Pemanfaatan Daya Dukung Keluarga dan Masyarakat Sekitar Sekolah

280 secara niskala serta menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam semesta. Upacara ini sepenuhnya disiapkan dan dilaksanakan bersama-sama oleh kepala sekolah, guru-guru, pegawai, dan siswa dari kelas I sampai kelas III. Upacara pembersihan ini, di samping dapat dimaknai sebagai aplikasi nilai-nilai religi Hindu dalam kegiatan pelestarian lingkungan alam, dapat juga bermakna sebagai proses belajar menyelaraskan hubungan manusia dengan alam melalui sistem simbol agama yang sesungguhnya melambangkan saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungan alam itu sendiri.

2. Pemanfaatan Daya Dukung Keluarga dan Masyarakat Sekitar Sekolah

Daya dukung keluarga siswa dan masyarakat sekitar sekolah juga merupakan aspek penting yang dimanfaatkan dan dimantapkan sekolah untuk membantu pencapaian tujuan-tujuan pendidikan sekolah pada umumnya dan tujuan-tujuan Pendidikan IPS pada khususnya. Pemanfaatan daya dukung keluarga, misalnya, tidak saja digunakan untuk membantu sekolah dalam sumbangan dana pendidikan dalam rangka pengadaan fasilitas dan operasionalisasi proses belajar dan pembelajaran, melainkan juga digunakan untuk membantu sekolah terutama dalam pembinaan pendidikan sosial dan budi pekerti serta termasuk pula pendidikan keterampilan hidup vokasional di lingkungan keluarga. Kerja sama sekolah dengan keluarga siswa ini disadari benar semua pihak karena tanggung jawab pendidikan bukanlah semata-mata menjadi tanggung jawab guru-guru di sekolah, melainkan menjadi tanggung jawab bersama sekolah, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dukungan keluarga dalam proses pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud dapat diwujudkan dengan bantuan pihak keluarga puri Ubud. Hal ini karena keluarga puri dinilai masyarakat sebagai keluarga panutan baik secara sendiri-sendiri maupun atas nama komite sekolah dalam mensosialisasikan program-program pendidikan sekolah serta mengajak para orang tua murid untuk bersama-sama menanggulangi masalah kedisiplinan belajar siswa yang selama ini memang dinilai cukup memprihatinkan akibat pengaruh perkembangan pariwisata di Ubud yang membuat banyak siswa tidak suka sekolah dan lebih suka bekerja dan memamerkan kekayaan keluarga ke sekolah. Seiring dengan peningkatan kesejahteraan keluarga, banyak orang tua murid sekarang yang disadarkan akan arti penting nilai anak dalam proses pendidikan di sekolah sebagai investasi sosial, budaya, dan ekonomi jangka panjang dan tidak lagi mengandalkan tenaga anak sebagai sumber pendapatan keluarga untuk kepentingan ekonomi rumah tangga dalam jangka pendek semata. Dengan peningkatan kesadaran bersama antara orang tua murid dan siswa ini, kini masalah-masalah yang terkait dengan kedisiplinan siswa belajar ke sekolah tidak 281 perlu mencemaskan sekolah lagi, walau motivasi belajar anak terhadap materi-materi pelajaran di sekolah belumlah begitu menggembirakan. Tidak itu saja, berkat sosialisasi dan ajakan serta teladan keluarga puri Ubud itu juga, kini banyak orang tua siswa termasuk keluarga puri yang memiliki usaha-usaha pariwisata, menjadi seniman dan memiliki galeri, mendirikan sekakelompok seni atau museum seni, menjadi tokoh sesepuh masyarakat dan agama prajuru desa adat dan pura-pura di Ubud ikut membantu sekolah dalam pembinaan mental, sosial, berkesenian, dan keterampilan kepada siswa pada umumnya dan pembinaan dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler serta pemberian kesempatan kepada siswa untuk belajar mandiri mengembangkan semangat wirausaha dan keterampilan kerja. Dukungan keluarga seperti ini dirasakan cukup memadai dan cukup signifikan serta positif pengaruhnya kepada pembinaan sikap mental, sosial, spiritual, dan pembinaan keterampilan kerja di kalangan guru dan siswa, dan, karena itu, terus dimantapkan dan dilanjutkan program-programnya melalui koordinasi dengan BP3komite sekolah yang selalu dipercayakan kepemimpinannya kepada keluarga puri Ubud. Dengan demikian jelaslah bahwa keluarga juga mempunyai peran yang besar dalam pengembangan program pendidikan di sekolah pada umumnya dan Pendidikan IPS pada khususnya di SMU Negeri 1 Ubud, terutama yang menyangkut pelaksanaan pendidikan keimanan dan budi pekerti, pengembangan disiplin belajar, pendidikan afeksi pada umumnya, dan bagi pengembangan kecakapan-kecakapan vokasional tertententu. Ini sejalan dengan pandangan Horton dan Hunt 1991 yang antara lain menjelaskan bahwa keluarga mempunyai fungsi-fungsi edukasi yang dapat membantu program pendidikan sekolah terutama dalam hal memberikan motivasi atau dorongan yang tinggi untuk mencapai status yang lebih tinggi, menanamkan ambisi, aspirasi, cita-cita dan kebiasaan belajar, dan menghargai prestasi. Peranan masyarakat -- melalui kerja sama yang harmonis antara sekolah dengan keluarga puri Ubud, dengan desa adat Ubud, dan dengan masyarakat pariwisata Ubud pada umumnya -- terhadap proses pendidikan di SMU Negeri 1 Ubud juga di nilai cukup besar. Di sini baik pihak sekolah maupun masyarakat tampak saling menumbuhkan rasa saling memiliki, sehingga keduanya menjalin kerja sama yang positif untuk kemajuan sekolah di satu sisi dan kemajuan masyarakat Ubud di sisi lain yang sebagian anggota masyarakatnya memang merupakan alumni SMU Negeri 1 Ubud. Hubungan sekolah dengan masyarakat desa adat Ubud juga sangat harmonis berkat fasilitasi dari keluarga puri Ubud. Masyarakat desa adat Ubud umumnya menganggap 282 sekolah ini adalah bagian dari aset mereka, sehingga dapat dikatakan pula bahwa seluruh warga atau civitas sekolah juga adalah bagian dari krama desa adat Ubud, walau keanggotaannya tidaklah formal ditetapkan dalam awig-awig desa adat Ubud. Hubungan sekolah dengan desa adat Ubud yang harmonis seperti di atas memberikan kesempatan belajar sosial kepada siswa pada latar sosial yang sesungguhnya. Menurut siswa, banyak hal yang dapat dipelajari siswa dalam hubungannya dengan pengabdian sosial kepada desa adat Ubud. Di sini siswa bisa mempelajari profil dan karakter tokoh-tokoh masyarakatprajuru desa adat dan prajuru pura; bagaimana mereka menjadi model panutan masyarakat; bagaimana masyarakat melakukan interaksi dan komunikasi; belajar tentang tradisi-tradisi masyarakat yang disebut sima, dresta, dan awig-awig; belajar mengorganisir dan menyiapkan kegiatan upacara keagamaan; belajar tentang perangkat dan perlengkapan upacara dengan segala kompleksitas dan kecermatannya; belajar tentang pola-pola hubungan sosial dalam masyarakat desa adat; belajar mengembangkan kesenian tabuh dan tari; dan banyak lagi materi-materi hubungan sosial kemasyarakatan yang praktis dapat dipelajari mereka melalui pengabdian kerja kepada kepentingan desa adat. Belajar dengan pendekatan partisipatif secara langsung seperti di atas terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan desa adat dan agama, dinilai para siswa, tidak saja hanya menekankan proses imitasi sebagai proses enkulturasi budaya -- walau diakui bahwa proses imitasi memang mendominasi proses belajar di masyarakat seperti di atas – tetapi, memberikan juga kesempatan kepada siswa untuk melakukan proses refleksi sosial, dan, karena itu, bersifat kritis, terutama pada bentuk refleksi personal secara individual karena keterbatasan-keterbatasan kesempatan belajar secara alami dan tidak hanya menekankan proses imitasi sebagai proses enkulturasi budaya -- walau diakui bahwa proses imitasi memang mendominasi proses belajar di masyarakat seperti di atas – tetapi, memberikan juga kesempatan kepada siswa untuk melakukan proses refleksi sosial, dan, karena itu, bersifat kritis, terutama pada bentuk refleksi personal secara individual karena keterbatasan-keterbatasan kesempatan belajar secara alami dan tidak bersifat formal. Melalui proses refleksi personal inilah para siswa dapat menilai kembali nilai-nilai sosial dan keagamaan dalam pola tradisi masyarakat: mana yang relevan bagi kepentingan bekal hidupnya dan mana yang tidak relevan. Menurut para siswa, belajar seperti ini memang menjadi sangat subjektif, tetapi masyarakat dan waktulah yang akan menguji kebenaran hasil belajar para siswa secara individual. Dari gambaran hubungan antara sekolah dan masyarakat seperti di atas tampak terkesan bahwa pandangan fungsionalisme cukup intensif diaplikasikan dalam 283 pengembangan program pendidikan yang menghubungkan sekolah dengan masyarakat. Ada indikasi bahwa umumnya komponen-komponen civitas sekolah melihat sekolah sebagai sarana yang memungkinkan siswa belajar mengambil tempat mereka di dalam masyarakat dan berkontribusi dalam saling ketergantungan yang diperlukan untuk mempertahankan tatanan sosial dan menyempurnakan kebutuhan anggota-anggotanya. Sekolah, dengan demikian, dapat dianggap sebagai pentransmisi nilai-nilai tradisional dan sebagai sarana stabilitas sosial serta pemeliharaan tatanan sosial yang ada Hallinan, dalam Ballantine, 1985: 33-34; Collins, dalam Ballantine, 1985:60-87. Sekolah sebagai salah satu institusi sosial di masyarakat juga tidak dapat dilepaskan perannya dari upaya menyangga berfungsinya sistem dalam masyarakat secara keseluruhan. Salah satu peran sekolah dalam melestarikan sistem masyarakat ini, karena itu, adalah mensosialisasikan kepada generasi muda tentang pengetahuan intelektual, nilai- nilai etis, norma-norma budaya, dan keterampilan hidup yang dibutuhkan masyarakat untuk keberlangsungannya Durkheim, 1985a:21. Meminjam konsep Parsons 1985: 180, sosialisasi adalah proses pembentukan komitmen dan kemampuan esensial dalam diri individu-individu anggota masyarakat sebagai prasyarat utama untuk dapat berperan dalam kehidupan masyarakat ke depan. Komitmen-komitmen itu terdiri atas kemampuan mengimplementasikan nilai-nilai kemasyarakatan yang umum dan luas; suatu unjuk perbuatan dari tipe peran tertentu di dalam struktur masyarakat. Inilah yang disebut dengan fungsi edukasi Widja, 1993:53. Untuk fungsi seperti itu sekolah mereproduksi dan melanggengkan struktur dan norma-norma sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sudah mapan di dalam masyarakat.

3. Pemanfaatan Daya Dukung Dunia Industri Pariwisata di Ubud