1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Minyak goreng adalah salah satu kebutuhan masyarakat yang menjadi perhatian Pemerintah karena merupakan bagian penting bagi konsumsi lebih dari
247 juta jiwa penduduk Indonesia. Berdasarkan data Susenas 2012, konsumsi minyak goreng perkapita pada tahun 2011 sebesar 8,24 literkapitatahun dan
meningkat menjadi sebesar 9,33 literkapitatahun pada tahun 2012
1
. Makanan yang disajikan dengan digoreng saat ini telah menjadi sangat populer didalam diet
sehari-hari, terutama pada era yang modern dengan gaya hidup yang serba cepat sekarang ini
2
. Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan berulang minyak goreng yang
telah dipanaskan berulangkali banyak dilakukan di masyarakat untuk menekan pengeluaran
biaya dalam
memasak. Namun,
praktik tersebut
tidak memperhitungkan bahaya dari minyak goreng yang dipanaskan dan digunakan
secara berulang. Minyak goreng yang dipanaskan dan digunakan secara berulang ini dikenal dengan nama minyak jelantah. Minyak goreng yang dipanaskan dan
digunakan berulang akan membentuk suatu radikal bebas yang berbahaya bagi kesehatan. Memanaskan minyak goreng pada suhu tinggi, yaitu sekitar 160-
180 C, juga membiarkannya terpapar udara dan kelembaban pada saat yang
bersamaan akan menyebabkan minyak mengalami serangkaian proses fisika dan kimia yang disebut thermal oksidasi yang menghasilkan asam lemak jenuh dan
senyawa radikal dalam minyak goreng tersebut
2,3
. Semakin sering minyak
dipanaskan akan menyebabkan kenaikan kadar asam lemak trans
trans fatty acid
TFA , asam lemak jenuh serta timbulnya senyawa radikal yaitu Senyawa
Oksigen Reaktif SOR yang berbahaya bagi tubuh
4,5
. Parasetamol merupakan metabolit aktif dari fenasetin yang mempunyai
efek analgesik dan antipiretik
6
. Parasetamol di Indonesia lebih dikenal dibandingkan dengan nama asetaminofen, dan tersedia sebagai obat bebas
7
. Sifat farmakologis yang ditoleransi dengan baik, dan dapat diperoleh tanpa resep
membuat obat ini dikenal sebagai analgesik yang umum di rumah tangga
6
. Tempat utama metabolisme parasetamol adalah di dalam hati. Di dalam
hati, 60 dikonjugasikan dengan asam glukuronat, 35 asam sulfat, dan 3 sistein; yang akhirnya menghasilkan konjugat yang larut dalam air serta diekskresi
bersama urin. Pada proses metabolisme parasetamol di hati,
glutathione
GSH mempunyai peran yang cukup penting
6
. GSH merupakan suatu antioksidan yang penting pada manusia, binatang, tumbuhan, dan beberapa bakteri untuk mencegah
kerusakan pada sel yang disebabkan oleh SOR seperti radikal bebas, peroksida, lipid peroksida, dan logam berat
8
. Penelitian Ulilalbab 2010, menyebutkan bahwa pemberian minyak jelantah pada tikus menyebabkan kenaikan kadar
malondialdehid
MDA. Hal ini menunjukkan bahwa antioksidan yang ada di dalam hewan coba tidak mencukupi untuk menangkal radikal bebas yang
disebabkan pemberian minyak jelantah
9
. Pada suatu keadaan dimana kadar GSH yang sangat kurang, akan
menyebabkan senyawa toksik hasil metabolisme parasetamol, yaitu
N-acetyl- para-benzoquinone imine
NAPQI tidak dapat didetoksifikasi secara sempurna
sehingga dapat menyebabkan kerentanan sel-sel hati terhadap cedera dan juga memungkinkan NAPQI berikatan secara kovalen pada makromolekul sel, yang
menyebabkan disfungsi berbagai sistem enzim
6
. Selama ini belum pernah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh
pemberian minyak jelantah terhadap profil farmakokinetik parasetamol pada darah tikus wistar, mengingat di Indonesia banyak tersaji makanan yang proses
pembuatannya melalui proses digoreng dengan minyak jelantah seperi gorengan, penyet, serta makanan cepat saji yang lain, sementara terdapat kekhawatiran
tentang adanya pengaruh terhadap profil farmakokinetik parasetamol. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti efek pemberian
minyak jelantah terhadap profil farmakoknetik parasetamol pada darah .
1.2 Permasalahan penelitian