Keefektifan Campuran Ekstrak Tumbuhan untuk Pengendalian Hama Kutu Putih Pepaya Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink

KEEFEKTIFAN CAMPURAN EKSTRAK TUMBUHAN
UNTUK PENGENDALIAN HAMA KUTU PUTIH
PEPAYA Paracoccus marginatus Williams and
Granara de Willink (HEMIPTERA:
PSEUDOCOCCIDAE)

TRIJANTI A. WIDINNI ASNAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keefektifan Campuran
Ekstrak Tumbuhan untuk Pengendalian Hama Kutu Putih Pepaya Paracoccus
marginatus Williams and Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Trijanti A. Widinni Asnan
A351130286

RINGKASAN

TRIJANTI A. WIDINNI ASNAN. Keefektifan Campuran Ekstrak Tumbuhan
untuk Pengendalian Hama Kutu Putih Pepaya Paracoccus marginatus Williams
and Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae). Dibimbing oleh DADANG
dan NINA MARYANA.
Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink (Hemiptera:
Pseudococcidae) yang dikenal sebagai kutu putih pepaya merupakan serangga
hama baru di Indonesia yang bersifat polifag. Serangan berat kutu putih pepaya
dapat mengakibatkan kematian tanaman. Tubuh serangga ini ditutupi oleh lilin,
sehingga dapat mengurangi keefektifan aplikasi insektisida, akibatnya aplikasi
insektisida dilakukan berulang-ulang yang kadang-kadang dengan dosis yang

lebih tinggi dari dosis rekomendasi. Untuk itu diperlukan upaya pengendalian
yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan aman baik terhadap kesehatan manusia
maupun organisme non sasaran.
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari keefektifan campuran tiga jenis
ekstrak tanaman sebagai insektisida nabati baik pada aplikasi tunggal maupun dua
campuran ekstrak terhadap P. marginatus pada tanaman pepaya (Carica papaya
L.), mengevaluasi keefektifan penggunaan formulasi insektisida pada skala
semilapangan dan lapangan, dan mengevaluasi keamanan formulasi terhadap
musuh alami. Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap yaitu pemeliharaan dan
perbanyakan serangga uji dan tanaman, ekstraksi, uji campuran ekstrak, uji
stabilitas dan pH, uji persistensi formulasi, uji daya simpan formulasi, dan uji
lapangan. Campuran ekstrak Tephrosia vogelii dan Annona squamosa (VS), T.
vogelii dan Piper retrofractum (VR), dan A. squamosa dan P. retrofractum (SR)
menunjukkan paling efektif pada nisbah konsentrasi 2:1 berdasarkan analisis
toksisitas dan sifat interaksi campurannya.
Nilai LC95 campuran VS, VR, dan SR pada nisbah konsentrasi 2:1
berturut-turut 1.51, 1.35, dan 1.54 kali lebih rendah dibandingkan dengan nisbah
konsentrasi 1:2 dan 1.49, 2.05, dan 3.14 kali lebih rendah dibandingkan dengan
nisbah konsentrasi 1:1 masing-masing campuran ekstrak. Formulasi A. squamosa
dan P. retrofractum yang ditambahkan adjuvant Tween dan Agristik memiliki

kestabilan yang paling baik, karena tidak terbentuk endapan pada larutan
formulasi. Aplikasi sabun 0.2% sebelum aplikasi insektisida dapat meningkatkan
keefektifan insektisida dibandingkan ketika aplikasi dilakukan bersamaan dengan
sabun atau tanpa sabun. Formulasi insektisida yang disimpan di dalam botol
coklat (gelap) serta dihindarkan dari paparan sinar matahari langsung akan
memperlama masa keefektifan. Keefektifan formulasi yang diuji tidak berbeda
nyata setelah penyimpanan selama 4 minggu baik pada suhu kamar maupun suhu
rendah. Insektisida nabati mampu menekan populasi kutu putih di lapangan
hingga 100% dan cukup aman terhadap tanaman serta musuh alami P. marginatus
pada konsentrasi 0.5%.
Kata kunci: Annona squamosa, formulasi, pepaya, Piper retrofractum, sabun,
Tephrosia vogelii.

SUMMARY
TRIJANTI A. WIDINNI ASNAN. Effectiveness of Plant Extract Mixture for
Controlling Papaya Mealybug Paracoccus marginatus Williams and Granara de
Willink (Hemiptera: Pseudococcidae). Supervised by DADANG and NINA
MARYANA.
Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink (Hemiptera:
Pseudococcidae), known as the papaya mealybug is a new polyphagous insect

pest in Indonesia. The heavy attack of papaya mealybug causes death of the plant.
Due to any wax layer covering the insect body, repeated insecticide applications
are needed. Moreover, the insecticide application is sometime by using higher
doses than recommended dose. Therefore, it is important to search for other
strategies to control this insect which are more efficient, environmental friendlier,
and safe to human and non-target organisms.
The aims of this study were to determine the effectiveness of plant extract
mixture and soap against P. marginatus, to evaluate the effectiveness of
insecticide formulation at field test, and to study formulation safety to natural
enemy. The study was conducted in several stages; insect rearing, extraction, plant
extract mixture test, formulation stability and pH tests, persistency and shelf life
of formulation tests, and field test. Extract mixtures of Tephrosia vogelii and
Annona squamosa (VS), T. vogelii and Piper retrofractum (VR), and A. squamosa
and P. retrofractum (SR) were the most effective at a concentration ratio of 2:1
based on the toxicity and the mixture interaction properties.
Based on LC95 values at 72 hours after treatment (HAT), VS, VR, and SR
extract mixtures (2:1; w/w) were about 1.51, 1.35, and 1.54 times, respectively,
more toxic to P. marginatus than extract mixture 1:2 (w/w) and 1.49, 2.05, and
3.14 times, respectively, more toxic than extract mixture 1:1 (w/w). The
formulations of SR and Tween (SRT) and SR and Agristick (SRA) showed a good

stability, because no accurence of precipitation in the solution formulation.
Application of botanical insecticides after application of soap 0.2% showed better
effectiveness than application of botanical insecticides that sprayed with or
without soap. In order to keep the effectiveness of formulation, the insecticide
formulation should be better stored in dark bottles and kept away from direct
sunlight exposure. The effectiveness of the formulations tested are still high after
storage for 4 weeks at room temperature and low temperature. Botanical
insecticides can suppress papaya mealybug populations in the field up to 100%
and is safe to plants and natural enemies of P. marginatus at a concentration of
0.5%.
Keywords: Annona squamosa, formulation, papaya, Piper retrofractum, soap,
Tephrosia vogelii.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KEEFEKTIFAN CAMPURAN EKSTRAK TUMBUHAN
UNTUK PENGENDALIAN HAMA KUTU PUTIH
PEPAYA Paracoccus marginatus Williams and
Granara de Willink (HEMIPTERA:
PSEUDOCOCCIDAE)

TRIJANTI A. WIDINNI ASNAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si.

Judul Tesis

: Keefektifan Campuran Ekstrak Tumbuhan untuk
Pengendalian Hama Kutu Putih Pepaya
Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink
(Hemiptera: Pseudococcidae)
Nama Mahasiswa : Trijanti A. Widinni Asnan
NRP
: A351130286

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc.
Ketua


Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si.
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Entomologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian: 11 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Entomologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berjudul
“Keefektifan Campuran Ekstrak Tumbuhan untuk Pengendalian Hama Kutu Putih
Pepaya Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink (Hemiptera:
Pseudococcidae)” ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi
Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor pada bulan Mei 2013 hingga Mei 2014.
Tentu bukan waktu yang singkat dan pekerjaan yang mudah bagi penulis
untuk dapat menyelesaikan penelitian ini, untuk itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada Ayahanda Asnan, Ibunda Sunarsih, serta keluarga besar penulis
yang telah mendoakan dan memberikan dukungan yang luar biasa kepada penulis.
Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc. dan Dr. Ir.
Nina Maryana, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan
masukan, motivasi, arahan, dan bimbingan, serta kepada Dr. Ir. Pudjianto M.Si.
selaku dosen pembimbing akademik yang banyak memberikan motivasi dan
bimbingan dan seluruh civitas akademik Program Studi Entomologi, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor yang membantu dan memberikan
semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis

ini. Namun, penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.

Bogor, Agustus 2014
Trijanti A. Widinni Asnan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Paracoccus marginatus
Sabun
Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Tanaman
Potensi Campuran Insektisida Nabati

Stabilitas dan Persistensi Formulasi Insektisida Nabati
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Metode
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Campuran Ekstrak
Uji Stabilitas dan pH
Uji Kombinasi Sabun dan Formulasi Insektisida Nabati
Uji Persistensi
Uji Daya Simpan Formulasi
Uji Lapangan
Pembahasan Umum
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
ivii
01
01
03
04
04
5
5
6
7
9
9
11
11
11
11
14
15
15
20
21
22
25
26
29
35
35
35
36
42
54

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Penduga parameter toksisitas tiga jenis ekstrak terhadap P. marginatus
Penduga parameter toksisitas ekstrak campuran terhadap mortalitas P.
marginatus pada 72 jam setelah pengamatan (JSP)
Persamaan garis regresi perlakuan campuran pada 72 jam setelah
perlakuan (JSP)
Sifat aktivitas campuran ekstrak terhadap mortalitas imago P.
marginatus pada 72 jam setelah perlakuan (JSP)
Mortalitas P. marginatus akibat perlakuan ekstrak campuran dengan
sabun
Rata-rata mortalitas P. marginatus pada perlakuan daya simpan
formulasi pada suhu rendah dan kamar
Persentase pupa Acerophagus papayae yang gagal
berkembang menjadi imago akibat perlakuan insektisida
nabati dan sintetik

12
18
19
20
22
26

29

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

10

11

12

13

Imago betina Paracoccus marginatus
Gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh P. marginatus
Perkembangan mortalitas P. marginatus akibat perlakuan campuran
ekstrak T. vogelii dan A. squamosa
Perkembangan mortalitas P. marginatus akibat perlakuan campuran
ekstrak T. vogelii dan P. retrofractum
Perkembangan mortalitas P. marginatus akibat perlakuan campuran
ekstrak A. squamosa dan P. retrofractum
Formulasi insektisida nabati yang membentuk endapan dan tidak
membentuk endapan
Pembentukan endapan pada formulasi
Mortalitas P. marginatus pada perlakuan formulasi insektisida nabati
dan sintetik dengan sabun pada 72 JSP
Penurunan mortalitas P. marginatus pada perlakuan persistensi
formulasi ekstrak dan insektisida deltametrin pada botol bening tanpa
penambahan PABA
Penurunan mortalitas P. marginatus pada perlakuan persistensi
formulasi ekstrak dan insektisida deltametrin pada botol bening
dengan penambahan PABA
Penurunan mortalitas P. marginatus pada perlakuan persistensi
formulasi ekstrak dan insektisida deltametrin pada botol coklat tanpa
penambahan PABA
Penurunan mortalitas P. marginatus pada perlakuan persistensi
formulasi ekstrak dan insektisida deltametrin pada botol coklat dengan
penambahan PABA
Mortalitas P. marginatus akibat perlakuan formulasi insektisida nabati
dan insektisida deltametrin di lapangan pada intensitas penyemprotan
1 kali 1 minggu

05
06
15
16
17
20
21
21

23

24

24

25

27

vii
14 Mortalitas P. marginatus akibat perlakuan formulasi insektisida nabati
dan insektisida deltametrin di lapangan pada intensitas penyemprotan
2 kali 1 minggu
15 Gelaja fitotoksik pada daun perlakuan
16 Gejala kematian P. marginatus
17 Imago parasitoid Acerophagus papayae

27
27
28
28

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

11

12

13

14

15

16

Mortalitas P. marginatus yang diberi perlakuan campuran ekstrak T.
vogelii dan A. squamosa pada beberapa konsentrasi
Penduga parameter toksisitas campuran ekstrak T. vogelii dan A.
squamosa terhadap mortalitas imago P. marginatus
Sifat aktivitas campuran ekstrak T. vogelii dan A. squamosa terhadap
mortalitas imago P. marginatus
Mortalitas P. marginatus yang diberi perlakuan campuran ekstrak T.
vogelii dan P. retrofractum pada beberapa konsentrasi
Penduga parameter toksisitas campuran ekstrak T. vogelii dan P.
retrofractum terhadap mortalitas imago P. marginatus
Sifat aktivitas campuran ekstrak T. vogelii dan P. retrofractum
terhadap mortalitas imago P. marginatus
Mortalitas P. marginatus yang diberi perlakuan campuran ekstrak A.
squamosa dan P. retrofractum pada beberapa konsentrasi
Penduga parameter toksisitas campuran ekstrak A. squamosa dan P.
retrofractum terhadap mortalitas imago P. marginatus
Sifat aktivitas campuran ekstrak A. squamosa dan P. retrofractum
terhadap mortalitas imago P. marginatus
Mortalitas P. marginatus pada perlakuan persistensi formulasi
insektisida nabati dan sintetik yang disimpan pada botol bening tanpa
penambahan PABA
Mortalitas P. marginatus pada perlakuan persistensi formulasi
insektisida nabati dan sintetik yang disimpan pada botol bening
dengan penambahan PABA
Mortalitas P. marginatus pada perlakuan persistensi formulasi
insektisida nabati dan sintetik yang disimpan pada botol coklat tanpa
penambahan PABA
Mortalitas P. marginatus pada perlakuan persistensi formulasi
insektisida nabati dan sintetik yang disimpan pada botol coklat dengan
penambahan PABA
Jumlah kutu putih di lapangan sebelum dan sesudah perlakuan
insektisida nabati dan sintetik dengan intensitas penyemprotan 2 kali
dalam 1 minggu
Persentase kematian P. marginatus akibat aplikasi insekstisida nabati
dan sintetik dengan intensitas penyemprotan 2 kali dalam 1 minggu di
lapangan
Jumlah kutu putih di lapangan sebelum dan sesudah perlakuan
insektisida nabati dan sintetik dengan intensitas penyemprotan 1 kali
dalam 1 minggu

43
44
44
45
46
46
47
48
48

49

49

49

50

51

52

53

viii

17 Persentase kematian P. marginatus akibat aplikasi insekstisida nabati
dan sintetik dengan intensitas penyemprotan 1 kali dalam 1 minggu di
lapangan
53

49

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink (Hemiptera:
Pseudococcidae) merupakan salah satu spesies kutu putih yang berperan sebagai
serangga hama pada berbagai tanaman di Indonesia. Serangga ini pertama kali
ditemukan di Indonesia yaitu di wilayah Bogor pada tahun 2008 (Sartiami et al.
2009). Salah satu komoditas yang banyak mendapatkan serangan hama kutu putih
ini adalah tanaman pepaya (Carica papaya L.), sehingga P. marginatus lebih
dikenal sebagai kutu putih pepaya. Kutu putih pepaya bersifat sebagai serangga
polifag, karena kutu putih pepaya di Indonesia dapat menyerang spesies tanaman
yang berasal dari famili Caricaceae, Fabaceae, Euphorbiaceae, Araceae,
Cucurbitaceae, Malvaceae, Convolvulaceae, Myrtaceae, Rubiaceae, dan
Apocynaceae (Sartiami et al. 2009).
Populasi kutu putih pepaya apabila tidak dikendalikan dapat menyebabkan
penurunan hasil panen pepaya hingga 58% atau peningkatan biaya produksi
sebesar 84%. Peningkatan biaya produksi terjadi karena meningkatnya
penggunaan pestisida untuk mengendalikan populasi kutu putih pepaya
(Ivakdalam 2010). Menurut Rizwan (2011), 25% petani responden yang
dilibatkan dalam penelitian menyatakan bahwa serangan kutu putih dapat
mengakibatkan penurunan hasil panen antara 20% - 50%. Bahkan, serangan berat
kutu putih pepaya dapat mengakibatkan kematian pada tanaman. Berbagai potensi
yang dimiliki oleh kutu putih pepaya yaitu mampu menyebar dengan cepat,
bersifat polifag dengan inang yang cukup banyak, dan daya merusak yang tinggi
dapat menyebabkan kematian tanaman. Hal ini yang menyebabkan tindakan
pengendalian sangat perlu dilakukan untuk mengurangi kerusakan yang
ditimbulkannya
Petani di Indonesia umumnya mengendalikan P. marginatus menggunakan
insektsida sintetik, meskipun sebenarnya belum ada jenis insektisida yang
terdaftar di Indonesia untuk hama tersebut. Di luar negeri terdapat beberapa jenis
bahan aktif yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama ini di antaranya
karbaril, klorpirifos, diazinon, dimetoat, dan malation. Namun hasil pengendalian
menunjukkan kurang efektif dan penggunaan bahan tidak efisien karena aplikasi
harus dilakukan berulang-ulang yang kadang kala dilakukan dengan dosis yang
dua kali lebih tinggi dari dosis yang direkomendasikan (Walker et al. 2003). Hal
ini diduga terjadi karena P. marginatus termasuk jenis kutu-kutuan yang seluruh
tubuhnya diselimuti oleh lapisan lilin berwarna putih, sehingga cairan insektisida
yang diaplikasikan terhalang dan tidak langsung mengenai tubuh P. marginatus.
Secara umum kutu putih sulit untuk dikendalikan secara kimiawi, karena adanya
lapisan lilin tebal yang diseksresikan hingga menutupi tubuhnya. Imago kutu
putih lebih sulit untuk dikendalikan dibandingkan dengan nimfa kutu putih dan
pengulangan aplikasi insektisida sintetik akan sangat diperlukan untuk menekan
keberadaan kutu putih (Townsend et al. 2000 dalam Amarasekare 2008).
Aplikasi insektisida sintetik yang dilakukan berulang-ulang dan dengan
dosis yang lebih tinggi, merupakan salah satu contoh aplikasi insektisida yang
kurang bijaksana. Aplikasi insektisida sintetik yang tidak bijaksana dapat
menimbulkan dampak negatif seperti resistensi hama, resurjensi hama,

2
pencemaran lingkungan, terbunuhnya musuh alami hama, dan organisme berguna
lainnya (Metcalf 1986; Untung 1996).
Penggunaan insektisida sintetik dalam mengendalikan kutu putih pepaya
juga dapat menjadi penghambat bagi buah pepaya untuk mencapai pasar ekspor.
Seperti diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara anggota World Trade
Organization (WTO). Salah satu kebijakan yang berkembang dalam kegiatan
ekspor-impor produk pertanian saat ini adalah kebijakan hambatan non tarif bagi
komoditas ekspor di antaranya kesepakatan Sanitary and Phytosanitary (SPS).
Kesepakatan SPS ini memperkenalkan perlunya anggota WTO untuk tidak hanya
melindungi dari resiko yang disebabkan oleh masuknya organisme pengganggu
tanaman (OPT) tetapi juga meminimalkan efek negatif dari ketentuan SPS
terhadap perdagangan. Ketentuan mengenai hal tersebut biasanya dalam bentuk
persyaratan karantina atau keamanan pangan (DAFF 2013).
Pola hidup sehat yang akrab dengan lingkungan juga saat ini telah menjadi
sebuah trend baru dan telah melembaga secara international. Sehingga saat ini,
setiap produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes),
memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (nutritional attributes), dan ramah
lingkungan (eco-labelling attributes) (Mayrowani 2012). Hal-hal tersebut
mendorong pada peningkatan permintaan produk organik baik secara nasional
maupun pasar internasional. Permintaan pangan organik meningkat di seluruh
dunia dan jika Indonesia bisa memenuhi kebutuhan ini dan meningkatkan ekspor
produk organik, maka akan meningkatkan daya saing usaha agribisnis (pertanian)
di Indonesia dan meningkatkan devisa serta pendapatan rumah tangga tani
(Damardjati 2005 dalam Mayrowani 2012).
Pertanian organik merupakan salah satu sistem pertanian yang ramah
lingkungan dengan menggunakan bahan organik dan mengusahakan
keseimbangan alam antara tanah, hewan, dan mikroorganisme (Harjadi 1989).
Untuk itu diperlukan upaya pengendalian lain yang dapat dilakukan untuk
mengurangi penggunaan insektisida sintetik dan relevan untuk menghasilkan
produk pangan organik. Salah satu alternatif pengendalian tersebut adalah dengan
memanfaatkan tumbuhan sebagai insektisida nabati. Insektisida nabati secara
umum diartikan sebagai suatu pestisida yang berbahan dasar tumbuhan.
Insektisida nabati ini relatif mudah dibuat dengan pengetahuan dan kemampuan
yang tebatas. Selain itu insektisida nabati juga memiliki sifat yang mudah terurai
di alam dan relatif aman bagi manusia dan hewan karena berasal dari bahan-bahan
yang bersifat alami, serta bersifat hit and run, yaitu residu pada tanaman akan
cepat menghilang setelah hama terbunuh, sehingga tanaman menjadi aman untuk
dikonsumsi (Kardinan 2002).
Penggunaan insektisida nabati juga dapat dipadukan dengan teknik
pengendalian lain seperti pengendalian hayati, cara bercocok tanam, dan
penggunaan varietas tahan. Sistem budidaya dengan teknik pengendalian tersebut
sesuai dengan Undang-undang tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
pasal 20 yang menyatakan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan
sistem pengendalian hama terpadu (PHT). Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor
6 Tahun 1995 menyatakan bahwa PHT ditetapkan sebagai dasar praktik
pengendalian hama di Indonesia dan di dalam PHT, insektisida yang digunakan
adalah yang tidak atau sedikit menimbulkan dampak negatif bagi organisme
bukan sasaran dan lingkungan.

3
Untuk itu insektisida nabati sangat baik dipilih sebagai alternatif
pengendalian sehingga pengguna tidak hanya bergantung kepada insektisida
sintetik. Selain itu, informasi-informasi mengenai pengembangan insektisida
nabati sangat diperlukan bagi para petani yang mengusahakan budidaya pertanian
organik, dimana insektisida sintetik tidak dapat digunakan untuk mengendalikan
OPT dan insektisida nabati memiliki peran yang penting sebagai pengganti
insektisida sintetik tersebut.
Aplikasi insektisida dengan bahan aktif imidakloprid secara tunggal dapat
menurunkan populasi hama kutu putih pepaya hingga 40% setelah empat kali
aplikasi, sedangkan aplikasi yang dikombinasikan dengan air sabun mampu
menekan populasi hama kutu putih pepaya hingga 60% (Sartiami et al. 2009) dan
sabun cair dengan konsentrasi 0.2% merupakan jenis sabun yang paling baik yang
dapat digunakan untuk meluruhkan lapisan lilin kutu putih pepaya, sehingga
penambahan sabun dalam aplikasi insektisida dapat meningkatkan keefektifan
insektisida terhadap kutu putih (Asnan 2013).
Insektisida nabati yang diketahui dapat digunakan untuk mematikan kutu
putih pepaya di laboratorium adalah ekstrak tumbuhan Piper retrofractum,
Annona squamosa, dan Tephrosia vogelii dengan nilai LC50 berturut-turut
0.007%, 0.042%, dan 0.02% (Asnan 2013). Keefektifan ketiga ekstrak tumbuhan
tersebut meningkat ketika dikombinasikan dengan sabun cair 0.2%. Namun
campuran antara ketiga ekstrak tersebut belum diketahui keefektifannya terhadap
kutu putih pepaya baik di laboratorium maupun di lapangan. Campuran ekstrak
metanol T. vogelii dan P. retrofractum pada konsentrasi 0.5% dengan aplikasi
menggunakan metode celup daun dapat mengakibatkan kematian larva
Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Crambidae) sebesar 100% (Saryanah
2008).
Ada kemungkinan bahwa kombinasi antara ekstrak P. retrofractum, A.
squamosa, dan T.vogelii dapat memberikan dampak yang positif terhadap
keefektifan ekstrak dalam mengendalikan P. marginatus. Sebagai suatu alternatif
pengendalian, maka insektisida nabati ini seharusnya akan dapat digunakan secara
luas oleh petani di lapangan. Terdapat perbedaan antara kondisi di lapangan dan
laboratorium. Faktor abiotik dan biotik yang berada di lapangan tidak bisa
dikendalikan, sehingga dibutuhkan evaluasi terhadap keefektifan formulasi
insektisida tersebut di lapangan sebelum dilepaskan secara luas kepada petani.
Setelah tersedianya formulasi, berbagai pertimbangan keamanan insektisida nabati
tetap harus diuji. Meskipun insektisida nabati mudah terurai di alam, namun
keberadaannya mungkin akan mempengaruhi organisme non sasaran lainnya,
sehingga perlu dilakukan pengamatan terhadap organisme non sasaran saat
dilakukan evaluasi insektisida nabati di lapangan (Syahputra 2004).
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
a. Mempelajari keefektifan campuran tiga jenis ekstrak tanaman sebagai
insektisida nabati baik pada aplikasi tunggal maupun dua campuran ekstrak
terhadap P. marginatus pada tanaman pepaya.
b. Mengevaluasi keefektifan penggunaan formulasi insektisida pada skala
semilapang dan lapangan.
c. Mengevaluasi keamanan formulasi terhadap musuh alami

4
Hipotesis Penelitian
Kombinasi ekstrak P. retrofractum, A. squamosa, dan T. vogelii yang
diaplikasikan setelah sabun cukup efektif digunakan dalam pengendalian P.
marginatus di lapangan.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Dapat memberikan informasi mengenai pengendalian P. marginatus dengan
menggunakan kombinasi peluruh lapisan lilin dan insektisida.
b. Memberikan rekomendasi pengendalian P. marginatus di lapangan yang
aman terhadap musuh alami maupun organisme non sasaran lainnya.

49

TINJAUAN PUSTAKA

Paracoccus marginatus
Persebaran
Paracoccus marginatus atau dikenal dengan sebutan kutu putih pepaya
merupakan serangga asli Meksiko atau Amerika Tengah. Pada tahun 1992, kutu
putih ini dilaporkan berada di wilayah neotropical di Belize, Costa Rica,
Guatemala, dan Meksiko (Williams & Granara de Willink 1992) dan pada tahun
1994 pertama kali dilaporkan berada di Kepulauan Karibia, kemudian ditemukan
di Florida pada tahun 1998 (Miller & Miller 2002). Di wilayah Asia Tenggara,
serangan kutu putih ini pertama kali dilaporkan berada di tanaman pepaya di
Kebun Raya Bogor dan pada bulan Juli 2008 tim Integrated Pest Management
Collaborative Research Support Program (IPM CRSP) menemukan kutu putih ini
di Coimbatore, India (Muniappan 2009). Kutu putih dapat menyebar dari satu
tempat ke tempat lain melalui bantuan angin, menempel pada burung atau hewan
lainnya, dan terbawa pakaian atau bahan tanaman yang diperdagangkan.
Bioekologi
P. marginatus termasuk jenis kutu-kutuan yang seluruh tubuhnya diselimuti
oleh lapisan lilin berwarna putih. Tubuh berbentuk oval dengan embelan seperti
rambut-rambut berwarna putih dengan ukuran yang pendek. P. marginatus terdiri
dari jantan dan betina, dan memiliki beberapa fase perkembangan yaitu fase telur,
pradewasa (nimfa), dan imago. Telur P. marginatus berbentuk bulat berwarna
kuning kehijauan dan ditutupi oleh massa seperti kapas dan akan menetas dalam
waktu 10 hari setelah diletakkan. Perkembangbiakan serangga ini bersifat seksual
dengan rata-rata siklus hidup untuk satu generasi kutu putih adalah 25 hari dan
kutu putih dapat melakukan reproduksi hingga sepanjang tahun (Walker et al.
2003). Imago betina memiliki permukaan tubuh yang dilapisi oleh lilin putih tipis,
memiliki rangkaian filamen lilin di sekitar tepi tubuh bagian posterior yang
berukuran ¼ kali panjang tubuhnya dan tidak memiliki sayap (Gambar 1) (Miller
& Miller 2002).

Gambar 1 Imago betina Paracoccus marginatus (Sumber: Walker et al. 2003)

6
Koloni P. marginatus ini biasa ditemukan berada di bagian bawah
permukaan daun dan sekitar tulang daun, namun dalam serangan yang berat dapat
menyebar hingga ke bagian batang dan buah. Kutu putih ini mengisap cairan
tanaman yang terdapat di sekitar pembuluh floem.
Gejala Kerusakan
Kutu putih pepaya mengisap cairan tumbuhan dengan memasukkan stilet ke
dalam jaringan epidermis daun, buah, maupun batang. Pada waktu bersamaan
kutu putih mengeluarkan racun ke dalam daun, sehingga mengakibatkan klorosis,
kerdil, malformasi daun(Gambar 2a), daun mengerut dan menggulung, daun muda
dan buah rontok, hingga menyebabkan kematian tanaman. Kutu putih juga banyak
menghasilkan embun madu yang dapat berasosiasi dengan cendawan jelaga
(Walker et al. 2003). Pada tanaman yang sudah dewasa, gejala yang muncul
adalah daun menguning dan lama kelamaan daun akan gugur. Serangan pada buah
yang belum matang menyebabkan bentuk buah tidak sempurna. Serangan yang
berat dapat menutupi permukaan buah hingga terlihat putih akibat tertutupi koloni
kutu putih tersebut (Gambar 2b) (Pantoja et al. 2006).

Gambar 2 Gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh P. marginatus. (a) malformasi
daun, (b) serangan pada buah, (Sumber: Walker et al. 2003).
Sabun
Sabun merupakan bahan yang digunakan untuk mencuci dan mengemulsi
yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu asam lemak dengan rantai karbon
C16 dan sodium atau potasium (Ophardt 2003). Terdapat dua jenis sediaan sabun
yang dikenal yaitu sabun keras yang dibuat dengan NaOH dan sabun lunak yang
dibuat dengan KOH. Proses pembuatan sabun sendiri terdiri dari dua cara yaitu
saponifikasi dan netralisasi. Saponifikasi melibatkan hidrolisis ikatan ester
gliserida yang menghasilkan pembebasan lemak dalam bentuk garam dan gliserol.
Garam dari lemak berantai panjang tersebut adalah sabun (Stephen 2004). Proses
netralisasi pada pembuatan sabun bertujuan untuk memisahkan lemak bebas dari
minyak atau lemak dengan mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau
pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (Ketaren 2008).
Sabun dikelompokkan menjadi tiga kelompok, pertama adalah sabun yang
diproduksi dengan menggunakan bahan baku dari minyak atau lemak terbaik dan
mengandung alkali bebas yang biasa digunakan untuk sabun mandi. Kelompok
kedua merupakan sabun yang dibuat dengan menggunakan bahan baku yang

7
berasal dari minyak atau lemak dengan kualitas rendah dan mengandung sedikit
alkali, namun tidak menyebabkan iritasi pada kulit, kelompok sabun ini biasa
digunakan untuk mencuci pakaian dan piring. Kelompok ketiga adalah sabun
yang dibuat dengan minyak atau lemak yang berwarna gelap (kualitas rendah) dan
mengandung alkali relatif tinggi (Ophardt 2003).
Minyak, lemak, dan keringat merupakan zat-zat yang tidak dapat larut
dalam air karena sifatnya yang non polar. Salah satu sifat yang dimiliki sabun
adalah sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan adanya proses kimia koloid,
sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan untuk mencuci kotoran yang
bersifat polar maupun non polar. Molekul sabun mempunyai rantai hidrogen
CH3(CH2)16 yang bertindak sebagai ekor yang bersifat hidrofobik (tidak suka air)
dan larut dalam zat organik, sedangkan ikatan COONa+ pada sabun yang
bertindak sebagai kepala bersifat hidrofilik (suka air) dan larut dalam air (Naomi
et al. 2013).
Sabun keras yang dibuat dengan NaOH dan sabun lunak yang dibuat
dengan KOH mampu meluruhkan lapisan lilin dengan tingkat peluruhan yang
berbeda-beda. Namun, secara umum sabun keras jauh lebih baik digunakan untuk
meluruhkan lapisan lilin P. marginatus dibandingkan dengan sabun lunak. Sabun
keras yang cukup baik digunakan untuk meluruhkan lapisan lilin P. marginatus
adalah sabun cuci piring cair dengan tingkat peluruhan sebesar 85% pada
konsentrasi 0.2% (Asnan 2013).
Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Tanaman
Insektisida nabati adalah insektisida yang berbahan aktif senyawa metabolit
sekunder tumbuhan. Suatu insektisida nabati mampu memberikan satu atau lebih
aktivitas biologi baik pengaruh pada aspek fisiologi maupun tingkah laku hama
tanaman. Pengaruh yang diberikan misalnya berupa penghambatan aktivitas
makan dan peneluran, pengatur pertumbuhan dan perkembangan serangga,
kematian/mortalitas, dan sebagainya. Selain itu, insektisida nabati juga harus
memenuhi syarat-syarat untuk digunakan dalam pengendalian hama tanaman,
seperti efektif, efisien, dan aman (Dadang & Prijono 2008). Insektisida nabati
banyak yang bersifat sebagai racun perut, sehingga kemungkinan besar bahan
insektisida nabati kurang membahayakan bagi musuh alami serta serangga
berguna lainnya. Musuh alami yang tetap hidup di lapangan nantinya dapat
menekan populasi hama yang masih tersisa dari pengendalian sebelumnya
(Syahputra 2004).
Potensi Insektisida Srikaya (Annona squamosa L.)
Srikaya merupakan tanaman yang berbentuk pohon berasal dari Famili
Annonaceae. Tanaman ini telah diketahui mengandung kelompok senyawa
asetogenin yang beracun bagi serangga. Bagian tumbuhan srikaya yang dapat
dimanfaatkan sebagai insektisida alami adalah daun dan biji, namun bagian biji
lebih aktif dibandingkan dengan bagian daun. Bagian daun dan biji srikaya ini
dapat berfungsi sebagai insektisida, larvasida, repellent (penolak serangga), dan
penghambat makan. Biji srikaya memiliki kulit yang keras dan mengandung 45%
minyak yang tidak mengering dan berwarna kuning (Heyne 1987). Bagian
tanaman lain yang mengandung bahan aktif dan efektif sebagai insektisida nabati

8
adalah buah mentah, daun, dan akar (Kardinan 2002). Biji srikaya mengandung
senyawa asetogenin, terutama squamosin dan asimisin yang bersifat sebagai racun
perut dan kontak yang kuat terhadap beberapa jenis serangga (Ohsawa et al. 1994;
Zafra-Polo et al. 1996).
Pemberian ekstrak heksan biji srikaya dengan konsentrasi 0.50% pada
makanan larva Chrysomya bezziana (Diptera: Calliphoridae) dilaporkan
menyebabkan kematian dan kegagalan menjadi imago hingga 100% (Wardhana et
al. 2004). Selain itu ekstrak biji srikaya memiliki aktivitas insektisida yang kuat
terhadap larva C. pavonana (Lepidoptera: Crambidae) dan lebih aktif daripada
ekstrak akar tuba (Prijono et al. 1997). Ekstrak A. squamosa pada konsentrasi
0.1% - 0.5% diketahui dapat mematikan larva C. pavonana sampai 100% (Dadang
1999) dan 94% imago P. marginatus (Asnan 2013).
Cabai Jawa (Piper retrofractum Vahl.)
Cabai jawa merupakan jenis tanaman merambat seperti lada biasa dan sirih.
Tanaman ini hampir tidak dibudidayakan, karena banyak terdapat di alam dan
tumbuh liar pada tanah yang kurang subur dan kering seperti di pantai. Buahnya
berbentuk silinder, sering disebut sebagai lada panjang dengan panjang sekitar 4
cm. Buah muda berwarna hijau dan keras, namun kemudian menguning,
kemerahan, dan lunak (Versteegh 2006). Cabai jawa banyak dimanfaatkan sebagai
bahan baku pembuatan obat tradisional, obat modern, dan untuk campuran
minuman. Senyawa yang terdapat dalam tumbuhan Piperaceae di antaranya
guininsin, pelitorin, piperisida, piperin, piperlonguminin, dan retrofraktamida
(Miyakado et al. 1989 dalam Dewi 2010). Selain itu, tanaman Piperaceae telah
lama diketahui mengandung senyawa isobutilamida tak jenuh dengan aktivitas
insektisida yang cukup tinggi (Secoy & Smith 1983).
Ekstrak P. retrofractum diketahui memiliki aktivitas mematikan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan anggota famili Meliaceae, serta sering menunjukkan
efek knock down yang cepat (Dadang 1999). Pengujian ekstrak P. retrofractum
pada konsentrasi 1% terhadap nimfa P. marginatus menyebabkan kematian
sebesar 62% pada hari pertama pengamatan dan kemudian meningkat hingga 96%
pada hari ke-empat. Pengujian pada nimfa dengan konsentrasi 0.5% dan 1% tidak
bertambah kematiannya setelah hari ke-4 pengamatan dan pada konsentrasi yang
lebih rendah, kematian sudah tidak bertambah setelah hari ke-3 pengamatan
(Dewi 2010). Campuran ekstrak buah P. retrofractum dan biji A. squamosa pada
konsentrasi 0.05% dilaporkan dapat mematikan larva C. pavonana hingga 100%
(Yunia 2006).
Kacang Babi (Tephrosia vogelii Hook)
Kacang babi merupakan kelompok tumbuhan berbentuk perdu tahunan yang
berasal dari famili Papilionaceae. Tumbuhan ini tumbuh tegak, bercabang banyak,
dan dapat mencapai tinggi 3-5 m dan dapat tumbuh pada ketinggian antara 3001 200 m dpl pada hampir seluruh jenis tanah. Kacang babi sangat tahan terhadap
pemangkasan, apabila tumbuhan ini dipangkas maka akan tumbuh tunas-tunas
baru dan daun yang sangat lebat. Tanaman ini memiliki biji kecil, keras, dan
berwarna hitam, memiliki akar tunggang dan dua jenis warna bunga yaitu ungu
dan putih. Batangnya bulat berkayu dan berwarna hijau. Perbanyakan tanaman ini

9
tidak memerlukan pemeliharaan yang khusus (Kardinan 2002). Tanaman kacang
babi telah dimanfaatkan sebagai naungan persemaian kopi dan daunnya telah
dimanfaatkan sebagai pupuk hijau, insektisida, dan racun ikan (Gaskins et al.
1972; Heyne 1987). Daun kacang babi diketahui mengandung senyawa aktif
insektisida yang termasuk ke dalam golongan rotenoid seperti rotenon, deguelin,
dan tefrosin (Delfel et al. 1970; Caboni et al. 2005). Umumnya senyawa rotenon
mudah terurai dan tidak stabil. Hal tersebut bergantung pada faktor-faktor tertentu
seperti cahaya, suhu, dosis, dan keberadaan limbah organik (Copping 1998)
Daun kacang babi yang diekstrak dengan pelarut heksana dan etil asetat
secara bertahap dapat mengakibatkan kematian larva C. pavonana hingga
mencapai lebih dari 80% pada konsentrasi 0.5% dengan LC95 masing-masing
sebesar 0.48% dan 1.23% (Wulan 2008). Pada penelitian lain, ekstrak daun
kacang babi bunga ungu (LC50 0.075%) berturut-turut 4.30, 2.70, 2.21, dan 1.64
kali lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak buah kemukus, ekstrak biji kacang
babi bunga putih, ekstrak biji kacang babi bunga ungu, dan ekstrak daun kacang
babi bunga putih (Abizar & Prijono 2010). Daun kacang babi bunga ungu dapat
menyebabkan kematian terhadap P. marginatus sebesar 94% pada konsentrasi
0.5% dengan nilai LC95 sebesar 1.250 pada 72 JSP (Asnan 2013).
Potensi Campuran Insektisida Nabati
Insektisida nabati dapat digunakan dalam bentuk campuran dua jenis ekstrak
ataupun lebih. Pemanfaatan insektisida nabati yang berbahan baku dua jenis atau
lebih ekstrak tumbuhan dapat mengurangi ketergantungan pada satu jenis
tumbuhan sebagai bahan baku insektisida nabati (Dadang & Prijono 2008). Selain
itu, insektisida dalam bentuk campuran dapat digunakan untuk mengendalikan
beberapa jenis hama sekaligus, meningkatkan efisiensi aplikasi bila campuran
bersifat sinergis (Stone et al. 1988), menunda timbulnya resistensi hama terhadap
insektisida (Georghiou 1983), dan dapat mengurangi pengaruh samping terhadap
organisme bukan sasaran dan lingkungan. Sifat dari campuran dua jenis
insektisida atau lebih dapat berupa aditif, sinergistik, atau antagonistik sehingga
mempengaruhi tingkat efisiensi penggunaan insektisida (All et al. 1997).
Campuran ekstrak daun T. vogelii bunga ungu dan fraksi padatan ekstrak
buah P. cubeba (5:9) bersifat sinergistik terhadap larva C. pavonana, baik pada
taraf LC50 maupun LC90 (Abizar & Prijono 2010). Campuran ekstrak P.
retrofractum dan A. squamosa hingga konsentrasi 0.05% memiliki aktivitas
insektisida yang kuat terhadap mortalitas larva C. pavonana (Dadang et al. 2007).
Campuran ekstrak metanol dan ekstrak heksana kacang babi dan buah cabai jawa
P. retrofractum lebih toksik dibandingkan dengan ekstrak tunggalnya secara
terpisah terhadap larva C. pavonana pada taraf LC50 dan kedua campuran tersebut
bersifat sinergis (Saryanah 2008).
Stabilitas dan Persistensi Formulasi Insektisida Nabati
Aplikasi insektisida nabati di lapangan memerlukan bentuk sediaan atau
formulasi dari insektisida tersebut (Syahputra & Prijono 2008). Formulasi
insektisida dibuat dengan mencampurkan bahan aktif dengan bahan tambahan
(adjuvant). Bahan tambahan dalam formulasi insektisida dapat berupa perekat,
pengemulsi, pelarut, ataupun anti busa. Formulasi insektisida yang umum
ditemukan di pasaran adalah formulasi emulsifiable concentrate (EC). Formulasi

10
tersebut merupakan insektisida berbentuk cairan pekat yang dapat dicampur
dengan air dan akan membentuk emulsi (Foy & Pritchard 1996). Formulasi emulsi
terbentuk dengan menambahkan emulsifier pada insektisida. Emulsifier yang
digunakan umumnya berupa sintetik yang dalam konsentrasi kecil dapat
menurunkan tegangan permukaan pelarut sehingga ketidakstabilan emulsi dapat
diperkecil. Stabilitas emulsi sangat dipengaruhi oleh lapisan antar muka
(interfacial film) yang terbentuk, adsorpsi surfaktan, dan properti interfacial
rheologi seperti elastisitas, gradien tegangan interfacial, dan viskositas interfacial
(Kim & Wasan 1996). Kestabilan formulasi EC sediaan kulit batang Calophyllum
soulattri ditunjukkan dengan tidak terjadinya perbedaan sifat fisikokimia pada
suhu 28 oC dan 10 oC setelah 2 jam pengamatan (Syahputra & Prijono 2008).
Persistensi insektisida sangat perlu untuk diperhatikan dalam penggunaan
insektisida di lapangan. Insektisida nabati umumnya memiliki persistensi singkat
yang artinya residu bahan aktif insektisida nabati yang terdapat pada tanaman
setelah aplikasi cepat terurai. Residu formulasi cair dan padat fraksi
diklorometana kulit batang C. soulattri memiliki waktu paruh 6.7 - 8.2 hari
terhadap mortalitas larva C. pavonana (Syahputra et al. 2007). Pada pengujian
semilapangan, persentase larva C. pavonana yang ditemukan pada tanaman
brokoli yang diberi perlakuan salah satu fraksi aktif cabai jawa P. retrofractum,
fraksi aktif daun kacang babi, dan campuran kedua fraksi tersebut pada hari ke-3
setelah infestasi pertama berturut-turut 23.3%, 5%, dan 6.7%, lebih rendah
dibandingkan dengan kontrol (66.7%) (Zarkani 2008).

49

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi
Serangga, Rumah Kaca Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Kebun Percobaan Pusat Kajian Hortikultura
dan Tropika (PKHT) IPB di Tajur. Kegiatan penelitian dilakukan mulai dari bulan
Mei 2013 sampai dengan bulan Mei 2014.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit tanaman
pepaya varietas IPB 9, koloni Paracoccus marginatus fase imago, buah cabai
jawa, biji tanaman srikaya, daun kacang babi, sabun cuci piring cair, aquades,
detergent, dan metanol. Alat-alat yang digunakan meliputi polybag, mikroskop
binokuler, plastik silindris, kain kasa, labu erlenmeyer, gelas ukur, corong kasa,
kertas tisu, alat semprot, lampu meja, pipet volumetrik, dan rotary evaporator.
Metode
Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Pepaya
Bibit pepaya yang digunakan diperoleh dari Kebun Percobaan PKHT. Bibit
pepaya berumur 2 minggu ditanam di polybag hitam berukuran 5 cm x 10 cm
sebanyak 1 bibit per polybag. Bibit kemudian dipindahtanamkan pada polybag
hitam berukuran 25 cm x 25 cm sebanyak 1 bibit per polybag. Media tanam yang
digunakan adalah tanah dan kompos (1:1; w/w). Pemeliharaan bibit dilakukan di
Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga yang meliputi kegiatan
penyiraman, penyiangan, dan pengendalian hama lain secara mekanis jika ada.
Pemeliharaan dan Perbanyakan Serangga Uji
Imago P. marginatus yang diperoleh dari kebun pepaya di Desa Petir,
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor dipelihara dan diperbanyak pada bibit
pepaya yang berumur 2 bulan atau telah mencapai tinggi tanaman ± 25 - 30 cm di
laboratorium. Tanaman disungkup dengan plastik mika silindris yang bagian
atasnya berupa kasa. Hal ini dilakukan untuk menghindari serangan predator
ataupun organisme pengganggu lain. P. marginatus dibiarkan berkembang biak
hingga imago yang keluar pada generasi berikutnya mencapai jumlah yang
mencukupi untuk pengujian.
Ekstraksi Tumbuhan
Bahan tumbuhan yang digunakan berasal dari wilayah yang berbeda-beda.
Biji A. squamosa diperoleh dari wilayah Jawa Tengah, buah P. retrofractum dibeli
dari Pasar Anyar Bogor, dan daun T. vogelii diambil dari wilayah Cipanas,
Kabupaten Cianjur. Masing-masing bahan tumbuhan dipotong kecil-kecil,
kemudian dikeringanginkan di dalam ruangan tanpa terpapar sinar matahari
langsung. Bahan tanaman yang telah kering angin tersebut, kemudian dihaluskan
menggunakan blender hingga berbentuk serbuk dan diayak hingga mendapatkan
serbuk yang benar-benar halus dengan ukuran yang relatif seragam. Ekstraksi
tanaman dilakukan melalui metode maserasi. Setiap bahan tanaman yang telah

12
dihaluskan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer, kemudian ditambahkan
metanol (1:10; w/w) hingga seluruh bahan terendam, lalu disimpan selama 2
malam (48 jam). Rendaman masing-masing bahan tumbuhan disaring dengan
menggunakan corong kaca yang dialasi kertas saring. Hasil saringan diuapkan
menggunakan rotary evaporator pada suhu 50 oC dan tekanan 337 mbar hingga
diperoleh ekstrak kasar. Setiap ekstrak yang diperoleh disimpan dalam lemari
pendingin pada suhu ± 4 oC hingga saat digunakan.
Uji Campuran Ekstrak
Ekstrak yang digunakan yaitu A. squamosa, P. retrofractum, dan T. vogelii.
Masing-masing ekstrak dikombinasikan sehingga dihasilkan campuran ekstrak A.
squamosa dan P. retrofractum (SR), T. vogelii dan A. squamosa (VS), dan T.
vogelii dan P. retrofractum (VR). Masing-masing campuran dua ekstrak
diencerkan dengan metanol 1%, pengemulsi 0.1%, dan aquades. Konsentrasi
terdiri dari 5 taraf yang didasarkan pada penghitungan LC masing-masing ekstrak
pada uji tunggal.
Pengamatan dilakukan pada 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan (JSP)
terhadap jumlah serangga yang mati. Data hasil pengamatan tersebut kemudian
diolah menggunakan program POLO PC (LeOra Software 1987) untuk
menentukan nilai LC50, LC90, dan LC95, sehingga dapat ditentukan nilai indeks
kombinasi campuran (IK) pada taraf LCx dari masing-masing kombinasi yang
dihitung dengan menggunakan rumus:
IK=

��� (�� )
���

+

��� (�� )
���

+

���

�� �

��



���

���

��

LCxa(mj) dan LCxb(mj) merupakan LCx percobaan campuran dikalikan
proporsi konsentrasi dalam campuran tersebut yang mengakibatkan mortalitas x
(5% - 95%), sedangkan LCxa dan LCxb merupakan ekstrak tunggalnya (Chou &
Talalay 1984). Kategori sifat interaksi campuran adalah sebagai berikut
(diadaptasi dari Gisi 1996; Kosman & Cohen 1996):
(1)
(2)
(3)
(4)

bila IK < 0.5, komponen campuran bersifat sinergistik kuat;
bila IK 0.5 < IK < 0.77, komponen campuran bersifat sinergistik lemah;
bila 0.77 < IK < 1.43, komponen campuran bersifat aditif;
bila IK > 1.43, komponen campuran bersifat antagonistik.

Nilai LC ekstrak tunggal yang digunakan untuk menghitung sifat interaksi
campuran ini berasal dari hasil penelitian Asnan (2013) dan tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Penduga parameter toksisitas tiga jenis ekstrak terhadap P. marginatus
Waktu pengamatan (JSP)a
Jenis Ekstrak
LCa
24
48
72
LC50
0.071
0.036
0.020
T. vogelii
LC95
18.968
5.823
1.250
LC50
0.105
0.065
0.042
A. squamosa
LC95
2.574
1.095
0.469
LC50
0.127
0.018
0.007
P. retrofractum
LC95
29.395
2.905
1.482
a

LC: Lethal concentration. JSP: Jam setelah perlakuan

13
Uji Stabilitas dan pH dengan Berbagai Jenis Adjuvant
Campuran ekstrak A. squamosa dan P. retrofractum (SR), T. vogelii dan A.
squamosa (VS), dan T. vogelii dan P. retrofractum (VR) masing-masing pada
perbandingan 2:1 (w/w) dilarutkan dengan pelarut metanol 5%, adjuvant dengan
tiga konsentrasi yaitu 0.1% (v/v), 0.3% (v/v), dan 0.5% (v/v) serta akuades. Pada
pengujian ini digunakan 3 jenis adjuvant yang berbeda yaitu Agristik 400 L,
Tween 80, dan Miracle. Terhadap masing-masing campuran ekstrak kemudian
dilakukan uji stabilitas emulsi on standing dengan cara membalik gelas ukur
hingga 180o sebanyak satu kali dan gelas ukur dibalik kembali ke posisi semula
dalam dua detik. Setelah satu jam dilakukan pengamatan untuk mengevaluasi
terbentuknya endapan atau tidak.
Pengujian pH dilakukan dengan mencelupkan kertas lakmus (kertas pH) ke
dalam formulasi insektisida nabati, kemudian warna yang didapatkan pada kertas
pH dicocokan dengan warna yang terdapat pada pH-indikator. Formulasi yang
menunjukkan sifat baik akan digunakan pada pengujian selanjutnya.
Uji Kombinasi Sabun dan Formulasi Insektisida Nabati
Metode yang digunakan pada pengujian ini adalah aplikasi formulasi
insektisida nabati setelah penyemprotan sabun 0.2% (v/v) dan aplikasi formulasi
insektisida yang dicampur dengan sabun. Formulasi insektisida yang digunakan
adalah A. squamosa dan P. retrofractum yang ditambah dengan Tween (SRT) dan
A. squamosa dan P. retrofractum yang ditambah dengan Agristick (SRA),
masing-masing pada konsentrasi 0.5% (b/v). Konsentrasi sabun yang digunakan
pada pengujian ini adalah 0.2% (Asnan 2013). Aplikasi dilakukan dengan
melakukan penyemprotan terhadap 10 ekor imago kutu putih yang telah
diinfestasikan pada daun pepaya di dalam cawan petri yang telah dialasi tisu.
Masing-masing perlakuan diamati pada 24, 48, dan 72 JSP dengan menghitung
jumlah imago kutu putih yang mati. Hasil pengujian ini kemudian akan dijadikan
dasar dalam aplikasi formulasi insektisida di lapangan.
Uji Persistensi Formulasi
Formulasi ekstrak yang digunakan adalah SRT, SRA, dan insektisida
deltametrin (Decis 25 EC) sebagai pembanding. Formulasi dibuat dalam dua jenis
yaitu formulasi yang ditambahkan para aminobenzoic acid (PABA) dan formulasi
tanpa penambahan PABA. Masing-masing formulasi disimpan di dalam botol
coklat dan botol bening, kemudian dipaparkan di bawah sinar matahari selama 7
jam per hari (08.00 – 15.00). Lama waktu pemaparan berbeda-beda yaitu 1, 3, 5,
dan 7 hari sebelum digunakan untuk menyemprot imago kutu putih. Sebanyak 10
ekor imago kutu putih diinfestasikan pada potongan daun pepaya yang berada di
atas cawan petri yang telah dialasi dengan kertas tisu berwarna hijau. Formulasi
yang telah dipaparkan pada waktu-waktu tersebut kemudian diencerkan dengan
menambah aquades dan digunakan untuk menyemprot kutu putih. Pengamatan
dilakukan pada 24, 48, dan 72 JSP dengan melihat mortalitas kutu putih. Masingmasing pengujian dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.
Uji Daya Simpan Formulasi
Pengujian dilakukan dengan menyimpan formulasi tanpa PABA dan
insektisida deltametrin pada dua kondisi berbeda, yaitu suhu kamar dan suhu

14
rendah. Lama waktu penyimpanan berbeda-beda yaitu 1, 2, 3, dan 4 minggu
sebelum digunakan untuk menyemprot imago kutu putih. Metode aplikasi yang
digunakan sam

Dokumen yang terkait

BIOLOGI HAMA KUTU PUTIH PEPAYA PARACOCCUS MARGINATUS PADA TANAMAN PEPAYA DAN ROSELA

0 12 46

BIOLOGI HAMA KUTU PUTIH PEPAYA PARACOCCUS MARGINATUS PADA TANAMAN PEPAYA DAN ROSELA

3 13 46

Biologi perkembangan dan neraca hayati kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus (Williams and Granara de Willink) (Hemiptera: Pseudococcidae) pada tiga jenis tumbuhan inang

1 10 93

Populasi Kutu Putih Pepaya Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) dan Musuh Alaminya pada Tanaman Pepaya di Kecamatan Dramaga dan Rancabungur, Kabupaten Bogor

0 4 83

Insiden Cendawan Enthomopthorales Pada Kutu Putih Pepaya, Paracoccus Marginatus Williams & Granara De Willink (Hemiptera : Pseudococcidae) Pada Pertanaman Pepaya Di Bocor

0 6 21

Biologi perkembangan dan neraca hayati kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus (Williams and Granara de Willink) (Hemiptera Pseudococcidae) pada tiga jenis tumbuhan inang

0 5 53

Tingkat Infeksi neozygitesfumosa (Speare) Remaudie're & Keller (Zygomycetes:Entomophthorales) pada Kutu Putih Pepaya, Paracoccus Marginatus Williams & Granara De Willink dan Kutu Putih Singkong, Phenacoccus Manihoti Matie-Ferrero (Hemiptera:Pseudococcidae

1 7 11

BIOLOGI DAN NERACA HAYATI KUTU PUTIH PEPAYA PARACOCCUS MARGINATUS WILLIAMS GRANARA DE WILLINK (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) PADA TIGA JENIS TUMBUHAN INANG

0 0 9

Bioesai bioinsektisida Beauveria bassiana dari Sumatera Selatan terhadap kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus Williams Granara De Willink (Hemiptera: Pseudococcidae)

0 0 7

Keefektifan ekstrak Piper retrofractum Vahl., Anonna squamosa L. dan Tephrosia vogelii Hook. serta campurannya terhadap imago kutu putih pepaya Paracoccus marginatus Williams Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae)

0 0 11