PENERAPAN DIVERSI PADA ANAK DALAM KASUS PENCURIAN SEPEDA MOTOR DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN SLEMAN

PENERAPAN DIVERSI PADA ANAK DALAM KASUS
PENCURIAN SEPEDA MOTOR DI WILAYAH HUKUM
KABUPATEN SLEMAN

Skripsi ini disusun untuk memenuhi
Persyaratan guna memperoleh gelas kesarjanaan Strata Satu
Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:
Nama

: Elvi Wahyuliana Siregar

NIM

: 20120610166

Fakultas

: Hukum


Jurusan

: Ilmu Hukum

Bagian

: Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
i

PENERAPAN DIVERSI PADA ANAK DALAM KASUS
PENCURIAN SEPEDA MOTOR DI WILAYAH HUKUM
KABUPATEN SLEMAN

Skripsi ini disusun untuk memenuhi
Persyaratan guna memperoleh gelas kesarjanaan Strata Satu
Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


Disusun Oleh:
Nama

: Elvi Wahyuliana Siregar

NIM

: 20120610166

Fakultas

: Hukum

Jurusan

: Ilmu Hukum

Bagian


: Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
i

HALAMAN MOTTO
“ Rahasia menjadi yang terdepan (berhasil) dalam segala hal adalah dengan
Sesegera mungkin memulainya “ (Mark Twain)
“ Harga kebaikan manusia adalah di ukur menurut apa yang telah dilaksanakan
atau di perbuatnya “ ( Ali bin abi thalib )

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, kupersembahkan karya kecilku ini
untuk orang-orang yang kusayangi :



Teruntuk Bidadari Surgaku, mama tercinta yang selalu menjadi alasan
terbesarku untuk terus menjadi wanita yang tak pernah lelah untuk
menjadi lebih baik.



Teruntuk bapak tercinta yang selalu menjadi penyemangat dalam setiap
langkah kakiku.



Teruntuk Abang ,adik tercinta yang selalu menjadi saudara terbaik dan
selalu siap sedia menjadi sandaranku.

vi

KATA PENGANTAR
Puji dan rasa syukur mendalam penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat

diselesaikan dengan baik. Salam dan salawat semoga selalu tercurahkan kepada
baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Skripsi yang berjudul "Aspek Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis Di Daerah Istimewa Yogyakarta" ini penulis susun
untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Penulis mengucapkan rasa terimasih yang sebesar-besarnya atas semua
bantuan yang telah diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama
penyusunan tugas akhir ini hingga selesai. Secara khusus rasa terimakasih tersebut
penulis sampaikan kepada:
1.

Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.H selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas

Muhammadiyah

Yogyakarta

sekaligus


dosen

pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan dukungan,
2.

Mukhtar Zuhdy, S.H., M.H selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan dorongan dalam penyusunan penulisan
hukum (skripsi) ini,

3.

Dr. Hj. Yeni Widowaty., S.H.,M.Hum selaku ketua penguji sidang
skripsi yang juga memberikan bimbingannya kepada saya,

4.

Bapak/Ibu Dosen yang selalu memberikan ilmunya yang sangat
bermanfaat, hingga penulis bisa berada di tingkat saat ini,


vii

5.

Seluruh

Karyawan

di

Jurusan

Ilmu

Hukum,

Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta
6.


Bapak Alm Darmansyah dan Ibu Isnaniah, selaku orang tua penulis
yang selalu memberikan dukungan dan doa terhadap penulis

7.

Rekan-rekan di Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta yang juga telah banyak membantu penulis.

8.

Teruntuk Seluruh keluarga besarku yang tak pernah lelah memberi
dukungan dan doa.

9.

Teruntuk Nantulang dan Tulang gusti yang telah membangun aku
untuk mengenal arti penting pendidikan dan beliau telah banayak
member semangat dalam hidupku.


10.

Teruntuk

Almarhum Ujing Purnama yang telah memberiku

semangat semoga engkau senang melihat perjuanganku.
11.

Teruntuk Sahabat-sabahat seperjuanganku, I’ll be miss you all.

12.

Teruntuk sahabat terbaik ku Wahyuni yang mendukung ku dalam
penyusunan skripsi ini dan selalu ada saat susah dan senang.

13.

Dan teruntuk Calon imamku Gilang syahputra hasibuan yang telah
mendukung dan semangat hidupku.


Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini belum sempurna, baik
dari segi materi meupun penyajiannya. Untuk itu saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan tugas akhir ini.

viii

Terakhir penulis berharap, semoga tugas akhir ini dapat
memberikan hal yang bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca
dan khususnya bagi penulis juga.

Yogyakarta, Februari 2016
Penulis,

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN ...............................................................

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................
HALAMAN PERNYATAAN .................................................................
HALAMAN MOTTO .............................................................................
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................
KATA PENGANTAR .............................................................................
DAFTAR ISI ............................................................................................
ABSTRAK ...............................................................................................

i
ii
iii
iv
v
vi
ix
ix
xi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
B. Rumusan Masalah .....................................................................
C. Tujuan Penelitian ......................................................................
D. Tinjauan Pustaka .......................................................................
E. Metode Penelitian .....................................................................
F. Sistematika Penulisan Skripsi...................................................

1
5
6
6
15
17

BAB II TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK
A. Tinjauan Tentang Anak ............................................................
B. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Pencurian .............................
C. Tindak Pidana Pencurian oleh Anak .........................................

19
27
31

BAB III PENERAPAN DIVERSI DALAM TINDAK PIDANA
YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
A. Diversi dan Restoratif Justice ...................................................
B. Penerapan Diversi dalam Tindak Pidana yang Dilakukan Anak
C. Diversi dan Restoratif Justice dalam Perspektif Islam..............

37
64
67

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Penerapan Diversi pada Anak yang Terlibat Tindak Pidana
Pencurian Sepeda Motor di Polres Sleman ..............................
B. Pelaksanaan Diversi yang Dilakukan Polres Sleman Terhadap
Anak yang Terlibat Tindak Pidana Pencurian Sepeda
Bermotor... ................................................................................

x

69

78

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................
B. Saran..........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi

89
90

ABSTRAK

Tindak pidana pencurian sepeda bermotor mulai banyak dilakukan oleh
anak-anak, salah satunya di Sleman. Anak yang melakukan tindak pidana
seharusnya diberi perlakuan hukum yang berbeda dengan orang dewasa
mengingat hak-hak anak yang masih harus dilindungi demi menjaga masa
depannya sehingga perlu adanya diversi (penyelesaian di luar pengadilan),
sementara untuk melaksanakan diversi ada syarat dan pertimbangan. Berdasarkan
hal tersebut maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: Bagaimana
penerapan diversi pada anak yang terlibat tindak pidana pencurian sepeda
bermotor di Polres Sleman, dan Bagaimana pelaksanaan diversi yang dilakukan
Polres Sleman terhadap anak yang terlibat tindak pidana pencurian sepeda
bermotor tersebut.
Metode dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian hukum
normatif dengan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara dengan Polres Sleman serta bahan hukum primer dan sekunder.
Analisis data dilakukan dengan deksriptif kualitatif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan diversi yang dilakukan di
Polres Sleman terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencurian sepeda
bermotor didasarkan pada 2 syarat diversi yaitu ancaman hukuman dibawah 7
tahun dan bukan merupakan residivis. Sejak tahun 2013 hingga 2015, 56 kasus
pencurian yang melibatkan anak, hanya 1 perkara. Pelaksanaan diversi yang
dilakukan Polres Sleman terhadap anak yang terlibat tindak pidana pencurian
sepeda bermotor yaitu menempatkan MR di PSBR (Panti Sosial Bina Remaja)
dengan pengawasan Bapas selama 3 bulan dengan pertimbangan agar MR
mendapatkan pembinaan dan ketrampilan sesuai bakat yang dimiliki. Hal ini
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bapas dengan
mempertimbangan berbagai hal meliputi identitas dan latar belakang anak dan
keluarganya serta sikap dan tanggapan orang tua/keluarga, korban, masyarakat
dan pemerintah setempat yang menyimpulkan bahwa pada dasarnya anak tersebut
baik, namun karena kurang perhatian dan pergaulan dari luar sehingga melakukan
pencurian sepeda bermotor.

Kata kunci: pencurian sepeda bermotor, diversi, anak

xii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pencurian adalah tindak pidana yang ditujukan terhadap harta benda
atau harta kekayaan seseorang. Tindak pidana ini adalah jenis tindak pidana
yang paling sering terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Meskipun
tindak pidana ini bukan merupakan tindak pidana yang tergolong tindak pidana
berat seperti pembunuhan, akan tetapi dapat menimbulkan keresahan dalam
masyarakat khususnya yang berdiam atau bertempat tinggal di lingkungan
tempat terjadinya pencurian.1
Kasus pencurian semakin lama semakin meningkat hingga tahun 2015
di wilayah Sleman. Sejak Januari hingga Juli 2015, kasus pencurian sebanyak
108 perkara. Jumlah ini meningkat 5 persen dibandingkan tahun 2014. Latar
belakang meningkatnya tindak pencurian kebanyakan karena terhimpit
kebutuhan ekonomi dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan sehingga mereka
terpaksa melakukan aksi pencurian,2 bahkan ada beberapa kasus yang
melibatkan anak. Kasus pencurian yang menonjol di Sleman yakni pencurian
dengan pemberatan (curat). Kasus curat selama Januari 2014 mencapai 20
kasus, dengan 5 kasus diantaranya berhasil diungkap kepolisian.3

Novelina MS. Hutapea, 2014, “Penerapan Hak Diskresi Kepolisian dalam Perkara
Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian”, Jurnal Elektronik DELIK, Vol.2, No.1, hlm.1
2
Van Aditya, 2015, “Kasus Pencurian Mendominasi di Kejari Sleman”,
http://krjogja.com/read/268315/kasus-pencurian-mendominasi-di-kejari-sleman.kr, diakses tanggal
23 November 2015 jam 18.45 WIB
3
Nur
Aini,
2014,
“Kasus
Curanmor
di
Sleman
Tinggi”,
1

1

Fakta-fakta sosial yang belakangan ini terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat adalah permasalahan yang terkait dengan anak, dimana dalam
kehidupan sosial yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut masih
dihadapkan dengan permasalahan penanganan anak yang diduga melakukan
tindak pidana. Anak merupakan tumpuan harapan masa depan bangsa, negara,
masyarakat ataupun keluarga sehingga diperlukan perlakuan khusus agar dapat
tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental dan rohaninya.4
Tindak pidana pencurian yang dilakukan anak juga terjadi di
Yogyakarta khususnya Sleman. Pada tahun 2015, kasus pencurian dengan
pemberatan semakin berkurang, namun kasus dengan tersangka di bawah umur
masih tergolong tinggi. Dalam beberapa kasus, tersangkanya merupakan anakanak (di bawah 17 tahun) yang telah melakukan tindak kejahatan di puluhan
Tempat Kejadian Perkara (TKP) di kawasan Sleman. Beberapa tersangka
mempunyai alasan bahwa tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh
anak tersebut merupakan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan sehingga
terpaksa melakukan tindak kejahatan. Alasan lain adalah anak yang melakukan
tindak pidana tersebut kurang perhatian dari orang tuanya.5
Tindak pidana pencurian mulai banyak dilakukan oleh anak-anak
terutama dengan latar belakang perekonomian keluarga yang sangat rendah,
terlantar, pengaruh pergaulan yang buruk atau karena putus sekolah.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/14/02/12/n0vsqy-kasuscuranmor-di-sleman-tinggi, diakses tanggal 23 November 2015 jam 18.52 WIB
4
Darwan Prinst, 1997, Hukum Anak Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 98
5
Agus Sigit, 2015, “Duh...Kasus Curat di DIY Didominasi Tersangka di Bawah Umur”,
http://krjogja.com/read/252396/duhkasus-curat-di-diy-didominasi-tersangka-dibawah-umur.kr,
diakses tanggal 23 November 2015 jam 19.17 WIB

2

Keterlibatan anak sebagai pelaku pencurian tentu yang tidak bisa dianggap
sebagai sesuatu hal yang tidak penting untuk dikaji, apalagi jika anak dijatuhi
pidana penjara walau hanya pencurian yang objeknya mempunyai nilai yang
tergolong rendah seperti pencurian 2 (dua) gelondong kelapa sawit, makanan
ringan di warung atau sepasang sandal jepit.6 Sanksi tindak pidana pencurian
diatur dalam Pasal 362-367 KUHPidana, bergantung pada bagaimana
dilakukannya tindak pencurian tersebut, misalnya pencurian yang diatur dalam
Pasal 362 KUHPidana yaitu “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus
rupiah”. Jika ini diberlakukan bagi anak maka dapat berakibat buruk bagi masa
depannya.
Jenis pencurian yang dilakukan oleh anak di wilayah Sleman salah
satunya adalah pencurian sepeda bermotor. Pencurian sepeda bermotor
umumnya dilakukan oleh orang dewasa, selain harus membawa sepeda
bermotor yang berat dan beresiko, pencurian sepeda bermotor juga
membutuhkan teknik untuk membobolnya. Jika melibatkan anak maka hal ini
sudah mengkhawatirkan.
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
mendefinisikan anak sebagai amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya dan untuk menjaga
Novelina MS. Hutapea, 2014, “Penerapan Hak Diskresi Kepolisian dalam Perkara
Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian”, Jurnal Elektronik DELIK, Vol.2, No.1, hlm.1
6

3

harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus,
terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Sayangnya, praktek
penyelesaian perkara pencurian oleh anak selama ini masih memprioritaskan
pada proses formal (menempuh jalur hukum) dalam arti menindak dan
menghukum anak dengan suatu putusan hakim. Hal ini dapat memberikan
dampak buruk bagi anak dan mempengaruhi bagi perkembangan mentalnya 7.
Salah satunya yang terjadi di Sleman, dimana selama kurun waktu hampir 4
tahun sejak Undang-Undang Peradilan Anak diberlakukan, bantuan hukum
yang diberikan kepada anak dalam kasus pencurian sepeda bermotor masih
sangat kurang. Hal tersebut dapat dilihat dari kasus pencurian sepeda bermotor
yang melibatkan anak, hanya 2 anak yang mendapatkan bantuan hukum.
Bantuan hukum yang diberikan kepada anak yang melakukan tindak
pidana adalah diversi. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, diversi
diartikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dapat dipahami bahwa diversi
merupakan upaya penyelesaian hukum bagi anak yang melakukan tindak
pidana yang dapat dilakukan sebelum peradilan pidana yaitu selama masa
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak.
Diversi yang dilakukan dapat membantu anak untuk menghindari
tekanan mental dan menyelamatkan masa depan. Disisi lain, perlu upaya tegas
menegakkan hukum sebagai efek jera bagi pelaku kejahatan/pelanggar hukum
termasuk anak di bawah umur. Jika diversi yang dilakukan mudah diberikan

7

Ibid., hlm. 2

4

maka pelaku tindak pidana di bawah umur lainnya akan cenderung
menganggap ringan dan tidak ada rasa jera sehingga diversi tetap
mempertimbangkan banyak faktor sehingga bantuan hukum berupa diversi
anak tetap dalam jalur hukum yakni menegakkan hukum sekaligus melindungi
hak-hak anak.
Untuk menegakkan hukum sekaligus memberikan bantuan hukum bagi
anak maka diversi tetap mempertimbangkan syarat-syarat tertentu. Seperti
yang dituangkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memuat:
1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak
di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal
tindak pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Berdasarkan uraian di atas dimana sejak tahun 2012 diversi baru dapat
diterapkan kepada anak yang terlibat pencurian sepeda bermotor di wilayah
Polres Sleman dan hanya 1 perkara, peneliti tertarik untuk mendalami
mengenai penerapan diversi pada kasus pencurian sepeda bermotor yang
dilakukan anak di Polres Sleman.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana penerapan diversi pada anak yang terlibat tindak pidana
pencurian sepeda bermotor di Polres Sleman?

5

2. Bagaimana pelaksanaan diversi yang dilakukan Polres Sleman terhadap
anak yang terlibat tindak pidana pencurian sepeda bermotor tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui penerapan diversi pada anak yang terlibat tindak pidana
pencurian sepeda bermotor di Polres Sleman.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan diversi yang dilakukan Polres Sleman
terhadap anak yang terlibat tindak pidana pencurian sepeda bermotor
tersebut.
D. Tinjauan Pustaka
1. Anak
Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” di mata
hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa
(minderjaring atau person under age), orang yang di bawah umur atau
keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau sering juga
disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige
onvervoodij).8 Pengertian anak itu sendiri jika ditinjau lebih lanjut dari segi
usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat,
waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan
yang digunakan untuk menentukan umur anak.9

Anak juga didefinisikan sebagai mereka yang belum dewasa dan
8
9

Lilik Mulyadi, 2005, Pengadilan Anak Di Indonesia, Bandung, CV.Mandar Maju, hlm.3
Abdussalam, 2007, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta, Restu Agung, hlm. 5

6

yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental, fisik masih belum
dewasa.10 Sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana mengatur tentang pengertian anak yang sangat bervariatif
tergantung jenis tindak pidana yang dilakukan. Ketentuan Pasal 45, 46, 47
KUHPidana ini telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Batas usia
anak dalam pengertian Hukum Pidana dirumuskan dengan jelas dalam
ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Pengadilan Anak yang menjelaskan
bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 12
tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Batas
usia tersebut juga ditegaskan dalam Putusan PU No.1/PUU-VIII/2010.
Dalam Pasal 1 Konvensi Anak, pengertian anak dirumuskan sebagai
“setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan
Undang-Undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa
dicapai lebih awal”.11
Berdasarkan Konvensi Hak Anak yang diadopsi dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
terdapat empat prinsip umum perlindungan anak yang menjadi dasar bagi
negara dalam menyelenggarakan perlindungan anak yaitu:
a. Prinsip Nondiskriminasi
b. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak
c. Prinsip Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang Anak
10

Shanty Dellyana, 1988, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Yogyakarta, Liberty, hlm. 50
Chandra Gautama, 2000, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Jakarta,
Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), hlm.21
11

7

d. Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak
Anak yang terlibat dalam hukum, menurut Ruth Strang dalam
sabrina hidayat diistilahkan dengan juvenile delinquency, yaitu kenakalan
yang dilakukan anak-anak, istilah ini untuk menghindarkan penggunaan
kata kejahatan bagi anak-anak.12 Juvenile delinquency adalah suatu tindakan
atau perbuatan melanggar norma, baik norma hukum maupun norma sosial
yang dilakukan oleh anak-anak usia muda.13 Adapun menurut Romli
Atmasasmita, juvenile delinquency adalah setiap perbuatan atau tingkah
laku seseorang anak 18 tahun dan belum kawin yang merupakan
pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat
membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.14 Hukum
internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus atau dapat
dirujuk oleh setiap negara dalam menangani anak yang berhadapan dengan
hukum. Hukum internasional mensyaratkan negara untuk memberikan
perlindungan hukum dan penghormatan terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum melalui pengembangan hukum, prosedur, kewenangan dan
institusi (kelembagaan).15

Sabrina Hidayat, 2007, “Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Proses
Peradilan Pidana”, Jurnal Hukum Gema Pendidikan, No 1, hlm. 40
13
Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Bandung, PT Refika Aditama, hlm.11
14
Romli Atmasasmita, 1983, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Bandung, Armico,
hlm.40
15
Inter-Parliamentary Union & UNICEF, 2006, Improving the Protection of Children in
Conflict with the Law in South Asia: A regional parliamentary guide on juvenile justice, UNICEF
ROSA, hlm.2
12

8

2. Tindak Pidana Pencurian
Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu16.
Pengertian tindak pidana atau strafbaar feit atau delict adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dijatuhi pidana.17
Strafbaar feit yang diterjemahkan dengan perbuatan pidana adalah
“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang mana larangan
tersebut disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa
yang melanggar larangan tersebut”18. Moeljatno merupakan penganut aliran
dualisme yang mana memisahkan unsur perbuatan dan unsur tanggung
jawab dalam strafbaar feit. Alasan Moeljatno dalam menggunakan istilah
perbuatan pidana adalah karena:
a. Bahwa yang dilarang adalah perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian
yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, artinya larangan itu ditujukan
pada perbuatannya, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada
orangnya.
b. Antara larangan yang ditujukan pada perbuatan dengan ancaman
hukuman yang ditujukan kepada orangnya, ada hubungan yang erat, oleh
karena itu perbuatan yang dengan orang yang menimbulkan perbuatan
tadi ada hubungan yang erat pula.

16

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung,
Alumni, hlm. 2
17
Sabar Slamet, 1998, Hukum Pidana, Surakarta, Universitas Sebelas Maret, hlm. 18
18
Moeljatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 54

9

c. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat tadi maka digunakan
istilah perbuatan pidana yang merupakan suatu pengertian abstrak yang
menunjuk pada dua keadaan kongkrit, yaitu adanya kejadian tertentu
(perbuatan) dan adanya orang yang berbuat.
Dalam tindak pidana yang dilakukan anak, pihak berwenang wajib
mengupayakan diversi. Hal tersebut dipertegas dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak Pasal 7 ayat (1) yaitu “Pada
tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi”, didukung Peraturan
Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan
Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun, Pasal 3 ayat
(1) “Setiap Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam memeriksa Anak
wajib mengupayakan Diversi”. Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dan Pasal 3 ayat (2) Peraturan
Pemerintah No. 65 Tahun 2015 bahwa diversi dilakukan jika anak diancam
pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun. dalam Penjelasan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa semakin rendah
ancaman pidana maka semakin tinggi prioritas Diversi. Diversi tidak
dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius,
misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme,
yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun. Umur anak juga dimaksudkan
untuk menentukan prioritas pemberian Diversi dan semakin muda umur
anak semakin tinggi prioritas Diversi.

10

3. Teori Diversi
Diversi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang
menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan
perkara atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai
dengan kebijakan yang dimiliknya.19 Diversi yang diimplementasikan ke
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 diartikan sebagai pengalihan
penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana. Dapat dipahami bahwa diversi merupakan upaya
penyelesaian hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana yang dapat
dilakukan sebelum peradilan pidana yaitu selama masa penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak.
Tujuan dari diversi adalah untuk mendapatkan cara menangani
pelanggaran hukum di luar pengadilan atau sistem peradilan yang formal.
Ada kesamaan antara tujuan diskresi dan diversi. Pelaksanaan diversi
dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan
perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana.
Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan
aparat penegak hukum yang disebut discretion atau “diskresi”.20
Diversi

dilakukan

dengan

alasan

untuk

memberikan

suatu

kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali
melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat.
Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah
19

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana,
2010, Medan, USU Press,hlm. 1
20
Ibid., hlm. 2

11

terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum
sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui
sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi
atau tindakan yang tepat (appropriate treatment), tiga jenis pelaksanaan
program diversi dilaksanakan yaitu:
a. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orintation) yaitu aparat
penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan
atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau
peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas
perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi
pelaku oleh masyarakat.
b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service
orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri,
memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya.
Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan
perbaikan atau pelayanan.
c. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or
restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi
kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan
masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan
masyarakat, pelaksanaanya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk
bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.21

21

Ibid., hlm. 5-6

12

Adapun beberapa kriteria tindak pidana yang melibatkan anak
sebagai pelaku, yang harus diupayakan penyelesaiannya dengan pendekatan
prinsip diversi. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Peradilan Anak Pasal 7 ayat (2) dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 65
tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum
Berumur 12 (Dua Belas) Tahun, Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa,
Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal
tindak pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana

Yudiansah mengemukakan beberapa syarat dalam diversi terhadap
anak adalah22:
a. Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana sampai 1
(satu) tahun harus diprioritaskan untuk diterapkan diversi, tindak pidana
yang diancam dengan sanksi pidana di atas 1 (satu) tahun sampai dengan
5 tahun dapat dipertimbangkan untuk melakukan diversi, semua kasus
pencurian harus diupayakan penerapan diversi kecuali menyebabkan atau
menimbulkan kerugian yang terkait dengan tubuh dan jiwa.
b. Memperhatikan usia pelaku, semakin muda usia pelaku maka urgensi
penerapan prinsip diversi semakin diperlukan.

Meirnadus Yudiansyah, 2013, “Penerapan Diversi dan Restorative Justice Sebagai
Upaya Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada Tahap Penyidikan di Polresta
Pontianak Kota”, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum Universitas Tanjungpura, Vol.3, No.5. diakses
dalam http://jurnal.untan.ac.id/index.php/nestor/article/view/4225/4254
22

13

c. Hasil penelitian dari BAPAS, bila ditemukan faktor pendorong anak
terlibat dalam kasus pidana adalah faktor yang ada di luar kendali anak
maka urgenitas penerapan prinsip diversi semakin diperlukan.
d. Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana anak, bila akibat yang
ditimbulkan bersifat kebendaan dan tidak terkait dengan tubuh dan
nyawa seseorang maka urgenitas penerapan diversi semakin diperlukan.
e. Tingkat keresahan masyarakat yang diakibatkan oleh perbuatan anak.
f. Persetujuan korban/keluarga
g. Kesediaan pelaku dan keluarganya
h. Dalam hal anak melakukan tindak pidana bersama-sama orang dewasa
maka orang dewasa harus diproses hukum sesuai prosedur biasa.
Beberapa acuan yang dapat digunakan dalam melaksanakan diversi
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, khususnya sebagai pelaku
adalah:
a. Peraturan Internasional
1) Convenion on The Right of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak)
2) The United Nation Standard Minimum Rules for Administration of
Juvenile Justice – the Beijing Rules (Peraturan Standar Minimum PBB
untuk Pelaksanaan Peradilan Anak- Peraturan Beijing)
3) The United Nations Rules for The Protection of Juvenile Deprived of
Lheir Liberty (Peraturan PBB untuk Perlindungan Anak yang
Terampas Kebebasannya).

14

b. Peraturan Nasional
1) Undang-Undang RI No.2 Tahun 2002 Tentang Polisi Republik
Indonesia
2) Undang-Undang RI No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
3) Undang-Undang RI No.11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
4) Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12
(Dua Belas) Tahun
5) TR Kabareskrim No.1123/XI/2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Diversi Bagi Kepolisian
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian, penelitian ini merupakan penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian yang
meletakkan hukum sebagai suatu norma. Sistem norma yang dimaksud
adalah mengenai asas-asas, kaidah dari peraturan perundangan, putusan
pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).23
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
bahan hukum primer dan sekunder.
23
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 43

15

a. Bahan Hukum Primer. Bahan hukum ini mencakup peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan obyek penelitian yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
2) Undang-Undang RI No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
3) Undang-Undang RI No.2 Tahun 2002 Tentang Polisi Republik
Indonesia
4) Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12
(Dua Belas) Tahun
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan
hukum primer, dan dapat membantu untuk proses analisis, yaitu :
1) Buku-buku ilmiah yang terkait.
2) Hasil penelitian yang terkait.
3) Makalah dan jurnal yang terkait.
3. Narasumber
Narasumber adalah seorang yang memberikan pendapat atas objek
yang diteliti. Hubungan narasumber dengan objek yang diteliti disebabkan
karena kompetensi keilmuan yang dimiliki.24 Narasumber dalam penelitian
ini adalah pihak Polres Sleman yang menangani tindak kriminal di Sleman
yaitu Brigadir Purwanto sebagai Kepala Satresrim Polres Sleman.

24

Ibid, hlm. 175

16

4. Teknik Pengumpulan Data
a. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diperoleh melalui studi
kepustakaan dengan cara menghimpun semua peraturan perundangan,
dokumen-dokumen hukum dan buku-buku serta jurnal ilmiah yang
berkaitan dengan permasalahan.
b. Wawancara
Bahan hukum sekunder yang merupakan pendapat dari ahli hukum yang
terkait dengan penelitian cara pengambilannya dilakukan dengan
menggunakan metode wawancara kepada narasumber secara tertulis.25
5. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dianalisis secara
deskriptif kualitatif,26 yaitu suatu teknik yang menggambarkan dan
menginterprestasikan data yang telah terkumpul dengan menggambarkan
perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada
saat itu, sehingga memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh
tentang keadaan sebenarnya.

25
26

Ibid, hlm. 319
Ibid, hlm. 183

17

F. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk mempermudah dalam menjabarkan pembahasan maka skripsi ini
dibagi dalam 5 bab yang masing-masing bab dibagi lagi menjadi beberapa sub
bab, yaitu:
BAB I

Bab ini memuat mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian
dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II

Dalam bab ini dijelaskan tentang tinjauan anak yang meliputi
pengertian anak, hak dan kewajiban anak, dan perlindungan
anak secara hukum. Dalam bab ini juga dibahas mengenai tindak
pidana pencurian yang meliputi pengertian pencurian, tindak
pidana pencurian dan sanksi hukum dalam tindak pidana
pencurian. Pada bab ini juga diuraikan mengenai tindak pidana
pencurian oleh anak.

BAB III

Pada bab ini dijelaskan mengenai diversi yang meliputi
pengertian diversi, syarat dan ketentuan diversi, serta prosedur
pemberian diversi. Bab ini juga menguraikan mengenai
penerapan diversi dalam tindak pidana pencurian yang
dilakukan oleh anak.

BAB IV

Bab ini berisi mengenai data yang diperoleh dari Polres Sleman
yang menjelaskan mengenai peraturan perundang-undangan
yang menjelaskan mengenai penerapan diversi bagi anak yang
terlibat tindak pidana pencurian sepeda bermotor serta

18

menjelaskan tentang bentuk diversi yang diberikan Polres
Sleman kepada anak tersebut sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
BAB V

Dalam bab ini dikemukakan mengenai kesimpulan dan saran
atas permasalahan dalam penelitian ini.

19

BAB II
TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH ANAK

A. Tinjauan Tentang Anak
1. Pengertian Anak
Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” di mata hukum
positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa
(minderjaring atau person under age), orang yang di bawah umur atau
keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga
disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige
onvervoodij).27 Pengertian anak itu sendiri jika ditinjau lebih lanjut dari segi
usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat,
waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan
yang digunakan untuk menentukan umur anak.28
Definisi tentang anak cukup beraneka ragam di beberapa negara,
misalnya di Amerika Serikat yang mayoritas negara bagian menentukan
batasan umur anak antara 8-17 tahun, negara Inggris menentukan batas
umur antara 12-16 tahun, negara Australia mayoritas negara bagiannya
menentukan batas umur antara 8-16 tahun, di negara Belanda umur antara
12-18 tahun. Negara-negara di Asia misalnya Srilanka menentukan batas
umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea umur antara 1418 tahun, Kamboja antara 15-18 tahun dan di Filipina umur antara 7-16
27

Lilik Mulyadi, 2005, Pengadilan Anak Di Indonesia, CV.Mandar Maju,
Bandung,,hlm.3
28
Abdussalam, 2007, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, hlm. 5

20

tahun.29 Di Indonesia, batas usia anak dirumuskan dengan jelas dalam
ketentuan hukum yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
No.11 Tahun 2012 tentang Pengadilan Anak bahwa anak adalah orang
dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 12 tahun tetapi belum
mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
Di dalam Pasal 1 Konvensi Anak, pengertian anak dirumuskan
sebagai “setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia
dewasa dicapai lebih awal”.30
Berbagai

uraian

batasan

usia

anak

pada

dasarnya

adalah

pengelompokkan usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang
anak dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi
usia dewasa atau menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggung
jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan
hukum yang dilakukan oleh anak itu.31 Dapat disimpulkan bahwa seseorang
dikategorikan sebagai anak yaitu usia di bawah 18 tahun, belum pernah
kawin dan belum mampu bertanggung jawab secara mandiri atas perbuatanperbuatan yang melawan hukum.

29

Paulus Hadisuprapto, 1997, Juvenile Deliquency Pemahaman dan Penanggulangannya,
PT.Aditya Bakti, Bandung, hlm.8
30
Chandra Gautama, 2000, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi
Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, hlm.21
31
Maulana Hasan Wadong, 2000, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo,
Jakarta, hlm.24

21

2. Hak dan Kewajiban Anak
a. Hak Anak
Berdasarkan Konvensi Hak Anak yang diadopsi dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak,
terdapat empat prinsip umum perlindungan anak yang menjadi dasar bagi
negara dalam menyelenggarakan perlindungan anak yaitu:
1) Prinsip Nondiskriminasi
2) Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak
3) Prinsip Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang Anak
4) Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak
Hak-hak anak yang dituangkan dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yaitu:
1) Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan berdasarkan
kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus
untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
2) Hak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian
bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.
3) Hak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah dilahirkan.
4) Hak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan

atau

menghambat

perkembangannya dengan wajar.

22

pertumbuhan

dan

Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak, hak-hak anak dijelaskan dalam Pasal 4, Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 18. Hak anak yang
tertuang dalam pasal-pasal tersebut yaitu:
1) Hak untuk tumbuh, berkembang dan berpartisipasi serta didengar
pendapatnya.
2) Hak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,
eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman
dan kekerasan, ketidakadilan.
3) Hak untuk memperoleh nama identitas dan status kewarganegaraan.
4) Hak untuk beribadah menurut agamanya
5) Hak untuk dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri dan jika
anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut dapat diasuh oleh
orang lain sehingga sejahtera.
6) Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.
7) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran , termasuk anak yang
menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa.
8) Hak untuk mengembangkan diri.
9) Hak untuk memperoleh bantuan dan perlindungan hukum.
Berdasarkan uraian di atas, seorang anak tetap harus dilindungi
hak-haknya meskipun tersangkut dalam pelanggaran hukum.

23

b. Kewajiban Anak
Di dalam ranah hukum, seorang anak selain mempunyai hak juga
memiliki beberapa kewajiban. Kewajiban anak juga dituangkan dalam
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014tentang Perlindungan
Anak yaitu menghormati orang tua, wali dan guru; mencintai keluarga,
masyarakat, dan menyayangi teman; mencintai tanah air, bangsa dan
negara; menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
3. Perlindungan Anak Secara Hukum
Anak yang kurang atau tidak memperoleh perhatian secara fisik,
mental maupun sosial sering berperilaku dan bertindak asosial dan bahkan
antisosial yang merugikan dirinya, keluarga dan masyarakat. Pertimbangan
(consideran) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak yaitu bahwa anak merupakan generasi muda yang
meneruskan cita-cita perjuangan bangsa dan memiliki peranan strategis
sehingga memerlukan pembinaan dan perlindungan fisik, mental dan sosial
secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.
Permasalahan anak saat ini sangat kompleks, mulai dari kenakalan
remaja seperti tawuran dan membolos sekolah, penyalahgunaan narkoba,
hingga melakukan tindak pidana pencurian. Permasalahan yang semakin
berkembang ini perlu segera diatasi dan diselesaikan. Kecenderungan
pelanggaran yang semakin meningkat baik terhadap ketertiban umum
maupun pelanggaran undang-undang menuntut berbagai pihak untuk terlibat

24

dalam penanganannya. Dellyana mengemukakan bahwa usaha pencarian
solusi terhadap permasalahan tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab
negara saja, tetapi juga membutuhkan peran serta yang aktif dari seluruh
lapisan masyarakat. penyelesaian tersebut harus mengacu pada pemenuhan
hak dan pemberian perlindungan bagi anak.perlindungan anak merupakan
suatu usaha untuk mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya.32
Anak yang berhadapan dengan hukum dan menjalani proses
persidangan perlu mendapat perhatian khusus demi menjaga hak-hak anak
dan masa depannya. Hak yang dimiliki anak sebagai pelaku tindak pidana
dapat diberikan pada waktu sebelum, selama dan setelah masa persidangan.
Dalam persidangan dengan terdakwa anak, maka hakim yang memimpin
sidang pun merupakan hakim khusus yaitu hakim yang menangani perkara
anak, penuntut umum anak, penyidik anak, dan petugas pemasyarakatan
dari Balai Pemasyarakatan. Dalam menjalani proses hukum tersebut, hak
anak lebih diperhatikan dibandingkan kewajibannya.
Perlindungan terhadap anak juga didasarkan pada beberapa
pertimbangan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu:
a. Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa
b. Anak

berhak

mendapatkan

perlindungan

khusus,terutama

perlindungan hukum dalam sistem peradilan

32

Shanty Dellyana, 1998, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Yogyakarta, Liberty, hlm. 6

25

c. Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak
(Convention on The Rights of the Child) yang mengatur prinsip
perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Perlindungan hak-hak anak juga tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan berbagai
pertimbangan yaitu:
a. Negara wajib menjamin perlindungan terhadap hak anak yang
merupakan hak asasi manusia;
b. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa
c. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa, memiliki peran strategis yang menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan;
d. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut,
maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun
sosial, dan berakhlak mulia
Anak yang mendapatkan perlindungan hukum dalam kasus pidana
merupakan anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban
dalam tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Pasal 1
angka 3 bahwa “Anak yang Berhadapan dengan Hukum yang selanjutnya
disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana”. Pasal 1 angka 4 menyebutkan bahwa, “Anak yang menjadi korban

26

Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana”,
sedangkan dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan bahwa, “Anak yang Menjadi
Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau
dialaminya sendiri”.
Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam
suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam
berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan
perlindungan anak membawa akibat hukum, baik kaitannya dengan hukum
tertulis maupun tidak tertulis. Menurut Arif Gosita dalam Maidin Gultom33,
kepastian hukum diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan
anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang
tidak diinginkan dalam pelaksanaannya.
Perlindungan anak yang tersangkut kasus hukum dituangkan dalam
Pasal 16 angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, yaitu:
“Pengangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir”.
33

Maidin Gultom, 2006, Perlindungan Hukum Terhadap Anak: Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, hlm. 33

27

Secara khusus penyelenggaraan perlindungan diatur dalam BAB IX
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum diatur dalam Bagian
kelima yaitu Perlindungan Khusus yang meliputi Pasal 59 dan Pasal 64.
Dari uraian di atas jelas bahwa anak mendapatkan perlindungan
secara hukum sekalipun terlibat dalam tindak pidana. Hal tersebut melalui
berbagai pertimbangan untuk menyelamatkan masa depan anak sebagai
generasi penerus.
B. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Pencurian
1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian
Menurut Sudarsono, pencurian adalah mengambil barang-barang
atau harta dengan sembunyi-sembunyi.34 Pencurian dalam Kamus Hukum
adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah,
biasanya dengan sembunyi-sembunyi.35
Masalah pencurian juga dituangkan dalam Pasal 362 KUHPidana.
Moeljanto berpendapat bahwa masalah pencurian yang terdapat dalam Pasal
362 KUHPidana dirumuskan sebagai tindak pidana pencurian, pengambilan
barang orang lain. Akan tetapi dengan maksud untuk memiliki barang
dengan cara melawan hukum, namun jika dilihat dari sifat melawan hukum
di dalam Pasal 362, perbuatan tidak dilihat dari hal-hal yang lahir, tetapi
tergantung pada niat orang yang mengambil barang.36

34

Soedarsono, 1998, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 547
Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 85.
36
Moeljanto, 1985, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, PT. Bina Aksara
35

28

Jika dilihat dari definisi pencurian di atas maka pencurian terdiri dari
3 unsur yaitu:
a. mengambil barang
b. barang harus kepunyaan orang lain seluruhnya atau sebagian,
c. pengambilan barang yang demikian itu harus dengan maksud memiliki
dengan cara melawan hukum.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa pencurian adalah mengambil
barang orang lain dengan maksud memiliki dengan cara melawan hukum.
Tindak pidana diambil dari istilah dalam Hukum Pidana Belanda
yang disebut strafbaar feit. Tindak pidana atau strafbaar feit atau delict
didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dijatuhi
pidana37. Strafbaar feit yang diterjemahkan dengan perbuatan pidana adalah
“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang mana larangan
tersebut disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa
yang melanggar larangan tersebut”38.
Berdasarkan definisi pencurian dan tindak pidana, maka disimpulkan
bahwa tindak pidana pencurian adalah perbuatan mengambil barang milik
orang lain untuk dimiliki sendiri yang cara-caranya dilarang oleh hukum
dan dapat menerima sanksi jika melanggarnya.
2. Pemidanaan dalam Tindak Pidana Pencurian
Jenis pidana yang diatur dalam KUHP dimuat dalam Pasal 10 yang
terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari
37
38

Sabar Slamet, 1998, Hukum Pidana, Surakarta, Universitas Sebelas Maret, hlm. 18
Moeljatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 54

29

pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana
tutupan, sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak
tertentu, perampasan barang-barang tertentum dan pengumuman putusan
hakim.
Pemidanaan dalam kasus pencurian yang dimuat dalam Pasal 362365 KUHPidana bisa dikenakan dengan pidana mati, pidana penjara dan
denda. Pidana mati diberikan kepada pelaku yang melakukan tindak pidana
pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati.
Dalam Pasal 365 ayat 4, sanksi pidana mati dilakukan jika pencurian dengan
kekerasan tersebut dilakukan lebih dua orang atau lebih, jika dilakukan oleh
satu orang maka dipidana penjara paling lama 15 tahun.
Menurut Effendi, pidana penjara adalah pidana berupa pembatasan
kemerdekaan bagi pelaku tindak pidana ke dalam suatu rumah penjara.
Diharapkan dengan adanya perampasan kemerdekaan si terpidana aka