Model Spasial Habitat Tarsius Belitung (Cephalopachus Bancanus Saltator Elliot,1910) Di Pulau Belitung

MODEL SPASIAL HABITAT PREFERENSIAL TARSIUS
BELITUNG (Cephalopachus bancanus saltator Elliot, 1910)
DI PULAU BELITUNG

FIFIN FITRIANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Spasial Habitat
Preferensial Tarsius Belitung (Cephalopachus bancanus saltator Elliot,1910) Di
Pulau Belitung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017

Fifin Fitriana
NIM E351140021

RINGKASAN
FIFIN FITRIANA. Model Spasial Habitat Tarsius Belitung (Cephalopachus
bancanus saltator Elliot,1910) di Pulau Belitung. Dibimbing oleh LILIK BUDI
PRASETYO dan AGUS PRIYONO KARTONO.
Tarsius belitung (Cephalopachus bancanus saltator) merupakan salah satu
jenis tarsius yang endemik di Pulau Belitung dan menjadi satwa identitas di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources (IUCN) mengkategorikan tarsius belitung sebagai
satwa yang terancam punah karena tingginya fragmentasi habitat akibat
deforestasi. Upaya konservasi tarsius belitung masih sangat terbatas mengingat
kajian ekologi jenis ini belum banyak dilakukan. Salah satu aspek kajian yang
penting diketahui adalah terkait model spasial habitat preferensial. Model spasial
habitat preferensial tarsius belitung diharapkan dapat digunakan sebagai dasar
upaya konservasi yakni dalam manajemen populasi dan habitat. Penelitian ini

bertujuan untuk (1) mengidentifikasi karakteristik komponen habitat preferensial
bagi tarsius belitung, (2) menyusun model spasial habitat preferensial tarsius
belitung berdasarkan komponen habitat tersebut.
Identifikasi keberadaan tasius ditandai dari pantulan mata, identifikasi bau
urine, informasi dari masyarakat dan identifikasi berdasarkan kesesuaian habitat.
Lokasi keberadaan tarsius kemudian diukur seluruh komponen habitatnya yang
meliputi: jenis, tinggi dan dimater pohon perjumpaan, kerapatan tajuk/Leaf Area
Index (LAI), keberadaan satwa lain, kerapatan vegetasi tiap tingkat pertumbuhan,
ketinggian dan kelerengan tempat, suhu permukaan, bioclimate/bioiklim, jarak
dari tepi hutan, jarak dari jalan dan jarak dari permukiman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tarsius belitung memiliki preferensi
terhadap karakteristik habitat yang berada pada tipe tutupan lahan pertanian lahan
kering dan semak, dekat dengan tepi hutan (0 - 874 m), dekat dengan jalan (0 –
403 m), dekat dengan permukiman (0 -1849 m), berada pada ketinggian 1 - 142 m
dpl, kelas kelerengan datar dan landai, nilai LAI berkisar 0.83-2.46, suhu
permukaan 24-250C, serta pada habitat yang hangat dan curah hujan yang tinggi.
Model persamaan yang diperoleh untuk model spasial habitat preferensial tarsius
belitung adalah Y= 0.513 + 0.113PC1- 0.031PC2 dengan Nagelkerke (R2) sebesar
0.704 (70.4%). Hasil pemodelan spasial habitat tarsius belitung menunjukkan
bahwa habitat yang paling disukai tarsius hanya sekitar 1058 ha (7.83%), habitat

yang disukai sekitar 1449 ha (10.73%), dan habitat yang kurang disukai sekitar
10998 ha (81.44%).

Kata kunci: habitat, model spasial, preferensi habitat, tarsius belitung, tarsius

SUMMARY
FIFIN FITRIANA. Spatial Modeling of Habitat Preference for Belitung Tarsier
(Cephalopachus bancanus saltator Elliot.1910) on Belitung Island. Supervised by
LILIK BUDI PRASETYO and AGUS PRIYONO KARTONO.
.
Belitung tarsier is one of endemic tarsier in Belitung Island and as
landmark animal of Bangka Belitung Porvince. International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) categorized belitung
tarsier as threatened species due to high habitat fragmentation by deforestation.
Conservation efforts of tarsier in Belitung still less and limited due to lack of
studies of this species. Study of spatial model of habitat preference is important to
explore the ecology of belitung tarsier. We expect this study could support
conservation effort to manage habitat and population of belitung tarsier and to
develop spatial model of habitat preference of belitung tarsier based on its habitat
components.

Identification of existence of tarsier can be detetcted by eye reflection,
urine odor detection, local people information and its proper habitat. All
component of habitat in point of tarsier distribution then be measured, such as:
species, height, tree diameter, canopy density/leaf area index, presence of other
animals, vegetation density in all life stages, elevation and slope, surface
temperature, bioclimate, distance from forest edge, distance from road and
distance from village.
The result of this study showed that belitung tarsier has preference to
habitat characteristics wich located in the dry farmland and shrubs, close to the
forest edge (0-874 m), close to the road (0-404 m) and close to the village ( 0 1849 m). Belitung tarsier also is prefer to exist on elevation 1 – 242 m asl, slope
slighty, LAI 0.83 – 2.46, with surface temperature 24- 25 0C, warm habitat and
high intensity of rainfall. From these result we obtain the model of spatial model
of habitat preference of belitung tarsier is Y= 0.513 + 0.113 PC1 - 0.031PC2 with
Negelkerke (R2) 0.704 (70.4%). Then this model showed that the most favorable
habitat for belitung tarsier about 1058 ha from total study area (7.83%), favorable
habitat about 1449 ha (10.73%) and less favorable about 10998 ha (81.44%).
Keywords: belitung tarsies, habitat, habitat preference, spatial modeling, tarsier

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MODEL SPASIAL HABITAT PREFERENSIAL TARSIUS
BELITUNG (Cephalopachus bancanus saltator Elliot, 1910)
DI PULAU BELITUNG

FIFIN FITRIANA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji Luar pada Ujian Sidang Tesis : Dr Ir Entang Iskandar, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
berjudul Model Spasial Habitat Preferensial Tarsius Belitung (Cephalopachus
bancanus saltator Elliot, 1910) di Pulau Belitung yang dilaksanakan sejak bulan
Maret hingga Mei 2016.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Lilik Budi
Prasetyo, MSc dan Bapak Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi selaku pembimbing,
serta Bapak Dr Ir Entang Iskandar, MSi selaku penguji luar pada sidang tesis.
Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Budi, Kak Fatwa, Bang Salman,
Bang Saiful, Mas Dana, Mas Tarmizi, Keluarga Bang Salman, Keluarga Ibu
Sujani, Keluarga Bapak Samsir yang telah banyak membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,

suami serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2017
Fifin Fitriana

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi
Preferensi Habitat
Perilaku
Teknologi GIS pada Satwa Liar

Pemodelan Spasial Habitat
3 METODE
Lokasi dan Waktu
Alat dan Bahan
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Titik Tarsius Belitung
Karakteristik Habitat Preferensial Tarsius Belitung
Analisis Komponen Utama
Model Spasial Habitat Preferensial Tarsius Belitung
5. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

ii
ii

iii
1
1
2
3
3
3
3
4
5
6
6
7
7
7
8
13
17
17
19

33
36
41
41
41
41
46
73

DAFTAR TABEL
1 Kritera yang diukur pada metode Neu (1974)
2 Tujuan peneltian, metode pengumpulan data, peubah yang diukur,
pengolahan dan analisis data
3 Tipe tutupan lahan dan sebaran titik tarsius
4 Perjumpan tarsius berdasarkan jenis tumbuhan
5 Rekapitulasi perhitungan indeks preferensi terhadap variabel LAI
6 Sepuluh jenis vegetasi tingkat pohon yang memiliki kerapatan tertinggi
di lokasi penelitian
7 Sepuluh jenis vegetasi tingkat tiang yang memiliki kerapatan tertinggi
di lokasi penelitian

8 Sepuluh jenis vegetasi tingkat pancang yang memiliki kerapatan
tertinggi di lokasi penelitian
9 Sepuluh jenis vegetasi tingkat semai yang memiliki kerapatan tertinggi
di lokasi penelitian
10 Rekapitulasi perhitungan indeks preferensi terhadap variabel ketinggian
tempat ditemukannya tarsius
11 Rekapitulasi perhitungan indeks preferensi terhadap variabel kelas
kelerengan
12 Rekapitulasi perhitungan indeks preferensi terhadap variabel suhu
13 Rekapitulasi perhitungan indeks preferensi terhadap variabel jarak dari
tepi hutan
14 Rekapitulasi perhitungan indeks preferensi terhadap variabel jarak
dengan jalan
15 Rekapitulasi perhitungan indeks preferensi terhadap variabel jarak
dengan permukiman
16 Rentang kelas setiap variabel bioiklim yang disukai tarsius
17 Keragaman total komponen utama
18 Vektor ciri PCA
19 Component Transformation Matrix
20 Kelas preferensi habitat tarsius belitung
21 Validasi tiap kelas preferensi habitat tarsius

14
17
18
20
22
23
23
24
24
26
27
28
29
30
30
31
33
34
34
37
38

DAFTAR GAMBAR
1 Morfologi tarsius belitung
2 Peta lokasi pengambilan data
3 Desain pengukuran kerapatan vegetasi tiap tingkat pertumbuhan dan
penentuan titik pengambilan data LAI
4 Tahapan pembuatan peta bioiklim
5 Tahapan pembuatan peta kerapatan tajuk/ LAI
6 Tahapan pembuatan peta ketinggian dan kelas kelerengan
7 Tahapan pembuatan peta jarak dari tepi hutan, jarak dari jalan dan jarak
dari permukiman
8 Tahapan pembuatan peta habitat preferensial tarsius belitung

4
7
9
11
11
12
12
16

9 Peta sebaran titik tarsius di berbagai tutupan lahan
10 Perjumpaan tarsius berdasarkan famili tumbuhan
11 a) Tarsius menggendong anaknya b)Tarsius melepas anaknya c) Anak
tarsius
12 Foto hemispherical pada lokasi perjumpaan tarsius di beberapa tipe
tutupan lahan (a) permukiman (b) hutan kering sekuder (c) pertanian
lahan kering dan semak
13 Kerapatan vegetasi tiap tingkat pertumbuhan
14 Kondisi hutan lahan kering sekunder di (a) HL Gunung Tajam (b)
perkebunan masyarakat
15 Tarsius memakan (a) burung madu (b) cicak hutan
16 (a) dan (b) kondisi jalan di lokasi penelitian
17 Beberapa tumbuhan yang berbunga (a) nasi-nasi (Syzygium buxifolium)
(b) tenam (Psychotria viridiflora) (c) kermuntingan (Rhodomyrtus
tomentosa) (d) jemang (Rhodamnia cinerea)
18 Posisi berbagai faktor variabel habitat tarsius
19 Peta habitat preferensial tarsius belitung di HL Gunung Tajam
20 Peta habitat preferensial tarsius belitung di Pulau Belitung
21 Kondisi vegetasi ditemukannya tarsius (a) sebelum ditebang (b) setelah
ditebang

18
19
21

21
23
25
26
30

33
35
37
39
40

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Daftar jenis tumbuhan di lokasi penelitian
Hasil analisis pemilihan habitat tarsius di setiap variabel
Hasil analisis preferensial tarsius pada variabel bioiklim
Hasil analisis regresi LAI & NDVI
Hasil Analisis Komponen Utama (PCA)
Hasil analisis regresi linear penyusun model habitat preferensial tarsius
belitung
7 Koordinat titik penyusun model
8 Koordinat titik validasi model
9 Peta variabel penyusun model habitat preferensial tarsius belitung

47
50
54
56
57
63
64
65
66

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tarsius adalah salah satu anggota famili Tarsiidae yang hanya terdapat di
Indonesia, Philiphina dan Malaysia. Groves & Shekelle (2010) menyatakan
terdapat 18 jenis tarsius yang terbagi dalam tiga genus yaitu genus Tarsius di
Sulawesi dan sekitarnya, genus Cephalopachus di Kalimantan, Sumatera bagian
selatan, Pulau Bangka Belitung dan Kepulauan Natuna, serta genus Carlito untuk
di bagian selatan Philiphina dan pulau-pulau sekitanya. Tarsius belitung
(Cephalopachus bancanus satator) merupakan salah satu dari empat sub spesies
Cephalopachus bancanus yang endemik di Pulau Belitung (Shekelle 2008,
Groves & Shekelle 2010) dan menjadi satwa identitas Provinsi Bangka Belitung
berdasarkan Keputusan Mendagri No:522.53-958/2010. Tarsius belitung memiliki
perbedaan dengan sub spesies lainnya yaitu secara morfologi memiliki rambut
tidak terlalu lebat dan warna punggung cenderung keabuan, serta tidak
mengeluarkan suara panggilan duet pada pagi hari (Fogden 1974, Yustian 2007).
Kepadatan tarsius belitung di Pulau Belitung hanya sekitar 19-46 individu/km2
(Yustian et al. 2009). Populasi tarsisus diduga akan semakin berkurang karena
berbagai ancaman, baik pada populasi maupun habitatnya. Ancaman utama
terhadap kelestarian tarsius belitung adalah dari kegiatan pertambangan dan
perkebunan, terutama sawit (Yustian et al. 2009). Adanya perubahan tutupan
hutan yang dulunya mendominasi tutupan lahan di Pulau Belitung menjadi area
tambang dan area perkebunan akan mempengaruhi habitat alami tarsius belitung.
Habitat alami tarsius belitung akan terfragmentasi menjadi kantong-kantong
habitat yang terisolasi. Indrawan et al. (2012) menyatakan bahwa satwa yang
berada di habitat yang terisolasi akan terdorong pada fenomena kepunahan.
Terlebih lagi, sampai saat ini belum ada kawasan konservasi di Pulau Belitung
(Supriatna et al. 2000).
Status konservasi tarsius berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang
Liar Tahun 1931 dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 merupakan satwa
yang dilindungi. Pada tahun 2000 oleh International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources (IUCN) tarsius belitung digolongkan menjadi
satwa dengan kategori Data Deficient karena masih minimnya data, kemudian
pada tahun 2006 status konservasi tarsius ditingkatkan menjadi Endangered.
Perubahan status tersebut didasarkan pada luas wilayah habitat tarsius yang hanya
4800 km2 dengan tingginya fragmentasi habitat akibat deforestasi (IUCN 2015).
Adanya berbagai kategori status konservasi tersebut mengindikasikan bahwa
tarsius belitung merupakan satwa terancam punah dan perlu upaya konservasi
untuk melestarikan jenisnya.
Upaya konservasi yang dilakukan terhadap tarsius dapat dimulai dengan
melakukan perlindungan habitat. Alikodra (2002) menyatakan bahwa
keberhasilan satwa bertahan hidup dan meningkatkan populasinya tergantung
pada kesesuaian habitat dengan kondisi spesifik yang dibutuhkannya. Kesesuaian
habitat tarsius dapat diidentifikasi melalui pereferensi tarsius terhadap komponen
habitat. Preferensi habitat adalah penggunaan habitat terpilih yang tidak
proporsional dengan ketrersediaan habitat (Krausman 1999). Beberapa spesies

2
memilih suatu habitat yang memiliki sumberdaya sesuai dengan kebutuhan
hidupnya (Moris 1987). Akan tetapi kebutuhan hidup satwa liar tersebut pada
umumnya tidak tersebar secara merata di seluruh lingkungan sehingga dapat
diasumsikan bahwa satwaliar akan menyukai beberapa habitat tertentu
dibandingkan habitat lainnya. Penelitian terkait habitat preferensial tarsius
belitung belum pernah dilakukan sebelumnya. Disisi lain, informasi tersebut
sangat dibutuhkan untuk memberikan gambaran secara spesifik mengenai
komponen habitat yang berpengaruh penting terhadap keberadaan tarsius belitung.
Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan untuk mengkaji komponen habitat yang
mendorong tarsius belitung dalam memilih habitat yang disukai melalui
pemodelan spasial habitat dengan bantuan GIS. Clark et al. (2008) menyatakan
sistem informasi geografis (GIS) dapat menjadi alat untuk mendapatkan informasi
faktor-faktor habitat yang penting bagi suatu spesies melalui pemodelan. Adapun
pemodelan spasial habitat satwa liar merupakan suatu analisis hubungan kompleks
antara beberapa variasi faktor lingkungan yang tersedia, yang merupakan
kabutuhan hidup dari satwa liar dalam bentuk geografis (Coop & Catling 2002).
Seiring perkembangan aplikasi GIS bagi satwa liar, penelitian pemodelan spasial
habitat pada satwa liar terutama primata semakin banyak dilakukan karena
memberikan abstraksi atau penyederhanaan dari kondisi kesesuaian habitat satwa
liar yang dapat menjadi dasar yang tepat dalam menentukan kebijakan untuk
upaya pelestarian. Beberapa penelitian pemodelan spasial yang telah dilakukan
antara lain untuk monyet hitam sulawesi (Indrawati 2010), owa jawa (Kadhafi
2011) dan orangutan kalimantan (Fitriana 2013). Penelitian pemodelan spasial
habitat untuk tarsius belitung terutama preferensi habitat belum pernah dilakukan.
Model spasial habitat preferensial tarsius belitung diharapkan dapat memberikan
informasi tentang preferensi habitat bagi tarsius belitung, selain itu juga dapat
diperoleh informasi terkait kantong-kantong habitat tarsius belitung yang tersisa
sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pendugaan kepadatan populasi
serta sebagai dasar manajemen populasi dan habitiat.
Perumusan Masalah
Tarsius belitung merupakan salah satu dari 18 jenis tarsius yang terdapat di
Indonesia, Phiiliphina dan Malaysia serta termasuk ke dalam jenis primata
endemik dan langka (Shekelle 2008, Groves & Shekelle 2010). Pemerintah
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah menjadikan tarsius sebagai satwa
identitas Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berdasarkan Keputusan Mendagri
No:522.53-958/2010, namun kebijakan tersebut tidak diiringi dengan upaya
konservasi yang ditandai dengan tidak terdapatnya area konservasi untuk
melindungi tarsius belitung di Provinsi tersebut (Supriatna et al. 2002). Upaya
Pemerintah untuk mengurangi kegiatan pertambangan dan perkebunan sawit yang
merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup tarsius belitung masih minim.
Keberadaan tarsius di alam sangat penting. Secara ekologi tarsius dapat membantu
menjaga keseimbangan ekosistem karena tarsius merupakan satwa insektivora
atau pemakan serangga (Lowing et al. 2013).
Upaya konservasi sangat dibutuhkan untuk menjamin kelestarian jenis
tarsius belitung. Salah satunya dengan mengetahui kondisi populasi dan habitat,
mengingat kondisi habitat tarsius selalu berubah karena aktivitas penggunaan

3
lahan oleh manusia. Penelitian tarsius belitung masih sedikit jika dibandingkan
dengan tarsius di Sulawesi, Kalimantan maupun Philipina. Penelitian tarsius
belitung di alam hanya pernah dilakukan oleh Yustian (2007) yang menduga
populasi dan wilayah jelajah. Penelitian habitat terlebih preferensi habitat belum
pernah dilakukan, sedangkan informasi preferensi habitat sangat diperlukan untuk
mengetahui karakteristik komponen habitat yang disukai tarsius sebagai dasar
manajemen habitat tarsius belitung.
Dalam penelitian Yustian (2007) dinyatakan bahwa Citra Landsat yang
digunakan untuk menduga populasi tarsius belitung adalah Citra Landsat tahun
2000, sehingga kepadatan tersebut bisa berubah seiring dengan perubahan lahan
yang menjadi habitat tarsius belitung. Pemodelan spasial habitat menggunakan
citra terbaru yang didasarkan pada komponen habitat preferensial akan dapat
memberikan gambaran informasi yang lebih baik tentang habitat tarsius belitung,
sehingga dapat digunakan sebagai dasar manajemen populasi dan habiat tarsius
belitung.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan
dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana karakteristik komponen habitat preferensial tarsius belitung?
2. Bagaimana model spasial habitat preferensial tarsius belitung?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari studi karakteristik habitat preferensial tarsius belitung adalah :
1. Mengidentifikasi karakteristik komponen habitat preferensial bagi tarsius
belitung.
2. Menyusun model spasial habitat preferensial tarsius belitung berdasarkan
komponen habitat tersebut.
Manfaat Penelitian
Manfaat spesifik dari hasil penelitian adalah sebagai berikut :
1. Tersedianya data dan informasi tentang karakteristik komponen habitat
preferensial bagi tarsius belitung.
2. Model spasial habitat preferensial tarsius belitung yang disusun dapat
digunakan sebagai acuan dalam manajemen populasi dan habitat tarsius
belitung.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi
Tarsius belitung merupakan salah satu dari empat sub spesies
Cephalopachus bancanus (Gurski et al. 2008). Groves (2010) menyebutkan
empat sub spesies Cephalopachus bancanus diantaranya adalah Cephalopachus
bancanus bancanus penyebarannya di Sumatera selatan dan Pulau Bangka,
Cephalophacus bancanus saltator penyebarannya di Pulau Belitung,
Cephalophacus bancanus borneanus penyebarannya di Pulau Kalimantan dan

4
Cephalophacus bancanus natunensis penyebarannya di Pulau Natuna selatan.
Tarsius belitung mempunyai ciri-ciri dan perilaku yang berbeda dengan jenis
tarsius lainnya. Anak jenis saltator memiliki rambut yang cenderung kurang lebat
dan bagian punggunya lebih berwarna gelap. Tarsius belitung memiliki ciri sexual
dimorphisme. Jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar daripada betina.
Panjang tubuh pada tarsius belitung dewasa adalah jantan 121.4-123 mm (4.284.33 inch) dan betina 101.2-108.5 mm (3.6-3.8 inch) (Yustian 2007). Bentuk
morfologi tarsius belitung disajikan pada Gambar 1.
Ga

Gambar 1 Morfologi tarsius belitung
Preferensi Habitat
Habitat adalah serangkaian komunitas biotik yang ditempati oleh binatang
atau populasi kehidupan (Bailey 1984). Habitat merupakan komponen kunci yang
sangat penting bagi kelangsungan hidup satwaliar. Faktor utama komponen
habitat satwaliar adalah pakan, air, ruang dan karakteristik struktur. Ketersediaan
pakan merupakan pembatas yang paling dominan bagi sejumlah spesies. Beberapa
spesies akan memilih suatu habitat yang memiliki sumberdaya yang sesuai dengan
kebutuhan nutrisinya, akan tetapi kebutuhan hidup satwaliar tersebut pada
umumnya tidak tersebar secara merata di seluruh lingkungan sehingga sangat
beralasan untuk mengasumsikan bahwa satwaliar akan menyukai beberapa habitat
tertentu dibanding lainnya.
Petrides (1975) mendefinisikan habitat yang disukai sebagai suatu tapak
yang ditempati atau ditemukan satwaliar lebih sering dibanding dengan seluruh
tapak atau habitat yang tersedia. Pemilihan habitat merupakan suatu hal yang
penting bagi satwaliar karena mereka dapat bergerak secara mudah dari satu
habitat ke habitat lainnya untuk mendapatkan makanan, air, reproduksi atau
menempati tempat baru yang menguntungkan. Beberapa spesies satwaliar
menggunakan habitat secara selektif dalam rangka meminimumkan interaksi
negatif (seperti predasi dan kompetisi) dan memaksimumkan interaksi positif
(seperti ketersediaan mangsa). Pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan
oleh tiga hal, yakni: ketersediaan mangsa (pakan), menghindari pesaing dan
menghindari predator. Menurut Cody (1964), evolusi preferensi habitat ditentukan

5
oleh struktur morfologi, perilaku, kemampuan memperoleh makanan dan
perlindungan.
Tarsius memiliki preferensi khusus untuk melangsungkan kehidupannya
(Qiptayah & Setiawan 2012, Qiptiyah et al. 2010). Yustian (2007) dalam
penelitiannya terhadap tarsius belitung menunjukkan bahwa kelimpahan populasi
tarsius belitung di Gunung Tajam pada kawasan hutan sekunder dengan
perkebunan lada berskala kecil sebanyak 0.11 ekor/ha sedangkan pada kawasan
hutan sekunder yang dikelilingi oleh perkebunan sawit adalah 0.17 ekor/ha.
Tarsius memiliki preferensi terhadap faktor penyusun habitat baik biotik maupun
fisik, diantaranya adalah preferensi tarsius terhadap jenis pohon tertentu untuk
beraktivitas. Tarsius spectrum di CA Tangkoko menggunakan pohon jenis Ficus
sp sebagai pohon sarang (Lowing et al. 2013) dan Tarsius tarsier di CA
Tangkoko menggunankan rumpun bambu terutama bambu berduri (Bambusa
multiflex) sebagai tempat bersarang (Wirdateti & Dahrudin 2008). Tarsius juga
memiliki preferensi ketinggian tertentu pada pohon untuk melakukan aktivitas.
Sinaga et al. (2009) menyatakan bahwa ketinggian pohon tidur atau sarang tarsius
adalah antara 0 - 20 m di atas permukaan tanah serta lebih tergantung pada jenis
tumbuhan. Merker (2006) melaporkan bahwa tarsius biasa meloncat pada cabang
dan anakan pohon dengan diameter antara 1 – 4 cm. MacKinnon & MacKinnon
(1980) melaporkan bahwa tarsius membutuhkan cabang pohon dengan diameter
kecil (< 4 cm) terutama untuk berburu dan menjelajah, diameter sedang (4 – 8 cm)
terutama digunakan untuk istirahat dan menandai daerah jelajah (home range),
sedangkan diameter >8 cm juga digunakan untuk istirahat dan menandai daerah
jelajah (home range) meskipun tidak sebanyak diameter sedang. MacKinnon &
MacKinnon (1980) juga menyatakan bahwa selain diameter pohon, tingkat
kerapatan pohon dan tutupan tajuk pohon juga berpengaruh terhadap keberadaan
tarsius.
Preferensi tarsius terhadap faktor fisik dapat terlihat dari pemilihan tarsius
di Pulau Selayar yang menggunakan topografi datar hingga kemiringan 17.63%
pada hutan pantai dan pada hutan pegunungan dengan topografi landai hingga
kemiringan 36.39% sebagai strategi berlindung dari predator (Wirdateti &
Dahruddin 2008). Supriatna & Wahyono (2000) menyatakan tarsius dapat hidup
pada ketinggian yang bervariasi tergantung pada jenisnya, mulai dari dataran
rendah sampai ketinggian 2200 m dpl. Tarsius membutuhkan kawasan dengan
vegetasi beragam untuk tempat mencari pakan. Pada beberapa penelitian tarsius
sering dijumpai di perbatasan hutan, seperti perbatasan antara hutan primer
dengan hutan sekunder dan perbatasan antara hutan sekunder dengan ladang atau
perkebunan karena lokasi tersebut memiliki jenis dan jumlah serangga yang relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya.
Perilaku
Tarsius merupakan satwa insectivora yaitu memiliki pakan utama
serangga. Beberapa jenis serangga utama sebagai pakan tarsius, seperti kumbang,
belalang, jangkrik, kupu-kupu, ngengat, semut, rayap dan kecoa. Ngengat, kupu–
kupu dan jangkrik merupakan sumber makanan penting bagi C.bancanus dan
T.spectrum di alam (Sumiyarni 2005). Selain itu tarsius juga memakan cicak,
mencit, ular kecil dan burung kecil (Sesa et al. 2014). Komposisi pakan

6
C.bancanus adalah 35% sejenis kumbang, 21% semut, 16% belalang, 10%
tonggeret, 8% kecoa, dan 10% binatang bertulang belakang seperti burung, ular
dan kelelawar (Supriatna 2000). Berdasarkan Sesa et al. (2014) diketahui jumlah
serangga yang berpotensi sebagai pakan tarsius sebanyak 14 spesies dari 20 famili.
Tarsius belitung memiliki sistem perkawinan monogami tinggal bersama
keturunannya dalam suatu teritorial. Teritori ditandai dengan urin yang baunya
khas. Nietmietz (1979) menyatakan bahwa bau dengan urin dikenal sebagai
komponen penting dalam perilaku tersius. Sistem monogami memiliki komposisi
sex ratio antara jantan dan betina adalah 1:1 (Yustian 2007). Siklus hidup tarsius
hanya 16 tahun. Tarsius belitung berbeda dengan jenis tarsius lain. Tarsius
belitung tidak mengeluarkan suara duet dipagi hari seperti tarsius di Sulawesi
(Fogden 1974).
Teknologi GIS pada Satwaliar
Perkembangan teknologi spasial dalam bidang konservasi telah
berkembang pesat. Saat ini, teknologi GIS tidak hanya digunakan untuk
perlindungan bentang alam dan hutan tetapi juga untuk satwaliar didalamnya.
Clark et al. (2008) menunjukkan bahwa implementasi GIS pada satwaliar
memiliki beberapa manfaat diantaranya yaitu, menunjukkan distribusi spasial,
menggambarkan penggunaan habitat satwaliar termasuk homerange dan overlap,
menunjukkan adanya perpindahan populasi, menganalisis hubungan antara
satwaliar dan habitatnya serta menganalisa rencana konservasi terhadap bentang
alam yang digunakan oleh satwaliar.
Pemodelan Spasial Habitat
Model diartikan sebagai abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang
sebenarnya (Darsihardjo 2004). Model juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk
yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses (Muhammad et al. 2001).
Semakin sederhana dan mewakili kenyataan, maka model tersebut semakin baik.
Bentuknya dapat berupa model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra
(gambar, komputerisasi, grafis), atau rumusan matematis. Setiap model keputusan
berisi variabel-variabel keputusan. Solusi model merupakan nilai numerik
(Muhammad et al. 2001). Dalam konteks model keputusan kuantitatif, keputusankeputusan diwakili oleh bilangan-bilangan keputusan berdasarkan atas evaluasi
dari data numerik. Menurut Muhammad et al. (2001) model kuantitatif
mendasarkan pada data numerik. Sifat model terdiri dari deterministik (data sudah
diketahui secara pasti tingkat kevalidannya) dan probabilistik (sejumlah data
masih tidak pasti kevalidannya). Pemodelan kesesuaian habitat satwaliar
merupakan suatu analisis hubungan kompleks antara beberapa variasi faktor
lingkungan yang tersedia, yang merupakan kabutuhan hidup dari satwaliar dalam
bentuk geografis (Coop & Catling 2002). Model kesesuaian habitat diperlukan
sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan tentang pengelolaan,
menjelaskan manfaat relatif teknik-teknik mitigasi, evaluasi metode restorasi, dan
membantu dalam evaluasi dampak habitat (Korman et al. 1994).

7

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Hutan Lindung Gunung Tajam dan
di area berhutan di dalam perkebunan masyarakat Kelekak Datuk yang terletak di
Dusun Kelekak Datuk, Desa Badau, Kecamatan Badau, Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung. Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 3 bulan dari
bulan Maret s/d Mei 2016. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Peta lokasi pengambilan data
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi:
1. GPS (Global Positioning System)
10. Waterpass
2. Kamera digital
11. Kompas
3. Haga hypsometer
12. Meteran
4. Phi band
13. Tali Rafia
5. Tallysheet
14. ArcGis ver. 10.2.
6. Alat tulis
15. ERDAS Imagine ver. 9.1.
7. Headlamp
16. SPSS ver 16.
8. Kertas label
17. HemiView ver 2.1
9. Kamera FishEye Lens
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi Citra Landsat 8
OLI 09 Agustus 2016 path 122 row 62, peta tutupan lahan BAPLAN 2014, Peta
Rupa Bumi Indonesia (RBI) dan peta DEM Pulau Belitung.

8
Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data keberadaan
tarsius (presence) dan data karakteristik habitat. Data keberadaan tarsius
ditentukan berdasarkan perjumpaan langsung, tanda-tanda sekunder seperti bau
urine serta informasi dari masyarakat. Data karakteristik habitat ditentukan
berdasarkan faktor-faktor lingkungan baik biotik dan abiotik yang menjadi
kebutuhan hidup maupun ancaman keberadaan tarsius belitung.
Keberadaan Tarsius Belitung
Metode yang digunakan untuk menentukan keberadaan tarsius adalah
metode eksplorasi/jelajah yaitu dengan mencari tarsius di lokasi – lokasi yang
diduga terdapat tarsius. Keberadaan tarsius dapat ditandai dengan pantulan cahaya
merah dari mata tarsius dan dari bau urine tarsius yang digunakan untuk menandai
wilayah jelajahnya. Tarsius belitung tidak memiliki tapetum lucidum namun mata
tarsius belitung dapat memantulkan cahaya merah bila tekena sinar pada jarak 4 –
50 m. Identifikasi keberadaan tarsius belitung tidak dapat dilakukan melalui suara
karena tarsius di Belitung tidak mengeluarkan suara seperti tarsius yang berada di
Sulawesi (Fogden 1974). Pengambilan data di lapang dilakukan pada waktu aktif
tarsius yakni pada malam hari 19:00 – 22:00 WIB. Tarsius melakukan
aktivitasnya mulai sore hari sampai pagi hari, yang dipengaruhi oleh faktor dari
dalam seperti rasa takut/gelisah dan lapar sedangkan faktor dari luar seperti
keadaan cuaca, habitat, serta kemampuan kelompok dalam mempertahankan
wilayahnya (Mumbunan 1998). Tarsius yang dijumpai dicatat jumlah individu
serta aktivitasnya, kemudian posisinya ditandai dengan GPS dan selanjutnya
dilakukan pengukuran karakteristik habitat. Perjumpaan tarsius secara tidak
langsung yaitu melalui bau urine dan informasi masyarakat ditandai posisinya
dengan menggunakan GPS.
Sebaran Tarsius
Sebaran pemanfaatan tarsius di berbagai tipe tutupan lahan diperoleh
melalui overlay titik keberadaan tarsius dengan peta tutupan lahan BAPLAN 2014.
Karakteristik Habitat Preferensial Tarsius
Variabel yang diukur ditentukan berdasarkan analisis karakterisitik habitat
dengan meninjau faktor-faktor biotik dan abiotik keberadaan tarsius belitung.
Karakteristik komponen biotik habitat
1) Jenis tumbuhan yang digunakan oleh tarsius
Tumbuhan yang digunakan tarsius pada saat perjumpaan langsung
diidentifikasi jenis dan familinya. Identifikasi jenis pohon dibantu oleh
penduduk setempat.
2) Ketinggian tarsius di pohon pada saat ditemukan (m)
Alat yang digunakan adalah haga hypsometer dengan membidik posisi
keberadaan tarsius dan membidik pangkal pohon pada jarak yang sesuai

9

3)

4)

5)

6)

dengan skala 5 m, 20 m, 25 m, atau 30 m. Kemudian membaca hasil
pengukuran dengan menghitung jumlah atau selisih dari kedua pembacaan
tersebut sesuai posisi kaki pohon dari mata pengukur.
Diameter setinggi dada (DBH) pohon yang digunakan tarsius (m)
Diameter setinggi dada diukur dengan menggunakan phi-band pada
ketinggian 1.3 m dari permukaan tanah.
Kerapatan tajuk (Leaf Area Index)
Pengambilan data LAI dilakukan di setiap petak pengukuran kerapatan
vegetasi. Nilai LAI diperoleh melalui analisis foto dari kamera Fisheye Lense
dengan menggunkan software Hemiview ver 2.1 kemudian nilai tersebut
diregresikan dengan nilai NDVI. Desain pengambilan data LAI disajikan pada
Gambar 3.
Keberadaan satwa lain (predator dan kompetitor)
Kompetisi dan predasi dianggap sebagai salah satu faktor yang berperan
penting dalam penggunaan habitat oleh organisme. Pengumpulan data
keberadaan satwa lain akan dilakukan melalui pengamatan langsung di lapang,
dianalisis secara deskriptif sebagai penggambaran langsung dari hasil
pengamatan di lapangan.
Kerapatan vegetasi setiap tingkat pertumbuhan (individu/ha)
Pengukuran kerapatan vegetasi setiap tingkat pertumbuhan dimaksudkan
untuk mengetahui karakteristik vegetasi tiap tingkat pertumbuhan di sekitar
lokasi perjumpaan tarsius. Penentuan kerapatan tiap tingkat pertumbuhan
dilakukan dengan membuat petak pengamatan 20 m x 20 m untuk tingkat
pohon, petak 10 m x 10 m untuk tingkat tiang, petak 5 m x 5 m untuk tingkat
pancang dan petak 2 m x 2 m untuk tingkat semai. Petak tersebut akan
diletakkan di sekitar titik perjumpaan dengan tarsius. Desain pengukuran
kerapatan vegetasi tingkat pohon disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Desain pengukuran kerapatan vegetasi tiap tingkat pertumbuhan dan
penentuan titik pengambilan data LAI

Karakteristik komponen fisik habitat
1) Ketinggian tempat ditemukannya tarsius di atas permukaan laut (m dpl)
Ketinggian tempat dibuat dari peta Digital Elevation Model (DEM)
Pulau Belitung yang diunduh dari data USGS.

10
2) Kelas kelerengan (%)
Identifikasi kelas kelerengan dibuat melalui peta Digital Elevation
Model (DEM) dengan software ArcGis 10.2.
3) Suhu permukaan (0C)
Pengukuran suhu dilakukan melalui analisis Citra Landsat 8 OLI 09
Agustus 2016 path 122/ row 62 band 10 dan band 11.
4) Jarak dari tepi hutan (m)
Jarak dari tepi hutan dibuat dari ekstraksi peta tutupan tahun 2014 lahan
kemudian dianalisis dengan Euclidean distance.
5) Jarak dari jalan (m)
Jarak dari jalan dibuat dari peta jaringan jalan yang dianalisis dengan
Euclidean distance.
6) Jarak dari Permukiman
Jarak dari permukiman dibuat dari ekstraksi peta tutupan lahan tahun 2014,
kemudian dianalisis dengan Euclidean distance.
7) Bioclimate/Bioiklim
Bioclimate/bioiklim merupakan variabel iklim yang diperoleh dari suhu
dan nilai-nilai curah hujan yang sering digunakan untuk pemodelan distribusi
spesies dan terkait dengan pemodelan ekologi sehingga suatu variabel lebih
dapat menjelaskan secara biologis (O’Donnel & Ignizio 2016). Peta bioiklim
terdiri dari 19 variabel bioiklim yang diunduh dari www.worldclim.org. Peta
hasil unduhan memiliki resolusi 1kmx1km, sehingga dilakukan perubahan
resolusi menjadi 30mx30m dengan cara interpolasi kriging agar bisa dianalisis
lebih lanjut. Proses pembuatan peta bioklim dengan interpolasi kriging
disajikan pada Gambar 4. Peta bioiklim hasil interpolasi kemudian dianalisis
multikolinieritas dengan keseluruhan variabel pembangun model, sehingga
dari 19 variabel bioiklim yang digunakan untuk membangun model spasial
habitat preferensial tarsius belitung hanya 7 variabel yaitu Bio-3 (isothermal)
yakni kuantifikasi perubahan suhu sehari semalam yang berosilasi relatif
terhadap osilasi tahunan, Bio-4 (Temperature Seasonality) yaitu suhu
musiman yang berguna untuk mengetahui variasi suhu setiap musim, Bio-5
(Max Temperature of Warmest Month) yaitu suhu maksimum di bulan
terpanas yang berguna untuk mengetahui pengaruh anomali suhu hangat
sepanjang tahun terhadap distribusi spesies, Bio-7 (Temperature Annual
Range) yaitu ukuran variasi suhu selama periode waktu tertentu yang berguna
untuk memeriksa pengaruh suhu ekstrim terhadap distribusi spesies, Bio-12
(Annual Precipitation) yaitu curah hujan tahunan yang berguna untuk
memastikan ketersediaan air untuk distribusi spesies, Bio-13 (Precipitation of
Wettest Month) yaitu curah hujan pada bulan terbasah yang berguna untuk
mengetahui pengaruh distribusi spesies terhadap curah hujan ekstrim, dan Bio18 (Precipitation of Warmest Quarter) yaitu curah hujan dalam tiga bulan
terpanas yang dapat berguna untuk memeriksa pengaruh faktor lingkungan
terhadap distribusi spesies (O’Donnel & Ignizio 2016).

11
Pembangunan Data Spasial
Pembangunan data spasial diperlukan untuk membuat peta habitat
preferensial tarsius belitung. Adapun proses pembuatan peta pada setiap variabel
adalah sebagai berikut:
DownGrid Peta Bioiklim
Masing-masing peta variabel bioiklim yang telah diunduh dilakukan
penurunan resolusi dari 1km x 1km menjadi 30m x 30m dengan cara interpolasi
kriging. Tahapan pembuatan peta bioiklim disajikan pada:
:
Koreksi
geometri

Peta Bio 1-19
(1kmx1km)

Raster to
point

kriging

Peta bioiklim 1-19 (30mx30m)

Gambar 4 Tahapan pembuatan peta bioiklim
Pembuatan peta kerapatan tajuk/ LAI (Leaf Area Index)
Peta kerapatan tajuk diperoleh dari nilai LAI hasil Hemispherical
Photography yang dihubungkan dengan peta NDVI menggunakan analisis regesi.
Adapun peta NDVI diperleh melalui Citra landsat 8 OLI 09 Agustus 2016 path
122 row 62 yang diolah menggunakan software ERDAS 9.1. Tahapan pembuatan
peta kerapatan tajuk disajikan pada Gambar 5:
Citra Landsat8

Foto Hemispirical

Koreksi
geometrik

Hemiview

model maker
(Erdas imagine 9.1)

Peta NDVI

regresi

Peta LAI
Gambar 5 Tahapan pembuatan peta kerapatan tajuk/ LAI
Pembuatan peta ketinggian dan peta kelas kelerengan
Peta ketinggian dan kemiringan lereng dibuat dari data peta DEM resolusi
30m x 30m menggunakan software ArcGis 10.2. sehingga menghasilkan peta
ketinggian dan kemiringan lereng digital yang diinginkan. Tahapan pembuatan
peta ketiggian dan kelerengan disajikan pada Gambar 6 berikut ini:

12
Digital Elevation Model
(DEM)

Slope

Peta ketinggian

Peta kelas
kelerengan

Gambar 6 Tahapan pembuatan peta ketinggian dan kelas kelerengan
Pembuatan peta Buffer
Peta buffer ditujukan untuk membuat peta jarak dari tepi hutan, jarak dari
jalan dan jarak dari permukiman yang diperoleh dengan melakukan analisis
euclidean distance pada ArcGIS 10.2. Tahapan pembuatan buffer adalah sebagai
berikut Gambar 7:
Peta tutupan lahan
Peta jaringan jalan

Spatial
Analyst

Euclidean
Distance

Reclassify

Peta jarak dari tepi hutan,
Jarak dari permukiman
Jarak dari jalan.

Gambar 7 Tahapan pembuatan peta jarak dari tepi hutan, jarak dari
jalan dan, jarak dari permukiman
Pembuatan peta suhu permukaan
Peta sebaran suhu diperoleh dengan melakukan dua tahapan konversi.
Pertama, mengestimasi nilai suhu permukaan dengan menggunakan band 10, Citra
Landsat 8 OLI 09 Agustus 2016 path 122 row 62 pada ERDAS imagine 9.1 untuk
dikonversi menjadi nilai radiasi. Berdasarkan USGS (2015) persamaan yang
digunakan adalah Lλ = MLQcal + AL, dengan Lλ = Radiasai spektral ; ML =

Multiplicative rescaling factor band 10 (3,3420 × 10-4); Qcal = Digital Number ; AL =
Additive rescaling factor band 10 (0,1000).

Selanjutnya, dilakukan konversi radial spektral untuk mengetahui nilai
suhu permukaan dalam satuan kelvin. Konversi nilai dari Kelvin menjadi Celcius
adalah dengan mengurangi nilai suhu sebanyak 273 derajat. Sedangkan konversi
radiasi spektral menjadi nilai suhu digunakan persamaan sebagai berikut (USGS
2015) :

λ

Keterangan: T = Suhu Efektif (K); K2 = Konstanta Kalibrasi 2 (1321,08); K1 = Konstanta
Kalibrasi 1 (774,89); Lλ = Radiasai spektral.

13
Metode Analisis Data
Analisis Multikolinieritas
Analisis multikolinieritas dilakukan pada data raster tiap variabel untuk
mencegah adanya kolonieritas antar variabel. Analisis multikolinieritas dilakukan
dengan menganalisis peta variabel ke dalam Band Collection Statistic di ArcGis
ver 10.2.
Klasifikasi Setiap Variabel
Pembuatan kelas setiap variabel didasarkan pada aturan Sturge’s (Sturge’s
Rule) yaitu:
K = 1+3.3log(n)
dimana k adalah jumlah kelas dan n adalah jumlah titik model, Adapun
lebar kelas setiap variabel dianalisis sebagai berikut:

Keterangan: L= lebar kelas; Xmax= nilai maksimum; Xmin= nilai minimum; k=jumlah
kelas

Analisis Pemilihan Habitat
Ostle (1963) dalam Neu (1974) menyatakan bahwa salah satu cara yang
berguna dalam penentuan validitas statistik dari pemanfaatan tersedianya data
adalah dengan melakukan uji chi-square untuk hipotesis apakah satwaliar
menggunakan habitat atau mencari makan dalam proporsi ketersediaan habitatnya.
Pemilihan habitat oleh tarsius diukur mengguanakan fungsi-fungsi seleksi
sumberdaya (Manly et al. 2002). Pengujian signifikansi menggunakan uji Chisquare (X2) (Johnson & Bhattacharyya 1992) dengan rumus sebagai berikut:

Hipotesis null (Ho) yang diuji adalah tarsius tidak melakukan seleksi dalam
menempati suatu habitat. Adapun kaidah keputusannya adalah menolak Ho jika
nilai
lebih besar daripada
pada taraf uji
Analisis Preferensi Habitat
Pendugaan rentang kelas disetiap variabel yang paling disukai dilakukan
dengan pendekatan pendekatan Metode Neu (indeks preferensi). Metode Neu
merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan indeks
preferensi habitat oleh satwa (Neu et al. 1974). Jika nilai indeks preferensi lebih
dari 1 (w≥1) maka habitat tersebut disukai, sebaliknya jika kurang dari 1 (w0.5.
5. Mengidentifikasi eigenvalue untuk mengetahui kepentingan relatif masingmasing faktor dalam menghitung varians dari ketujuh variabel yang dianalisis.
6. Regresi dari komponen baru yang terbentuk terhadap variabel Y untuk
mengetahui persamaan nilai masing-masing PC pada setiap varian data.
Sehingga persamaan model preferensialnya adalah :
Y= α+β1X1+ …+βnXn
Keterangan: Y = Frekuensi relatif kehadiran tarsius di suatu tutupan lahan; α
= Konstanta; β n = Bobot masing-masing PC ; Xn = PC
Semua analisis statistik dilakukan dengan menggunakan data model
sebanyak 70% atau 52 titik dan 30% atau 23 titik digunakan untuk validasi model.
Peta habitat preferensial tarsius dibuat dengan menggunakan perangkat lunak
ArcGis 10,2. ArcGis menggabungkan semua informasi yang ada (variablevariabel lingkungan yang berpengaruh nyata) ke dalam sebuah peta kesesuaian
(Syartinilia & Tsuyuki, 2008). Tingkat preferensial habitat ditentukan berdasarkan
pada tiga kategori yaitu kurang disukai, disukai dan Paling disukai. Penentuan
batas kategori mengacu pada distribusi data dengan batas kategori sebagai berikut
berikut:
Min - (mean+Std. Dev) = Kurang disukai
(Max IKHI) - (Max IKHI+ 0.5 Std) = Disukai
(Max IKH2) - Max = Paling disukai

Validasi Model
Validasi model berguna untuk menujukkan apakah model dapat diterima
dan dapat diekstrapolasi di kawasan lain atau tidak. Sebanyak 70 % data
pengamatan digunakan sebagai data untuk menyusun model, sedangkan 30 %
sisanya digunakan untuk keperluan validasi model. Apabila nilai validasi lebih
dari 85% dari kelas paling disukai dan disukai maka model dikatakan layak.
Persamaan untuk memvalidasi model adalah sebagai berikut:

Validasi =
Keterangan: n = jumlah titik presence yang ada pada satu klasifikasi kesesuaian
N = jumlah total titik presence hasil survey

16
Peta Habitat Preferensial Tarsius Belitung

Tahapan pembuatan peta habitat preferensial tarsius belitung disajikan
pada Gambar 8.

Gambar 8 Tahapan pembuatan peta habitat preferensial tarsius belitung.
Ekstrapolasi Model
Ekstrapolasi model dilakukan di seluruh wilayah Pulau Belitung. Hal ini
untuk memberikan gambaran mengenai bagian-bagian kawasan Pulau Belitung
yang sesuai untuk habitat dan penyebaran tarsius belitung. Model yang telah
terbentuk dari analisis PCA kemudian diekstrapolasikan ke seluruh kawasan
Pulau Belitung. Berdasarkan tujuan dari penelitian, secara ringkas metode
pengumpulan, pengolahan dan analisis data disajikan pada Tabel 2.

17
Tabel 2 Tujuan peneltian, metode pengumpulan data, peubah yang diukur,
pengolahan dan analisis data
Tujuan
Penelitian

Metode
Peubah yang diukur
Pengumpulan
Data
Mengidentifikasi  Studi
 Faktor biotik: jenis
komponen
pustaka
pohon
yang
habitat
 Survey
digunakan
oleh
preferensial
Lapang
tarsius, ketinggian
tarsius belitung.  Mengunduh
tarsius di pohon,
data
dari
DBH
pohon
www.worldc
perjumpaan, LAI,
lim.org dan
kelimpahan pakan,
keberadaan satwa
www.earthe
lain,
kerapatan
xplorer.usgs.
vegetasi.
gov
 Faktor
fisik:
ketinggian, slope,
suhu, bioiklim 119, jarak dari hutan,
jarak dari jalan, dan
jarak
dari
permukiman
Menyusun
 Data survey  Ketinggian, slope,
model
spasial
lapang dan
suhu, Bio-3, Bio-4,
habitat
studi
Bio-5, Bio-7, Biopreferensial
pustaka
12, Bio-13, Bio-18,
tarsius belitung
jarak dari hutan,
jarak
dari
permukiman, LAI

Metode pengolahan dan
analisis data
 Analisis
multikolinieritas pada
raster
(Band
collection statistic)
 Pengkelasan
setiap
variabel
(Sturge’s
rule)
 Analisis
pemilihan
habitat (Johnson &
Bhattacharyya 1992)
 Analisis
preferensi
habitat ( Neu et al.
1974)
 Analisis deskriptif
 Analisis
Vegetasi
(Soeriaegara
dan
Indrawan 1988)
 Analisis multivariate
dengan PCA
 Analisis spasial dari
hasil PCA
 Validasi model
 Ekstrapolasi model

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Titik Tarsius
Sebanyak 75 titik teridentifikasi dari pengambilan data di lapang yang
terdiri dari 30 titik perjumpaan langsung dan 45 titik perjumpaan tidak langsung.
Titik perjumpaan tidak langsung terdiri dari 14 titik informasi masyarakat dan 31
titik dari identifikasi bau urine tarsius. Tarsius ditemukan pada dua tipe tutupan
lahan dari tujuh tipe tutupan lahan yang telah diklasifikasikan oleh Pusat
Perpetaan Kehutanan Badan Planologi Kehutanan (BAPLAN) tahun 2014 yaitu
pada tutupan lahan hutan kering sekunder serta pertanian lahan kering dan sem