Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

melaksanakan perbuatan hukum, pisah meja dan ranjang masih tetap melekat dan kedua pasangan suami-isteri tersebut masih tetap terikat dalam ikatan perkawinan yang sah sebagai suami-isteri. Namun peristiwa pisah meja dan ranjang dalam suatu perkawinan menyebabkan hak-hak dan kewajiban antara suami-isteri dalam suatu perkawinan tidak lagi sama saat belum terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang 8 . Sejauh mana peristiwa pisah meja dan ranjang tersebut membawa dampakakibat hukum terhadap pengurangan hak-hak dan kewajiban pasangan suami-isteri tersebut dalam suatu ikatan perkawinan dan akibat-akibat hukum lainnya yang terjadi pada peristiwa pisah meja dan ranjang tersebut akan diteliti secara seksama dan lebih mendalam pada peristiwa ini. Adapun judul dari penelitian ini adalah “Perpisahan Meja dan Ranjang dalam Perkawinan Ditinjau dari Hukum Perdata BW”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka permasalahan yang dibahas secara seksama dan lebih mendalam dalam penelitian ini adalah : 1. Mengapa timbul lembaga pisah meja dan ranjang dalam pengaturan mengenai perkawinan? 2. Bagaimana akibat hukum yang timbul terhadap terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang menurut KUH Perdata BW tersebut? 8 Ali Affandi, Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlyk Wetboek, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Tanpa Tahun, hlm. 69. Universitas Sumatera Utara 3. Bagaimanakah prosedur hukum pengajuan permohonan tuntutan pisah meja dan ranjang menurut KUH Perdata BW tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui latar belakang timbulnya lembaga pisah meja dan ranjang dalam pengaturan perkawinan yang terdapat di dalam KUH Perdata BW. 2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum yang timbul dengan terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang tersebut menurut KUH Perdata BW. 3. Untuk mengetahui bagaimanakah prosedur hukum perjanjian permohonan tuntutan pisah meja dan ranjang menurut KUH Perdata BW tersebut.

D. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori memiliki arti yang berbeda-beda pada bidang pengetahuan yang berbeda pula tergantung pada metodologi dan konteks diskusi. Secara umum teori merupaka analisis hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta 9 . Landasan teori merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau logika Flow Of 9 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad ke 20, Alumni Bandung, 1994, hlm 24. Universitas Sumatera Utara ReasoningLogic, terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, definisi dan proposisi yang disusun secara sistematis 10 . Penetapan suatu kerangka teori merupakan suatu keharusan dalam penelitian. Hal ini disebabkan karena kerangka teori digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisis permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu mengenai lembaga pisah meja dan ranjang, pelaksanaan dan akibat hukumnya bagi golongan Timur Asing Cina dan orang-orang Indonesia yang tunduk sukarela kepada Hukum Perdata dan Hukum Dagang Eropa baik sebagian maupun secara keseluruhan. 11 Menurut Tan Thong Kie perpisahan meja dan ranjang pada hakekatnya adalah perpisahan antara suami dan isteri tanpa mengakhiri pernikahan tersebut. Akibat terpenting perpisahan ini adalah ditiadakannya kewajiban bagi suami dan isteri untuk tinggal bersama, walaupun akibatnya di bidang hukum harta benda adalah sama dengan perceraian 12 . Menurut Thorkish Pane, perpisahan meja dan ranjang adalah suatu peritiwa hukum yang menimbulkan akibat hukum terhadap status perkawinan pasangan suami isteri tersebut dimana kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama antara suami isteri tersebut menjadi hapus oleh karenanya dan juga dapat menimbulkan pengakhiran percampuran harta benda perkawinan, namun tidak mengakibatkan putusnya ikatan perkawinan tersebut. 10 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm 194. 11 HR. Otje Salman, S, dan Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 86. 12 Tan Thong Kie, Op.Cit. hlm 17. Universitas Sumatera Utara Menurut PNH Simanjuntak, yang dimaksud dengan perpisahan meja dan ranjang adalah suatu keadaan dimana pasangan suami isteri yang masih terikat tali perkawinan tidak mempunyai kewajiban lagi untuk tinggal bersama dalam satu rumah sebagaimana layaknya pasangan suami-isteri, dan dapat pula menimbulkan pemisahan percampuran harta benda perkawinan seolah-olah telah terjadi perceraian. Menurut Ali Affandi, pisah meja dan ranjang adalah perpisahan tempat tinggal antara suami dan isteri yang masih terikat tali perkawinan dan juga perpisahan percampuran harta benda perkawinan antara pasangan suami isteri tersebut seolah-olah perkawinan telah berakhir atau telah terjadi perceraian. Dari defenisi para sarjana yang telah disebutkan di atas, maka dapat ditegaskan garis besar dari definisi pisah meja dan ranjang tersebut yaitu: 1. Adanya perpisahan tempat tinggal antara pasangan suami-isteri 2. Adanya perpisahan harta benda perkawinan 3. Masih terikat dalam suatu ikatan perkawinan Alasan-alasan yang dapat menjadi dasar tuntutan pisah meja dan ranjang tersebut adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 233 KUH Perdata BW yaitu: 13 1. Semua alasan untuk meminta perceraian sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 209 KUH Perdata BW sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan di atas. 13 Zoelfiqri Mahmud, Sistem Hukum Perdata di Indonesia, Mitra Kencana, Jakarta, 1996, hlm. 37. Universitas Sumatera Utara 2. Perbuatan melampaui batas penganiayaan, dan penghinaan kasar yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya. 3. Tanpa alasan. Alasan untuk menuntut pisah meja dan ranjang antara suami dan isteri adalah sama dengan alasan untuk menuntut perceraian. Perbedaannya adalah bahwa perceraian tidak boleh dilaksanakan atas persetujuan antara suami dan isteri. Hal ini diatur di dalam pasal 208 KUH Perdata BW dimana dinyatakan bahwa, “Perceraian suatu perkawinan tidak dapat dicapai dengan suatu persetujuan antara kedua belah pihak yaitu suami dan isteri, sedangkan pada tuntutan pisah meja dan ranjang boleh diperintahkan Hakim atas permintaan kedua suami-isteri bersama-sama dalam mana tidak ada kewajiban bagi mereka mengemukakan alasan-alasan tertentu”. Perpisahan meja dan ranjang atas permintaan suami-isteri secara bersama- sama baru boleh diizinkan apabila perkawinan antara suami dan isteri tersebut telah berlangsung minimal dalam jangka waktu 2 dua tahun. Hal ini dinyatakan dalam pasal 236 KUH Perdata BW. Adapun pasal 236 KUH Perdata BW tersebut di atas menyatakan bahwa, “Perpisahan meja dan ranjang boleh juga diperintahkan oleh hakim atas permintaan kedua suami-isteri bersama-sama, dalam mana tidak ada kewajiban bagi mereka mengemukakan alasan-alasan tertentu. Perpisahan yang demikian tak boleh diizinkan, melainkan apabila suami dan isteri telah kawin selama dua tahun”. Pasal 237 KUH Perdata BW menyatakan bahwa, “Sebelum meminta perpisahan meja dan ranjang, suami dan isteri berwajib dengan sebuah akta otentik mengatur syarat-syarat perpisahan meja dan ranjang tersebut baik terhadap mereka sendiri maupun mengenai penunaian kekuasaan orang tua dan usaha pemeliharaan beserta pendidikan anak-anak mereka. Tindakan-tindakan yang telah mereka rancangkan untuk dilakukan sepanjang pemeriksaan harus dikemukakan untuk dikuatkan oleh pengadilan pun juga perlu untuk diatur oleh pengadilan sendiri”. Pasal 238 KUH Perdata BW menyatakan bahwa, “Permintaan perpisahan meja dan ranjang kedua suami-isteri tersebut harus dimajukan kepada pengadilan negeri tempat tinggal mereka dan harus pula dilampirkan dalam pengajuan tersebut lampiran akte perkawinan maupun lampiran perjanjian yang memuat syarat-syarat pisah meja dan ranjang yang dibuat dalam akta otentik Notaril”. Universitas Sumatera Utara Dalam perjanjian yang memuat syarat-syarat pisah meja dan ranjang yang dibuat dalam bentuk akta otentik notaril dimuat mengenai perpisahan tempat tinggal rumah dimana diantara suami dan isteri tersebut telah terpisah tempat tinggal dan isteri tidak lagi punya kewajiban untuk mengikuti tempat tinggal suaminya. Pada perjanjian tersebut juga dimuat mengenai status harta benda dari masing-masing pihak yang tetap dimiliki oleh suami atau isteri tersebut. Mengenai kekuasaan orang tua terhadap anak-anak belum dewasa yang dilahirkan dari perkawinan tersebut apabila terjadi pisah meja dan ranjang adalah berdasarkan atas keputusan hakim. Pasal 230a KUH Perdata BW menyatakan bahwa, “Jika kiranya anak-anak yang belum dewasa itu tidak sesungguhnya telah berada dalam kekuasaan seorang, yang menurut pasal 229 atau 230 KUH Perdata BW diwajibkan melakukan perwalian atau dalam kekuasaan si suami, si isteri atau Dewan Perwalian kepada siapa anak- anak itu dipercayakannya, menurut pasal 214 ayat kesatu KUH Perdata BW, maka dalam penetapan harus diperintahkan pula penyerahan anak-anak tersebut”. Pasal 230a KUH Perdata BW ini memiliki makna bahwa apabila tuntutan pisah meja dan ranjang antara suami dan isteri telah dikabulkan oleh Hakim pada Pengadilan negeri maka kekuasaan orang tua terhadap anak-anak ditetapkan oleh Hakim diantara suami atau isteri tersebut. Penetapan kekuasaan orang tua terhadap anak-anak bisa dialihkan oleh hakim kepada pihak ketiga Keluarga SedarahSemenda atau Dewan Perwalian apabila kedua suami-isteri tersebut telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua mereka. Penetapan ini berlaku setelah hari keputusan pisah meja dan ranjang antara suami dan isteri memperoleh kekuatan mutlakkepastian Hukum. Universitas Sumatera Utara Pada umumnya keputusan Hakim atas hak pengasuhan anak apabila anak itu belum dewasa jatuh ketangan ibunya Isteri. Kecuali apabila kekuasaan ibu isteri tersebut telah dibebaskan atau dipecat oleh hakim melalui suatu keputusan pengadilan. 14 Mengenai harta benda yang dikuasai oleh isteri sejak terjadinya peristiwa pisah meja dan ranjang diberikan izin dan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali oleh pihak suami untuk mengurus kepentingannya dengan tidak perlu mendapat bantuan dari pihak suami. Demikian juga dalam hal melakukan segala tindakan pengurusan dan pemilikan tidak terbatas pada hak untuk menjual, mengadaikan atau mengadakan perjanjian dagang. 15 Perjanjian yang memuat syarat-syarat perpisahan meja dan ranjang dalam bentuk akta otentik notaril dilakukan sebelum diajukan tuntutan pisah meja dan ranjang ke hadapan pengadilan. Pengadilan akan mensahkan perjanjian yang memuat syarat-syarat perpisahan meja dan ranjang tersebut yang menjadi ketentuan mengikat bagi pasangan suami-isteri tersebut. 16 Permasalahan ini berbeda dengan perjanjian perkawinan Huwelijk Voorwarden. Perjanjian perkawinan dilakukan sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan dan dalam perjanjian perkawinan tersebut pada umumnya diatur mengenai perpisahan harta bawaan masing-masing calon suami dan isteri. Hal ini merupakan penegasan hukum secara tertulis bahwa harta bawaan masing-masing 14 Michael Halim. Tindakan Pisah Meja dan Ranjang Ditinjau Dari Hukum Katolik, Tesis, UNIKA Atma Jaya, Jakarta , 2006. hlm 18. 15 Chairani Bustami Jusuf. Contoh-Contoh Akta Notaris Seri-2, Pustaka Bangsa Medan, 2009, hlm. 196. 16 Thorkish Pane, Polemik Hukum Pisah Meja dan Ranjang, Media Pustaka Jakarta, 2006, hlm. 39. Universitas Sumatera Utara pihak calon suami dan isteri tetap berada dibawah penguasaan masing-masing pihak selama masa perkawinan berlangsung. Ini merupakan suatu pengecualian dari konsekuensi sebuah perkawinan dimana harta bawaan masing-masing pihak setelah terjadinya perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 245 KUH Perdata BW menyatakan bahwa, “Putusan-putusan pisah meja dan ranjang harus diumumkan seterang-terangnya di Lembaran Negara. Selama pengumuman itu belum berlangsung keputusan pisah meja dan ranjang tersebut tidak berlaku pada pihak ketiga”. Setelah perpisahan meja dan ranjang diucapkan oleh Hakim dalam suatu persidangan, dan setelah mendengar dan memanggil dengan sah akan kedua orang tua dan sekalian keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang belum dewasa, pengadilan negeri harus menetapkan terhadap masing-masing anak, siapakah dari kedua orang tua itu kecuali kiranya keduanya telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua, harus melakukan kekuasaan orang tua dengan mengindahkan keputusan-keputusan Hakim yang terdahulu, dengan mana mereka kiranya pernah dipecat dari kekuasaan orang tua. Penetapan itu berlaku setelah hari keputusan perpisahan meja dan ranjang memperoleh kekuatan mutlak Kepastian Hukum, sebelum hari keputusan pisah meja dan ranjang memperoleh kekuatan hukum yang tetap tidak perlu ada pemberitahuan, perlawanan dari para pihak. Terhadap penetapan pengadilan terhadap hak pengasuhan anak, si bapak atau si ibu yang tidak mendapat kekuasaan orang tua boleh mangajukan perlawanan hukum banding, apabila ia, salah satu pihak bapakibu tidak datang menghadap. Perlawanan Hukum itu harus dimajukan dalam waktu 30 tiga puluh hari setelah Universitas Sumatera Utara penetapan diberitahukan kepadanya. Si bapak atau si ibu yang telah datang menghadap namun tidak diserahi kekuasaan orang tua atau yang perlawananya telah ditolak oleh pengadilan negeri dapat mengajukan banding terhadap penetapan tersebut dalam waktu 30 tiga puluh hari setelah hari penetapan pengadilan negeri tersebut. 17 Pasal 246a KUH Perdata BW menyatakan bahwa, “Berdasar atas hal-hal yang telah terjadi setelah keputusan perpisahan meja dan ranjang memperoleh kekuatan mutlak, pengadilan negeri boleh mengubah penetapan-penetapan yang diberikan menurut ayat kedua pasal yang lalu atas permintaan kedua orang tua atau salah seorang dari mereka, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah kedua suami-isteri dan para keluarga sedarah dan semenda dari anak-anak yang belum dewasa, penetapan ini boleh dikatakan segera dapat dilaksanakan kendati perlawanan atau banding dengan atau tanpa jaminan. Apa yang ditentukan dalam ayat ke empat dan kelima pasal 206 KUH Perdata BW berlaku dalam hal ini. Maksud dari pasal 246a KUH Perdata BW ini adalah penetapan hak asuh anak yang lahir dari perkawinan suami-isteri yang mengajukan tuntutan pisah meja ranjang tersebut dapat dilaksanakan secara serta merta kepada salah satu pihak orang tua dari anak-anak tersebut meskipun pihak lainnya mengajukan perlawanan ataupun banding ke pengadilan. Pasal 213 KUH Perdata BW menyatakan bahwa, “si isteri yang sedang menjalani proses hukum pisah meja dan ranjang dengan suaminya berhak menuntut 17 Rony Mardianto. Hak dan Kewajiban Orang Tua Setelah Putusan Pisah Meja dan Ran jang Berlaku, Media Pustaka Jakarta, 2007. hlm 39. Universitas Sumatera Utara tunjangan nafkah yang mana setelah ditentukan oleh hakim harus dibayar oleh suami kepadanya selama perkara berjalan. Apabila si isteri tanpa izin hakim meninggalkan rumah yang ditunjuk baginya, maka bergantunglah pada keadaan boleh atau tidaknya ia dipecat dari segala haknya untuk menuntut tunjangan nafkah, bahkan sekiranya si isteri menjadi pihak penggugat bolehlah ia dinyatakan tak dapat diterima dengan tuntutannya”. Pasal 213 KUH Perdata BW ini sebenarnya adalah merupakan ketentuan yang mengatur masalah perceraian. Namun berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 246 KUH Perdata BW, ketentuan-ketentuan mengenai perceraian sebagaimana yang termuat dalam pasal 210 sampai dengan 220 KUH Perdata BW dan juga pasal 222 sampai dengan pasal 228 KUH perdata BW serta pasal 231 KUH Perdata BW berlaku juga terhadap perpisahan meja dan ranjang atas permintaan salah satu pihak dari pasangan suami-isteri yang mengajukan tuntutan pisah meja dan ranjang tersebut. Maksud dari pasal 213 KUH Perdata BW tersebut di atas adalah bahwa si isteri selama proses hukum tuntutan pisah meja dan ranjang berlangsung di pengadilan berhak menuntut tunjangan nafkah dengan penetapan oleh hakim besarnya tunjangan tersebut, dan si suami wajib membayar tunjangan nafkah tersebut selama perkara berjalan. Namun apabila si isteri tanpa izin hakim meniggalkan rumah yang ditunjuk baginya maka haknya untuk memperoleh tunjangan nafkah dari suaminya bergantung kepada keputusan hakim. Apabila si isteri berkedudukan Universitas Sumatera Utara sebagai penggugat maka tuntutannya untuk memperoleh tunjangan nafkah gugur demi hukum. Pasal 225 KUH Perdata BW menyatakan bahwa, “Jika suami tidak mempunyai penghasilan yang cukup guna memberikan tunjangan nafkah si isteri selama proses hukum penuntutan pisah meja dan ranjang berlangsung maka pengadilan negeri boleh menentukan sejumlah tunjangan untuk itu dari harta kekayaan pihak yang lain”. Pasal 227 KUH Perdata BW menyatakan bahwa,“Kewajiban memberikan tunjangan nafkah berakhir dengan meninggalnya si suami”. Pengertian dari pasal 225 KUH Perdata ini adalah bahwa bila suami tidak mampu memberikan tunjangan nafkah kepada isterinya selama proses hukum berlangsung, maka pengadilan negeri boleh menetapkan pihak ketiga keluarga pihak suami yang dinilai mampu dan bersedia untuk memikul tanggung jawab membayar tunjangan nafkah kepada si isteri tersebut dengan jumlah yang telah ditetapkan pula oleh pegadilan. Pasal 228 KUH Perdata BW menyatakan bahwa, “Tunjangan-tunjangan yang telah dibebankan kepada pihak ketiga melalui suatu keputusan pengadilan harus dibayarkan secara terus menerus kepada isteri, atas kepentingan siapa tunjangan- tunjangan itu dijanjikannya selama proses hukum berlangsung”. Pasal 214 KUH Perdata BW menyatakan bahwa, “Selama proses hukum tuntutan pisah meja dan ranjang berlangsung, pengadilan negeri berhak menghentikan pemangkuan kekuasaan orang tua seluruhnya atau sebagian terhadap suami-isteri yang sedang berperkara tersebut. Hakim dalam hal berhak memberikan kekuasaan orang tua sebahagian tersebut dapat memberikan kekuasaan orang tua tersebut kepada Universitas Sumatera Utara orang tua lainnya suami atau isteri. Hakim dalam hal berhak memberikan kekuasaan orang tua secara keseluruhan, dapat memberikan kekuasaan orang tua tersebut kepada pihak ketiga yang ditunjuk oleh pengadilan atau Dewan Perwalian, dalam hal pengurusan diri dan harta kekayaan anak-anak selayaknya pengadilan berkenan mempertimbangkannya”. Pengertian dari pasal 214 KUH Perdata BW ini adalah bahwa selama proses hukum tuntutan pisah meja dan ranjang berlangsung hakim berhak menghentikan kekuasaan orang tua terhadap anak-anaknya sebahagian atau seluruhnya. Dalam hal penghentian kekuasaan orang tua sebahagian maka hakim berhak memberikan kekuasaan orang tua tersebut kepada salah satu pihak, baik ibu maupun ayah. Dalam hal penghentian kekuasaan orang tua secara keseluruhan maka hakim berhak memberikan kekuasaan orang tua tersebut kepada pihak ketiga atau kepada Dewan Perwalian selama proses hukum berlangsung. Penghentian dan pemberian kekuasaan orang tua dilakukan melalui suatu penetapan pengadilan. 18 Pasal 215 KUH Perdata BW menyatakan bahwa, “Selama perkara berjalan, hak-hak si suami mengenai pengurusan harta kekayaan isterinya, tidak terhenti, hal mana tidak mengurangi keleluasaan si isteri untuk mengamankan haknya, dengan menggunakan upaya-upaya seperti teratur dalam ketentuan-ketentuan reglemen hukum acara perdata. Segala perbuatan si suami yang mengandung pengurangan dengan sengaja akan hak-hak si isteri adalah batal demi hukum”. Pengertian dari pasal 215 KUH Perdata BW tersebut di atas adalah bahwa hak-hak si suami untuk mengurus harta kekayaan isterinya tidak terhenti, sebaliknya juga tidak mengurangi kekuasaan si isteri untuk mengamankan haknya dengan berlandaskan kepada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hukum acara perdata. 18 Rony Mardianto, Op.Cit. hlm 40. Universitas Sumatera Utara Semua perbuatan suami yang berniat buruk dengan sengaja untuk mengurangi hak- hak si isteri terhadap harta kekayaannya adalah batal demi hukum. 19 Hak untuk menuntut perpisahan meja dan ranjang menjadi gugur apabila antara suami dan isteri telah terjadi suatu perdamaian dan apabila salah satu pihak telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum proses hukum tersebut diputuskan oleh hakim melalui suatu persidangan. Lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan diterbitkannya peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, menandai babak baru peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 tersebut bersifat nasional. Sebelum berlakunya Undang-Undang No.1 tahun 1974, maka terjadilah verifikasi hukum perkawinan di Indonesia. Berbagai peraturan perkawinan yang pernah berlaku di Indonesia diantaranya adanya : 1. Hukum adat masing-masing 20 . 2. Bagi yang beragama Islam berlaku hukum perkawinan menurut agama Islam. 3. Orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen tunduk pada staatblad 1933 No. 74 Huwelijk Ordonantie Christian IndonesiaHOCI. 4. Bagi orang-orang Arab dan bangsa Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum adat mereka. 5. Bagi orang-orang Eropah berlaku Burgerlijk Wetboek BW KUH Perdata. 19 Djaja S Meliala, Hukum Tentang Perkawinan, Nuansa Aulia, Bandung, 2008, hlm 46. 20 AB. Lubis, Undang-undang Perkawinan yang Baru Analisa dan Komentar, Loka Citra, Jakarta, 1978, hlm. 25. Universitas Sumatera Utara 6. Bagi orang-orang Tionghoa berlaku Burgerlijk Wetboek BW KUH Perdata dengan sedikit kekecualian yaitu yang mengenai hal pencatatan jiwa dan acara sebelum perkawinan mereka. 7. Dalam hal perkawinan campuran pada umumnya berlaku hukum dari suami Regeling op de gemengde huwelijken staatblad 1898 No. 158. Asas-asas yang termaktub dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 berbeda dengan asas-asas yang terkandung dalam Undang-Undang Perkawinan KUH Perdata BW. KUH Perdata BW cenderung mengarah kepada perilaku kehidupan masyarakat barat western sedangkan UU No. 1 Tahun 1974 lebih cenderung kepada perilaku kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri. Undang- undang No.1 Tahun 1974 telah menyerap nilai-nilai perilaku kehidupan masyarakat Indonesia termasuk pula ketentuan agama dan kepercayaan. 21 Undang-undang No.1 Tahun 1974 juga telah mengandung prinsip-prinsip atau asas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Adapun asas-asas yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 ini adalah sebagai berikut : a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami-isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing 21 Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, hlm. 79. Universitas Sumatera Utara dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan materil. b. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah, bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Asas monogami. Asas ini ada kekecualian, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama mengizinkan seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. d. Prinsip calon suami-isteri harus telah masuk jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat. e. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian. f. Hak dan kedudukan suami dan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatunya dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan oleh suami-isteri. Universitas Sumatera Utara Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatunya yang dijalankan menurut hukum yang ada adalah sah. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 menyatakan perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di samping itu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 juga mengandung asas monogami relatif yang berbeda dengan asas perkawinan yang terkandung dalam KUH Perdata BW yaitu asas monogami absolut. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengandung asas monogami relatif masih membuka kemungkinan seorang laki-laki beristeri lebih dari satu orang dengan memiliki alasan-alasan yang kuat dan diterima oleh hukum. Untuk dapat mempunyai lebih dari satu orang isteri menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ada syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah : 1. Harus memperoleh ijin dari isteri pertama atau isteri-isteri yang lain dan dikehendaki oleh pihak-pihak jika izin-izin itu tidak diberikan oleh isteri atau isteri-isterinya maka si suami harus memperoleh ijin dari hakim pengadilan dengan mengajukan permohonan disertai alasan-alasan yang kuat dan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, alasan-alasan tersebut antara lain : a isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. b isteri mendapat cacat badaniah atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Universitas Sumatera Utara c isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Dari uraian tersebut di atas syarat-syarat seorang suami untuk beristeri lebih dari satu orang poligami cukup berat. Bagi orang-orang yang beragama Nasrani dan Katolik, agama ini melarangnya untuk berpoligami. 2. Adanya kepastian bahwa si suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. 3. Adanya jaminan bahwa si suami akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anak-anak mereka. Di dalam KUH Perdata BW yang menganut asas monogami absolut, tidak membenarkan setiap suami beristeri lebih dari satu dalam waktu yang sama. Seorang suami hanya boleh beristeri satu orang dalam waktu yang sama dan sama sekali menutup pintu hukum untuk maksud berpoligami bagi seorang suami. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengenal istilah pisah meja dan ranjang sebagaimana yang termaktub dalam KUH Perdata BW, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut hanya mengenal istilah perceraian putus, pecah tali perkawinan. Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan ada 3 alasan suatu perkawinan dapat putus yaitu : 1 Kematian . 2 Perceraian. 3 Keputusan pengadilan. Alasan-alasan perceraian yang termaktub dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bersifat limitatif. Artinya selain alasan-alasan yang disebut dalam Undang- Universitas Sumatera Utara Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut bukan merupakan alasan perceraian. Dengan demikian alasan-alasan lainnya tidak dapat lagi diajukan sebagai dasar gugatan untuk bercerai.

2. Konsepsi