Biologi perkembangan dan neraca hayati kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus (Williams and Granara de Willink) (Hemiptera: Pseudococcidae) pada tiga jenis tumbuhan inang

(1)

 

BIOLO

PUTIH

de Willi

OGI PERK

H PEPAY

ink) (HEM

IN

KEMBAN

YA,

Paraco

MIPTER

JENIS T

YA

SEKOLA

NSTITUT

NGAN DA

occus mar

RA: PSEU

TUMBUH

ANI MAH

AH PASC

T PERTA

BOGO

2011

AN NERA

rginatus

(

UDOCOCC

HAN INA

HARANI

CASARJA

ANIAN BO

OR

1

ACA HAY

(Williams

CIDAE) P

ANG

YATI KU

s & Grana

PADA TI

 

UTU

ara

IGA

ANA

OGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Biologi Perkembangan dan Neraca Hayati Kutu Putih Pepaya, Paracoccus marginatus (Williams & Granara de Willink) (Hemiptera: Pseudococcidae) pada Tiga Jenis Tumbuhan Inang” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2011

Yani Maharani


(3)

ABSTRACT

YANI MAHARANI. Developmental Biology and Life Table of Papaya Mealybug, Paracoccus marginatus (Williams & Granara de Willink) (Hemiptera: Pseudococcidae) on Three Host Plant Species. Under direction of AUNU RAUF, DEWI SARTIAMI and RULY ANWAR.

The papaya mealybug, Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae), has been considered as a new invasive pest causing heavy damage on papaya in Indonesia since 2008. The pest is polyphagous with more than 55 host plant species. Study was conducted in laboratory with the objectives to determine developmental biology and life table parameters of the mealybug feeding on papaya, physic nut, and cassava leaves. Host plant species affected papaya mealybug performances. Egg stage lasted 7,25, 8,09, and 9,86 d on papaya, physic nut, and cassava, respectively. The shortest female nymphal developmental time was on papaya (18,91 d) and the longest on cassava (32,45 d). Longevity of adult males ranged from 1,09-2,85 d while females 12,29-14,93 d, respectively. When the mealybugs were reared on a seedling, the fecundity was higher on papaya (324,6) than those of physic nut (186,6) and cassava (157,5). No egg production occurred in virgin females. The sex ratio of P. marginatus favoured females, which comprised about 90% of population on papaya and cassava. The intrinsic rate of increase (rm) was significantly different among hosts, with the highest rate (0,117 female offspring/female/d) occured on papaya, followed by physic nut (0,079) and cassava (0,057). The maximum values of rm along with net reproductive rate (Ro) and finite rate of increase (λ), and the shortest mean generation time (T) and doubling time (DT) on papaya, indicating that papaya was the most favorable host plant for P. marginatus.

Key words: Papaya mealybug, Paracoccus marginatus, life table

     


(4)

RINGKASAN

YANI MAHARANI. Biologi Perkembangan dan Neraca Hayati Kutu Putih Pepaya, Paracoccus marginatus (Williams & Granara de Willink) (Hemiptera: Pseudococcidae) pada Tiga Jenis Tumbuhan Inang. Dibimbing oleh AUNU RAUF, DEWI SARTIAMI, dan RULY ANWAR.

Kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus (Williams & Granara de Willink) (Hemiptera: Pseudococcidae), merupakan hama eksotik yang berasal dari Meksiko. Keberadaan hama ini di Indonesia pertamakali dilaporkan di Bogor pada awal tahun 2008. Hama ini kini telah tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia.

Kutu putih pepaya merupakan hama polifag dengan inang lebih dari 55 jenis tumbuhan. Selain pada pepaya, hama ini juga menimbulkan kerusakan pada kamboja, kembang sepatu dan ubi kayu. Namun kerusakan paling berat terjadi pada pepaya. Akibat serangan hama ini produksi pepaya mengalami penurunan mencapai 58% dan kerugian ekonomi mencapai 88% karena tanaman mati sebelum panen berakhir.

Penelitian bertujuan menentukan masa perkembangan, sintasan dan reproduksi kutu putih pepaya pada tanaman pepaya, jarak pagar dan ubi kayu. Analisis ragam dilakukan untuk memeriksa pengaruh tumbuhan inang terhadap berbagai parameter biologi perkembangan kutu putih pepaya, yang dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf 5%. Pengaruh tumbuhan inang terhadap kurva sintasan dianalisis dengan metode Kaplan-Meier dan diuji dengan uji log peringkat (log rank test). Nisbah kelamin dinyatakan sebagai % betina dan diuji kesesuaiannya terhadap nisbah teoritis (1:1) dengan uji khi kuadrat. Semua analisis tadi menggunakan Minitab 14. Data sintasan dan keperidian disusun dalam bentuk neraca hayati untuk menentukan berbagai parameter demografi, yang meliputi; laju reproduksi bersih (Ro), laju pertambahan intrinsik (rm), masa generasi (T), laju pertambahan terbatas (λ), masa ganda (DT). Seluruh nilai tengah parameter ini dan ragamnya diduga dengan metode Jackknife.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tumbuhan inang berpengaruh terhadap masa perkembangan pradewasa termasuk telur dan berbagai instar nimfa (P<0,001), kecuali terhadap pupa (P=0,421). Stadium telur yang paling singkat terdapat pada pepaya (7,25 h), diikuti oleh jarak pagar (8,09 h) dan yang paling lama pada ubi kayu (9,86 h). Begitu pula persentase telur yang menetas paling tinggi terjadi pada tanaman pepaya (93,9%), jarak pagar (92,9%) dan ubi kayu (75,5%). Masa perkembangan nimfa betina pada pepaya dan jarak pagar juga lebih singkat yaitu sekitar 18 h dibanding dengan pada ubi kayu sekitar 32 h. Dengan mempertimbangkan stadium telur, waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan hingga imago betina terbentuk sekitar 26-27 h pada pepaya dan jarak pagar dan sekitar 42 h pada ubi kayu. Secara umum masa perkembangan pradewasa jantan lebih lama daripada betina, hal ini terkait dengan adanya instar tambahan pada jantan yaitu instar-4 yang berupa pupa.

Imago jantan hidup sekitar 2-3 h, sedangkan betina dapat hidup sekitar 12-15 h. Jenis tumbuhan inang berpengaruh nyata terhadap masa hidup imago jantan tetapi tidak terhadap masa hidup imago betina. Masa praoviposisi berlangsung


(5)

sekitar 8 h, oviposisi sekitar 4 h, dan pasca oviposisi 1-3 h, dan tidak dipengaruhi oleh jenis tumbuhan inang (P>0,05).

Pada pemeliharaan dengan potongan jaringan daun, rataan banyaknya telur yang diletakkan berkisar antara 29,25-79,14 butir, sedangkan pada pemeliharaan menggunakan bibit tanaman berkisar 157,5-324,6 butir. Hal ini menunjukkan bahwa teknik pemeliharaan pada potongan jaringan daun kurang mendukung keperidian kutu putih pepaya. Kutu putih yang hidup pada bibit pepaya memperlihatkan keperidian yang lebih tinggi yaitu 324,6±41,84 butir dan berbeda nyata (F=6,62; db=2, 27; P=0,005) bila dibandingkan pada ubi kayu (157,5±31,61) dan jarak pagar (186,6±29,33).

Nisbah kelamin (% betina) kutu putih pepaya bervariasi tergantung pada teknik pemeliharaan dan tumbuhan inang. Secara umum proporsi betina lebih banyak dibandingkan jantan. Nisbah kelamin kutu putih pepaya yang dipelihara pada potongan jaringan daun tidak berbeda nyata dengan nisbah teoritis, yaitu pada pepaya 55,7% (χ2=1,031; P=0,31) dan jarak pagar 53,7% (χ2=0,305; P=0,58), sedangkan pada ubi kayu 81,3% berbeda nyata (χ2=30,01; P<0,001). Nisbah kelamin pada pemeliharaan dengan bibit tanaman berbeda nyata dengan nisbah teroritis yaitu 89,5% pada pepaya (χ2=513,076; P<0,001), 62,5% pada jarak pagar (χ2=40,125; P< 0,001), dan 94,2% pada ubi kayu (χ2=487,526; P<0,001 ). Betina P. marginatus yang tidak dikawinkan tidak menghasilkan telur. Hal ini membuktikan bahwa P. marginatus tidak bersifat partenogenetik.

Tumbuhan inang berpengaruh terhadap saat kematian kutu putih pepaya. Kurva sintasan pada ubi kayu berbeda nyata dengan pada pepaya (χ2=9,757; P=0,002) dan pada jarak pagar (χ2=10,65; P=0,001), sedangkan antara pepaya dan jarak pagar tidak berbeda nyata (χ2=0,082; P=0,775). Perbedaan tersebut berhubungan dengan tingkat kematian dan masa perkembangan pradewasa. Tingkat kematian pradewasa kutu putih yang dipelihara pada potongan daun ubi kayu mencapai 65%, sedangkan pada pepaya dan jarak pagar berturut-turut 11% dan 25%. Sementara itu, kutu putih yang hidup pada ubi kayu memerlukan waktu hampir dua kali lipat lebih lama untuk menyelesaikan perkembangan pradewasanya dibandingkan pada pepaya atau jarak pagar.

Nilai parameter neraca hayati bervariasi tergantung pada jenis tumbuhan inang. Laju reproduksi bersih (Ro) tertinggi terdapat kutu putih yang dipelihara pada potongan daun pepaya dan berbeda sangat nyata (P<0,001) dengan pada potongan daun jarak pagar dan ubi kayu. Laju pertambahan intrinsik (rm) juga berbeda antar tumbuhan inang (P<0,001), paling tinggi terdapat pada pepaya. Pola yang sama diperlihakan pula oleh perbedaan nilai laju pertambahan terbatas (λ) di antara ketiga tumbuhan inang. Masa generasi (T) pada pepaya dan jarak pagar lebih singkat dan berbeda nyata (P<0,001) bila dibanding dengan pada ubi kayu.

Laju pertambahan intrinsik (rm), dapat dijadikan kriteria untuk menilai tingkat kesesuaian tumbuhan inang. Dalam kaitan ini, pepaya adalah tumbuhan inang yang paling sesuai bagi kehidupan P. marginatus diikuti oleh jarak pagar dan ubi kayu. Makin tinggi nilai rm pada suatu tumbuhan inang, maka semakin tinggi potensi peningkatan populasi hama pada tumbuhan inang tadi. Dalam penelitian ini nilai rm pada pepaya, jarak pagar, dan ubi kayu berturut-turut 0,117; 0,079; dan 0,057. Nilai rm dapat lebih tinggi bila kutu putih pepaya dipelihara pada tanaman hidup, karena keperidiannya lebih banyak dibandingkan yang dipelihara pada potongan jaringan daun. Lebih sesuainya tanaman pepaya sebagai


(6)

inang P. marginatus seperti ditunjukkan oleh nilai laju pertambahan intrinsik yang lebih tinggi dibandingkan jarak pagar dan ubi kayu, konsisten dengan situasi di lapangan. Selama ini kelimpahan populasi dan tingkat serangan P. marginatus

paling tinggi terjadi pada pertanaman pepaya.

Keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di antara tiga jenis tanaman yang diuji, pepaya adalah inang yang paling sesuai bagi perkembangan dan pertumbuhan P. marginatus. Dengan demikian, bila faktor lingkungan lainnya mendukung, populasi kutu putih dapat meningkat jauh lebih cepat pada pertanaman pepaya dibandingkan pada pertanaman jarak pagar dan ubi kayu. Kata kunci: kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus, neraca hayati


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(8)

BIOLOGI PERKEMBANGAN DAN NERACA HAYATI KUTU

PUTIH PEPAYA,

Paracoccus marginatus

(Williams & Granara

de Willink) (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) PADA TIGA

JENIS TUMBUHAN INANG

YANI MAHARANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

(10)

Judul Tesis : Biologi Perkembangan dan Neraca Hayati Kutu Putih Pepaya, Paracoccus marginatus (Williams & Granara de Willink) (Hemiptera: Pseudococcidae) pada Tiga Jenis Tumbuhan Inang

Nama Mahasiswa : Yani Maharani

NRP : A351080071

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc. Ketua

Dra. Dewi Sartiami, M.Si. Anggota

Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si. Anggota

Diketahui

Ketua Program Mayor Entomologi

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Megister Sains di bidang Entomologi, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Judul penelitian ini adalah Biologi Perkembangan dan Neraca Hayati Kutu Putih Pepaya, Paracoccus marginatus (Williams & Granara de Willink) (Hemiptera: Pseudococcidae) pada Tiga Jenis Tumbuhan Inang telah dilaksanakan sejak bulan April hingga September 2010 di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing. Ibu Dra. Dewi Sartiami, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah mencurahkan waktu dan perhatiannya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. I Wayan Winasa, M.S selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan guna penyempurnaan tesis ini dan sebagai penanggung jawab Laboratorium Ekologi Serangga, DPT-IPB atas segala bantuannya. Tesis ini penulis persembahkan keharibaan Ayahanda dan Imi ku tercinta atas limpahan do’a, kasih sayang, semangat dan dukungan kepada penulis. Terima kasih penulis sampaikan kepada adik-adik tercinta Lilia Ardhiani, Fadli Mahaputra, Fallah Naufal, serta seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih sayang yang diberikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh sahabat-sahabat entomologi; Kak Kiki, Bang Dedi, Kak Mia, Kak Rika, Kak Nela, Pak Umbu, Pak Gatot, Pak Aser, Bu Betti, Pak Yudi, Pak Hendrival, Mbak Lidya, Pak Iwa dan seluruh rekan-rekan entomologi-fitopatologi, atas semangat dan bantuanya selama penulis menempuh pendidikan di mayor entomologi. Terima kasih penulis sampaikan kepada Pak Wawan, Mbak Elsa dan Pak Saodik, atas bantuan selama penulis melakukan penelitian. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat-sahabat tersayang; Kak Wilna, Yolanda, Utut, Riri dan Anya serta semua pihak yang telah membantu penulis selama menempuh pendidikan hingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat didalam mengembangkan pengetahuan dibidang pendidikan. Kritik dan saran sangat diharapkan guna penyempurnaan penulisan ini.

Bogor, Januari 2011


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada Tanggal 28 Januari 1986 sebagai putri pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Muchtar Lutfi Hasan dan Ibu Feriyenda.

Pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) diselesaikan di SMU Adabiah Padang, lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Pertanian Universitas Andalas Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan lulus tahun 2008. Selama mengikuti pendidikan sarjana, penulis aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Dasar-dasar Perlindungan Tanaman tahun 2006-2007. Kemudian pada tahun 2008 penulis berkesempatan langsung melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pascasarjana IPB. Selama menjalani pendidikan magister penulis aktif di organisasi IMPACS (Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Sumbar) dan GLF (Green Leader Forum).


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Kutu Putih (Hemiptera: Pseudococcidae) ... ... 5

Kutu Putih Paracoccus marginatus.. ... 7

Biologi ... 7

Tumbuhan Inang ... 9

Persebaran ... 10

Gejala Serangan dan Dampak Ekonomi ... 11

Nutrisi Serangga ... 12

Neraca Hayati ... 13

BAHAN DAN METODE ... 17

Penyiapan Tumbuhan Inang ... 17

Perbanyakan Serangga ... 17

Perkembangan, Sintasan, dan Reproduksi ... 18

Analisis Data ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

Perkembangan Pradewasa dan Imago ... 21

Keperidian dan Nisbah Kelamin ... 24

Sintasan ... ... 27

Neraca Hayati ... 29

SIMPULAN DAN SARAN ... ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... . 37


(14)

Halaman 1. Spesies kutu putih yang ditemukan di Indonesia sebelum tahun 2008

... ... 6

2. Masa perkembangan (hari) pradewasa kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang ... 22

3. Masa hidup dan perkembangan (hari) imago kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang ... 24

4. Keperidian (butir) dan nisbah kelamin (% betina) kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang ... 25

5. Neraca hayati kutu putih Paracoccus marginatus pada pepaya ... 29

6. Neraca hayati kutu putih Paracoccus marginatus pada jarak pagar ... ... 30

7. Neraca hayati kutu putih Paracoccus marginatus pada ubi kayu ... ... 31

8. Parameter neraca hayati kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan tumbuhan inang ... ... . 32


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Imago Paracoccus marginatus ... ... 8 2. Serangan P. marginatus pada tanaman pepaya ... ... 12 3. Pelat akrilik yang digunakan dengan daun tanaman dan serangga uji

diantara pelat akrilik ... 20 4. Kurva sintasan kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang

berdasarkan metode Kaplan-Meier ... 28 5. Pertumbuhan populasi kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris karena sebagian besar mata pencarian penduduknya bergerak di sektor pertanian. Letak geografis Indonesia yang berada pada 6ºLU-11ºLS dan 97ºBT-141ºBT menjadikannya sebagai negara tropis yang memiliki beragam tumbuhan (Sekneg RI 2008). Sektor pertanian mendapatkan perhatian yang sangat penting dari pemerintah terutama dibidang perkebunan, pangan dan hortikultura.

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura unggulan di Indonesia. Tanaman pepaya memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Produksi pepaya selama lima tahun terakhir termasuk dalam kelompok lima besar produksi buah-buahan, terutama karena buah ini tersedia sepanjang tahun (Ditjen Hortikultura 2010). Produksi pepaya terbesar di Indonesia berasal dari Pulau Jawa. Selain dipanen buahnya, getah pepaya yang mengandung enzim papain digunakan pada industri minuman, farmasi, kosmetik, tekstil dan kulit, serta sebagai pembersih limbah (Astawan 2010). Indonesia menduduki peringkat keempat sebagai negara pengekspor produk tanaman pepaya (Kalie 2008).

Serangan hama dan penyakit merupakan kendala utama dalam budidaya dan peningkatan produksi tanaman pepaya. Diketahui ada sekitar 35 jenis hama yang menyerang tanaman pepaya, seperti tungau, kutu, lalat buah, kumbang dan ngengat (Kalie 2008). Akibat serangan hama, produksi tanaman pepaya pada tahun 2006-2007 mengalami penurunan dari 643,451 ton menjadi 621,524 ton. Pada waktu yang sama produksi pepaya di Jawa Barat juga mengalami penurunan, yaitu dari 101,184 ton menjadi 100,188 ton (Deptan 2009).

Pada bulan Mei tahun 2008 terjadi invasi kutu asing yang menjadi hama terpenting pada tanaman pepaya (Rauf 2008). Hama ini dikenal dengan sebutan kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus (Williams & Granara de Willink) (Hemiptera: Pseudococcidae). Kutu ini merupakan hama eksotik yang berasal dari Meksiko. Keberadaan hama ini di Indonesia pertama kali ditemukan di Kebun Raya Bogor yang menyerang tanaman pepaya dan kini telah tersebar luas


(17)

di Indonesia (Rauf 2008; 2009). Muniappan et al. (2008) melaporkan bahwa hama ini telah menyebar di beberapa pulau atau negara di Pasifik dan Asia.

Kutu putih pepaya merupakan hama polifag. Hama ini memiliki tumbuhan inang lebih dari 55 jenis seperti pepaya, alpukat, jeruk nipis, kembang sepatu, kamboja, kapas, tomat, lada, ubi jalar, ubi kayu, mangga, terung, delima, jarak dan kacang-kacangan (Walker et al. 2003). Selain pada pepaya, hama ini juga menimbulkan kerusakan pada kamboja, kembang sepatu, dan ubi kayu (Rauf 2009).

Berdasarkan laporan Ditjen Hortikultura (2010), kutu putih pepaya ini telah tersebar di daerah Kabupaten Bogor (Kecamatan Gunung Putri, Sukaraja, Cigombong, Dramaga, Rancabungur, Cijeruk, Ciburui, Cibinong, dan Bojonggede), Kabupaten Sukabumi (Kecamatan Cicurug dan Cidahu), dan Depok (Kecamatan Beji dan Pancoran Mas) Provinsi Jawa Barat. Selain di wilayah Jawa Barat, kutu putih pepaya ini juga telah menyebar di wilayah DKI Jakarta yaitu Jakarta Selatan (Kecamatan Jagakarsa, Cilandak, Pasar Minggu dan Senayan) dan Provinsi Banten yaitu Kecamatan Ciputat. Bedasarkan laporan dari berbagai sumber, hama ini telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia (Rauf 2009).

Serangan pada pucuk tanaman pepaya menyebabkan daun menjadi kerdil dan keriput. Pada serangan berat, hama ini menutupi permukaan bawah daun pepaya sehingga menyebabkan daun mengering dan akhirnya tanaman mati (Rauf 2009). Selain itu hama ini juga menghasilkan embun madu yang kemudian ditumbuhi cendawan jelaga, sehingga permukaan tanaman yang diserang berwarna hitam (Heu 2007; Rauf 2008). Serangan hama ini juga mengakibatkan bunga dan buah pepaya gugur sebelum waktunya (Anonim 2008; Walker et al.

2003). Akibat serangan hama ini petani pepaya hanya sempat memanen dua kali dari yang biasanya 15 kali (Rauf 2008). Serangan hama mengakibatkan produksi pepaya menurun mencapai 58% dan kerugian ekonomi yang dialami petani mencapai 88% karena tanaman mati pada saat baru panen (Ivakdalam 2010).

Berdasarkan karakter morfologinya, hama ini memiliki tipe mulut menusuk mengisap. Hama ini merusak tanaman dengan cara mengisap cairan tanaman serta mengeluarkan racun, mengakibatkan terjadinya klorosis, kerdil, malformasi daun, daun muda dan buah rontok sampai menimbulkan kematian pada tanaman.


(18)

Dengan demikian kutu putih pepaya ini memiliki potensi menimbulkan kerugian secara ekonomis yang cukup tinggi (Ditjen Hortikultura 2010).

Informasi mengenai kutu putih pepaya di Indonesia masih sangat terbatas, khususnya pengetahuan tentang biologi dan potensi reproduksinya pada berbagai tumbuhan inang. Kedua informasi tadi dapat digali dari studi neraca hayati. Keterbatasan tentang kedua informasi tadi menjadikan hama ini sulit untuk dikendalikan. Pentingnya mengetahui tentang biologi, khususnya biologi perkembangan dan neraca hayati hama tersebut sangat berkaitan dengan penyusunan strategi pengendalian.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur berbagai parameter biologi perkembangan dan neraca hayati P. marginatus pada tiga tumbuhan inang utama yaitu pepaya, jarak pagar dan ubi kayu.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Kutu Putih (Hemiptera: Pseudococcidae)

Super famili Coccoidea memiliki beberapa famili seperti Margarodidae, Ortheziidae, Pseudococcidae, Eriococcidae, dan Dactylopiidae (Achterberg et al.

1996). Famili Pseudococcidae dikenal dengan kelompok kutu putih. Di beberapa daerah tropis dan subtropis, serangga kutu putih merupakan salah satu jenis hama penting. Berbagai spesies hama ini menyerang banyak komoditas penting seperti ubi kayu, kentang, tomat, lada, jeruk, kedelai, kopi, coklat, tebu dan beberapa tanaman hias (Williams & Granara de Willink 1992). Gejala kerusakan pada tanaman yang disebabkan oleh hama ini berupa daun menguning, gugur, tanaman tumbuh kerdil, dan kematian tanaman. Secara tidak langsung, hama-hama ini dapat merusak tanaman karena mampu menjadi vektor beberapa penyakit tanaman (Culik & Gullan 2005).

Umumnya kutu putih famili Pseudococcidae memiliki pola reproduksi seksual seperti pada Planococcus citri, Pseudococcus maritimus (Ehrhorn), P. gahani Green, P. longispinus, P. gahani, Phenacoccus gossypii Townsend & Cockerell. Namun, beberapa spesies juga ditemukan bersifat partenogenetik telitoki seperti Phenacoccus solani Ferris (Williams 1985), P. manihoti Matile-Ferrero dan P. solenopsis Tinsley (Williams 1985; Calatayud & Le Ru 2006, Vennila et al. 2010). Sebagian besar famili Pseudococcidae menghasilkan telur dari reproduksinya. Namun, beberapa spesies kutu putih di Australia memiliki reproduksi vivipar dan ovovivipar seperti Pseudococcus longispinus dan Ferrisia virgata (Williams 1985). Berbagai spesies kutu putih yang dijumpai di Indonesia sebelum tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 1.


(20)

Tabel 1 Spesies kutu putih yang ditemukan di Indonesia sebelum tahun 2008 (Kalshoven 1981; Sartiami et al. 1999)

Spesies Tumbuhan inang

Dactylopius opuntiae (Ckll.) Kaktus

Dactylopius coccus Costa Kaktus

Dysmicoccus brevipes Nenas, pisang, nangka

Cataenococcus hispidus Belimbing, duku, durian, jambu biji, jeruk, mangga, manggis, nangka, nenas, pisang, rambutan, sirsak

Maconellicoccus hirsutus

(Green)

Tanaman buah-buahan

Maconellicoccus multipori Sirsak

Planococcus citri (Risso) Jeruk

Planococcus lilacinus Jambu biji, sirsak, rambutan, jeruk

Planococcus minor Jambu biji, pisang, rambutan

Planococcus cryptus Jambu air, jeruk, manggis, pisang

Pseudococcus

pseudocitriculus (Betrem)

Jeruk

Pseudococcus

pseudofilamentosus (Betrem)

Jeruk

Nipaecoccus filamentosus

(Cockerell)

Jeruk

Nipaecoccus nipae Jambu biji, pisang, salak

Nipaecoccus viridis Nangka

Rastrococcus spinosus

(Robinson)

Mangga, jeruk, jambu bol, manggis, nangka

Rastrococcus chinensis Jambu air, jambu bol

Rastrococcus invadens Jeruk, mangga

Rastrococcus jabadiu Lengkeng, pisang, rambutan


(21)

Kutu Putih Paracoccus marginatus

Biologi

Kutu putih Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) merupakan serangga yang mengalami metamorfosis yang berbeda antara jantan dengan betina. Betina mengalamai metamorfosis paurometabola (metamorfosis bertahap), yaitu terdiri dari stadium telur, nimfa instar-1, nimfa instar-2, nimfa instar-3 dan imago. Perpindahan antar stadia nimfa dan imago tidak mengalami perubahan bentuk, hanya terjadi pertambahan ukuran tubuh dan fungsi organ. Imago betina tidak memiliki sayap sedangkan imago jantan bersayap. Serangga jantan mengalami metamorfosis holometabola, yaitu metamorfosis sempurna yang terdiri dari fase telur, nimfa instar-1, nimfa instar-2, nimfa instar-3 (pra pupa), pupa, dan imago (Gill & Dutky 2006; Walker et al.

2009).

Kutu putih aktif meningkat populasinya pada musim kemarau atau musim panas. Telur kutu putih berwarna hijau kekuning-kuningan yang diletakkan di dalam kantung telur yang panjangnya 3-4 kali panjang tubuhnya dan ditutupi oleh zat lilin berwarna putih. Telur menetas menjadi nimfa setelah 10 hari (Walker et al. 2003). Pada suhu 20-30ºC telur mampu bertahan sampai 80-90%, suhu optimum untuk perkembangan telur yaitu 25ºC (Amarasekare et al. 2007).

Imago betina umumnya meletakkan telur sebanyak 100-600 butir di dalam kantung telur. Kantung telur diletakkan dalam waktu 1-2 minggu. Kantung terbuat dari benang-benang seperti lilin yang sangat lengket, sehingga mudah melekat pada permukaan tanaman. Serangga nimfa instar-1 yang baru menetas disebut crawler (Walker et al. 2009).

Nimfa instar-1 sangat aktif bergerak mencari tempat makan di sekitar pertulangan daun. Kutu putih memiliki bentuk mulut menusuk mengisap dan memakan jaringan tanaman untuk mengisap cairan tanaman. Kutu putih pepaya memakan cairan tanaman dengan cara menusukkan stiletnya pada epidermis daun, buah dan batang tanaman (Walker et al. 2003).

Pada stadium nimfa instar-1 jenis kelamin antara jantan dan betina belum dapat dibedakan. Perbedaan antara jantan dan betina dapat dilihat ketika serangga memasuki nimfa instar-2 (Amarasekare et al. 2008). Panjang tubuh nimfa


(22)

instar-1 ra mm denga panjang tu rata-rata 0 instar-3 be rata 0,7 m

ata-rata 0,4 an kisaran 0

ubuh rata-r 0,4 mm de etina rata-ra mm dengan k

mm dengan 0,2-0,3 mm rata 0,7 mm engan kisar

ata 1,1 mm kisaran

0,3-n kisara0,3-n 0, m. Nimfa in

m dengan ran 0,3-0,5

dengan kis 1,1 mm (M

3-0,5 mm d nstar-2 betin kisaran 0,5 mm. Pan saran 0,7-1, iller & Mill

dan lebar tu na berwarna 5-0,8 mm d njang tubuh

8 mm dan l ler 2002).

ubuh rata-rat a kuning de dan lebar t h stadium n

lebar tubuh ta 0,2 engan tubuh nimfa h rata-Bent betina ber berwarna p 2,7 mm d imago bet tepi tubuh telur (ovis

& Miller 2 bulan sehi Imago bet sehingga t

Gambar 1

tuk umum rwarna kun putih. Panj dan lebar tu tina memili h dan bagian

sac). Imago 2002; Walk ingga kutu tina mengh terjadi kopu

imago P. m

ning dan b jang tubuh i ubuh rata-ra iki rangkaia n ventral po o betina tida ker et al. 200

putih dapat hasilkan fer ulasi (Walke marginatus agian tubuh imago betin ata 1,4 mm an filamen l sterior tubu ak memiliki 09). Satu si t berkemba romon seks er et al. 200

dapat dilih hnya ditutu na rata-rata 2 m dengan ki

lilin yang p uh berfungsi i sayap dan iklus hidup angbiak

yang dapa 08).

hat pada Ga upi oleh la

2,2 mm den isaran 0,9-1 pendek di s

i untuk mem tidak aktif lengkap di 12 generasi at menarik

ambar 1. Im apisan lilin

ngan kisaran 1,7 mm. T sepanjang b mbentuk kan

bergerak (M lalui selama i dalam set

serangga j mago yang n 1,5-Tubuh bagian ntung Miller a satu ahun. antan

Imago Par

(b) (Foto: S

a 1 mm

racoccus ma

Sartiami) m

arginatus. Betina (a) ( 1 mm

b m


(23)

Tubuh serangga nimfa instar-2 jantan berwarna merah muda namun beberapa berwarna kuning. Panjang tubuh rata-rata 0,6 mm dengan kisaran 0,5-1,0 mm dan lebar tubuh 0,3 mm dengan kisaran 0,2-0,6 mm. Bentuk tubuhnya lebih lonjong dibandingkan yang betina. Nimfa instar-3 jantan disebut pra pupa, panjang tubuh rata 0,9 mm dengan kisaran 0,8-1,1 mm dan lebar tubuh rata-rata 0,4 mm dengan kisaran 0,3-0,4 mm. Stadium nimfa instar-4 jantan disebut pupa. Panjang pupa rata-rata 1,0 mm dengan kisaran 0,9-1,0 mm dan lebar pupa rata-rata 0,3 mm dengan kisaran 0,3-0,4 mm. Imago jantan memiliki sepasang sayap dan bentuk tubuh oval memanjang. Panjang tubuh rata-rata 1,0 mm dengan kisaran 0,9-1,1 mm dan lebar toraks rata-rata 0,3 mm dengan kisaran 0,2-0,3 mm (Miller & Miller 2002; Walker et al. 2009).

Miller dan Miller (2002) mengemukakan dua karakteristik penting untuk membedakan imago P. marginatus betina dari spesies-spesies Paracoccus

lainnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada saluran oral-rim yang terletak dibagian pinggir tubuh, dan ketiadaan pori-pori pada tibia belakang. Pada imago jantan dapat dibedakan dari bentuk dan karakter seta yang kuat serta antena dan tungkai yang tidak memiliki seta.

Tumbuhan Inang

Kutu putih pepaya bersifat polifag, diketahui hama ini memiliki tumbuhan inang lebih dari 55 spesies dari 25 genus (Gibbs & Taylor 2003). Tumbuhan inang hama ini diantaranya adalah pepaya, bunga kembang sepatu, singkong, melon, jarak pagar, alpukat, jeruk nipis, tomat, lada, ubi jalar, mangga dan tanaman hias (Walker et al. 2003; Meyerdirk et al. 2004; Pena et al. 2005). Menurut Sartiami et al. (2009) di Indonesia serangga ini menyerang 21 spesies tanaman inang yang terdiri dari famili Caricaceae, Fabaceae (polong-polongan), Solanaceae (terung-terungan), Euphorbiaceae, Araceae (talas-talasan), Cucurbitaceae (labu-labuan), Malvaceae (kapas-kapasan), Convolvulaceae (kangkung-kangkungan), Myrtaceae (jambu-jambuan), Moraceae, Rubiaceae dan Apocynaceae.

Pepaya merupakan inang utama dari kutu putih (Walker et al. 2003). Pepaya mengandung protein sebanyak 8,0 g/100g pada daun, 2,1 g/100g pada buah muda dan 0,5 g/100g pada buah tua (Depkes RI 2002 dalam Astawan 2010).


(24)

Daun ubi kayu juga mengandung protein yang dibutuhkan kutu putih sebagai nutrisi, namun kandungan protein di ubi kayu lebih rendah dibandingkan pepaya yaitu 6,8 g/100g (Widianta & Deva 2008).

Persebaran

Serangga ini pertama kali ditemukan di Meksiko pada tahun 1955. Pada waktu itu belum banyak informasi yang tersedia mengenai kutu putih ini. Kutu putih pepaya kemudian diketahui menyebar keluar dari Meksiko pada awal tahun 1990-an. Pada tahun 1994 hama ini dilaporkan dijumpai di Kepulauan Virgin, Republik Dominika, dan Greanada. Selanjutnya pada tahun 1996 kutu putih pepaya ditemukan di daerah Antigua, Saint Martin. Pada tahun 1998 hama ini dilaporkan menyerang berbagai tanaman di daerah Florida Amerika Serikat, Haiti, St. Kitts dan Nevis, St. Barthelemy dan Guadalupe dan pada tahun 1999 di Guyana Prancis, Kuba, dan Puerto Rico. Pada tahun 2000, hama ini dijumpai di daerah Barbados, Cayman, Montserrat. Tahun 2002 hama ini ditemukan di daerah Kepulauan Bahama dan Guam, Palau pada tahun 2003. Tahun 2004 dan 2006, hama ini diketahui telah menyebar di daerah Hawaii, dan tahun 2005 di Tinian (Williams & Granara de Willink 1992; Pena et al. 2005; Heu 2007; Muniappan 2010).

Hama ini mulai diketahui masuk ke Indonesia pada bulan Mei 2008 di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan hasil survei tim USAID, di Indonesia hama ini telah menyebar ke daerah Bali dan Sulawesi. Pada bulan Juli 2008 diketahui bahwa hama ini telah menyebar di India. Pada bulan September hama ini dilaporkan telah menyebar di daerah Sri Lanka dan bulan November 2008 di Thailand. Pada bulan Mei 2009 hama ini telah menyebar di Bangladesh dan bulan Agustus 2009 dilaporkan bahwa penyebaran hama ini telah mencapai daerah Maldives (Muniappan 2010).

Hasil survei Direktorat Jendral Hortikultura (2010) mendapatkan bahwa kutu putih pepaya telah menyebar di beberapa daerah di Pulau Jawa, seperti di Kabupaten Bogor (Kecamatan Gunung Putri, Sukaraja, Cigombong, Dramaga, Rancabungur, Cijeruk, Ciburui, Cibinong, dan Bojonggede), Kabupaten Sukabumi (Kecamatan Cicurug dan Cidahu), dan Depok (Kecamatan Beji dan Pancoran Mas) Provinsi Jawa Barat. Selain di wilayah Jawa Barat, kutu putih


(25)

pepaya ini juga telah menyebar di wilayah DKI Jakarta yaitu Jakarta Selatan (Kecamatan Jagakarsa, Cilandak, Pasar Minggu dan Senayan) dan Provinsi Banten yaitu Kecamatan Ciputat. Hama ini dapat menyebar dengan cepat melalui bantuan angin, menempel pada bulu-bulu unggas seperti burung, terbawa oleh pakaian atau bahan tanaman yang diperdagangkan (Meyerdirk 1999; Rauf 2009).

Gejala Serangan dan Dampak Ekonomi

P. marginatus memiliki alat mulut menusuk mengisap dan memakan jaringan tanaman untuk mengisap cairan tanaman. Tusukan stilet pada jaringan epidermis tanaman menghasilkan racun sehingga mengganggu proses fisiologis tanaman. Tanaman yang terserang memperlihatkan gejala seperti klorosis, kerdil, kelainan bentuk pada daun (abnormal), daun dan buah mudah rontok, permukaan tanaman ditutupi oleh embun madu dan akhirnya tanaman dapat mengalami kematian (Walker et al. 2003; Meyerdirk et al. 2004; Pena et al. 2005). Tanaman yang terserang hama ini juga menunjukan gejala seperti terbakar (Anonim 2003).

Serangan pada pucuk tanaman pepaya menyebabkan daun menjadi kerdil dan keriput. Pada serangan berat, hama ini menutupi permukaan bawah daun pepaya sehingga menyebabkan daun mengering dan akhirnya tanaman mati (Gambar 2). Selain itu, hama ini juga menghasilkan embun madu yang dapat ditumbuhi cendawan jelaga sehingga permukaan tanaman yang diserang berwarna hitam (Heu 2007; Rauf 2008). Tertutupnya permukaan daun oleh cendawan jelaga mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis sehingga dapat mempengaruhi produktivitas tanaman. Serangan hama ini juga mengakibatkan bunga dan buah pepaya gugur sebelum waktunya (Anonim 2008; Walker et al.

2003). Survei pada petani pepaya di daerah Bogor yang dilakukan oleh Ivakdalam (2010) mendapatkan bahwa serangan hama ini menyebabkan penurunan produksi sebanyak 58%, dan kerugian ekonomi yang dialami petani mencapai 88% karena tanaman mati pada saat mulai berbuah.


(26)

Gambar 2 Serangan P. marginatus pada tanaman pepaya (Foto: Rauf)

Nutrisi Serangga

Serangga membutuhkan nutrisi lengkap untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Semua serangga membutuhkan nutrisi yang sama. Kebutuhan nutrisi tersebut diperoleh dari inang sebagai sumber makanannya, instar sebelumnya (imago yang tidak makan) dan mikroorganisme simbion. Bila serangga tidak mendapatkan nutrisi yang berimbang maka serangga tidak mampu berganti kulit dan tidak mampu meletakkan telur. Beberapa molekul makro yang sangat dibutuhkan oleh serangga di dalam nutrisinya antara lain karbohidrat, protein, lipid, sterol, vitamin, asam nukleat, air dan mineral (Awmack & Leather 2002).

Setiap tanaman umumnya mengandung nutrisi yang sama namun berbeda pada kandungan senyawa sekundernya (Fraenkel 1969). Menurut Kennedy (1965), metabolit primer atau senyawa esensial pada tanaman merupakan faktor penentu dalam seleksi tanaman inang oleh serangga. Selain nutrisi pada tanaman, bentuk permukaan, ukuran, dan warna dari tanaman menjadi faktor utama serangga dalam menerima tanaman inangnya. Senyawa kimia pada tanaman akan mempengaruhi perilaku makan serangga dan perilaku kawin serta reproduksi (Sutherland 1977). Kualitas tanaman memberikan pengaruh terhadap populasi,


(27)

strategi reproduksi seperti sumber untuk membentuk telur, ukuran dan kualitas telur, serta bentuk dan ukuran serangga jantan dan nisbah kelamin (Awmack & Leather 2002).

Senyawa-senyawa kimia pada tanaman disintesis melalui sistem metabolisme primer yang menghasilkan karbohidrat, protein, lipid dan asam nukleat yang merupakan nutrisi esensial bagi serangga. Variasi dalam susunan senyawa kimia primer dapat mempengaruhi preferensi dan performa serangga (Bartlet et al. 1990). Selain sebagai sumber nutrisi, karbohidrat juga menentukan perilaku makan serangga. Karbohidrat dapat berfungsi sebagai antraktan, arestan, dan stimulan (Joern & Behmer 1998). Karbohidrat bagi imago dibutuhkan untuk pergerakan sayap ketika terbang dan reproduksi. Umumnya imago yang mengonsumsi karbohidrat berumur lebih panjang; karbohidrat ini juga berpengaruh terhadap keperidian dan kemampuan bertahan hidup serangga (Stockhoff 1993). Serangga membutuhkan zat gula untuk merangsang makan, khususnya yang berupa sukrosa, asam amino dan lemak (Sutherland 1977).

Perbedaan konsentrasi nutrisi yang dibutuhkan oleh setiap serangga herbivora dapat mempengaruhi perilaku serangga. Nitrogen, gula dan asam amino pada tanaman inang sangat menentukan keperidian bagi serangga tipe menusuk mengisap, terutama yang mengisap jaringan floem (Dixon 1970; Calatayud & Le Rü 2006).

Neraca Hayati

Neraca hayati merupakan studi yang berisikan data sintasan dan keperidian per individu dalam suatu populasi atau kelompok. Berdasarkan data yang dihasilkan dapat ditentukan peluang harapan hidup suatu individu (Oka 1995). Neraca tersebut digunakan karena adanya generasi tumpang tindih yang disebabkan karena terjadi kematian dan kelahiran pada waktu yang bersamaan (Price 1997).

Neraca hayati pada serangga sangat penting dikaji untuk mengetahui perkembangan, distribusi, dan kelimpahan serangga (Andrewartha & Birch 1954). Setiap serangga memiliki masa perkembangan yang berbeda-beda. Berdasarkan neraca hayati dapat ditentukan berbagai data statistik yang merupakan informasi populasi seperti kelahiran (natalitas), kematian (mortalitas) dan peluang untuk


(28)

berkembangbiak (Tarumingkeng 1992; Price 1997; Begon et al. 2006). Individu betina memiliki proporsi yang sangat penting dalam neraca hayati. Hal ini sangat berkaitan dengan jumlah individu yang dihasilkan terutama keturunan betinanya (Price 1997).

Ada dua jenis neraca hayati yang umum digunakan, yaitu neraca hayati horizontal (cohort life table) dan neraca hayati vertikal atau statis (current life table). Pemantauan pada neraca hayati horizontal dilakukan terhadap keberlangsungan hidup dari individu-individu yang dilahirkan bersamaan pada periode pendek. Neraca ini sering digunakan untuk spesies yang berumur pendek seperti serangga, yang perkembangan hidupnya dapat diamati di laboratorium. Neraca hayati vertikal atau statis (current life table), digunakan untuk memantauan keberlangsungan hidup dari individu-individu yang berbeda umur dalam populasi dan kurun waktu yang sama, sering digunakan untuk organisme yang rentang perkembangan hidupnya lama contohnya manusia (Tarumingkeng 1992; Carey 1993).

Menurut Carey (1993) neraca hayati cohort terdiri dari usia (x), kemampuan bertahan hidup (lx), proporsi individu bertahan hidup pada usia x hingga x+1 (px), proporsi individu yang mati pada umur x hingga x+1 (qx), laju kematian individu pada umur x hingga x+1 (dx), panjang waktu hidup individu yang mencapai usia x (Lx), jumlah individu hidup yang tersisa dari semua individu yang mencapai usia x (Tx), harapan hidup dari individu yang mencapai umur x (ex). Dalam menyusun neraca hayati terlebih dahulu harus ditentukan kisaran umur organisme tersebut (Oka 1995).

Menurut Begon et al. (2006) terdapat tiga peubah yang terkait terhadap keperidian pada neraca hayati, yaitu Fx, mx, dan Lxmx. Peubah Fxdan mx dihitung dari jumlah total keturunan yang dihasilkan dan rata-rata jumlah keturunan per individu pada setiap umur. Peubah Fx digunakan untuk menghitung laju reproduksi bersih (Ro) atau nilai ini didapatkan dengan menjumlahkan nilai dari jumlah keturunan yang dihasilkan per individu pada setiap umur (∑ Lxmx). Laju pertambahan intrinsik (r) dihitung berdasarkan nilai (logaritma natural/ln) dari laju reproduksi bersih (Ro) terhadap rataan masa generasi (T). Nilai reproduksi


(29)

(RV) dihitung berdasarkan nilai keperidian individu (mx), sintasan harian individu (lx), dan laju reproduksi bersih (Ro).

Parameter populasi pada neraca hayati meliputi laju reproduktif kotor (GRR), laju reproduktif bersih (Ro), lama generasi (T), laju pertumbuhan intrinsik (rm), laju pertumbuhan terbatas (λ), serta nilai reproduktif (Vx/Vo) yang dihitung berdasarkan data lx dan mx (Rauf & Hidayat 1987).

Menurut Carey (1993) dengan menggunakan data neraca hayati dapat dihitung berbagai parameter pertumbuhan populasi seperti laju reproduksi bersih (Ro), yang merupakan rata-rata jumlah keturunan betina yang dihasilkan oleh imago betina per generasi. Nilai Ro dapat dihitung dengan menjumlahkan rata-rata individu pada kelas umur x dan kelas umur berikutnya x+1 dikali jumlah anak (betina) yang lahir pada kelas umur x (Ro = ∑ Lx mx). Laju pertambahan intrinsik (rm), merupakan rata-rata banyaknya individu betina yang dihasilkan seekor induk betina per hari. Nilai rm dapat dihitung dari data sintasan dan reproduksi, rm = [(∑ e-rxLxmx)-1]. Rataan masa generasi (T) merupakan waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan hingga imago betina yang terbentuk menghasilkan keturunan lagi (T = ln (Ro)/rm). Laju pertambahan terbatas (λ) menunjukkan pertumbuhan terbatas pada populasi yang memiliki sebaran umur stabil. Populasi yang mencapai sebaran umur stabil memiliki nilai λ yang sama pada setiap umur. Nilai λ dapat dihitung dengan menggunakan persamaan λ = exp(rm). Masa ganda (DT), adalah waktu yang dibutuhkan untuk populasi meningkat dua kali lipat. Untuk menghitung DT digunakan persamaan DT = ln (2)/rm.


(30)

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kegiatan penelitian dilakukan mulai dari bulan April hingga September 2010. Tumbuhan inang yang diuji adalah pepaya (Carica papaya L.) varietas Bangkok, ubi kayu (Manihot esculenta) varietas Adira 1, dan jarak pagar (Jatropha curcas) varietas Lokal.

Penyiapan Tumbuhan Inang

Benih tanaman pepaya ditanam dalam nampan semai dengan menggunakan media tanam berupa tanah kompos dan sekam bakar. Setelah tanaman berumur 30 hari setelah tanam, tanaman dipindahkan ke dalam polibag berukuran 25 x 25 cm dengan media tanam berupa tanah dan pupuk kandang 1 : 1. Tanaman yang digunakan sebagai inang setelah tanaman berumur sekitar 2 bulan setelah tanam atau tinggi tanaman sekitar 30 cm.

Tanaman ubi kayu yang digunakan berasal dari setek batang. Panjang setek yang digunakan 20-25 cm dan ditanam di dalam polibag berukuran 25 x 25 cm dengan media tanam berupa tanah dan pupuk kandang 1 : 1. Tanaman yang digunakan sebagai inang setelah tanaman berumur sekitar 2 bulan setelah tanam.

Bibit jarak pagar dapat dilakukan melalui setek. Setek diambil dari cabang tanaman yang berpucuk dan sudah berkayu, ditandai dengan warna batang yang hijau keabuan. Panjang setek 15-30 cm dengan bentuk batang yang lurus. Setek ditanam di dalam polibag yang berisi campuran tanah, kompos (pupuk kandang) dan pasir dengan perbandingan 1:1:1. Setek dimasukkan secara tegak ke dalam tanah sedalam 10-15 cm. Daun tiap-tiap tanaman yang digunakan sebagai pakan adalah daun yang berada di bagian tengah (tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda).

Perbanyakan Serangga

Beberapa telur dan imago kutu putih pepaya dibawa dari lapangan dan dipelihara pada tanaman pepaya di laboratorium, kemudian diperbanyak pada tanaman pepaya, ubi kayu dan jarak pagar yang akan digunakan sebagai


(31)

perlakuan. Tanaman yang telah diinfestasi kutu putih diletakkan di dalam kurungan serangga untuk mencegah terjadinya parasitisasi dan pemangsaan oleh predator. Serangga kutu putih yang digunakan sebagai bahan penelitian merupakan serangga generasi kedua.

Perkembangan, Sintasan, dan Reproduksi

Untuk mengamati perkembangan P. marginatus digunakan sel akrilik seperti yang dikembangkan oleh Kim et al. (2008) dengan beberapa modifikasi untuk memelihara kutu putih pepaya. Sel pemeliharaan ini terbuat dari pelat akrilik yang bagian tengahnya dilubangi dengan diameter 1 cm. Pelat akrilik yang digunakan berukuran panjang 4 cm, lebar 2 cm dan ketebalan 5 mm (Gambar 3).

Telur yang digunakan dikoleksi dari 10 betina pada masing-masing tanaman guna menjamin keragaman genetis dalam populasi. Telur diambil setelah 24 jam oviposisi dengan menggunakan kuas halus. Telur diletakkan di atas daun, kemudian daun tersebut diletakkan di atas kapas yang telah dilembabkan. Tujuannya adalah agar daun tetap segar sampai telur tersebut menetas menjadi nimfa instar-1. Daun-daun tersebut diletakkan dalam wadah plastik di dalam ruang gelap dengan suhu konstan 27 ˚C.

Nimfa yang baru menetas diambil dengan menggunakan kuas halus, kemudian diletakkan pada masing-masing daun tanaman uji. Daun tersebut diletakkan diantara dua pelat akrilik yang bagian atas lubang ditutup menggunakan cover glass dan bagian bawahnya tetap berlubang untuk menjaga sirkulasi udara. Pelat tersebut dijepit menggunakan binder clip. Satu sel pelat akrilik diisi dengan 5 ekor P. marginatus instar-1, ketika serangga memasuki instar-1 akhir atau instar-2 awal dipilih satu ekor serangga yang paling bugar.

Pelat akrilik yang berisi serangga uji diletakkan di dalam cawan plastik yang telah dialasi kapas lembab. Pergantian pakan dilakukan setiap dua hari. Pengamatan dilakukan setiap 24 jam dengan menggunakan mikroskop binokuler. Seluruh wadah tempat perlakuan serangga diletakkan di ruang gelap dengan suhu konstan 27 ˚C. Pengamatan dilakukan terhadap 300 ekor kutu putih pepaya yang terdiri atas 100 ekor pada tanaman pepaya, 100 ekor pada tanaman ubi kayu dan 100 ekor pada tanaman jarak pagar.


(32)

Setelah serangga menjadi imago, dilakukan kopulasi untuk melihat reproduksi kutu putih. Reproduksi seksual (kopulasi), menggunakan imago jantan yang baru muncul dari pembiakan lainnya (diluar perlakuan) pada tanaman inang yang sama. Imago jantan diambil sewaktu masih berbentuk pupa. Imago betina yang digunakan berasal dari telur yang telah diperlakukan sejak awal (di dalam sel akrilik). Dua ekor pupa jantan dikurung dengan satu ekor imago betina dalam satu wadah pelat akrilik, serangga jantan dikeluarkan bila sudah mati. Pengamatan peletakan telur oleh imago dilakukan setiap hari. Setiap telur yang dihasilkan diambil dengan bantuan kuas halus, kantung telur dibuka dan dihitung jumlah telur yang dihasilkan. Pengamatan ini dilakukan sampai imago betina mati.

Untuk mendapatkan data keperidian maksimum yang dihasilkan kutu putih pepaya, maka dilakukan percobaaan tambahan untuk menentukan potensi keperidian pada kondisi optimum. Untuk maksud tersebut digunakan bibit tanaman, bukan potongan daun seperti pada sel akrilik. Percobaan ini menggunakan 10 individu imago betina yang diambil dari populasi masing-masing tanaman inang. Pengamatan dilakukan sampai imago betina mati. Setiap telur yang diambil dibuka dari kantung telur kemudian dihitung, sehingga diperoleh jumlah telur yang dihasilkan oleh betina selama hidupnya.

Pengamatan nisbah kelamin menggunakan individu betina yang telah berkopulasi. Serangga betina dipelihara pada tiap-tiap tanaman inang sampai telur yang dihasilkan menetas. Tanaman yang telah diinvestasi P. marginatus

dikurung menggunakan kurungan serangga. Pengamatan dilakukan pada nimfa instar-3 betina dan pra pupa atau pupa jantan. Individu yang telah diamati diambil dan dipisahkan dari tanaman. Perlakuan ini menggunakan lima betina dan lima tanaman inang sebagai ulangan. Selain itu, dilakukan pula percobaan reproduksi aseksual (partenogenetik). Percobaan menggunakan 20 ekor betina yang berasal dari pembiakan masing-masing tanaman inang. Betina yang digunakan adalah instar-2 akhir atau instar-3 awal. Imago betina dipelihara tanpa jantan di dalam sel akriliksampai mati.


(33)

Gambar 3 Pelat akrilik yang digunakan dengan daun tanaman dan serangga uji diantara pelat akrilik

Analisis Data

Analisis ragam dilakukan untuk memeriksa pengaruh tumbuhan inang terhadap berbagai parameter biologi perkembangan kutu putih pepaya, yang dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf 5%. Pengaruh tumbuhan inang terhadap kurva sintasan dianalisis dengan metode Kaplan-Meier dan diuji dengan uji log peringkat (log rank test). Nisbah kelamin dinyatakan sebagai % betina dan diuji kesesuaiannya terhadap nisbah teoritis (1:1) dengan uji khi kuadrat. Semua analisis tadi menggunakan Minitab 14 (Minitab Inc 2003).

Data sintasan dan keperidian disusun dalam bentuk neraca hayati untuk menentukan berbagai parameter demografi (Carey 1993), yang meliputi:

Laju reproduksi bersih, Ro = Σ lx mx;

Laju pertambahan intrinsik, rm dihitung secara iterasi Σ lxmx exp(rmx) = 1; Masa generasi, T = ln (Ro)/ rm;

Laju pertambahan terbatas, λ = exp(rm) ; Masa ganda, DT = ln (2) / rm;

Seluruh nilai tengah parameter ini dan ragamnya diduga dengan metode Jackknife (Meyer et al. 1986) menggunakan fungsi dan prosedur yang terdapat dalam program SAS (SAS Institute 1990) yang dikembangkan oleh Maia et al. (2000).


(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Pradewasa dan Imago

Telur P. marginatus berwarna kekuningan yang diletakkan berkelompok didalam kantung telur (ovisac) yang diselimuti serabut lilin berwarna putih. Kantung telur sangat mudah melekat pada tanaman sehingga membantu penyebaran P. marginatus dengan cepat. Kantung telur menempel pada bagian ventral ujung abdomen imago betina. Seperti umumnya serangga dari famili Pseudococccidae, kutu P. marginatus juga memiliki metamorfosis yang berbeda antara jantan dengan betina. Betina P. marginatus mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis bertahap), yang terdiri dari fase telur, nimfa instar-1, nimfa instar-2, nimfa instar-3 dan imago. Antara fase nimfa instar-1 sampai imago, serangga tidak mengalami perubahan bentuk namun terjadi perkembangan fungsi organ. Jantan P. marginatus mengalami metamorfosis holometabola (metamorfosis sempurna) yang terdiri dari fase telur, nimfa 1, nimfa instar-2, nimfa instar-3 (prapupa), pupa dan imago. Perubahan antar stadia ditandai dengan adanya eksuvia.

Nimfa instar-1 sangat aktif bergerak yang disebut crawler, sehingga dapat berpindah dari satu bagian tanaman ke bagian yang lain (Amarasekare et al.

2008). Nimfa instar berikutnya terutama imago cenderung menetap dan tidak aktif bergerak. Perbedaan antara kutu jantan dengan betina dapat terlihat pada fase nimfa instar-2 akhir. Nimfa bakal jantan berubah warnanya dari kuning menjadi merah jambu. Perbedaan ini lebih nyata terlihat pada instar berikutnya dan imago. Nimfa instar-3 jantan (prapupa) dan nimfa instar-4 (pupa) berwarna merah jambu, tubuhnya berbentuk jorong dan diselimuti kokon yang terbuat dari serabut lilin. Nimfa instar-3 betina berbentuk oval dan berwarna kekuningan. Perbedaan bentuk tampak jelas pada stadia imago, yaitu serangga jantan bersayap dan serangga betina tidak bersayap.

Hasil pengamatan masa perkembangan pradewasa kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang disajikan pada Tabel 2. Tumbuhan inang berpengaruh sangat nyata (P<0,001) terhadap masa perkembangan pradewasa termasuk telur dan berbagai instar nimfa, kecuali terhadap pupa (P=0,421) (Tabel 2).


(35)

Tabel 2 Masa perkembangan (hari) pradewasa kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang

Stadium Tanaman Inang

F db P Pepaya Jarak Pagar Ubi Kayu

Telur 7,25±0,18a 8,09±0,19b 9,86±0,30c 27,66 2, 43 < 0,001 Betina

Nimfa-1 5,25±0,16a 6,24±0,19b 8,58±0,13c 129,98 2, 16 < 0,001 Nimfa-2 6,56±0,33a 5,90±0,30a 8,07±0,20b 18,04 2, 152 < 0,001 Nimfa-3 7,63±0,48a 6,73±0,42a 11,21±0,68b 17,84 2, 148 < 0,001 Total nimfa 18,91±0,5a 18,97±0,58a 32,45±0,52b 152,56 2, 97 < 0,001 Jantan

Nimfa-1 5,16±0,17a 6,21±0,18b 7,54±0,13c 26,99 2, 89 < 0,001 Nimfa-2 5,14±0,26a 5,57±0,25a 18,45±1,80b 129,94 2, 86 < 0,001 Nimfa-3

(Prapupa)

1,58±0,12a 2,37±0,15b 5,50±0,37c 78,9 2, 85 < 0,001 Nimfa-4

(Pupa)

6,93±0,23a 7,18±0,25a 7,60±0,54a 0,87 2, 83 0,421 Total nimfa 18,95±0,4a 21,03±0,47b 40,60±1,60c 202,66 2,83 < 0,001

Angka rataan sebaris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Tukey, α = 0,05)

Stadium telur yang paling singkat terdapat pada pepaya (7,25 hari), diikuti oleh jarak pagar (8,09 hari) dan yang paling lama pada ubi kayu (9,86 hari). Begitu pula persentase telur yang menetas paling tinggi terjadi pada tanaman pepaya (93,9%), jarak pagar (92,9%) dan ubi kayu (75,5%). Masa perkembangan nimfa betina pada pepaya dan jarak pagar juga lebih singkat yaitu sekitar 18 hari dibanding dengan pada ubi kayu sekitar 32 hari. Nimfa instar-1 pada pepaya, jarak pagar dan ubi kayu secara berturut-turut berlangsung selama 5,25; 6,24; 8,58 hari. Nimfa instar-2 betina pada tiga jenis tumbuhan inang secara berturut-turut adalah 6,56; 5,90; 8,07 hari. Nimfa instar-2 jantan berlangsung selama, 5,14 hari pada pepaya, 5,57 hari pada jarak pagar, dan perkembangan paling lama terjadi pada ubi kayu 18,45 hari. Stadium nimfa instar-3 pada tanaman pepaya, jarak pagar dan ubi kayu secara berturut-turut berlangsung selama 7,63; 6,73; 11,21 hari untuk betina dan 1,58; 2,37; 5,50 hari untuk jantan (prapupa). Nimfa instar-4 (pupa) berlangsung selama 6,93 hari pada pepaya, 7,18 hari pada jarak pagar dan 7,60 hari pada ubi kayu. Ketiga jenis tumbuhan inang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap lama perkembangan pupa. Hal tersebut disebabkan karena pada fase pupa, serangga tidak makan sehingga daun tumbuhan inang tidak berpengaruh terhadap lama perkembangan pupa. Secara


(36)

umum masa perkembangan pradewasa jantan lebih lama daripada betina, hal ini terkait dengan adanya instar tambahan pada jantan yaitu instar-4 yang berupa pupa.

Dengan mempertimbangkan masa stadium telur, waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan hingga imago betina terbentuk sekitar 26-27 hari pada pepaya dan jarak pagar dan sekitar 42 hari pada ubi kayu. Amarasekare et al.

(2008) yang meneliti P. marginatus pada inang Acalypha, Hibiscus, Parthenium

dan Plumeria mendapatkan masa perkembangan sejak telur hingga terbentuk imago berkisar 24-26 hari untuk betina dan 27-30 hari untuk jantan. Pengaruh jenis tumbuhan inang terhadap masa perkembangan pradewasa juga dilaporkan pada kutu putih lainnya seperti Planococcus citri (Polat et al. 2008).

Rata-rata masa hidup imago jantan lebih singkat dibandingkan imago betina. Imago jantan hidup sekitar 2-3 hari, sedangkan betina dapat hidup sekitar 12-15 hari (Tabel 3). Jenis tumbuhan inang berpengaruh nyata terhadap masa hidup imago jantan (F=3,7; db=2, 43; P=0,027). Pada pepaya masa hidup imago jantan berlangsung selama 2,74 hari (n=43), pada jarak pagar selama 2,85 hari (n=33) dan paling singkat pada ubi kayu 1,9 hari (n=10). Stadium imago betina paling lama terdapat pada tanaman pepaya 14,93 hari (n=27), dibandingkan pada jarak pagar 13,67 hari (n=12), dan tersingkat pada ubi kayu 12,29 hari (n=7); namun perbedaan tadi tidak nyata (F=1,72; db=2, 43; P=0,192) Hasil penelitian Grimes & Cone (1985) mendapatkan bahwa siklus hidup Pseudococcus maritimus

betina lebih lama daripada jantan.

Masa praoviposisi berlangsung sekitar 8 hari, oviposisi sekitar 4 hari, dan pasca oviposisi 1-3 hari, dan tidak dipengaruhi oleh jenis tumbuhan inang (P>0,05). Penelitian Amarasekare et al. (2008) pada spesies kutu yang sama mendapatkan masa hidup imago jantan 2,3 hari dan betina 21,2 hari, dengan masa praoviposisi 6,3 hari dan masa oviposisi 11,2 hari. Polat et al. (2008) yang meneliti Planococcus citri pada beberapa jenis tanaman hias mendapatkan masa hidup imago betina 18-29 hari, dengan rincian masa praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi berturut-turut berkisar 7-10 hari, 7-16 hari, dan 2-4 hari. Goldasteh et al. (2009) yang juga meneliti P. citri melaporkan pada suhu 25 oC


(37)

masa hidup imago jantan 1,4 hari dan imago betina 32 hari, yang terdiri dari masa praoviposisi 11,1 hari, oviposisi 17,6 hari, dan pascaoviposisi 3,9 hari.

Lebih singkatnya masa oviposisi dalam penelitian ini dibanding dengan hasil-hasil peneliti lainnya diduga terkait dengan teknik pemeliharaan serangga. Pada penelitian ini digunakan potongan daun, sedangkan pada penelitian Amarasekare et al. (2008), Polat et al. (2008), Goldasteh et al. (2009) digunakan setek tanaman. Diduga kualitas nutrisi pada setek tanaman lebih mendukung kehidupan kutu putih pepaya dibandingkan pada potongan daun. Terjadinya perbedaan masa perkembangan, reproduksi dan kelangsungan hidup kutu putih antar tanaman inang disebabkan karena terdapatnya perbedaan kualitas nutrisi dan senyawa kimia tanaman.

Didalam pertumbuhan dan perkembangannya, serangga membutuhkan nutrisi yang lengkap dari inangnya. Kualitas tanaman inang sangat mempengaruhi fekunditas serangga herbivora. Komponen-komponen di dalam tanaman seperti karbon, nitrogen dan metabolit sekunder akan mempengaruhi keperidian serangga herbivora (Awmack & Leather 2002).

Tabel 3 Masa hidup dan perkembangan (hari) imago kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang

Imago Tumbuhan Inang F db P

Pepaya Jarak Pagar Ubi kayu

Jantan 2,74±0,17a 2,85±0,15a 1,9±0,23 b 3,76 2, 43 0,027

Betina 14,93±1,75a 13,67±1,74a 12,29±1,49a 1,72 2, 43 0,192 Praoviposisi 8,37±0,32a 7,83±0,66a 8,14±0,71a 0,35 2, 43 0,707

Oviposisi 4,00±0,36a 3,92±0,43a 3,86±0,63a 0,02 2, 43 0,978 Pascaoviposisi 2,56±0,55a 1,92±1,24a 0,29±0,18a 2,67 2, 43 0,081

Angka rataan sebaris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Tukey, α = 0,05)

Keperidian dan Nisbah Kelamin

Teknik pemeliharaan dan jenis tumbuhan inang mempengaruhi keperidian kutu putih pepaya. Pada pemeliharaan dengan potongan jaringan daun, rataan banyaknya telur yang diletakkan berkisar antara 29,25-79,14 butir, sedangkan pada pemeliharaan menggunakan bibit tanaman berkisar 157,5-324,6 butir (Tabel 4).


(38)

Tabel 4 Keperidian (butir) dan nisbah kelamin (% betina) kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang

Tumbuhan inang

Pemeliharaan

Potongan jaringan daun Bibit tanaman Keperidian %

Betinab

Keperidian % Betinab Kisaran Rataana Kisaran Rataana

Pepaya 4 – 129 45,07± 5,51a 55,7tn 110 – 517 324,6 ±41,84a 89,5n Jarak pagar 4 – 46 29,25± 4,52a 53,9tn 86 – 340 186,6 ± 29,33b 62,5n Ubi kayu 24 – 137 79,14±15,30b 84,8n 26 – 351 157,5 ±31,61b 94,2n a

Angka rataan selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Tukey, α = 0,05)

b

n, nyata; tn, tidak nyata terhadap nisbah kelamin teoritis (1:1)

Pada pemeliharaan dengan menggunakan potongan daun tanaman, rata-rata telur yang dihasilkan per betina sebanyak 45,07 (n=27) butir pada pepaya, 29,25 (n=12) butir pada jarak pagar dan 79,14 (n=7) butir pada ubi kayu. Pemeliharaan pada tanaman hidup yang tumbuh di pot rataan keperidiannya mencapai 324,6 butir pada pepaya, 186,6 butir pada jarak pagar, dan 157,5 butir per betina pada ubi kayu, masing-masing dengan 10 ulangan (n=10). Hal ini menunjukkan bahwa teknik pemeliharaan pada potongan jaringan daun kurang mendukung keperidian kutu putih pepaya. Diperkirakan pemotongan daun menyebabkan perubahan fisiologis dalam jaringan daun yang pada giliran berikutnya mempengaruhi kehidupan kutu putih pepaya. Rendahnya telur yang dihasilkan oleh betina dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti nutrisi dan cekaman atau gangguan dari lingkungan, sehingga imago betina tidak dapat menghasilkan telur. Oleh karena itu, pengaruh tumbuhan inang terhadap keperidian mungkin lebih tepat didasarkan pada hasil pemeliharaan dengan bibit tanaman. Hasil analisis mengungkapkan bahwa kutu putih yang hidup pada bibit pepaya memperlihatkan keperidian yang lebih tinggi yaitu 324,6±41,84 butir dan berbeda nyata (F=6,62; db=2, 27; P=0,005) dibandingkan ubi kayu (157,5±31,61) dan jarak pagar (186,6±29,33). Senyawa kimia pada tanaman dapat mempengaruhi perilaku makan serangga dan perilaku kawin serta reproduksi (Sutherland 1977).

Keperidian juga dipengaruhi oleh jenis tanaman inang. Kesesuaian nutrisi pada tanaman inang sangat mempengaruhi keperidian serangga, bahkan bila nutrisi yang dibutuhkan tidak tercukupi serangga tidak berhasil melewati siklus hidupnya. Kualitas tanaman memberikan pengaruh terhadap populasi, strategi reproduksi seperti sumber untuk membentuk telur, ukuran dan kualitas telur, serta


(39)

bentuk dan ukuran serangga jantan dan nisbah kelamin (Awmack & Leather 2002). Penelitian Amarasekare et al. (2008) mendapatkan keperidian kutu putih pepaya pada tanaman hias Plumeria rubra L., Hibiscus rosa-sinensis L., Acalypha wilkesiana (Muell-Arg.), dan Parthenium hysterophorus L. berturut-turut 186,3; 244,4; 235,2; dan 230,2 butir. Hogendorp et al. (2006) melaporkan bahwa

Planococcus citri yang dipelihara pada daun dengan kandungan nitrogen tinggi memiliki jumlah telur yang lebih banyak, ukuran betina yang lebih besar, dan masa perkembangan yang lebih singkat. Terjadinya variasi dalam susunan senyawa kimia primer pada tanaman dapat mempengaruhi performa serangga yang sangat berhubungan dengan jumlah telur yang dihasilkan (Bartlet et al.

1990).

Serangga yang mengisap jaringan floem membutuhkan nitrogen dan asam amino yang tinggi untuk tumbuh dan berkembangbiak. Nitrogen, gula dan asam amino pada tanaman inang sangat menentukan keperidian serangga tipe menusuk mengisap, terutama yang mengisap pada jaringan floem (Dixon 1970; Calatayud & Le Rü 2006). Sebagai contoh pertumbuhan dan keperidian kutu daun

Drepanosiphum platanoidis meningkat dan cepat pada daun Acer pseudoplatanus

yang mengandung asam amino dan protein yang tinggi (Dixon 1970). Kutu daun

Rhopalosiphum padi, keperidiannya tinggi pada biji gandum yang mengandung asam amino tinggi (Weibull 1987). Jumlah protein pada daun pepaya (8,0 g/100 g) (Astawan 2010) lebih tinggi dari pada ubi kayu (6,8 g/100 g) (Widianta & Deva 2008) dan jarak pagar, sehingga menyebabkan individu yang bertahan hidup dan telur yang dihasilkan lebih banyak pada tanaman pepaya dibandingkan tanaman lainnya.

Nisbah kelamin kutu putih pepaya bervariasi tergantung pada teknik pemeliharaan dan tumbuhan inang. Secara umum proporsi betina lebih banyak dibandingkan jantan. Nisbah kelamin (% betina) kutu putih pepaya yang dipelihara pada potongan jaringan daun tidak berbeda nyata dengan nisbah teoritis (1:1), yaitu pada pepaya 55,7% (χ2=1,031; P=0,31) dan jarak pagar 53,7% (χ2=0,305; P=0,58), sedangkan pada ubi kayu 81,3% berbeda nyata (χ2=30,01; P<0,001). Amarasekare et al. (2008), mendapatkan nisbah kelamin P. marginatus


(40)

dengan bibit tanaman berbeda nyata dengan nisbah teroritis yaitu 89,5% pada pepaya (χ2=513,076; P<0,001), 62,5% pada jarak pagar (χ2=40,125; P< 0,001), dan 94,2% pada ubi kayu (χ2=487,526; P<0,001 ). Ross et al. (2010) melaporkan bahwa nisbah kelamin pada Planococcus citri dipengaruhi oleh kerapatan pada saat nimfa dan imago, umur imago, dan makanan.

Walaupun beberapa spesies kutu putih seperti Phenacoccus manihoti

Matile-Ferrero dan Phenacoccus solenopsis Tinsley memperlihatkan reproduksi partenogenesis telitoki (Calatayud & Le Ru 2006, Vennila et al. 2010), tidak satu pun imago betina P. marginatus yang yang tidak kawin (n=20) yang menghasilkan telur. Hal ini membuktikan bahwa kutu putih pepaya tidak bereproduksi secara partenogenetik. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh hasil penelitian Amarasekare et al. (2008) pada tanaman inang bukan pepaya. James (1937) dalam Grimes & Cone (1985) melaporkan kutu putih anggur memiliki tipe reproduksi seksual dengan nisbah kelamin betina lebih banyak dibandingkan jantan (0,09:3,8). Ada tiga sistem genetik yang mempengaruhi tipe reproduksi pada serangga kutu putih, yaitu; kromosom sex, sistem lecanoid dan sistem partenogenesis. Umumnya serangga jenis kutu putih memiliki tipe reproduksi seksual (McKenzie 1967).

Sintasan

Tumbuhan inang berpengaruh terhadap saat kematian kutu putih pepaya seperti terlihat dari kurva sintasan pada Gambar 4. Kurva sintasan pada ubi kayu berbeda nyata dengan pada pepaya (χ2=9,757; P=0,002) dan pada jarak pagar (χ2=10,65; P=0,001), sedangkan antara pepaya dan jarak pagar tidak berbeda nyata (χ2=0,082; P=0,775). Perbedaan tersebut tampaknya berhubungan dengan tingkat kematian dan masa perkembangan pradewasa. Tingkat kematian pradewasa kutu putih yang dipelihara pada potongan daun ubi kayu mencapai 65%, sedangkan pada pepaya dan jarak pagar berturut-turut 11% dan 25%. Sementara itu, kutu putih yang hidup pada ubi kayu memerlukan waktu hampir dua kali lipat lebih lama untuk menyelesaikan perkembangan pradewasanya dibandingkan pada pepaya atau jarak pagar (Tabel 2 sebelumnya).


(41)

Tingginya kematian fase pradewasa pada tanaman ubi kayu dapat disebabkan oleh tingginya kandungan fosfor dan senyawa fenolik dalam jaringan tanaman. Menurut Awmack & Leather (2002) kandungan fosfor dan senyawa fenolik pada daun dapat mempersingkat masa hidup serangga. Namun,

Planococcus citri yang dipelihara pada daun yang memiliki kandungan nitrogen tinggi mampu meningkatkan kualitas telurnya dan ukuran tubuh imago menjadi lebih besar (Hogendorp et al. 2006).

Serangga tipe pengisap floem membutuhkan nitogen dan asam amino sebagai nutrisi utamanya. Proporsi hidup paling tinggi terdapat pada tanaman pepaya dibandingkan tanaman lainnya. Diduga tanaman pepaya mengandung nitrogen yang tinggi sehingga mampu mendukung kehidupan kutu putih. Hasil penelitian Rae dan Jones (1992) mengungkapkan bahwa meningkatnya kandungan nitrogen pada tanaman mampu mendukung kehidupan fase pradewasa dan oviposisi Saccharicoccus sacchari pada tanaman tebu di laboratorium. Nitrogen memberikan pengaruh yang positif terhadap ukuran tubuh dan jumlah telur yang dihasilkan Pseudococcus maritimus (Grimes & Cone 1985). Populasi

Planococcus citri meningkat pada tanaman coklat yang mengandung unsur nitrogen tinggi (Fennah 1959 dalam Hogendorp et al. 2006).

0 10 20 30 40 50

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Pepaya Ubi kayu Jarak pagar

Waktu (hari setelah telur menetas)

P

ropor

si

y

ang hi

dup

Gambar 4 Kurva sintasan kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang berdasarkan metode Kaplan-Meier


(42)

Neraca Hayati

Neraca hayati kutu putih P. marginatus pada pepaya, jarak pagar, dan ubi kayu disajikan pada Tabel 5, 6, dan 7 berikut ini.

Tabel 5 Neraca hayati kutu putih Paracoccus marginatus pada pepaya

x (hari) lx mx lxmx

0,5 1,0 0 0

. . . .

. . . .

. . . .

22,5 0,81 0 0

23,5 0,81 0 0

24,5 0,81 0 0

25,5 0,81 0 0

26,5 0,81 0 0

27,5 0,81 0 0

28,5 0,81 0,49444 0,400496

29,5 0,81 0,42852 0,347101

30,5 0,81 2,73593 2,216103

31,5 0,81 2,30741 1,869002

32,5 0,81 4,74667 3,844803

33,5 0,81 2,80185 2,269499

34,5 0,78 2,87538 2,242796

35,5 0,72 3,74542 2,696702

36,5 0,69 7,00391 4,832698

37,5 0,69 4,87565 3,364199

38,5 0,66 2,71045 1,788897

39,5 0,54 3,46111 1,868999

40,5 0,48 4,2275 2,0292

41,5 0,42 3,24214 1,361699

42,5 0,39 1,91692 0,747599

43,5 0,27 1,87889 0,5073

44,5 0,12 0,89 0,1068

45,5 0,09 0 0


(43)

Tabel 6 Neraca hayati kutu putih Paracoccus marginatus pada jarak pagar

x (hari) lx mx lxmx

0,5 1,0 0 0

. . . .

. . . .

. . . .

23,5 0,54 0 0

24,5 0,54 0 0

25,5 0,54 0 0

26,5 0,54 0 0

27,5 0,54 0 0

28,5 0,54 0 0

29,5 0,54 0,625 0,3375

30,5 0,54 0 0

31,5 0,54 0,5625 0,30375

32,5 0,54 1,875 1,0125

33,5 0,54 1,4375 0,77625

34,5 0,54 0,75 0,405

35,5 0,54 1,5625 0,84375

36,5 0,54 2,625 1,4175

37,5 0,495 1,1591 0,573755

38,5 0,405 4,8333 1,957487

39,5 0,405 0 0

40,5 0,405 5,8333 2,362487

41,5 0,36 0,9375 0,3375

42,5 0,36 0,5625 0,2025

43,5 0,36 1,5 0,54

44,5 0,09 0 0

45,5 0,045 17,25 0,77625

46,5 0,045 0 0

47,5 0,045 0 0


(44)

Tabel 7 Neraca hayati kutu putih Paracoccus marginatus pada ubi kayu

x (hari) lx mx lxmx

0,5 1,0 0 0

. . . .

. . . .

. . . .

41,5 0,15 0 0

42,5 0,15 0 0

43,5 0,15 0 0

44,5 0,15 0 0

45,5 0,15 0 0

46,5 0,15 0 0

47,5 0,15 0 0

48,5 0,15 0 0

49,5 0,15 21,8886 3,28329

50,5 0,15 12,22 1,833

51,5 0,15 23,2314 3,48471

52,5 0,12857 8,93 1,14813

53,5 0,12857 6,2667 0,80571

54,5 0,08571 1,41 0,120851

55,5 0,06429 0 0

56,5 0,02143 22,56 0,483461

Hasil perhitungan parameter populasi P. marginatus pada tanaman pepaya, jarak pagar dan ubi kayu disajikan pada Tabel 8. Nilai parameter neraca hayati bervariasi tergantung pada jenis tumbuhan inang. Laju reproduksi bersih (Ro) tertinggi terdapat kutu putih yang dipelihara pada potongan daun pepaya dan berbeda sangat nyata (P<0,001) dengan pada potongan daun jarak pagar dan ubi kayu (Tabel 8). Laju pertambahan intrinsik (rm) juga berbeda antar tumbuhan inang (P<0,001), paling tinggi terdapat pada pepaya. Pola yang sama diperlihakan pula oleh perbedaan nilai laju pertambahan terbatas (λ) di antara ketiga tumbuhan inang. Masa generasi (T) pada pepaya dan jarak pagar lebih singkat dan berbeda nyata (P<0,001) bila dibanding dengan pada ubi kayu.


(45)

Tabel 8 Parameter neraca hayati kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang Parameter Pepaya Jarak pagar Ubi kayu

Ro (♀/♀) 32,49±3,97a 11,85±1,83b 11,16±2,16b T (hari) 29,86±0,61a 31,52±1,009a 42,65±0,37b

rm (♀/♀/h) 0,117±0,005a 0,079±0,005c 0,057±0,005b λ (♀/♀/h) 1,12±0,006a 1,08±0,006c 1,06±0,005b

DT (hari) 5,93±0,25a 8,76±0,62c 12,07±1,1b

Angka rataan sebaris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Tukey, α = 0,05)

Berdasarkan hasil yang diperoleh laju reproduksi bersih (Ro) paling tinggi terdapat pada pepaya (32,49 ♀/♀) bila dibandingkan dengan jarak pagar (11,85

♀/♀) dan ubi kayu (11,16 ♀/♀) tanaman inang lainnya, parameter ini sangat berkaitan dengan kemampuan hidup (lx) dan keperidian harian (mx) imago betina. Dengan demikian bahwa populasi kutu putih pada pepaya dapat meningkat 32 kali lipat dalam setiap generasinya. Tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi keperidian dan peluang hidup seperti faktor lingkungan, tersedianya makanan, kerapatan populasi dan lain-lain, menunjukkan bahwa populasi kutu putih tertinggi terdapat pada tanaman pepaya (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa pepaya sangat cocok sebagai inang bagi perkembangan dan keperidian kutu putih dibandingkan ubi kayu dan jarak pagar. Berbagai perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan faktor fisik dan kimia daun dari setiap tumbuhan inang yang diuji (Sadof et al. 2003; Hogendrop et al. 2006). Rataan masa generasi (T) kutu putih pepaya paling lama terdapat pada ubi kayu (42,65). Ubi kayu mengandung senyawa metabolit sekunder cyanogenic yang dapat menghambat serangga penghisap floem mengambil nutrisi pada inangnya (Conn 1980 dalam Calatayud & Le Rü 2006). Hasil penelitian (Calatayud et al. 1994 dalam Calatayud & Le Rü 2006) menyatakan senyawa cyanogenic mampu menghambat proses penetrasi Phenacoccus manihoti pada tanaman ubi kayu.

Laju pertambahan intrinsik kutu putih (rm) dan laju pertambahan terbatas (λ) yang dipelihara pada pepaya lebih tinggi dibandingkan pada ubi kayu dan jarak pagar. Laju pertambahan intrinsik adalah statistik komposit yang telah mempertimbangkan berbagai parameter hayati seperti lama perkembangan, keperidian, lama hidup, sintasan, dan nisbah kelamin (Carey 1993). Oleh karena


(1)

 

BIOLO

PUTIH

de Willi

OGI PERK

H PEPAY

ink) (HEM

IN

KEMBAN

YA,

Paraco

MIPTER

JENIS T

YA

SEKOLA

NSTITUT

NGAN DA

occus mar

RA: PSEU

TUMBUH

ANI MAH

AH PASC

T PERTA

BOGO

2011

AN NERA

rginatus

(

UDOCOCC

HAN INA

HARANI

CASARJA

ANIAN BO

OR

1

ACA HAY

(Williams

CIDAE) P

ANG

YATI KU

s & Grana

PADA TI

 

UTU

ara

IGA

ANA

OGOR


(2)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2003. Papaya Mealybug, Paracoccus marginatus, in Palau. Plant

Protection Service Secretariat of the Pasific Community. No.31.

[Anonim]. 2008. Waspada serangan kutu putih pada tanaman papaya. Direktorat

Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian. http://www.hortikultura.deptan.go.id [30 Mei 2009].

Andrewartha HG, Birch LC. 1954. The Distribution and Abundance of Animals. Chicago: University of Chicago Press.

Amarasekare KG, Chong JH, Mannion CM, Epsky ND. 2007. Effect of temperature on the biology of Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink (Homoptera: Pseudococcidae) [abstrak]. Di dalam: Thomas C. Emmel, editor. Annual Meeting Florida Entomological Society; Ritz Carlton Resort Sarasota Florida, 15-18 Juli. Florida: Florida Entomological Society. hlm 7.

Amarasekare KG, Mannion KM, Osborne LS, Epsky ND. 2008. Life history of

Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) on four host plant

species under laboratory conditions. Environ Entomol. 37: 630-635.

Achterberg van K et al. 1996. The Insect of Australia. Australia: Melbourne University Press.

Astawan M. 2010. Jangan sepelekan gizi pepaya!. Kompas 11 Januari 2010. Awmack CS, Leather SR. 2002. Host plant quality and fecundity in herbivorous

insect. Annu Rev Entomol. 47:817-844.

Bartlet R, McGuire M, Black D. 1990. Feeding stimulants for the European corn borer (Lepidoptera: Pyralidae): additives to a starch-bases formulation for

Bacillus thuringiensis. Environ Entomol 19:182-189.

Begon M, Harper JL, Towsend CR. 2006. Ecology: From Individuals to

Ecosystems. 4th ed. Oxford: Blackwell Science.

Carey JR. 1993. Applied Demography for Biologists with Special Emphasis on

Insect. Oxford: Oxford University Press.

Calatayud PA, Le Rü B. 2006. Cassava-Mealybug Interactions. Paris: Institut De Recherche Pour Le Developpement.

Chong JH, Roda AL, Mannion CM. 2008. Life history of the mealybug,

Maconellicocus hirsutus (Hemiptera: Pseudococcidae), at constant

temperatures. Environ Entomol. 37(2): 323-332.

Culik MP, Gullan PJ. 2005. A new pest of tomato and other records of mealybugs (Hemiptera: Pseudococcidae) from Espirito Santo, Brazil. J

Zootaxa. 964:1-8.

[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2009. Komoditi Pepaya. Jakarta: RI [19 Feb 2010].


(3)

[Ditjen Hortikultura] Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2010. Kutu putih. Departemen Pertanian. http://www.ditlin.hortikultura.deptan.go.id [1 April 2010].

Dixon AFG. 1970. Quality and availability of food for a sycamore aphid population. In Animal Populations in Relation to Their Food Resources, ed. A Watson. Oxford: Blackwell Sci. 271-278 pp.

Fraenkel G. 1969. Evolution of our thoughton secondary plant substances. Ent

Exp and Appl 12:473-486.

Gibbs HI, Taylor B. 2003. A Review of the Biological Control Program for the Pink Hibiscus Mealybug Maconellicoccus hirsutus (Green) (Homoptera: Pseudococcidae) in Barbados: Problems and Progress. National Coucil for

Science and Technology. hlm 1-5.

Gill S, Dutky E. 2006. Pest management conference. Greenhouse TPM/IPM Weekly Report University of Maryland CooperativeExtension Central

Maryland Research and Education. http://www.agnr.umd.edu/ipmnet [29

Mei 2009].

Goldasteh et al. 2009. Effect of temperature on life history and population growth parameters of Planococcus citri (Homoptera: Pseudococcidae) on Coleus [Solenostemon scutellarioides (L.) Codd]. Arch Biol Sci Belgrade

61(2): 329-336.

Grimes EW, Cone WW. 1985. Life history, sex attraction, mating and natural enemies of the grape mealybug, Pseudococcus maritimus (Homoptera: Pseudococcidae). Ann Entomol Soc Am 78:554-558.

Heu RA, Fukada MT, Conant P. 2007. Papaya Mealybug Paracoccus

marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae).

New Pest Advisory No.04-03. Department of Agriculture, State of Hawaii. Hogendorp BK, Cloyd RA, Swiader JM. 2006. Effect of nitrogen fertility on

reproduction and development of citrus mealybug, Planococcus citri Risso (Hpmoptera: Pseudocccidae), feeding on two colors of coleus, Solenostemon

scutellarioides L. Codd. Environ Entomol 35:201-211.

Ivakdalam L. 2010. Dampak ekonomi serangan hama invasif Paracoccus

marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) pada usahatani pepaya di

Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Joern A, Behmer ST. 1998. Impact of diet quality on demographic attributes in adult grasshoppers and the nitrogen limitation hypothesis. Ecol Entomol.

23:174-184.

Kalie MB. 2008. Bertanam Pepaya edisi revisi. Jakarta: Penebar Swadaya. Kalshoven LGE. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-Van

Hoeve.

Kennedy JS. 1965. Mechanism of host plant selection. Ann Appl Biol. 56:317-322.


(4)

Kim SC, Song JH, Kim DS. 2008. Effect of temperature on the development and fecundity of the Cryptic Mealybug, Pseudococcus cryptus, in the laboratory.

Asia Pasific Entomol 11: 149-153.

Maia A De HN, Luis AJB, Campanhola C. 2000. Statistical inference on associated fertility life table parameters using jackknife technique: Computational aspects. J Econ Entomol 93(2): 511-518.

McKenzie HL. 1967. Mealybugs of California with taxonomy, biology, and control of North American species (Homoptera: Coccoidea:

Pseudococcidae). Los Angeles: University of California Press.

Meyer JS, Ingersoll CG, McDonald LL, Boyce MS. 1986. Estimating uncertainty in population growth rates: Jackknife vs. Bootstrap techniques. Ecology 67: 1156-1166.

Meyerdirk DE. 1999. Control of papaya mealybug, Paracoccus marginatus

(Homoptera: Pseudococcidae). Environment Assessment, USDA, APHIS, PPQ, 20 pp.

Meyerdirk DE, Muniappan AR, Warkentin R, Bamba AJ, Reddy GVP. 2004. Biological control of the papaya mealybug, Paracoccus marginatus

(Hemiptera: Pseudococcidae) in Guam. Plant Protection Quarterly 19(3): 110-113.

Miller DR, Miller GL. 2002. Redescription of Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) including descriptions of the immature stage and adult male. Proc Entomol Soc Wash 104:1-23. Minitab Inc. 2003. Meet Minitab Release 14 for Windows. USA: Minitab Inc. Muniappan R et al. 2008. First report of the papaya mealybug, Paracoccus

marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae), in Indonesia and India. Agric

Urban Entomol. 25:37-40.

Muniappan R. 2010. Invasion of papaya in Asia. IPM CRSP, OIRED, Virginia

Tech, Blacksburg, VA 24060, USA. http://www.issg.org/cii/Electronic%20references/pii/BioControl_Workshop_

Nov09/Poster/Pasific_PapayaMealybug_Muniappan.pdf [18 Feb 2010]. Nakahira K, Arakawa R. 2006. Development and reproduction of an exotic

mealybug, Phenacoccus solani (Homoptera: Pseudococcidae) at three constant temperatures. Appl Entomol Zool 41(4):573-575.

Oka IN. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pena JE, Pantoja A, Osborne L, Duncan R, Flores MC, Meister C, Halbert S, Evans G, Hammon A. 2005. Homopteran and mite pests of papaya and their control. Proc Fla State Hort Soc 118: 221-227.


(5)

Polat F, Ulgenturk S, Kaydan MB. 2008. Developmental biology of citrus mealybug, Planococcus citri (Risso) (Hemiptera: Pseudococcidae), on ornamental plants. 177-184 In: Branco, M., Franco, J.C. & Hodgson, C.J. (Editors), International Symposium on Scale Insect Studies, Oeiras, Portugal, 24-27 September 2007. ISA Press, Lisbon, Portugal. 322 pp.

Price PW. 1997. Insect Ecology. 3th ed. New York: John Wiley & Sons.

Rae DJ, Jones RE. 1992. Influence of host nitrogen levels on development, survival, size and population dynamics of sugarcane mealybug,

Saccharicoccus saccari (Cockerell) (Homoptera: Pseudococcidae). Austral J

Zool. 40:327-342.

Rauf A, Hidayat P. 1987. Statistik demografi kutu loncat lamtoro Heteropsylla

cubana Crawford (Homoptera: Psyllidae). Kongres Entomologi III. Jakarta

30 September-2 Oktober 1987.

Rauf A. 2008. Ribuan pohon papaya di Bogor mati diserang hama baru. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian-IPB. 4 h.

Rauf A. 2009. Pest Risk Analysis: Paracoccus marginatus. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian-IPB. 8 h.

Ross L, Langenhof MBW, Pen I, Beukeboom LW, West SA, Shuker DM. 2010. Sex allocation in a species with paternal genome elimination: the roles of crowding and female age in the mealybug Planococcus citri. Evol Ecol Res

12: 89-104.

SAS Institute. 1990. SAS User’s Guide, version 6.0. NC: SAS Institute, Cary. Sadof CS, Jonathan JN, Cloyd RA. 2003. Effect of variegation on stem exudates

of coleus and life history characteristics of citrus mealybug (Hemiptera: Pseudococcidae). Environ Entomol 32:463-469.

Sartiami D, Sosromarsono S, Buchori D, Suryobroto B. 1999. Keragaman spesies kutu putih pada tanaman buah-buahan di daerah Bogor. Didalam:

Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan

dan Ekonomis. Prosiding Seminar Nasional; Bogor, 16 Feb 1999. Bogor:

Perhimpunan Entomologi Indonesia. Hlm 429-438.

Sartiami D, Dadang, Anwar R, Harahap IS. 2009. Persebaran hama baru

Paracoccus marginatus di provinsi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta.

Didalam: Strategi Perlindungan Tanaman Menghadapi Perubahan Iklim Global dan Sistem Perdagangan Bebas. Prosiding Seminar Nasional

Perlindungan Tanaman; Bogor, 5-6 Agu 2009. Bogor: Pusat Kajian

Pengendalian Hama Terpadu Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. hlm 453-462.

[Sekneg RI] Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2008. Profil Indonesia. Jakarta: RI.

Stockhoff B. 1993. Ontogenic change in dietary selection for protein and lipid by gypsy moth larvae . J Insect Physiol 39:677-686.

Sutherland ORW. 1977. Plant chemicals influencing insect behaviour. The New


(6)

Tarumingkeng RC. 1992. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press.

Venilla S, Deshmukh, Pinjarkar D, Agarwal M, Ramamurthy VV, Joshi S, Kranthi KR, Bambawale OM. 2010. Biology of the mealybug, Phenacoccus

solenopsis on cotton in the laboratory. J Insect Sci 10(15): 1-9.

Walker A, Hoy M, Meyerdirk D. 2003. Papaya mealybug (Paracoccus

marginatus Williams & Granara de Willink) (Hemiptera: Pseudococcidae).

Featured creatures. Entomology and Nematology Departement, Florida Cooperative Extension Service, Institut of Food and Agricultural Sciences, University of Florida, Grainesville, FL.

Walker A, Hoy M, Meyerdirk D. 2009. Papaya Mealybug, Paracoccus

marginatus Williams and Granara de Willink (Insecta: Hemiptera:

Pseudococcidae). University of Florida The Institute of Food and Agricultural Sciences (IFAS). http://www.edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/IN/IN57900.pdf [3 Agust 2009].

Weibull J. 1987. Seasonal changes in the free amino acids of oat and barley phloem sap in relation to plant growth stage and growth of Rhopalosiphum

padi. Ann Appl Biol. 111:729-738.

Widianta A, Deva WP. 2008. Ubi kayu (Mannihot esculenta) sebagai bahan alternatif pengganti bensin (Bioetanol) yang ramah lingkungan. SMA Negeri 6 Bengkulu. http://www.wordpress/ubi-kayu-mannih [3 Agust 2009].

Williams DJ. 1985. Australian mealybugs. London: British Museum (Natural History).

Williams DJ, Granara de Willink MC. 1992. Mealybugs of Central and South


Dokumen yang terkait

BIOLOGI HAMA KUTU PUTIH PEPAYA PARACOCCUS MARGINATUS PADA TANAMAN PEPAYA DAN ROSELA

0 12 46

Populasi Kutu Putih Pepaya Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) dan Musuh Alaminya pada Tanaman Pepaya di Kecamatan Dramaga dan Rancabungur, Kabupaten Bogor

0 4 83

Insiden Cendawan Enthomopthorales Pada Kutu Putih Pepaya, Paracoccus Marginatus Williams & Granara De Willink (Hemiptera : Pseudococcidae) Pada Pertanaman Pepaya Di Bocor

0 6 21

Keefektifan Campuran Ekstrak Tumbuhan untuk Pengendalian Hama Kutu Putih Pepaya Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink

0 7 74

Biologi perkembangan dan neraca hayati kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus (Williams and Granara de Willink) (Hemiptera Pseudococcidae) pada tiga jenis tumbuhan inang

0 5 53

Neraca hayati dan pemangsaan curinus coeruleus mulsant pada kutu putih tanaman pepaya paracoccus marginatus williams

0 3 49

Tingkat Infeksi neozygitesfumosa (Speare) Remaudie're & Keller (Zygomycetes:Entomophthorales) pada Kutu Putih Pepaya, Paracoccus Marginatus Williams & Granara De Willink dan Kutu Putih Singkong, Phenacoccus Manihoti Matie-Ferrero (Hemiptera:Pseudococcidae

1 7 11

BIOLOGI DAN NERACA HAYATI KUTU PUTIH PEPAYA PARACOCCUS MARGINATUS WILLIAMS GRANARA DE WILLINK (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) PADA TIGA JENIS TUMBUHAN INANG

0 0 9

Bioesai bioinsektisida Beauveria bassiana dari Sumatera Selatan terhadap kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus Williams Granara De Willink (Hemiptera: Pseudococcidae)

0 0 7

Keefektifan ekstrak Piper retrofractum Vahl., Anonna squamosa L. dan Tephrosia vogelii Hook. serta campurannya terhadap imago kutu putih pepaya Paracoccus marginatus Williams Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae)

0 0 11