Evaluation the Application of Slaughter Chicken Techniques that Observated from Food Safety and Halal Food in Slaughter Houses at Four Subdistricts of Bogor

EVALUASI PENERAPAN TEKNIK PEMOTONGAN AYAM
DITINJAU DARI KEAMANAN PANGAN DAN KEHALALAN
DI TEMPAT PEMOTONGAN AYAM (TPA) DI EMPAT
KECAMATAN, KABUPATEN BOGOR

FERA SIBARANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Penerapan Teknik
Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan Pangan dan Kehalalan di Tempat
Pemotongan Ayam (TPA) di Empat Kecamatan, Kabupaten Bogor adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas

akhir ini.

Bogor, 19 Agustus 2011

Fera Uli Basa Sibarani
D151090031

ABSTRACT
Evaluation the Application of Slaughter Chicken Techniques that
Observated from Food Safety and Halal Food in Slaughter Houses
at Four Subdistricts of Bogor
Fera Sibarani, Henny Nuraini, Rarah Ratih Adjie Maheswari
Many of slaughter houses in Bogor still not appropiate to regulation of
Indonesian National of Standarditation (SNI 01-6160-1999) that can causes
contamination to carcass that produce in those slaugter houses. The equipments, the
techniques of slaughter and the handling practices still not comply to request of
sanitation and hygiene. The objective of this study was to evaluate the application
of slaughter chicken technique that observated from food safety and halal food in
slaughter houses in four subdictricts of Bogor. The experiment was used t-test to
compare two types of slaughtering houses (coached and not coached) in building

expedience, bacteria contamination and halal slaugtering. The results showed that
the building expedience was significantly different (P>0,05) between those two
tyes of slaughtering houses. The halal slaugtering practice was not significantly
different for those two types of slaughtering houses. TPC contamination for all
slaughtering houses was underneath from standard BMCM of SNI, except for not
coached slaughtering houses of Dramaga was over than 1x106cfu/g. The coliform
contamination for all slaughtering houses was over than 1x102cfu/g, but the
numeric for TPC and coliform of coached slaughtering houses more better than not
coached slaughtering houses. This evaluation of slaughtering houses showed that
all slaughtering houses did not yet implemented the good slaughtering practice and
good sanitation and hygiene practice totally.
Key words : Slaugtering houses, TPC, Coliform, halal slaughtering

RINGKASAN
FERA ULI BASA SIBARANI. D151090031. 2011. Evaluasi Penerapan Teknik
Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan Pangan dan Kehalalan di Tempat
Pemotongan Ayam (TPA) di Empat Kecamatan, Kabupaten Bogor. Dibimbing
oleh HENNY NURAINI dan RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI.
Daging ayam merupakan bahan pangan asal ternak yang digemari oleh
masyarakat Indonesia karena harganya tergolong murah dan penting untuk

memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Permintaan terhadap daging
ayam semakin bertambah seiring dengan meningkatnya penghasilan dan kesadaran
penduduk akan pentingnya protein hewani. Keamanan dan kehalalan produk
pangan asal ternak harus diperhatikan agar produk dapat dipasarkan sesuai
ketentuan yang berlaku. Keamanan pangan yang perlu diperhatikan bukan hanya
pada pihak produsen, tetapi juga dari konsumen sendiri.
Di Indonesia, tempat pemotongan ayam, kelengkapan peralatan, teknik
pemotongan dan cara penanganannya masih banyak yang belum memenuhi aspek
kebersihan dan kesehatan. Sebagian besar produsen daging ayam masih
menggunakan peralatan yang seadanya untuk melakukan pemotongan ayam.
Kabupaten Bogor terdiri atas 40 buah kecamatan. Dari 40 kecamatan
tersebut empat TPA di empat kecamatan telah mendapat pembinaan dari Dinas
Peternakan dan Perikanan. Bentuk pembinaan yang diberikan sendiri adalah
pengarahan dan pelatihan dalam sanitasi dan higiene pada saat proses produksi,
sanitasi dan higiene di sekitar lingkungan TPA, juga bantuan peralatan seperti
scalder, plucker, bak pencuci karkas, meja eviserasi dan freezer.
Menurut data dari Dinas Pertanian Kota Bogor kebutuhan daging ayam di
Kabupaten Bogor untuk tahun 2010 adalah 7.779.277 kg, sedangkan ketersediaan
daging ayam di Kabupaten Bogor adalah 16.000.000 kg. Permintaan akan daging
ayam yang cukup tinggi ini menyebabkan tumbuhnya tempat pemotongan unggas

skala kecil (rumahan) dan dipasar. Pemilik tempat pemotongan ayam skala kecil
belum menerapkan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) ketika
melaksanakan proses produksi, sehingga produk yang dihasilkan dapat
terkontaminasi bakteri sangat tinggi.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat daging ayam adalah
bahan makanan yang mudah rusak dan sangat peka terhadap bakteri. Selain itu,
sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, maka proses pemotongan
harus mengikuti tata cara penyembelihan ayam sesuai dengan syariat hukum Islam
sehingga daging yang dihasilkan benar-benar dapat dijamin kehalalannya.
Dari pengamatan diperoleh hasil bahwa semua TPA dibina berada
pada kriteria kurang layak (54-64%), dan TPA belum dibina berada pada kriteria
tidak layak dan kurang layak (22-39%), karena banyak dari persyaratan sesuai
Permentan (2005) yang belum dipenuhi oleh semua TPA. Untuk hasil untuk
penilaian tata cara pemotongan ayam yang halal pada TPA penelitian adalah telah
sesuai (100%) dengan tata cara pemotongan ayam yang halal yang dikeluarkan
oleh LPPOM MUI (2011). Tidak ada perbedaan pada semua TPA penelitian,
karena tidak adanya perbedaan dalam tata cara penyembelihan ayam yang
dilakukan di semua TPA penelitian.

Jumlah TPC pada karkas ayam dari TPA dibina adalah 0.62 log cfu/g lebih

rendah dari TPA belum dibina. Hasil uji kualitas mikrobiologi untuk TPC pada
karkas ayam menunjukkan kesesuaian dengan batas maksimum cemaran mikroba
(BMCM) menurut SNI 01-7388 (BSN 2009) yaitu ≤1x106 cfu/g untuk semua TPA,
kecuali untuk TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga dengan angka cemaran
TPC sebesar 6.11 log cfu/g. Tingginya angka cemaran ini disebabkan sanitasi yang
tidak baik pada saat proses produksi.
Jumlah TPC pada air cucian karkas ayam dari TPA dibina adalah
0.71 log cfu/ml lebih rendah dari TPA belum dibina. Jumlah TPC air cucian karkas
ayam pada TPA belum dibina pada Kecamatan Dramaga lebih tinggi dari TPA
lainnya (6.72 log cfu/ml). Tingginya angka cemaran ini karena air cucian dicemari
oleh karkas ayam dengan jumlah TPC yang tinggi.
Jumlah coliform pada karkas ayam dari TPA dibina adalah 0.41 log cfu/g
lebih rendah dari TPA belum dibina. Hasil uji kualitas mikrobiologi untuk coliform
pada karkas ayam belum sesuai dengan batas maksimum cemaran mikroba
(BMCM) menurut SNI 01-7388 (BSN 2009) yaitu >102cfu/g untuk semua TPA.
Untuk meminimalkan kontaminasi bakteri terhadap produk akhir, sanitasi
pada proses penanganan daging di tempat pemotongan ayam harus dilakukan
secara benar. Karkas ayam dan jeroan dari tempat pemotongan ayam dijual dipasarpasar tradisional yang sebagian besar konsumen belum mengetahui tentang
keamanan pangan khususnya kontaminasi bakteri. Kurangnya disiplin sumber daya
manusia pada saat melakukan proses produksi dan proses produksi dilakukan

dalam satu ruangan, dapat mengakibatkan kontaminasi pada hasil akhir.
Kata-kata kunci : tempat pemotongan ayam, TPC, coliform, pemotongan halal

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tersebut tidak tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi
Institut Pertanian Bogor.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh hasil karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

EVALUASI PENERAPAN TEKNIK PEMOTONGAN AYAM
DITINJAU DARI KEAMANAN PANGAN DAN KEHALALAN
DI TEMPAT PEMOTONGAN AYAM (TPA) DI EMPAT
KECAMATAN, KABUPATEN BOGOR


FERA ULI BASA SIBARANI
D151090031

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Rukmiasih, MS

Judul Tesis

:

Nama

NRP

:
:

Evaluasi Penerapan Teknik Pemotongan Ayam Ditinjau dari
Keamanan Pangan dan Kehalalan di Tempat Pemotongan Ayam
(TPA) di Empat Kecamatan, Kabupaten Bogor
Fera Uli Basa Sibarani
D151090031

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si
Ketua

Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA
Anggota


Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA

Tanggal Ujian : 12 Agustus 2011

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Si

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya hingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul
Evaluasi Penerapan Teknik Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan
Panganan dan Kehalalan di Tempat Pemotongan Ayam (TPA) di Empat

Kecamatan, Kabupaten Bogor. Penulisan tesis ini dilakukan sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Peternakan,
Sekolah Pascasarjana IPB.
Terima kasih Penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si dan Dr.
Ir. Rarah Ratih A. Maheswari, DEA selaku komisi pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta bimbingan kepada Penulis
dalam penulisan tesis ini. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada Dr. Ir.
Rukmiasih, MS selaku penguji luar komisi pada ujian, yang telah memberikan
masukan yang bermanfaat bagi penyempurnaan tesis ini. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas
dukungan yang diberikan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi Penulis sendiri,
akademisi serta pihak lain. Tesis ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak
kekurangan, karena itu Penulis meminta maaf atas ketidaksempurnaan tersebut.

Bogor, Agustus 2011

Penulis

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kisaran 4 April 1976, Sumatera Utara. Penulis adalah

anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak W. Sibarani dan Ibu A.N.
Hutapea.
Pendidikan SD, SMP dan SMA penulis tempuh di Medan. Pendidikan
sarjana ditempuh di Departemen Peternakan, Fakultas Pertanian USU. Pada tahun
2009 penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi
Peternakan.
Dalam rangka penyelesaian studi, penulis melakukan penelitian yang
berjudul “Evaluasi Penerapan Teknik Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan
Pangan dan Kehalalan di Tempat Pemotongan Ayam (TPA) di Empat Kecamatan,
Kabupaten Bogor” dibawah bimbingan Dr. Ir. Henny Nuraini, Msi dan
Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI …………………...…………………………………………

i

DAFTAR TABEL ……………………………………………....... ….......

iii

DAFTAR GAMBAR …………………..……………………………….....

iv

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………

v

PENDAHULUAN ……………………………………………………….....
Latar Belakang …………………………………………………......
Tujuan Penelitian ...……………….………………………………...
Manfaat Penelitian ..………………………………………………..

1
1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………
Keamanan Pangan Asal Hewan ………………………………...….
Kontaminasi pada Daging Ayam ………………………………….
1. Cemaran Biologi ………………………………………………
a. Total Plate Count (TPC) ..………………………………… ..
b. Coliform …….………..………………………………….....
2. Cemaran Kimia ………………………………………………..
3. Cemaran Fisik ………………………………………………...
Teknik Pemotongan Ayam ………….………………………….......
1. Tata cara penyembelihan ……………………………………..
2. Tahapan proses pemotongan ………………………………….
Persyaratan Tempat Pemotongan Ayam ……………..…………….
Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) .……..………....

5
5
7
7
8
9
10
10
10
10
11
14
15

MATERI DAN METODE ……...…………………………………………..
Waktu dan Tempat Penelitian…………………...…………………..
Materi Penelitian
………………………………………………..
Prosedur Penelitian ………….………………………………………
Peubah yang Diamati …………………..…………………………..

17
17
17
18
19

HASIL DAN PEMBAHASAN ….…………………………………………
Evaluasi Kelayakan Bangunan TPA ……………………………….
Proses Pemotongan Ayam yang Halal ……………………………..
Kontaminasi Bakteri pada Karkas Ayam dan Air Cucian Karkas ….
1. Total Plate Count (TPC) pada Karkas Ayam dan Air Cucian
Karkas Ayam …………………………………………………..
2. Coliform pada Karkas Ayam …………………………………..

23
24
43
46
49
55

KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………….
Kesimpulan ………………………………………………………...
Saran ………………………………………………………………..

59
59
59

DAFTAR PUSTAKA ………………………………...……………………..

61

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1
2
3
4
5
6

Aplikasi SSOP pada seluruh TPA dibina dan Kondisi Seharusnya yang
mengacu pada Permentan 2005 …………………………………………..
Aplikasi SSOP pada seluruh TPA belum dibina dan Kondisi Seharusnya
yang mengacu pada Permentan 2005 ……………………………………..

Aplikasi Kehalalan di TPA dibina dan belum dibina dan Kondisi
Seharusnya yang mengacu pada LPPOM MUI 2011 ………………

Penetapan Titik Kritis pada Proses Produksi di TPA penelitian …………
Kuisioner Unit Usaha Rumah Potong Unggas (Mengacu pada
Permentan 2005) ………………………………………………………….
Pemotongan Ternak Secara Halal di PRU (Mengacu pada LPOM MUI 2011) …

67
75

83
89
91
101

DAFTAR GAMBAR

1
2

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Halaman
Tahapan Proses Pemotongan Ayam …………………………………
10
Bantuan peralatan dari Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Bogor; (a) meja eviserasi, (b) plucker,(c) bak
pencuci, (d) scalder, (e) freezer……………………………………………
24
(a) TPA belum dibina A Dramaga, (b) TPA belum dibina B Dramaga,
(c) TPA belum dibina A Parung …………………………………….
37
Contoh bangunan TPA dibina: (a) bangunan TPA dibina di
KecamatanCibungbulang, (b) TPA dibina di Kecamatan Dramaga …
37
(a) fasilitas cuci tangan, (b) toilet …………………………………...
42
Tahapan proses produksi pada TPA penelitian …………………..
46
Histogram jumlah TPC karkas ayam pada TPA dibina .………….
51
Histogram jumlah TPC karkas ayam pada TPA belum dibina .......
52
Histogram jumlah TPC air cucian karkas ayam pada TPA dibina ...
53
Histogram jumlah TPC air cucian karkas ayam pada TPA belum
dibina ………………………………………………………………..
54
Histogram kandungan coliform karkas ayam pada TPA dibina ….
56
Histogram kandungan coliform karkas ayam pada TPA belum
Dibina ……………………………………………………………….
57

DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Beberapa gejala penyakit dan media pencemaran mikroba pada bahan
pangan asal ternak ………………………………………………………
Batas maksimum mikroba pada karkas ayam ………………...………...
Penilaian Kelayakan Unit Usaha TPA Penelitian ...….............................
Daftar Pengecekan Kelayakan Dasar Unit Usaha TPA yang mengacu
pada Permentan (2005) ………………………………………………….
Kesesuaian tata cara penyembelihan ayam yang halal di TPA penelitian
mengacu pada LPPOM MUI (2011) ……………………………………
Hasil evaluasi terhadap kesesuaian hasil pemotongan ayam yang
Halal pada TPA penelitian mengacu pada LPPOM MUI (2011) ………
Rataan jumlah TPC pada karkas ayam dari TPA penelitian ……………
Rataan jumlah TPC air cucian karkas ayam pada 12 TPA penelitian .....
Rataan kandungan coliform pada karkas ayam pada 12 TPA penelitian ..

6
8
24
25
43
45
50
53
55

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging ayam merupakan bahan pangan asal ternak yang digemari oleh
masyarakat Indonesia karena harganya tergolong murah dan penting untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Permintaan terhadap daging
ayam semakin bertambah seiring dengan meningkatnya penghasilan dan kesadaran
penduduk akan pentingnya protein hewani. Keamanan dan kehalalan produk
pangan asal ternak harus diperhatikan agar produk dapat dipasarkan sesuai
ketentuan yang berlaku.
Keamanan pangan yang perlu diperhatikan bukan hanya pada pihak
produsen, tetapi juga dari konsumen sendiri. Pada umumnya konsumen di
Indonesia belum memahami masalah keamanan pangan secara utuh, sehingga tidak
peduli dengan kebersihan daging ayam yang dipasarkan. Dilain pihak kesulitan
ekonomi pada masyarakat tertentu juga mempengaruhi konsumen, sehingga daging
ayam dengan harga murah dan terjangkau tetapi tidak terjamin kebersihannya akan
tetap diterima dalam pemasaran. Hal ini berdampak pada produsen untuk tidak
begitu memperhatikan kebersihan produk yang dihasilkan.
Tempat pemotongan ayam yang masih bersifat tradisional, masih banyak
kelengkapan peralatan, teknik pemotongan dan cara penanganannya yang belum
memenuhi aspek kebersihan dan kesehatan. Sebagian besar produsen daging ayam
masih menggunakan peralatan yang seadanya untuk melakukan pemotongan ayam.
Tempat pemotongan ayam yang layak berperan penting dalam menghasilkan
karkas ayam yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut, sehingga sangat menarik
untuk dikaji lebih lanjut guna menjamin perlindungan terhadap konsumen untuk
mendapatkan daging yang aman dan halal.
Kabupaten Bogor terdiri atas 40 buah kecamatan. Pada masing-masing
Kecamatan terdapat beberapa tempat pemotongan ayam (TPA) yang mempunyai
total 170 buah TPA. Dari 40 kecamatan yang ada, sebanyak empat TPA di empat
kecamatan telah mendapat pembinaan dari Dinas Peternakan dan Perikanan.
Bentuk pembinaan yang diberikan sendiri adalah pengarahan dan pelatihan dalam
sanitasi dan higiene pada saat proses produksi, sanitasi dan higiene di sekitar

2

lingkungan TPA, juga bantuan peralatan seperti scalder, plucker, bak pencuci
karkas, meja eviserasi dan freezer. Kecamatan lainnya yaitu sebanyak 36
kecamatan dengan jumlah TPA 150 buah belum mendapat pembinaan dan
menerapkan sistem keamanan pangan, sehingga beresiko besar belum sepenuhnya
tidak memberikan jaminan kesehatan dan kehalalan kepada konsumen terhadap
produk yang dikonsumsinya.
Menurut data dari Dinas Pertanian Kota Bogor kebutuhan daging ayam di
Kabupaten Bogor untuk tahun 2010 adalah 7.779.277 kg, sedangkan ketersediaan
daging ayam di Kabupaten Bogor adalah 16.000.000 kg. Daging ayam yang
dihasilkan dari tempat pemotongan ayam yang berada di Kabupaten Bogor tidak
hanya dipasarkan di wilayah Bogor, tetapi dipasarkan sampai juga ke daerahdaerah sekitar Bogor, seperti Jakarta, Tangerang, Depok, Bekasi, bahkan hingga
keluar pulau Jawa, sebagai contoh ke Propinsi Papua.
Permintaan akan daging ayam yang cukup tinggi ini menyebabkan
tumbuhnya tempat pemotongan ayam skala kecil baik secara rumahan dan di pasar.
Bila dilihat dari segi bangunan dan prosedur produksi, tempat pemotongan unggas
skala kecil ini belum sesuai dengan persyaratan SNI Rumah Pemotongan Unggas.
Pemilik tempat pemotongan ayam skala kecil belum sepennuhnya menerapkan
Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) ketika melaksanakan proses
produksi, sehingga resiko produk yang dihasilkan terkontaminasi bakteri adalah
sangat tinggi. Penggunaan obat-obatan untuk pencegahan penyakit dan obat-obatan
yang merangsang pertumbuhan untuk mengoptimalkan produksi juga dapat
menimbulkan residu pada karkas ayam dan bahkan beberapa diantaranya bersifat
karsinogen, sehingga mempunyai kemungkinan produk tidak memenuhi keamanan
pangan.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat daging ayam adalah
bahan makanan yang mudah rusak dan sangat peka terhadap bakteri. Proses
pemotongan ayam, penyimpanan dan pemasaran harus memenuhi syarat kesehatan,
terutama jika produk ini akan dijual dalam bentuk segar karena sebagian besar
kebutuhan daging ayam dan hasil sampingannya (jeroan, kepala, kaki) di pasarkan
dalam bentuk segar. Selain itu, kehalalan produk juga harus mendapatkan perhatian
khususu mengingat sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam. Proses
pemotongan harus mengikuti tata cara penyembelihan ayam sesuai dengan syariat

3

hukum Islam sehingga daging yang dihasilkan benar-benar dapat dijamin
kehalalannya.
Berdasarkan keadaan ini maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
tentang evaluasi sanitasi dan higiene pada tempat pemotongan ayam skala kecil,
yang hasilnya nanti dapat dipergunakan untuk perbaikan kualitas tempat
pemotongan ayam di Kabupaten Bogor. Aspek mutu dan keamanan merupakan
bagian penting dalam bidang pangan dan perlu mendapat perhatian khusus.
Pendekatan preventif seperti halnya penerapan SSOP dianggap paling baik untuk
menangani masalah keamanan pangan. Peningkatan kualitas produk daging unggas
yang ASUH juga

diharapkan akan meningkatkan nilai jual produk tersebut,

sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar dan jaminan konsumen terhadap
produk yang sehat, aman, utuh dan halal.

Tujuan Penelitian
Melakukan kajian terhadap penerapan SSOP untuk menjamin keamanan
pangan serta mempelajari teknik pemotongan (yang sesuai dengan syariat Islam)
untuk menghasilkan produk yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) di tempat
pemotongan unggas yang berlokasi di beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian
1. Memberi informasi kepada konsumen tempat pemotongan ayam (TPA) yang
telah melaksanakan SSOP dan menghasilkan produk yang aman untuk
dikonsumsi.
2. Memberikan kesadaran kepada konsumen akan pentingnya proses pemotongan
yang baik, higienis dan halal.

4

5

TINJAUAN PUSTAKA
Keamanan Pangan Asal Hewan
Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia,
sehingga perlu diperhatikan kualitas dan kuantitasnya. Perhatian pemerintah
terhadap ketersediaan pangan diimplementasikan melalui program ketahanan
pangan, agar masyarakat memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, aman,
bergizi, sehat, dan halal untuk dikonsumsi (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat
2004). Bahan pangan asal ternak merupakan sumber gizi utama untuk pertumbuhan
dan kehidupan manusia, namun menjadi tidak berguna dan membahayakan
kesehatan manusia apabila tidak aman untuk dikonsumsi (Bahri 2008).
Daging dengan kadar air yang tinggi (68.75%) merupakan bahan pangan
yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroba, karena kaya nitrogen dan mineral,
dan mengandung mikroorganisme yang menguntungkan bagi mikroba lain. Jumlah
mikroba dalam daging juga dipengaruhi perlakuan ternak sebelum pemotongan
(Betty & Yendri 2007). Murdiati (2006) mengatakan mikroba dapat mencemari
ternak saat masih hidup, dan selanjutnya mikroba masuk dalam rantai pangan.
Menurut Syukur (2006), mikroba dapat tumbuh dengan baik dan dapat merusak
bahan pangan asal ternak, sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia.
Daging yang tercemar mikroba melebihi ambang batas akan berlendir, berjamur,
daya simpannya menurun, berbau busuk, rasa tidak enak, dan menyebabkan
gangguan kesehatan bila dikonsumsi manusia (Djaafar & Rahayu 2007).
Menurut Budinuryanto et al. (2000) jumlah dan jenis mikroba yang
berbahaya pada daging ayam yang dipotong dan dijual di pasar tradisional cukup
mengkhawatirkan. Mikroba yang berbahaya pada produk segar antara lain adalah
Salmonella sp., Shigella sp., dan E. coli. (Pusat Standarisasi dan Akreditasi 2004).
Beberapa contoh mikroba yang dapat membahayakan kesehatan manusia adalah
Coliform, Escherichia coli, Enterococci, Staphylococcus aureus, Clostridium sp.,
Salmonella sp., Camphylobacter sp., dan Listeria sp (Syukur 2006). Foodborne
disease adalah suatu penyakit yang merupakan hasil dari pencemaran dan
penyerapan makanan yang mengandung mikroba oleh tubuh manusia, mikroba

6

masuk ke dalam saluran pencernaan manusia melalui makanan, yang kemudian
diserap oleh tubuh, sehingga menyebabkan gejala penyakit (Gustiani 2009).
Tabel 1. Beberapa gejala penyakit dan media pencemaran
bahan pangan asal ternak
Agens
Coliform

Media
Makanan yang tercemar feses

Salmonella
Campylobacter

Air pencuci terkontaminasi
Kontak dengan permukaan karkas
unggas yang terinfeksi, atau
mengonsumsi daging ayam yang
masih mentah
Makanan mentah, susu yang
dipasteurisasi, keju lunak

mikroba

pada

Gejala
Mual, nyeri perut, diare,
muntah, berak darah,
demam, kejang,
kekurangan cairan/
dehidrasi
Escherichia coli Makanan/minuman yang tercemar Diare berdarah dan
oleh feses
kesakitan karena kram
perut yang disertai demam

Listeria

Demam, diare, kram perut
Diare, demam, kram perut

Infeksi di selaput otak,
infeksi meluas ke dalam
saluran darah

Sumber : Andriani (2005)

Menurut Gustiani (2009) penyediaan pangan asal ternak yang memenuhi
keamanan pangan yaitu aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) perlu dilakukan
melalui pengendalian residu dan cemaran mikroba. Jaminan keamanan pangan
diperoleh melalui penerapan sistem keamanan pangan dalam setiap proses
produksi, yaitu: 1) Good Farming Practices (GFP) dan Good Hygiene Practice
yang meliputi sanitasi dan lingkungan sekitar kandang, dan pemberian pakan
ternak yang bebas dari jamur atau toksin; 2) Good Manufacture Practices (GMP)
perhatian pada peralatan/mesin saat pascapanen; 3) Good Handling Practices
(GHP) agar produk yang dihasilkan aman dan sehat konsumsi oleh manusia.
Selain produsen, distributor, penjual produk dan bahan pangan juga tidak
kalah pentingnya dalam menjamin keamanan pangan yang beredar di pasaran.
Distributor pangan di Indonesia masih banyak yang belum memahami dan
menerapkan Good Distribution Practice (GDP). Hasil pemeriksaan dalam tahun
1995/1996 terhadap sarana distribusi dan penjualan produk pangan menunjukkan,
bahwa lebih dari 40% sarana tidak memenuhi syarat sebagai distributor pangan

7

karena faktor sanitasi, bangunan dan fasilitas yang tidak memenuhi syarat, dan
menjual produk-produk yang tidak memenuhi syarat (Ditjen POM 1996).
Pengawasan pangan

merupakan salah satu faktor penting untuk

meningkatkan keamanan dan mutu pangan. Beberapa hambatan dalam program
pengawasan pangan di Indonesia seperti: (a) belum mantapnya kelembagaan dan
koordinasi pengawasan pangan, (b) peraturan dan pedoman yang belum lengkap,
(c) jumlah dan kualitas sumber daya manusia yang terbatas, (d) sumber dana yang
terbatas, dan (e) kemampuan laboratorium analisis pangan yang terbatas.
Keterbatasan dalam jumlah tenaga pengawas pangan dan dana pengawasan
mengakibatkan rendahnya jumlah sarana produksi pangan yang mendapatkan
pengawasan (Ditjen PPM PLP 1994).

Kontaminasi pada Daging Ayam
Cemaran atau masuknya zat asing yang tidak diinginkan dalam makanan
dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu : cemaran biologi, kimia dan fisik.
1. Cemaran Biologi
Mikroba yang biasanya terdapat pada karkas ayam adalah Campylobacter,
Clostridium, Listeria, Salmonella, Staphylococcus, E. coli dan Yersinia
(Cox et al. 2005). Salah satu persyaratan kualitas produk unggas adalah bebas
mikroba patogen. Pencemaran daging oleh mikroba dapat terjadi sebelum dan
setelah hewan dipotong. Sumber pencemaran tersebut antara lain adalah : 1) hewan
(kulit, bulu, isi jeroan), 2) pekerja/manusia yang mencemari produk ternak melalui
pakaian, rambut, hidung, mulut, tangan, jari, kuku, alas kaki, 3) peralatan (pisau,
alat potong/talenan, pisau, boks), 4) bangunan (lantai), 5) lingkungan (udara, air,
tanah), dan 6) kemasan. Sesaat setelah dipotong, darah masih bersirkulasi ke
seluruh anggota tubuh hewan, sehingga penggunaan pisau yang tidak bersih dapat
menyebabkan mikroorganisme masuk ke dalam darah. Pencemaran daging dapat
dicegah jika proses pemotongan dilakukan secara higienis (Gustiani 2009). Jumlah
bakteri

pada

2

kulit
2

ayam

sebelum

pemotongan

ayam

adalah

2,

6.0x10 -68.1x10 cfu/cm dan setelah pemotongan dan pengeluaran jeroan menjadi
1.1x104-9.3x104 cfu/cm2 (Mountney 1983).
Banyak kasus penyakit yang diakibatkan oleh cemaran mikroba patogen
(foodborne diseases) pada daging ayam maupun produk olahannya. Daging ayam

8

cocok sebagai medi perkembangan mikroba, karena ayam dalam kehidupannya
selalu bersentuhan dengan lingkungan yang kotor. Karkas ayam mentah paling
sering dikaitkan dengan cemaran Salmonella dan Campylobacter yang dapat
menginfeksi manusia (Raharjo 1999). Menurut Poloengan et al. (2005) 20-100%
daging ayam yang dipasarkan di Jakarta, Bogor, Sukabumi dan Tangerang tercemar
bakteri Campylobacter.
Tabel 2. Batas maksimum cemaran mikroba pada karkas ayam
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Jenis
Total Plate Count
Coliform
Staphylococcus aureus
Escherichia coli
Salmonella sp
Campylobacter sp

Satuan
cfu/g
cfu/g
cfu/g
cfu/g
per 25 g
per 25 g

Persyaratan
maksimum 1 x 106
maksimum 1 x 102
maksimum 1 x 102
maksimum 1 x 101
negatif
negatif

SNI 01-7388 (BSN 2009)

a. Total Plate Count (TPC)
Jumlah cemaran dalam suatu pangan dapat ditentukan melalui metode Total
Plate Count (TPC) atau disebut juga Angka Lempeng Total (ALT). Jumlah
mikroorganisme pada contoh pangan yang diperoleh pada metode ini merupakan
gambaran populasi mikroorganisme yang terdapat pada contoh tersebut. Jumlah
mikroorganisme

yang

tumbuh

(membentuk

koloni)

yang

berasal

dari

mikroorganisme yang dapat tumbuh pada kondisi yang ditetapkan (misalnya jenis
media, ketersediaan oksigen, suhu dan lama inkubasi), karena mikroorganisme lain
yang terdapat pada contoh tidak dapat tumbuh atau bahkan menjadi mati. Metode
hitung cawan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: pour plate methode (metode
tuang) dan surface or spread plate method (metode permukaan atau metode sebar).
Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dengan colony forming unit (cfu) per
gram atau per ml luasan tertentu dari contoh (per cm2). Ketepatan metode ini
dipengaruhi beberapa faktor, antar lain : a) media dan kondisi inkubasi
(ketersediaan oksigen, suhu dan waktu inkubasi), b) kondisi sel mikroorganisme
(cedera atau injured cell), c) adanya zat penghambat pada peralatan atau media
yang dipakai, atau yang diproduksi oleh mikroorganisme lainnya, d) kemampuan
pemeriksa untuk mengenal koloni, e) peralatan, pelarut dan media yang kurang
steril, ruang kerja yang tercemar, f) pengocokan pada saat pengenceran yang

9

kurang sempurna, g) adanya artifak yang sulit dibedakan dengan koloni, h)
kesalahan menghitung koloni dan perhitungan yang kurang tepat terhadap koloni
yang menyebar atau yang sangat kecil (Lukman dan Purnawarman 2009).
b. Coliform
Coliform merupakan suatu grup bakteri yang digunakan sebagai indikator
adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi yang tidak baik terhadap air dan
makanan, yang menunjukkan kemungkinan adanya mikroorganisme yang bersifat
toksogenik yang berbahaya bagi kesehatan. Bakteri coliform terbagi dua yaitu:
coliform faecal (contohnya Escherichia coli) yang berasal dari kotoran hewan
maupun manusia, dan coliform non faecal (contohnya Enterobacter aerogenes)
yang ditemukan pada hewan atau tanam-tanaman yang telah mati (Fardiaz 1989).
Coliform adalah bakteri berbentuk batang, gram negatif dan tidak berspora,
dan dapat tumbuh pada suhu 2-50°C dan pada kisaran pH 4.4-9.0 (Jay 2000).
Kelompok bakteri coliform terdiri atas jenis Escherichia, Enterobacter dan
Klebsiella. Keberadaannya di dalam bahan pangan sering digunakan sebagai
indikator kontaminasi asal kotoran (McGraw 1999). Coliform terdapat dimanamana dan ditemukan pada bermacam-macam produk bahan pangan terutama yang
berasal dari hewan. Pada ayam hidup coliform biasanya terdapat pada bulu, kulit
dan kuku, sehingga pada saat proses pemotongan ayam coliform dapat mencemari
karkas. Kontaminasi coliform pada karkas ayam juga berasal dari isi saluran
pencernaan pada saat dilakukan eviserasi (Banwart 1989). Kontak langsung antara
peralatan dan tangan pekerja dengan karkas serta air yang digunakan dalam
pencucian karkas selama proses produksi memungkinkan terjadinya kontaminasi
sejumlah

coliform

pada

permukaan

karkas

ayam

broiler

(Cunningham & Cox 1987).
2. Cemaran Kimia
Pada tahap praproduksi, penggunaan obat hewan merupakan suatu
keharusan agar produktivitas ternak dapat dipertahankan atau ditingkatkan.
Pemakaian antibiotik terutama pada peternakan ayam pedaging dan petelur
cenderung berlebihan tanpa memperhatikan aturan pemakaian yang benar
(Bahri et al. 2000). Menurut Murdiati dan Widiastuti (2003) daging dan hati ayam
banyak juga yang tercemar residu antibiotika, terutama golongan penisilin dan

10

tetrasiklin dan cemaran pada organ hati lebih tinggi dibanding pada daging. Pada
tahap produksi, cemaran kimia dapat terjadi karena penggunaan pewarna pada
karkas ayam. Pada tahap pascaproduksi, deterjen yang digunakan untuk
membersihkan peralatan dan ruang pengolahan yang tidak dibersihkan secara
tuntas dapat mencemari karkas.
3. Cemaran Fisik
Cemaran fisik yang tidak boleh/hanya sedikit sekali dalam makanan dan
tidak boleh menimbulkan luka bahkan patah gigi, yang umumnya disebabkan
beberapa faktor sebagai berikut: cemaran dari bahan baku (batu/kerikil, potongan
tulang, ranting, duri rumput, kotoran dan serangga), cemaran dari manusia (rambut,
potongan kuku dan perhiasan), cemaran pada saat proses pengolahan (pecahan
kaca/gelas, logam, pengemas dan plastik) (Thaheer 2005). Pengujian fisik
dilakukan secara visual (inspeksi), perabaan (palpasi) dan penyayatan (insisi)
(BSN 2009).

Teknik Pemotongan Ayam
1. Tata Cara Penyembelihan
Daging yang berasal dari hewan dapat menjadi tidak halal jika disembelih
tanpa mengikuti aturan syariat Islam. Hal-hal yang menjadi titik kritis proses
penyembelihan hewan adalah sebagai berikut : penyembelih (harus seorang muslim
yang taat dan melaksanakan syariat Islam sehari-hari), pemingsanan (tidak
menyebabkan hewan mati sebelum disembelih), peralatan/pisau (harus tajam), dan
proses pasca penyembelihan (hewan harus benar-benar mati sebelum proses
selanjutnya dan darah harus keluar secara tuntas) (LPPOM MUI 2008).
Penyembelihan harus memutuskan trachea, kerongkongan dan pembuluh darah
arteri utama dan daerah leher (CAC 1997).
2. Tahapan Proses Pemotongan Ayam
Berikut ini adalah diagram tahapan pemotongan ayam pada tempat
pemotongan ayam (USDA 1999) :

11

Penerimaan
bahan-bahan
yang
dikemas

Penerimaan/penyimpanan ayam hidup

Menggantung/stunning/menyembelih/pengeluaran darah
Scalding/pemotongan kepala/mencuci/
hock cutter/menggantung
Membuang kelenjar minyak/memotong
leher/venting/opening
Eviceration
Pengeluaran paru-paru/tembolok/pemanenen hati
Pemanenan hati,
gizzard

Inspeksi
Pencucian akhir
Processing

Penyimpanan

ChillingKarkas/leher/jeroan
Penyimpanan
bahan-bahan
yang dikemas

Pengemasan/pelabelan
Penyimpanan produk akhir

Pengiriman
Gambar 1. Tahapan Proses Pemotongan Ayam

a. Penerimaan/penyimpanan ayam hidup. Ayam yang datang dari peternakan
biasanya ditempatkan dalam keranjang bambu/plastik. Ayam diistirahatkan
selama beberapa jam hingga tiba proses penyembelihan.
b. Menggantung. Sebelum proses penyembelihan, ayam digantung pada bagian
sendi kaki dengan posisi kepala di bawah. Ini untuk memudahkan proses
penyembelihan.
c. Stunning. Pencegahan ayam agar tidak stres dan tidak memberontak pada saat
proses penyembelihan, maka ayam dipingsankan (stunning) dengan melewatkan

12

kepala ayam ke dalam bak air yang diberi Automatic Stunner dengan tegangan
60-70 volt pada bak air selama 3 detik hingga tubuh dan jaringan otot ayam
melemas, sehingga ayam tidak banyak bergerak saat disembelih.
d. Menyembelih. Proses penyembelihan dilakukan dengan pemotongan ketiga urat
yang terletak di leher, yaitu saluran makanan (oesophagus), saluran pernafasan
(trachea), dan pembuluh darah di kanan dan kiri leher (vena jugularis dan arteri
carotis) sampai putus, sehingga darah dapat mengucur keluar sampai habis.
e. Mengeluarkan darah. Darah kemudian dikeluarkan, dengan cara menggantung
ayam dengan posisi kepala di bagian bawah selama 3-5 menit. Pengeluaran
darah harus tuntas sehingga tidak menurunkan mutu karkas ayam, juga akan
mempengaruhi warna kulit ayam dan berpotensi sebagai media pertumbuhan
mikroba, sehingga daging cepat busuk.
f. Scalding. Setelah darah ayam ditiriskan, kemudian ayam dimasukkan ke dalam
bak atau panci berisi air panas dengan suhu 52-55°C selama 45 detik. Proses ini
bertujuan agar memudahkan dalam proses pencabutan bulu.
g. Mencabut bulu. Proses ini dapat dilakukan dengan mencabut bulu (mesin
pencabut bulu/plucker) atau dapat juga dilakukan dengan tangan. Pembersihan
bulu-bulu kecil dilakukan dengan tangan. Saat proses berlangsung, air dingin
disiramkan ke dalam mesin plucker agar kulit ayam tidak rusak, juga untuk
membersihkan bulu-bulu pada tubuh ayam.
h. Pemotongan kepala. Proses ini sebaiknya dilakukan di atas meja yang dilapisi
keramik atau porselen, atau baja tahan karat yang dilengkapi dengan keran air.
i. Pencucian. Pencucian dilakukan pada karkas ayam untuk membersihkan ayam
dari kotoran dan darah yang masih menempel pada karkas ayam.
j. Penggantungan kembali. Karkas yang telah dicuci kemudian digantung
kembali, untuk meniriskan air yang terdapat pada karkas, sehingga pada saat
pengemasan bobot karkas tidak bertambah.
k. Membuka rongga abdomen dan dada. Rongga perut dibuka dengan cara
mengiris kulit perut melintang dari anus hingga ke ujung tulang dada dengan
menggunakan pisau yang tajam. Proses ini harus dilakukan dengan hati-hati agar
daging dada dan usus tidak ikut terpotong.

13

l. Pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan untuk menentukan kesesuaian proses
pemotongan sudah sesuai, dan tidak sampai membelah perut dan dada terlalu
lebar yang nantinya akan mengurangi nilai jual karkas.
m. Pemanenan hati, jantung. Karkas dipegang dengan tangan kiri, dada karkas
menghadap ke atas. Menggunakan jari-jari tangan kanan, pertautan antara
saluran pernafasan, saluran pencernaan dan pembuluh darah ayam dilonggarkan.
Ampela dijepit di antara jari telunjuk dan jari tengah, lalu ditarik.
n. Pemotongan saluran pencernaan. Pemotongan usus buntu dari usus halus
kemudian dilakukan. Pada beberapa tempat pemotongan unggas, usus
dibersihkan, dengan menyobek usus membujur searah panjang usus, dan isi usus
dikeluarkan dengan menyemprotkan air ke usus yang telah terbelah tersebut.
Kemudian usus dicuci bersih, selanjutnya direbus setengah matang, didinginkan,
dan dikemas.
o. Pemanenan ampela. Ampela dipisahkan dari hati dan jantung serta usus secara
hati-hati hingga tidak rusak dan empedu tidak pecah. Ampela dipisahkan dari
tembolok dan dicuci bersih, lalu dikemas.
p. Pengambilan paru-paru. Menggunakan jari tangan kanan paru-paru kemudian
dilepaskan dari karkas ayam.
q. Pemotongan leher. Leher kemudian dipisahkan dari kepala dan karkas, dicuci
dan dikemas.
r. Pemotongan kaki (ceker). Pemotongan dilakukan pada sendi di bawah lutut
sehingga hasil pemotongan membentuk seperti angka 8.
s. Pemotongan retail. Pemotongan retail dilakukan sesuai dengan permintaan.
Karkas dipotong menjadi delapan potong yang terdiri atas dua paha bawah, dua
paha atas, dua sayap, dua bagian dada.
t. Pencucian akhir. Setelah isi rongga perut dikeluarkan dan karkas dipotongpotong, lalu karkas dicuci bersih.
u. Penyortiran. Klasifikasi kualitas karkas dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
kualitas A (untuk pasar swalayan, rumah makan siap hidang, dan hotel-hotel),
kualitas B (untuk rumah makan padang atau pasar tradisional), dan kualitas C
(untuk karkas potongan dan karkas tanpa tulang/boneless).
v. Packing. Setelah proses pemotongan dan penyortiran, kemudian karkas
dikemas. Kemasan dapat berupa kantung plastik, styrofoam atau coolbox.

14

Ukuran kemasan disesuaikan dengan karkas atau produk sampingan yang akan
dibungkus.
w. Penyimpanan karkas dingin. Karkas yang telah dibungkus lalu diatur rapi
dalam keranjang karkas. Pada bagian atas dan samping keranjang ditutup
dengan hancuran es setebal kurang lebih 5-10 cm, lalu diatas lapisan es ini
diletakkan lagi bungkusan karkas. Demikian selanjutnya hingga keranjang
penuh. Selanjutnya semua produksi yang telah dikemas dan akan dikirim
dimasukkan ke dalam boks kendaraan pengangkut yang dilengkapi dengan
pendingin dengan suhu 0-15°C (TAS 2006).
Proses

penyembelihan

harus

memenuhi

persyaratan

teknis

dan

kesejahteraan ternak, ayam yang akan disembelih, penyembelih dan proses
pemotongan. Sebelum pemotongan, ayam-ayam tidak boleh makan, tetapi harus
diberi air minum, minimal 8-12 jam. Hal ini bertujuan untuk mengosongkan
tembolok ayam sebelum menyembelih, untuk mencegah kemungkinan ekskresi isi
usus, kemudian dilakukan pemeriksaan ante-mortem yaitu pemeriksaan kesehatan
ayam sebelum menyembelih. Kesejahteraan ternak juga harus diperhatikan, yaitu:
bebas dari lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan, bebas dari rasa sakit,
cedera dan penyakit, bebas untuk mengekspresikan perilaku normal, bebas dari rasa
takut dan stres (Deptan 2006).

Persyaratan Tempat Pemotongan Ayam
Rumah pemotongan unggas adalah kompleks bangunan dengan desain dan
konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu, serta
digunakan sebagai tempat memotong unggas bagi konsumsi masyarakat umum.
Menurut SNI 01-6160 (BSN 1999), Rumah Pemotongan Unggas harus memiliki
syarat-syarat sebagai berikut :
1.

Tidak bertentangan dengan Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR) setempat dan/atau Rencana Bagian Wilayah Kota
(RBWK).

2.

Tidak berada di bagian kota yang padat penduduknya, dan letaknya lebih
rendah dari rumah penduduk.

15

3.

Memiliki sarana jalan yang baik untuk kendaraan pengangkutan daging
unggas.

4.

Memiliki sumber air dan listrik yang cukup.

5.

Memiliki tempat penurunan unggas hidup (unloading).

6.

Memiliki kamar mandi dan wc.

7.

Memiliki sarana penanganan limbah.

8.

Memiliki

daerah

kotor

(penurunan,

pemeriksaan

antemortem

dan

penggantungan unggas hidup, pemingsanan, penyembelihan, scalding,
pencabutan bulu, pencucian karkas, pengeluaran jeroan dan pemeriksaan
postmortem, penanganan jeroan).
9.

Memiliki daerah bersih (pencucian karkas, pendinginan karkas, seleksi,
penimbangan karkas, pemotongan karkas, pemisahan daging dan tulang,
pengemasan, penyimpanan segar).

10. Sistem saluran pembuangan limbah cair.
11. Seluruh peralatan pendukung dan penunjang di rumah pemotongan unggas
harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan
didensinfeksi serta mudah dirawat.
12. Peralatan yang langsung berhubungan dengan daging harus terbuat dari bahan
yang tidak mudah korosif, tidak toksik, mudah dibersihkan dan didensinfeksi
serta mudah dirawat.

Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)
Sanitasi diperlukan untuk menghilangkan kontaminan dan mencegah
terjadinya kontaminasi kembali pada karkas. Sumber kontaminasi dapat berasal
dari karkas itu sendiri, peralatan, air atau ruangan tempat penyembelihan. Prosedur
standar dalam proses sanitasi (Sanitation Standard Operating Procedure – SSOP)
meliputi delapan aspek, yaitu :
1. Keamanan air, yang didalamnya akan ditetapkan tahapan-tahapan perlakuan
untuk air yang diterapkan agar diperoleh air dengan kualitas tertentu.
2. Kondisi/kebersihan permukaan yang kontak dengan karkas, yang berisi standar
prosedur pembersihan dan sanitasi alat, frekuensi pembersihan dan petugas yang
bertanggung jawab.

16

3. Pencegahan kontaminasi silang, yang bertujuan untuk menghindari kontaminasi
silang dari pekerja dan karkas.
4. Kebersihan pekerja, meliputi fasilitas cuci tangan, sanitasi tangan.
5. Pencegahan atau perlindungan dari adulterasi, untuk mencegah tercampurnya
bahan-bahan nonpangan seperti senyawa pembersih, sanitizer, serta cemaran
kimia dan fisik dengan karkas.
6. Penyimpanan karkas yang tepat sebelum dibeli konsumen.
7. Pengendalian kesehatan karyawan, agar karyawan yang menderita sakit tidak
menjadi sumber kontaminasi bagi karkas.
8. Pemberantasan hama yang tidak dikehendaki keberadaannya, seperti: tikus,
burung, nyamuk, kecoa, semut, lalat dan lebah (Winarno & Surono 2004).

Penyusunan

SSOP

harus

memenuhi

kelayakan

antara

lain:

pendokumentasian program sanitasi, pemantauan program kelayakan, penerapan
kelayakan dasar, melakukan tindakan koreksi jika kelayakan dasar tidak memenuhi
syarat, dan perekam program yang dilaksanakan (Wiryanti 2002). Juga perlu
dipertimbangkan tata letak bangunan, lantai, dinding, langit-langit, ventilasi,
jendela dan pintu yang tidak mudah memunculkan penyebaran serangga. Bangunan
dapat terbuat dari bahan besi, kayu, stainless steel, logam monel, karet dan bahan
enamel. Sanitasi pada peralatan, ruang, pekerja, penanganan dan pengolahan
limbah juga perlu diperhatikan (Ditjen Keswan 1987).

17

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, mulai bulan Oktober 2010 April 2011. Pengambilan sampel pada titik kritis dilakukan pada 2 jenis tempat
pemotongan unggas yang berbeda (dibina dan belum dibina) pada empat
kecamatan di Kabupaten Bogor. Pada penelitian ini, lokasi yang dipilih
berdasarkan rekomendasi dari Dinas Peternakan Kabupaten Bogor. Bentuk
pembinaan yang telah diberikan oleh Dinas Peternakan setempat adalah
pengarahan dan pelatihan terhadap sanitasi dan higiene di lingkungan TPA, juga
bantuan berupa beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk proses produksi seperti
scalder, plucker, bak pencucian karkas, meja eviserasi dan juga freezer. Kecamatan
yang diamati adalah Kecamatan Parung, Cibinong, Dramaga dan Cibungbulang.
Pada Kecamatan Parung, TPA binaan dan belum dibina berada di Desa Waru, TPA
binaan berlokasi di sekitar pemukiman penduduk, sedangkan TPA belum dibina
berlokasi di pasar Parung. Pada Kecamatan Cibinong TPA binaan dan belum dibina
berada pada satu desa, yaitu Desa Pakan Sari dan berlokasi di daerah pemukiman
penduduk. Pada Kecamatan Dramaga TPA binaan berlokasi di Desa Sinar Sari
yang dekat dengan pemukiman penduduk, TPA belum dibina berada di Desa Kidul
yang juga dekat dengan pemukiman penduduk. Kecamatan Cibungbulang TPA
dibina dan belum dibina berada pada satu desa yaitu Desa Dukuh dan berada di
daerah pemukiman penduduk.

Materi Penelitian
Bahan. Adapun bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: sampel dari
pengamatan terhadap titik kritis di TPA; PCA; larutan Buffered Pepton Water
(BPW) 0.1 %; Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), Lauryl Sulfate
Tryptose Broth (LSTB).
Alat. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah: termometer untuk
mengukur suhu air scalding; tabung Durham; cawan petri; pipet ukuran 1ml, 2ml,
5ml, 10ml; pipet volumetrik; botol media; penghitung koloni; gunting, pinset; ose
(jarum inokulasi); stomacher; pembakar bunsen; pH meter; timbangan; magnetic

18

stirer; pengocok tabung (vortex); inkubator; penangas air; autoklaf; lemari steril;
lemari pendingin; freezer.
Prosedur Penelitian
Diagram Alir Penelitian. Penelitian dimulai dengan menentukan jumlah TPA
yang akan diamati dan dijadikan tempat pengambilan sampel. Kabupaten Bogor
terdiri atas 40 kecamatan, dan pada masing-masing kecamatan terdapat 5-20 buah
tempat pemotongan ayam (TPA). Dari 40 kecamatan tersebut, telah empat
kecamatan yang mendapat pembinaan dari Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Bogor dalam sanitasi dan hygiene, juga pemberian bantuan peralatan
berupa mesin plucker, scalder, meja eviserasi, bak pencuci karkas, dan freezer.
Pada empat kecamatan tersebut terdapat 20 buah TPA, dengan 4 buah TPA yang
telah dibina dan 16 buah TPA yang belum dibina. Untuk menentukan jumlah TPA
yang akan diamati dan dijadikan sebagai tempat pengambilan sampel, maka
digunakan rumus Levy dan Lameshow (1999), dan didapatkan hasil sebanyak

12

buah TPA yang akan diamati dan dijadikan tempat sebagai pengambilan sampel,
dengan 1 buah TPA dibina dan 2 buah TPA yang belum dibina pada masingmasing kecamatan. Penentuan TPA yang diamati sesuai dengan rekomendasi yang
diberikan oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. Pengamatan di
lapangan dilengkapi dengan kuisioner yang menilai kelayakan unit usaha TPA
yang mengacu pada Permentan (2005) dan kuisioner yang menilai tata cara
pemotongan ayam yang halal yang mengacu pada LPPOM MUI (2011). Pemberian
nilai pada masing-masing persyaratan dalam kuisioner dilakukan dengan
mempertimbangkan persyaratan yang terutama dan yang terpenting dari kuisioner
yang dapat menjamin keamanan dan kehalalan dari produk akhir yang dihasilkan.
Dari kuisioner tersebut didapat bobot penilaian untuk masing-masing TPA, apakah
TPA tersebut sudah memenuhi persyaratan yang sesuai dengan Permentan (2005)
dan LLPOM MUI (2011).
Sampel. Setelah dilakukan pengamatan dan penilaian pada masing-masing TPA
kemudian dilakukan penentuan titik kritis pada masing-masing TPA. Dari titik
kritis yang telah ditentukan kemudian dilakukan pengambilan sampel. Sampel yang
diambil berupa karkas ayam bagian dada dan air cucian karkas ayam. Sampel yang
diteliti diambil sebanyak tiga ulangan, yaitu pada awal, tengah dan akhir produksi.

19

Masing-masing sampel kemudian ditempatkan di dalam plastik yang telah
disterilkan. Sampel-sampel lalu ditempatkan ke dalam cool box dan diberi batu es
selama dalam perjalanan, untuk mencegah tumbuhnya mikroba pada sampel.
Sampe