Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat

ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK
PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL TAPIOKA
DI JAWA BARAT
Studi Kasus Desa Pasir Jambu Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Bogor

NORA ASFIA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

1

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pendapatan,
Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Nora Asfia
NIM H34090060

2

ABSTRAK
NORA ASFIA. Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek
Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat. Dibimbing oleh
RACHMAT PAMBUDY.
Salah satu sektor industri yang bertahan dan cukup banyak dikembangkan di
Jawa Barat adalah agroindustri seperti industri kecil (IK) pengolahan tapioka,
namun monopolisasi harga industri derivatif, inkontinyuitas bahan baku, dan
kurangnya induksi teknologi mengakibatkan penurunan pendapatan para pengrajin

tapioka. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat profitabilitas dan
nilai tambah yang diberikan dari industri kecil tapioka, serta mengetahui prospek
pengembangannya dilihat dari adanya ketersediaan input dan peluang pasar. Alat
analisis yang digunakan yaitu R/C ratio, analisis titik impas, dan analisis nilai
tambah dengan menggunakan Metode Hayami. Hasil analisis menunjukkan bahwa
rataan rendemen bahan baku menjadi tapioka yaitu sebesar 21.67% dan ampas
sebesar 6.04% sehingga industri kecil tapioka masih memberikan keuntungan
kepada pengarjin tapioka dengan R/C rasio lebih dari 1. Nilai tambah yang
diberikan oleh industri kecil tapioka yaitu 17.09%. Untuk meningkatkan daya
saingnya, industri kecil tapioka perlu untuk meningkatkan kualitas tapioka hasil
produksi dan memantau kualitas produksi secara konsisten.
Kata Kunci : tapioka, nilai tambah, pendapatan, industri kecil

ABSTRACT
NORA ASFIA. Income Analysis, Added Value and Developing Prospect of
Small-sized Tapioca Industry in West Java. Supervised by RACHMAT
PAMBUDY.
Industry sector which is still surviving and pretty much developed in West
Java is tapioca small-sized industry, but derivative industry prices
monopolization, incontinuity of raw materials, and also less technology

inductions are potensially decrease the revenue of business owner. The purpose of
this study are to gain knowledge on the income and value added given by the
tapioca industry, and to examine the prospect of developing tapioca industry from
the input side and market opportunity. The analyses are separated into income
analysis with R/C Ratio, break even point analysis, value added analysis with
Hayami Method, and statistical descriptive analysis. From the study it can be
conclude that the average business owners produced 100 kg of raw materials
which then will produce 21.67 kg raw tapioca and 6.04 kg waste. Average R/C
ratio of business owner and production factor owner is more than 1 that means
this small-sized tapioca industry still gave them daily income, whereas added
value ratio from the processing is just 17.09%. This tapioca processing needs
more management which can increase their competitivness by upgrading raw
tapioca quality and controlling raw materials continuity
Key words : tapioca, income, value added, small-sized industry

3

ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK
PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL TAPIOKA
DI JAWA BARAT

Studi Kasus Desa Pasir Jambu Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Bogor

NORA ASFIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan
Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat
: Nora Asfia

Nama
NIM
: H34090060

Disetujui oleh

Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS.
Pembimbing

Diketahui oleh

Tanggal Lulus:

2 0 A G 2013

1

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan
Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat
Nama

: Nora Asfia
NIM
: H34090060

Disetujui oleh

Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS.
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS.
Ketua Departemen Agribisnis

Tanggal Lulus:

2

PRAKATA
Syukur dan puji kepada Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan

kemudahan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini yaitu pendapatan dengan judul Analisis Pendapatan,
Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat.
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan April 2013 sampai Juni 2013.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Rachmat Pambudy, MS
selaku dosen pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada seluruh pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu yang telah memberikan waktu
luangnya serta informasi untuk pengumpulan data, Bu Nunung selaku Ketua
KWT Kenanga Desa Kenanga yang telah menerima dan membantu penulis dalam
melaksanakan pengumpulan data, Bu Khumairah dan suami sebagai Pengurus
Gapoktan Karya Bersama yang telah memberikan perizinan serta informasi
mengenai industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu.
Terima kasih kepada Ahmad Zaki Rahman dan Irva Mavrudah atas
kekompakan dan semangatnya sebagai teman satu bimbingan, Cynthia
Mawarnita, Emilia Huda, Novita Dewi, Tedi Aditia, Rina Fauzah, Puji Mustika,
dan lainnya sebagai sahabat setia di HIPMA dan Agribisnis 46, dan Jauhar
Samudera Nayantakaningtyas S.E atas segala semangat dan dukungannya sebagai
pengingat target penulis. Ungkapan terima kasih tak terhingga terutama penulis
sampaikan kepada kedua orang tua Hisyam Abdullah Seff dan Tutik Sulistiani
serta seluruh keluarga atas perhatian, doa, dan dukungan yang tiada hentinya

dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Juli 2013

Nora Asfia

i

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN

ii


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

5


Ruang Lingkup Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA

6

Usahatani Ubi Kayu

6

Keragaan Industri Tapioka di Indonesia

10

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka

14


Struktur Biaya, Pendapatan, dan Nilai Tambah Industri Kecil Tapioka

15

KERANGKA PEMIKIRAN

17

Kerangka Pemikiran Teoritis

17

Kerangka Pemikiran Operasional

21

METODOLOGI PENELITIAN

22

Lokasi dan Waktu Penelitian

22

Metode Pengumpulan Data

23

Jenis dan Sumber Data

23

Metode Analisis dan Pengolahan Data

23

GAMBARAN UMUM

27

Kondisi Umum Wilayah Penelitian

27

Karakteristik Industri Kecil Tapioka

28

HASIL DAN PEMBAHASAN

35

Analisis Pendapatan

35

Analisis Nilai Tambah

39

Analisis Titik Impas

42

Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka

44

KESIMPULAN DAN SARAN

51

DAFTAR PUSTAKA

52

LAMPIRAN

54

ii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Populasi dan jarak tanam optimal ubi kayu
Kegunaan ubi kayu dalam berbagai industri
Kandungan unsur gizi pada ubi kayu dan tepung tapioka/100 g bahan
Tahapan perhitungan nilai tambah Metode Hayami
Spesifikasi kelompok tani Karya Bersama Desa Pasir Jambu
Potensi hasil dan sifat-sifat penting beberapa varietas ubi kayu
Fasilitas dan peralatan produksi tapioka
Perbedaan tekonologi pengolahan tapioka
Arus penerimaan pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu selama satu
tahun produksi
Arus pengeluaran pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu selama satu
tahun produksi
Perbandingan pendapatan usaha pemilik faktor produksi dan pengrajin
penggarap industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu
Perhitungan nilai tambah industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu
Perhitungan titik impas industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu
Perkembangan ekspor tepung dan pati Indonesia tahun 2010 – 2011

8
9
11
26
27
32
32
33
36
37
39
41
43
47

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Penurunan luas panen ubi kayu di Jawa Barat tahun 2008 – 2012
Skema pembuatan tapioka pada industri skala kecil
Analisis BEP secara grafis
Kerangka pemikiran operasional
Layout produksi rumah penggilingan industri kecil tapioka
Pencucian bahan baku ubi kayu
Pemarutan dan pemerasan bahan baku
Pengeringan tapioka dengan sinar matahari
Produksi ubi kayu di Indonesia
Perkembangan harga ubi kayu di tingkat nasional
Sebaran industri penghasil dan pengguna

3
13
20
22
30
34
34
35
45
46
48

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Struktur PDRB Jawa Barat menurut sektor tahun 2012
Industri pengguna tepung tapioka di Indonesia tahun 2011
Tabel produksi ubi kayu di Jawa Barat
Penggunaan tepung tapioka menurut lokasi
Karaktersitik responden pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu
Penyusutan alat dan mesin industri kecil tapioka
Daftar industri pengguna tepung tapioka di Jawa Barat

54
54
55
56
57
58
59

iii

8
9
10
11

Pohon industri ubi kayu
Perkembangan haga rata-rata mingguan ubi kayu di beberapa kota di
Indonesia
Arus pengeluaran usaha pengrajin penggarap
Arus pengeluaran usaha pemilik faktor produksi

61
61
64
65

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industri kecil menengah merupakan pelaku ekonomi kerakyatan yang
seyogyanya mendapatkan prioritas untuk berperan aktif dalam perekonomian
nasional. Dengan kekuatan ekonomi rakyat yang merupakan pelaku ekonomi
terbesar di masyarakat, diharapkan struktur perekonomian Indonesia akan lebih
mampu dalam menghadapi permasalahan-permasalahan ekonomi, baik persoalan
yang tumbuh di dalam negeri maupun akibat dari pengaruh perekonomian global.
Kemenkop (2012) menyebutkan bahwa jumlah usaha kecil menegah secara
nasional mencapai 6 764 661 orang dan sekitar 70% di antaranya berada di Pulau
Jawa dan Bali. Secara lebih spesifik, 20 % industri kecil dan menegah (IKM)
Indonesia berada di Jawa Barat1. Dominasi Jawa Barat dalam keberadaan IKM
menunujukkan potensi perekonomian yang besar.
Keberadaan usaha kecil dan menengah di Jawa Barat lebih didominasi
sektor pertanian yang mencapai 48.32% dengan penyerapan tenaga kerja terbesar
berada di pedesaan, namun kontribusinya terhadap struktur perekonomian Jawa
Barat termasuk sektor dominan ketiga setelah sektor industri pengolahan dan
perdagangan. Hal ini secara umum dapat terjadi karena lemahnya kelembagaan
petani yang menyebabkan minimnya akses terhadap berbagai aspek pertanian,
seperti penyediaan input, penyuluhan, permodalan, dan teknologi yang secara
tidak langsung mempengaruhi pendapatan petani. Keadaan yang sebaliknya justru
terjadi di industri pengolahan. Meski jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor
tersebut tidak sebanyak yang bekerja di sektor pertanian, sektor industri
pengolahan mampu memberikan kontribusi terbesar sebanyak 35.79% pada
PDRB Jawa Barat (BPS, 2012). Data mengenai kontribusi sektor industri terhadap
PDRB Jawa Barat dapat dilihat pada Lampiran 1.
Salah satu sektor industri yang bertahan dan cukup banyak dikembangkan di
Jawa Barat adalah agroindustri seperti industri kecil (IK) pengolahan tapioka
Industri tapioka merupakan salah satu jenis industri agro (Agro-based-industri)
berbahan baku ubi kayu yang banyak tersebar di Indonesia baik skala kecil, skala
menengah, maupun skala besar. Tapioka merupakan salah satu hasil agroindustri
yang potensial untuk dikembangkan, karena ketersediaan bahan baku ubi kayu di
Jawa Barat yang cukup melimpah. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu
produsen ubi kayu di Indonesia dengan total luas panen pada tahun 2012 seluas 100
159 ha, tingkat produktivitas rata-rata sebesar 21.27 ton/ha dan total produksi sebesar
21 311 230 ton (BPS, 2012). Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) sendiri
merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang memiliki peranan penting
dalam sistem ekonomi daerah.
Pengembangan industri kecil terutama yang mengolah hasil-hasil pertanian
lokal sebagai industri yang tahan terhadap dampak krisis ekonomi serta sifatnya yang
padat karya menjadi salah satu alternatif yang sangat diperhitungkan dalam
membangun kembali sendi perkenomian Indonesia saat ini. Di samping menciptakan
1

Heri Ruslan. 2013. 20 persen Industri Kecil dan
http://www.republika.com [diakses pada 26 Maret 2013]

Menengah Berada di Jabar. dalam

2

nilai tambah bagi produk pertanian, adanya industri kecil tapioka juga menyediakan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat pedesaan. Purba (2002) menyebutkan bahwa
selama ini industri rumah tangga mampu memenuhi sebagian kebutuhan konsumsi
maupun produksi masyarakat. Sektor ini juga mampu menciptakan lapangan kerja
dan menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat desa, sehingga masyarakat
tidak perlu berduyun-duyun pergi ke kota untuk mencari pekerjaan.
Perubahan gaya hidup masyarakat yang mengakibatkan perubahan selera
dan berkembangnya teknologi akan memacu munculnya beraneka bentuk pangan
baru yang membuat ubi kayu tidak lagi dikonsumsi dalam bentuk aslinya,
melainkan sebagai pangan olahan lain. Salah satu upayanya yaitu mengolah ubi
kayu menjadi tepung tapioka sebagai bahan baku pangan olahan dari ubi kayu.
Hal ini menjadi landasan mengapa industri tapioka menjadi sangat potensial di
masa yang akan datang.
Industri kecil tapioka berkembang karena didukung selain tersedianya bahan
baku, juga sarana dan prasarana produksi seperti mesin giling, tempat
pengeringan, dan tempat pencucian. Selain itu, pekerja sebagai pengolah ubi kayu
menjadi tepung tapioka (pengrajin tapioka) merupakan pekerjaan yang sudah
turun temurun (Rochaeni et al. 2007). Industri tapioka yang termasuk dalam
industri pati ubi kayu mampu berkontribusi sebesar Rp1.21 miliar dalam Nilai
Tambah Bruto nasional (Kemenperin 2012). Hal ini membuktikan bahwa industri
pengolahan tapioka dalam berbagai skala usaha memiliki prospek lebih baik dan
potensial karena permintaannya terus ada dan dimanfaatkan sebagai bahan baku
oleh berbagai industri seperti antara lain industri kembang gula, pengalengan
buah, pengolahan es krim, minuman, dan industri peragian.
Industri pengolahan tepung tapioka tersebar di beberapa daerah sentra
produksi ubi kayu di Jawa Barat, salah satunya adalah di Kabupaten Bogor.
Industri pengolahan tapioka di Kabupaten Bogor terdiri atas pengolah tapioka dan
pabrik penggilingan tapioka kasar untuk diproses menjadi tepung tapioka halus
yang siap dipasarkan. Sebagian besar produsen tepung tapioka di Kabupaten
Bogor merupakan industri tapioka rakyat di pedesaan dengan skala kecil yang
merupakan salah satu motor penggerak perekonomian di daerah tersebut. Melihat
potensialnya tapioka di masa mendatang dan ketersediaan bahan baku ubi kayu di
Jawa Barat, penelitian mengenai kajian finansial usaha dan prospek
pengembangan industri kecil tapioka penting untuk dilakukan.

Perumusan Masalah
Deshaliman (2003) menyatakan bahwa tantangan yang dihadapi dalam
pengembangan umbi-umbian adalah produk-produknya yang hingga saat ini
cenderung konvensional, dengan kemampuan dan nilai gizi yang kurang menarik.
Hal ini menyebabkan relatif rendahnya ketertarikan masyarakat untuk
memanfaatkannya sebagai sumber karbohidrat substitutsi terhadap beras. Untuk
meningkatkan nilai tambah dari produk umbi-umbian ini agar bisa sejajar dengan
pangan lain, perlu adanya sentuhan teknologi, sehingga menarik untuk disajikan,
serta enak dan ekonomis untuk dikonsumsi.
Produktivitas ubi kayu di Jawa Barat cukup baik, namun masih lebih rendah
dibandingkan di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Sukandar 2000). Apalagi
permintaan ubi kayu sebagai makanan pokok atau sampingan terus mengalami

3

Luas Panen (ha)

penurunan mengingat semakin naiknya tingkat kesejahteraan masyarkat yang
diikuti dengan pemilihan selera yang semakin baik. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan permintaan akan ubi kayu, maka ubi kayu harus diolah terlebih
dahulu ke dalam berbagai bentuk produk olahan yang sesuai dengan kebutuhan
konsumen. Jawa Barat sendiri merupakan salah satu sentra produksi tepung
tapioka di Indonesia dan Bogor adalah salah satu sumber produsen tapioka di
Jawa Barat.
Jawa Barat terus mengalami penurunan luas panen ubi kayu. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 1. Pada tahun 2008, luas panen ubi kayu di Jawa Barat yaitu
109 354 ha, diiringi dengan sedikit peningkatan pada tahun 2009 menjadi 110
827 ha, dan terus menurun hingga pada tahun 2012 menjadi 100 159 ha. Kondisi
yang berbeda terjadi di produktivitas, walaupun luas panen dan produksi
mengalami penuruanan. Adanya peningkatan produktivitas mengindikasikan
bahwa telah adanya adopsi teknologi budidaya di tingkat petani ubi kayu (Darwis
et al. 2009).

112,000
110,000
108,000
106,000
104,000
102,000
100,000
98,000
96,000
94,000
2008

2009

2010

2011

2012

Gambar 1 Penurunan luas panen ubi kayu di Jawa Barat tahun 2008 – 2012
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat 2012

Salah satu industri tapioka yang berada di Jawa Barat yaitu Kabupaten
Bogor. Produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor menurun dari 198 597 ton pada
tahun 2008 menjadi 154 455 ton pada tahun 2009. Luas panen dan produktivitas
ubi kayu di Kabupaten Bogor juga mengalami penurunan. Luas panen ubi kayu di
Kabupaten Bogor pada tahun 2008 adalah 10 073 hektar menurun menjadi 7 680
hektar pada tahun 2011. Produktivitas ubi kayu di Kabupaten Bogor menurun dari
20.55 ton per hektar pada tahun 2009 menjadi 20.11 ton per hektar pada tahun
2011 (BPS Kabupaten Bogor 2012). Penurunan produksi, luas panen, dan
produktivitas merupakan ancaman bagi industri kecil tapioka di Kabupaten Bogor.
Salah satu sentra industri kecil tapioka di daerah Bogor yaitu Desa Pasir
Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Pengrajin/pengusaha tapioka
yang sekaligus petani ubi kayu tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani Karya
Bersama yang terdiri dari 9 kelompok tani dan 1 kelompok wanita tani. Selain itu

4

terdapat pula Koperasi Wanita Tani Karya Bersama yang bekerja sama dengan
Gapoktan Karya Bersama untuk membantu masalah permodalan petani. Teknik
produksi di Desa Pasir Jambu masih bersifat tradisional, yaitu teknik produksi
yang masih belum mengandalkan mesin pengolah tepung tapioka. Padahal,
sebagian besar daerah di Kabupaten Bogor yang juga memproduksi tepung
tapioka telah menginduksi peralatan dan mesin ke arah teknologi yang lebih
canggih. Adanya ketertinggalan dalam aplikasi teknologi ini berpotensi
menurunkan penerimaan para pengrajin tapioka.
Di samping itu, masalah yang timbul dari aktivitas industri kecil tapioka ini
yaitu meningkatnya alih fungsi lahan penanaman ubi kayu untuk dijadikan
bangunan perumahan oleh pengembang setempat. Kecamatan Sukaraja yang
merupakan salah satu daerah sentra produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor terus
mengalami penurunan luas panen yang cukup drastis. Luas panen ubi kayu di
Kecamatan Sukaraja pada tahun 2008 adalah sebesar 2 452 hektar menurun
menjadi 612 hektar pada tahun 2011 (BPS Kabupaten Bogor 2012). Sehingga
industri kecil tapioka di daerah Sukaraja yang dulu menghasilkan bahan baku ubi
kayu sendiri, sekarang terpaksa untuk mendatangkan bahan baku dari daerah lain,
seperti Ciomas, Leuwiliang, Labuan, Sukabumi, dan Lampung. Perubahan
perolehan input berpotensi menimbulkan ketidakpastian kontinyuitas bahan baku
dan meningkatkan biaya produksi, karena pengrajin tapioka harus membeli bahan
baku yang harganya relatif lebih mahal dibandingkan dengan biaya yang
dikeluarkan untuk menghasilkan bahan baku sendiri.
Selain itu, masih terdapat kendala berupa tidak adanya kekuatan tawar
dalam menentukan harga tepung tapioka kasar kepada pabrik pengepul karena
minimnya akses petani terhadap informasi pasar. Monopolisasi pengepul tapioka
kasar mengakibatkan minimnya pemasaran dan semakin menurunnya pendapatan
industri kecil. Ketergantungan para pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu
terhadap pengepul disebabkan oleh tidak adanya modal untuk menginvestasikan
mesin penggiling tapioka halus.
Lemahnya akses permodalan, monopolisasi harga pabrik pengepul,
inkontinyuitas bahan baku industri, serta minimnya induksi teknologi dapat
berpotensi menurunkan penerimaan para pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu.
Sehingga perlu dikaji mengenai apakah kegiatan produksi industri kecil tapioka
dalam memberikan keuntungan masih relevan dengan keadaan perekonomian saat
ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis pendapatan usaha, nilai tambah, dan
titik impas untuk mengetahui seberapa besar tingkat profitabilitas dari industri
kecil tapioka tersebut dan perlu dilakukan kajian mengenai bagaimana prospek
pengembangan industri kecil tapioka untuk mengetahui seberapa prospektif
industri tersebut sesuai dengan hasil kajian tingkat profitabilitas yang ada.
Berdasarkan masalah tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat pendapatan usaha dan titik impas yang dihasilkan oleh
industri kecil tapioka di Desa Pasir Jambu?
2. Berapa nilai tambah yang diperoleh dari industri kecil tapioka?
3. Bagaimana prospek pengembangan usaha industri kecil tapioka di Jawa Barat
dilihat dari ketersediaan sisi input dan peluang pasar yang ada?

5

Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk
1. Menganalisis tingkat pendapatan usaha dan titik impas industri kecil tapioka di
Desa Pasir Jambu Kabupaten Bogor
2. Menganalisis besarnya nilai tambah yang diperoleh industri kecil tapioka
beserta kontribusinya terhadap pendapatan usaha.
3. Menganalisis prospek pengembangan usaha industri kecil tapioka di Jawa
Barat dilihat dari sisi input dan peluang pasar yang ada.

Manfaat Penelitian
1.
2.
3.

4.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :
Petani sebagai informasi terutama mengenai pendapatan beserta prospek
pengembangan industri kecil tapioka.
Pemerintah dan dinas terkait untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dalam perencanaan pengembangan industri Tapioka di daerah Bogor.
Peneliti lain, sebagai bahan pembanding dan diharapkan dapat bermanfaat
terutama peneliti-peneliti lain yang akan melakukan penelitian lanjutan yang
berkaitan dengan industri kecil tapioka.
Peneliti sendiri, untuk menambah pengetahuan mengenai industri kecil tapioka
di Bogor khususnya mengenai aspek nilai tambah dan sebagai penerapan teori
di bangku kuliah.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam lingkup regional, yaitu Desa Pasir Jambu
yang terletak di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Komoditi yang akan diteliti adalah tepung tapioka. Peneliti memfokuskan
penelitian pada analisis pendapatan, analisis titik impas, dan analisis nilai tambah
yang ada di industri kecil tapioka. Informan dalam penelitian ini adalah warga
Desa Pasir Jambu yang masih aktif bekerja sebagai pengrajin tapioka dan dipilih
secara sengaja.

6

TINJAUAN PUSTAKA
Usahatani Ubi Kayu
Karakteristik Ubi Kayu
Sebagian besar masyarakat Indonesia pasti sudah mengetahui ubi kayu,
namun sedikit yang mengetahui bahwa Manihot esculenta sebetulnya bukan
merupakan tanaman asli Indonesia. Ubi kayu pertama kali dibudidayakan di tanah
air oleh budak-budak asal Afrika yang bekerja pada utusan-utusan Belanda pada
tahun 1835. Umbi hasil panen hanya diolah dengan cara dikukus, dibakar, dan
digoreng. Sejak saat itu, ubi kayu lebih populer sebagai pangan pokok pengganti
nasi. Karena membudidayakan ubi kayu lebih mudah dibandingkan padi, ubi kayu
semakin digemari masyarakat dengan melakukan perluasan penanaman. Pada
jangka tahun 1919 sampai tahun 1941, 98% produksi dunia berasal dari Pulau
Jawa. Olahan ubi kayu semakin beragam dengan semakin bermunculannya
industri penepungan ubi kayu agar lebih tahan lama dan dapat diolah menjadi
berbagai produk.
Ubi kayu merupakan tanaman yang mudah dikenali karena memiliki ciri
khas, yaitu batangnya berbuku-buku (setiap buku batang terdapat mata tunas),
daunnya menjari, dan umbi berasal dari pembesaran sekunder akar adventif. Umbi
kayu umumnya mengandung 10 – 490 miligram HCN per kilogram umbi basah
tergantung varietasnya. Senyawa HCN (Asam Sianida) berbahaya jika dikonsumsi
lebih dari 1 miligram HCN per kilogram bobot tubuh per hari atau lebih dari 50
miligram per kilogram bobot umbi. Kadar HCN yang lebih dari 100 miligram per
kilogram bobot umbi hanya diperkenankan untuk industri, seperti tepung tapioka.
Persyaratan Iklim
Ubi kayu termasuk tanaman tropis tetapi dapat pula beradaptasi dan tumbuh
dengan baik di daerah sub tropis. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik dan
memberikan hasil yang tinggi selama persyaratan iklim sesuai untuk mendukung
pertumbuhan, terutama pada daerah berhawa panas dan banyak turun hujan. Iklim
yang cocok untuk tanaman ubi kayu antara lain dengan jumlah curah hujan antara
750 - 1.500 mm/tahun, ketinggian tempat antara 100 – 800 m dpl, dan suhu
lingkungan antara 25°- 28°C. Semakin tinggi tempat penanaman, maka semakin
lambat pertumbuhannya dan hasilnya akan semakin berkurang.
Ubi kayu menghendaki tanah yang gembur untuk pertumbuhan dan
produksi khususnya pada pembentukan umbi, sehingga didapatkan produktivitas
yang optimal. Derajat kemasaman (pH) tanah yang sesuai untuk budidaya ubi kayu
berkisar antara 4,5 – 8,0 dengan pH ideal 5,8. Umumnya tanah di Indonesia ber-pH
rendah (asam), yaitu berkisar 4,0 – 5,5, sehingga seringkali dikatakan cukup netral
bagi suburnya tanaman ubi kayu. Selain itu, tanaman menjadi kerdil karena
pertumbuhan bunga yang kurang sempurna. Sinar matahari yang dibutuhkan bagi
tanaman ubi kayu sekitar 10 jam/hari, terutama untuk kesuburan daun dan
perkembangan umbinya.
Penggunaan Varietas Unggul
Varietas unggul merupakan salah satu komponen utama dalam berbagai
program pembangunan pertanian tanaman pangan, baik dalam usaha peningkatan

7

produktivitas, produksi, peningkatan kualitas hasil maupun penanggulangan
berbagai kendala seperti serangan hama penyakit serta cekaman lingkungan.
Penggunaan varietas unggul sebaiknya berdasarkan kesesuaian lahan. Hingga
tahun 2011 Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
(Balitkabi) telah merilis 10 varietas unggul ubi kayu, beberapa di antaranya yaitu
Adira 1, Adira 2, Adira 4, Malang 6, dan UJ3. Pada umumnya, varietas yang
dikembangkan untuk konsumsi langsung berbeda dengan untuk industri. Sebagai
contoh untuk dikonsumsi langsung, rasa tidak pahit dan enak, warna umbi
kuning/putih, kandungan serat rendah dan kadar HCN rendah.
Varietas-varietas ubi kayu yang mempunyai karakteristik di atas lebih
banyak dijumpai pada varietas lokal dan sedikit varietas unggul nasional. Rataan
produktivitas ubi kayu secara nasional selama dasawarsa terakhir masih rendah,
yaitu sekitar 40% dari potensi genetis dengan pengelolaan optimal, padahal
potensi hasil tiap varietas bersifat spesifik lokasi. Oleh karena itu, varietas unggul
seperti Adira-4, Malang-6, UJ-3, dan UJ-5 wilayah berkembangnya berbeda.
Peningkatan produksi dapat direalisasikan melalui penggunaan varietas unggul
dan pengelolaan optimal. Dengan demikian, pengembangan industri pada
berbagai tipe agroekologi, ketersediaan bakunya berpotensi dapat dijamin.
Pengolahan Tanah
Ubi kayu membutuhkan tanah gembur dan kaya akan humus, agar umbinya
dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Pengolahan paling baik dilakukan
pada saat menjelang musim hujan, karena pada saat ini struktur tanah tetap
terpelihara, mudah dicangkul, dan tetap gembur. Tanah diolah sedalam 25 – 30
cm dan sebaiknya dibuat guludan/bedengan untuk menjaga agar tidak banyak
mengandung air. Untuk tanah miring sebaiknya dibuat teras, agar erosi bisa di
atasi dan struktur tanah tetap terjaga dan menerapkan kaidah konservasi lahan dan
air atau pengolahan tanah secara bijaksana.
Penanaman
Usahatani lahan kering sangat tergantung dari pola curah hujan, pada
tanaman ubi kayu sebagian besar diusahakan di lahan kering. Secara umum waktu
tanam ubi kayu yang dianjurkan sebagai berikut :
i) Pada daerah yang beriklim basah sepanjang tahun (bulan basah lebih dari 4
bulan) dapat ditanam sepanjang tahun
ii) Pada daerah yang bulan keringnya lebih dari 4 bulan berturut-turut dapat
ditanam pada bulan-bulan basah (musim hujan)
iii)waktu tanam disesuaikan dengan ketersediaan air, selama masa pertumbuhan
4-5 bulan memerlukan air yang cukup
iv) Di tanah tegalan penanaman dilakukan pada awal musim hujan (OktoberNovember) atau akhir musim hujan
v) Di sawah tadah hujan, penanaman dilakukan pada akhir musim hujan (MaretApril) setelah penanaman padi.
Penggunaan populasi jarak tanaman dan jarak tanam yang tepat dapat
memberikan hasil yang maksimal, oleh karenanya pemilihan populasi dan jarak
tanam pada usahatani ubi kayu sedapat mungkin didasarkan pada sistem tanam
monokultur, tingkat kesuburan tanah, dan kemiringan lahan. Sebagai pedoman,

8

populasi dan jarak tanam optimal dalam budidaya ubi kayu disajikan pada tabel 1
berikut.

Tabel 1 Populasi dan jarak tanam optimal ubi kayu
Jarak Tanam (cm)
Populasi (Jumlah / ha)
Monokultur
Tumpangsari
10 000
100 x 100, 125 x 80
200 x 50
8 000
125 x 100
250 x 50
12 500
100 x 80
200 x 40

Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman ubi kayu cukup penting, apabila ingin mendapatkan
produktivitas optimal. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, perlu dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Penyulaman tanaman dilakukan 2-3 minggu setalah tanam
b. Pemberian pupuk pada tanaman ubi kayu mutlak harus diberikan termasuk
pupuk organik ke dalam tanah untuk memperbaiki sifat fisik dan ketersediaan
unsur hara.
c. Setelah 2 minggu setelah tanam, maka stek yang tidak tumbuh atau stek yang
pertumbuhannya kurang baik harus segera dicabut dan diganti dengan stek
yang lain
d. Penyiangan dilakukan pada umur 1-1.5 bulan dan penyiangan kedua tanaman
berumur 3-4 bulan sambil dibumbun
e. Tunas yang tumbuh lebih dari dua buah pada setiap stek agar dibuang pada saat
penyiangan pertama
f. Pengairan dilakukan jika tanaman menunjukkan gejala kekeringan
Panen dan Pascapanen
Hasil yang diharapkan dalam pengembangan ubi kayu sebagai bahan baku
industri tapioka adalah ubi berkadar pati tinggi untuk meningkatkan efisiensi
industri. Oleh karena itu, kriteria yang harus dipenuhi dalam penentuan umur
panen adalah kadar pati optimal. Kadar pati optimal dicapai pada umur yang
bervariasi dan secara umum dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu umur:
(a) tujuh bulan (genjah), (b) sembilan bulan (sedang), dan (c) 10 bulan (dalam).
Kualitas pati tidak berubah walaupun panennya ditunda, sedangkan bobot ubi
meningkat sejalan dengan umur. Dengan demikian umur panen dapat disesuaikan
dengan kebutuhan industri tanpa mengkhawatirkan adanya penurunan kualitas
pati. Kondisi umur panen yang fleksibel tersebut memberikan gambaran adanya
potensi untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri, sehingga potensial
dikembangkan.
Ubi kayu akan rusak atau busuk dalam 2 – 5 hari sesudah panen apabila
tidak mendapat perlakuan pasca panen yang memadai, sehingga perlu segera
diolah secepat mungkin. Proses kerusakan yang cepat ini menyebabkan masalah
dalam pemasaran maupun penggunaan/pemanfaatan ubi kayu serta menghasilkan
susut lebih dari 25%. Susut yang terjadi pada ubi kayu dapat disebabkan oleh
faktor fisik, fisiologis, hama penyakit, atau kombinasi dari faktor – faktor tersebut.

9

Susut fisik dapat terjadi akibat kerusakan mekanis selama pemanenan dan
penanganan, dan akibat perubahan suhu.
Tabel 2 Kegunaan ubi kayu dalam berbagai industria
Bagian
Bentuk
Penggunaan
Keterangan
Tanaman
Produk
pada
Industri
Lanjutan
Umbi
Umbi Segar
Berbagai
Pangan tradisional dan aneka
produk pangan produk pangan olahan
Cassava
Pakan ternak
Sebagai bagian ransum pakan ternak
Chips/Pellets
Alkohol
Digunakan untuk memproduksi
alkohol pada industri minuman
beralkohol dan desinfektan
Gasohol
Digunakan untuk memproduksi
etanol dan dicampur dengan bahan
bakar sebagai sumber energi
terbarukan
Cassava starch Makanan dan
Dalam bentuk asli atau modifikasi
(Tepung
Minuman
seperti mie instan, sagu, saus bumbu
Tapioka)
dan minuman
Bahan pemanis Glukosa dan fruktosa sebagai bahan
pemanis industri minuman
Industri tekstil Membuat kain menjadi cemerlang
dan awet pada produksi benang
Industri kertas Dicampurkan dengan kertas agar
bubur kertas liat dan kental
Industri lem
Untuk memproduksi lem dan
produk campuran lem
Industri kayu
Digunakan dalam bentuk lem dari
lapis/tripleks
tapioka (starch) agar tripleks
berkualitas, tebal, dan awet
Industri obat
Digunakan
sebagai
bahan
pelunak/pencair kapsul dan pil
Monosodium
Untuk memproduksi MSG sebagai
glutamate
bumbu makanan
BioStarch diubah ke dalam bentuk
Degradable
produk sebagai bahan bio
Material
degradable dalam plastik
Products
Daun
Pakan
Sebagai bahan baku pakan yang
dapat meningkatkan protein dan
warna telur
Batang
Bahan bakar
Sebagai sumber bahan bakar
(briket) di wilayah perdesaan
a

Sumber : Suwarto (2005)

10

Susut fisiologis terutama disebabkan oleh air, enzim, dan respirasi. Faktor
hama-penyakit mencakup mikro-organisme (jamur, bakteri, dan virus) serta
serangga, hama, dan lainnya. Susut jumlah lebih mudah diidentifikasi dan
dihitung, akan tetapi susut mutu lebih sulit ditetapkan dan kemungkinan
menghasilkan produk yang tidak dapat digunakan sebagai konsumsi manusia lagi
(Barret dan Damardjati, 1985).
Ubi kayu adalah tanaman dengan banyak kegunaan, terutama bagian umbi
yang merupakan komponen hasil terpenting. Umbi ubi kayu dalam berbagai
bentuk tidak hanya dapat dikonsumsi sebagai bahan pangan, tetapi dapat
digunakan juga sebagai bahan baku agroindustri, pakan ternak, dan lain-lain. Pada
Tabel 2 disampaikan bagian tanaman ubi kayu dan kegunaannya yang dapat
digunakan sebagai bahan sosialisasi. Selain itu, umbi ubi kayu dapat juga dibakar
menjadi arang yang dapat digunakan sebagai sumber energi tanpa asap.

Keragaan Industri Tapioka di Indonesia
Industri Kecil dan Menengah
Simanjuntak (2010) mengatakan bahwa IKM adalah industri yang
memiliki jumlah tenaga kerja yang terbatas2, bukan hanya dalam kuantitas
melainkan juga dalam kualitasnya. Berdasarkan penggolongannya, maka IKM
dapat digolongkan berdasarkan IKM modern dan IKM tradisional. IKM modern
menggunakan teknologi proses madia dan dilibatkan dalam proses produksi
industri besar. Sedangkan IKM tradisional menggunakan teknologi yang
sederhana dan pemasarannya sangat terbatas. Pembagian IKM juga dapat
dilakukan berdasarkan beberapa kriteria lainnya, misalkan dengan
menggolongkannya berdasarkan modal yang dimilikinya.
Definisi yang didapat sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008
tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) :
a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha dengan aset maksimal 50 juta
rupiah dan omzet maksimal 300 juta rupiah.
b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah
atau usaha besar yang memenuhi kriteria. Kriteria Usaha Kecil yaitu memiliki
asset antara 50 juta rupiah sampai 500 juta rupiah dan menghasilkan omzet 300
juta rupiah sampai dengan 2,5 Milliar rupiah.
c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha
besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan
sebagaimana diatur dalam undang-undang. Kriteria Usaha Menengah yaitu

Menurut BPS, Industri kecil adalah industri yang memiliki jumlah tenaga kerja antara 5 – 19 orang dan
industri menengah adalah industri yang memiliki tenaga kerja antara 20 – 100 orang.

2

11

memiliki asset antara 500 juta rupiah sampai 10 Milliar rupiah dan
menghasilkan omzet 2,5 Milliar sampai 50 Milliar rupiah.
Gambaran Umum Tapioka
Ubi kayu merupakan bahan baku berbagai produk industri seperti industri
makanan, farmasi, tekstil dan lain-lain. Industri makanan dari ubi kayu cukup
beragam mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus, keripik, gemblong,
dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih lanjut. Dalam
industri makanan, pengolahan ubi kayu, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu
hasil fermentasi ubi kayu (tape/peuyem), ubi kayu yang dikeringkan (gaplek) dan
tepung singkong atau tepung tapioka.
“Pati” (bahasa Inggris starch) adalah penyusun (utama) tepung. Tepung bisa
jadi tidak murni hanya mengandung pati, karena tercampur dengan protein,
pengawet, dan sebagainya. Tepung beras mengandung pati beras, protein, vitamin,
dan lain-lain bahan yang terkandung pada butir beras. Kata „tepung‟ lebih
berkaitan dengan komoditas ekonomis. Pati digunakan sebagai bahan yang
digunakan untuk memekatkan makanan cair seperti sup dan sebagainya. Dalam
industri, pati dipakai sebagai komponen perekat, campuran kertas dan tekstil, dan
pada industri kosmetik.
Penggunaan tapioka pertama kali diduga berasal dari Amerika Selatan. Kata
tapioka berasal dari bahasa Brasil, tipi’oka, yang berarti makanan dari singkong.
Tapioka baru dikenal di kalangan ibu rumah tangga Indonesia pada tahun 1980an, ketika pemerintah mulai menggalakkan program penganekaragaman pangan.
Tapioka sering diolah menjadi sirop glukosa dan dekstrin yang sangat diperlukan
sebagai bahan baku oleh berbagai industri, antara lain industri kembang gula,
pengalengan buah, pengolahan es krim, minuman, dan industri peragian.
Tabel 3 Kandungan unsur gizi pada ubi kayu dan tepung tapioka/100 g bahana
Kandungan Unsur Gizi
Singkong Putih Singkong Kuning Tepung Tapioka
Kalori (kal)
146.00
157.00
362.00
Protein (g)
1.20
0.80
0.50
Lemak (g)
0.30
0.30
0.30
Karbohidrat (g)
34.70
37.90
86.90
Kalsium (mg)
33.00
33.00
0.00
Fosfor (mg)
40.00
40.00
0.00
Zat Besi (mg)
0.70
0.70
0.00
Vitamin A (SI)
0.00
385.00
0.00
Vitamin B1 (mg)
0.06
0.06
0.00
Vitamin C (mg)
30.00
30.00
0.00
Air (g)
62.50
60.00
12.00
a

Sumber : Direktorat Gizi RI

Selain itu, tapioka juga digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi,
dan bahan pengikat dalam industri pangan, seperti dalam pembuatan puding, sup,
makanan bayi, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain sebagainya.

12

Pada industri pangan dan industri tekstil, tapioka banyak digunakan sebagai bahan
baku pewarna putih alami. Pada Tabel 3 disajikan data mengenai kandungan gizi
tepung tapioka. Karena kandungan gizinya yang tidak berbeda jauh dibandingkan
tepung terigu, tapioka sedang giat digalakkan sebagai bahan pengganti tepung
terigu pada pembuatan kue yang tidak memerlukan pengembangan, seperti pada
pembuatan kue kering.
Gambaran Umum Industri Kecil Tapioka
Industri tapioka di Indonesia terbagi menjadi industri berkapasitas kecil,
menengah dan besar yang beroperasi secara nasional. Industri tapioka skala kecil
adalah industri yang menggunakan teknologi proses dan peralatan tradisional
dengan kemampuan produksi sekitar 5 ton bahan baku per hari. Industri tapioka
skala menengah adalah industri yang menggunakan teknologi proses dan peralatan
yang lebih sederhana dibandingkan industri skala besar serta mempunyai
kemampuan produksi 20 – 200 ton bahan baku per hari. Industri tapioka skala
besar adalah industri yang menggunakan teknologi proses produksi mekanis
penuh dan mempunyai kemampuan produksi di atas 200 ton bahan baku per hari.
Dilihat dari proses pengolahan, industri tapioka digolongkan dalam dua
kelompok. Kelompok pertama industri kecil menggunakan mesin-mesin
sederhana dengan kapasitas produksi rendah, modal kecil dan lebih banyak
menggunakan tenaga kerja, dan kelompok kedua merupakan industri besar yang
menggunakan mesin-mesin dengan kapasitas produksi besar, modal kuat dan
tenaga kerja sedikit. Industri tapioka skala kecil pada penelitian ini merupakan
industri yang menggunakan teknologi tradisional, yaitu industri pengolahan
tapioka yang menggunakan peralatan produksi teknologi mekanik yang sederhana
dan masih mengandalkan sinar matahari dalam tahap pengeringannya.
Tahapan proses produksi industri tapioka skala kecil adalah tahap proses
pengupasan bahan baku, pencucian bahan baku, pemarutan ubi kayu, proses
ekstraksi bubur ubi kayu, proses pengendapan dalam bak pengendapan, proses
penjemuran menggunakan panas matahari, proses penggilingan tapioka kasar dan
pengayakan hingga diperoleh tapioka halus. Skema proses produksi tepung
tapioka pada industri kecil dapat dilihat pada Gambar 2.
Proses Pembuatan Tapioka
Pada industri tepung tapioka, teknologi yang digunakan dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
Tradisional, yaitu industri pengolahan tapioka yang masih mengandalkan sinar
matahari dan produksinya sangat tergantung pada musim.
Semi Modern yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin
pengering (oven) dalam melakukan proses pengeringan.
Full Otomate yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin dari
proses awal sampai produk jadi. Industri tapioka yang menggunakan peralatan
full otomate ini memiliki efisiensi tinggi, karena proses produksi memerlukan
tenaga kerja yang sedikit, waktu lebih pendek dan menghasilkan tapioka
berkualitas.
Pada proses produksi tapioka, selain menghasilkan tepung, pengolahan
tapioka juga menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. limbah
padat seperti kulit ubi kayu dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak dan pupuk,

13

sedangkan onggok (ampas) dapat digunakan sebagai sebagai bahan baku pada
industri pembuatan saus, campuran kerupuk, obat nyamuk dan pakan ternak.

Ubi Kayu

Pengupasan

Air

Pencucian

Sisa kulit

Limbah Cair

Pemarutan

Air

Ekstraksi /
Penyaringan

Ampas

Pengendapan

Limbah Cair

Penjemuran

Tepung Tapioka Kasar

Pengayakan

Penggilingan

Tepung Tapioka Halus
Gambar 2 Skema pembuatan tapioka pada industri skala kecil
Sumber : Supriati (2009)

14

Limbah cair dapat dimanfaatkan untuk pengairan sawah dan ladang, selain
itu limbah cair pengolahan tapioka dapat diolah menjadi minuman nata de
cassava3. Peluang pasar untuk tapioka cukup potensial baik pasar dalam negeri
maupun luar negeri. Permintaan dalam negeri terutama berasal dari wilayah Pulau
Jawa seperti Bogor, Tasikmalaya, Indramayu. Sementara permintaan pasar luar
negeri berasal dari beberapa negara ASEAN dan Eropa.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas
Tepung tapioka sebagai produk awetan singkong merupakan komoditas
ekspor andalan sejak perang dunia II. Namun, kemudian semakin merosot karena
kualitas yang tidak memenuhi persyaratan yang berlaku. Beberapa hal yang
merupakan dasar penentuan kualitas tepung tapioka adalah tingkat (derajat)
keputihan, tingkat kehalusan (mesh), kadar air tersisa, dan kandungan pati
(rendemen) dari bahan baku ubi kayu.
a. Tingkat Keputihan
Tingkat keputihan tapioka dipengaruhi oleh penentuan/pemilihan bahan
baku, proses pembuatan, kualitas air yang digunakan selama proses pembuatan,
tingkat kebersihan proses produksi, volume pencucian tepung basah (sebaiknya
4-6 kali), pengemasan dan penyimpanan (paling baik di tempat kedap udara
dan air), terbebas dari bau tak sedap, dan penggunaan bahan pemutih (Barium
Sulfat konsentrasi 2%)
b. Tingkat Kehalusan (Mesh)
Tepung tapioka yang dibuat secara manual biasanya agak kasar karena
menggunakan ayakan dengan ukuran yang kurang sesuai (80 mesh). Tingkat
kehalusan tepung ditentukan oleh ukuran ayakan dengan satuan ukuran mesh.
Industri kecil biasanya menggunakan ayakan dari kain sifon.
c. Kadar Air Tersisa
Kadar air yang tersisa umumnya berkisar anatara 12 – 15%. Pengeringan
dengan sinar marahari menghasilkan tepung tapioka dengan tingkat kekeringan
rendah daripada pengeringan dengan mesin (oven atau blower). Setelah
pengeringan, kadar air tepung tapioka dapat berubah karena menyerap air dari
udara, tercemar air, maupun embun. Kadar air di atas 15% menyebabkan
tepung tapioka menjadi lembap sehingga cepat rusak (menjadi asam, ditumbuhi
jamur, menggumpal, dan lain-lain).
d. Rendemen Tepung Tapioka
Pada proses pembuatan tepung tapioka dapat dicapai rendemen 25%,
artinya setiap 100 kg ubi kayu dapat dihasilkan tepung tapioka sebanyak 25 kg.
Beberapa hal yang mempengaruhi pencapaian rendemen tersebut adalah umur
kurang dari 9 bulan; mesin/alat parut kurang baik sehingga parutan kurang
halus, proses pemerasan kurang sempurna sehingga tidak seluruh bagian
tepung terekstraksi, dalam proses pemisahan tepung tapioka dengan airnya
banyak tepung yang terbuang, kualitas bahan baku ubi kayu kurang baik atau
banyak bagian yang rusak dan terbuang, dan terlalu lama menunggu waktu
3

Proses Pengolahan Nata De Cassava. 2011. kabar-agro.blogspot.com. [diakses pada 26 Maret
2013]

15

pemarutan sehingga singkong yang sudah dikupas menjadi rusak dan berwarna
kecoklatan dengan noda biru, hijau, dan hitam yang dapat meyebabkan warna
tepung tapioka menajdi tidak putih.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Simpan
Daya simpan produk tepung tapioka dipengaruhi oleh kadar air dan
pengemasan. Kadar air tepung tapioka yang diharapkan adalah 8% karena dalam
kondisi ini tepung tapioka lebih tahan lama dalam penyimpanan. Kadar air tepung
tapioka selama penyimpanan sangat berkaitan dengan pengemasan. Pada
umumnya, tepung tapioka hanya dikemas dalam karung goni berlubang-lubang
kecil yang dapat ditembus dengan mudah oleh mikroba, air, debu, dan kotoran,
serta mudah terpengaruh oleh kelembapan udara sekitarnya. Bahan pengemas
yang digunakan sebaiknya kedap air dan kedap udara seperti kantung plastik dan
tertutup rapat.

Struktur Biaya, Pendapatan, dan Nilai Tambah Industri Kecil Tapioka
Persoalan pokok yang menghambat perkembangan industri berbasis ubi
kayu adalah kesenjangan nilai tambah antara hulu dengan hilir. Petani tidak
mendapatkan insentif yang memadai dari usahatani ubi kayu. Di sisi lain, pasar
dalam negeri masih diisi oleh produk hilir dari luar negeri. Penyelesaian filosofis
adalah bagaimana menekan biaya produksi di hulu dan membentuk nilai tambah
di hilir (Bantacut, 2010). Dengan demikian, petani akan mendapatkan keuntungan
ganda dari penghematan biaya dan “pengembalian” dari nilai tambah.
Purba (2002) menganalisis mengenai pendapatan dan nilai tambah pada
industri kecil tapioka di Desa Ciparigi Kabupaten Bogor. Rendemen tapioka yang
dihasilkan sebesar 22% dan 5% untuk ampas. Penerimaan dari tapioka rata-rata
Rp57 948 000/tahun dan Rp3 733 200/ tahun dari ampas. Sehingga total
penerimaan rata-rata Rp61 681 200/ tahun. R/C pengeluaran total sebesar 1.096,
sedangkan R/C pengeluaran tunai yaitu sebesar 1.26. Industri kecil tapioka
mencapai impas setelah memproduksi 91.64 ton tapioka atau memperoleh
penerimaan sebesar Rp13 718 537. Industri tapioka mampu memberikan nilai
tambah sebesar Rp98 753 per kg ubi kayu, sedangkan rasio nilai tambah yaitu
sebesar 24.15%. Proporsi terbesar dari nilai tambah adalah untuk pendapatan
tenaga kerja. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu analisis pendapatan dihitung
tidak berdasarkan biaya tunai dan biaya diperhitungkan, melainkan biaya tetap
dan biaya variabel.
Pohan (2011) melakukan penelitian mengenai pendapatan usahatani,
pemasaran, dan nilai tambah terhadap ubi kayu di Desa Cikeas, Kabupaten Bogor.
Pendapatan atas biaya tunai pada petani pemilik di Desa Cikeas MT 2009/2010
adalah sebesar Rp 12.932.506 per hektar dan pendapatan atas biaya total adalah
Rp 6.301.356 per hektar, sedangkan pendapatan atas biaya tunai pada petani
penggarap adalah sebesar Rp3.786.722 per hektar dan pendapatan atas biaya total
adalah Rp 1.572.095 per hektar. Nilai R-C rasio atas biaya tunai untuk petani
pemilik adalah 3,81 dan R-C rasio atas biaya total adalah 1,56, sedangkan untuk
petani penggarap R-C rasio atas biaya tunai adalah 1,45 dan R-C rasio atas biaya
total adalah 1,15. Hal tersebut menunjukkan usahatani yang dilakukan oleh petani

16

pemilik dan penggarap sama-sama menguntungkan dan efisien. Rata-rata nilai
tambah ubi kayu per proses produksi tapioka adalah sebesar Rp359,- per kilogram
bahan baku ubi kayu. Proporsi terbesar dari nilai tambah sebesar 54.25% berasal
dari keuntungan produksi.
Sukandar (2000) menganalisis mengenai nilai tambah industri pengolahan
ubi kayu dengan membandingkan dua metode analisis. Kajian nilai tambah
dilakukan terhadap tiga produk utama olahan ubi kayu di Kabupaten Bondowoso,
yaitu tape, dodol, dan suwar-suwir. Berdasarkan perbandingan analisis nilai
tambah metode M. Dawam Rahardjo dengan metode Hayami didapatkan hasil
bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada hasil nilai tambah dengan
menggunakan kedua metode tersebut. Secara keseluruhan industri pengolahan ubi
kayu di Kecamatan Bondowoso mampu memberikan keuntungan bagi pengusaha.
Adanya tren peningkatan rata-rata nilai tambah menunjukkan nilai yang
cenderung meningkat yang akan berimplikasi pada kemampuan pengusaha untuk
menciptakan iklim usaha yang positif.
Larasati (1986) melakukan penelitian mengenai analisis finansial industri
tapioka di Desa Bojong, Kabupaten Sukabumi. Hasil identifikasi biaya dan
analisis harga pokok menunjukkan bahwa komponen biaya terbesar pembentuk
harga pokok tapioka halus dan tapioka kasar adalah biaya bahan baku, kemudian
diikuti oleh biaya overhead dan upah tenaga kerja langsung. Dari hasil
penghitungan ternyata dari harga pokok yang ditentukan, perusahaan
mendapatkan laba rata-rata sebesar 9.22% untuk tapioka kasar dan 11.94% untuk
tapioka halus. Pada saat penelitian dilakukan, tingkat produksi perusahaan 3 kali
lipat di atas break-evennya, sehingga meskipun perusahaan bekerja di bawah
kapasitas normal dan penggunaan bahan bakunya belum efisien, perusahaan
masih tetap mendapatkan keuntungan.
Rochaeni et al. (2007) mengkaji mengenai prospek pengembangan industri
kecil tapioka di Sukaraja Kabupaten Bogor. Dalam kajian pembahasan dilakukan
pembagian skala menjadi tiga, yaitu skala tinggi (5000 k