PRAKTIK BAGI HASIL GADUH SAPI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Kasus: Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul)

(1)

SKRIPSI Oleh :

Vera Dilla Anggraeni NPM : 20120730111

FAKULTAS AGAMA ISLAM PRODI MUAMALAT

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

ii

PRAKTIK BAGI HASIL GADUH SAPI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Kasus: Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Islam (S.E.I) Strata Satu pada Prodi Muamalat

Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Oleh:

Vera Dilla Anggraeni NPM: 20120730111

FAKULTAS AGAMA ISLAM PRODI MUAMALAT

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

iii

NOTA DINAS

Lamp. : 3 eks. Skripsi Yogyakarta, 29 Agustus 2016 Hal : Persetujuan

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Assalamu’alaikum wr.wb.

Setelah menerima dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka saya berpendapat bahwa skripsi saudara:

Nama : Vera Dilla Anggraeni NIM : 20120730111

Judul : PRAKTIK BAGI HASIL GADUH SAPI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Kasus: Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul)

Telah memenuhi syarat untuk diajukan pada ujian akhir tingkat Sarjana pada Fakultas Agama Islam Prodi Ekonomi dan Perbankan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Bersama ini saya sampaikan naskah skripsi tersebut, dengan harapan dapat di terima dan segera dimunaqasyahkan.

Atas perhatiannya diucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. wb.

Pembimbing


(4)

iv

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi

PRAKTIK BAGI HASIL GADUH SAPI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Kasus : Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul) Yang dipersiapkan dan disusun oleh :

Nama : Vera Dilla Anggraeni NPM : 20120730111

Telah dimunaqasyahkan di depan sidang Munaqasyah Prodi Muamalat Konsentrasi Ekonomi dan Perbankan Islam pada tanggal 24 Agustus 2016 dan dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima.

Dewan Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang : Julia Noermawati Eka S, S.EI, M.SI (…...………..) Pembimbing : Mukhlis Rahmanto, Lc, M.A (…………...) Penguji : Syakir Jamaludin, S. Ag, M.A (…….……....)

Yogyakarta, 29 Agustus 2016 Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Dekan,


(5)

v

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama Mahasiswa : Vera Dilla Anggraeni Nomor Mahasiswa : 20120730111

Program Studi : Ekonomi dan Perbankan Islam

Judul Skripsi : Praktik Bagi Hasil Gaduh Sapi Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus: Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini merupakan karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 29 Agustus 2016

( Vera Dilla Anggraeni ) NPM : 20120730111


(6)

vi MOTTO

دج ؤ دج نم

Barang siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkannya.





















Karena sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan.

Sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan. (Surah

Al-Insyirah: 5-6)


(7)

vii

PERSEMBAHAN

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayahnya yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, dan kesabaran sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis ini. Saya persembahkan rasa cinta kepada keluarga saya, kepada yang tersayang Bapak Hartono dan Ibu Suryani yaitu kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan doa tanpa henti. Tidak cukup kata terimakasih dan tidak ada kata yang mampu untuk menggambarkan pengorbanan yang diberikan oleh kedua orang tua demi tercapainya cita-cita anak-anaknya. Kepada adikku Risang Surya Pradesta yang selalu memberikan dukungan dan menghiburku. Semoga bisa menjadi anak yang sholeh dan membanggakan orangtua. Kepada Om Uk yang selalu memberikan dukungan yang terbaik. Semoga diberikan kelancaran dalam segala hal, cepet nyusul wisuda jangan lama-lama!!. Terimakasih kepada keluarga besar dan saudara-saudara yang sudah banyak membantu serta turut memberikan semangat dan doa. Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT.

Terimakasih kepada sahabat satu perjuangan selama di bangku kuliah Sasa, Bunga, Meita, Intan dan Kiki yang selalu berjuang bersama-sama berbagi cerita dan selalu memberikan solusi terbaik. Terimakasih kepada Nisa dan Gita yang telah memberikan kebersamaan yang tidak akan terlupakan. Semoga kita semua bisa terus mencapai apa yang dicita-citakan. Untuk almamaterku dan EPI C kalian punya cerita tersendiri, tetap solid dan semoga ilmu yang kita dapatkan bersama selalu bermanfaat


(8)

viii

Akhir kata semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semuanya. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan kalian. Amin!


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Alhamdulillah dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang selalu memberikan rahmat, hidayah, dan nikmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsidengan judul: PRAKTIK BAGI HASIL GADUH SAPI yang disusun sebagai syarat akademis dalam menyelesaikan studi program Sarjana (S1) Jurusan Ekonomi dan Perbankan Islam pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Shalawat serta salam selalu tertuju kepada Nabi Muhammad SAW yang telah diutus oleh Allah sebagai contoh teladan bagi umatnya.

Peneliti menyadari bahwa terselesaikannya penyusunan skripsi ini diikuti dengan kerja keras dan tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dukungan, do’a, serta saran dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati peneliti hendak menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Bambang Cipto selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Bapak Dr. Mahli Zainudin, M.Si. selaku Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Bapak Syarif As’ad, S.E.I., M.Si. selaku Kepala Program Studi Ekonomi dan Perbankan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(10)

x

4. Mukhlis Rahmanto, Lc, M.A. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingannya selama ini, serta memberikan berbagai ilmu, nasihat dan pengalamannya yang sangat berharga. 5. Seluruh Dosen Fakultas Agama Islam yang sudah mentransformasi

ilmu, kesabaran dan keteladanan dengan penuh keikhlasan kepada penulis.

6. Seluruh civitas akademisi khususnya Tata Usaha Fakultas Agama Islam.

7. Semua pihak yang tidak dapat dituliskan satu persatu yang telah membatu dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan guna perbaikan di masa yang akan datang dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamu‟alaikum. Wr. Wb.

Yogyakarta, 29 Agustus 2016 Penulis


(11)

xi DAFTAR ISI

PRAKTIK BAGI HASIL GADUH SAPI DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

……… i

SKRIPSI ………. ii NOTA DINAS ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... ... vii

KATA PENGANTAR ... …….. ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

ABSTRAK ... xv

ABSTRACT ... xvi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 6


(12)

xii

F. Kerangka Teoritik ... 10

1. Akad ... 10

a. Pengertian Akad ... 10

b. Rukun Akad ... 11

c. Sighat Akad ... 12

d. Syarat Akad ... 14

2. Muḍārabah ... 15

a. Pengertian Muḍārabah ... 15

b. Dasar Hukum Muḍārabah ... 18

c. Rukun Muḍārabah ... 21

d. Syarat Muḍārabah ... 22

e. Jenis-jenis Muḍārabah ... 25

f. Hak dan Kewajiban Pemilik Modal ... 25

g. Hak dan Kewajiban Pengelola Modal ... 27

h. Pembagian Keuntungan ... 30

i. Hukum Perelisihan Pemilik Modal dan Pengelola Modal ... 31

j. Hal-hal yang Membatalkan Muḍārabah ... 37

3. Gaduh Sapi ... 38

a. Pengertian Gaduh Sapi ... 38

G. Sistematika Penulisan ... 39

BAB II METODE PENELITIAN ... 41

A. Jenis Penelitian ... 41

B. Objek Penelitian ... 41

C. Lokasi Penelitian ... 42

D. Subjek Penelitian ... 42

E. Jenis dan Sumber Data ... 42

F. Teknik Pengumpulan Data ... 43


(13)

xiii

BAB III PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 46

A. Profil Wilayah Desa Wirokerten, Kecamatan Baguntapan, Kabupaten Bantul ... 46

B. Bagi Hasil Gaduh Sapi di Desa Wirokerten ... 54

1. Pengertian Bagi Hasil Gaduh Sapi ... 54

2. Sistem Gaduh Sapi di Desa Wirokerten ... 54

3. Proses Praktik Bagi Hasil Gaduh Sapi ... 56

a. Akad ... 56

b. Modal ... 57

c. Sistem Operasional ... 59

d. Pembagian Keuntungan ... 61

e. Penanggungan Resiko ... 61

C. Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktik bagi Hasil Gaduh Sapi di Desa Wirokerten ... ... 64

1. Bagi Hasil Gaduh Sapi ... 64

2. Akad ... 67

3. Modal ... 70

4. Sistem Operasional ... 72

5. Pembagian Keuntungan ... 73

6. Penanggungan Risiko ... 74

BAB IV PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan……….. 77

B. Saran………. 82 DAFTAR PUSTAKA ... 84


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Usia ... 47

Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 48

Tabel 1.3 Jumlah Populasi Peternakan ... 51

Tabel 1.4 Jumlah Tenaga Kerja ... 51

Tabel 1.5 Jumlah Penduduk Menurut Agama ... 52


(15)

(16)

(17)

(18)

xv

(Studi kasus: Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul)

Oleh : Vera Dilla Anggraeni NIM : 20120730111

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktik proses gaduh sapi ditinjau dari hukum Islam di Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan menggunakan data primer. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh peternak sapi yang ada di Desa Wirokerten, Kacamatan Banguntpan, Kabupaten Bantul yang berjumlah 145, sedangkan jumlah sample 9 responden yang diambil menggunakan teknik purposive sampling. Alat yang digunakan adalah analisis deskriptif-kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktik bagi hasil gaduh sapi di Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul merupakan praktik bagi hasil mudharabah jika ditinjau perspektif hukum Islam. Akad yang digunakan yaitu secara lisan sesuai dengan adat masyarakat setempat. Hal tersebut sudah sesuai dengan hukum Islam karena sudah terpenuhinya syarat dan rukun akad walaupun terjadi pengingkaran janjian. Modal yang digunakan dalam gaduh sapi di Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul berbentuk sapi bukan uang. Hal tersebut sudah sesuai dengan hukum Islam walaupun menurut minoritas ulama. Sistem operasional pada saat pemeliharan sapi yaitu pengelola bertanggung jawab penuh selama sapi dalam masa pemeliharaan. Hal tersebut sudah sesuai dengan hukum Islam sebab kedua belah pihak sudah sepakat dan tidak merasa keberatan, dilakukan atas dasar suka rela tanpa ada unsur paksaan. Pembagian keuntungan yang dilakukan menurut kebiasaan adat setempat yaitu secara maro limo dan maro bathi. Hal itu sudah sesuai dengan hukum Islam karena sudah jelas prosentase dari keuntungan yang akan didapat masing-masing pihak. Terhadap penanggungan resiko yang terjadi di Desa Wirokerten ditanggung bersama antara pemilik modal dengan pemelihara. Hal itu sudah sesuai dengan hukum Islam jika dilihat dari permasalhan yang terjadi.


(19)

xvi

(A case study: Wirokerten Village, Banguntapan District, Bantul Regency) By: Vera Dilla Anggraeni

Student Number: 20120730111

This research aims to find out practice of Rowdy Cow (Gaduh Sapi) process reviewed from Islamic Law in Wirokerten Village, Banguntapan District, Bantul Regency. This research uses qualitative descriptive approach by using primary data. The population of the research is all 145 cow cattlemen in Wirokerten Village, Banguntapan District, Bantul Regency. Meanwhile, 9 respondents as the samples are taken by using purposive sampling technique. The tool used is descriptive-qualitative analysis.

The research result shows that the profit sharing practice of Rowdy Cow (Gaduh Sapi) in Wirokerten Village, Banguntapan District, Bantul Regency is

muḍārabah profit sharing practice if it is reviewed from Islamic law perspective.

The contract used is the verbal one in accordance with the local communities customary. It has been in accordance with the Islamic law since it has fulfilled the requirements and the contract principles even though there is an agreement denial. The capital used in the Rowdy Cow (Gaduh Sapi) in in Wirokerten Village, Banguntapan District, Bantul Regency is in the form of cows not money. It has been in accordance with the Islamic law even though among the minority of ulama’. The operational system in cow breeding is the manager is fully responsible during the breeding period. It has been in accordance with the Islamic law because both parties are agreed and do not mind to any principles. It is done without any forces and voluntarily. The profit sharing is done in accordance with the local communities customary that is divided into five (maro limo) and into two (maro bathi). It has been in accordance with the Islamic law since the percentage of the profit will be received by each party. The risk responsibility in Wirokerten Village, Banguntapan District, Bantul Regency is shared between the capital owners with the cattlemen. It has been in accordance with the Islamic law if it is seen from the problems occurred.


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang komprehensif dan universal. Komprehensif berarti syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Universal bermakna syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sehingga dapat mengikuti perkembangan zaman.

Muamalah menurut istilah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan pengertian muamalah dalam arti sempit. Muamalah dalam arti luas bahwa muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial. Sedangkan muamalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda (Suhendi, 2002:2). Untuk itu kiranya kita sebagai umat manusia yang berada dijalan Allah hendaknya dalam melakukan kegiatan apapun tetap memperhatikan aturan-aturan Allah yang harus ditaati. Sebab di dalam Al-Quran ataupun Hadits sudah dijelaskan apa saja yang aturan-aturan yang harus kita taati dan apa saja yang harus kita hindari.


(21)

Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang berkodrat hidup dalam masyarakat. Sebagai makhluk sosial, dalam hidupnya manusia memerlukan adanya manusia-manusia yang lain yang bersama-sama hidup dalam masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu sama lain, disadari atau tidak untuk mencukupkan kebutuhan-kebutuhan hidupnya.

Menurut asy-Syarbasi dalam Antonio (2001: 95) muḍārabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (ṣāḥib al

-māl) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya mengelola. Perjanjian gaduh sapi di Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul ini terjadi ketika pemilik modal menyerahkan sapi kepada pengelola modal, dimana sapi tersebut merupakan modal dalam perjanjian bagi hasil yang dilakukan di masyarakat tersebut. Dalam proses perjanjian ini tidak dalam bentuk perjanjian tertulis, perjanjian ini dilakukan secara lisan antara pemilik modal dengan pengelola modal, hal ini sudah menjadi kebiasaan dalam melakukan prakit gaduh sapi.

Pelaksanaan gaduh sapi di Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul ini menguntungkan berbagai pihak, bagi pihak yang kekurangan modal merasa diuntungkan karena mendapatkan bantuan modal dari pemilik modal, sedangkan pemilik modal juga diuntungkan karena modal yang diberikan akan berkembang dan keuntungannya dibagi antara pemilik modal dengan pengelola modal.


(22)

Masyarakat di Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul sudah melakukan praktik gaduh sapi ini sejak lama, dalam kegiatan praktik gaduh sapi ketentuan-ketentuan dalam pengelolaannya turun temurun dari adat istiadat. Adat istiadat atau ‘urf yang tidak bertentangan dengan ketentuan syarat dapat dikokohkan tetap berlaku bagi masyarakat yang mempunyai adat istiadat tersebut. Maka, bagi umat Islam hukum adat setempat masih dapat dipandang berlaku, selagi tidak bertentangan dengan ketentuan nas Alquran dan sunah Rasul (Basyir, 2000:6).

Dalam pengelolaan gaduh sapi ini, pengelola modal bertugas memelihara dan megembangkan modal yang diberikan pemilik modal berupa sapi. Sapi yang berupa modal tersebut akan dikembangkan dengan tujuan agar mempunyai anakan sehingga anakan sapi tersebut yang akan menjadi keuntungan yang kemudian dibagi antara pemilik modal dengan pengelola modal. Anakan sapi dari hasil pengembangan modal yang diberikan oleh pemilik modal tersebut nantinya akan dijual dan hasil dari penjualan tersebut keuntungannya dibagai antara pemilik modal dengan pengelola modal.

Masyarakat di Desa Wirokerten menyebut bagi hasil seperti ini dengan istilah maro limo atau maro anak. Maro limo yaitu hasil dari penjualan anakan sapi keuntungannya dibagi menjadi lima untuk pengelola sebesar 3/2 atau sebanding dengan 60% dan untuk pemilik modal sebesar 2/3 atau sebanding dengan 40%. Sedangkan maro bathi yaitu hasil dari penjualan anakan sapi keuntungannya dibagi dua sama rata


(23)

atau dengan perbandingan 50%:50%, untuk pengelola 50% untuk pemilik modal 50%.

Pengelola modal pada masa pemeliharaan bertangggung jawab penuh terhadap biaya perawatan sapi selama sapi tersebut dalam masa pemeliharaan. Pengelola bertanggung jawab penuh dalam memberikan makan minum sapi. Ketika musim kemarau dan rumput susah untuk dicari maka pengelola akan memberikan makan kepada sapi seperti ampas tahu atau kulit kedelai. Hal tersebut menyebabkan pengelola mengeluarkan dana yang lebih untuk memberikan makan kepada sapi. Pemilik modal sendiri tidak ikut campur dalam penanggungan biaya pada saat sapi sudah digaduh oleh pengelola.

Pada saat pengelolaan gaduh sapi ini tentunya pengelola mengalami berbagai macam persoalan yang timbul seperti sapi sakit, penjualan sapi karena kebutuhan yang mendesak dan penjualan sapi oleh pengelola secara diam-diam tanpa seizin pemilik modal. Untuk itu pihak-pihak yang melakukan akad hendaknya saling menjaga perjanjian dengan tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan pihak pengelola maupun pihak pemilik modal.

Pelaksanaan gaduh sapi tidak semua masalah merugikan pihak pengelola saja, akan tetapi kenyataannya pihak pemilik modal yang harus menanggung resiko yang diakibatkan oleh pihak pengelola modal. Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin meneliti tentang bagaimana proses pengelolan gaduh sapi yang terjadi antara pemilik modal dengan


(24)

pengelola dalam praktik bagi hasil gaduh sapi di Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Dengan adanya kejelasan mengenai hukum Islam yang mengatur kegiatan muamalah seperti praktik gaduh sapi, diharapkan hal tersebut dapat menghindarkan dari kedzaliman dan menjadikan kemaslahatan bagi pemilik modal ataupun pengelola. Dari latar belakang yang dipaparkan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai PRAKTIK BAGI HASIL GADUH SAPI

DITINJAU DARI HUKUM ISLAM” (Studi Kasus: Desa Wirokerten,

Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul)”. B. Rumusan Masalah

Setelah mengetahui uraian dari latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan pokok masalah yang dipandang relevan untuk dikaji secara luas dan mendalam yaitu :

1. Bagaimana proses pelaksanaan praktik gaduh sapi di Desa Wirokerten Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul ?

2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap proses pelaksanaan praktik gaduh sapi di Desa Wirokerten Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul menurut hukum Islam ?


(25)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan praktik gaduh sapi di Desa Wirokerten Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul.

2. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap proses pelaksanaan praktik gaduh sapi di Desa Wirokerten Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul menurut hukum Islam.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Praktis

Penelitian ini bermanfaat untuk dijadikan referensi tambahan bagi pengembangan ilmu yang berkaitan dengan kegiatan muamalah dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan hukum Islam.

2. Kegunaan Teoritik

Penelitian ini bermanfaat untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melakukan kegiatan yang sesuai dengan hukum Islam agar dalam setiap kegiatan yang dilakukan tidak melanggar aturan-aturan yang sudah ada dan melindungi hak-hak yang satu dengan yang lainnya. 3. Kegunaan Bagi Peneliti

Penelitian ini menambah pengetahuan yang dapat dipakai sebagai sarana untuk menerapkan teori yang telah diperoleh melalui pendidikan yang didapat di perkuliahan, dan dapat memberikan gambaran pelaksanaan teori dalam dunia kerja yang nyata.


(26)

E. Tinjauan Pustaka

Beberapa kajian dan pembahasan dalam bentuk karya ilmiah mengenai gaduh sapi dengan sistem bagi hasil kiranya sudah bukan hal yang baru lagi. Beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan tema bagi hasil gaduh sapi sebagai bahan perbandingan dengan skripsi penulis antara lain, yaitu :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Tasfiria (2007) tentang Praktik Bagi Hasil Gadoh Sapi di Desa Poncosari Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul Ditinjau Dari Hukum Islam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan gaduh sapi di Desa Poncosari Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul dan untuk mengetahu tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan bagi hasil gaduh sapi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kerja sama bagi hasil di masyarakat Desa Poncosari Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul dari segi perjanjian/akad dilakukan secara lisan dan atas dasar suka sama suka tidak ada paksaan. Perjanjian tersebut sudah sah menurut hukum Islam karena sudah terpenuhinya syarat dan rukunnya serta sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah serta perjanjian tersebut termasuk perjanjian bagi hasil mudharabah. Tata cara pemeliharaan dan pembagian keuntungan di masyarakat tersebut mengikuti kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Pemilik memberikan sapi untuk dibesarkan sedangkan pemelihara bertugas merawat sampai pertumbuhan maksimal. Biaya perawatan ditanggung oleh pemelihara dan pembagian keuntungan dilakukan secara maro bathi dan nelu bathi sesuai dengan kebiasaan


(27)

masyarakat. Dalam penelitian ini peneliti meneliti tentang bentuk akad, biaya pemeliharaan, dan pembagian keuntungan. Perbedaan penelitan yang akan dilakukan oleh penulis adalah penulis akan menambahkan variabel penanggungan resiko yang terjadi pada praktik bagi hasil gaduh sapi sebagai objek penelitiannnya.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Khairudin (2009) tentang Praktik Bagi Hasil Nggado Sapi di Desa Grantung Kecamatan Bayan Kabupaten Purworejo Menurut Hukum Islam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap praktik bagi hasil gaduh sapi di Desa Grantung Kecamatan Bayan Kabupaten Purworejo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akad praktik bagi hasil gaduh sapi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Grantung Kecamatan Bayan Kabupaten Purworejo dilakukan secara lisan dan sudah sesuai dengan hukum Islam karena didalamnya sudah terpenuhi subjek, objek dan sighat. Dalam hal modal juga sudah sesuai dengan hukum Islam meskipun hal tersebut menurut sebagian kecil pendapat ulama karena modal disini bukan berupa uang tunai melainkan modal berupa sapi yang dapat dinilai satuan harganya dan dapat diketahui taksirannya. Biaya operasional pada masa pemliharaan sapi sepenuhnya ditanggung oleh pihak pengelola hal itu sudah sesuai dengan hukum Islam karena dalam proses pemeliharaan yang cukup cepat sudah menghasilkan keuntungan yang cukup besar, pengelola tidak merasa keberatan dan melakukan secara suka rela tanpa paksaan. Dalam hal pembagian


(28)

keuntungan masyarakat menggunakan sistem maro bati yang merupakan aturan adat yang ada di daerah tersebut. Hal itu sudah sah menurut hukum Islam sebab dalam pembagian keuntungan menggunakan perhitungan prosentase. Dalam penelitian ini, peneliti meneliti tentang bentuk akad, modal, biaya pemeliharaan, dan pembagian keuntungan. Perbedaan penelitan yang akan dilakukan oleh penulis adalah penulis akan menambahkan variabel penanggungan resiko yang terjadi pada praktik bagi hasil gaduh sapi sebagai objek penelitiannnya.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Sudaryanto (2009) tentang Praktik Bagi Hasil Perikanan Di kalangan Nelayan Padangan Wetan, Rembang Jawa Tengah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses perjanjian bagi hasil di kalangan nelayan yaitu perjanjian yang dilakukan secara tidak tertulis dan dianggap sebagai kebiasan turun temurun. Praktik bagi hasil yang dilakukan adalah dengan sistem maro, pembagian 1 untuk majikan dan 1 bagian untuk anak buah kapal. Terhadap masalah yang terjadi semua masalah diselesaikan secara internal berdasarkan musyawarah mufakat. Perbedaan penelitan yang akan dilakukan oleh penulis adalah penulis menganalisis variabel yang diteliti dengan berdasarkan hukum Islam, sedangkan dalam penelitian ini analisis objek penelitian berdasarkan kebiasaan umum yang ada. Objek yang diteliti dalam jurnal tersebut adalah proses


(29)

praktik bagi hasil perikanan sedangkan objek yang akan diteliti oleh peneliti adalah prakrik bagi hasil gaduh sapi.

F. Kerangka Teoritik 1. AKAD

a. Pengertian Akad

Akad dalam terminologi ahli bahasa mencakup makna ikatan, pengokohan dan penegasan dari satu pihak atau kedua belah pihak. Makna secara bahasa ini sangat sesuai sekali dengan apa yang dikatakan oleh kalangan ulama fiqh, di mana kita mendapati kalangan ulama fiqh menyebutkan akad adalah setiap ucapan yang keluar sebagai penjelasan dari dua keinginan yang ada kecocokan, sebagaimana mereka juga menyebutkan arti akad sebagai setiap ucapan yang keluar yang menerangkan keinginan walaupun sendirian (Azzam, 2010:15).

Menurut Ahmad Ashar Basyir (Basyir, 2009:65) akad adalah suatu perikatan antara ījab dan qabūl dengan cara yang dibenarkan syarak yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. ījab adalah perkataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedang qabūl adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. ījab dan qabūl itu diadakan dengan maksud untuk menujukkan bahwa akad terjadi antara dua pihak dengan sukarela, dan menimbulkan kewajiban atas masing-masing secara timbal balik.


(30)

b. Rukun-rukun Akad

Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya (Anwar, 2010:95).

Menurut Ahmad Azhar Basyir (2000:66) rukun akad adalah ijab dan kabul sebab akad adalah suatu perikatan antara ījab dan kabul. Agar ījab dan qabūl mempunyai akibat hukum, diperlukan adanya tiga syarat sebagai berikut:

1) ījab dan qabūl harus dinyatakan oleh orang yang sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz yang menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan hingga ucapan-ucapannya itu benar-benar menyatakan keinginan hatinya dengan kata lain ījab dan qabūl harus dinyatakan dari orang yang cakap melakukan tindakan hukum.

2) ījab dan qabūl harus tertuju pada suatu objek yang merupakan objek akad.

3) ījab dan kabul harus berhubungan langsung dalam suatu majelis apabila dua belah pihak sama-sama hadir.


(31)

c. Sighat Akad

Yang dimaksud dengan sighat akad adalah dengan cara bagaimana ījab dan qabūl yang merupakan rukun-rukun akad itu dinyatakan. Sighat akad dapat dilakukan dengan secara lisan, tulisan, atau isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya ījab dan qabūl, dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ījab dan qabūl (Basyir, 2009:68).

1) Sighat Akad Secara Lisan

Cara alami untuk menyatakan keinginan bagi seseorang adalah dengan kata-kata. Maka akad dipandang telah terjadi apabila ījab dan qabūl dinyatakan secara lisan oleh pihak–pihak bersangkutan. Bahasa apapun, asal dapat dipahami pihak-pihak bersangkutan dapat digunakan. Susunan kata-katanya pun tidak terikat dalam bentuk tertentu. Yang terpenting, jangan sampai mengaburkan yang menjadi keinginan pihak-pihak bersangkutan agar tidak mudah menimbulkan persengketaan kemudian hari.

2) Sighat Akad Secara Tulisan

Tulisan adalah cara alami kedua setelah lisan untuk menyatakan suatu keinginan. Maka, jika dua pihak yang akan melakukan akad tidak ada di suatu tempat, akad itu


(32)

dapat dilakukan melalui surat yang dibawa seseorang utusan atau melalui pos. ījab dipandang terjadi setelah pihak kedua menerima dan membaca surat dimaksud. Jika dalam ījab tersebut tidak disertai dengan pemberian tenggang waktu, qabūl harus segera dilakukan dalam bentuk tulisan atau surat yang dikirim dengan perantaraan utusan atau lewat pos. Bila disertai pemberian tenggang waktu, qabūl supaya dilakukan sesuai dengan lama tenggang waktu tersebut.

3) Sighat Akad dengan Isyarat

Apabila seseorang tidak mungkin menyatakan

ījab dan qabūl dengan perkataan karena bisu, akad dapat terjadi dengan isyarat. Namun, dengan syarat ia pun tidak dapat menulis sebab keinginan seseorang yang dinyatakan dengan tulisan lebih dapat meyakinkan daripada yang dinyatakan dengan isyarat. Maka, apabila seseorang bisu yang dapat menulis mengadakan akad dengan isyarat, akadnya dipandang tidak sah.

4) Sighat Akad dengan Perbuatan

Cara lain untuk membentuk akad, selain secara lisan, tulisan, isyarat, ialah dengan cara perbuatan. Misalnya, seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang tertentu, kemudian penjual menyerahkan barang yang


(33)

dibelinya. Dalam dunia modern sekarang ini, yang terpenting adalah dalam akad itu jangan sampai terjadi semacam tipuan, kecohan dan sebagainya. Segala sesuatu harus dapat diketahui secara jelas.

d. Syarat-syarat Akad

Dalam ajaran Islam untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi rukun dan syarat suatu akad. Syarat adalah unsur yang harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa, dan tindakan tersebut Djamil dalam Anshori (2010:24).

Setiap pembentukan akad mempunyai syarat yang ditentukan

syara’ yang wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadinya akad (Shiddieqy, 2009:29) ialah:

1) Ahliyatul ‘aqidaini (kedua belah pihak cakap berbuat).

2) Qābiliyatul mahālil ‘aqdi li hukmihi (yang dijadikan objek

akad, dapat menerima hukumnya).

3) Al wilyatus syar’iyah fi mauḍu’il ‘aqdi (akad itu diizinkan

oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak

melakukannya dan melaksanakannya, walupun dia bukan si aqid sendiri).

4) Alā yakumal ‘aqdu au mauḍu’uhu mamnu’an binaṣin

syar’iyin (janganlah akad itu akad yang dilarang syara’).

5) Kāmul ‘aqdi mufidan (akad itu memberi faedah).


(34)

6) Baqaul ijābi ṣalihan ila mauqu’il qābul. (ijab itu berjalan terus, tidak dicabut, sebelum terjadi qabul). Maka apabila si mujib menarik kembali ijabnya sebelum qabul batallah ijabnya.

7) Ittihādu majlisil ‘aqdi (bertemu dimajlis akad).

Karenanya ījab menjadi batal apabila sampai kepada berpisah yang seorang dengan yang lain sebelum ada qabūl.

Setiap akad yang dibuat oleh para pihak atau subjek hukum, pasti memiliki tujuan tertentu, sebagaimana halnya dalam KUH-Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa disertai suatu kausa dianggap tidak ada, atau batal demi hukum. Hal serupa juga terjadi di dalam Hukum Perjanjian Islam. Bahwa setiap akad/perjanjian yang dibuat harus senantiasa memiliki tujuan yang jelas, dan satu lagi rambu-rambu yang harus diperhatikan yaitu jangan sampai melanggar ketentuan-ketentuan syarak (Anshori, 2010:31).

2. Muḍārabah

a. Pengertian Muḍārabah

Muḍārabah berasal dari kata, al-ḍarb, yang berarti secara

harfiah adalah bepergian atau berjalan (Suhendi, 2002:135). Selain al-ḍarb, disebut juga qiradh, yang berasal dari al-qardhu , yang berarti al-qaṭ’u (potongan), karena pemilik


(35)

memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya (Suhendi, 2002:135).

Menurut Zuhaili (V:476) muḍārabah adalah akad yang di dalamnya pemilik modal memberikan modal (harta) pada āmil (pengelola) untuk mengelolanya, dan keuntungan mejadi milik bersama sesuai dengan apa yang mereka sepakati.

Menurut asy-Syarbasi dalam Antonio (2001:95) muḍārabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (ṣāḥib al-māl) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara muḍārabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelailaian si pengelola, pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Sedangkan menurut Muhammad (2005:53) muḍārabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal atau semaknanya dalam jumlah, jenis dan karakter tertentu dari seseorang pemilik modal (ṣāḥib al-māl) kepada pengelola

(muḍārib) untuk dipergunakan sebagai sebuah usaha dengan

ketentuan. Jika usaha tersebut mendatangkan hasil maka hasil (laba) tersebut dibagi berdua berdasarkan kesepakatan


(36)

sebelumnya sementara jika usaha tersebut tidak mendatangkan hasil atau bangkrut maka kerugian materi sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal dengan syarat dan rukun-rukun tertentu.

Pada saat melakukan muḍārabah pengelola atau pelaksana adalah orang yang diberi amanat. Jika akad telah berlangsung dan pelaksana sudah memegang harta (modal), maka segala tindakan pelaksana itu menjadi amanat. Ia tidak berkewajiban menjamin, kecuali dengan sengaja. Dan jika terjadi kerugian tanpa disengaja olehnya, maka sedikitpun ia tidak berkewajiban apa-apa. Selain itu ucapan yang dipegang adalah ucapannya (si pelaksana) yang disertai sumpah jika dituduh menyia-nyiakan harta atau terjadi kerugian, karena persoalan pokoknya tidak ada pengkhianatan (Sabiq, 1997:39).

Di dalam akad muḍārabah ini terjadi penyatuan modal dengan usaha dimana pemodal dan pengusaha berada dalam kemitraan usaha yang lebih fair dan terbuka serta kegiatan ekonomi seperti ini lebih mengarah pada aspek solidaritas yang tinggi dari pemilik modal untuk dapat membantu tenaga terampil yang kekurangan modal.


(37)

b. Dasar Hukum Muḍārabah 1) Al –Qur’ān

a) QS Al-Muzzamil, 73 : 20

















….



Artinya: Dan yang lainnya, bepergian di muka bumi mencari karunia Allah.

b) QS Al-Jumu’ah, 62 : 10

                         

Artinya: apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, dan carilah karunia Allah.

c) QS Al-Baqarah, 2 : 198

                                            


(38)

Artinya: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.

2) Al Hadits

a) Hadits Nabi riwayat Thabrani:

َطَرَ تْشِا ًةَبَراَضُم َلاَمْلا َعَفَد اَذِإ ِبّلَطُمْلا ِدْبَع ُنْب ُساّبَعْلا اَنُدّيَس َناَك

ِهِب َيِرَتْشَي َاَو ،اًيِداَو ِهِب َلِزَْ ي َاَو ،اًرْحَب ِهِب َكُلْسَي َا ْنَأ ِهِبِحاَص ىَلَع

ِمَض َكِلَذ َلَعَ ف ْنِإَف ،ٍةَبْطَر ٍدِبَك َتاَذ ًةّباَد

ِها َلْوُسَر ُهُطْرَش َغَلَ بَ ف ،َن

نبا نع طسوأا ىف يناربطلا اور( َُزاَجَأَف َمّلَسَو ِهِلآَو ِهْيَلَع ُها ىّلَص

سابع

).

Diriwayatkan "Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai muḍārabah, ia mensyaratkan kepada muḍārib agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (muḍārib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya." (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).


(39)

Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitab al-Ausath dari

Ibnu Abbas. Al Haitsami berkomentar, “Dalam hadits

tersebut ada Abu al-Jarud al A’ma, dan dia matruuk (tidak dipakai haditsnya) dan kadzdzaab (pendusta)” (Zuhaili, V:477).

b) Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:

ىَلِإ ُعْيَ بْلَا :ُةَكَرَ بْلا ّنِهْيِف ٌثَاَث :َلاَق َمّلَسَو ِهِلآَو ِهْيَلَع ُها ىّلَص ّيِبّلا ّنَأ

هجام نبا اور( ِعْيَ بْلِل َا ِتْيَ بْلِل ِرْيِعّشلاِب ّرُ بْلا ُطْلَخَو ،ُةَضَراَقُمْلاَو ،ٍلَجَأ

بيهص نع

)

HR Ibnu Majah meriwayatkan dari Shuhaib r.a. bahwa "Nabi bersabda, Ada tiga hal yang mengandung berkah:

jual beli tidak secara tunai, muqāraḍah (muḍārabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual." (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).

Hadits ini sanadnya dhaif (lemah) dan yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitab Maraatib al-Ijmaa’: Setiap bab dalam fiqh mempunyai dalil dari Al-Qur’an atau sunnah kecuali qiradh

(muḍārabah). Kami tidak menemukan dalil tentang


(40)

Akan tetapi, ada dalil ijma yang shahih, dan kami meyakini bahwa pada masa Rasulullah terdapat masalah qiradh, kemudian Rasulullah mengetahuinya dan menetapkannya (Zuhaili, V:477).

c) Ijma

Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, muḍārib) harta anak yatim sebagai

muḍārabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka.

Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’.

c. Rukun Muḍārabah

Muḍārabah sebagai sebuah kegiatan kerjasama ekonomi

antara dua pihak mempunyai beberapa ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka mengikat jalinan kerjasama tersebut dalam kerangka hukum.

Al-Arba’ab dalam Suhendi (2002:139) menjelaskan bahwa rukun-rukun muḍārabah atau qiradh ada enam, yaitu :

1) Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya.

2) Yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang.

3) Akad muḍārabah, dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang.


(41)

5) ‘Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba.

6) Keuntungan. d. Syarat Muḍārabah

Dalam suatu perjanjian muḍārabah harus memenuhi syarat-syarat sah yang harus dipenuhi, meliputi syarat-syarat yang menyangkut subjek perjanjian dan syarat yang menyangkut objek perjanjian. Bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian bagi hasil harus sama-sama sudah dewasa (balig), sehat akalnya, dan wewenang dalam melakukan tindakan tersebut. Terhadap objek yang akan dibagi hasilkan harus benar-benar miliknya secara sah, jelas, dan tidak dalam proses sengketa (Muhammad, 2010:104).

Menurut Sayid Sabiq (1986:33) dalam suatu perjanjian bagi hasil (muḍārabah), harus memenuhi syarat-syarat sebagi berikut: 1) Modal itu berbentuk uang tunai, jika ia berbentuk emas atau

perak batangan (tabar), atau barang perhiasan atau barang dagangan, maka tidak sah.

2) Modal diketahui dengan jelas, agar dibedaknnya modal yang diperdagangkan dengan keuntungan yang dibagikan untuk kedua belah pihak, sesuai dengan kesepakatan.

3) Keuntungan yang menjadi milik pekerja dan pemilik modal jelas prosentasinya. Seperti setengah, sepertiga atau seperempat.


(42)

4) Muḍārabah itu bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat si pelaksana (pekerja) untuk berdagang pada waktu tertentu, atau berdagang pada waktu tertentu, sementara di waktu lain tidak, atau ia hanya bermuamalah kepada orang-orang tertentu dan syarat lain semisalnya. Karena persyaratan yang mengikat, seringkali dapat menyimpangkan tujuan akad, yaitu keuntungan. Karena itu harus tidak ada persyaratannya, tanpa itu muḍārabah menjasi fasid.

Demikian menurut mazhab mailiki dan asy syafi’i.

Sedangkan menurut Zuhaili (V: 482-488) agar muḍārabah menjadi sah maka disyaratkan:

1) Syarat-syarat pelaku akad

Hal-hal yang disyaratkan dalam pelaku akad (pemilik modal dan muḍārib) adalah keharusan memenuhi kecakapan untuk melakukan wakalah. Hal itu karena muḍārib bekerja atas perintah pemilik modal.

2) Syarat-syarat modal

a) Modal harus berupa uang yang masih berlaku. Maka tidak boleh melakukan muḍārabah dengan modal berbentuk barang, baik harta bergerak maupun tidak bergerak. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Sedangkan menurut minoritas ulama boleh mengganti modal dengan barang bukan uang tetapi harus diketahui


(43)

satuan harga dan nilainya agar sah untuk dijadikan modal muḍārabah.

b) Besarnya modal harus diketahui. Jika besarnya modal tidak diketahui, maka muḍārabah itu tidak sah, karena ketidak jelasan terhadap keuntungan. Sementara penentuan jumlah keuntungan merupakan syarat sah dalam muḍārabah.

c) Modal harus barang tertentu dan ada, bukan utang.

muḍārabah tidak sah dengan utang dan modal yang

tidak ada.

d) Modal harus diserahkan kepada āmil (muḍārib). Hal itu agar āmil bisa bekerja sesuai dengan modal tersebut. 3) Syarat-syarat keuntungan

a) Besarnya keuntungan harus diketahui. Hal itu karena objek akad atau tujuan akad dari akad adalah keutungan sementara ketidak jelasan terhadap objek akad dapat menyebabkan batalnya akad.

b) Keutungan merupakan bagian dari milik bersama

(musyaa’) yaitu dengan rasio persepuluh atau bagian dari

keuntungan, seperti jika keduanya sepakat dengan sepertiga, seperempat, atau setengah.

Apabila rukun dan syarat perjanjian bagi hasil telah terpenuhi, maka perjanjian tersebut akan mempunyai kekuatan


(44)

hukum mengikat dan juga harus dilaksanakan dengan itikad baik oleh para pihak. Hal ini juga sejalan dengan KUH-Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang mengadakannya (Anshori, 2010:105).

e. Jenis-jenis Muḍārabah

Secara umum muḍārabah terbagi kepada dua jenis muḍārabah mutlaqah dan muḍārabah muqayyadah (Mardani, 2012:199-200).

1) Muḍārabah mutlaqah

Yang dimaksud dengan transaksi muḍārabah mutlaqah adalah bantu kerja sama antara ṣāḥib al-māl dan muḍārib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.

2) Muḍārabah muqayyadah

Muḍārabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah

restriced mudharabah/specified muḍārabah adalah kabalikan dari muḍārabah mutlaqah. Si muḍārib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.

f. Hak dan Kewajiban Pemilik Modal

Sebagai sebuah akad kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda dalam proses bersatu dalam tujuan tentunya dalam melakukan akad tersebut ada batasan-batasan yang


(45)

mengatur dan melindungi salah satu pihak yang bersangkutan. Dalam akad muḍārabah pihak-pihak yang melakukan akad akan mempunyai hak dan kewajibannya dalam melakukan suatu perjanjian kerjasama.

1) Hak pemilk modal

Pemilik modal berhak mengambil keuntungan yang telah ditentukan jika terdapat keuntungan dalam modal. Jika tidak ada keuntungan, maka dia tidak menanggung apa pun untuk muḍārib (Zuhaili, V:507).

2) Kewajiban Pemilik Modal

Menurut ulama Hanafiyah dan Hambaliaah pemilik modal diperbolehkan untuk membuat persyaratan bagi āmil dalam tindakannya dalam mengelola modal. Syarat yang diberikan bisa meliputi: batasan tempat, batasan orang, batasan waktu, dan barang dagangan dalam transaksi jual beli. Sedangkan

menurut Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan batasan

tempat dan jenis barang dagangan dan melarang adanya batasan waktu dan hubungan dagang yang dilakukan āmil (Zuhaili, V:500).

a) Pemilik modal tidak diperbolehkan ikut campur terhadap tindakan yang dilakukan āmil dalam usahanya mengelola


(46)

modal. Muḍārabah terjadi dengan adanya penyerahan modal kepada āmil. Turut campurnya pemilik modal dianggap menghilangkan sifat penyerahan karena tetapnya kewenangan pemilik modal terhadap modal yang diberikan. Hal ini bisa menghalangi kebebasan āmil dalam usaha mengelola dan mengembangkan modal yang diterima.

g. Hak dan Kewajiban Pengelola Modal

Sebagai sebuah akad kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda dalam proses bersatu dalam tujuan tentunya dalam melakukan akad tersebut ada batasan-batasan yang mengatur dan melindungi salah satu pihak yang bersangkutan. Dalam akad muḍārabah pihak-pihak yang melakukan akad akan mempunyai hak dan kewajibannya dalam dalam melakukan suatu perjanjian kerjasama.

1) Hak pengelola modal:

a) mil muḍārib adalah orang yang memegang amanah

(āmin) berkaitan dengan modal yang ada ditangannya sehingga āmil muḍārib berhak melakukan tindakan yang dianggap perlu dilakukan demi kelancaran dalam mengembangkan usahanya sesuai dengan syarat dan


(47)

ketentuan yang telah diberikan oleh pemilik modal (Zuhaili, V:492).

b) Muḍārib boleh membeli sesuatu karena kedudukannya

seperti wākil dalam membeli dan menjual, karena dia mengelola modal orang lain dengan izin pemilik modal sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah diberikan oleh pemilik modal (Zuhaili, V:492).

c) Menurut mayoritas para ulama, muḍārib berhak mendapat biaya ketika sedang bepergian dan tidak berhak ketika sedang menetap. Biaya ini diambil dari keuntungan jika ada dan jika tidak ada maka ambil dari modal

muḍārabah. Biaya tersebut mencakup apa yang

dibutuhkan oleh muḍārib, seperti makanan dan pakaian (Zuhaili, V:503).

d) Muḍārib berhak mendapatkan keuntungan yang telah

disepakati sebagai kompensasi atas pekerjaannya dalam

muḍārabah jika dalam mudharabah itu mendapatkan

keuntungan. Jika tidak ada keuntungan, maka muḍārib tidak berhak mendapatkan apa pun, karena dia telah bekerja untuk dirinya sendiri sehingga tidak berhak mendapatkan upah (Zuhaili, V:505).


(48)

e) Apabila akad berbentuk muḍārabah mutlaqah, pekerja bebas mengelola modal dengan jenis barang dagangan apa saja, di daerah mana saja, dan dengan siapa saja, dengan ketentuan bahwa apa yang ia lakukan itu di duga keras akan mendatangkan keuntungan (Haroen, 2007:179).

2) Kewajiban Pengelola Modal

a) Seorang muḍārib harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan

muḍārabah sesuai dengan yang biasa dilakukan oleh

āmil-āmil lainnya, sesuai dengan kebiasaan dalam perdagangan. Jika muḍārib menyewa (memperkerjakan seseorang) atas pekerjaan yang wajib dikerjakan olehnya, maka dia wajib memberikan upah dari hartanya, bukan dari harta qiradh. Dia boleh menyewa (memperkerjakan seseorang) atas pekerjaan dengan harta muḍārabah, jika pekerjaan itu bukan dari pekerjaan yang wajib dilakukan oleh āmil menurut kebiasaan dalam perdagangan (Zuhaili, V:492).

b) Jika muḍārabah itu berbentuk muqayyadah, maka

muḍārib harus melakukan usahanya sesuai dengan apa

yang di syaratkan dan sesuai dengan batasan yang sudah ditentukan oleh pemilik modal (Zuhaili, V:500).


(49)

h. Pembagaian Keuntungan

Menurut Siddiqi dalam Sula (2004, 336) Pembagian keuntungan dalam akad muḍārabah adalah:

1) Keuntungan akan dibagi di antara para mitra usaha dengan bagian yang telah ditentukan oleh mereka. Pembagian keuntungan tersebut bagi setiap mitra usaha harus ditentukan sesuai bagian tertentu atau presentase. Tidak ada jumlah pasti yang dapat ditentukan bagi pihak manapun.

2) Pihak-pihak yang berhak atas pembagian keuntungan usaha boleh meminta bagian mereka hanya jika para penanam modal awal telah memperoleh kembali investasi mereka. Juga apabila sebagai pemilik modal yang sebenrnya atau suatu transfer yang sah sebagai hadiah mereka.

Menurut Zuhaili (V: 505) muḍārib berhak mendapat keutungan yang telah disepakati sebagai kompensasi atas pekerjaannya dalam muḍārabah jika dalam muḍārabah itu mendapatkan keuntungan. Jika tidak ada keuntungan, maka

muḍārib tidak berhak mendapatkan apapun, karena dia telah

bekerja untuk dirinya sendiri dan tidak berhak mendapatkan upah. keuntungan itu bisa diketahui setelah adanya pembagian,


(50)

dan syarat bolehnya dilakukan pembagain keuntungan sebelum modal diambil dari tangan muḍārib.

i. Hukum Perselisihan Pemilik Modal dan Pengelola Modal

Pemilik modal dan mudharib terkadang berselisih dalam hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan muḍārabah, seperti perselisihan dalam masalah keumuman dan kekhususan pekerjaan, kerusakan modal, pengembalian modal, besarnya keuntungan yang disyaratkan, dan besarnya modal (Zuhaili, V:508-511).

1) Perselisihan dalam keumuman dan kekhusuan pekerjaan. Jika pemilik modal dan muḍārib berselisih dalam masalah keumuman atau kekhususan pekerjaan, maka perkataan yang diterima adalah perkatan orang yang melakukan keumuman. Seperti jika salah seorang di antara mereka mengaku melakukan muḍārabah secara umum sedangkan pihak lainnya mengaku melakukan muḍārabah secara khusus maka perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang mengaku keumuman, karena keumuman sesuai dengan tujuan akad muḍārabah.

Jika mereka berdua berselisih dalam masalah kemutlakan dan keterbatasan muḍārabah, maka perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang mengaku kemutlakan. Seperti


(51)

untuk berdagang gandum bukan lainnya”, sedangkan

muḍārib berkata, “Kamu tidak mengatakan padaku untuk

berdagang dalam perdagangan khusus”. Maka perkataan yang

diterima adalah perkataan mudharib yang disertai sumpah, karena kemutlakan itu lebih dekat pada pencapaian tujuan

muḍārabah.

Jika mereka berdua berselisih dalam jenis tertentu untuk

muḍārabah, seperti jika pemilik modal berkata, “Saya

memberikan modal padamu untuk muḍārabah dalam

pakaian”, dan muḍārib berkata, “Bukan, tapi dalam biji

-bijian”, maka perkataan yang diterima adalah perkataan pemilik modal, karena dalam masalah ini tidak mungkin menguatkan salam satu perkataan tersebut dengan pertimbangan tujuan akad.

2) Perselisihan dalam kerusakan modal

Jika pemilik modal dan muḍārib berselisih dalam kerusakan modal dimana muḍārib mendakwa terjadi kerusakan dan pemilik modal mengingkarinya, atau keduanya berselisih dalam terjadinya pengkhianatan atau pelanggaran dimana pemilik modal mendakwa kan hal itu dan muḍārib mengingkarinya, maka perkataan yang diterima adalah perkataan muḍārib berdasarkan kesepakatan ulama. Hal itu karena muḍārib adalah āmin (orang yang dipercaya dalam


(52)

menerima amanah) sementara secara hukum asal tidak ada pengkhianatan, maka perkataan yang diterima adalah perkataannya, sama seperti wadii’(orang yang dititipi barang).

3) Perselisihan dalam pengembalian modal

Jika mereka berdua berselisih dalam masalah pengembalian modal, dimana āmil mendakwa telah terjadi pengembalian dan pemilik modal mengingkarinya, maka perkataan yang diterima menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah perkataan pemilik modal, seperti yang telah disebutkan diatas. Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan

Syafi’iyah perkataan yang direrima adalah perkataan

muḍārib, karena dia adalah orang yang diberi amanah seperti

wadii’ (orang yang dititipi barang). 4) Perselisihan dalam jumlah modal

Jika mereka berdua berselisih dalam masalah besarnya modal, maka perkataan yang diterima adalah perkataan

muḍārib menurut kesepakatan ulama. Seperti jika pemilik

modal berkata, “Saya telah memberikan dua ribu padamu”,

dan muḍārib berkata, “Kamu hanya memberikan seribu

padaku”, maka perkataan yang diterima adalah perkataan

muḍārib, karena mereka berdua berselisih dalam masalah


(53)

yang diterima adalah perkataan yang memegang dengan alasan bahwa jika dia mengingkari telah menerima, dan

berkata, “Saya tidak menerima apapun dari kamu”, maka

perkataan yang diterima adalah perkataannya, maka demikian juga jika dia mengingkari sebagiannya saja.

Jika mereka berdua berselisih dalam masalah besarnya modal dan keuntungan, seperti jika pemilik modal berkata,

“Modalnya adalah dua ribu dan keuntungan yang disepakati adalah sepertiga”, dan muḍārib berkata, “Modalnya adalah

seribu dan keuntungan yang disepakati adalah setegah”,

menurut ulama Hanafiah dan Hanabilah bahwa perkataan yang diterima adalah muḍārib dalam besarnya jumlah modal, dan perkataan pemilik modal dalam masalah besarnya jumlah

keuntungan. Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa

perkataan yang dibenarkan dalam dua masalah tersebut adalah perkataan āmil yang disertai dengan sumpah, karena dalam masalah pertama secara hukum asal tidak ada pemberian lebih atas modal, dan dalam masalah kedua secara hukum asal ada keuntungan.

5) Perselisiahan dalam Jumlah Keuntungan

Jika pemilik modal dan muḍārib berselisih dalam masalah besarnya keuntungan yang disepakati dalam akad, maka menurut ulama Hanafiah dan Hanabilah dalam riwayat yang


(54)

kuat dari Ahmad bahwa perkataan yang diterima adalah perkataan pemilik modal.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa perkataan yang diterima adalah perkataan muḍārib yang disertai dengan sumpah dalam masalah besarnya bagian keuntungan, karena

muḍārib adalah āmin (orang yang menerima amanah). Tetapi,

disyaratkan terpenuhinya dua syarat yaitu pertama, muḍārib mengatakan hal yang serupa dengan kebiasaan orang-orang dalam muḍārabah. Dan kedua, modal itu masih ada pada

muḍārib, baik secara hakiki maupun hukmi, seperti jika

barang itu sebagi wadiah (titipan) pada orang lain.

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa jika muḍārib dan pemilik modal berselisih dalam masalah besarnya keuntungan yang disyaratkan bagi muḍārib, seperti muḍārib

berkata pada pemilik modal, “Kamu menyetujui setengah

dari keuntungan untukku”, dan pemilik modal berkata, “Tidak, tapi sepertiga dari keuntungan,” maka mereka berdua

diminta untuk bersumpah, sama seperti perselisihan penjual dan pembeli dalam masalah besarnya harga. Akad itu tidak batal dengan sumpah tersebut, tetapi batal jika keduanya, salah satunya, atau hakim membatalkan akadnya. Dalam hal ini, āmil berhak mendapat upah umum yang tertinggi dari pekerjaannya, karena tidak mungkin mengembalikan


(55)

pekerjaan āmil padanya, oleh karenanya wajib memberikan pada āmil nilai pekerjaannya, yaitu upah.

Jika keduanya berselisih dalam masalah adanya keuntungan, seperti jika āmil berkata, “Saya tidak

memperoleh untung”, maka perkataan ‘amil itu diterima

dengan disertai sumpah, karena secara hukum asal tidak ada keuntungan.

6) Perselisihan dalam sifat modal

Jika mereka berdua berselisih dalam masalah sifat modal, seperti jika pemilik modal berkata, “Saya memeberikan modal padamu untuk muḍārabah, wadiah, atau ibdha’ dalam membeli dan menjual, dan ‘amil berkata, “Bukan, tapi kamu memebrikan modal itu sebagai pinjaman dan seluruh

keuntungannya untukku”, maka menurut ulama Hanafiyah,

Hanabilah dan Syafi’iyah, perkataan yang diterima adalah

perkataan pemilik modal. Pasalnya, modal yang diberikan itu adalah miliknya, maka perkataannyalah yang menyifati bentuk modal yang dikeluarkannya.

Sedangkan menurut ulama Malikiyah bahwa perkataan yang diterima adalah perkatan āmil yang disertai dengan sumpah, sama seperti perselisihan dalam masalah bagian keuntungan, karena posisi āmil itu kuat dengan adanya


(56)

pekerjaannya, dan karena āmil adalah āmin (orang yang menerima amanah).

Jika pemilik modal berkata, “Saya memberikan kamu pinjaman”, dan muḍārib berkata. “Kamu memberikan modal pada saya untuk muḍārabah”, maka perkataan yang diterima menurut mayoritas ulama adalah perkataan muḍārib, karena keduanya sepakat bahwa modal itu diberikan dengan izin pemilik modal menuntut muḍārib untuk memberikan jaminan pada modal tersebut, dan muḍārib mengingkarinya, oleh karenannya perkataan yang diterima adalah perkataan

muḍārib.

Menurut ulama Malikiyah, perkataan yang diterima adalah perkataan pemilik modal yang disertai dengan sumpah, karena posisinya kuat dengan dalil bahwa hukum asal dalam masalah menguasai harta orang lain adalah memberikan jaminan, begitu juga dengan tuntutan pemilik modal.

j. Hal-hal yang Membatalkan Akad Muḍārabah

Muḍārabah menjadi fasakh (batal) karena hal-hal berikut

(Sabiq, 1986:36):

1) Tidak terpenuhinya syarat sahnya.

Jika ternyata satu syarat muḍārabah tidak terpenuhi sedang pelaksana sudah memegang modal dan sudah diperdagangkan,


(57)

maka dalam keadaan seperti ini dia berhak mendapatkan bagian dari sebagian upahnya, karena tindakannya adalah berdasarkan izin dari pemilik modal dan dia melakukan tugas yang ia berhak mendapatkan upah.

Jika terdapat keuntungan, maka untuk pemilik modal dan kerugian pun menjadi tanggung jawabnya. Karena si pelaksana tak lebih dari seorang bayaran (ājir) dan seorang bayaran tidak terkena kewajiban menjamin, kecuali jika hal itu disengaja. 2) Bahwa pelaksana bersengaja atau tidak melakukan tugas

sebagaimana mestinya dalam memlihara modal, atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad.

Dalam keadaan seperti ini mudharabah menjadi batal dan ia berkewajiban menjamin modal jika ia rugi, karena dialah penyebab kerugian.

3) Bahwa pelaksana meninggal dunia atau si pemilik modalnya. Jika salah seorang meninggal dunia, muḍārabah menjadi fasakh (batal).

3. GADUH SAPI

a. Pengertian Gaduh Sapi

Gaduh menurut bahasa adalah meminjamkan. Gaduh menurut istilah adalah sistem bagi hasil di usaha pertanian atau peternakan (biasanya separuh atau sepertiga dari hasil untuk penggaduh) (http://kbbi.web.id/gaduh).


(58)

Suatu perjanjian bagi hasil ternak, adalah persetujuan yang diadakan antara pihak pemilik ternak dengan pihak pemelihara dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil ternak menurut hukum adat berlaku dengan cara membagi anak, sedangkan ternak bibitnya tetap (Hadikusuma,2001:155). Sedangkan menurut masyarakat, gaduh sapi adalah akad meminjamkan modal kepada pengelola yang mempunyai skill dalam pemeliharaan sapi, yang modalnya disini di ganti dengan sapi untuk dipelihara dalam waktu tertentu dengan harapan akan mendapatkan keuntungan dari hasil pemeliharaan. Kemudian keuntungan dibagi sesuai dengan adat kebiasaan yang biasanya dilakukan di masyarakat (Wawancara dengan Bapak Sigit Purnama).

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis bagi dalam lima bab yang akan peneliti uraikan dalam sub-sub bab. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan, dalam bab ini dipaparkan mengenai latar belakang dari permasalahan yang peneliti kaji, rumusan permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, kerangka teoritik yang membahas tentang konsep dasar akad seperti pengertian, rukun dan syarat akad. Kemudian membahas tentang konsep dasar mudharabah, pengertian mudharabah, hukum dasar mudharabah, rukun mudharabah, syarat mudharabah, jenis mudharabah, hak dan kewajiban pemilik modal,


(59)

hak dan kewajiban pengelola modal, pembagian keuntungan, hukum perselisihan pemilik modal dengan pengelola. Juga membahas tentang konsep dasar gaduh sapi.

BAB II adalah pembahasan tentang metode penelitian yang digunakan dalam peneitian ini, yang menguraikan jenis penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data.

BAB III adalah pembahasan tentang praktik bagi hasil gaduh sapi di Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul Ditinjau Dari Hukum Islam, bab ini terdiri dari beberapa sub-sub bab, antara lain: Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, ulasan tentang bagi hasil gaduh sapi, praktik bagi hasil gaduh sapi yang terjadi Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul dan ditinjau menurut hukum Islam tentang praktik bagi hasil gaduh sapi di Desa Wirokerten.

BAB IV dalam penelitian ini berisi kesimpulan dari seluruh penelitian yang dilakukan, dan saran atau rekomendasi untuk beberapa pihak terkait.


(60)

BAB II

METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Metodologi dalam penelitian ini adalah kualitatif. Jenis metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian field research yaitu penilitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data secara langsung dari tempat penelitian dengan cara menguraikan, mendeskripsikan, dan menjelaskan keadaan yang sebenarnya dari objek penelitian yang nantinya akan didapatkan data primer. Selanjutnya dalam penelitia ini juga digunakan data sekunder dengan cara mengkaji data-data primer yang sudah ada didapatkan dari penelitian lapangan untuk disajikan sesuai dengan data yang diperoleh.

Penelitian ini diawali dengan melakukan observasi lapangan secara langsung, kemudian membuat jadwal untuk wawancara dengan beberapa informan dan melakukan analisis data yang didapat pada saat melakukan wawancara. Analisa juga dilakukan terkait dengan akad yang digunakan, proses pemeliharaan sapi, dan penanggungan resiko yang terjadi pada saat pemeliharaan sapi.

B. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah aplikasi proses praktik bagi hasil gaduh sapi di wilayah Kabupaten Bantul.


(61)

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Wirokerten Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul. Pemilihan lokasi didasarkan karena adanya permasalahan yang menarik pada sistem gaduh sapi yang sering dipraktekan masyarakat pada saat masa pemeliharaan sapi dan penanggungan resiko yang terjadi pada saat masa pemeliharaan sapi. D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah pemilik modal dan pengelola modal pada praktik bagi hasil gaduh sapi di Desa Wirokerten Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul. Dalam penelitian ini peneliti meneliti sebanyak 6% dari total jumlah pemilik ternak sapi yang ada di Desa Wirokerten.

E. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data pada peneltian ini maksudnya adalah subjek dari mana data itu diperoleh. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua sumber data, yaitu :

1) Data Primer

Data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya, dalam hal ini subjek penelitian (informan) yang berkenaan dengan variabel yang diteliti (Arikunto, 2010 : 22). Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli


(62)

(tidak melalui media perantara). Data primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan cara obseravasi, wawancara, serta dokumentasi dengan pihak yang melakukan gaduh sapi di Kelurahan Wirokerten Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul.

2) Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen grafis meliputi tabel, catatan, notulen rapat, SMS, dan lain-lain (Arikunto, 2010 : 22). Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh dari data-data yang ada di Kelurahan Wirokerten Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul yang berkaitan dengan jumlah penduduk, jumlah pemelihara sapi, luas wilayah Desa Wirokerten, dan data-data lain yang berkaitan dengan profil Kelurahan Wirokerten.

F. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memenuhi data yang memadai dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1) Observasi

Marsal et.al. (1995) dalam sugiono (2010:403) menyatakan bahwa “through observation, the researcher learn about

behavior and the meaning attached to those behavior”. Melalui


(63)

perilaku tersebut. Dengan cara observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi social, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang holistic atau menyeluruh. Dari observasi tersebut peneliti dapat mengamati bagaimana proses pemeliharaan sapi gaduh dan bagi hasi yang dilakukan.

2) Wawancara

Esterberg et.al. (2002) dalam Sugiono (2010:410) mendefinisikan interview atau wawancara sebagai berikut:

A meeting of two person to exchange information and idea throught question and responses in comunication and joint

construction of meaning about a particular topic”

Dari paparan diatas interview atau wawancara adalah merupakan peretmuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Dalam penelitian ini objek wawancara adalah aplikasi praktik proses bagi hasil gaduh sapi di wilayah Kabupaten Bantul.

3) Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya momumental dari seseorang. Dokumen ini diperoleh dari data-data yang ada di Kelurahan Wirokerten Kecamatan Banguntapan


(64)

yang berkaitan dengan profil Kelurahan Wirokerten ataupun data yang didapat pada saat melakukan penelitian.

G. Analisis Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis deskriptif-kualitatif yaitu dengan cara menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu data dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya. Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah selanjutnya adalah melakukan reduksi data yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi. Abstraksi sendiri merupakan usaha membuat rangkuman yang inti masalah, proses penelitian, dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya (Moleong, 2001:190). Proses analisis data dimulai dengan cara mereduksi data yang diperoleh dan menyorit data dengan cara memilih mana yang menarik, penting, berguna dan baru.


(65)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Profil Wilayah Desa Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul

Sebagai gambaran kondisi wilayah di Kelurahan Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, maka perlu kiranya penulis laporkan keadaan beberapa aspek kehidupan, antara lain sebagai berikut : 1. Keadaan Geografis

Kelurahan Wirokerten merupakan salah satu Kelurahan yang terletak di Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul. Dengan luas wilayah mencapai 413,83 hektar. Mata pencaharian mayoritas penduduknya adalah petani.

Jarak pemerintah Desa menuju pemerintahan Kecamatan adalah 2 KM, jarak dari pusat pemerintahan Desa menuju pemerintahan Kabupaten adalah 15 KM, sedangkan jarak pusat pemerintahan Desa menuju pemerintahan Provinsi adalah 14 KM. Adapun batas-batas Kelurahan Wirokerten adalah sebagai berikut :

Sebelah utara : Desa Banguntapan, Desa Singosaren, Desa Baturetno, Kelurahan Purbayan

Sebelah selatan : Desa Wonokromo, Desa Pleret Sebelah timur : Desa Jambidan, Desa Potorono


(66)

Sebelah Barat : Desa Tamanan

Pemanfaatan lahan di Kelurahan Wirokerten sebagian besar digunakan untuk lahan sawah, yaitu sekitar 87,90 hektar dari total lahan 413,83 hektar.

2. Kondisi Demografi

Jumlah penduduk Kelurahan Wirokerten seluruhnya 12.484 jiwa, yang terdiri dari perempuan 6.279 jiwa dan laki-laki 6.205 jiwa. Dan jumlah kepala keluarga adalah 3.979 KK dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Usia

Usia Laki-laki

(jiwa)

Perempuan (jiwa)

<1 77 55

1-5 568 497

6-10 555 566

11-15 497 453

16-20 435 458

21-25 427 390

26-30 454 455

31-35 535 574

36-40 520 529

41-45 479 472

46-50 408 412


(67)

56-60 349 294

61-65 210 182

66-70 136 147

71-75 118 139

>75 125 171

Jumlah 6279 6204

Sumber : Instrumen Pendataan Profil Desa Wirokerten 2014 3. Keadaan Ekonomi

Penduduk Kelurahan Wirokerten menurut mata pencaharian jumlahnya ada 3.957 jiwa dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 1.2. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Jenis mata pencaharian Laki-laki

(jiwa)

Perempuan (jiwa)

Petani 31 13

Buruh Tani 520 583

Pegawai Negeri Sipil 185 153

Pengrajin 5 -

Pedagang barang Kelontong

24 30

Peternak 1 -

Montir 1 -

Dokter swasta 2 3


(68)

Bidan swasta - 5

TNI 32 -

POLRI 64 3

Guru Swasta 16 55

Dosen Swasta 16 8

Seniman/artis 2 -

Pedagang Keliling 6 8

Tukang Kayu 6 -

Tukang Batu 10 -

Pembantu Rumah Tangga - 3

Pengacara 3 1

Notaris 2 1

Karyawan Perusahaan Swasta

588 401

Karyawan Perusahaan Pemerintah

18 8

Wiraswata 758 618

Perangkat Desa 8 2

Buruh Harian Lepas 1267 1093

Buruh Usaha Jasa Transportasi

1 -

Sopir 2 -


(69)

Tukang Rias - 1

Karyawan Honorer 3 3

Wartawan 3 -

Pemuka Agama 2 -

Kepala Daerah - 1

Pelaut 3 -

Peneliti 1 -

Jumlah 3581 3015

Sumber : Instrumen Pendataan Profil Desa Wirokerten 2014

Sebagian besar masyarakat di Kelurahan Wirokerten bermata pencaharian di bidang pertanian. Namun tidak hanya itu saja, banyak warganya juga yang melakukan kegiatan dalam bidang peternakan sebagai pekerjaan sampingan, untuk lebih jelas terdapat pada tabel berikut:


(70)

Tabel 1.3. Jumlah Populasi Peternakan

Jenis Ternak Jumlah Pemilik (jiwa)

Perkiraan Jumlah Populasi (ekor)

Sapi 145 388

Ayam Kampung 805 5514

Ayam Broiler 3 10000

Bebek 32 367

Kambing 143 773

Sumber : Instrumen Pendataan Profil Desa Wirokerten 2014

Jumlah tenaga kerja di Kelurahan Wirokerten juga termasuk produktif, untuk lebih jelas terdapat pada tabel berikut :

Tabel 1.4. Jumlah Tenaga Kerja

Tenaga kerja Laki-laki (jiwa)

Perempuan (jiwa) Penduduk usia 18-56 tahun

yang bekerja

1470 1254

Penduduk usia 18-56 tahun yang belum/tidak bekerja

938 896


(71)

Tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Wirokerten termasuk kelurahan yang sejahtera, walaupun masih ada sebagian masyarakat yang masih hidup dalam kategori pra-sejahtera.

4. Keadaan Sosial

Warga Desa Wirokerten merupakan kelompok masyarakat yang religius, dimana kegiatan-kegiatan keagamaan sangat dominan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh diadakannya pengajian ibu-ibu, pengajian yang diadakan bapak-bapak, serta pengajian remaja yang diadakan secara rutin, dan masih banyak lagi praktik keagamaan yang masih dipertahankan hingga sekarang. Untuk mengetahui dengan lebih jelas jumlah pemeluk agama di Desa Wirokerten dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 1.5. Susunan Penduduk Menurut Agama

Agama Laki-laki

(jiwa)

Perempuan (jiwa)

Islam 6194 6111

Kristen 52 57

Katholik 27 30

Hindu 3 4

Budha 3 3

Jumlah 6.279 6.205


(1)

I : saya yang ngurusi ngasih makan minum, ngombor. Pokoknya ngurusi semua kebutuhan sapi pada saat proses pemeliharaan sapi. Ngombornya pake dedak saja soalnya dapat waktu nggiling padi, tetapi kalau yang lain ada yang pakai ampas tahu sekali komboran biasanya Rp. 4.000.

N : Bagaimana pembagian keuntungan dari praktik gaduh sapi ini ?

I : Dulu waktu saya ditawari untuk gaduh sapi perjanjian bagi hasilnya itu maro bathi, jadi kalau anaknya dijual hasil penjualannya dibagi dua dengan pemilik modal. Nanti untuk sapi indukannya tetap utuh, nanti kembali lagi ke pemilik modal.

N : Apakah menurut anda keuntungan yang anda terima sebanding dengan pengeluaran untuk pemeliharaan sapi tersebut ?

I : Yang penting sama-sama ikhlas mba, kalau istilahnya nyelengi bau cuma bisa modal tenaga saja. Kalau ada rejeki ya disusuki anakannya.

N : Masalah/kendala apa saja yang pernah terjadi ketika praktik gaduh sapi ?

I : Anakan sapi dari hasil sapi yang saya gaduh itu mati. Jadi saya tidak mendapatkan keuntungan apa-apa. Dari pemilik modal juga tidak memberikan sedikit ganti rugi kepada saya selama masa pemeliharaan sapi. Yaa mau gimana lagi mba yang penting semuanya ikhlas sama ikhlas saja. Kan semuanya juga sama-sama rugi, saya juga rugi tenaga.

N : Bagaimana cara mengatasi masalah yang terjadi tersebut ?

I : Yasudah mba kalau sapinya mati mau diapakan lagi, waktu itu juga tidak ada perjanjian bagi hasil lagi.


(2)

Informan: bapak Supri Pengelola modal

N : Apakah yang anda ketahui tentang gaduh sapi ? I : Nabung tapi dengan cara memelihara sapi orang mba.

N : Tujuan gaduh sapi apa yang anda sepakati dengan pemilik modal, apakah penggemukan sapi atau menghasilkan keturunan ?

I : Untuk penggemukan sapi

N : Apakah anda tahu bahwa di agama Islam ada hukum tentang bagi hasil ? kalau anda tau menurut anda seperti apa ?

I : Tidak tau mba, yang penting halal kan bagi hasilnya sama rata

N : Bagaimana akad/perjanjian gaduh sapi yang anda lakukan dengan pemilik modal ? apakah pada saat melakukan perjanjian membahas tentang siapa yang harus menanggung biaya dokter ketika sapi sakit dan kawin suntik ?

I : Dilakukan secara omong-omongan saja mba. Kalau spi sakit dan kawin suntik yang menanggung biaya dokter yang punya modal.

N : Bagaimana cara pemberian modal yang dilakukan pemilik modal dengan anda ? I : waktu saya sepakat untuk menggaduh sapi, pemilik modal langsung memberikan

sapi kepada saya

N : Apakah anda mengetahui berapa besar harga dari tersebut ? I : Tau mba.

N : Bagaimana sistem operasional dari praktik gaduh sapi di Desa Wirokerten ?

Ya saya bertanggung jawab kasih makan minum selama sapi dalam proses pemeliharaan.

N : Bagaimana pembagian keuntungan dari praktik gaduh sapi ini ?

I : Dengan sistem maro bathi. Keuntungannya dibagi rata antara pemilik modal dengan pengelola modal.

N : Apakah menurut anda keuntungan yang anda terima sebanding dengan pengeluaran untuk pemeliharaan sapi tersebut ?

I : Sama rata mba, buat pengelola dan pemilik modal keuntungannya dibagi dua sama rata. Kan kalau butuh uang gede juga tinggal dijual saja mba.

N : Masalah/kendala apa saja yang pernah terjadi ketika praktik gaduh sapi ? I : Belum pernah mba.


(3)

Informan: Ibu Rojilah Pengelola modal

N : Apakah yang anda ketahui tentang gaduh sapi ?

I : memelihara sapi orang nanti keuntungannya dibagi dengan cara maro bathi.

N : Tujuan gaduh sapi apa yang anda sepakati dengan pemilik modal, apakah penggemukan sapi atau menghasilkan keturunan ?

I : Untuk penggemukan sapi

N : Apakah anda tahu bahwa di agama Islam ada hukum tentang bagi hasil ? kalau anda tau menurut anda seperti apa ?

I : Tidak tau mba.

N : Bagaimana akad/perjanjian gaduh sapi yang anda lakukan dengan pemilik modal ? apakah pada saat melakukan perjanjian membahas tentang siapa yang harus menanggung biaya dokter ketika sapi sakit dan kawin suntik ?

I : Dilakukan secara omong-omongan biasa saja mba kan kita yang melakukan kerjasama sudah saling kenal. Ya dibahas mba pokoknya yang nanggung biaya ketika sapi sakit dan kawin suntik yang punya modal soalnya kesepakatan diawal kalau pembagian keuntungan dengan sitem maro bathi maka yang menanggung biaya dokter ketika ada sapi sakit ya pemilik modal.

N : Bagaimana cara pemberian modal yang dilakukan pemilik modal dengan anda ? I : Saya cuma dikasih modal sapi saja, yang beli sapi yang punya modal

N : Apakah anda mengetahui berapa besar harga dari tersebut ? I : Tau mba.

N : Bagaimana sistem operasional dari praktik gaduh sapi di Desa Wirokerten ?

I : Ya saya bertanggung jawab kasih makan minum selama sapi dalam proses pemeliharaan.

N : Bagaimana pembagian keuntungan dari praktik gaduh sapi ini ?

I : Dengan sistem moro bathi. Keuntungannya dibagi rata antara pemilik modal dengan pengelola modal. untuk pengelola 50% untuk pemilik modal 50%.

N : Apakah menurut anda keuntungan yang anda terima sebanding dengan pengeluaran untuk pemeliharaan sapi tersebut ?

I : yaa kalau di hitung beneran rugi mba, tapi ini untuk sarana nabung saja mba, istilahnya nyelengi bau. Pengen punya sapi sendiri tapi tidak punya modal.

N : Masalah/kendala apa saja yang pernah terjadi ketika praktik gaduh sapi ? I : Belum pernah mba.


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

ANALISIS KELAYAKAN INDUSTRI RUMAH TANGGA EMPING MELINJO DI DESA WIROKERTEN KECAMATAN BANGUNTAPAN KABUPATEN BANTUL

0 3 108

PRAKTIK BAGI HASIL PETANI PADI DITINJAU DARI KONSEP EKONOMI ISLAM (Studi Kasus di Pedukuhan Kadibeso, Desa Sabdodadi, Kecamatan Bantul, Kabupaten Bantul)

16 82 123

PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL GADUH PEMELIHARAAN HEWAN TERNAK Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Gaduh Pemeliharaan Hewan Ternak Berdasarkan Hukum Adat( Studi Kasus Di Desa Temboro Kecamatan Karang Tengah Kabupaten Wonogiri Tahun 2016 ).

0 5 14

PELAKSANAAN PERJANJIAN BAGI HASIL GADUH PEMELIHARAAN HEWAN TERNAK Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Gaduh Pemeliharaan Hewan Ternak Berdasarkan Hukum Adat( Studi Kasus Di Desa Temboro Kecamatan Karang Tengah Kabupaten Wonogiri Tahun 2016 ).

0 7 15

LAPORAN INDIVIDU PRAKTEK PENGALAMAN LAPANGAN (PPL) SMA NEGERI 2 BANGUNTAPAN BANTUL ALAMAT : GLONDONG WIROKERTEN,BANGUNTAPAN BANTUL.

1 2 120

Tinjauan hukum Islam terhadap praktik bagi hasil hibah Sapi di Desa Mojomalang Kecamatan Parengan Kabupaten Tuban.

0 2 93

PETANGAN JAWI WONTEN MASARAKAT DHUSUN KERTOPATEN WIROKERTEN BANGUNTAPAN BANTUL.

3 37 176

LAPORAN INDIVIDU PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN (PPL) Periode 10 Agustus – 12 September 2015 Nama Lokasi : SMA N 2 Banguntapan Alamat : Glondong, Wirokerten, Banguntapan, Bantul.

0 0 103

LAPORAN INDIVIDU PRAKTEK PENGALAMAN LAPANGAN (PPL) SMA NEGERI 2 BANGUNTAPAN BANTUL ALAMAT : GLONDONG WIROKERTEN,BANGUNTAPAN BANTUL.

0 0 94

LAPORAN INDIVIDU PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN DI SMA NEGERI 2 BANGUNTAPAN Glondong Wirokerten Banguntapan Bantul Yogyakarta.

0 1 92