gaya tarik dari benda/benda angkasa, terutama matahari dan bulan terhadap massa
air laut di bumi. Apabila daerah intertidal terlalu lama berada pada udara terbuka
(surut rendah) mengakibatkan organisme akan kehilangan air ketika suhu tinggi,
sulit mencari makan akibatnya akan kehilangan energi.
Gelombang yang terdapat dipermukaan laut pada umumnya terbentuk
karena adanya proses alih energi dari angin kepermukaan laut (Neuman and
Pierson 1966). Terpaan gelombang dapat menjadi faktor pembatas bagi organisme
tertentu yang tidak dapat menahan terpaannya, tetapi diperlukan bagi organisme
lain yang tidak dapat hidup selain didaerah dengan ombak yang kuat. Selain itu
gelombang dapat memperluas batas zona intertidal, hal ini terjadi karena
penghempasan air yang lebih tinggi di pantai dibandingkan dengan yang terjadi
pada saat pasang surut normal. Deburan ombak yang terus menerus ini membuat
organisme laut dapat hidup di daerah yang lebih tinggi di daerah yang terkena
terpaan ombak daripada di daerah tenang pada kisaran pasang surut yang sama.
Pada zona daerah yang terkena hempasan gelombang jarang kekurangan
oksigen, hal ini disebabkan gerakan gelombang dapat membantu terjadinya
pencampuran dan pengadukan gas/gas di atmosfer kedalam air walaupun dalam
jumlah sangat kecil (Sumich 1992). Kekurangan oksigen dapat mengurangi
aktivitas organisme baik yang berhubungan dengan metabolisme maupun tingkah
laku dan lama kelamaan organisme akan mati. Penurunan oksigen di genangan/
pasang tropik hanya 18% dari kejenuhan, (Levinton 1982 dan Nybakken 1992).
Pada zona intertidal umumnya memiliki kisaran suhu yang homogen artinya
suhu air umumnya relatif sama. Karena pengaruh angin, gelombang dan
turbulensi yang mengaduk massa air sehingga kisaran perubahan suhu sangat
kecil dan jarang melebihi batas toleransi organisme (Nybakken 1998). Pada area
beriklim tropis tidak terlihat variasi suhu sepanjang tahun. Menurut Dame (1996),
suhu ideal bagi keberlangsungan hidup bivalvia antara 26.0/37.5 ºC.

7

Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme terjadi di zona
intertidal melalui dua cara. Pertama, karena zona intertidal terbuka pada saat
pasang surut dan kemudian digenangi air atau aliran air akibat hujan lebat,
mengakibatkan salinitas akan turun. Pada keadaan tertentu, penurunan salinitas ini
akan melewati batas toleransi dan karena kebanyakan organisme intertidal
menunjukkan toleransi yang terbatas terhadap penurunan salinitas ini sehingga
organisme dapat mengalami kematian. Yang kedua, ada hubungannya dengan
genangan pasang surut. Daerah ini dapat digenangi oleh air tawar yang mengalir
masuk ketika hujan deras sehingga menurunkan salinitas atau dapat
memperlihatkan kenaikan salinitas jika terjadi penguapan sangat tinggi pada siang
hari.
Ketersediaan makanan dapat mempengaruhi pertumbuhan jaringan,
penyimpanan dan penggunaan makanan dapat merubah rasio berat badan terhadap
panjang cangkang. Variasi indeks kondisi pada waktu yang berbeda sejalan
dengan fluktuasi dan perubahan ketersediaan makanan di perairan.
Menurut Gosling (2003), umumnya bivalvia mengubur diri pada substrat
dangkal, kebiasaan makan (filter feeder & detritus feeder) sering dihubungkan
dengan makanan yang berada di dasar substrat dimana bivalvia itu hidup, dengan
komponen nutrien yang penting adalah detritus organik, plankton dan algae
uniseluler serta dapat beradaptasi dengan temperatur optimum antara 20/30oC.
Predator atau pemangsaan adalah hal terpenting dalam rantai makanan yang
dapat menyebabkan kepunahan maupun penurunan kepadatan spesies. Peranan
grazer atau herbivora dalam mengatur batas atas dan batas bawah zona intertidal
sangat penting. Adapun grazer pada zona intertidal yang dominan berupa limpet,
bulu babi dan siput litorina.
TSS adalah bahan/bahan tersuspensi (diameter > 1µm) yang tertahan pada
saringan milipore dengan diameter pori 0.45 µm. TSS terdiri atas lumpur dan
pasir halus serta jasad – jasad renik yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah
yang terbawa masuk kebadan air (Effendie, 2003). Padatan tersuspensi total ini
dipengaruhi oleh bahan – bahan tersuspensi seperti lumpur, pasir, bahan organik
dan anorganik. Padatan tersuspensi dapat mengganggu proses respirasi organisme
perairan dan dapat meningkatkan kekeruhan perairan hingga akhirnya mereduksi
produktivitas perairan. Ada hubungan antara TSS dan kekeruhan dimana
peningkatan TSS menyebabkan peningkatan kekeruhan (APHA 2005).
Kesesuaian untk kepentingan perairan (perikanan) berdasarkan nilai padatan
tersuspensi ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Kisaran nilai TSS dan pengaruhnya terhadap organisme dasar
Nilai TSS (mg/l)
Pengaruh terhadap organisme dasar
< 25
Tidak berpengaruh
25 – 80
Sedikit berpengaruh
81 – 400
Kurang baik bagi kepentingan organisme dasar (bentos)
>400
Tidak baik bagi kepentingan organisme dasar (bentos)
(Sumber: Alabaster dan Lioyd 1982 dalam Effendi 2003)

8

)

+

*

,

#

Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2013 sampai dengan Juli 2013.
Pengambilan contoh dilakukan di wilayah pesisir Kecamatan Simpang Pesak
Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Gambar 2).
Analisis sampel biota dan pengukuran morfometrik bivalvia dilakukan di
Laboratorium Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Belitung Timur.
Analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Proling Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, IPB Bogor. Sementara analisis sampel tanah dilakukan di
Laboratorium tanah Biotrop Bogor.

Gambar 2 Peta stasiun penelitian
,
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi water sampler,
botol sampel, termometer, secchi disk, refraktometer, DO meter, pH meter, grab
sampler, pipa PVC, GPS (Global Positioning System), kamera digital, roll meter,
sekop, petak kuadrat 0.5 m x 0.5 m, buku identifikasi, ember, kantong plastik
ukuran 0.5 kg, kertas label, alat tulis dan sabak, ayakan kawat jaring 0.5 cm,
saringan bertingkat, neraca, oven, desikator, furnace, cawan porselin,
spektrofotometer, alkohol 70% dan formalin 4% serta beberapa bahan kimia yang
diperlukan untuk analisis di Laboratorium.

9

# ,
Penelitian ini menggunakan metode survey, sementara penentuan titik
sampling menggunakan purposive sampling method, yaitu penentuan lokasi
sampling dengan beberapa pertimbangan tertentu oleh peneliti (Fachrul 2006).

Menurut Isdradjad et al. (2004), dalam melakukan penelitian perlu
diperhatikan mekanisme penentuan unit pengambilan contoh dengan ketentuan
seperti mudah diidentifikasi variabilitas lingkungannya, mudah diakses dan
kondisi lingkungan hampir sevarians/seragam. Adapun stasiun pengamatan yang
terpilih berdasarkan purposive sampling ditunjukkan pada Gambar 2, yaitu :
: terletak di pesisir pantai Suge Desa Simpang Pesak (115.80 ha)
pada posisi geografis 03o09’ 31.85” LS dan 1070 57’ 04.00” BT. Pantai Suge
merupakan wilayah dramaga yang diduga mendapatkan masukan bahan
organik tinggi, akibat rutinitas kegiatan pelabuhan. Selain itu adanya kegiatan
konversi lahan mangrove dan kegiatan penimbunan pasir pasca proyek
pembangunan Jalan pengangkutan pasir oleh PT. SNI (Selat Nasik
Indokuarsa) di wilayah pesisir diduga berpengaruh terhadap dinamika
perairan pada stasiun ini. Substratnya didominasi oleh lumpur. Pada Stasiun I,
ekosistem padang lamun hidup berdampingan dengan ekosistem mangrove.
Penyebaran lamun pada Stasiun I dimulai dari pinggir pantai hingga jarak 50
m ke arah laut ditumbuhi oleh spesies lamun Enhalus acoroides, Halophila
minor, Holodule uninervis, dan Cymodocea rotundata. Semakin menuju ke
tengah hingga pada jarak 80 m dari pantai mulai terlihat spesies lamun
Enhalus acoroides. Semakin ke tengah lagi hingga menuju tubir spesies
lamun yang ada sudah mulai berkurang dan didominasi oleh spesies E.
acoroides.
: terletak di pesisir pantai Setigi Desa Dukong (28.0 ha)pada posisi
geografis 03o12’ 15.93” LS dan 1070 58’ 09.87” BT, area ini termasuk kategori
kawasan pesisir yang rawan terjadi abrasi pantai dan selalu mendapat
masukan air tawar dari rawa serta selalu terekspos matahari ketika surut.
Substrat didominasi oleh pasir kasar hingga pasir halus serta sedikit sekali
dijumpai vegetasi mangrove. Pada stasiun II sangat jarang ditemukan lamun,
hanya spesies lamun E. acoroides yang bisa bertahan hidup di daerah ini
dengan pola spesies monospesifik.
: terletak di pangkalan Aik Lanun Desa Tanjung Kelumpang
(31.75 ha) pada posisi geografis 03o15’ 41.70” LS dan 1070 58’ 32.17” BT.
Area ini merupakan kawasan wisata yang sering dikunjungi, baik itu dari
kalangan wisatawan lokal maupun wisatawan interlokal. Area ini juga
dipengaruhi oleh aktivitas perkapalan dan Aktivitas manusia lainnya seperti
kegiatan mencari kerang sangat tinggi di area ini khususnya pada saat kondisi
surut. Stasiun III memiliki topografi pantai yang landai, dengan substrat dasar
perairan berpasir dan ditemukan juga kerikil pada zonasi terdepan serta tidak
ditemukan adanya vegetasi mangrove yang tumbuh namun masih bisa
dijumpai 2 spesies lamun yaitu E. Acoroides dan C. rotundata.
-: terletak di pesisir pantai Kukup Desa Tanjung Batu Itam (67.75)
pada posisi geografis 03o10’ 25.80” LS dan 1080 04’ 38.9” BT. Stasiun IV

10

merupakan wilayah pusat Teluk Sembulu yang ditumbuhi vegetasi mangrove
lebat. Aktivitas perikanan penduduk sangat tinggi di area ini terutama
aktivitas mencari kerang saat kondisi surut. Selain itu terdapat aliran sungai
cukup besar yang masuk ke perairan di kawasan ini. Substrat yang ditemukan
didaerah ini lebih bervariasi yaitu dari substrat berlumpur (debu dan liat)
hingga pasir kasar. Pada Stasiun IV, ekosistem padang lamun tumbuh
berdampingan dengan ekosistem mangrove yang rapat. Pada stasiun ini
ditemukan 3 spesies lamun, yaitu E. Acoroides, Thalassia hemprichii, dan C.
rotundata yang tidak tersebar secara merata. Lamun tumbuh berkelompok/
kelompok. C. rotundata ditemui sampai pada jarak sekitar 30 m dari pinggir
pantai. T. hemprichii dijumpai pada jarak antara 30 – 70 m dari pantai
sedangkan E. Acoroides terlihat tersebar secara merata pada setiap kelompok
lamun hingga ke arah tubir. Lamun tumbuh dari pinggir pantai hingga ke arah
tubir, dengan kerapatan yang semakin berkurang dengan pola spesies semakin
monospesifik.
.# #
Teknik Penarikan contoh menggunakan metode pengambilan contoh acak
sistematik dengan membentangkan 3 transek garis sepanjang zona intertidal
dengan jarak antar transek garis ± 20 meter ke arah kiri maupun ke arah kanan,
sementara jumlah plot transek yang akan diamati pada setiap sub stasiun (ulangan)
berjumlah 9 transek kuadrat dengan jarak masing/masing antar plot sebesar 50 m.
Pada setiap stasiun pengamatan terdiri dari 3 sub stasiun pengamatan, dimana
pada setiap sub stasiun pengamatan di bentangkan 3 transek garis utama dengan
jarak masing – masing ± 100 m. Adapun desain penarikan contoh ditunjukkan
pada Gambar 3.

Gambar 3 Desain penarikan contoh pada setiap sub stasiun pengamatan
'
.# #
! !
Pengambilan sampel bivalvia dilakukan selama tiga kali pengambilan data
dengan interval waktu yang berbeda selama ± 1 bulan. Pengambilan sampel pada
setiap stasiun di lakukan dengan cara meletakan transek kuadrat berukuran 50 cm
x 50 cm. Kerang (bivalvia) yang berada di dalam transek kuadrat di ambil dengan
tangan secara manual dan snorkling. Sampel bivalvia yang diambil adalah
bivalvia yang terbenam di dalam substrat sampai kedalaman 20 cm yang masih

11

hidup dan yang terdapat diatas substrat / permukaan sedimen pada zona intertidal.
Semua sampel bivalvia yang terdapat di dalam transek diambil dan dimasukkan
ke dalam kantong plastik dan diawetkan dalam larutan formalin 10% kemudian
diidentifikasi.
Pada setiap transek yang diamati dilakukan juga pencatatan seluruh spesies
biota laut yang ditemukan dilokasi penelitian termasuk kehadiran biota – biota
selain bivalvia seperti Echinodermata, gastropoda, polychaeta, dan lain – lain.
'
&
,
,
Pengukuran kualitas perairan dilakukan dengan dua cara yaitu secara insitu
(suhu, oksigen terlarut (DO), pH, salinitas, dan kecerahan, serta kedalaman
perairan) dan pengukuran di laboratorium Pro/link Institut Pertanian Bogor untuk
mengetahui kadar nitrat, posfat, partikel tersuspensi, partikel organik total/TOM,
BOD dengan mengacu pedoman APHA (2005). Pengambilan contoh air
dilakukan pada saat pasang dengan menggunakan water sampler.
Contoh sedimen diambil tidak bersamaan dengan pengambilan contoh air.
Sedimen diambil kurang lebih 500 gram dengan menggunakan Ekman Grab dan
dimasukkan ke dalam plastik serta disimpan dalam cool box. Analisis sampel
tanah dilakukan di Laboatorium tanah BIOTROP Bogor. Adapun pengambilan
sampel tanah dilakukan untuk mengetahui kandungan C/organik dan total
nitrogen (N), P2O5, pH, dan fraksi sedimen. Adapun parameter kualitas
lingkungan (habitat) yang diukur secara detail disajikan pada Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2 Beberapa parameter lingkungan perairan dan substrat yang diukur
#
/
#,
A. Fisika perairan
o
1.
Suhu Perairan
C
Termometer Hg
2.
Kecerahan
cm
Secchi disk
3.
Kedalaman
cm
Tongkat Berskala
B. Kimia perairan
4.
Derajat Keasaman (pH)
pH meter
o
/oo
Refraktometer
5.
Salinitas
6.
Oksigen terlarut
mg/l
Titrasi winkler
C. Substrat
7.
Tekstur* / butir sedimen
%
Saringan Bertingkat
8.
C/organik, N total, P
%
Spektrofotometer
9.
pH tanah
Soil pH tester,

"

,
Frekuensi kehadiran merupakan kehadiran spesies individu tertentu pada
stasiun / stasiun penelitian yang diamati. Frekuensi kehadiran dinyatakan dalam
prosentase (%) bivalvia yang tertangkap dirumuskan dengan persamaan berikut
(Krebs 1989) :

12

=

100%

Keterangan :
Fi
: Frekuensi keterdapatan organisme ke – i yang tertangkap (%)
ti
: Jumlah stasiun dimana spesies ke/ i tertangkap
T
: Jumlah semua stasiun.
& ,

&
Kepadatan spesies merupakan jumlah spesies biota yang ditemukan pada
setiap pengambilan contoh. Adapaun persamaan yang digunakan mengacu pada
Krebs (1989) yaitu:
= 1000
Keterangan:
D
a
b

: Kepadatan individu (ind/m2)
: Jumlah spesies ke/i (makrozobentos) yang ditemukan dalam b
: Luas pengambilan contoh (1m2 = 10.000 cm2)

&
Keanekaragaman spesies disebut juga heterogenan spesies yang dapat
menggambarkan struktur komunitas dengan perhitungan menggunakan rumus
Shannon/Wiener in Odum (1993) sebagai berikut :
H’ = −∑Pi Log2 Pi
Keterangan :
H’
: Indeks keanekaragaman spesies
Pi
: Jumlah spesies ke/i per jumlah total (ni/N)
n
: Jumlah spesies
Penentuan kriteria :
H’< 3,32
: Keanekaragaman rendah
3.32