Analisis daya saing dan dampak kebijaksanaan pemerintah terhadap daya saing perusahaan kelapa sawit Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.

Latar Belakan8
Tanaman kelapa sawit dan pengolahan hasilnya (minyak sawit kasarICP0, intitkernel, minyak

inti/PKO, hasil-hasil minyak sawit olahan yang terdiri dari olein, stearin, free fatty acidIFFA dan
lain-lain) mempunyai potensi besar ditingkatkan di Indonesia, karena lahan dan iklim Indonesia untuk
tanaman kelapa sawit lebih baik dibandingkan dengan daerah asalnya di Benua Afrika. Hasil-hasil kelapa
sawit adalah bahan baku penting untuk berbagai komoditi makanan seperti minyak goreng, margarine dan
"shortening" dan untuk pembuatan berbagai komoditi industri seperti sabun, detergent dan glycerin.
Sejak tahun 1969 (Pelita I) Indonesia terus memperluas areal kelapa sawitnya dengan laju rata-rata
sekitar 10 persen per tahun dan produksinya meningkat dengan cukup cepat, rata-rata hampir 12 persen
per tahun (lihat Tabel I. 1). Produksi tahun 1989 telah mencapai 2.046.578 ton CPO (m.k.s) dan produksi
1990 meningkat menjadi 2.230.359 ton, (Pusat Penelitian Perkebunan Medan, 1991).
Menurut Repelita V Pertanian (1988-1993) proyeksi areal akan bertumbuh rata-rata 10,50 persen
per tahun dan proyeksi produksi minyak kelapa sawit (CPO) dan inti akan bertumbuh rata-rata 18 persen
per tahun. Sedang Rencana Pembangunan Pertanian Jangka Panjang (Tan Bock Thiam, 1990) sampai
tahun 2000 Indonesia masih akan terus memperluas areal kelapa sawitnya dan meningkatkan produksi dan

volume ekspornya sehingga kelapa sawit termasuk dalam penghasil devisa utama dan dapat diandalkan
menunjang industri yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang-barang konsumsi. Menurut proyeksi
tahun 1995, areal akan menjadi 1.556.200 Ha dan produksi minyak sawit (CPO) menjadi 3.833.000 ton
sedang proyeksi tahun 2000 akan menghasilkan areal tanaman kelapa sawit +2.287.000 Ha dan produksi
minyak kelapa sawit (CPO) 6.755.000 ton ditambah inti sawit 1,688 juta ton (lihat Lampiran Tabel I. 1).
Laju pertumbuhan areal antara 1990

-

2000 diperkirakan rata-rata 8 persen per tahun dan laju

pertumbuhan produksi rata-rata 12 persen per tahun.

Tabel 1.1.

Perkembangan Areal, Produksi dan E k s p o r t Hinyak Kelapa Sawit
Indonesia,
1969-1990 dan P r o y e k s i
Tahun 1991 - 2000


Luas
Tahun

Areal
1000
Ha

F'roduksi

......................
M. K.Sawi t
1000 t o n

I nt i
1000 t o n

Ekspor

..................................
M.K.Sawit

1000 t o n
(XI

I nt i
1000 t o n
(X)

PKO
1000 t o n

............................................................................

F'royeksi :
1991
1 050
1992
1 243
1993
1 381
1 556

1995
2000
2 287
r
8, OX

3 382
3 693
4 011
3 833
6 755
12,OX

708
773
830
+ 958
688
12,OX


+1

2 447
2 607
2 920
t.a
t.a
23,lX

708
773
830
t.a
t.a
19, OX

t.a
t.a
t.a
t.a

t.a
t.a

r = l a j u pertumbuhan r a t a - r a t a / t a h u n ,
t a = t i d a k ada d a t a
X E x p o r t = terhadap p r o d u k s i

Keterangan:

Suaber:

1. Lubis,
A.M.,
Pasang s u r u t perkembangan perkebunan dan p r o d u k s i
k e l a p a s a w i t d i I n d o n e s i a s e j a k sebelum perang sampai P e l i t a I 1
s e r t a permasalahannya. dalam Kelapa S a w i t 1989. Pusat P e n e l i t i a n
M a r i h a t , h a l . 12-13.
2. Sumardiko,
P r o d u k s i l l i n y a k Sawit.
Lampiran 3,

4,
5.
Pusat
Penelitian llarihat.
3. B.P.S.,
S t a t i s t i k Indonesia, 1983, 1986, 1991.
S t a t i s t i k Perk-ebunan.
4. D i t j e n Perkebunan.,
5. Departemen Y e r t a n i a n R.1,
R e p e l i t a V Pertaninn
6. D i t j e n Perkebunan dalam Tan Bock Thiam.
Indonesia:
Vegetable
P o l i c y F o r m u l a t i o n D e r e g u l a t i o n o f the.Palm O i l I n d u s t r y C o n t r a c t
No. Adm/90-263. Rappenas/Asian Development Bank), 1990., p 20
7. Pusat P e n e l i t i a n Yerkebunan (RISPA) fledan S t a t i s t i k Sawit, 1987,
1989, 1991.

3
Selain produksi dan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia yang berkembang cukup cepat, ternyata

produksi dan ekspor minyak kelapa sawit dunia juga meningkat dengan cukup cepat sejak tahun 1969
(lihat Tabel I.2), terutama akibat peningkatan produksi dan ekspor Malaysia yang sangat tinggi. Dalarn
periode 1969-1990 Malaysia menghasilkan pertumbuhan produksi rata-rata 14,53 persen per tahun. Laju
pertumbuhan produksi 1990-2000 diperkirakan mencapai rata-rata 5 persen per tahun. (Tan Bock Thiam,
1990). Sejalan dengan pertumbuhan produksi, ekspor Malaysia juga meningkat dengan sangat tinggi, yaitu
rata-rata 14,33 persen per tahun. Keberhasilan Malaysia ini menjadikan Malaysia menguasai perdagangan
minyak kelapa sawit 60-70 persen antara tahun 1982-1990. Produksi dunia dalam minyak kelapa sawit,
seperti terlihat dalarn Tabel 1.2 meningkat dengan rata-rata 9,52 persen per tahun dan export 11,48%.
Proyeksi produksi Malaysia untuk tahun 1992 masih diharapkan meningkat tinggi, yaitu 6.070.000 ton
dan untuk tahun 2000 diproyeksikan menjadi 9.800.000 ton sedang produksi dunia untuk tahun 2000
diharapkan menjadi 19,s juta ton. (Tan Bock Thiam, 1990, Mielke S., 1983).
Keberhasilan Malaysia mengembangkan produksi dan ekspor minyak kelapa sawitnya dan mengingat
besarnya potensi lahan yang tersedia yang sesuai untuk tanaman kelapa sawit di Indonesia agaknya
menjadi pendorong bagi Indonesia untuk mengikuti jejak Malaysia.
Juga faktor tenaga kerja sangat banyak tersedia di Indonesia dan lebih rnurah dari di Malaysia
sedang dalam pemasaran hasil kelapa sawit, pasar domestik berkernbang sangat cepat sehingga sejak tahun
1978 sebagian besar h a i l kelapa sawit dialokasikan untuk penjualan dalam negeri sehingga mengurangi
volume yang diekspor (perkembangannya dinyatakan dalam %, lihat Tabel I. 1).
Peranan minyak kelapa sawit Indonesia sebagai penghasil devisa dapat dilihat dalam Tabel 1.3.
Nilai ekspor Indonesia dari hasil-hasil kelapa sawit (hanya m.k.s/CPO) terlihat belum begitu besar

karena penjualan dalam negeri yang cukup besar. Tetapi andaikata semua hasil-hasil kelapa sawit
diekspor, maka untuk tahun 1988 dapat dihasilkan devisa sekitar US $ 546 juta atau 3,30 persen dari
Total Nilai Ekspor. Sebagai pemberi lapangan kerja dapat terlihat bahwa PerusahaanIUsaha Tani Kelapa
Sawit meningkat terus peranannya dan pada tahun 1988 telah menyediakan lapangan kerja untuk 369 000
tenaga kerja.

Tabel 1.2.

Perkembangan Luas Areal,
Produksi,
dan Ekspor
Minyak Kelapa Sawit f l a l a y s i a dan Dunia, 1969-1990
dan p r o y e k s i tahun 2000

flalaysia

........................................
Tahun

Luas

Areal
1000 Ha

Produksi
H.K.Sawit
Inti
1000 t o n
1000 t o n

Eksport
H.K.Sawit
1000 t o n

Dunia

..........................
Produksi
fl.K.sawit
1000 t o n


Eksport
H.K.sawit
1000 t o n

(XI
............................................................................

Proyeksi:

Keterangan:

Sumber:

X E x p o r t = terhadap produksi,
t.a
= t i d a k add data.

1. USDA., F o r e i g n A g r i c u l t u r a l C i r c u l a r . O i l s e e d s and Product. World
Oilseeds S i t u a t i o n and Market H i g h l i g h t s Reference Tables on t h e
Major Producers and Consumers o f Palm O i l . Hay 1986.
2.
World O i l s e e d s S i t u a t i o n and H a r k e t
Highlights
Reference Tables on t h e Major Producers and Consumers o f Palm
Kernel and Palm K e r n e l Products.
3. Department o f S t a t i s t i c s Malaysia., H a l a y s i a O i l Palm Coconut,
Tea and Cocoa S t a t i s t i c s , 1981.
4. Kementerian Keuanqan Halaysia. Laporan Ekonomi 1987/1988.
5. H i e l k e . S.,Oil
World Annual, t l a r e t 1987.
6.
O i l World. The P a s t 25 Years and t h e Prospects f o r t h e
n e x t 25 years, ISTA.
7.
O i l World 1991.
8. Tan Bock Thiam. Indonesia: Vegetable O i l F o r m u l a t i o n D e r e g u l a t i o n
of
t h e Palm O i l I n d u s t r y , C o n t r a c t No.Adm/?O-263,
Bappenas/ADB,
1990. p3.

.

.
.

Tabel 1.3. Peranan Hinyak Kelapa Sawit sebagai Penghasil Devisa dan
Pemberi Lapangan Kerja di Indonesia, 1970-1988
Nilai
Ekspor MKS
"
US$ 1000

Tahun

Sumber:

%

%

thd Total
Ekspor

thd Ekspor
Non Migas

%

thd Ekspor
Hsl Perkebunan

Lapangan
kerja
(orang)

1. B.P.S., Statistik Indonesia 1971, 1974, 1979,
1988, 1989.
2. Harian Kompas (data lapangan kerja 1988).

1984,

Potensi kelapa sawit untuk mengambil peranan yang lebih besar dalam perekonomian Indonesia
cukup besar seperti terlihat dalam angka proyeksi untuk tahun 2000 (Tabel I. 1). Andaikata proyeksi dalam
tahun 2000 dapat tercapai, yang kelihatannya sangat mungkin dicapai melihat pengalaman Malaysia,
maka dengan mengasumsikan harga rata-rata 1989 dapat diperoleh pada tahun 2000, maka nilai hasil
kelapa sawit akan menghasilkan devisa atau PDB setara dengan US $2.364 juta per tahun'.
Nilai total hasil kelapa sawit seperti tersebut diatas sangat berarti bagi perekonomian Indonesia
meskipun secara persentase terhadap total penerimaan devisa atau total PDB tidak begitu besar.
Disamping itu peranannya di dalam pengadaan lapangan kerja juga akan meningkat menjadi sekitar 1,14
juta tenaga kerja.

'

2. Inti u w i t OfcmcI)

-

Total

E

1. Minyak k c h p u w i t (CPO)

.

-

6755jul. x USS300
1688jul. x US$ 200
ii.
USS2026.5 jut. + USS 387.6jul. =

USS 2026.5 juta
USS 387.6juts
USS 2364.1 juta

Mengingat potensi pengembangan produksi dan ekspor hasil-hasil kelapa sawit yang cukup besar
di Indonesia, maka yang menjadi pertanyaan penting sebelum pengembangan berjalan begitu jauh adalah:
"Apakah potensi pasar hasil-hasil kelapa sawit cukup baik dan apa kendala-kendala yang akan dihadapi
dalam pemasaran hasil-hail kelapa sawit, baik dalam pasaran internasional maupun pasaran domestik?
Disamping menghadapi saingan utama minyak kelapa sawit Malaysia, maka hasil-hail kelapa sawit
Indonesia juga menghadapi persaingan di pasaran internasional dari hasil-hasil minyak nabati dan lemak
(minal) lainnya, seperti minyak kedele, minyak rape, minyak bunga matahari, minyak biji kapas (cotton
seed oil) dan minyak hasil ternak dan ikan. Antara tahun 1982-1986, pangsa pasar Indonesia dalam ekspor
kelapa sawit hanya sekitar 8,50 persen, sedang Malaysia mengisi pangsa pasar rata-rata 68,20 persen.
Dalam Tabel 1.4 dapat dilihat perkembangan import lima mind utama dunia dan jumlah total untuk
17 macam komoditi minal.
Tabel 1.4.

Import Minyak Nabati dan Lemak (Minal) Utama Dunia,
1986
1982

-

.................................................................
1982
1986
-------------------------------Jenis minyak
saham

1. Minyak kedele

3 617

19,7

3 034

13,5

2. a. M.K.
b. PKO

4 129
463

22,4
21 5

6 829
696

30,5
311

3. M.Bunga matahari

1 241

617

2 043

9,1

4. M. kelapa

1 303

7,1

1 602

7,2

416

1 364

611

Sawit

5. M. rape

842

%

volume
1000 T

saham

volume
1000 T

%

6. Lain-lain
(11 macam)
18 429
100,O
22457
Total :
.................................................................
Sumber:

Mielke S. Oil World Annual, Maret 1987.

100,O

7

Sepintas lalu Tabel 1.4 diatas menunjukkan bahwa minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit (PKO)
telah dapat berhasil merebut pangsa pasar yang lebih besar dari pasar internasional mind sehingga
menjadi komoditi utama dalam perdagangan mind sekarang. Tetapi jika dilihat dari total konsumsi mind
dunia, maka jenis minal lain, masih mengisi lebih dari 85% dari total konsumsi dunia. Hal ini dapat
terlihat dari Tabel 1.5. Dari Tabel 1.5 dapat terlihat bahwa konsumsi minal dunia yang tertinggi masih
tetap kedele, yaitu 19,92 persen dari total konsumsi dunia pada tahun 1986. Diurutan kedua idah minyak
kelapa sawit dan minyak inti sawit (PKO)yang mempunyai saham pada tahun 1986 sebesar 12,23 persen
sedang diurutan ketiga dan keempat masing-masing minyak bunga mata hari dan minyak rape dengan
saham 10,17 persen dan 9,50 persen pada tahun 1986.

Tabel 1.5. Konsumsi dan Laju Pertumbuhan Produksi Minal Utama Dunia
1982-1986 dan 1976/1977-1986/1987

..................................................................
Konsumsi

Jenis minyak

Laju
pertumbuhan
produksi

1982
1986
1976/77-1.986187
..............................................

volume
1000 T

saham
%

volume
1000 T

saham
.

%/tahun

%

1. Minyak kedele
2. a. M.K.

Sawit

b.. PKO
3. M.b. matahari

4. M. rape
5. M. kelapa
6. M. Kapas

- - -

Jumlah (17 macam)

-- - -

-- -

-

60 821
100,OO
69 997
100,OO
..................................................................

4 I0

Keterangan: Konsumsi diperhitungkan sebagai Total Disappearance.
Sumber
: Mielke S. Oil World Annual, 1987

8
Dari laju pertumbuhan produksi selama 10 tahun (1976177-1986177) dapat terlihat bahwa laju
pertumbuhan tertinggi adalah minyak Rape dengan rata-rata 9,34 persen per tahun, diikuti oleh minyak
sawit dan minyak inti sawit dengan rata-rata 7,82 persen per tahun dan pada urutan ketiga minyak bunga
matahari dengan rata-rata 7,64 persen per tahun. Sehingga saingan-saingan utama dari minyak kelapa
sawit dalam perdagangan dan konsumsi dunia ada lima komoditi mind, yaitu minyak kedele, minyak
bunga matahari, minyak rape, minyak kelapa dan minyak biji kapas yang mempunyai saham kira-kira
40,00% dalam perdagangan dan sekitar 49% dalam konsumsi.

2. Perurnusan Masalah

Menurut beberapa studi yang telah dilakukan, yaitu LPEM-UI (1987), Bank Dunia (1988),
Departemen Pertanian (1989) dan Madecor (1990) (ketiga yang terakhir dalam Tan Bock Thiam, 1990)
proyeksi produksi m.k.s berkisar antara 3,036 juta ton sampai dengan 4,41 juta ton pada tahun 1995 dan
antara 3,4 juta ton sampai dengan 6,379 juta ton pada tahun 2000. Surplus atau potensi eksport untuk
m.k.s., minyak inti sawit @KO) dan minyak kelapa berkisar antara 2,141 juta ton sampai dengan 2,694
juta ton pada tahun 1995 dan antara 3,357 juta ton sampai dengan 5,071 juta ton pada tahun 2000. (Lihat
Lampiran Tabel I. 1).
Jika proyeksi surplus di atas benar, maka untuk memasarkannya tidak mudah dan akan timbul
beberapa kendala. Di satu pihak Indonesia mempunyai potensi dan membutuhkan peningkatkan produksi
dan surplus m.k.s. untuk dieksport sebagai sumber devisa, tetapi di lain pihak Indonesia masih
dipemyakan apakah mampu merebut atau mengisi pasar internasional dengan struktur dan tingkat biaya
produksi Indonesia pada saat ini. Dengan kata lain apakah m.k.s Indonesia mempunyai daya saing yang
cukup h a t di pasar internasional pada saat ini dan di masa depan.
Daya saing ditentukan oleh ongkos produksi dan mutu produksi hasil m.k.s (CPO) dan inti yang
dapat dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit Indonesia. Dalam ha1 ini perkembangan
perusahaan-perusahaan kelapa sawit Indonesia menurut bentuk organisasi perusahaan telah mengalami
perobahan yang cukup cepat antara 1970-1990. Pada mulanya hanya ada 2 bentuk organisasi perusahaan,
yaitu PTP dan Perusahaan Swasta Asing. Tetapi sejak tahun 1980 telah berkembang dengan pesat

9
perusahaan Swasta Nasional. Selain itu perkebunan Rakyat dan PIRBUN, yang berupa usaha-usaha rakyat
ukuran kecil dan tidak berbentuk perusahaan juga ikut berkernbang dengan cukup pesat.
Dalam Tabel 1.6 dapat terlihat perkernbangan luas areal dan produksi 5 jenis organisasi produsen
kelapa sawit Indonesia sejak tahun 1970 sampai 1990. Kelornpok PTP dalam periode 1970-1990 telah
berkembang areaInya rata-rata 7,5696 dan produksi CPO (termasuk sebagian dari h a i l PIRBUN)
berkembang rata-rata 12,401. Dalam hal ini jumlah perusahaan PTP yang mengusahakan kelapa sawit
juga berkembang dari 4 perusahaan pada tahun 1970 rnenjadi 13 perusahaan pada tahun 1990. Sedang
pada kelompok Swasta Asing jumlah areal hanya berkembang 2,80% per tahun, tetapi produksinya
meningkat rata-rata 7,79% yang mernberikan indikasi peningkatan produktivitas yang lebih tinggi dari
PTP.
Pada kelompok Swasta Nasional telah terjadi peningkatan areal yang sangat tinggi sejak dimulainya
sekitar tahun 1975. Pada tahun 1990 luas areal Swasta Nasional sudah mencapai 395.769 hektar yang
berarti sudah lebih tinggi dari total areal kelompok PTP. Rata-rata pertumbuhan areal dalam periode
1985-1990 mencapai 41,44% sedang jumlah perusahaan bertambah dari 81 buah pada tahun 1985 menjadi
155 buah pada tahun 1990.
Perkembangan Perkebunan Rakyat dan PIRBUN (plasma) juga meningkat cepat arealnya sejak tahun
1980 tetapi peningkatan produksinya tidak dapat diukur karena yang rnengolahnya adalah kelompok
perusahaan lain.
Peningkatan luas areal dan jurnlah perusahaan yang sangat pesat dari kelompok perusahaan Swasta
Nasional diduga belum dapat diimbangi dengan peningkatan produktivitas yang cukup cepat seperti
Swasta Asing dan PTP, halmana akan mempengaruhi ongkos produksi kelompok ini. Dari tabel 1.7
terlihat produktivitas seluruh kelompok berkembang dalam 5 tahun deret waktu dalam periode 1970-1990
meskipun secara tepat, tidak dapat diketahui produktivitas masing-masing kecuali untuk tahun 1970 dan
1975 untuk PTP dan 1970 untuk Swasta Asing. Namun ada indikasi bahwa produktivitas Swasta Asing
paling tinggi p e r t u m b u h a ~ y adalam periode 1970-1990 dan keadaan tahun 1985 dan 1990 menunjukkan
bahwa produktivitas paling tinggi adalah Swasta Asing, diikuti PTP dan paling rendah Swasta Nasional.

Tabel 1.6.

Perkembangan Luas A r e a l dan Produksi Kelapa Sawit Henurut J e n i s
O r g a n i s a s i Produsen d i Indonesia, 1970
1990

-

.................................................................................
Tahun

.

Satuan

PTP

Swas t a
Asinq

Swasta
Perkebunan
Nasional Rakyat

PIRBUN

Total

.................................................................................
1970
a. A r e a l
b. P r o d u k s i GPO

Ha
1000 t

86.640
147,O

46.658
69 8

1975
a. A r e a l
b. P r o d u k s i CPO

Ha
i20.990
1000 t 271,2

67.885
126,08

1980
a. A r e a l
b. P r o d u k s i CPO

Ha
184.550
1000 t 498,O

64.713
212,9

,

a)

*

a-)

-

-

-

-

-

-

12.637
a

6.148
0972

36,51b)

394,12~)

-

133,298
216,8

184.150
397,3

-

268.048
711,155

b1

c)

1298,O

b

C)

2230,359

1985
a. A r e a l
b. P r o d u k s i CPO

1000 t

9 ~ 2 ~ 1 309,31
8 ~ )

1990
a. A r e a l
b. P r o d u k s i CPO

1000 t 1 5 2 3 ~ 3 7 ~312,86
)

a.

r Areal

X/th

7,56

2,80

b.

r P r o d u k s i CPO

X/th

12,40

7,79

41,44
(1980-90)

28,65
(1980-90)

36,66
(1985-90)

.................................................................................
Keterangan:

11,34
12,36

a ) Swasta N a s i o n a l d i s a t u k a n dengan Swasta Asing.
b ) P r o d u k s i Perkebunan Rakyat sebagian besar d i o l a h Swasta N a s i o n a l
c ) P r o d u k s i PIRBUN termasuk dalam produksi PTP, t e t a p i sebaqian k e c i l
masuk ke Swasta Nasional.

Sumber : 1. Lubis, A.H. Pasanq S u r u t perkembanqan perkebunan dan p r o d u k s i kelapa
s a w i t d i I n d o n e s i a s e j a k sebelum peranq saapai P e l i t a I 1 s e r t a
1989
permasalahannya dalam Kelapa Sawit, Pusat P e n e l i t i a n H a r i h a t ,
ha1 12-13.
2. Sub D i r e k t o r a t Data S t a t i s t i k , D i t j e n Perkebunan.
3. Pusat P e n e l i t i a n Perkebunan Hedan. S t a t i s t i k Sawit, 1985, 1987, 1989,
1990.

11

Disamping pengaruh umur TM, tingginya produktivitas ditentukan berbagai faktor, antara lain
potensi produktivitas bibit, penerapan metode kultur teknis, keadaan lahan dan komposisi umur tanaman.
Pengaruh~produktivitasadalah sangat penting dalam penentuan ongkos produksi persatuan hasil (CPO

+

Inti). Sedang prosentase luas TM terhadap total luas areal juga berpengaruh penting dalam menentukan
besarnya ongkos penyusutan. Dari perkembangan produktivitas dan prosentase luas areal TM pada ketiga
kelompok perusahaan pada Tabel 1.7 dapatlah diduga pengaruhnya yang cukup besar pada biaya produksi
dan daya saing masing-masing kelompok perusahaan.
Saragih (1980) dalam penelitiannya pada kelompok PTP dan Swasta Asing punya pabrik dengan
memakai data 1976-1978 rnenyimpulkan bahwa :
(i)

Swasta Asing lebih effisien dari PTP dalam ha1 effisiensi ekonomi, effisiensi harga dan effisiensi
teknis.

(ii) Tanpa memperhatikan jenis organisasi perusahaan, effisiensi kebun luas dan sernpit adalah sama
dalam ketiga ukuran effisiensi di atas.
(iii) Apabila jenis organisasi dan ukuran usaha (kebun) digabung maka effisiensi Swasta Asing yang lebih
tinggi dari PTP adalah disebabkan efisiensi kebun Swasta Asing sernpit terhadap kebun PTP sempit
dan luas.
Kesimpulan Saragih di atas agaknya perlu diuji kembali melihat perkembangan-perkembangan yang
telah terjadi selama 10-12 tahun pada PTP dan Swasta Asing. Juga dalam hal ini perlu diteliti bagaimana
keadaan effisiensi kebun yang tidak punyak pabrik dan Swasta Nasional dibandingkan dengan effisiensi
kebun yang punya pabrik pada PTP d m Swasta Asing.
Sejak penurunan harga CPO secara drastis tahun 1986, harga CPO dan inti dalam periode 19861990 pada umumnya berada pada tingkat yang rendah, sehingga menurunkan tingkat keuntungan
perusahaan. Dengan harga-harga yang berlaku pada periode terakhir ini (1986-1990) maka timbul
pertanyaan apakah daya saing perusahaan secara finansial masih cukup tinggi. Bahkan timbul pertanyaan

Tabel 1.7.

Perkembangan Luas A r e a l dan Produksi Kelapa S a w i t Henurut J e n i s
O r g a n i s a s i Produsen d i Indonesia, 1970 - 1990

Tahun dan
uraian

Sa tuan

PTP

Swas t a
Asing

Swasta
Nasional

Total

............................................................................
1970
a. Luas TN
b. X d a r i l u a s a r e a l
c. P r o d u k t i v i t a s

Ha
X
kg CPO/Ha

59.814
69,03
2457,6

27.534
59,Ol
2535

1975
a. Luas TN
b. X d a r i l u a s a r e a l
c. P r o d u k t i v i t a s

Ha
X
kg CPO/Ha

86.91 5
71,83
3120,3

49.164
72,42
2564,s

a
a
a)

136.079
73,89
2919,62

1980
a. Luas TN
b. % d a r i l u a s a r e a l
c. P r o d u k t i v i t a s

Ha
X
kq CPO/Ha

140.519 c )
73,68
c)
3544,O c )

62.319
80,56
3416,s

a1
a
a

202.838
75,67
3508,46

1985
a. Luas Til
b. X d a r i l u a s a r e a l
c. P r o d u k t i v i t a s

Ha
X
kg CPO/Ha

246.104
77,92
3869

c)
c)
c)

60.510
86,69
5111,7

437.130
74,OO
3484,9

c)
cj
c)

61.179
204.060
75,60
43,22
5113,8 e ) 1931,4

1990
a. Luas TM
b. % d a r i l u a s a r e a l
c. P r o d u k t i v i t a s

Ha
%

kg CPO/Ha

e)

37.811 d ) 344.425
48,26
d ) 74,23
965
d ) 3768,6

d j 702.369
d j 61,41

d ) 3175,48

b)
b)
b)

b)
b)
b)

Keterangan: a ) Swasta Asing dan Swasta N a s i o n a l d i s a t u k a n
b) Termasuk
l u a s a r e a l dan p r o d u k t i v i t a s
rata-rata
dari
Perkebunan Hakyat dan PIREUN
C ) Luas TM dan p r o d u k t i v i t a s PTP ternasuk PIRBUN
d ) Luas TM dan p r o d u k t i v i t a s Swasta Nasional termasuk Perkebunan
Rakya t
e ) Sebagian h a s i l Perkebunan Hakyat dan Swasta N a s i o n a l dianggap
d i o l a h pada PKS Swasta Asinq.
Susber : 1. L u b i s , A.M.
Pasang S u r u t perkembangan perkebunan dan p r o d u k s i kelapa
s a w i t d i I n d o n e s i a s e j a k sebelum perang sampai P e l i t a I 1 s e r t a
permasalahannya dalam Kelapa Sawit, Pusat P e n e l i t i a n M a r i h a t ,
1989
ha1 12-13.
2 . Sub D i r e k t o r a t Data S t a t i s t i k , D i t j e n Perkebunan.
3. Pusat P e n e l i t i a n Perkebunan fledan. S t a t i s t i k Sawit, 1985, 1987, 1989,
1990.

13
yang lebih penting lagi, yaitu: apakah hasil-hasil kelapa sawit masih mempunyai keunggulan komparatif
(keuntungan ekonomi) sebagai komoditi ekspor? Menurut H. Bonar (1987) menjelang tahun 2000,
penawaran minyak kelapa sawit mempunyai keunggulan terhadap minyak nabati lain disebabkan ongkos
produksi yang rendah, penghasil minyak per hektar yang tinggi dan lebih hemat dalam biaya proses
hydrogenasi. Meskipun H. Bonar tidak menunjukkan data ongkos produksi yang rendah, narnun dia
menyarankan upaya menekan ongkos produksi lebih rendah lagi agar daya saing minyak sawit di pasaran
internasional semakin tinggi.
Dalam menanggapi pendapat-pendapat (1984-1987) agar BUMN Perkebunan (PTP) diswastakan
karena kurang effisien dan menyebabkan beban Pemerintah, Siagian (1987) mengemukakan pendapatpendapat yang tidak setuju, yakni :
(i)

Sulit dicari bukti bahwa sektor swasta lebih effisien dari BUMN (PTP)

(ii) BUMN (PTP) kurang effisien karena kurang diberi otonomi

(iii) BUMN mengemban tugas-tugas lain, (seperti agent of development dalam pengembangan PIR)
(iv) Perkebunan yang dikelola swasta tidak lebih baik dari PTP, malahan banyak perkebunan-perkebunan
besar swasta yang ditelantarkan.
Namun demikian, Siagian juga mengakui kelemahan-kelemahan yang terdapat pada PTP dan
perlunya perbaikan dalam manajemen PTP untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan
meningkatkan effisiensinya.
Dari uraian-uraian di atas terlihat perlunya menganalisis secara mendalam keadaan daya saing
produsen kelapa sawit Indonesia untuk pasar ekspor. Dalam ha1 ini terutama perlu dianalisis daya saing
ketiga jenis perusahaan kelapa sawit Indonesia, yaitu PTP, Swasta Asing dan Swasta Nasional.
Kebijaksanaan pemerintah yang sangat banyak jumlahnya sangat mempengaruhi daya saing dan
perangsang mengekspor hasil-hasil kelapa sawit. Meskipun pemerintah sejak lama menginginkan
hasil-hasil kelapa sawit sebagai penghasil devisa utama, tetapi dalam kenyataannya dialami hal-ha1 yang
bertentangan dengan keinginan tersebut. Oleh sebab itu analisis lebih mendalam diperlukan untuk melihat

14

sampai sejauh mana dampak dari kebijaksanaan, pemerintah terhadap daya saing dan perangsang ekspor
hasil-hail kelapa sawit.

3. Tuiuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk: Menganalisis daya saing dan faktor-faktor yang mempengaruhi
daya saing hasil-hail kelapa sawit Indonesia dalam perdagangan internasional (ekspor).
Tujuan tersebut diatas dapat lebih diperinci lagi atas tujuan-tujuan berikut:
1)

Mempelajari daya saing dari hasil-hasil tanaman kelapa sawit seperti minyak kelapa sawit, inti sawit
dan produk-produk industri yang mengolah m.k.s dan inti sawit.

2)

Untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing m.k.s,

inti sawit dan

produk-produk dari m.k.s dan inti sawit tersebut.

3)

Untuk mempelajari dampak kebijaksanaan Pemerintah terhadap daya saing dan perangsang ekspor
hasil-hail kelapa sawit di atas.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Pemerintah dalam penyusunan Rencana dan Strategi

Pengembangan Budidaya dan Industri hasil-hasil minyak kelapa sawit pada masa yang akan datang. Di
pihak lain dengan mengetahui kelemahan-kelemahan dalarn daya saing, termasuk akibat kebijaksanaan
pemerintah, maka dapat diambil langkah-langkah yang lebih baik untuk meningkatkan daya saing.
Pentingnya peningkatan daya saing dan hal-ha1 apa yang perlu ditingkatkan juga sangat perlu
diketahui produsen yang menghasilkan kelapa sawit. Dari analisis effisiensi allokasi input produksi
variabel jangka pendek dapat diketahui produsen, hal-hal apa yang diperlukan untuk menurunkan ongkos
produksi jangka pendek. Dari perbandingan daya saing antar kelompok perusahaan dapat diketahui
kelemahan-kelemahan suatu (kelompok) perusahaan. Dengan demikian perusahaan-perusahaan tersebut
dapat menghindari kesalahan-kesalahan dan lebih bersiap menghadapi masalah dan tantangan dalam
perdagangan ekspor hasil-hasil kelapa sawit terutama dalam ha1 terjadinya penurunan harga.

15
Penelitian ini juga diharapkan sangat bermanfaat bagi para investor dan dunia perbankan yang ingin
menanamkan modalnya dalam usaha perkebunan dan industri yang mengolah h a i l kelapa sawit. Dalam

ha1 ini p q a investor akan mengetahui kemampuan dan resiko yang dihadapi produsen kelapa sawit dan
industri yang mengolah hail-hasil kelapa sawit untuk diekspor.

BAB I1
KERANGKA PIKIRAN DAN HIPOTESIS

1.

Tiniauan Kepustakaan T e n t a n ~D a ~ Sa a i n ~
Daya saing adalah kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu

yang cukup baik dan ongkos produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi dipasar
internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi
sehingga dapat mempertahankan kelanjutan kegiatan produksinya (Lihat Gambar 11.1).

Luaa If!
Faktor
I)

Tekrmloyi
pdubi

A

b

-1

v
Fungs i
produks i

v

-

-

nutu

4

v

b

Harya jual

-L

' *

T

7

Harga input
p d u k ai ,
penge lolaan

Penalsaran

C

+

b

+

Biaya
Produksi

Tingkat Laba -+

-

r

d

C

G a ~ b a r11.1. T i ~ b u l n y aDaya Saing

Daya aaiy

17

Permintaan dan penawaran mempunyai kaitan dalam hal pembentukan harga komoditi dan
mempengaruhi daya saing produsen di pasar. Tetapi selain itu penawaran mempunyai pengaruh terhadap
daya saing melalui produktivitas, effisiensi, mutu produksi, dan ongkos produksi, dimana semakin tinggi
mutu barang dan ongkos produksi rendah semakin kuat daya saingnya.
Dalarn penelitian masa lalu, permintaan dan harga komoditi hasil-hail kelapa sawit dianggap
sudah tertentu (fixed), atau merupakan faktor gxogeneous, sehingga daya saing terutama dilihat dari segi
penawaran atau ongkos produksi dan hal-hal yang berada dalam jangkauan (control) produsen yang masih
mungkin mempengaruhi harga produksi. Tetapi dalam analisis daya saing dimasa depan, kedua sisi
permintaan dan penawaran sama-sama menentukan karena perobahan penawaran dan permintaan akan
menentukan harga yang akan terjadi di masa depan. Dalarn kaitan inilah maka hasil-hasil penelitian
mengenai permintaan dan penawaran serta pembentukan harga berkaitan erat dengan pengkajian daya
saing.
Daya saing hasil-hasil kelapa sawit Indonesia seharusnya dianalisis terhadap dua hal, yaitu:
1.

Daya saing hail-hail minyak kelapa sawit Indonesia terhadap produsen minyak kelapa sawit
lainnya, terutama produsen terbesar yaitu Malaysia.

2.

Daya saing hasil-hail minyak kelapa sawit Indonesia terhadap komoditi-komoditi mind lain,
terutama yang dianggap komoditi saingan (komoditi substitusi) di berbagai negara.
Tetapi kedua ha1 di atas sulit dilakukan karena kesulitan memperoleh data. Oleh sebab itulah

diadakan pendekatan lain, yaitu pendekatan tak langsung dengan menggunakan indikator-indikator daya
saing dari sisi produsen. Dalarn ha1 ini dianggap bahwa daya saing dari produsen minal sebagian telah
tercermin dari harga-harga yang terjadi di pasaran internasional dan jurnlah barang yang ditawarkan
produsen tersebut di pasaran internasional.
Dengan menganggap bahwa harga di pasaran internasional sudah tertentu (given) dan produsen
kelapa sawit Indonesia adalah merupakan penerima harga (price taker) maka indikator-indikator daya
saing dari sisi produksi (produsen) kiranya juga cukup baik digunakan untuk menilai kekuatan daya saing
kelapa sawit Indonesia terhadap komoditi minal lainnya dipasar internasional.

Beberapa indikator daya saing dapat dikemukakan sebagai berikut:
Indikator daya saing yang paling sederhana adalah ratio antara ongkos produksi dan harga jual
yang dapat diperoleh produsen, yang dapat disebut sebagai Effisiensi Ongkos Produksi (EOP).

Effisisensi Ongkos Produksi

=

EOP

=

P

dimana:

C=
P =

Ongkos produksi termasuk ongkos pemasaran sampai mendapatkan harga
Fob atau cif.
harga jual (f.0.b. atau c.i.f.)

Ratio CIP adalah merupakan komplemen dari: (P - C)/P, yakni laba dibagi hasil penjualan per

Kg hasil. Ratio antara laba dan penjualan menyatakan bagian atau persentase dari laba terhadap total
penjualan. Ratio ini biasa disebut profit margin (Harnanto, 1987, Scott dkk. 1988, Usry dkk., 1988),
dan merupakan indikator "profitabilitas" dan "effisiensi operasi perusahaan". Jadi EOP
M
(I' )

+ Profit Margin

= 1.
Dalam hal laba (profit) menurut sistem akuntansi perusahaan terdapat beberapa definisi.

Usry

dkk. (1988) antara lain mengemukakan tiga definisi laba (profit):
1.

Laba kotor

(Grossyaitu penjualan dikurangi ongkos produksi (ongkos produksi dapat

diartikan biaya memproduksi barang atau biaya sampai gudang pabrik).
2.

Laba Operasi (Net Operating Profit), yaitu laba setelah dikurangi:

- ongkos pemasaran (penjualan)
- ongkos penyusutan

- ongkos administrasi
Laba ini adalah laba bersih sebelum membayar bunga uang pinjaman (interest) dan membayar pajak.

3.

Laba bersih (Net Profit atau Net Income) adalah laba setelah NOP dikurangi bunga hutang dan
pajak. Laba ini adalah merupakan balas jasa terhadap modal sendiri3dari saham biasa (return on Common EauitvIStock).

atau pendapatan bersih

19
Ratio C/P atau EOP menunjukkan kemhpuan produsen menghadapi saingan, dimana semakin
kecil ratio ini berarti semakin mampu menghadapi saingan. Perbandingan ratio ini antar perusahaan atau
negara pada waktu yang sama menunjukkan kemampuan bersaing perusahaan tersebut terhadap
perusahaan lain.
Indikator keberhasilan perusahaan dalam pengelolaan perusahaan dan penggunaan sumberdaya
modal yang banyak ditulis para penulis (terutama para penulis ekonomi perusahaan, ilmu usaha tani dan
manajemen keuangan) adalah ratio laba

terhadap total modal atau investasi yang dilakukan

perusahaan. Ratio ini adalah menunjukkan tingkat keberhasilan suatu usaha keseluruhan atau tingkat
pengembalian modal dalam suatu proyek (investasi).
Ada beberapa versi (cara) dalam pengukuran ratio ini antara lain dapat dikemukakan sebagai
berikut:
Downey dan Trocke (1981) menulis bahwa ukuran paling penting dalam keberhasilan perusahaan
adalah ROI, dimana :

Total Laba

x 100%

ROI = Return On Investment =
Total Modal
= POS

x TOA (PM x TPM) dimana POS

= profits on sales =

operating income

sales
dan TOA = turn over of assets =

sales

Gross T.A.

Operating Income belum dikurangi bunga uang dan pajak. Sedang Gross Total Assets = Fixed Assets

+ Current Assets.
Harnanto (1987) menulis adanya dua jenis ratio yaitu ROTA dan ROTE, dimana:
1) ROTA = Return On Total Asset

-

Total Keutungan Bersih
Total Asset

x 100%

Total keuntungan belum dikurangi bunga Modal Asing dan Total Assets adalah Modal Sendiri
(MS)

+ Hutang Jangka Panjang (HJP) atau seluruh Modal (Aktiva) Perusahaan dikurangi Aktiva Lancar.
2) ROTE = Return on Total Equity = Return on Equity Capital

(ROIE,)

-

-

Total Keuntungan Bersih
Bunga Dibayar
(dari Modal Asing)

x 100%

Total Modal Sendiri (Total Equity)
atau rata-rata M.S
ROTA adalah menunjukkan tingkat keuntungan atau balas jasa terhadap pemakaian selunrh modal,
modal sendiri dan modal pinjaman (hutang) terkecuali modal lancar. ROTA menunjukkan tingkat
keuntungan secara umum atau menyeluruh dari seluruh perusahaan dan dari pemakaian seluruh modal.
Dalam hal ini Total Asset dapat digunakan Total Asset akhir tahun atau Total Asset rata-rata awal tahun
dan akhir tahun.
ROTE menurut Harnanto addah merupakan balas jasa terhadap modal sendiri (Eauitv), oleh sebab
itu bunga uang pinjarnan dikurangi dulu dari Total Keuntungan (laba) dan pembaginya adalah Total Modal
Sendiri (equity), baik dalam bentuk Aktiva Tetap atau Aktiva Lancar.
Apabila ROTE lebih tinggi dari ROTA, maka peminjaman yang dilakukan perusahaan
menguntungkan perusahaan. Apabila ROTE lebih rendah dari ROTA, maka peminjarnan tidak menambah
keuntungan perusahaan, hanya menguntungkan pemberi kredit.
Scott dkk. (1988) mengemukakan tiga jenis ratio yang berhubungan dengan ratio laba dan modal
(investasi perusahaan), yaitu:

1)

operating Income Return On Investment (OIROI)

-

Net Operating Income

x 100%

Total Asset
dimana Total Assets = Fixed Assets

+ Current Assets. Net Operating Income (laba operasi) seperti

dikemukakan adalah laba bersih sebelum membayar bunga pinjaman dan membayar pajak sehingga
ukuran ini sebenarnya sama dengan ROI menurut Downey and Trocke. Membandingkan ratio ini

dengan tingkat bunga uang pinjaman (kredit) dapat diketahui apakah meminjam menguntungkan atau
tidak bagi perusahaan.
2)

Return On Total Assets atau Return On Investment (ROI)
-T---------------------------------------------------

--

Net Income (Keuntungan Bersih)

x 100%

Total Assets
Dalam ha1 ini, seperti diuraikan, Net Income adalah laba bersih setelah dibayar bunga uang
pinjaman dan pajak. Total Asset adalah merupakan ukuran Total Investasi, jadi ukuran ini
merupakan ukuran keberhasilan bersih (Net) dari seluruh penanaman modal (Investasi). Jadi ROI
di sini adalah ROI bersih sedang ROI menurut Downey and Trocke masih ROI kotor.

Return on Common Equity
Net Income available to common
5:

x 100%

Common equity
Ratio ini adalah sama dengan ROTE, yang merupakan ukuran tingkat keuntungan atau balas jasa
pemilik modal (pemilik saham).
Ukuran-ukuran yang dikemukakan diatas adalah merupakan ukuran daya saing yang lebih h a t
dari ukuran Profit Margin (PM) atau Effisiensi Ongkos Produksi (EOP).
Profit Margin mempunyai hubungan dengan ROI atau ROTA dalam bentuk :

Laba
ROI =
Total Penjualan

Total Penjualan

x

= P.M

Total Asset
(Investasi)

dimana T. P. M (Tingkat Perputaran Modal) adalah menunjukkan

x T.P.M x 100%

Ratio Total Penjualan (Output)

terhadap Total Assets atau Out~utICa~ital
Rati~.
Ukuran ROI (ROTA) atau OIROI adalah menunjukkan tingkat effisiensi penggunaan modal
(investasi) dalam suatu perusahaan (proyek). Besarnya ROI suatu perusahaan selalu dapat dibandingkan
dengan tingkat bunga uang yang berlaku dipasar modal. Tingkat bunga dipasar modal (deposit0 bank dan

22
hasil Bursa Effek) adalah merupakan pilihan lain (alternatif) bagi penggunaan suatu investasi atau
merupakan o~mrtunitv cost. Oleh sebab itu semakin tinggi perbedaan ROI suatu perusahaan terhadap
tingkat bunga uang yang berlaku, semakin kuat daya saing perusahaan tersebut dalam menggunakan dana
masyarakat (investor) untuk perusahaan tersebut.
Menurut Scott dkk. (1988) ongkos penggunaan modal (cost of capital) dalam suatu perusahaan
adalah tingkat keuntungan (rate of return) minimal yang dibutuhkan oleh perusahaan itu untuk dapat
mempertahankan penanam modal (investor) tetap menanam modalnya dalam perusahaan tersebut.
Tingkat bunga uang dipasar modal (pinjaman atau deposit0 bank, obligasi pemerintah atau "bond"
perusahaan-perusahaan) disuatu negara sampai tingkat tertentu juga dipengaruhi oleh tingkat bunga uang
dipasar modal dunia. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh keluar-masuknya modal kesuatu negara
berdasarkan perbedaan tingkat bunga uang yang terjadi di negara tersebut dibanding dengan negara-negara
lain. Oleh sebab itu sifat dari tingkat bunga di pasar modal sebagai alat pembanding terhadap tingkat ROI
suatu perusahaan mempunyai arti yang sangat strategis dan sangat luas. Dengan alasan-alasan diatas dapat
disimpulkan bahwa tingkat keuntungan terhadap investasi (ROI) suatu pemsahaan adalah mempakan
indikator Daya Saing yang cukup penting, baik dalam

perdagangan domestik atau perdagangan

internasional.
ROI adalah merupakan Indikator Daya Saing Finansial Perusahaan, yang menentukan seberapa
jauh balas jasa terhadap Investasi yang dilakukan dan seberapa jauh perbedaan balas jasa tersebut
dibanding dengan oppotunitv cost modal yang diinvestasikan.
Untuk mengukur besarnya daya saing suatu komoditi yang dijual dalam pasaran internasional,
maka perlu diukur besarnya penggunaan sumber daya domestik untuk menghasilkan satu unit devisa (satu
satuan uang asing seperti US$). Dalam hal ini, maka ukuran (indikator) yang lebih tepat dan lebih teliti
digunakan adalah unit D.R.C (Domestic Resource Cost).
Menurut Kadariah dkk (1978) kriteria efisien tidaknya suatu produksi barang dan jasa dalam
perdagangan internasional, dapat menggunakan unit D.R.C (Domestic Resource Cost) serta E. R.P
(Effective Rate of Protection). Menurut Kadariah dkk bahwa effisien tidaknya produksi jenis barang dan
jasa "tradeable" tergantung pada daya bersaingnya dipasar dunia. Artinya, apakah biaya produksi riil

23
yang terdiri dari pemakaiann sumber-sumber nasional (domestik) terutama tenaga kerja dan modal cukup
rendah sehingga harga jualnya dalam rupiah, tidak melebihi tingkat "Border Price" (harga batas) yang
relevant, dinyatakan dalam dollar, dikalikan dengan "Shadow Price" (harga bayangan daripada devisa.
Menurut Kadariah dkk, unit D.R.C. adalah besarnya biaya sumber-sumber nasional untuk
memperoleh atau menghemat satu satuan devisa (domestic resource cost of earning or saving a unit of
f o r e i ~ ne x c h a n d dari suatu produksi barang atau jasa yang "tradeable" (barang yang dapat dieksport atau
diimport).
Penggunaan indikator D.R.C., yang dimulai oleh Bruno 1967 (dalam Gittinger, 1982) menurut
Gittinger juga sangat tepat untuk menilai suatu project dalam jangka panjang untuk menghasilkan atau
menghemat suatu devisa. Untuk menghitung D.R.C., menurut Gittinger ada empat ha1 yang diperlukan,
yaitu :
1)

nilai devisa yang dihasilkan dari produksi barang.

2)

nilai devisa yang digunakan dalam ongkos produksi barang tersebut.

3)

nilai ongkos produksi dari sumber-sumber domestik dalam nilai uang negara bersangkutan.

4)

" g ~ ~ o r t u n icost"
t v dari modal.
Unit D.R.C atau Biaya Sumber Daya Domestik (B.S.D) merupakan ukuran biaya imbangan sosial

b

j dari

penerimaan suatu unit marginal bersih devisa, diukur dalam bentuk

faktor-faktor produksi domestik yang digunakan, baik langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas
ekonomi (Pearson 1976 dan Pearson dkk., 1976).
Satuan D.R.C atau B.S.D dinyatakan dalam besaran nilai tukar uang nasional (Rupiah) terhadap
satu satuan nilai tukar mata uang asing (misalnya US$) dari penggunaan sejumlah sumber daya domestik
untuk menghasilkan suatu nilai tambah dalam uang asing.
Rumus perhitungan D.R.C menurut Pearson (1976) adalah:

+

BD
D.R.C.

=

P

-

E

BA

-

BD

+

E

NT

dimana :
BD = biaya komponen domestik (Rp)
P = penerimaan (US$)

BA = biaya komponen asing (US$)
NT = Nilai Tambah yang diperoleh
(US$)

E

dari aktivitas itu

= eksternalitas, tarnbahan keuntungan sosial atau

kerugian sosial yang tidak dikenakan pada
perusahaan.
Selanjutnya menurut Pearson, bila D.R.C. dibagi dengan harga bayangan nilai tukar uang akan
diperoleh suatu besaran yang dapat dipakai untuk analisa komparatip yaitu Koefisien DRC.

2.

Keran~kaPikiran

Dengan mengetahui beberapa Indikator Daya Saing financial (privat) antara lain Effisiensi Ongkos
Produksi (EOP), Profit Margin (P.M), tingkat keuntungan terhadap modal atau investasi (ROTA atau
ROI atau OIROI) dan indikator daya saing ekonomi, yaitu Biaya Sumber Daya Domestik (BSD) maka
dapat diadakan pengukuran Daya Saing Perusahaan Kelapa Sawit dengan menggunakan Indikator-Indikator
d i atas.
Karena Effisiensi Ongkos Produksi (EOP) dan Profit Margin (P.M) adalah merupakan komponen
dari tingkat keuntungan terhadap Investasi (ROI) maka cukup ROI dipakai sebagai ukuran daya saing
dalam thesis ini.
Dari rumus ROI = P.M x T.P.M (%) sebenarnya dapat terjadi beberapa kombinasi P.M dan
T.P.M untuk menghasilkan ROI yang sama. Tetapi dalam budidaya kelapa sawit, T.P.M (Tingkat
Perputaran Modal) tidak mungkin sangat bervariasi antar perusahaan karena semua tanaman kelapa sawit
hanya memberikan hasil (panen) Tandan Buah Segar (TBS) menurut siklus tertentu. Dengan perkataan
lair;, tidak mungkin modal perusahaan diputarkan lebih cepat dari siklus panen TBS yang dihasilkan oleh
kebun perusahaan.

Dalam jumlah yang sangat sedikit memang ada beberapa perusahaan yang memiliki Pabrik Kelapa
Sawit (PKS) membeli T.B.S dari luar (dari petani lainlperusahaan lain) sehingga jumlah yang diolah
P.K.S nya bisa beberapa kali lipat dari jumlah produksi TBSnya. Tetapi karena kasus ini hanya sedikit
dan hanya mempengaruhi ROI Pabrik Kelapa Sawitnya, maka keadaan ini tidak berlaku umum pada

25
perusahaan kelapa sawit. Dalam menilai daya saing perusahaan kelapa sawit dengan menggunakan aspek
ROI, maka pusat perhatian ditujukan pada tanaman (kebun) dan P.K.S secara bersama-sama. Dengan
demikian meskipun ada variasi dalam T.P.M setiap perusahaan tetapi sumber utarnanya dianggap adalah
total produksi dan produktivitas TBS dari kebun sendiri. Dengan alasan inilah maka berbagai kombinasi
P.M dan T.P.M

yang cukup besar untuk memperoleh ROI yang sama tidak mungkin terjadi pada

perusahaan kelapa sawit seperti ymg lazim terjadi pada perusahaan-perusahaan perdagangan.
Karena perusahaan-perusahaan kelapa sawit, terutama perusahaan-perusahaan besar (PTP dan
Swasta Asing) sebagian besar melakukan pengolahan (industri hilir) m.k.s (CPO) atau inti menjadi
hasil-hasil lanjutan (seperti oleinlminyak goreng, stearin, PKO dan lain-lain), maka daya saing industri
hilir juga perlu dianalisis. Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini adalah: Apakah pengolahan oleh
industri hilir dan penjualan hasil-hasil industri hilir ini dipasaran internasional dapat meningkatkan daya
saing perusahaan kelapa sawit Indonesia di pasaran eksport. Dengan perkataan lain apakah diversifikasi
vertikal dapat meningkatkan daya saing perusahaan kelapa sawit.
Indikator untuk menilai daya saing hasil-hasil industri hilir juga akan menggunakan ROI dan Biaya
Sumber Daya Domestik (BSD).
Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan ada dua Indikator Daya Saing Perusahaan Kelapa
Sawit yang akan diukur, yaitu:
I)

Dalam penjualan CPO dan Inti:
1) Tingkat Keuntungan (ROI) (analisis finansial)

2) Biaya Sumber Daya Domestik (BSD) (analisis ekonomi)
11)

Dalam penjualan Hasil-hail Industri Hilir
1) Tingkat Keuntungan (ROI) (analisis finansial)
2) Biaya Sumber Daya Domestik (BSD) (analisis ekonomi)
Dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing, maka salah satu ha1 terpenting

yang perlu dianalisis adalah pengaruh Effisiensi Allokasi Input Produksi Variabel Jangka Pendek dalam
tingkat kebun.

Analisis ini bertujuan untuk melihat sampai sejauh mana tercapainya effisiensi allokasi input
produksi variabel dalam menghasilkan TBS dan pengolahan TBS menjadi CPO dan Inti.
Sesuai dengan teori dasar ekonomi produksi (Doll dan Orazem, 1984, Debertin, 1986) jika
produsen ingin memaksimumkan keuntungan jangka pendek maka dalam proses produksi Nilai Marginal
setiap input produksi sama dengan nitai ongkos marginal (harga) setiap input produksi.

dimana:
VMPxi =

Value Marginal Product atau Nilai Produk Marginal Input Xi

MFCxi =

Marginal Factor Cost atau Ongkos Marginal Input Xi. Dalam pasar persaingan
sempurna MFCXi sama dengan harga per satuan input (PxJ

Pengertian jangka pendek dalam hal di atas, ada sejumlah input yang tetap atau tidak berubah
seperti luas areal, kapasitas pabrik d m lain-lain.
Pengukuran effisiensi allokasi input produksi variabel telah dirintis oleh para peneliti seperti
Aigner dan Chu (1968), Hopper (1%5), Comanor dan Leibenstein (1969) dan Heady dan Dillon (1972).
Fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb Douglas dengan assumsi berada dalam
pasar persaingan sempurna pada pasar input dan pasar output produksi serta adanya perilaku
memaksimumkan keuntungan pada produsen.
Lau dan Yotopoulus (197 1) menunjukkan bahwa pengukuran-pengukuran effisiensi oleh para
peneliti terdahulu mempunyai kelemahan-kelemahan, baik secara konseptual maupun secara empiris.
Menurut Lau dan Yotopoulus ada tiga ukuran effisiensi, yaitu Drice atau allocative efficiencv, technical
gfficiency dan m n o m i c efficiency yang sering mempunyai pengertian yang berbeda-beda oleh peneliti
sebelumnya.
Menurut Lau dan Yotopoulus, kebutuhan minimum untuk dapat menggunakan suatu konsep
relative economic efficiency yang memenuhi syarat adalah:
(i)

Dapat digunakan pada berbagai perusahaan yang menghasilkan output yang berbeda dari sejumlah
input produksi yang digunakan masing-masing. Ini adalah komponen dari perbedaan technical
efficiency.

27

Dapat digunakan mengukur perbedaan tingkat maksimisasi keuntungan, yaitu dalam menyamakan

(ii)

nilai marginal product dari setiap input variabel dengan harganya. Ini adalah komponen dari &
efficiency.
Dapat diadakan pengujian apakah perusahaan-perusahaan berada dalarn situasi harga pasar yang

(iii)

berbeda-beda.
Hal ini berarti bahwa dua perusahaan yang mempunyai technical efficiencv yang sama yang
sama-sama berhasil memaksimalkan keuntungan, akan berbeda jumlah keuntungannya apabila menghadapi
harga-harga yang berbeda. Selain itu kedua perusahaan akan berbeda tingkat keuntungannya karena salah
satu atau keduanya tidak memaksimumkan keuntungannya.

Economic efficiency (effisiensi ekonomi) adalah gabungan dari technical efficiency (effisiensi
teknis) dan price efficiencv (effisiensi harga). Misalkan ada dua perusahaan yang berbeda effisiensi teknis
dan effisiensi harganya tetapi menghadapi harga-harga input dan output yang sama. Perusahaan yang
memperoleh keuntungan yang lebih tinggi dianggap mempunyai effisiensi ekonomi yang lebih tinggi
meskipun perbedaan effisiensi teknis dan effisiensi harga masing-masing tidak diketahui.
Lau dan Yotopoulus (1971) selanjutnya mengemukakan bahwa alat analisis yang lebih tepat untuk
mengukur ketiga jenis effisiensi tersebut adalah Profit Function (Fungsi Keuntungan). Lau dan Yotopoulus
menurunkan Profit Function dari Production Function. Dan salah satu fungsi produksi yang dianggap
lebih baik dari hasil-hasil pengujian terhadap fungsi produksi lainnya adalah Fungsi Produksi
Cobb-Douglas2.
Bentuk Fungsi Keuntungan dan penurunannya dari Fungsi Produksi Cobb-Douglas akan diuraikan
dalam Bab 111 mengenai metodologi penelitian.
Dengan menggunakan Fungsi Keuntungan pada sampel kebun tanaman dan Pabrik Kelapa Sawit
dapat dideteksi (diketahui) perbedaan-perbedaan effisiensi harga dan effisiensi teknis pada berbagai

*

LBUdan Yotopoulus (197 I), ha1 101.

28

kelompok perusahaan pada tingkat kebun. Melalui pendekatan ini akan dapat dijelaskan sebagian besar
faktor-faktor yang mempengaruhi Ongkos Produksi Perusahaan yang merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi daya saing .
Selain itu juga dapat dijelaskan keadaan pconomies of scale dan fungsi produksi dari hasil
produksi (CPO+inti) yang menjelaskan elastisitas berbagai faktor produksi variabel dan tetap.
Selain faktor-faktor yang mempengaruhi ongkos produksi pada tingkat kebun ada beberapa faktor
yang mempengaruhi ongkos produksi (harga pokok) perusahaan yang merupakan ongkos yang dikeluarkan
oleh Kantor Besar. Ongkos ini sebagian besar merupakan ongkos tidak langsung seperti Ongkos
Administrasi Umum dan ongkos lain-lain. Sampai sejauh mana pengaruh ongkos-ongkos tidak