Evaluation the Application of Slaughter Chicken Techniques that Observated from Food Safety and Halal Food in Slaughter Houses at Four Subdistricts of Bogor

(1)

DI TEMPAT PEMOTONGAN AYAM (TPA) DI EMPAT

KECAMATAN, KABUPATEN BOGOR

FERA SIBARANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Penerapan Teknik Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan Pangan dan Kehalalan di Tempat Pemotongan Ayam (TPA) di Empat Kecamatan, Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, 19 Agustus 2011

Fera Uli Basa Sibarani D151090031


(3)

Evaluation the Application of Slaughter Chicken Techniques that

Observated from Food Safety and Halal Food in Slaughter Houses

at Four Subdistricts of Bogor

Fera Sibarani, Henny Nuraini, Rarah Ratih Adjie Maheswari

Many of slaughter houses in Bogor still not appropiate to regulation of Indonesian National of Standarditation (SNI 01-6160-1999) that can causes contamination to carcass that produce in those slaugter houses. The equipments, the techniques of slaughter and the handling practices still not comply to request of sanitation and hygiene. The objective of this study was to evaluate the application of slaughter chicken technique that observated from food safety and halal food in slaughter houses in four subdictricts of Bogor. The experiment was used t-test to compare two types of slaughtering houses (coached and not coached) in building expedience, bacteria contamination and halal slaugtering. The results showed that the building expedience was significantly different (P>0,05) between those two tyes of slaughtering houses. The halal slaugtering practice was not significantly different for those two types of slaughtering houses. TPC contamination for all slaughtering houses was underneath from standard BMCM of SNI, except for not coached slaughtering houses of Dramaga was over than 1x106cfu/g. The coliform contamination for all slaughtering houses was over than 1x102cfu/g, but the numeric for TPC and coliform of coached slaughtering houses more better than not coached slaughtering houses. This evaluation of slaughtering houses showed that all slaughtering houses did not yet implemented the good slaughtering practice and good sanitation and hygiene practice totally.


(4)

FERA ULI BASA SIBARANI. D151090031. 2011. Evaluasi Penerapan Teknik Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan Pangan dan Kehalalan di Tempat Pemotongan Ayam (TPA) di Empat Kecamatan, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh HENNY NURAINI dan RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI.

Daging ayam merupakan bahan pangan asal ternak yang digemari oleh masyarakat Indonesia karena harganya tergolong murah dan penting untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Permintaan terhadap daging ayam semakin bertambah seiring dengan meningkatnya penghasilan dan kesadaran penduduk akan pentingnya protein hewani. Keamanan dan kehalalan produk pangan asal ternak harus diperhatikan agar produk dapat dipasarkan sesuai ketentuan yang berlaku. Keamanan pangan yang perlu diperhatikan bukan hanya pada pihak produsen, tetapi juga dari konsumen sendiri.

Di Indonesia, tempat pemotongan ayam, kelengkapan peralatan, teknik pemotongan dan cara penanganannya masih banyak yang belum memenuhi aspek kebersihan dan kesehatan. Sebagian besar produsen daging ayam masih menggunakan peralatan yang seadanya untuk melakukan pemotongan ayam.

Kabupaten Bogor terdiri atas 40 buah kecamatan. Dari 40 kecamatan tersebut empat TPA di empat kecamatan telah mendapat pembinaan dari Dinas Peternakan dan Perikanan. Bentuk pembinaan yang diberikan sendiri adalah pengarahan dan pelatihan dalam sanitasi dan higiene pada saat proses produksi, sanitasi dan higiene di sekitar lingkungan TPA, juga bantuan peralatan seperti scalder, plucker, bak pencuci karkas, meja eviserasi dan freezer.

Menurut data dari Dinas Pertanian Kota Bogor kebutuhan daging ayam di Kabupaten Bogor untuk tahun 2010 adalah 7.779.277 kg, sedangkan ketersediaan daging ayam di Kabupaten Bogor adalah 16.000.000 kg. Permintaan akan daging ayam yang cukup tinggi ini menyebabkan tumbuhnya tempat pemotongan unggas skala kecil (rumahan) dan dipasar. Pemilik tempat pemotongan ayam skala kecil belum menerapkan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) ketika melaksanakan proses produksi, sehingga produk yang dihasilkan dapat terkontaminasi bakteri sangat tinggi.

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat daging ayam adalah bahan makanan yang mudah rusak dan sangat peka terhadap bakteri. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, maka proses pemotongan harus mengikuti tata cara penyembelihan ayam sesuai dengan syariat hukum Islam sehingga daging yang dihasilkan benar-benar dapat dijamin kehalalannya.

Dari pengamatan diperoleh hasil bahwa semua TPA dibina berada pada kriteria kurang layak (54-64%), dan TPA belum dibina berada pada kriteria tidak layak dan kurang layak (22-39%), karena banyak dari persyaratan sesuai Permentan (2005) yang belum dipenuhi oleh semua TPA. Untuk hasil untuk penilaian tata cara pemotongan ayam yang halal pada TPA penelitian adalah telah sesuai (100%) dengan tata cara pemotongan ayam yang halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI (2011). Tidak ada perbedaan pada semua TPA penelitian, karena tidak adanya perbedaan dalam tata cara penyembelihan ayam yang dilakukan di semua TPA penelitian.


(5)

karkas ayam menunjukkan kesesuaian dengan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) menurut SNI 01-7388 (BSN 2009) yaitu ≤1x106 cfu/g untuk semua TPA, kecuali untuk TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga dengan angka cemaran TPC sebesar 6.11 log cfu/g. Tingginya angka cemaran ini disebabkan sanitasi yang tidak baik pada saat proses produksi.

Jumlah TPC pada air cucian karkas ayam dari TPA dibina adalah 0.71 log cfu/ml lebih rendah dari TPA belum dibina. Jumlah TPC air cucian karkas ayam pada TPA belum dibina pada Kecamatan Dramaga lebih tinggi dari TPA lainnya (6.72 log cfu/ml). Tingginya angka cemaran ini karena air cucian dicemari oleh karkas ayam dengan jumlah TPC yang tinggi.

Jumlah coliform pada karkas ayam dari TPA dibina adalah 0.41 log cfu/g lebih rendah dari TPA belum dibina. Hasil uji kualitas mikrobiologi untuk coliform pada karkas ayam belum sesuai dengan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) menurut SNI 01-7388 (BSN 2009) yaitu >102cfu/g untuk semua TPA.

Untuk meminimalkan kontaminasi bakteri terhadap produk akhir, sanitasi pada proses penanganan daging di tempat pemotongan ayam harus dilakukan secara benar. Karkas ayam dan jeroan dari tempat pemotongan ayam dijual dipasar-pasar tradisional yang sebagian besar konsumen belum mengetahui tentang keamanan pangan khususnya kontaminasi bakteri. Kurangnya disiplin sumber daya manusia pada saat melakukan proses produksi dan proses produksi dilakukan dalam satu ruangan, dapat mengakibatkan kontaminasi pada hasil akhir.


(6)

©

Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut Pertanian Bogor.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh hasil karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

DI TEMPAT PEMOTONGAN AYAM (TPA) DI EMPAT

KECAMATAN, KABUPATEN BOGOR

FERA ULI BASA SIBARANI D151090031

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

(TPA) di Empat Kecamatan, Kabupaten Bogor Nama : Fera Uli Basa Sibarani

NRP : D151090031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Si


(10)

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya hingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Evaluasi Penerapan Teknik Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan Panganan dan Kehalalan di Tempat Pemotongan Ayam (TPA) di Empat Kecamatan, Kabupaten Bogor. Penulisan tesis ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Peternakan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Terima kasih Penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si dan Dr. Ir. Rarah Ratih A. Maheswari, DEA selaku komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta bimbingan kepada Penulis dalam penulisan tesis ini. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Rukmiasih, MS selaku penguji luar komisi pada ujian, yang telah memberikan masukan yang bermanfaat bagi penyempurnaan tesis ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas dukungan yang diberikan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi Penulis sendiri, akademisi serta pihak lain. Tesis ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan, karena itu Penulis meminta maaf atas ketidaksempurnaan tersebut.

Bogor, Agustus 2011


(11)

Penulis dilahirkan di Kisaran 4 April 1976, Sumatera Utara. Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak W. Sibarani dan Ibu A.N. Hutapea.

Pendidikan SD, SMP dan SMA penulis tempuh di Medan. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Peternakan, Fakultas Pertanian USU. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Peternakan.

Dalam rangka penyelesaian studi, penulis melakukan penelitian yang

berjudul “Evaluasi Penerapan Teknik Pemotongan Ayam Ditinjau dari Keamanan

Pangan dan Kehalalan di Tempat Pemotongan Ayam (TPA) di Empat Kecamatan,

Kabupaten Bogor” dibawah bimbingan Dr. Ir. Henny Nuraini, Msi dan Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA.


(12)

Halaman

DAFTAR ISI ………...……… i

DAFTAR TABEL ………... …... iii

DAFTAR GAMBAR ………..………... iv

DAFTAR LAMPIRAN ……… v

PENDAHULUAN ………... 1

Latar Belakang ………... 1

Tujuan Penelitian ...……….………... 3

Manfaat Penelitian ..……….. 3

TINJAUAN PUSTAKA ……… 5

Keamanan Pangan Asal Hewan ………...…. 5

Kontaminasi pada Daging Ayam ………. 7

1. Cemaran Biologi ……… 7

a. Total Plate Count (TPC) ..……… .. 8

b. Coliform …….………..………... 9

2. Cemaran Kimia ……….. 10

3. Cemaran Fisik ………... 10

Teknik Pemotongan Ayam ………….………... 10

1. Tata cara penyembelihan ……….. 10

2. Tahapan proses pemotongan ………. 11

Persyaratan Tempat Pemotongan Ayam ………..………. 14

Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) .……..……….... 15

MATERI DAN METODE ……...……….. 17

Waktu dan Tempat Penelitian………...……….. 17

Materi Penelitian ……….. 17

Prosedur Penelitian ………….……… 18

Peubah yang Diamati ………..……….. 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ….……… 23

Evaluasi Kelayakan Bangunan TPA ………. 24

Proses Pemotongan Ayam yang Halal ……….. 43

Kontaminasi Bakteri pada Karkas Ayam dan Air Cucian Karkas …. 46

1. Total Plate Count (TPC) pada Karkas Ayam dan Air Cucian Karkas Ayam ……….. 49


(13)

Saran ……….. 59 DAFTAR PUSTAKA ………...……….. 61


(14)

Halaman 1 Aplikasi SSOP pada seluruh TPA dibina dan Kondisi Seharusnya yang

mengacu pada Permentan 2005 ……….. 67 2 Aplikasi SSOP pada seluruh TPA belum dibina dan Kondisi Seharusnya

yang mengacu pada Permentan 2005 ……….. 75 3 Aplikasi Kehalalan di TPA dibina dan belum dibina dan Kondisi

Seharusnya yang mengacu pada LPPOM MUI 2011 ……… 83 4 Penetapan Titik Kritis pada Proses Produksi di TPA penelitian ………… 89 5 Kuisioner Unit Usaha Rumah Potong Unggas (Mengacu pada

Permentan 2005) ………. 91


(15)

Halaman

1 Tahapan Proses Pemotongan Ayam ……… 10

2 Bantuan peralatan dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor; (a) meja eviserasi, (b) plucker,(c) bak pencuci, (d) scalder, (e) freezer………… 24

3 (a) TPA belum dibina A Dramaga, (b) TPA belum dibina B Dramaga, (c) TPA belum dibina A Parung ………. 37

4 Contoh bangunan TPA dibina: (a) bangunan TPA dibina di KecamatanCibungbulang, (b) TPA dibina di Kecamatan Dramaga … 37

5 (a) fasilitas cuci tangan, (b) toilet ………... 42

6 Tahapan proses produksi pada TPA penelitian ……….. 46

7 Histogram jumlah TPC karkas ayam pada TPA dibina .…………. 51

8 Histogram jumlah TPC karkas ayam pada TPA belum dibina ... 52

9 Histogram jumlah TPC air cucian karkas ayam pada TPA dibina ... 53

10 Histogram jumlah TPC air cucian karkas ayam pada TPA belum dibina ……….. 54

11 Histogram kandungan coliform karkas ayam pada TPA dibina …. 56

12 Histogram kandungan coliform karkas ayam pada TPA belum Dibina ………. 57


(16)

Halaman 1 Beberapa gejala penyakit dan media pencemaran mikroba pada bahan

pangan asal ternak ……… 6

2 Batas maksimum mikroba pada karkas ayam ………...………... 8

3 Penilaian Kelayakan Unit Usaha TPA Penelitian ...…... 24 4 Daftar Pengecekan Kelayakan Dasar Unit Usaha TPA yang mengacu

pada Permentan (2005) ………. 25 5 Kesesuaian tata cara penyembelihan ayam yang halal di TPA penelitian

mengacu pada LPPOM MUI (2011) ……… 43 6 Hasil evaluasi terhadap kesesuaian hasil pemotongan ayam yang

Halal pada TPA penelitian mengacu pada LPPOM MUI (2011) ……… 45 7 Rataan jumlah TPC pada karkas ayam dari TPA penelitian ……… 50 8 Rataan jumlah TPC air cucian karkas ayam pada 12 TPA penelitian ... 53 9 Rataan kandungan coliform pada karkas ayam pada 12 TPA penelitian .. 55


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging ayam merupakan bahan pangan asal ternak yang digemari oleh masyarakat Indonesia karena harganya tergolong murah dan penting untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Permintaan terhadap daging ayam semakin bertambah seiring dengan meningkatnya penghasilan dan kesadaran penduduk akan pentingnya protein hewani. Keamanan dan kehalalan produk pangan asal ternak harus diperhatikan agar produk dapat dipasarkan sesuai ketentuan yang berlaku.

Keamanan pangan yang perlu diperhatikan bukan hanya pada pihak produsen, tetapi juga dari konsumen sendiri. Pada umumnya konsumen di Indonesia belum memahami masalah keamanan pangan secara utuh, sehingga tidak peduli dengan kebersihan daging ayam yang dipasarkan. Dilain pihak kesulitan ekonomi pada masyarakat tertentu juga mempengaruhi konsumen, sehingga daging ayam dengan harga murah dan terjangkau tetapi tidak terjamin kebersihannya akan tetap diterima dalam pemasaran. Hal ini berdampak pada produsen untuk tidak begitu memperhatikan kebersihan produk yang dihasilkan.

Tempat pemotongan ayam yang masih bersifat tradisional, masih banyak kelengkapan peralatan, teknik pemotongan dan cara penanganannya yang belum memenuhi aspek kebersihan dan kesehatan. Sebagian besar produsen daging ayam masih menggunakan peralatan yang seadanya untuk melakukan pemotongan ayam. Tempat pemotongan ayam yang layak berperan penting dalam menghasilkan karkas ayam yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut, sehingga sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut guna menjamin perlindungan terhadap konsumen untuk mendapatkan daging yang aman dan halal.

Kabupaten Bogor terdiri atas 40 buah kecamatan. Pada masing-masing Kecamatan terdapat beberapa tempat pemotongan ayam (TPA) yang mempunyai total 170 buah TPA. Dari 40 kecamatan yang ada, sebanyak empat TPA di empat kecamatan telah mendapat pembinaan dari Dinas Peternakan dan Perikanan. Bentuk pembinaan yang diberikan sendiri adalah pengarahan dan pelatihan dalam sanitasi dan higiene pada saat proses produksi, sanitasi dan higiene di sekitar


(18)

lingkungan TPA, juga bantuan peralatan seperti scalder, plucker, bak pencuci karkas, meja eviserasi dan freezer. Kecamatan lainnya yaitu sebanyak 36 kecamatan dengan jumlah TPA 150 buah belum mendapat pembinaan dan menerapkan sistem keamanan pangan, sehingga beresiko besar belum sepenuhnya tidak memberikan jaminan kesehatan dan kehalalan kepada konsumen terhadap produk yang dikonsumsinya.

Menurut data dari Dinas Pertanian Kota Bogor kebutuhan daging ayam di Kabupaten Bogor untuk tahun 2010 adalah 7.779.277 kg, sedangkan ketersediaan daging ayam di Kabupaten Bogor adalah 16.000.000 kg. Daging ayam yang dihasilkan dari tempat pemotongan ayam yang berada di Kabupaten Bogor tidak hanya dipasarkan di wilayah Bogor, tetapi dipasarkan sampai juga ke daerah-daerah sekitar Bogor, seperti Jakarta, Tangerang, Depok, Bekasi, bahkan hingga keluar pulau Jawa, sebagai contoh ke Propinsi Papua.

Permintaan akan daging ayam yang cukup tinggi ini menyebabkan tumbuhnya tempat pemotongan ayam skala kecil baik secara rumahan dan di pasar. Bila dilihat dari segi bangunan dan prosedur produksi, tempat pemotongan unggas skala kecil ini belum sesuai dengan persyaratan SNI Rumah Pemotongan Unggas. Pemilik tempat pemotongan ayam skala kecil belum sepennuhnya menerapkan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) ketika melaksanakan proses produksi, sehingga resiko produk yang dihasilkan terkontaminasi bakteri adalah sangat tinggi. Penggunaan obat-obatan untuk pencegahan penyakit dan obat-obatan yang merangsang pertumbuhan untuk mengoptimalkan produksi juga dapat menimbulkan residu pada karkas ayam dan bahkan beberapa diantaranya bersifat karsinogen, sehingga mempunyai kemungkinan produk tidak memenuhi keamanan pangan.

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat daging ayam adalah bahan makanan yang mudah rusak dan sangat peka terhadap bakteri. Proses pemotongan ayam, penyimpanan dan pemasaran harus memenuhi syarat kesehatan, terutama jika produk ini akan dijual dalam bentuk segar karena sebagian besar kebutuhan daging ayam dan hasil sampingannya (jeroan, kepala, kaki) di pasarkan dalam bentuk segar. Selain itu, kehalalan produk juga harus mendapatkan perhatian khususu mengingat sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam. Proses pemotongan harus mengikuti tata cara penyembelihan ayam sesuai dengan syariat


(19)

hukum Islam sehingga daging yang dihasilkan benar-benar dapat dijamin kehalalannya.

Berdasarkan keadaan ini maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang evaluasi sanitasi dan higiene pada tempat pemotongan ayam skala kecil, yang hasilnya nanti dapat dipergunakan untuk perbaikan kualitas tempat pemotongan ayam di Kabupaten Bogor. Aspek mutu dan keamanan merupakan bagian penting dalam bidang pangan dan perlu mendapat perhatian khusus. Pendekatan preventif seperti halnya penerapan SSOP dianggap paling baik untuk menangani masalah keamanan pangan. Peningkatan kualitas produk daging unggas yang ASUH juga diharapkan akan meningkatkan nilai jual produk tersebut, sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar dan jaminan konsumen terhadap produk yang sehat, aman, utuh dan halal.

Tujuan Penelitian

Melakukan kajian terhadap penerapan SSOP untuk menjamin keamanan pangan serta mempelajari teknik pemotongan (yang sesuai dengan syariat Islam) untuk menghasilkan produk yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) di tempat pemotongan unggas yang berlokasi di beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian

1. Memberi informasi kepada konsumen tempat pemotongan ayam (TPA) yang telah melaksanakan SSOP dan menghasilkan produk yang aman untuk dikonsumsi.

2. Memberikan kesadaran kepada konsumen akan pentingnya proses pemotongan yang baik, higienis dan halal.


(20)

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Keamanan Pangan Asal Hewan

Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia, sehingga perlu diperhatikan kualitas dan kuantitasnya. Perhatian pemerintah terhadap ketersediaan pangan diimplementasikan melalui program ketahanan pangan, agar masyarakat memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, aman, bergizi, sehat, dan halal untuk dikonsumsi (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat 2004). Bahan pangan asal ternak merupakan sumber gizi utama untuk pertumbuhan dan kehidupan manusia, namun menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan manusia apabila tidak aman untuk dikonsumsi (Bahri 2008).

Daging dengan kadar air yang tinggi (68.75%) merupakan bahan pangan yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroba, karena kaya nitrogen dan mineral, dan mengandung mikroorganisme yang menguntungkan bagi mikroba lain. Jumlah mikroba dalam daging juga dipengaruhi perlakuan ternak sebelum pemotongan (Betty & Yendri 2007). Murdiati (2006) mengatakan mikroba dapat mencemari ternak saat masih hidup, dan selanjutnya mikroba masuk dalam rantai pangan. Menurut Syukur (2006), mikroba dapat tumbuh dengan baik dan dapat merusak bahan pangan asal ternak, sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia. Daging yang tercemar mikroba melebihi ambang batas akan berlendir, berjamur, daya simpannya menurun, berbau busuk, rasa tidak enak, dan menyebabkan gangguan kesehatan bila dikonsumsi manusia (Djaafar & Rahayu 2007).

Menurut Budinuryanto et al. (2000) jumlah dan jenis mikroba yang berbahaya pada daging ayam yang dipotong dan dijual di pasar tradisional cukup mengkhawatirkan. Mikroba yang berbahaya pada produk segar antara lain adalah Salmonella sp., Shigella sp., dan E. coli. (Pusat Standarisasi dan Akreditasi 2004). Beberapa contoh mikroba yang dapat membahayakan kesehatan manusia adalah Coliform, Escherichia coli, Enterococci, Staphylococcus aureus, Clostridium sp., Salmonella sp., Camphylobacter sp., dan Listeria sp (Syukur 2006). Foodborne disease adalah suatu penyakit yang merupakan hasil dari pencemaran dan penyerapan makanan yang mengandung mikroba oleh tubuh manusia, mikroba


(22)

masuk ke dalam saluran pencernaan manusia melalui makanan, yang kemudian diserap oleh tubuh, sehingga menyebabkan gejala penyakit (Gustiani 2009).

Tabel 1. Beberapa gejala penyakit dan media pencemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak

Agens Media Gejala

Coliform

Escherichia coli

Salmonella Campylobacter

Listeria

Makanan yang tercemar feses

Makanan/minuman yang tercemar oleh feses

Air pencuci terkontaminasi Kontak dengan permukaan karkas unggas yang terinfeksi, atau mengonsumsi daging ayam yang masih mentah

Makanan mentah, susu yang dipasteurisasi, keju lunak

Mual, nyeri perut, diare, muntah, berak darah, demam, kejang, kekurangan cairan/ dehidrasi

Diare berdarah dan kesakitan karena kram perut yang disertai demam Demam, diare, kram perut Diare, demam, kram perut

Infeksi di selaput otak, infeksi meluas ke dalam saluran darah

Sumber : Andriani (2005)

Menurut Gustiani (2009) penyediaan pangan asal ternak yang memenuhi keamanan pangan yaitu aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) perlu dilakukan melalui pengendalian residu dan cemaran mikroba. Jaminan keamanan pangan diperoleh melalui penerapan sistem keamanan pangan dalam setiap proses produksi, yaitu: 1) Good Farming Practices (GFP) dan Good Hygiene Practice yang meliputi sanitasi dan lingkungan sekitar kandang, dan pemberian pakan ternak yang bebas dari jamur atau toksin; 2) Good Manufacture Practices (GMP) perhatian pada peralatan/mesin saat pascapanen; 3) Good Handling Practices (GHP) agar produk yang dihasilkan aman dan sehat konsumsi oleh manusia.

Selain produsen, distributor, penjual produk dan bahan pangan juga tidak kalah pentingnya dalam menjamin keamanan pangan yang beredar di pasaran. Distributor pangan di Indonesia masih banyak yang belum memahami dan menerapkan Good Distribution Practice (GDP). Hasil pemeriksaan dalam tahun 1995/1996 terhadap sarana distribusi dan penjualan produk pangan menunjukkan, bahwa lebih dari 40% sarana tidak memenuhi syarat sebagai distributor pangan


(23)

karena faktor sanitasi, bangunan dan fasilitas yang tidak memenuhi syarat, dan menjual produk-produk yang tidak memenuhi syarat (Ditjen POM 1996).

Pengawasan pangan merupakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan keamanan dan mutu pangan. Beberapa hambatan dalam program pengawasan pangan di Indonesia seperti: (a) belum mantapnya kelembagaan dan koordinasi pengawasan pangan, (b) peraturan dan pedoman yang belum lengkap, (c) jumlah dan kualitas sumber daya manusia yang terbatas, (d) sumber dana yang terbatas, dan (e) kemampuan laboratorium analisis pangan yang terbatas. Keterbatasan dalam jumlah tenaga pengawas pangan dan dana pengawasan mengakibatkan rendahnya jumlah sarana produksi pangan yang mendapatkan pengawasan (Ditjen PPM PLP 1994).

Kontaminasi pada Daging Ayam

Cemaran atau masuknya zat asing yang tidak diinginkan dalam makanan dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu : cemaran biologi, kimia dan fisik.

1. Cemaran Biologi

Mikroba yang biasanya terdapat pada karkas ayam adalah Campylobacter,

Clostridium, Listeria, Salmonella, Staphylococcus, E. coli dan Yersinia (Cox et al. 2005). Salah satu persyaratan kualitas produk unggas adalah bebas

mikroba patogen. Pencemaran daging oleh mikroba dapat terjadi sebelum dan setelah hewan dipotong. Sumber pencemaran tersebut antara lain adalah : 1) hewan (kulit, bulu, isi jeroan), 2) pekerja/manusia yang mencemari produk ternak melalui pakaian, rambut, hidung, mulut, tangan, jari, kuku, alas kaki, 3) peralatan (pisau, alat potong/talenan, pisau, boks), 4) bangunan (lantai), 5) lingkungan (udara, air, tanah), dan 6) kemasan. Sesaat setelah dipotong, darah masih bersirkulasi ke seluruh anggota tubuh hewan, sehingga penggunaan pisau yang tidak bersih dapat menyebabkan mikroorganisme masuk ke dalam darah. Pencemaran daging dapat dicegah jika proses pemotongan dilakukan secara higienis (Gustiani 2009). Jumlah

bakteri pada kulit ayam sebelum pemotongan ayam adalah 6.0x102-68.1x102 cfu/cm2, dan setelah pemotongan dan pengeluaran jeroan menjadi

1.1x104-9.3x104 cfu/cm2 (Mountney 1983).

Banyak kasus penyakit yang diakibatkan oleh cemaran mikroba patogen (foodborne diseases) pada daging ayam maupun produk olahannya. Daging ayam


(24)

cocok sebagai medi perkembangan mikroba, karena ayam dalam kehidupannya selalu bersentuhan dengan lingkungan yang kotor. Karkas ayam mentah paling sering dikaitkan dengan cemaran Salmonella dan Campylobacter yang dapat menginfeksi manusia (Raharjo 1999). Menurut Poloengan et al. (2005) 20-100% daging ayam yang dipasarkan di Jakarta, Bogor, Sukabumi dan Tangerang tercemar bakteri Campylobacter.

Tabel 2. Batas maksimum cemaran mikroba pada karkas ayam

No Jenis Satuan Persyaratan 1. Total Plate Count cfu/g maksimum 1 x 106 2. Coliform cfu/g maksimum 1 x 102 3. Staphylococcus aureus cfu/g maksimum 1 x 102 4. Escherichia coli cfu/g maksimum 1 x 101 5. Salmonella sp per 25 g negatif 6. Campylobacter sp per 25 g negatif SNI 01-7388 (BSN 2009)

a. Total Plate Count (TPC)

Jumlah cemaran dalam suatu pangan dapat ditentukan melalui metode Total Plate Count (TPC) atau disebut juga Angka Lempeng Total (ALT). Jumlah mikroorganisme pada contoh pangan yang diperoleh pada metode ini merupakan gambaran populasi mikroorganisme yang terdapat pada contoh tersebut. Jumlah mikroorganisme yang tumbuh (membentuk koloni) yang berasal dari mikroorganisme yang dapat tumbuh pada kondisi yang ditetapkan (misalnya jenis media, ketersediaan oksigen, suhu dan lama inkubasi), karena mikroorganisme lain yang terdapat pada contoh tidak dapat tumbuh atau bahkan menjadi mati. Metode hitung cawan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: pour plate methode (metode tuang) dan surface or spread plate method (metode permukaan atau metode sebar). Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dengan colony forming unit (cfu) per gram atau per ml luasan tertentu dari contoh (per cm2). Ketepatan metode ini dipengaruhi beberapa faktor, antar lain : a) media dan kondisi inkubasi (ketersediaan oksigen, suhu dan waktu inkubasi), b) kondisi sel mikroorganisme (cedera atau injured cell), c) adanya zat penghambat pada peralatan atau media yang dipakai, atau yang diproduksi oleh mikroorganisme lainnya, d) kemampuan pemeriksa untuk mengenal koloni, e) peralatan, pelarut dan media yang kurang steril, ruang kerja yang tercemar, f) pengocokan pada saat pengenceran yang


(25)

kurang sempurna, g) adanya artifak yang sulit dibedakan dengan koloni, h) kesalahan menghitung koloni dan perhitungan yang kurang tepat terhadap koloni yang menyebar atau yang sangat kecil (Lukman dan Purnawarman 2009).

b. Coliform

Coliform merupakan suatu grup bakteri yang digunakan sebagai indikator adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi yang tidak baik terhadap air dan makanan, yang menunjukkan kemungkinan adanya mikroorganisme yang bersifat toksogenik yang berbahaya bagi kesehatan. Bakteri coliform terbagi dua yaitu: coliform faecal (contohnya Escherichia coli) yang berasal dari kotoran hewan maupun manusia, dan coliform non faecal (contohnya Enterobacter aerogenes) yang ditemukan pada hewan atau tanam-tanaman yang telah mati (Fardiaz 1989).

Coliform adalah bakteri berbentuk batang, gram negatif dan tidak berspora, dan dapat tumbuh pada suhu 2-50°C dan pada kisaran pH 4.4-9.0 (Jay 2000). Kelompok bakteri coliform terdiri atas jenis Escherichia, Enterobacter dan Klebsiella. Keberadaannya di dalam bahan pangan sering digunakan sebagai indikator kontaminasi asal kotoran (McGraw 1999). Coliform terdapat dimana-mana dan ditemukan pada bermacam-macam produk bahan pangan terutama yang berasal dari hewan. Pada ayam hidup coliform biasanya terdapat pada bulu, kulit dan kuku, sehingga pada saat proses pemotongan ayam coliform dapat mencemari karkas. Kontaminasi coliform pada karkas ayam juga berasal dari isi saluran pencernaan pada saat dilakukan eviserasi (Banwart 1989). Kontak langsung antara peralatan dan tangan pekerja dengan karkas serta air yang digunakan dalam pencucian karkas selama proses produksi memungkinkan terjadinya kontaminasi

sejumlah coliform pada permukaan karkas ayam broiler (Cunningham & Cox 1987).

2. Cemaran Kimia

Pada tahap praproduksi, penggunaan obat hewan merupakan suatu keharusan agar produktivitas ternak dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Pemakaian antibiotik terutama pada peternakan ayam pedaging dan petelur cenderung berlebihan tanpa memperhatikan aturan pemakaian yang benar (Bahri et al. 2000). Menurut Murdiati dan Widiastuti (2003) daging dan hati ayam banyak juga yang tercemar residu antibiotika, terutama golongan penisilin dan


(26)

tetrasiklin dan cemaran pada organ hati lebih tinggi dibanding pada daging. Pada tahap produksi, cemaran kimia dapat terjadi karena penggunaan pewarna pada karkas ayam. Pada tahap pascaproduksi, deterjen yang digunakan untuk membersihkan peralatan dan ruang pengolahan yang tidak dibersihkan secara tuntas dapat mencemari karkas.

3. Cemaran Fisik

Cemaran fisik yang tidak boleh/hanya sedikit sekali dalam makanan dan tidak boleh menimbulkan luka bahkan patah gigi, yang umumnya disebabkan beberapa faktor sebagai berikut: cemaran dari bahan baku (batu/kerikil, potongan tulang, ranting, duri rumput, kotoran dan serangga), cemaran dari manusia (rambut, potongan kuku dan perhiasan), cemaran pada saat proses pengolahan (pecahan kaca/gelas, logam, pengemas dan plastik) (Thaheer 2005). Pengujian fisik dilakukan secara visual (inspeksi), perabaan (palpasi) dan penyayatan (insisi) (BSN 2009).

Teknik Pemotongan Ayam 1. Tata Cara Penyembelihan

Daging yang berasal dari hewan dapat menjadi tidak halal jika disembelih tanpa mengikuti aturan syariat Islam. Hal-hal yang menjadi titik kritis proses penyembelihan hewan adalah sebagai berikut : penyembelih (harus seorang muslim yang taat dan melaksanakan syariat Islam sehari-hari), pemingsanan (tidak menyebabkan hewan mati sebelum disembelih), peralatan/pisau (harus tajam), dan proses pasca penyembelihan (hewan harus benar-benar mati sebelum proses selanjutnya dan darah harus keluar secara tuntas) (LPPOM MUI 2008). Penyembelihan harus memutuskan trachea, kerongkongan dan pembuluh darah arteri utama dan daerah leher (CAC 1997).

2. Tahapan Proses Pemotongan Ayam

Berikut ini adalah diagram tahapan pemotongan ayam pada tempat pemotongan ayam (USDA 1999) :


(27)

Gambar 1. Tahapan Proses Pemotongan Ayam

a. Penerimaan/penyimpanan ayam hidup. Ayam yang datang dari peternakan biasanya ditempatkan dalam keranjang bambu/plastik. Ayam diistirahatkan selama beberapa jam hingga tiba proses penyembelihan.

b. Menggantung. Sebelum proses penyembelihan, ayam digantung pada bagian sendi kaki dengan posisi kepala di bawah. Ini untuk memudahkan proses penyembelihan.

c. Stunning. Pencegahan ayam agar tidak stres dan tidak memberontak pada saat proses penyembelihan, maka ayam dipingsankan (stunning) dengan melewatkan

Penerimaan/penyimpanan ayam hidup Penerimaan

bahan-bahan yang

dikemas Menggantung/stunning/menyembelih/pengeluaran darah

Scalding/pemotongan kepala/mencuci/ hock cutter/menggantung

Membuang kelenjar minyak/memotong leher/venting/opening

Eviceration

Pengeluaran paru-paru/tembolok/pemanenen hati

Inspeksi

Pencucian akhir

Chilling -Karkas/leher/jeroan

Pengemasan/pelabelan

Penyimpanan produk akhir

Processing Penyimpanan

Pemanenan hati, gizzard

Penyimpanan bahan-bahan yang dikemas


(28)

kepala ayam ke dalam bak air yang diberi Automatic Stunner dengan tegangan 60-70 volt pada bak air selama 3 detik hingga tubuh dan jaringan otot ayam melemas, sehingga ayam tidak banyak bergerak saat disembelih.

d. Menyembelih. Proses penyembelihan dilakukan dengan pemotongan ketiga urat yang terletak di leher, yaitu saluran makanan (oesophagus), saluran pernafasan (trachea), dan pembuluh darah di kanan dan kiri leher (vena jugularis dan arteri carotis) sampai putus, sehingga darah dapat mengucur keluar sampai habis. e. Mengeluarkan darah. Darah kemudian dikeluarkan, dengan cara menggantung

ayam dengan posisi kepala di bagian bawah selama 3-5 menit. Pengeluaran darah harus tuntas sehingga tidak menurunkan mutu karkas ayam, juga akan mempengaruhi warna kulit ayam dan berpotensi sebagai media pertumbuhan mikroba, sehingga daging cepat busuk.

f. Scalding. Setelah darah ayam ditiriskan, kemudian ayam dimasukkan ke dalam bak atau panci berisi air panas dengan suhu 52-55°C selama 45 detik. Proses ini bertujuan agar memudahkan dalam proses pencabutan bulu.

g. Mencabut bulu. Proses ini dapat dilakukan dengan mencabut bulu (mesin pencabut bulu/plucker) atau dapat juga dilakukan dengan tangan. Pembersihan bulu-bulu kecil dilakukan dengan tangan. Saat proses berlangsung, air dingin disiramkan ke dalam mesin plucker agar kulit ayam tidak rusak, juga untuk membersihkan bulu-bulu pada tubuh ayam.

h. Pemotongan kepala. Proses ini sebaiknya dilakukan di atas meja yang dilapisi keramik atau porselen, atau baja tahan karat yang dilengkapi dengan keran air. i. Pencucian. Pencucian dilakukan pada karkas ayam untuk membersihkan ayam

dari kotoran dan darah yang masih menempel pada karkas ayam.

j. Penggantungan kembali. Karkas yang telah dicuci kemudian digantung kembali, untuk meniriskan air yang terdapat pada karkas, sehingga pada saat pengemasan bobot karkas tidak bertambah.

k. Membuka rongga abdomen dan dada. Rongga perut dibuka dengan cara mengiris kulit perut melintang dari anus hingga ke ujung tulang dada dengan menggunakan pisau yang tajam. Proses ini harus dilakukan dengan hati-hati agar daging dada dan usus tidak ikut terpotong.


(29)

l. Pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan untuk menentukan kesesuaian proses pemotongan sudah sesuai, dan tidak sampai membelah perut dan dada terlalu lebar yang nantinya akan mengurangi nilai jual karkas.

m.Pemanenan hati, jantung. Karkas dipegang dengan tangan kiri, dada karkas menghadap ke atas. Menggunakan jari-jari tangan kanan, pertautan antara saluran pernafasan, saluran pencernaan dan pembuluh darah ayam dilonggarkan. Ampela dijepit di antara jari telunjuk dan jari tengah, lalu ditarik.

n. Pemotongan saluran pencernaan. Pemotongan usus buntu dari usus halus kemudian dilakukan. Pada beberapa tempat pemotongan unggas, usus dibersihkan, dengan menyobek usus membujur searah panjang usus, dan isi usus dikeluarkan dengan menyemprotkan air ke usus yang telah terbelah tersebut. Kemudian usus dicuci bersih, selanjutnya direbus setengah matang, didinginkan, dan dikemas.

o. Pemanenan ampela. Ampela dipisahkan dari hati dan jantung serta usus secara hati-hati hingga tidak rusak dan empedu tidak pecah. Ampela dipisahkan dari tembolok dan dicuci bersih, lalu dikemas.

p. Pengambilan paru-paru. Menggunakan jari tangan kanan paru-paru kemudian dilepaskan dari karkas ayam.

q. Pemotongan leher. Leher kemudian dipisahkan dari kepala dan karkas, dicuci dan dikemas.

r. Pemotongan kaki (ceker). Pemotongan dilakukan pada sendi di bawah lutut sehingga hasil pemotongan membentuk seperti angka 8.

s. Pemotongan retail. Pemotongan retail dilakukan sesuai dengan permintaan. Karkas dipotong menjadi delapan potong yang terdiri atas dua paha bawah, dua paha atas, dua sayap, dua bagian dada.

t. Pencucian akhir. Setelah isi rongga perut dikeluarkan dan karkas dipotong-potong, lalu karkas dicuci bersih.

u. Penyortiran. Klasifikasi kualitas karkas dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kualitas A (untuk pasar swalayan, rumah makan siap hidang, dan hotel-hotel), kualitas B (untuk rumah makan padang atau pasar tradisional), dan kualitas C (untuk karkas potongan dan karkas tanpa tulang/boneless).

v. Packing. Setelah proses pemotongan dan penyortiran, kemudian karkas dikemas. Kemasan dapat berupa kantung plastik, styrofoam atau coolbox.


(30)

Ukuran kemasan disesuaikan dengan karkas atau produk sampingan yang akan dibungkus.

w.Penyimpanan karkas dingin. Karkas yang telah dibungkus lalu diatur rapi dalam keranjang karkas. Pada bagian atas dan samping keranjang ditutup dengan hancuran es setebal kurang lebih 5-10 cm, lalu diatas lapisan es ini diletakkan lagi bungkusan karkas. Demikian selanjutnya hingga keranjang penuh. Selanjutnya semua produksi yang telah dikemas dan akan dikirim dimasukkan ke dalam boks kendaraan pengangkut yang dilengkapi dengan pendingin dengan suhu 0-15°C (TAS 2006).

Proses penyembelihan harus memenuhi persyaratan teknis dan kesejahteraan ternak, ayam yang akan disembelih, penyembelih dan proses pemotongan. Sebelum pemotongan, ayam-ayam tidak boleh makan, tetapi harus diberi air minum, minimal 8-12 jam. Hal ini bertujuan untuk mengosongkan tembolok ayam sebelum menyembelih, untuk mencegah kemungkinan ekskresi isi usus, kemudian dilakukan pemeriksaan ante-mortem yaitu pemeriksaan kesehatan ayam sebelum menyembelih. Kesejahteraan ternak juga harus diperhatikan, yaitu: bebas dari lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan, bebas dari rasa sakit, cedera dan penyakit, bebas untuk mengekspresikan perilaku normal, bebas dari rasa takut dan stres (Deptan 2006).

Persyaratan Tempat Pemotongan Ayam

Rumah pemotongan unggas adalah kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu, serta digunakan sebagai tempat memotong unggas bagi konsumsi masyarakat umum. Menurut SNI 01-6160 (BSN 1999), Rumah Pemotongan Unggas harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut :

1. Tidak bertentangan dengan Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) setempat dan/atau Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK).

2. Tidak berada di bagian kota yang padat penduduknya, dan letaknya lebih rendah dari rumah penduduk.


(31)

3. Memiliki sarana jalan yang baik untuk kendaraan pengangkutan daging unggas.

4. Memiliki sumber air dan listrik yang cukup.

5. Memiliki tempat penurunan unggas hidup (unloading). 6. Memiliki kamar mandi dan wc.

7. Memiliki sarana penanganan limbah.

8. Memiliki daerah kotor (penurunan, pemeriksaan antemortem dan penggantungan unggas hidup, pemingsanan, penyembelihan, scalding, pencabutan bulu, pencucian karkas, pengeluaran jeroan dan pemeriksaan postmortem, penanganan jeroan).

9. Memiliki daerah bersih (pencucian karkas, pendinginan karkas, seleksi, penimbangan karkas, pemotongan karkas, pemisahan daging dan tulang, pengemasan, penyimpanan segar).

10. Sistem saluran pembuangan limbah cair.

11. Seluruh peralatan pendukung dan penunjang di rumah pemotongan unggas harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didensinfeksi serta mudah dirawat.

12. Peralatan yang langsung berhubungan dengan daging harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, tidak toksik, mudah dibersihkan dan didensinfeksi serta mudah dirawat.

Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP)

Sanitasi diperlukan untuk menghilangkan kontaminan dan mencegah terjadinya kontaminasi kembali pada karkas. Sumber kontaminasi dapat berasal dari karkas itu sendiri, peralatan, air atau ruangan tempat penyembelihan. Prosedur standar dalam proses sanitasi (Sanitation Standard Operating Procedure SSOP) meliputi delapan aspek, yaitu :

1. Keamanan air, yang didalamnya akan ditetapkan tahapan-tahapan perlakuan untuk air yang diterapkan agar diperoleh air dengan kualitas tertentu.

2. Kondisi/kebersihan permukaan yang kontak dengan karkas, yang berisi standar prosedur pembersihan dan sanitasi alat, frekuensi pembersihan dan petugas yang bertanggung jawab.


(32)

3. Pencegahan kontaminasi silang, yang bertujuan untuk menghindari kontaminasi silang dari pekerja dan karkas.

4. Kebersihan pekerja, meliputi fasilitas cuci tangan, sanitasi tangan.

5. Pencegahan atau perlindungan dari adulterasi, untuk mencegah tercampurnya bahan-bahan nonpangan seperti senyawa pembersih, sanitizer, serta cemaran kimia dan fisik dengan karkas.

6. Penyimpanan karkas yang tepat sebelum dibeli konsumen.

7. Pengendalian kesehatan karyawan, agar karyawan yang menderita sakit tidak menjadi sumber kontaminasi bagi karkas.

8. Pemberantasan hama yang tidak dikehendaki keberadaannya, seperti: tikus, burung, nyamuk, kecoa, semut, lalat dan lebah (Winarno & Surono 2004).

Penyusunan SSOP harus memenuhi kelayakan antara lain: pendokumentasian program sanitasi, pemantauan program kelayakan, penerapan kelayakan dasar, melakukan tindakan koreksi jika kelayakan dasar tidak memenuhi syarat, dan perekam program yang dilaksanakan (Wiryanti 2002). Juga perlu dipertimbangkan tata letak bangunan, lantai, dinding, langit-langit, ventilasi, jendela dan pintu yang tidak mudah memunculkan penyebaran serangga. Bangunan dapat terbuat dari bahan besi, kayu, stainless steel, logam monel, karet dan bahan enamel. Sanitasi pada peralatan, ruang, pekerja, penanganan dan pengolahan limbah juga perlu diperhatikan (Ditjen Keswan 1987).


(33)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, mulai bulan Oktober 2010 - April 2011. Pengambilan sampel pada titik kritis dilakukan pada 2 jenis tempat pemotongan unggas yang berbeda (dibina dan belum dibina) pada empat kecamatan di Kabupaten Bogor. Pada penelitian ini, lokasi yang dipilih berdasarkan rekomendasi dari Dinas Peternakan Kabupaten Bogor. Bentuk pembinaan yang telah diberikan oleh Dinas Peternakan setempat adalah pengarahan dan pelatihan terhadap sanitasi dan higiene di lingkungan TPA, juga bantuan berupa beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk proses produksi seperti scalder, plucker, bak pencucian karkas, meja eviserasi dan juga freezer. Kecamatan yang diamati adalah Kecamatan Parung, Cibinong, Dramaga dan Cibungbulang. Pada Kecamatan Parung, TPA binaan dan belum dibina berada di Desa Waru, TPA binaan berlokasi di sekitar pemukiman penduduk, sedangkan TPA belum dibina berlokasi di pasar Parung. Pada Kecamatan Cibinong TPA binaan dan belum dibina berada pada satu desa, yaitu Desa Pakan Sari dan berlokasi di daerah pemukiman penduduk. Pada Kecamatan Dramaga TPA binaan berlokasi di Desa Sinar Sari yang dekat dengan pemukiman penduduk, TPA belum dibina berada di Desa Kidul yang juga dekat dengan pemukiman penduduk. Kecamatan Cibungbulang TPA dibina dan belum dibina berada pada satu desa yaitu Desa Dukuh dan berada di daerah pemukiman penduduk.

Materi Penelitian

Bahan. Adapun bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: sampel dari pengamatan terhadap titik kritis di TPA; PCA; larutan Buffered Pepton Water (BPW) 0.1 %; Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), Lauryl Sulfate Tryptose Broth (LSTB).

Alat. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah: termometer untuk mengukur suhu air scalding; tabung Durham; cawan petri; pipet ukuran 1ml, 2ml, 5ml, 10ml; pipet volumetrik; botol media; penghitung koloni; gunting, pinset; ose (jarum inokulasi); stomacher; pembakar bunsen; pH meter; timbangan; magnetic


(34)

stirer; pengocok tabung (vortex); inkubator; penangas air; autoklaf; lemari steril; lemari pendingin; freezer.

Prosedur Penelitian

Diagram Alir Penelitian. Penelitian dimulai dengan menentukan jumlah TPA yang akan diamati dan dijadikan tempat pengambilan sampel. Kabupaten Bogor terdiri atas 40 kecamatan, dan pada masing-masing kecamatan terdapat 5-20 buah tempat pemotongan ayam (TPA). Dari 40 kecamatan tersebut, telah empat kecamatan yang mendapat pembinaan dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor dalam sanitasi dan hygiene, juga pemberian bantuan peralatan berupa mesin plucker, scalder, meja eviserasi, bak pencuci karkas, dan freezer. Pada empat kecamatan tersebut terdapat 20 buah TPA, dengan 4 buah TPA yang telah dibina dan 16 buah TPA yang belum dibina. Untuk menentukan jumlah TPA yang akan diamati dan dijadikan sebagai tempat pengambilan sampel, maka digunakan rumus Levy dan Lameshow (1999), dan didapatkan hasil sebanyak 12 buah TPA yang akan diamati dan dijadikan tempat sebagai pengambilan sampel, dengan 1 buah TPA dibina dan 2 buah TPA yang belum dibina pada masing-masing kecamatan. Penentuan TPA yang diamati sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. Pengamatan di lapangan dilengkapi dengan kuisioner yang menilai kelayakan unit usaha TPA yang mengacu pada Permentan (2005) dan kuisioner yang menilai tata cara pemotongan ayam yang halal yang mengacu pada LPPOM MUI (2011). Pemberian nilai pada masing-masing persyaratan dalam kuisioner dilakukan dengan mempertimbangkan persyaratan yang terutama dan yang terpenting dari kuisioner yang dapat menjamin keamanan dan kehalalan dari produk akhir yang dihasilkan. Dari kuisioner tersebut didapat bobot penilaian untuk masing-masing TPA, apakah TPA tersebut sudah memenuhi persyaratan yang sesuai dengan Permentan (2005) dan LLPOM MUI (2011).

Sampel. Setelah dilakukan pengamatan dan penilaian pada masing-masing TPA kemudian dilakukan penentuan titik kritis pada masing-masing TPA. Dari titik kritis yang telah ditentukan kemudian dilakukan pengambilan sampel. Sampel yang diambil berupa karkas ayam bagian dada dan air cucian karkas ayam. Sampel yang diteliti diambil sebanyak tiga ulangan, yaitu pada awal, tengah dan akhir produksi.


(35)

Masing-masing sampel kemudian ditempatkan di dalam plastik yang telah disterilkan. Sampel-sampel lalu ditempatkan ke dalam cool box dan diberi batu es selama dalam perjalanan, untuk mencegah tumbuhnya mikroba pada sampel. Sampel-sampel yang diambil pada malam hari atau subuh langsung dibawa ke Laboratorium Kesmavet J. Bambu Apus II Jaktim pada pagi harinya, lalu dianalisa untuk mengetahui tingkat cemaran TPC pada karkas ayam dan air cucian karkas ayam dan coliformpada karkas ayam.

Jumlah TPA pada empat kecamatan tersebut adalah 20 buah TPA dengan 4 buah TPA dibina dan 16 buah TPA yang belum dibina. Untuk menentukan jumlah TPA yang akan dijadikan sebagai tempat pengamatan dan pengambilan sampel yang diperlukan, menurut Levy dan Lemeshow (1999) dihitung dengan rumus:

z2 N Py (1-Py) (N-1)

ε

2 Py2 + z2 Py (1-Py) Keterangan :

N = jumlah populasi tempat pemotongan ayam n = jumlah sampel yang diperlukan

ε = nilai error sebesar 30% z = 1.96 dengan α = 0.05

Py = ppeluang jawaban 50% karena ada 2 pilihan jawaban, yaitu ya (1) dan tidak (0)

Melalui rumus diatas didapat hasil 12 TPA sebagai tempat pengamatan. Pada masing-masing kecamatan terdapat satu buah TPA dibina dan dua buah TPA belum dibina.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah kelayakan bangunan, proses pemotongan ayam yang halal dan penghitungan jumlah mikroba.

1. Evaluasi Kelayakan Unit Usaha TPA

Pengamatan yang dilakukan di lapangan dilengkapi dengan kuisioner yang berisi pengamatan tentang kelayakan unit usaha TPA yang mengacu pada Permentan (2005) yang meliputi: a) bangunan, b) fasilitas, c) sanitasi dan higiene, d) higiene personal, serta e) bahan baku, penanganan dan pengolahan (yang disesuaikan dengan jenis usaha). Dari bobot penilaian kelayakan unit usaha pada


(36)

masing-masing TPA lalu dapat dibandingkan kelayakan unit usaha antara TPA dibina dan TPA belum dibina.

2. Proses Pemotongan Ayam yang Halal

Pengamatan yang dilakukan dilapangan dilengkapi dengan kuisioner yang mengacu pada LPPOM MUI (2011) yang berisi: a) sumber daya manusia, b) prasarana, c) penyembelihan unggas, d) penanganan dan penyimpanan, e) pengemasan dan pelabelan, f) transportasi. Dari bobot penilaian pemotongan ayam yang halal pada masing-masing TPA lalu dapat dibandingkan pemotongan ayam yang halal antara TPA dibina dan TPA belum dibina.

3. Penghitungan Jumlah Mikroba

Sampel yang diambil dari masing-masing TPA adalah karkas ayam bagian dada dan air cucian karkas. Pengambilan sampel dilakukan pada akhir pengamatan. Sampel yang diambil pada hari itu langsung dibawa ke Laboratorium Kesmavet Jl. Bambu Apus II-Jaktim untuk langsung dianalisa jumlah TPC pada karkas ayam dan air cucian karkas ayam, dan jumlah coliform pada karkas ayam. Prosedur analisa penghitungan Total Plate Count (TPC) dan coliform yang di lakukan di laboratorium adalah sebagai berikut :

a. Total Plate Count (TPC)

Total Plate Count dimaksudkan untuk menunjukkan jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu produk dengan cara menghitung koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar.

Media dan reagen yang digunakan: PCA dan BPW 0.1%.

Peralatan yang digunakan: cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetrik, botol media, penghitung koloni, gunting, pinset, ose (jarum inokulasi), stomacher, pembakar bunsen, pH meter, timbangan, magnetic stirer, pengocok tabung (vortex), inkubator, penangas air, autoklaf, lemari steril, lemari pendingin, freezer.

Metode pengujian:

a. Contoh padat dan semi padat ditimbang sebanyak 25g lalu masukkan ke dalam wadah steril.


(37)

b. 225 ml larutan BPW 0.1% steril ditambahkan ke dalam kantong steril yang berisi contoh, dihomogenkan dengan stomacher selama 1-2 menit. Ini merupakan larutan dengan pengenceran 10-1.

c. Sebanyak 1 ml suspensi pengenceran 10-1 tersebut dipindahkan dengan pipet steril ke dalam larutan 9 ml BPW untuk mendapatkan pengenceran 10-2.

d. Pengenceran 10-3, 10-4, 10-5 dibuat dan seterusnya dengan cara yang sama seperti pada butir c), sesuai kebutuhan.

e. Selanjutnya dimasukkan sebanyak 1 ml suspensi dari setiap pengenceran ke dalam cawan petri secara duplo.

f. Sebanyak 15-20 ml PCA yang telah didinginkan hingga temperatur 45°C ± 1ºC ditambahkan pada masing-masing cawan yang sudah berisi suspensi. Agar larutan contoh dan media PCA tercampur seluruhnya, dilakukan pemutaran cawan ke depan dan ke belakang atau membentuk angka delapan dan didiamkan sampai menjadi padat.

g. Diinkubasi pada temperatur 34ºC-36ºC selama 24-48 jam dengan meletakkan cawan pada posisi terbalik.

b.Coliform

Metode Most Probable Number (MPN) terdiri atas uji presumtif (penduga) dan uji konfirmasi (peneguhan), dengan menggunakan media cair di dalam tabung reaksi dan dilakukan berdasarkan jumlah tabung positif. Pengamatan tabung positif dapat dilihat dengan timbulnya gas di dalam tabung Durham.

Media dan Reagen yang digunakan: larutan Buffered Pepton Water (BPW) 0.1 %, Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), Lauryl Sulfate Tryptose Broth (LSTB).

Peralatan: tabung Durham; tabung reaksi; pipet ukuran 1ml, 2ml, 5ml, 10ml; botol media; gunting; pinset; jarum inokulasi (ose); stomacher; pembakar bunsen; ph meter; timbangan; magnetic stirer; pengocok tabung (vortex); inkubator; penangas air; autoclaf; lemari steril; lemari pendingin; freezer.

Metode pengujian:

a. Contoh padat dan semi padat ditimbang sebanyak 25 g lalu masukkan ke dalam wadah steril.


(38)

b. Sebanyak 225 ml larutan BPW 0.1% steril ditambahkan ke dalam kantong steril yang berisi contoh, homogenkan dengan stomacher selama 1-2 menit. Ini merupakan larutan dengan pengenceran 10-1.

Uji Pendugaan:

a. Sebanyak 1 ml suspensi pengenceran 10-1 tersebut dipindahkan dengan pipet steril ke dalam larutan 9 ml BPW untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Dengan cara yang sama seperti di atas dibuat pengenceran 10-3.

b. Masing-masing 1 ml dari setiap pengenceran dipipet ke dalam 3 seri tabung LSTB yang berisi tabung Durham.

c. Diinkubasi pada temperatur 35ºC selama 24-48 jam. Diperhatikan adanya gas yang terbentuk di dalamm tabung Durham. Hasil uji dinyatakan positif apabila terbentuk gas.

Uji Peneguhan (Konfirmasi):

a. Pengujian selalu disertai dengan kontrol positif.

b. Biakan positif dari Butir c) Uji Pendugaan dipindahkan dengan menggunakan jarum inokulasi dari setiap tabung LSTB ke dalam tabung BGLBB yang berisi tabung Durham.

c. Diinkubasi pada temperatur 35ºC selama 48 jam.

d. Diperhatikan adanya gas yang terbentuk di dalam tabung Durham. Hasil uji dinyatakan positif bila terbentuk gas. Selanjutnya digunakan tabel (Most Probable Number (MPN) untuk menentukan nilai MPN berdasarkan jumlah tabung BGLBB yang positif sebagai jumlah koliform per milimeter atau per gram (BSN 2008).


(39)

Penelitian ini melakukan evaluasi terhadap kelayakan bangunan, proses pemotongan yang halal serta penghitungan jumlah mikroba yang terdapat pada karkas ayam dan air cucian karkas ayam. Penentuan lokasi pengamatan diambil berdasarkan rekomendasi dari Dinas Peternakan Kabupaten Bogor terhadap TPA binaan dan TPA belum dibina pada empat kecamatan di Kabupaten Bogor. Empat kecamatan yang telah mendapat pembinaan dari Dinas Peternakan Kabupaten Bogor adalah Kecamatan Cibinong, Kecamatan Parung, Kecamatan Dramaga dan Kecamatan Cibungbulang, dan pada masing-masing kecamatan terdapat satu buah TPA yang telah dibina. Jumlah TPA pada kecamatan tersebut adalah 20 buah TPA dengan 4 buah TPA dibina dan 16 buah TPA yang belum dibina. Untuk menentukan jumlah TPA yang akan dijadikan sebagai tempat pengamatan dan pengambilan sampel, maka digunakan rumus Levy & Lameshow (1999), sehingga didapat hasil 12 TPA sebagai tempat pengamatan, dengan satu TPA dibina dan dua TPA belum dibina untuk masing-masing kecamatan. Bentuk pembinaan yang telah diberikan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Bogor adalah pengarahan dan pelatihan untuk sanitasi dan higiene di lingkungan TPA, juga pemberian beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk proses produksi seperti scalder, plucker, bak pencucian karkas, meja eviserasi dan juga freezer. Di Kecamatan Parung, TPA dibina dan belum dibina berada di Desa Waru, TPA dibina berlokasi disekitar pemukiman penduduk sedangkan TPA belum dibina berlokasi di pasar Parung. Di Kecamatan Cibinong TPA binaan dan belum dibina berada pada satu desa, yaitu Desa Pakan Sari. Di Kecamatan Dramaga TPA binaan berlokasi di Desa Sinar Sari, TPA belum dibina berada di Desa Kidul. Kecamatan Cibungbulang TPA dibina dan belum dibina berada pada satu desa, yaitu Desa Dukuh.


(40)

(d) (e)

Gambar 2. Bantuan peralatan dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor; (a) meja eviserasi, (b) plucker, (c)bak pencuci, (d) scalder, (e) freezer

Evaluasi Kelayakan Unit Usaha TPA

Evaluasi kelayakan unit usaha TPA ini menggunakan kuisioner berdasarkan Permentan (2005) yang berisi tentang bangunan, fasilitas, sanitasi dan higiene unit usaha rumah pemotongan unggas yang terdiri atas: a) penanggung jawab kesehatan hewan dan kesmavet; b) bangunan, fasilitas, sanitasi dan higiene; c) higiene personal serta d) bahan baku, penanganan dan pengolahan (yang disesuaikan dengan jenis usaha). Berdasarkan data kuisioner tersebut terhadap 12 TPA penelitian maka didapatkan hasil seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Penilaian kelayakan unit usaha TPA penelitian

Kecamatan

Status Binaan

TPA dibina (%) TPA belum dibina (%)

A B

Cibinong Dramaga Cibubulang

Parung

54 55 64 55

34 35 38 22

39 29 39 32 Bobot penilaian: 75-100% = layak

50-75% = kurang layak 25-50% = tidak layak 0-25% = sangat tidak layak

Kriteria kelayakan pada bobot penilaian unit usaha TPA pada tabel diatas diberikan sesuai dengan tingkatan persentase. Untuk penilaian tertinggi (75-100%) diberikan kriteria layak, dan yang terendah (0-25%) diberikan kriteria sangat tidak layak. Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa semua TPA dibina berada pada kriteria kurang layak (54-64%), dan TPA belum dibina berada pada kriteria tidak layak dan kurang layak (22-39%), karena banyak dari persyaratan sesuai Permentan (2005) yang belum dipenuhi oleh semua TPA.


(41)

dikeluarkan oleh Dinas Peternakan setempat karena merupakan anak usaha dari TPA dibina, dan bangunan belum bersifat permanen. Beberapa TPA dibina dan TPA belum dibina belum melakukan pemisahan fisik antara ruangan kotor dan bersih sehingga seluruh proses produksi dilakukan dalam satu ruangan yang tidak dapat mencegah terjadinya kontaminasi pada karkas ayam selama proses produksi. TPA di Kecamatan Parung baik binaan maupun belum dibina memiliki bobot penilaian kelayakan bangunan terkecil dibandingkan dengan TPA pada kecamatan lainnya karena bangunan merupakan bangunan terbuka dan bukan bangunan permanen, dan tidak ada pemisahan fisik antara ruangan bersih dan kotor dan seluruh proses produksi dilakukan pada satu ruangan.


(42)

Tabel 4 Daftar Pengecekan Kelayakan Dasar Unit Usaha TPA yang mengacu pada Permentan (2005)

No Aspek yang dinilai

Bobot Nilai

(%)

Status Binaan

TPA dibina TPA belum dibina

Cibinong Dramaga Cibung-bulang

Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung

A B A B A B A B

I. Penanggung Jawab Kesehatan Hewan dan Kesmavet 1. Tersedia dokter hewan

penanggung jawab kesehatan hewan dan kesehatan

masyarakat veteriner

1.0 0* 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

II. Lokasi dan Lingkungan 2. Lokasi unit usaha sesuai

dengan alamat yang tercantum dalam perijinan

1.0 1** 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1

3. Ada pemisahan fisik antara PRB dan RPH/RPU

1.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

4. Penyimpanan dan penanganan sampah, limbah dan peralatan baik

1.0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1

5. Tidak terdapat debu yang berlebihan di jalanan dan tempat parkir

1.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1

6. Sistem pembuangan limbah cair/saluran baik

1.0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1

III. Konstruksi Bangunan Utama 7. Dilakukan pemisahan secara

fisik antara ruangan bersih dan kotor

2.0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

* 0 = tidak ** 1 = ya


(43)

(%) Cibinong Dramaga Cibung-bulang

Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung

A B A B A B A B

8. Ruang pengolahan tidak berhubungan langsung dengan toilet/kamar mandi, tempat ganti pakaian, tempat tinggal, garasi dan bengkel

1.0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0

9. Ada langit-langit (plafon) 1.0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0

10. Langit-langit bebas dari kemungkinan catnya rontok/jatuh atau dalam keadaan kotor dan tidak terawat

1.0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0

11. Langit-langit rata, tidak retak atau berlubang

1.0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0

12. Dinding setinggi 2 meter terbuat dari bahan yang kedap air, mudah dibersihkan dan didisinfeksi

1.0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 0

13. Permukaan rata, tidak retak atau berlubang

1.0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 0

14. Dinding di ruang pengolahan tidak berwarna gelap

1.0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0

15. Pertemuan antara lantai dan dinding lengkung

1.0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

16. Bahan lantai kedap air, tidak licin, mudah dibersihkan dan


(44)

(%) Cibinong Dramaga Cibung-bulang

Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung

A B A B A B A B

17. Tidak ada bagian dinding yang memungkinkan untuk meletakkan/menyimpan barang/peralatan

1.0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1

18. Tidak banyak genangan cairan, tumpukan kotoran/air tidak mengalir ke saluran pembuangan

1.0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0

IV. Bangunan utama RPU

19.

Daerah Kotor:

Tempat penurunan unggas hidup, pemeriksaan antemortem dan

penggantungan unggas hidup

1.0 0 0

1 1 0 0 1 0 0 0 0 1

20. Pemingsanan (stunning) 1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

21. Penyembelihan (killing) 1.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

22. Pencelupan ke air panas (scalding tank)

2.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

23. 24. 25. Pencabutan bulu Pencucian karkas Pengeluaran jeroan 2.0 2.0 2.0 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1

26. Pemeriksaan postmortem 1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

27. Penanganan jeroan 2.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

28.

Daerah Bersih:

Tempat pencucian karkas 2.0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1


(45)

(%) Cibinong Dramaga Cibung-bulang

Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung

A B A B A B A B

30. Seleksi (grading) 1.0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0

31. Penimbangan karkas 1.0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 0

32. Pemotongan karkas (cutting) 2.0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 0

33. Pemisahan daging dari tulang 1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

34. Pengemasan 2.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

35. Penyimpanan segar (chilling room)

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

V. Penerangan

36. Lampu di ruang pengolahan, pengemasan dan

penyimpanan bahan baku perpelindung

1.0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

37. Penerangan pada tempat pemeriksaan (inspeksi) cukup (<540 luks)

1.0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1

VI. Ventilasi

38. Sirkulasi udara di ruang proses produksi baik (tidak pengap)

1.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

39. Terjadi akumulasi kondensasi di atas proses pengolahan dan penyimpanan produk

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

VII. Saluran Pembuangan 40. Kapasitas saluran

pembuangan lancar


(46)

(%) Cibinong Dramaga Cibung-bulang

Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung

A B A B A B A B

VIII. Pasokan Air 42. Jarak terdekat sumber air

dengan tempat pembuangan limbah cair/septic tank lebih dari 8m

1.0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0

43. Tersedia pasokan air bersih dalam jumlah cukup

2.0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1

44. Dilakukan pemeriksaan kualitas air bersih di

laboratorium minimal sekali dalam setahun

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

IX. Es (Persyaratan Khusus TPA) 45. Terbuat dari air yang

memenuhi persyaratan air bersih

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

46. Ditangani secara higienis 1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

X. Penanganan Limbah dan Kotoran

47. Limbah ditangani dengan baik 1.0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1

48. Fasilitas pembuangan

sampah/kotoran dalam ruang proses tertutup

1.0 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1

XI. Toilet

49. Terpelihara dengan baik 1.0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0

50. Fasilitas untuk pencucian tangan, seperti sabun, cukup atau tersedia


(47)

(%) Cibinong Dramaga Cibungb ulang

Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung

A B A B A B A B

XII. Ruang Ganti Pakaian

51. Ada, terawat dan tidak kotor 1.0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0

XIII. Fasilitas Cuci Tangan dan Foot Deep 52. Memiliki fasilitas untuk

membesihkan sepatu boot

1.0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

53. Fasilitas cuci tangan berfungsi 1.0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0

54. Fasilitas cuci tangan

dioperasikan dengan tangan dan dilengkapi dengan petunjuk mencuci tangan

1.0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0

55. Setiap pintu masuk ruang pengolahan memiliki fasilitas cuci tangan dan foot deep

1.0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0

XIV. Peralatan dan Wadah 56. Terbuat dari bahan yang

kedap air, mudah korosif, toksik, mudah dibersihkan dan didisinfeksi

1.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

57. Terawat dengan baik atau disimpan ditempat yang seharusnya

1.0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0

XV. Kemasan

58. Terbuat dari bahan yang tidak toksik, tidak bereaksi dengan produk, dan mampu


(48)

(%) Cibinong Dramaga Cibung-bulang

Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung

A B A B A B A B

59. Disimpan pada ruang khusus 1.0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0

XVI. Program Pengendalian Serangga dan Rodensia 60. Program pengendalian

serangga, tikus/rodensia dan binatang pengganggu lainnya di lingkungan unit usaha efektif

1.0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

61. Memiliki program tertulis dalam pengendalian serangga dan rodensia

1.0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

62. Lubang angin dilengkapi dengan kasa untuk mencegah masuknya serangga

1.0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

63. Tirai udara (air curtain), tirai plastik dan alat pencegah serangga lainnya ada dan efektif

1.0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

XVII. Pembersihan dan Desinfeksi 64. Memiliki program

pembersihan dan disinfeksi

1.0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0

65. Metode pembersihan dan disinfeksi efektif

1.0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

66. Peralatan dan wadah dicuci dengan air bersih dan disanitasi setelah digunakan


(49)

(%) Cibinong Dramaga Cibung-bulang

Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung

A B A B A B A B

XVIII.Bahan-bahan Kimia 67. Bahan kimia, sanitizer dan

bahan tambahan pangan diberi label dan disimpan dengan baik

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

68. Penggunaan bahan kimia dan bahan tambahan pangan yang diizinkan

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

XIX. Higiene Personal 69. Karyawan yang berhubungan

langsung dengan produk dalam kondisi sehat

1.0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

70. Kebersihan karyawan yang berhubungan langsung dengan produk terjaga dengan baik

1.0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1

71. Tidak ada kontaminasi silang (makan, meludah, merokok)

1.0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0

72. Pelatihan pekerja dalam hal sanitasi dan higienis cukup

1.0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0

XX. Penerimaan Bahan Baku, Penanganan dan Pengolahan 73. Pemeriksaan ante mortem

pada ternak yang akan dipotong dilakukan oleh dokter hewan/para medik veteriner


(50)

(%) Cibinong Dramaga Cibung-bulang

Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung

A B A B A B A B

75. Dilakukan pencatatan terhadap hasil pemeriksaan antemortem

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

76. Penanganan hewan hidup memenuhi aspek kesrawan

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

77. Pemeriksaan post mortem dilakukan secara teratur

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

78. Pemeriksaan post mortem pada setiap hewan dilakukan oleh dokter hewan /para medik veteriner

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

79. Dilakukan pencatatan terhadap hasil pemeriksaan post mortem

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

XXI. Pembekuan 80. Memiliki fasilitas blast

freezer

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

81. Dilengkapi dengan display themometer pada ruangan blast freezer dan cold storage

1.0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0

XXII. Pelabelan

82. Produk yang sudah dalam bentuk beku mempunyai label dan tanda atau etiket

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

XXIII.Penyimpanan 83. Memiliki chill room untuk

penyimpanan produk segar


(51)

(%) Cibinong Dramaga Cibung-bulang

Parung Cibinong Dramaga Cibungbulang Parung

A B A B A B A B

84. Memiliki cold storage untuk penyimpanan produk beku

1.0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0

85. Produk akhir yang disimpan dalam gudang beku terpisah dengan bahan lain

1.0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0

XXIV.Pengujian Laboratorium 86. Ada program pengujian

laboratorium terhadap produk akhir

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

87. Ada program monitoring efektivitas program sanitasi

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

88. Dilakukan dokumentasi terhadap hasil pengujian laboratorium

1.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Total 100 54 55 64 54 34 39 35 29 38 39 22 32

Bobot penilaian: 75-100% = layak

50-75% = kurang layak 25-50% = tidak layak


(52)

Dari tabel 4 dapat dilihat pada semua TPA penelitian tidak tersedia dokter hewan yang bertanggung jawab terhadap kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner. Pada semua TPA penelitian tidak dilakukan pemeriksaan ante mortem secara visual pada ternak yang akan disembelih, seperti bersin-bersin, mata kemerahan, mata sayu, feses kehijauan, lesu, pucat, pial berdiri, jengger berwarna kebiruan, perut kembung, dari mulut keluar lendir, bulu berdiri/kusam, dubur agak panjang. Ayam-ayam yang datang dari peternakan hanya ditempatkan di dalam keranjang yang disusun bertumpuk ke atas, dan hanya beberapa TPA yang menyediakan kandang sebagai tempat istirahat ayam sebelum disembelih. Tidak tersedianya dokter hewan pada semua TPA penelitian karena merupakan TPA skala kecil/rumahan, dengan total produksi ±100-1500 ekor/hr. Pemasaran produk hanya pada pasar tradisional yang tidak dapat menjamin kebersihan produk, dan sebagian besar konsumennya berasal dari kalangan menengah kebawah yang tidak peduli dengan jaminan keamanan produk yang dibeli.

Perijinan lokasi unit usaha untuk kedua TPA belum dibina di Kecamatan Cibungbulang belum ada, karena kedua TPA tersebut masih merupakan anak usaha dari TPA dibina di Kecamatan Cibungbulang. Semua bangunan TPA penelitian merupakan bangunan yang berdiri sendiri dan tidak terdapat rumah potong babi (RPB) disekitar lokasi TPA penelitian. Sistem penanganan sampah dan limbah cair untuk semua TPA penelitian telah sesuai dengan persyaratan Permentan (2005), kecuali untuk kedua TPA belum dibina di Kecamatan Dramaga dan TPA A di Kecamatan Parung. Pada TPA belum dibina A di Kecamatan Dramaga, limbah dari proses produksi dibuang ke kolam ikan lele yang terdapat di sebelah ruang produksi, dan limbah dari proses prduksi dari TPA belum dibina B di Kecamatan Dramaga disalurkan ke kali yang berada di depan bangunan TPA. Jarak antara kali dengan sumur yang berada di dalam bangunan TPA kurang dari 8 m, sehingga tidak sesuai dengan persyaratan Permentan (2005), yaitu jarak antara sumur dan tempat pembuangan limbah tidak boleh kurang dari 8 m. TPA belum dibina A di Kecamatan Parung berlokasi disekitar Pasar Parung yang kotor dan becek, dan sistem pembuangan limbah dan sampah pada TPA tersebut tidak tertutup dan tidak lancar, dan bangunan TPA berada di sebelah tempat pembuangan sampah yang sudah menggunung, sehingga tidak menjamin kebersihan produk akhir yang dihasilkan.


(53)

(54)

(a) (b) (c)

Gambar 3. (a) TPA belum dibina A Dramaga, (b) TPA belum dibina B Dramaga, (c) TPA belum dibina A Parung

Konstruksi bangunan utama pada TPA dibina di Kecamatan Cibungbulang telah sesuai dengan Permentan (2005), yaitu telah ada pemisahan fisik antara ruang bersih dan kotor, ruang pengolahan tidak berhubungan langsung dengan toilet/kamar mandi; langit-langit rata, tidak retak/berlubang; permukaan dinding rata dan tidak retak/berluang, berwarna terang dan terbuat dari bahan yang kedap air, mudah untuk dibersihkan dan didesinfetsi; lantai terbuat dari bahan yang tidak licin, mudah dibersihkan dan didesinfeksi, dan tidak banyak genangan cairan/tumpukan kotoran pada permukaan lantai.

(a) (b)

Gambar 4. Contoh bangunan TPA dibina: (a) bangunan TPA dibina di KecamatanCibungbulang, (b) TPA dibina di Kecamatan Dramaga.

Banguna TPA penelitian selebihnya belum sesuai dengan kelayakan bangunan yang mengacu pada Permentan (2005), terutama untuk semua bangunan TPA belum dibina yang belum melakukan pemisahan fisik antara ruang bersih dan


(1)

Keterangan : MN = Penyimpangan Minor SR = Penyimpangan Serius

MY = Penyimpangan Mayor KT = Penyimpangan Kritis OK = Tidak Ada Penyimpangan Bobot penilaian : 100 % = kritis

75-100% = cukup kritis 50-75% = kurang kritis 25-50% = sangat kurang kritis 0-25% = tidak kritis

2

Unit Usaha Rumah Pemotongan Unggas (RPU)

1.

Jumlah Penyimpangan

a.

Penyimpangan Minor

... Penyimpangan

b.

Penyimpangan Mayor

... Penyimpangan

c.

Penyimpangan Serius

... Penyimpangan

d.

Penyimpangan Kritis

... Penyimpangan

2.

Level/Tingkat Unit Usaha

Level/Tingkat

Jumlah Penyimpangan

MN (Minor)

MY (Mayor)

SR (Serius)

KT (Kritis)

I

0

0

0

0

II

<7

<8

<5

0

III

NA

<15

<10

<4

IV

NA

NA

NA

S4

3.

Keterangan Level/Tingkat Usaha

1.

Level I

Berhak memperoleh NKV dengan kategori sangat baik (Kualifikasi

ekspor)

2.

Level II

Berhak memperoleh NKV dengan kategori baik (Menuju kualifikasi

ekspor)

3.

Level III

Berhak memperoleh NKV dengan kategori cukup

4.

Level IV

Masih dalam tahap pembinaan untuk memperoleh NKV


(2)

Lampiran 6 Pemotongan Ternak Secara Halal di PRU (Mengacu pada LPOM MUI 2011)

Nama RPA :

Alamat :

Parameter Bobot

Nilai Ya/ Tdk

Penilaian NKV Ket.

MN MY SR KT OK

I. SDM

1. Personel yang melaksanakan pekerjaan yang mempengaruhi status kehalalan produk unggas yang dihasilkan harus memiliki kompetensi yang sesuai

2.00

2. Personel harus mengikuti pelatihan/tindakan lain untuk mencapai kompetensi yang diperlukan

2.00

3. Manajemen RPU harus memelihara rekaman mengenai pelatihan, ketrampilan dan pengalaman personel

2.00

4. Personel harus dikontrol dan disupervisi oleh LPPOM MUI/Lembaga Sertifikasi Halal yang diakui LPPOM MUI

2.00

5. Personael halal tidak boleh merangkap sebagai pekerja /karyawan pada RPH babi

2.00

6. Petugas penyembelih beragama Islam

2.50 7. Petugas penyembelih berumur

minimal 18 tahun

2.00 8. Berbadan dan berjiwa sehat serta

memiliki catatan kesehatan yang baik

2.00

9. Taat dalam menjalankan ibadah wajib

2.00 10. Lulus pelatihan penyembelihan

halal yang dilakukan oleh lembaga Islam/lembaga sertifikasi halal yang bekerjasama dengan instansi teknis terkait

2.00

11. Memahami tata cara

penyembelihan sesuai Syariat Islam

2.00

12. Memiliki kartu identitas sebagai penyembelih halal dari Lembaga Sertifikasi Halal yang diakui oleh MUI/Lembaga yang berwewenang dalam sertifikasi halal

2.00

II.Prasarana

13.Dalam satu RPU hanya dikhususkan untuk produksi daging unggas halal

2.50

14. Lokasi RPU harus terpisah dari RPH/peternakan babi (min 2km)


(3)

dan tidak terjadi kontaminasi silang antara RPU halal dan babi 15. Fasilitas RPU dirancang

sedemikian rupa agar produk yang halal tidak terkontaminasi dengan produk non halal maupun dengan barang haram dan najis

2.00

16. Tidak terjadi penggunaan fasilitas, mesin, dan alat secara bersama-sama antara RPU halal dan babi

2.00

17. Alat yang digunakan untuk menyembelih harus tajam dan bukan berasal dari kuku, gigi/taring/tulang

2.00

18. Ukuran alat penyembelih harus sesuai dengan ukuran dari leher unggas yang akan dipotong

2.00

19. Alat penyembelih tidak

dipertajam didepan unggas yang akan disembelih

2.00

III. Penyembelihan Unggas

20. Unggas yang akan disembelih harus mempunyai waktu istirahat yang cukup dan mengikuti kaidah kesejahteraan unggas yang berlaku

2.00

21. Dilakukan pemeriksaan ante mortem oleh lembaga yang memiliki kewenangan

2.00

22. Rekaman unggas mati sebelum sempat disembelih harus disimpan dan dipelihara

2.00

23. Pengendalian unggas harus seminimal mungkin menjadikan unggas stress dan kesakitan

2.00

24. Segera dilakukan

penyembelihan bila ungggas telah terkendali dengan baik dan tenang

2.00

25. Kalimat

“Bisillahirrahmanirrahim” harus

diucapkan oleh penyembelih sebelum melakukan

penyembelihan

3.00

26. Penyembelihan harus dilakukan dengan memotong oesophagus, trachea, vena jugularis dan arteri carotis

2.50

27. Hendaklah melakukan satu kali sembelih (tidak mengangkat pisau ketika menyembelih).

2.50

28. Proses penyembelihan dilakukan dari leher bagian depan dan tidak memutus tulang leher

2.00

29. Penyembelihan menghadap kiblat


(4)

30. Rekaman setiap pemotongan yang tidak sesuai dengan persyaratan halal harus disimpan dan dipelihara

2.00

31. Harus dilakukan pemeriksaan untuk memastikan unggas mati sebelum dilakukan

penanganan/proses selanjutnya

2.00

32. Waktu minimal antara pemotongan dan proses selanjutnya adalah 2 menit

2.00

33. Ruang/lokasi penanganan karkas dan jeroan harus dipisah

2.00 34. Karkas dan jeroan yang berasal

dari unggas yang disembelih tidak memenuhi persyaratan halal maka harus dimusnahkan

2.00

35. Pemeriksaan post mortem harus dilakukan oleh petugas yang berwenang

2.00

36. Rekaman karkas dan jeroan yang tidak memenuhi

persyaratan halal harus disimpan dan dipelihara

2.00

II. Penanganan dan Penyimpanan

37.Karkas/daging/jeroan halal dan non halal harus ditangani dan disimpan pada tempat yang terpisah

2.50

38. Karkas/daging/jeroan halal harus ditangani dan disimpan dengan baik untuk menghindari kontaminasi silang dengan bahan najis dan cemaran lainnya

2.00

39. Ruang/gudang penyimpanan harus bebas dari produk babi

2.00 40. Jika di RPU menghasilkaan

produk halal dan non halal maka dilakukan penandaan dan penyimpanan yang terpisah

2.00

41. Rekaman karkas/daging/jeroan non halal harus disimpan dan dipelihara

2.00

III. Pengemasan dan Pelabelan

42. Kemasan harus memiliki identitas halal

2.00 43. Pemberian identitas halal

dicantumkan pada kemasan produk sebelum memasuki ruang/gudang penyimpanan

2.00

44. Label harus secara spesifik menjelaskan perbedaan halal dan non halal

2.00

45. Proses pengiriman daging /jeroan harus disertai dengan label

2.00

46. Label memuat logo halal, tgl penyembelihan, nama RPU dan


(5)

berat bersih

IV.Transportasi

47. Alat pengiriman harus khusus untuk daging halal dan tidak digunakan untuk daging non halal

2.00

48. Alat pengiriman harus bebas dari najis dan cemaran lain

2.00


(6)