Synthesis Of Nanosilica From Boiler Ash Sugar Cane Industry Use Ultrasonication Method With Surfactant Addition

SINTESIS NANOSILIKA DARI ABU KETEL INDUSTRI
GULA MENGGUNAKAN METODE ULTRASONIKASI
DENGAN PENAMBAHAN SURFAKTAN

ERSYAD MAFQUH

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sintesis Nanosilika dari
Abu Ketel Industri Gula Menggunakan Metode Ultrasonikasi dengan Penambahan
Surfaktan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015
Ersyad Mafquh
NIM F34110106

ABSTRACT

ERSYAD MAFQUH. Synthesis of Nanosilica from Boiler Ash Sugar Cane Industry
Use Ultrasonication Method with Surfactant Addition. Under the guidance of
NASTITI SISWI INDRASTI and ANDES ISMAYANA
Boiler ash from sugar industry contains silica compounds that could be
synthesized into nanosilica by ultrasonication method. The addition of surfactants in
this synthesis method could affected the characteristics of nanosilica. This research
aims to synthesize nanosilica with ultrasonication method and determine the effect of
surfactants against characteristics of nanosilica generated, as well as provide
information related to the potential application in accordance with the characteristics
of the resulted nanosilica. This research is divided into three stages, namely, boiler
ash preparation into furnace ash, silica extraction from furnace ash, and synthesis of

nanosilica using ultrasonication method with surfactant addition, namely PEG 6000
1:5, CMC 2.5% (b/b), CMC 5% (b/b), CMC 10% (b/b), and Tween 80 3% (b/v).
Silica in the boiler ash and furnace ash respectively were 49.69% and 78.75%.
Nanosilica that produced were multiphase compound and had the characteristics of a
high degree of crystallinity with range of 75-85%. Addition of surfactant with a
certain type as PEG 6000, CMC, and Tween 80 could affected both of the particle
size, value of PDI (Polidispersity Index), amount of crystalline phase, diffraction
pattern, diffraction peaks, intensity of the diffraction peaks, degrees of crystallinity,
crystal size, and silanol-siloxanes functional bounds on nanosilica. The resulted
nanosilica potentially could be applied as a filler on various products.
Keywords : boiler ash, furnace ash, nanosilica, ultrasonication, surfactants

ABSTRAK

ERSYAD MAFQUH. Sintesis Nanosilika dari Abu Ketel Industri Gula
Menggunakan Metode Ultrasonikasi dengan Penambahan Surfaktan. Dibawah
bimbingan NASTITI SISWI INDRASTI dan ANDES ISMAYANA
Abu ketel industri gula memiliki kandungan silika yang dapat disintesis
menjadi nanosilika dengan metode ultrasonikasi. Penambahan surfaktan pada sintesis
nanosilika dengan metode ulttrasonikasi dapat mempengaruhi karakteristik

nanosilika yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan sintesis
nanosilika dengan metode ultrasonikasi dan mengetahui pengaruh penambahan
surfaktan terhadap karakteristik nanosilika yang dihasilkan, serta memberikan
informasi terkait potensi aplikasi yang sesuai dengan karakteristik nanosilika yang
dihasilkan. Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu preparasi abu ketel menjadi
abu tanur, ekstraksi silika dari abu tanur, dan sintesis nanosilika menggunakan
metode ultrasonikasi dengan penambahan surfaktan PEG 6000 1:5, CMC 2.5% (b/b),
CMC 5% (b/b), CMC 10%, (b/b) dan Tween 80 3% (b/v). Kadar silika dalam abu
ketel dan abu tanur secara berturut-turut adalah 49.69% dan 78.75%. Nanosilika

yang dihasilkan menggunakan metode ultrasonikasi dengan penambahan surfaktan
merupakan senyawa multifase dan memiliki karakteristik derajat kristalinitas yang
tinggi, yaitu pada rentang 75-85%. Penambahan surfaktan PEG 6000, CMC, dan
Tween 80 dapat mempengaruhi baik ukuran partikel, nilai PDI (Polidispersity
Index), jumlah fase kristal, pola difraksi, puncak difraksi, intensitas puncak difraksi,
derajat kristalinitas, ukuran kristal, dan gugus fungsi silanol-siloksan pada
nanosilika. Nanosilika yang dihasilkan berpotensi untuk diaplikasikan sebagai bahan
pengisi pada berbagai produk.
Kata kunci : abu ketel, abu tanur, nanosilika, ultrasonikasi, surfaktan


SINTESIS NANOSILIKA DARI ABU KETEL INDUSTRI
GULA MENGGUNAKAN METODE ULTRASONIKASI
DENGAN PENAMBAHAN SURFAKTAN

ERSYAD MAFQUH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya

sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan sejak Januari 2015 sampai April 2015 ini ialah nanopartikel, dengan
judul Sintesis Nanosilika dari Abu Ketel Industri Gula Menggunakan Metode
Ultrasonikasi dengan Penambahan Surfaktan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti dan
Dr. Ir, Andes Ismayana, MT selaku pembimbing. Di samping itu teman seperjuangan
dalam penelitian Sasongko Setyo Utomo, Mega Erin Setiyawati, Aji Wibowo, dan
Novi Dian Ruri Erlinda yang selalu mendukung dan memberikan penyemangat
kepada penulis. Ucapan terimakasih juga diucapkan untuk rekan-rekan TIN 48, ayah,
ibu, serta keluarga, atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

Ersyad Mafquh

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR GRAFIK

DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Alat
Bahan
Tahapan Penelitian
Preparasi Abu Ketel
Ekstraksi Silika dari Abu Tanur
Sintesis Nanosilika dengan Metode Ultrasonikasi
Karakterisasi Abu Ketel dan Abu Tanur
Karakterisasi Nanosilika
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Abu
Sintesis Nanosilika

Analisis Ukuran Partikel
Analisis Difraktogram XRD
Analisis Gugus Fungsi
Potensi Aplikasi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

ix
ix
ix
ix
1
1
2
2
3
3

3
3
3
3
4
4
5
6
6
7
7
7
8
10
12
14
16
18
18
19

19
21

DAFTAR TABEL
1 Kandungan senyawa abu ketel dan abu tanur PG Gunung Madu Plantation
2 Ukuran nanopartikel silika
3 Derajat kristalinitas nanosilika yang dihasilkan
4 Karakteristik nanosilika dan potensi aplikasinya

8
11
13
18

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir proses preparasi abu ketel
2 Diagram alir proses sintesis silika dari abu tanur
3 Diagram alir proses sintesis nanosilika metode ultrasonikasi
4 Teori Hot Spot kavitasi akustik
5 Distribusi ukuran nanosilika (A) tanpa template, (B) PEG 6000, (C1)

CMC 10%, (C2) CMC 5%, (C3) CMC 2.5%, dan (D) tween 80
6 Pola difraksi nanosilka (A) tanpa template, (B) PEG 6000, (C1) CMC 10%,
(C2) CMC 5%, (C3) CMC 2.5%, dan (D) tween 80
7 Spektra FTIR dari nanosilika a) tanpa template, b) PEG 6000, c) CMC dan
d) Tween 80

4
5
6
9
11
14
15

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Silika adalah suatu polimer anorganik yang tersusun atas unsur silikon dan
oksigen dengan rumus kimia SiO2. Silika merupakan suatu senyawa anorganik yang

sering digunakan dalam kehidupan manusia karena memiliki banyak potensi
pemanfaatan yang luas, seperti insulator termal, penyangga katalis, adsorben,
penghantar obat, bahan pengisi pada gelas, kaca, dan bahan baku pembuatan sel
surya (Gurav et al 2009). Silika dapat disintesis dari berbagai sumber di alam,
khususnya dari pertanian. Beberapa sumber silika dari kegiatan pertanian antara lain,
seperti abu sekam padi (Thuadaij dan Nuntiya 2008; Suka et al 2008), abu cangkang
sawit (Pausa et al 2015), abu boiler dari industri pulp dan kertas (Purwati et al 2007),
dan abu ketel dari industri gula (Affandi et al 2009).
Abu ketel atau abu pembakaran bagas pada industri gula merupakan salah
satu sumber potensial mineral silika. Abu ketel adalah hasil perubahan secara fisik
dari pembakaran bagas murni. Bagas merupakan zat padat dari tebu yang diperoleh
sebagai hasil samping proses pengolahan tebu pada industri gula. Bagas umumnya
dimanfaatkan sebagai sumber energi utama untuk menghasilkan uap air. Hasil dari
pembakaran bagas tersebut berupa abu pembakaran atau biasa disebut abu ketel
(Affandi et al 2009). Menurut Affandi et al (2009), senyawa kimia abu ketel yang
dominan adalah SiO2 (silika), yaitu sebesar 50.36% . Oleh karena itu, abu ketel dapat
dimanfaatkan untuk disintesis partikel silikanya sehingga dapat mengurangi
penumpukan limbah padat pada industri gula dan meningkatkan nilai tambah dari
abu ketel.
Pemanfaatan silika dapat diperluas dengan meningkatkan karakteristiknya.
Salah satu cara untuk meningkatkannya adalah dengan melakukan sintesis silika
dalam ukuran nano. Nanopartikel adalah partikel padat dengan ukuran sekitar 10–
1000 nm (Tiyaboonchai 2003; Mohanraj dan Chen 2006). Nanopartikel memiliki
sifat yang khas seperti luas permukaan yang besar, jumlah atom dipermukaan yang
besar, energi permukaan dan tegangan permukaan yang tinggi sehingga banyak
diminati karena memiliki ukuran partikel yang sangat kecil (Thassu et al 2007).
Salah satu metode pembentukan nano partikel adalah dengan menggunakan
metode ultrasonikasi. Metode tersebut memanfaatkan efek kavitasi yang dihasilkan
dari gelombang ultrasonikasi yang merambat dalam medium cair (Lidiniyah 2011;
Safitri 2012; Kurniawan 2013). Menurut Siswanto et al (2012), metode ultrasonikasi
tersebut dapat menghasilkan partikel dengan kristalinitas tinggi. Hal ini diharapkan
dapat mengubah karakter partikel silika dari abu bagas yang memiliki fase amorf
(Affandi et al 2009). Kelebihan dari metode ini dibandingkan metode yang
umumnya sudah digunakan, seperti presipitasi, adalah kemampuan dalam
merekayasa karakteristik nanosilika menjadi kristal dan waktu sintesis yang relatif
lebih cepat (Safitri 2012; Kurniawan 2013). Ultrasonikasi pada cairan memiliki
berbagai faktor yang dapat berpengaruh, seperti frekuensi, tekanan, viskositas, dan
konsentrasi (Safitiri 2012). Pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan
Ismayana (2014), peluang terbentuknya partikel nanosilika dilakukan dengan
menggunakan metode ultrasonikasi dengan lama waktu 2 jam, frekuensi 20kHz, dan
amplitudo 40%.

2

Kendala yang umumnya terjadi pada sintesis nanopartikel adalah
ketidakseragaman ukuran partikel dan cepatnya proses aglomerasi dari partikel
tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya perlakuan khusus pada proses sintesis
nanopartikel, salah satunya yaitu dengan menambahkan surfaktan. Surfaktan dapat
menurunkan tegangan permukaan suatu cairan saat terjadi proses kavitasi sehingga
mampu mendispersikan suatu larutan secara sempurna dan menstabilkan partikel
sehingga tidak terjadi aglomerasi (Lidiniyah 2011). Adapun surfaktan yang
digunakan pada penelitian ini ada 3 jenis, yaitu PEG 6000, CMC (Carboximethyl
cellulose), dan Tween 80.
PEG 6000 merupakan pembawa inert yang mudah larut air. Sifat kristalin
PEG 6000 yang dominan dengan membentuk habit sferulit yang sangat teratur.
Komponen molekul-molekul dalam kisi kristal PEG 6000 (suhu lebur yang lebih
rendah) secara dinamis melakukan pertukaran tempat. PEG 6000 juga merupakan
polimer kristalin dengan tingkat kesimetrian yang tinggi (Gao 1993). CMC
(Carboxymethylcellulose) pada umumnya digunakan sebagai stabilizer, pengental,
dan emulsifier (Lestari et al 2013). Tween 80 adalah cairan seperti minyak, jernih,
berwarna kuning muda sampai coklat muda, bau khas lemah, rasa pahit dan hangat.
Tween 80 rumus molekulnya C64H124O26. Kelarutannya sangat mudah larut dalam
air, larutan tidak berbau dan praktis tidak berwarna, larut dalam etanol dan etil asetat
tapi tidak larut dalam minyak mineral. Tween 80 digunakan sebagai agen pengemulsi
(1-15% konsentrasi), agen pelarut (1-10% konsentrasi), agen wetting,
dispersi/suspensi (0.1-3% konsentrasi) dan sebagai surfaktan non-ionik (Tarirai
2005).

Perumusan Masalah
Parameter lama waktu, amplitudo, frekuensi, dan daya yang digunakan pada
metode ultrasonikasi merupakan parameter yang sangat berpengaruh dalam
mensintesis nanosilika. Pada penelitian terdahulu, diketahui bahwa waktu yang
optimal dalam membentuk nanosilika adalah 120 jam untuk amplitudo 40%,
frekuensi 20 kHz, dan daya 130 watt. Selain parameter tersebut, penggunaan
template surfaktan dalam sintesis nanosilika menjadi parameter yang berpengaruh
terhadap keseragaman ukuran partikel dan derajat kristalinitas nanosilika yang
dihasilkan. Setiap surfaktan yang digunakan memiliki kemampuan yang berbeda.
Variasi konsentrasi surfaktan yang digunakan akan menunjukkan perbedaan dan
menghasilkan sifat serta ciri nanosilika yang khas. Sifat dan ciri dari nanosilika yang
dihasilkan akan disesuaikan terhadap potensi aplikasi yang mendukung.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis nanosilika menggunakan metode
ultrasonikasi dengan penambahan surfaktan PEG 6000, CMC (Carboxymethyl
Cellulose), dan Tween 80, mengetahui pengaruh penambahan surfaktan terhadap
nanosilika yang dihasilkan, serta memberikan informasi terkait karakter nanosilika
untuk mengetahui pengaplikasian dari nanosilika yang dihasilkan.

3

Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan ilmu pengetahuan baru mengenai sintesis
nanosilika dari abu ketel industri gula menggunakan metode ultrasonikasi dengan
penggunaan surfaktan. Ilmu pengetahuan baru tersebut mengenai pengaruh jenis
surfaktan terhadap sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan. Manfaat lainnya bagi
institusi, skripsi ini dapat dijadikan karya ilmiah dengan inovasi metodenya.

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik dan Manajemen
Lingkungan, Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Laboratorium Pengawasan Mutu,
dan Laboratorium Teknik Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian Fateta
IPB, serta Laboraturium Departemen Fisika FMIPA IPB. Beberapa analisis dan
karakterisasi dilakukan di Laboratorium Analisis Bahan Departemen Fisika FMIPA
IPB, Laboratorium Nanotech Herbal Indonesia, Laboratorium Biofarmaka IPB, dan
Laboratorium Terpadu Balitbang Kehutanan Gunung Batu Bogor. Penelitian
dilakukan dari bulan Januari hingga April 2015.

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanur, peralatan refluks, dan
ultrasonikator. Adapun peralatan analisis meliputi PSA (Particle Size Anayzer)
Vasco, XRF (X-Ray Fliorescence) ARL OPTX-2050, XRD (X-Ray Diffractometer)
GBC Emma, dan FTIR (Fourier Transform Infrared).

Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah abu ketel yang diperoleh
dari Pabrik Gula Gunung Madu Plantation (GMP), PEG 6000, CMC (Carboximethyl
cellulose), dan Tween 80.

Tahapan Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu preparasi abu
ketel, ekstraksi silika dari abu tanur, sintesis nanosilika menggunakan metode
ultrasonikasi, dan karakterisasi abu serta nanosilika yang dihasilkan.

4

Preparasi Abu Ketel
Preparasi dilakukan untuk membersihkan abu ketel dari kotoran dan bahan
asing. Abu ketel dari industri gula dicuci menggunakan air aquades. Kemudian
dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 ˚C selama 5 jam. Setelah itu, abu ketel
disaring menggunakan saringan kasar dan diabukan pada suhu 700 ˚C selama 6 jam
menggunakan tanur (Thuadaij dan Nuntiya 2008). Berikut adalah diagram alir proses
preparasi abu ketel yang ditunjukkan oleh Gambar 1.
Mulai

Abu Ketel
Pencucian
Pengeringan
Penyaringan
Pengabuan
Abu Tanur
Selesai
Gambar 1 Diagram alir proses preparasi abu ketel

Ekstraksi Silika dari Abu Tanur
Pada tahapan ini, basis yang digunakan adalah abu tanur sebanyak 10 gram.
Abu tanur direfluks dalam 80 ml NaOH 3 N selama 3 jam. Larutan disaring dengan
kertas saring dan residu dicuci menggunakan 20 ml air aquades mendidih. Filtrat
didinginkan sesuai suhu ruang. Kemudian ditambahkan H2SO4 5 N hingga pH
menjadi 2 dan dilanjutkan dengan penambahkan NH4OH 2.5 N hingga pH menjadi
8.5. Penambahan senyawa asam dan basa tersebut dilakukan dengan menggunakan
peralatan magnetic stirrer. Kemudian dibiarkan dalam suhu ruang selama 3.5 jam,
dan selanjutnya dikeringkan pada suhu 105 ˚C selama 12 jam (Thuadaij dan Nuntiya
2008; Ismayana 2014). Berikut adalahdiagram alir proses sintesis silika dari abu
tanur yang ditunjukkan oleh Gambar 2.

5

Mulai
10 Gram Abu Tanur
Ekstraksi

NaOH 3 N

Penyaringan
Pengaturan pH
NH4OH 2.5N
sampai pH 8-9

H2SO4 5N
sampai pH 2

Penetralan

Aging
Pengeringan
Silika
Selesai
Gambar 2 Diagram alir ekstraksi silika dari abu tanur

Sintesis Nanosilika dengan Metode Ultrasonikasi
Tahap selanjutnya adalah pembuatan nanosilika dengan metode ultrasonikasi.
Metode ultrasonikasi dilakukan dengan menggunakan panjang gelombang 20 KHz,
daya 130 watt, amplitudo 40% dan lama waktunya 120 jam. Silika yang dihasilkan
didispersikan terlebih dahulu dengan surfaktan. Surfaktan yang digunakan pada
penelitian ini adalah PEG 6000 dengan rasio 1:5 (Delmifiana dan Astuti 2013), CMC
dengan konsentrasi 2.5%, 5%, dan 10% (b/b), dan tween 80 3% (Safitri 2012).
Adapun penggunaan surfaktan CMC dilakukan dengan tiga konsentrasi yang
berbeda, yaitu sebesar 10%, 5%, dan 2.5% (b/b). Hal ini dikarenakan belum terdapat
penelitian yang menggunakan CMC dalam pembentukan nanopartikel, sehingga
dilakukan optimasi dalam pemakaiannya di penelitian ini.
Cara penambahan tiap jenis surfaktan tidak sama. Pada jenis surfaktan yang
bersifat mudah larut dalam air di suhu ruang, seperti CMC dan Tween 80, surfaktan
dilarutkan terlebih dahulu dalam air dengan perbandingan 1:8 (b/v). Setelah
terbentuk larutan, kemudian silika dilarutkan ke dalam larutan tersebut. Sementara
itu, pada jenis surfaktan yang bersifat semi kristalin dan memiliki titik leleh yang
tinggi, seperti PEG 6000, perlu adanya perlakuan pemanasan di suhu titik lelehnya.
Setelah PEG 6000 mencair, kemudian silika dilarutkan dalam PEG cair tersebut
dengan perbandingan 1:5. Pelarutan dibantu dengan menggunakan magnetic stirrer
selama 15 menit agar silika dapat terdispersi secara baik dalam larutan tersebut.
Larutan yang telah ditambahkan surfaktan diultrasonikasi menggunakan
ultrasonic bath untuk memecah partikel silika menjadi partikel nano. Larutan hasil
ultrasonikasi dikeringkan dengan oven 1050C selama 24 jam, kemudian dikalsinasi

6

dalam tanur pada suhu 750ºC (Thuadaij dan Nuntiya 2008; Delfimiana dan Astuti
2013). Selain membuat sampel dengan penambahan surfaktan, dibuat pula sampel
kontrol yang tidak menggunakan surfaktan pada proses sintesis nanosilika. Berikut
adalah diagram alir proses sintesis nanosilika dengan metode ultrasonikasi dan
penambahan surfaktan yang ditunjukkan oleh Gambar 3.
Mulai
Silika
Pencampuran
Tanpa
template

PEG 6000
(1:5)

CMC
5% (b/b)

CMC
10% (b/b)

Ultrasonikasi

Ultrasonikasi

Pengeringan

Pengeringan

Nanosilika

CMC
2,5% (b/b)

Tween 80
3% (b/v)

Kalsinasi
Nanosilika

Selesai

Selesai
Gambar 3 Diagram alir proses sintesis nanosilika metode ultrasonikasi

Karakterisasi Abu Ketel dan Abu Tanur
Abu ketel dan abu tanur dikarakterisasi terlebih dahulu guna mengetahui
perbedaan kandungan masing-masing abu. Kandungan senyawa dan elemen dari abu
ketel dan abu tanur dianalisis menggunakan XRF (X-Ray Fliorescence) ARL OPTX2050 yang dioperasikan dengan arus 10 mA tegangan 50 kV. Sebanyak 5 gram
sampel dipindai dan dikalibrasikan sesuai energi dan intensitasnya. Analisis unsur
dari Na hingga U dengan detektor Si (Li) (Sintilation).

Karakterisasi Nanosilika
Karakterisasi nanosilika yang dihasilkan dilakukan dengan analisis PSA
(Particle Size Analyzer), XRD (X-Ray Diffraction), dan FTIR (Fourier Transform
Infrared). PSA digunakan untuk menganalisis ukuran partikel dan distribusi ukuran
partikel. PSA yang digunakan bertipe Vasco. Analisis dilakukan dengan mengambil
sampel nanosilika sebanyak 0.002 gram yang didispersikan dalam 100 ml aquades.

7

Pedispersian sampel dibantu dengan menggunakan magnetic stirrer selama 20 menit.
Analisis partikel nanosilika dilakukan selama 2-10 menit.
XRD digunakan untuk menganalisis ukuran kristal, derajat kristalinitas, dan
fase Kristal. XRD yang digunakan bertipe GBC Emma yang dioperasikan pada 35
kV dan 25 mA. XRD GBC Emma menggunakan radiasi Cu-Kα dengan panjang
gelombang (λ) 1.54056 Å. Difraktogram dipindai mulai 10˚ sampai 80˚ (2θ) dengan
laju pemindaian 3˚ per menit.
Pola difraksi dan fase kristal diidentifikasi dan dihitung kemurniannya
melalui pencocokkan dengan kartu PDF (Powder Diffraction File) menggunakan
software Match! 2. PDF [96-900-0076] merupakan kartu PDF dari fase quartz. PDF
[96-900-0521] merupakan kartu PDF dari fase tridimit dan PDF [96-900-1579]
merupakan kartu PDF dari fase kristobalit.
Pembentukan gugus fungsi pada sintesis nanosilika dianalisis menggunakan
FTIR bertipe Tensor 37 (Bruker Optics). Sampel nanosilika sebanyak 2 mg
ditambahkan 200 mg KBr untuk dibentuk menjadi pelet. Kemudian pelet dianalisis
menggunakan FTIR.

Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif kualitatif. Menurut Hasan (2002), analisis deskriptif mempelajari alat,
teknik, atau prosedur yang digunakan dalam menggambarkan atau mendeskripsikan
sekumpulan data atau hasil pengamatan yang telah dilakukan. Analisis deskriptif
berhubungan dengan hal menguraikan atau memberikan keterangan mengenai suatu
data atau keadaan. Dengan kata analisis deskriptif berfungsi menerangkan keadaan,
gejala, atau persoalan. Penarikan kesimpulan pada analisis deskriptif (jika ada) hanya
ditujukan pada kumpulan data yang ada. Analisis deskriptif yang didapatkan berupa
hasil gambar atau grafik yang diperoleh dari pengolahan data uji melalui perhitungan
menggunakan excell.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Abu
Abu ketel yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan nanosilika pada
penelitian ini diambil dari Pabrik Gula Gunung Madu Plantation (GMP). Pabrik
GMP ini memiliki kapasitas produksi sebesar 12000 TCD (Ton Cane per day). Dari
produksi tersebut, terdapat limbah padat berupa bagas atau ampas tebu sebanyak 3034% dari total tebu yang digiling. Sebanyak 27% dari total bagas tersbut
dimanfaatkan untuk bahan bahkan boiler (ketel) dan sisanya umumnya digunakan
sebagai pupuk organik. Adapun hasil dari pembakaran bagas sebagai bahan bakar
boiler tersebut mengkonversi bagas menjadi abu ketel dengan persentase sebanyak
1.5-2% (Ismayana 2014).

8

Pada hasil karakterisasi abu ketel, diketahui bahwa kandungan silika SiO2
mencapai 49.69% dan masih terdapat banyak bahan pengotor lainnya, seperti Al2O3,
K2O, P2O5, Na2O, CaO, MgO, Fe2O3, SO3, dan TiO2. Hasil karakterisasi
menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence) terhadap abu ketel dan abu tanur Pabrik
Gula Gunung Madu Plantation ditunjukan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan senyawa abu ketel dan abu tanur
No
Senyawa
Abu Ketel (%)
Abu Tanur (%)
SiO2
1
49.69
78.75
Al2O3
2
11.24
10.36
K2 O
3
8.76
1.80
P2O5
4
8.14
0
Na2O
5
7.00
0.206
CaO
6
4.95
0.886
MgO
7
3.59
1.06
Fe2O3
8
3.23
5.37
SO3
9
1.63
0
TiO2
10
0.790
0.622
Abu tanur yang dihasilkan secara visual menjadi berwarna coklat keabuabuan dari warna semula hitam. Kadungan yang ada dalam abu pun menjadi lebih
spesifik karena banyak kandungan yang tereduksi akibat proses pemanasan pada
suhu 7000C. Kadar silika pada abu menjadi 78.75%. Hal ini terjadi setelah
perhitungan terhadap persentase abu tanur sehingga diketahui bahwa persentase
kandungan silika dalam abu meningkat. Selain itu, terdapat pula senyawa kandungan
dalam abu yang persentase kadarnya menurun. Adapun senyawa pengotor tersebut
ikut tereduksi dan kadarnya menjadi lebih kecil, bahkan ada diantaranya yang tidak
terdeteksi lagi, seperti senyawa P2O5 dan SO3. Data tersebut menunjukkan bahwa
senyawa organik dan mineral lainnya menurun atau bahkan hilang saat suhu 7000C
karena titik lebur dari senyawa-senyawa tersebut berada dibawah suhu 7000C. Silika
memiliki titik lebur sekitar 1600-17000C sehingga tidak mengalami penurunan
jumlah akibat pengabuan suhu 7000C.

Sintesis Nanosilika
Silika diekstraksi dari abu ketel industri gula yang terlebih dahulu
dihilangkan senyawa pengotornya. Kemudian abu disintesis menjadi silika melalui
metode yang dikemukakan oleh Thuadaij dan Nuntiya (2008), serta Ismayana
(2014). Dari metode tersebut, diperoleh natrium silikat (Na2SiO3). Na2SiO3
merupakan senyawa prekursor untuk membentuk silika. Berikut adalah reaksi yang
terjadi pada saat abu ditambahkan basa menjadi senyawa prekursor.
SiO2 + 2NaOH  Na2SiO3 + H2O
Pembuatan nanosilika pada penelitian ini dilakukan menggunakan metode
ultrasonikasi dan penambahan surfaktan. Ultrasonik merupakan spektrum suara yang

9

memiliki frekuensi sangat tinggi antara 20 kHz-10 MHz. Prinsip dari metode
ultrasonikasi adalah pemanfaatan fenomena kavitasi akustik yang terjadi akibat
rambatan getaran suara yang dihasilkan terhadap mediumnya. Fenomena kavitasi
yaitu pembentukan, pertumbuhan, dan pecahnya gelembung yang terbentuk dalam
medium cairan (Schroeder et al 2009). Fenomena ini mampu membangkitkan
gelembung atau rongga (cavity) di dalam medium cairan tersebut. Ketika gelombang
ultrasonik menjalar pada medium, terjadi siklus regangan dan rapatan. Tekanan yang
turun mengakibatkan terjadinya regangan sehingga terbentuk gelembung yang akan
menyerap energi dari gelombang ultrasonik dan gelembung tersebut dapat memuai
sampai ukuran maksimum yang akhirnya akan pecah. Pecahnya gelembung tersebut
dapat mengakibatkan terjadinya kondisi ekstrem yaitu kenaikan suhu lokal mencapai
suhu 5000 K serta kenaikan tekanan yang mencapai 1000 atm dengan kecepatan
pemanasan sampai pendinginan >1010 K/s. Kondisi ini menyebabkan terjadinya
pemutusan ikatan kimia yang disebut dengan teori Hot Spot (Schroeder et al 2009).
Gambar 5 berikut adalah ilustrasi yang menunjukkan teori Hot Spot. Fenomena
inilah yang dimanfaatkan untuk mereduksi partikel yang dilarutkan dalam cairan
antara lain melalui proses tumbukan antar partikel hingga diperoleh partikel
berukuran nanometer (Lidiniyah 2011).

Gambar 4 Teori Hot Spot kavitasi akustik (Schroeder et al 2009)
Pada penelitian ini dilakukan proses sintesis menggunakan alat ultrasonikasi
selama 2 jam. Menurut Ismayana (2014), peluang terbentuknya partikel nanosilika
dilakukan dengan menggunakan metode ultrasonikasi dengan lama waktu 2 jam.
Ultrasonikasi digunakan untuk memecah partikel silika menjadi berukuran lebih
kecil dengan energi ultrasonik (Kurniawan 2013).
Selain itu, pada proses ekstraksi silika dari abu ketel yang kemudian akan
disintesis menjadi nanosilika menggunakan proses pengabuan. Hal ini ternyata
memberikan pengaruh terhadap salah satu karateristik nanosilika yang dihasilkan.
Menurut Hanafi dan Nandang (2010), bentuk dari puncak SiO2 yang memiliki
kekristalan tinggi ditunjukkan dengan bentuk puncak yang menajam pada 2θ sebesar
20-250, puncak tersebut akan semakin tinggi ketika suhu pengabuan dinaikkan. Hal
ini sesuai dengan teori pertumbuhan kristal yang akan naik dengan peningkatan suhu
pemanasan sampai terbentuknya kristal secara sempurna. Dengan demikian,
kenaikkan intensitas puncak SiO2 menandakan adanya pertumbuhan kristal.
Berdasarkan penelitian Hanafi dan Nandang (2010) tersebut, derajat kekristalan
bentuk SiO2 pada suhu pengabuan 700 dan 8000C adalah tinggi dibandingkan dengan
kekristalan pada suhu pengabuan di bawahnya, artinya pada daerah ini fasa SiO2kristalin mendominasi bentuk kristal yang dihasilkan.

10

Pada proses pembentukan nanosilika ini dilakukan menggunakan surfaktan.
Hal ini dilakukan untuk mendispersikan silika yang dilarutkan dalam air agar lebih
sempurna. Partikel silika akan disalut oleh surfaktan yang digunakan sehingga
kemungkinan untuk terjadinya aglomerasi menjadi lebih kecil.
Penambahan surfaktan ini merupakan faktor yang mempengaruhi proses
kavitasi yang terjadi dalam sintesis nanosilika dengan metode ultrasonikasi.
Surfaktan yang ditambahkan akan terakumulasi pada bagian antarmuka antara gas
dan cairan dalam gelembung kavitasi yang akan menurunkan tegangan permukaan
gelembung. Tegangan permukaan yang menurun tersebut akan mengakibatkan
bertambahnya kecepatan pembentukan gelembung. Akan tetapi, gelembung yang
terbentuk tidak stabil dan akhirnya akan pecah menjadi ukuran yang lebih kecil
daripada gelembung dalam medium cairan tanpa penambahan surfaktan. Dengan
gelombang ultrasonik tersebut, gumpalan partikel dapat dipisah dan terjadi dispersi
sempurna dengan penambahan surfaktan tersebut (Lidiniyah 2011).
Adapun proses kalsinasi pada suhu 700-8000C yang dilakukan di akhir proses
sintesis yang bertujuan untuk menghilangkan kandungan organik surfaktan yang
menyalut silika juga memberikan pengaruh terhadap meningkatnya derajat
kristalinitas partikel. Hanafi dan Nandang (2010) menambahkan, pada pemanasan
suhu 700-8000C fasa SiO2-kristalin dapat mendominasi bentuk kristal yang
dihasilkan. Apabila dibandingkan dengan nanosilika tanpa template, kristalinitas
nanosilika dengan surfaktan lebih tinggi daripada nanosilika tanpa template yang
tidak menggunakan proses kalsinasi.

Analisis Ukuran Partikel
Data analisis ukuran partikel yang diperoleh berupa tiga distribusi yaitu
intensitas, volume, dan jumlah. Nanosilika yang berhasil disintesis dari abu ketel
memiliki ukuran partikel yang lebih kecil daripada ukuran silika yang belum
diultrasonikasi dan ukurannya bervariasi bergantung pada perlakuan yang dilakukan.
Ukuran partikel (dalam satuan nanometer) berdasarkan distribusi intensitas
ditunjukkan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 dapat diketahui distribusi ukuran yang paling
seragam adalah sampel C3 yang menggunakan surfaktan CMC kadar 2.5% dengan
ukuran 408.76 nm dan particle dispertion index (PDI) 0.047. Pada nanosilika yang
menggunakan CMC sebanyak 5%, hasil keseragaman hampir sama bila
dibandingkan dengan CMC 2.5%. Keseragaman yang dihasilkan ditunjukkan dengan
PDI 0.045. Hal yang berbeda terjadi pada nanosilika yang dihasilkan dengan
penambahan CMC 10% yang menunjukkan keseragaman ukuran yang kecil dengan
PDI 0.496. Hal ini disebabkan dari viskositas medium yang berbeda. Semakin
banyak penambahan CMC yang digunakan akan menimbulkan viskositas medium
yang semakin tinggi. Menurut Lidiniyah (2011), nilai viskositas berbanding terbalik
dengan energi yang dihasilkan dari proses ultrasonikasi. Formula yang memiliki
viskositas yang rendah memiliki energi yang tinggi. Rendahnya nilai viskositas akan
mempermudah terjadinya gelembung kavitasi. Ketika gelombang ultrasonik
merambat dengan amplitudo yang tinggi dalam medium cairan yang berviskositas
rendah akan menghasilkan gelembung kavitasi yang cukup besar dan menghasilkan
energi yang cukup tinggi untuk mereduksi ukuran partikel dan menyeragamkan
ukuran partikel. Konsentrasi CMC yang lebih tinggi akan menghasilkan viskositas

11

tinggi dan energi ultrasonikasi rendah. Semakin tinggi viskositas medium cairan juga
akan menghambat proses pendispersian nanosilika secara sempurna.
Tabel 2 Ukuran nanopartikel silika
Rataan
Sampel
Range (nm)
(nm)
Tanpa Template
22.39 – 3716.34
203.94
PEG 6000
44.68 – 1698.69
259.99
CMC 10%
35.39 – 3891.48
294.73
CMC 5%
213.85 – 1023.56
462.89
CMC 2.5%
186.26 – 933.5
408.76
Tween 80 3%
48.79 – 2239.31
300.02

PDI
0.638
0.244
0.496
0.045
0.047
0.32

Pada sampel tanpa template, rataan ukuran partikel yang dihasilkan paling
kecil dengan ukuran 203.94 nm, tetapi keseragaman yang dihasilkan kurang seragam
dengan PDI 0.638. Hal ini menunjukkan keseragaman ukuran yang dihasilkan sangat
kecil karena peluang untuk terjadinya aglomerasi masih tinggi dengan tanpa
penambahan surfaktan. Berbeda dengan sampel yang menggunakan surfaktan,
keseragaman ukuran yang ditunjukkan dengan nilai PDI relatif lebih kecil karena
penambahan surfaktan meminimumkan terjadinya proses aglomerasi. Surfaktan
memiliki gugus hidrofob dan hidrofil yang dapat bekerja dengan cara menyelimuti
partikel-partikel dari larutan silika sehingga dapat mencegah terjadinya
penggabungan kembali partikel dan membentuk ukuran yang lebih besar. Hidrofob
dan hidrofil yang dimiliki oleh surfaktan tersebut akan mempertahankan ukuran
partikel akhir yang terbentuk akibat proses kavitasi sehingga ukuran partikel yang
dihasilkan pada sampel PEG 6000, CMC, dan tween 80 lebih stabil. Gambar 5
menunjukkan persebaran ukuran nanosilika yang dihasilkan.

Intensitas

1,0
0,8
0,6
0,4
0,2

0,0
22

37

62

A

102 170 282 468 776 1.289 2.139 3.549 nm

B

C1

C2

C3

D

Gambar 5 Distribusi ukuran nanosilika (A) tanpa template, (B) PEG 6000, (C1)
CMC 10%, (C2) CMC 5%, (C3) CMC 2.5%, dan (D) tween 80.

12

Keseragaman ukuran partikel nanosilika ini menjadi lebih baik disebabkan
oleh penambahan surfaktan pada proses ultrasonikasi. Ukuran partikel koloid
biasanya akan bertambah terus selama masih ada atom prekursor dalam larutan
tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan deaktivasi permukaan koloid yang telah
dibuat, salah satunya dengan menggunakan surfaktan. Molekul surfaktan akan
menempel pada permukaan koloid yang dibuat dan melindungi permukaan tersebut
dari penambahan atom prekursor walaupun masih ada atom prekursor yang belum
terisi. Hal inilah yang yang menyebabkan keseragaman ukuran nanosilika dengan
penambahan surfaktan lebih baik daripada nanosilika tanpa penambahan surfaktan
(Kurniawan 2013).

Analisis Difraktogram XRD
Analisis difraktogram dengan XRD menunjukkan pola difraksi, fase kristal,
derajat kristalinitas, dan ukuran kristal dari nanosilika yang dihasilkan. Pola difraksi
dari setiap senyawa memiliki sifat yang spesifik pada nilai 2θ yang terbentuk. Begitu
pula fase kristal dari senyawa tersebut yang berkorelasi dengan pola difraksi yang
terbentuk. Nanosilika memiliki fase kristal yang beragam atau bisa disebut multifase.
Fase kristal pada nanosilika yang terbentuk antara lain quartz, tridimit, dan
kristobalit. Setiap fase kristal tersebut memiliki acuan yang telah disepakati dalam
kartu PDF (Powder Diffraction File). Kode fase quartz ditunjukkan pada PDF [96900-0076], fase tridimit ditunjukkan pada PDF [96-900-0521], dan fase kristobalit
ditunjukkan pada PDF [96-900-1579]. Fase kristal dari nanosilika juga memiliki nilai
2θ yang khas. Gambar 6 menunjukkan pola difraksi dari nanosilika yang dihasilkan.
Menurut Suka et al (2008) dan Pausa et al (2015), silika memiliki fase kristal
dengan puncak tertinggi pada 2θ sebesar 220. Fase kristal tersebut merupakan fase
kristobalit, namun secara umum silika memiliki fase yang amorf (Suka et al 2008).
Derajat kristalinitas kristal kristobalit ditentukan berdasarkan pada puncak-puncak
utama yang bersesuaian dengan nilai hkl (111) (210) (211) (220) yang muncul pada
sudut difraksi 2θ sebesar 22.010, 28.480, 31.470 dan 36.2650 (Pausa et al 2015). Fase
kristal inilah yang menjadi penanda bahwa partikel yang dihasilkan dari sintesis
nanosilika dengan metode ultrasonikasi dan penambahan surfaktan merupakan
partikel silika dalam orde nano.
Pada hasil sintesis nanosilika yang dilakukan dalam penelitian ini, nanosilika
yang dihasilkan memiliki sudut difraksi tinggi 2θ yang sama dengan Pausa et al
(2015), bahkan terjadi puncak pada 2θ di kisaran derajat ke-190, 230, 260, 320, dan
340. Hal ini menunjukkan partikel yang dihasilkan memiliki derajat kristalinitas yang
tinggi. Derajat kristalinitas partikel nanosilika disajikan pada Tabel 3. Dari data pada
Tabel 3 diketahui bahwa nanosilika yang disintesis menggunakan surfaktan memiliki
derajat kristalinitas yang lebih tinggi daripada nanosilika tanpa surfaktan. Pada
nanosilika yang disintesis menggunakan CMC, menunjukkan adanya perbedaan
derajat kristalinitas dengan besarnya konsentrasi CMC yang diberikan. Oleh karena
itu, dapat diketahui bahwa semakin banyak surfaktan yang ditambahkan, maka akan
meningkat pula derajat kristalinitas dari kristal nanosilika yang dihasilkan. Menurut
Ismayana (2014), proses ultrasonikasi pada partikel silika untuk mensintesis
nanosilika memberikan perubahan fase silika yang mulanya amorf menjadi lebih
kristal. Hal ini terjadi karena ultrasonikasi hanya memotong kristal yang besar tanpa

13

memecahkan struktur ikatan kimianya. Proses ultrasonikasi juga dapat menimbulkan
panas yang mendorong susunan kristal menjadi lebih teratur.
Tabel 3 Derajat kristalinitas nanosilika yang dihasilkan
Rataan Ukuran
Sampel
Derajat Kristalinitas (%)
Kristal (nm)
Tanpa Template
76.96
41.40
PEG 6000
78.58
38.84
CMC 10%
84.04
37.69
CMC 5%
82.07
39.29
CMC 2,5%
78.45
39.53
Tween 80 3%
79.59
41.48
Berdasarkan data pola difraksi, diketahui bahwa fase kristal pada nanosilika
yang dihasilkan secara keseluruhan memiliki tiga fase, yaitu fase quartz, tridimit, dan
kristobalit. Hal ini dapat dilihat dari puncak-puncak yang terbentuk pada sudut
difraksi 2θ. Pola difraksi pada Gambar 6 menunjukkan perbedaan yang jelas pada
tinggi intensitas antara nanosilika tanpa template dan nanosilika dengan penambahan
surfaktan. Nanosilika tanpa template memiliki intensitas paling rendah daripada
nanosilika yang ditambahkan surfaktan, baik surfaktan jenis PEG, CMC, maupun
tween 80. Perbedaan intensitas yang terjadi menjadi salah satu indikator yang
menunjukkan tinggi atau rendahnya derajat kristalinitas nanosilika yang dihasilkan.
Semakin tinggi intensitas yang ditunjukkan dalam pola difraksi, maka semakin tinggi
pula derajat kristalinitas dari nanosilika. Jika intensitas pada pola difraksi rendah,
maka derajat kristalinitas nanosilika cenderung lebih rendah pula.
Dalam memperhitungkan derajat kristalinitas suatu senyawa, dilihat pula
luasan ruang yang dihasilkan dari puncak-puncak difraksi yang terbentuk. Oleh
karena itu, tingginya intensitas puncak terkadang tidak menunjukkan kristalinitas
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan luasan intensitas puncak yang lebih
besar. Ini terbukti pada nanosilika yang disintesis menggunakan surfaktan CMC.
Pada konsentrasi CMC yang lebih kecil, yaitu 2.5%, intensitas puncak yang
ditunjukkan lebih tinggi daripada konsentrasi CMC yang lebih besar, namun derajat
kristalinitas yang dihasilkan lebih rendah daripada konsentrasi CMC yang lebih
besar. Berikut adalah rumus dalam perhitungan derajat kristalinitas.
(Herdianita et al 1999)
Pada parameter ukuran kristal yang ditunjukkan dari nanosilika yang
dihasilkan, tidak menunjukkan rataan ukuran kristal yang berbeda jauh. Hasil rataan
ukuran kristal yang didapatkan terdapat dalam range 37-41 nm. Nanosilika yang
tanpa penambahan surfaktan tidak selalu memiliki ukuran kristal yang lebih kecil
atau lebih besar daripada nanosilika yang diberi penambahan surfaktan. Bila
dikaitkan terhadap parameter derajat kristalinitas, rataan ukuran kristal tidak
memiliki korelasi dengan parameter tersebut berdasarkan hasil pengujian yang
dilakukan menggunakan XRD. Hal ini juga diperkuat dengan kristal penyusun suatu
partikel silika tidak selalu dalam jumlah dan intensitas yang sama.

14

Pada nanosilika yang ditambahkan surfaktan jenis CMC, penambahan CMC
dengan kadar 2.5% menghasilkan pola difraksi dengan intensitas tertinggi daripada
yang lainnya seperti terlihat pada Gambar 6. Hal ini dikarenakan sifat viskositas yang
tinggi pada medium cairan akan menurunkan energi yang dihasilkan dari gelombang
kejut ultrasonikasi sehingga menghambat terjadinya gelombang kavitasi (Lidiniyah
2011).
500

A

400

Intensitas

Intensitas

500
300
200
100

300
200
100

0

0
10

20

30

40

50

60

70

80

20

30

40

50

60

70

80

30

40

50

60

70

80

30

40

50

60

70

80 2θ



500
B

400

Intensitas

Intensitas

10



500
300
200
100

C2

400
300
200
100

0

0
10

500

20

30

40

50

60

70

80

500

D

400

10


Intensitas

Intensitas

C1

400

300
200
100

20



C3

400
300
200
100

0

0
10

20

30

40

50

60

70

80



10

20

Gambar 6 Pola difraksi nanosilika (A) tanpa template, (B) PEG 6000, (C1) CMC
10%, (C2) CMC 5%, (C3) CMC 2.5%, dan (D) tween 80.

Analisis Gugus Fungsi
Nanosilika yang dihasilkan dari penambahan dan tanpa penambahan
surfaktan memiliki karakteristik yang berbeda dari segi gugus fungsinya.
Karakterisasi untuk melihat gugus fungsi nanosilika dilakukan dengan menggunakan
analisis FTIR. Pada Gambar 7 ditunjukkan perbedaan gugus fungsi dari nanosilika
tanpa template dan dengan jenis surfaktan yang berbeda.
Menurut Sriyanti et al (2005), silika memiliki gugus fungsi yang khas. Pada
pita serapan di bilangan gelombang sekitar 3400 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur
gugus -OH (hidroksil) gugus silanol (Si-OH). Pita serapan pada bilangan gelombang
sekitar 1600 cm-1 menunjukkan vibrasi tekuk –OH dari gugus silanol.

15

a) Tanpa template

b) PEG

c) CMC

d) Tween 80

Gambar 7 Spektra FTIR dari nanosilika a) tanpa template, b) PEG 6000, c) CMC dan
d) Tween 80.

16

Pita serapan pada bilangan gelombang sekitar 1100 cm-1 menunjukkan vibrasi
ulur dari gugus siloksan (Si-O-Si). Pita serapan pada bilangan gelombang sekitar 900
cm-1 dan 700 cm-1 secara berturut-turut menunjukkan vibrasi ulur dari Si-OH
(silanol) dan Si-O-Si (siloksan) (Sriyanti et al 2005).
Pada nanosilika tanpa template, bilangan gelombang 803.44 cm-1
menginterpretasikan vibrasi tekuk gugus siloksan Si-O-Si. Bilangan gelombang
1085.92 cm-1 menginterpretasikan vibrasi ulur asimetri Si-O dari Si-O-Si. Bilangan
gelombang 1643.51 cm-1 menginterpretasikan vibrasi tekuk –OH dari molekul air.
Bilangan gelombang 3079.67 cm-1 menginterpretasikan vibrasi –OH dari Si-OH atau
air. Nanosilika dengan menggunakan template surfaktan memperlihatkan perbedaan
apabila dibandingkan dengan nanosilika yang tanpa template. Nanosilika yang pada
prosesnya ditambahkan CMC menghasilkan gugus fungsi yang khas yaitu dengan
timbulnya gugus karboksil pada panjang gelombang 1636.83 cm-1 dan terdapat
ikatan –CH2 pada panjang gelombang 1429.15 cm-1. Gugus karboksil dan –CH2
merupakan gugus konstituen dari CMC (Lestari et al 2013). Nanosilika yang pada
prosesnya ditambahkan PEG 6000 menghasilkan gugus fungsi yang khas yaitu
timbulnya vibrasi tekuk C=O karboksilat pada panjang gelombang 1634.37 cm-1.
Adapun nanosilika yang pada prosesnya ditambahkan tween 80 menghasilkan gugus
fungsi yang khas yaitu terdapat vibrasi tekuk C=O keton pada panjang gelombang
1632.37 cm-1 serta tekukan N-H amina di panjang gelombang 2099.17 cm-1.
Pada spektra FTIR dalam Gambar 7 terlihat bahwa nanosilika dengan
surfaktan dan tanpa template memiliki gugus fungsi yang berbeda pada intensitas
silanolnya dan kemunculan gugus fungsi. Intensitas gugus silanol pada nanosilika
tanpa template lebih tinggi daripada yang menggunakan surfaktan. Hal ini
disebabkan oleh keberadaan surfaktan yang dapat bereaksi dengan gugus silanol
silika sehingga gugus silika pada nanosilika akan menurun intensitasnya. Menurut
Lidiniyah (2011), keberadaan surfaktan dapat menyerap air yang merupakan
pembentuk gugus silanol. Semakin tinggi kandungan air dalam silika, maka
intensitas gugus silanol akan semakin tinggi.

Potensi Aplikasi
Nanosilika yang dihasilkan dari metode ultrasonikasi dengan penambahan
surfaktan menimbulkan karakteristik yang khas. Karakteristik nanosilika tersebut
dianalisis terkait potensi aplikasi yang sesuai. Nanosilika memiliki banyak manfaat
sehingga dapat dimanfaatkan ke dalam berbagai aplikasi, salah satunya adalah
sebagai filler untuk berbagai produk. Analisis ini diharapkan dapat memberikan
kesesuaian dari karakteristik nanosilika yang dihasilkan terhadap potensi aplikasi
yang ada.
Pada analisis potensi aplikasi ini, nanosilika dimanfaatkan sebagai filler atau
bahan pengisi yang bersifat kristalin untuk berbagai produk. Berikut adalah Tabel 4
yang menunjukkan karakteristik nanosilika dan potensi aplikasi yang dapat
dilakukan.

17

Tabel 4 Karakteristik nanosilika dan potensi aplikasinya
Karakteristik
Perlakuan
Potensi Aplikasi
Derajat
Ukuran
Kristalinitas
Tanpa
203.94
76.96
template
Filler
lapisan
PEG 6000
259.99
78.58
penyangga tambahan
CMC 10%
pada
membran
294.73
84.04
(b/b
komposit ultrasonikasi
CMC
5%
dan filler kompon
462.89
82.07
(b/b)
karet rubbewr air bag
CMC 2.5%
peluncur kapal dari
408.76
78.45
(b/b)
galangan
Tween
80
300.02
79.59
3% (b/v)

Nanosilika sebagai Filler Lapisan Penyangga Tambahan pada Membran
Komposit Ultrafiltrasi
Teknologi membran ultrafiltrasi merupakan salah satu teknologi untuk
pengolahan air dan limbah. Teknologi ini dapat mengontrol mikroorganisme
pathogen kecil seperti virus dengan sangat efektif dan mengurangi kekeruhan air.
Ultrafiltrasi bekerja berdasarkan ukuran partikel. Membran komposit ultrafiltrasi
terbentuk atas tiga lapisan utama, yaitu lapisan permukaan tipis, lapisan penyangga
berpori, dan lapisan penyangga tambahan. Pada setiap lapisan memiliki fungsi yang
berbeda-beda sehingga sifat dari tiap lapisan pun berbeda. Lapisan bagian atas yang
tipis dengan ukuran pori kecil berfungsi sebagai penyaring, sedangkan lapisan bawah
berupa lapisan penunjang dengan ukuran pori yang lebih besar berfungsi sebagai
penunjang kekuatan mekanik membran. Dengan struktur yang demikian, membran
asimetrik dapat menghasilkan fluks lebih tinggi (Yudhistira et al 2012).
Lapisan permukaan tipis bersifat hidrofilik yang bertujuan untuk menangkap
air lebih mudah. Oleh karena itu, lapisan ini menggunakan filler yang sifatnya amorf
atau derajat kristalinitas yang rendah