Pengaruh Pengendalian Hewan terhadap Temperatur, Nadi, dan Respirasi Nilai Hematologi dan Kimia Darah Rusa (Cervus Termorensis - Blainville 1822)

PENGARUH PENGENDALIAN HEWAN TERHADAP
TEMPERATUR, NADl DAN RESPIRASI, NlLAl
HEMATOLOGI DAN KlMlA DARAH RUSA
(Cervus timorensis - Blainville 1822)

Oleh :
SABDI HASAN ALIAMBAR

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
1999

RINGKASAN

SABDI HASAN ALIAMBAR.

Pengaruh Pengendalian Hewan Terhadap

Temperatur, Nadi dan Respirasi, Nilai Hematologi dan Kimia Darah Rusa (Cervus
frmorensis-Blainville 1822). Dibawah bimbingan SOERATNO PARTOATMODJO
(Alm) sebagai


ketua, HAD1 S. ALIKODRA, AHMAD ANSORI MATTJIK,

MARTIN B. MALOLE dan SETYO WlDODO sebagai anggota.

Indonesia merupakan salah satu pusat yang terpenting di dunia untuk
keanekaragaman

hayati. Rencana pengelolaan

keanekaraga~nan hayati

akan

merupakan cakupan yang luas dan meliputi program-program konsewasi yang telah
dijalankan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang kadangkadang beke jasama dengan masyarakat penyumbang dana (donor) Intemasional.
Jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat, telah menyebabkan
bertambahnya kebutuhan akan protcin hewani (daging, susu, telur dan lain-lain),
sehingga perlu dipikirkan cara pembudidayaan satwaliar untuk dijadikan ternak
potong. Rusa (deer) banyak terdapat di Indonesia dan tampaknya dapat dijadikan

alternatif ternak potong karena mempunyai persentase karkas rata-rata yang lebih
tinggi dibandingkan dengan ternak sapi dan domba. Akan tetapi untuk memindahkan
satwaliar dari lokasi habitatnya ke lokasi yang baru, dibutuhkan usaha untuk
menangkap atau membius hewan tersebut.

Dalam banyak kasus, satwa tersebut

seringkali mati mendadak setelah penangkapan atau pembiusan, tanpa diketahui
sebab-sebabnya.

Menurut Fowler (1993), gejala ini disebut "Capture myopathy" (CM) yang
biasanya terjadi pada mamalia dan unggas yang masih liar, baik d~ alam bebas
maupun di dalam penangkaran. Berdasarkan kenyataan inilah maka penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh pengendalian hewan (restraint) terhadap
kondisi hewan secara umum, melalui kmeriksaan temperatur, nadi dan rgspirasi;
gambaran hematologi dan kimia darah.
Sebanyak 36 ekor rusa (Cervus timorensis) yang berada di tiga lokasi berbeda
yaitu Camplong- NTT; Taman Safari Indonesia di Cisarua-Bogor serta beberapa
daerah di sekitar Kotamadya dan Kabupaten Bogor, digunakan sebagai hewan
percobaan. Sedangkan untuk menangkap dan mengendalikan rusa ini, dilakukan dua

cara/metode pengendalian yaitu pengendalian tisik (ditangkap secara manual) dan
pengendalian kimia (pembiusan) dengan tiletamin-zolazepam (Zoletil R Virbac).
Peubah (parameter) yang diukur ialah Temperatur, Nadi, Respirasi, Sel Darah
Merah (SDM), Sel Darah Putih (SDP), Haemoglobin (HB), Hematokrit (HCT), Mean
Cell Volume (MCV), Mean Cell Haemoglobine (MCH) dan Mean Corpuscular
Haemoglobin Concentration (MCHC). Juga nilai kimia darah yaitu Urea, Creatinin,
Alanin amino transferase (ALTJSGPT), Aspartic amino transferase (ASTfSGOT) dan
Lactat dehydrogenase (LDH). Pengambilan data dilakukan masing-masing tiga kali
dengan selang waktu perbedaan 15 menit.
Dari hasil analisis data-data yang diamat; dengan rancangan tersarang
(nested), dapat disimpulkan bahwa keterbatasan geraWmobilitas hewan sangat
mempengaruhi derajat kecenderungan peningkatan aktifitas sel-sel otot rangka dan
otot jantung.

Dengan demikian maka pemilihan tehnik pengendalian hewan tidak didasarkan
atas tingkat domestikasinya, tetapi pada tingkat mobilitas atau kebebasan gerak
hewan. Juga,

tehnik pengendakian hewan manual


menyebabkan

terjadinya

kecenderungan keparahanlpeningkatan aktifitas sel-sel otot yang lebih nyata pada
daerah dengan tingkat mobilitas yang sempitlrendah di Bogor, lebih nngan diJaman
Safari dan sangat ringan di Camplong. Sedangkan lamanya pengendalian (waktu)
tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kimia darah pada umumnya kecuali terhadap
nilai LDH, sangat berbeda nyata (p < 0.01). Hal ini nlenunjukkan adanya awal
kemsakan otot rangka yang mengarah pada terjadinya "capture myopathy" (CM).

THE INFLUENCES OF ANIlMAL RESTRAINT ON THE RECTAL
TEMPERATURE, RATE OF PULSES AND RESPTRATION,
HEMATOLOGICAL PROFKES AND BLOOD
CHEMICAL CHANGES OF RUSSA DEER
(Cervus timorensis - Blainville 1822)
by

Sabdi Hasan Aliambar
Under the supervision of Prof- Dr. 8. Soeratno Partoatmodjo, Msc. as chairman,

Prof. Dr. Ir. H. Hadi S. Alikodra, Dr. I r . H. Ahmad Ansori Mattjik, M s c ;
Dr. Drh. Martin B. Malole and Dr. Drh. Setyo Widodo as co-supervison

ABSTRACT

Indonesia is one of the important countries in the world from the point of view
of biodiversity and therefore there have been many programmes going on for its

management camed out by Govenunent as well as non govermental organisations.
Russa deer (Cervus rimoremis) is one of indigenous wild animal distributed
mainly in the eastern part of Indonesia that can be domesticated for pet or zoo
animals. The meat is tastier than beef and mutton so that the animal is being hunted
for its meat, also for velvet and antler. Effort to domesticate the Russa deer has not
been successfully done in large scale, due to high mortality rate after capture or
restraint. This study is aimed to observe the changes of physiologicaI values namely
rectal temperature, pulses, respiration, haematology, and blood chemical composition
of russa deer captured by physical as well as chemical restraints.

Thirty-six of adult russa deer in three different location namely Camplong NTT, Taman Safari Indonesia in Bogor - West Java, and private properties around
Bogor, were used in this study. The restraint method applied were manually capture


(physical restraint) and general anaesthesia using blow-pipe containing anaestheticurn
tiletamine-zolazepam (zoletil R virbac) dose 3-5 rnmg of body weight (chemical
i;s;i-aint).

Data collected in this study were temperature, pulses, respiration

and

blood samples which were measured three times in 15 minutes intervaIs, and
analysed by nested design. This study conclude that animal boundary or animal
movement limitation influences greatly the level of skeletal and cardiac muscle
activities. AIso the duration of restraint influence significantly the LDH values (p <
0.0 1) which correlated to the degree of capture myopathy.

PENGARUH PENGENDALIAN HEWAN TERHADAP
TEMPERATUR,NADI DAN RESPIRASI ,NILAI
HEMATOLOGI DAN KIMIA DARAH RUSA
(Cewus timorensis - Blainville 1822)


Oleh :
Sabdi Hasan Aliambar

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
Pada
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

1999

Judul Disertasi

: PENGARUH PENGENDALIAN HEWAN TERHADAP

TEMPERATUR, NADI DAN RESPLRASI, NILAI HEMATOLOGI DAN KIMIA DARAH RUSA (Cervus timorenszs - Blainville 1822)
Narna Mahasiswa : SABDI WASAN ALIAMBAR
Nomor p k o k


: 93552

Prograin Studi

: Sains Veteriner

Menyetujui:
I.

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. H. Soeramo Partoatmodjo (aim.)
Ketua

Anggoia

Dr. drh. Martin B. Malole
Anggota


Tanggal Lulus Uj ian :

2 1 September 1999

viii

RIWAYAT HlDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Nopember 1943 di Bekasi - JawaBarat,
sebagai anak terakhir dari sepuluh bersaudara dari keluarga Ana Aliambar (ayah,
alm) pensiunan pegawai negen, dan Yusimah Saiman (ibu ,almh).
Pendidikan dasar diselesaikan di S.R. Negeri Kampung Jawa, menengah
pertama di SMP. Negen IX dan menengah atas di SMA- Ksatrya, semuanya di
Jakarta. Jenjang pendidikan tinggi diperoleh pada Fakultas Kedokteran Hewan - IPB
tahun 1974 dan sejak saat itu penulis diangkat menjadi pegawai negeri sipil dengan
tugas sebagai tenaga pengajar tetap (dosen) di Laboratorium Bedah Veteriner, Bagian
Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan - Institut Pertanian Bogor.
Pendidikan lanjutan di luar negeri (training course) penulis ikuti di Royal
(Dick) School of Vet. Studies, University of Edinburgh - Scotland-UK., pada tahun
1977-1978 dengan topik "Tropical Animal Health And Production".

Pada tahun 1984 penulis melanjutkan studi Strata dua di Sekolah Pasca
Sarjana IF'B dengan program studi Sains Veteriner (SVT) dan lulus dengan gelar
Magister Sains (MS) pada tahun 1988.
Sejak tahun 1986 sampai dengan sekarang ini, penulis menjadi konsultan medis
raman Safari Indonesia di Cisarua- Bogor, dan sudah lama penulis menaruh minat
yang besar terhadap masalah konservasi serta penanganan penyakit pada satwaliar di
Indonesia khususnya, dan di dunia pada umumnya.

Penulis mulai melanjutkan studi Strata tiga di PPS-IPB pa& tahun 1993,
Program Studi Sains Veteriner (SVT) dan menyelesaikannya pada tahun 1999 dengan

memperoleh gelar doktor (Dr ).

X

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa pencipta
langit


dan bumi

beserta *gala

isinya, yang

dengan kasih

setiaNya telah

memampukan penulis untuk memulai dan mengakhiri tugas ini.
Terimakasih yang tulus serta penghargaan yang setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. H. Soeratno Partoatmodjo (aim)
selaku ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Tr. H. Hadi S. Alikodra, Bapak Dr.
Ir. H. Achmad Ansori Mattjik MSc, Bapak Dr. Drh. Martin B. Matole dan Bapak Dr.

Drh. Setyo Widodo, masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing, atas segala
bimbingan, nasehat, dorongafl semangat dan kemudahan-kemudahan lainnya yang
penulis peroleh selama mengkuti pendidikan 53 ini
Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada pemberi beasiswa yaitu
Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan (PP-PSL) Dikti, juga kepada Bapak
Pimpinan Taman Safari Indonesia di Cisarua-Bogor, dan kepada Bapak Kepala Balai

Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) wilayah VIII di Kupang-NTT khususnya
Pengelola Penangkaran Rusa Timor Camplong-Kupang, atas segala bantuan dan
dukungan fasilitas hewan percobaan untuk penelitian di lapangan, juga kepada Bapak
Ketua Bagian KIinik Veteriner, khususnya Kepala, Staf dan Tehnisi di Laboratorium
Patologi Klinik, FKH-IPB yang telah memberikan fasilitas untuk pemeriksaan
hematologi dan kimia darah.

Akhirnya ucapan tenmakasih dan penghargaan yang sangat dalam ditujukan
kepada istriku tersayang Sukarsih dan anak-anakku Inggrid dan Adi serta segenap
anggota keluarga yang dengan kesetiaan dan ketabahan hati telah mendampingi dan
mendoakan penulis hingga dapat menyelesaikan tugas ini.
Perlulis menyadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis akan sangat berterimakasih kepada sidang
pembaca yang bersimpati memberikan saran-saran demi kesempurnaan karya ilmiah
ini. Semoga karya ilmiah ini dapat berguna b a g siapa saja yang membutuhkannya.

Bogor, September 1999
Penulis

xi i

DAFTAR IS1

Halaman
..

11

ABSTRACT ..........................................................................
RIWAYAT HIDUP ..................................................................
UCAPAN TERIMAKASIR ........................................................
DAFTAR ISI ..........................................................................

v
...

Vlll
X

xii

DAFTAR GAMBAR ...............................................................

xiv

DAFTAR TASEL ...................................................................

xv

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................

xvi

DAFTAR LAMPIRAN FOTO .............

xvii

PENDAHULUAN ..............................

1

TUJUAN DAN MANFAAT PENELTTIAN ................................

5

TLNJAUAN PUSTAKA ............................................................

6

A. Rusa
1. Rusa di dunia ..............................................................

2 . Rusa di Indonesia ...........................................................
2. 1. Bio-ekologi Rusa (Cervus timorenszs) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2. 2. Aktivitas harian dan tingkah laku .................................
3. Manfaat dan nilai ekonomis rusa .........................................

B. Pengendalian Hewan ..........................................
1. Pengendalian fisik/manual ...............................................
2. Pengendalian kimia/pembiusan. .........................................

C Hematopoiesis ..................................................................
1. Stem sel Pluripotensial ...................................................
2. 1.
2. 2.
2. 3.
2. 4.

Sel Darah Merah.....................................................
Hematokrit ..........................................................
Hemoglobin ..........................................................
Indeks eritrosit ........................................................

.

.

3. Limphopo~es~s
...............................................................
3 1 Sel Darah Putih .......................................................

.

D Kimia Darah
1. Hati ...........................................................................
1 . 1. Konversi amonia.menjadi
urea ....................................
.
I . 2 Gangguan fungs~hat1..................................................
1.3. Uji berdasarkan aktivitas enzim ....................................

.

2 Ginjal ............................................................................
2 . 1 . Peranan ginjal dalam homeostasis .................................
2. 2 . Struktur nephron .....................................................
2 . 3 . Gangguan filtrasi darah .............................................
2 . 4 . Konsentrasi Nonprotein Nitrogen (NPN) dalam darah .........

.

3 Otot jantung dan Otot rangka ...........................................
3 . 1. Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit otot ..................
3. I . 1 . Creatin Kinase (CK atau CPK) .................................
3. 1. 2 . Aspartate amino transferase (AST) ...........................
3. 1. 3. Laktate dehidrogenase (LD atau LDH) ........................

E.

Myopathy Penangkapan (Capture myopathy) ....................

BAHAN DAN METODE
PENELITXAN .......................................
..
.
Bahan Penel~tlan
. . .........................................................
.
Metode Penelrtlan .........................................................
.
Rancangan Penelitian dan Analisis data ...............................

B A S E DAN PEMBAHASAN .....................................................
A . Temperatur. Nadi. dan Respirasi .............................................
I3. Nilai Hematologi (SDM. SDP. HB. HCT. MCV. MCH dan MCHC)..
C. Kimia Darah (Ureum. Creatinin. ALT. AST dan LDH)............
D . Pengaruh Pengendalian Hewan secara Manual dan Pembiusan
Terhadap Tubuh Rusa ..........................................................
K E S W U L A N DAN SARAN ......................................................
0
Kesimpulan .........................................................................
0
Saran-saran ...........................................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................

LAMPIRAN ...........................................................................

DAFTAR GAMBAR
No .

Teks

1 . Tambang / Tali pengikat leher rusa ......................................

2. Sarung tangan kuiit untuk memegang berbagai spesies sahvaliar . . . .
3 . Hobbles yang terbuat dari kulit untuk pengendalian hewan berkuku ...
4 . Graspers yang terbuat dari logam untuk pengendalian kucing dan
..

anjlng liar. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

5 . Sketsa berbagai bentuk perangkap ....................
6 . Contoh model perangkap berbentuk peti . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7. Linear drive net ...............................................................
8 . SDM rusa yang berbentuk."sikled . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

9. Skema tahapan katabolisme hemoglobin .........................
10. Evaluasi kuantitatif sel darah merah ....................................

1 1. a . .Histogram rataan Temperatur ........................................
b . Histogram rataan Nadi .................................................
c. Histogram rataan Respirasi .............................................
12. a . Histogram rataan SDM ..................................................
b . Histogram rataan SDP ....................................................
c . Histogram rataan H E .....................................................
d . Histogram rataan HCT ...................................................
e. Histogram rataan MCV .................................................
f.Histogram rataan MCH ..................................................
g . Histogram rataan MCHC ..............................................

I 3 . a . Histogram rataan Urea, ...............................................
b . Histogram rataan Creatinin ............................................
c. Histogram rataan ALT ...............................................
d. Histogram rataan AST .............................................
e . Histogram rataan LDH ................................................
14. Pembentukan dan pemecahan Creatin fosfat dan hubungan
peristiwa ini dengan ATP pada kontraksi otot.......................
15. Siosintesa Creatin dan Creatinin .........................................

Halaman

DAFTAR TABEL

No .

Halaman

1. NiIai energi daging domba. sapi dan rusa ...................................

15

2 . Peralatan untuk pengendalian fisik ..........................................

18

3 . Daftar obat-obatan untuk imobilisasi satwaliar ............................

26

4 . Daftar obat-obatan yang bisa dipakai sebagai antidota ....................

28

5 . Nilai Rataan Temperatur. Nadi dan Respirasi Rusa .
(Cervus timorensis) ............................................................

71

6.

7.

8.

Hasil Analisis Ragam untuk ketiga lokasi pengamatan(Campl0ng.
TSI . dan Sekitar Bogor) dengan "RancanganTersarang" ................

75

Nilai Rataan Hematologi (SDM. SDP. HE%.HCT. MCV. MCH
Dan MCHC) Rusa (Cervus tirnorenscs) ....................................

77

Nilai Rataan Kimia Darah (Urea. Creatinin. ALT. AST dan LDH)
Rusa (Cervus timorensis) ......................................................

80

9a. Nilai Rataan sernua parameter berdasarkan cara pengendalian
manual ............................................................................
b . Nilai Rataan semua parameter berdasarkan cara pengendalian
dengan pembiusan...............................................................
c. Efek pengendalian hewan di Camplong, Taman Safari dan Bogor .......

85

92
94

xvi

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

No.
.. . .

i01

2. Nilai Hematologi Famili Cervidea . . . . . . . . . . .. . . . ... . .. . .. . ..

102

3. NiIai Kimia Darah pada beberapa spesies Rusa ... ...

103

1.

4.

Niiai Darah Normal Pada Beberapa Hewan Domestik

. . . ... ..

Data Temperatur, Nadi dan Respirasi Rusa
di Penangkaran Rusa "Camplong" - NTT. . . . . . . . .. . . . .

5. Data Temperatur, Nadi dan Respirasi Rusa Di Penangkaran
Rusa Taman Safari Indonesia.. . . .. . .. .. . ... .. . . .. .. . .. . . .. ... . . . .
6. Data Temperatur, Nadi dan Respirasi Rusa Di Penangkaran
Rusa Sekitar Bogor.. . ... ... . .. . . . .. . . . . . ... ... .. . . .. . . . .. . . . . . . . ..
7. Temperatur, Nadi dan Respirasi Rusa (deer). .. .. . .. . . ... .. . .. ...

8. Data Hematologi Rusa di Penangkaran Rusa Camplong NTT
9. Data Hematologi Rusa di Penangkaran RusaTaman Safari
Indonesia. .. . .. . . . . . . ... . . . . .. ... . .. ... .. . . . . . .. ... ... . .. .. . .. . . .. .
10. Data Hematologi Rusa di Penangkaran Rusa Sekitar Bogor
1 1. Data Kimia Darah Rusa di Penangkaran Rusa
Camplong - NTT ... . . . ... . . . ... ... . . . ... . . . .. . ... .. . ... ... . . . . .. .

12. Data Kimia Darah Rusa di Penangkaran Rusa
Taman Safari Indonesia.. . . .. . . . .. . ... .. . . .. . . . ... ... .. . ... ... ...
13. Data Kimia Darah Rusa di Penangkaran Rusa
Sekitar Bogor. .. . . . . . . . .. . .. . .. . ... . .. . . . . . . . . . . ... . .. . ... . .. . . .

xvii

DAFTAR LAMFLRAN FOTO

No.

Halaman

L Foto Lampiran 1 : Sepasang Rusa (Cervus tirnorensis) milik penduduk
di Cipayung - Bogor. ...................................

63

2. Foto Lampiran 2 : Sekawanan Rusa (Cervus timorensis) milik penduduk
di Cipayung - Bogor.. .....................................

63

3. Foto Lampiran 3 : Kawanan Rusa (Cervrrr timorensis) di Taman Safari
Indonesia, Cisarua - Bogor.. ............................

64

4. Foto Lampiran 4 : Penangkapan seekor Rusa (Cervus timorensis) di
Tarnan Safari Indonesia, Cisarua - Bogor.. ...........

64

5. Foto Lampiran 5 : Penelitian Rusa (Cervus timorensis) di Camplong,
Kupang - NTI'.(Pengendalian hewan manual) ......

65

6 . Foto Lampiran 6 : Penelitian Rusa (Cervus timorensis) di Camplong
Kupang - NTT (Pengendalian dengan pembiusan). ..

65

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu pusat yang terpenting di dunia untuk
keanekaragaman hayati. Walaupun negeri kepulauan ini hanya meliputi

1.3 % dari

prmukaan bumi, namun memiliki kekayaan yang meliputi: 10 OA dari seluruh jenis
tanaman berbunga di dunia, 12 % clan seluruh mamalia di dunia, 16 % dari seluruh
jenis-jenis reptilia dan amphibia, 25 % atau lebih dari ikan air tawar dan ikan laut di
dunia, keanekaragaman jenis palma yang terbesar di dunia, 4000 jenls anggrek, serta
lebih dari 400 jenis meranti-merantian (pohon yang mempunyai nilai komersial
tertinggi di Asia Tenggara).
Kekayaan jenis hutan yang dimiliki Indonesia dan luasnya habitat-habitat
alamiah mempakan pendukung keanekaragaman ini, dan diperkirakan ada 25.000

-

30.000 tumbuhan berbunga Iainnya, sama halnya dengan keanekaragaman fauna atau
satwa.

Sedangkan di kawasan perairan, keanekaragaman mencakup kawasan

pinggiran pantai hingga ekosistem laut (temasuk hutan bakau yang terbaik di Asia)
serta kekayaan laut Indo-Barat Pasifik, menambah keanekaragaman biologi Indonesia
(Alikodra, 1993).
Awat

tahun

1991 pemerintah

Pengelolaan Keanekaragaman Hayati"

Indoncsia

telah

menyiapkan

"Rencana

untuk menetapkan prioritas yang hams

dilakukan untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati dalam 25 tahun rnendatang.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) telah membentuk panitia
pengarah dan kelompok kerja teknis yang melibatkan lembaga pemerintah yang

2

terkait yaitu: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA),
Kantor Menten Negara Lingkungan Hidup, Departemen DaIam Negeri, Departernen
Pertanian, LIP1 termas.uk Herbarium Bogoriensis dan Lembaga Oseanologi Nasional.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan World Wildlife Fund (WWF) Program
Indonesia telah bekerjasama dengan kelompok tersebut untuk membantu menyiapkan
sebuah konsep rencana k e j a yang telah dibahas dan disetujui &lam sarasehan di
Ciloto pada akhir Pebruari 1991.
Rencana Pengelolaan Keanekaragaman Hayati akan rnempunyai cakupan
yang luas dan meliputi program-program konservasi yang telah dijalankan oleh
beberapa lembaga pemerintah dan LSM yang kadang-kadang bekerjasama dengan
masyarakat penyumbang dana (donor) internasional. Adapun aktivitaslkegiatan yang
dilaksanakan sampai sekarang ialah :
I . Konservasi in-situ di Taman Nasional dan kawasan konservasi.

2. Konservasi in-situ di luar kawasan yang dilindungi, misalnya pada hutan
produksi dan pemanfaatan habitat-habitat lahan basah.

3. Konservasi sumberdaya laut.
4.

Konservasi ex-situ seperti bank benih, bioteknologi dan kebun binatang.

Pola pengeIolaan satwaliar telah berkembang dengan pesat yaitu untuk
keperluan perlindungan dan pemanfaatan yang lestari.

Pemanfaatan satwaliar ini

meliputi kegiatan penelitian, pendidikan, pariwisata clan rekreasi bahkan jika
memungkinkan untuk beberapa jenis satwa tertentu dapat dilakukan pemanenan
sebagai komoditi ekspor atau untuk rnemenuhi kebutuhan protein di dalam negeri.

3

Jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat, yang diikuti juga oleh
perubahan dan perbaikan cara hidup, telah rnenyebabkan meningkatnya kebutuhan
akan protein hewani (daging, telur dan lain-lain ). Untuk mencukupi kebutuhan akan
protein hewani yang semakin meningkat, perlu juga dipikirkan cara pemanfaatan
satwa Liar seperti Rusa, Anoa, Banteng dan Kerbau Liar untuk dijadikan ternak
potong. Saymgnya satwaliar banyak djburu untuk diperdagangkan, baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk dimanfaatkan bagan-bagan
tubuhnya seperti daging, tanduk, kulit, bulu, bahkan juga

minyak,

anggota
telur dan

sarangnya (Alikodra, 1990).
Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 362/Kpts/TN.l20/ 5/1990 telah
menyatakan bahwa rusa merupakan hewan yang dapat diternakkan. Akan tetapi
sampai saat ini masih belum ada peternakan rusa yang intensif, padahal produk hasil
temak rusa ini memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Bila ditinjau dari segi
produknya,

maka ternak rusa ini memiliki prospek yang baik karena nilai

ekonominya relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan ternak lain seperti domba
dan sapi (Subekti, 1995). Dibandingkan dengan jenis ternak lainnya, maka temak
rusa lebih menguntungkan karena rata-rata persentase karkasnya lebih tinggi yaitu
56-58 %, sedangkan sapi 51-55 % dan domba berkisar antara 44-50 %. Juga telah

dilaporkan bahwa New Zealand mernperoleh devisa US$ 147 juta dari produk non
daging ternak rusa, yaitu rangga (US$ 81 juta), velvet
setengah

(US$ 60 juta) dan kulit

sarnak ( U S 6 juta), dan menurut perhitungan ha1 ini menunjukkan bahwa

pengembalian modal hasil ternak rusa ialah sebesar 10,47 % dari total devisa per

4

tahun. Sedangkan temak sapi potong, sapi perah dan domba 5,52

O h

dari total devisa

per tahun (Subekti, 1995).
Untuk memindahkan satwa liar dari lokasi habitatnya k c lokasi yang baru,
dibutuhkan usaha untuk menangkap

atau

membius (imobilisasi) hewan tersebut.

Dalam banyak kasus, hewan seringkali mati mendadak setelah penangkapan atau
pembiusan tanpa diketahui sebab-sebabnya.
Menurut Fowler (1993), gejala tersebut merupakan kurnpulan dari beberapa
gejala yang disebut "Capture Myopathy" (CM) yang biasanya tejadi pada hewan
mamaiia dan unggas yang masih liar, baik di alam bebas maupun di dalam
penangkaran. Penyebab utama kematian tersebut masih belum sepenuhnya diketahui,
namun kasusnya, biasanya berhubungan erat dengan gerakadpenggunaan otot hewan
tersebut selarna berIari menghindarkan diri dari tangkapan atau kejaran pemangsa
(predator).

Di Indonesia, beberapa kali penangkapan rusa yang dilakukan di pulau
Peucang

dengan

pembiusan

menggunakan

xylazin-HCL

(Rompun

R Bayer),

mengalami kasus ini yaitu rusa tersebut mati pada keesokan harinya (Basuni, 1983).
Beberapa kebun binatang dan Taman Margasatwa juga mengeluhkan ha1 yang sama
walaupun sekarang ini sudah lebih baik akibat adanya tindakadperlakuan yang
khusus. Namun demikian penyebab utama kematian rusa ini masih tetap rahasia dan
perlu ada penelitian.
Berdasarkan

kenyataan

inilah

maka

penelitian

ini

dilakukan

untuk

mengetahui pengaruh pengendalian hewan secara manual (physical restraint) dan

5

secara pembiusan (chemical restraint) terhadap kondisi hewan secara umum melalui
pemeriksaan temperatur, nadi dan respirasi; gambaran hematologi dan kimia darah.

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang

kelainan atau

patofisiologis rusa (Cervus tirnorensis) yang meliputi: temperatur, nadi dan
respirasi, juga hematologi dan kadar kimia darah akibat pengaruh pengendalian
hewan baik secara manual maupun dengan pembiusan.
2. Data patofisiologis yang didapat akan digunakan untuk menilai kemungkinan
ada/tidaknya indikasi kejadian yang mengantarkan tejadinya keparahan atau
kematian hewan.

Manfaat Penelitian
1 . Data-data fisiologis dari hewan asli Indonesia khususnya rusa (Cervus tzrnorensis)
diharapkan dapat dijadikan "data base" untuk penelitian lain yang sejenis,
terutarna yang berhubungan dengan penyakit hewan non-infeksi.

2. Menentukan pilihan yang terbaik untuk pengendalian satwa, baik untuk tujuan
konservasi ex-situ maupun untuk pemindahan (relokasi) satwa.

3. Mendukung program pemerintah dalam usaha pelestarian sumberdaya alam
hayati yang berkaitan dengan konservasi dan pelestarian satwa langka asli
Indonesia yang dilindungi.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Rusa
1. Rusa di dunia
Rusa merupakan salah satu jenis satwa dari ordo Artiodactyla yang terpenting
di dunia. Bila dibandingkan dengan satwa besar lainnya maka rusa inilah yang paling
banyak diburu orang.

Sekarang ini di beberapa negara, berbagai jenis rusa sudah

mulai diternakkan untuk dimanfaatkan hasilnya terutama jaringan ikat pembungkus
tanduk (antler velvet) yang digunakan untuk ramuan obat tradisional (oriental
medicine).

Rusa banyak dijumpai di Kebun binatang di selumh dunia, bahkan

beberapa tempat penangkaran rusa telah memeliharanya dalam jumlah yang besar
hingga amat disukai dan menarik minat pengunjung untuk datang.

1. 1. Biologis rusa
Anatomi rusa yang khas dan unik ialah tanduknya (antler) yang biasa dlsebut
"ceranggah". Dari sebanyak 4 1 spesies rusa, hanya ada dua spesies yang pejantannya
tidak mempunyai ceranggah yaitu "musk deer "(Moschus rnoschrferus) dan "Chinese
water deer" (Hydropores inerrn~s). Sedangkan "reindeer" atau "caribou" (Kangrfer
rurundus)

merupakan

satu-satunya

spesies

rusa

yang

betinanya

mempunyai

ceranggah. Fungsi ceranggah yang sebenarnya, masih belum diketahui, akan tetapi
ini erat kaitannya dengan perilaku seksual rusa tersebut.

Selain itu ceranggah ini

digunakan juga untuk pertahanan atau pembelaan diri, untuk menggali lubang tempat

penampungan air (wallows), juga untuk menandai batas teritorialnya.

Kadang-

kadang ceranggah hams diamputasi/dipotong bilamana rusa jantan terlalu agresif dan
sering mencederai rusa lainnya baik jantan maupun betina, atau merusak vegetasi
lingkungan, pagar pembatas serta bangunan kandang. Biasanya pada waktu tertentu
setelah berakhirnya musim kawin (breeding season) ceranggah ini akan lepas.
Pertumbuhan normal ceranggah ini membutuhkan nutrisi yang memadai, sehingga
kekurangan

protein

dan

mineral

terutama

kalsium

akan

menghambat

pertumbuhannya. Sedangkan siklus turnbuh dan lepasnya ceranggah ini dikendalikan
sepenuhnya oleh hormon jantan yaitu testosteron yang berperan pada pertumbuhan
dasar tanduk (pedicle) serta merangsang terjadinya siklus tersebut. Pengebirian
(kastrasi) yang dilakukan sebelum ceranggah mulai tumbuh, akan menghambat
tumbuhnya ceranggah tersebut, dan bila ha1 ini dilakukan pada saat rusa sudah
memiliki velvet, maka velvet ini akan tertahan secara permanen dan tidak tejadi
pengelupasan. Akan tetapi bilamana kastrasi dilakukan setelah velvet mengelupas,
maka rusa tidak akan mampu lagi untuk melepaskan antledtanduknya yang keras.
Rusa adalah satwa ruminansia yang tidak mempunyai kantong empedu (gallbladder) kecuali pada "musk deer".

Jari kaki sebelah Iuar (lateral) pada setiap

kakinya secara anatomis bentuknya lebih kecil (rudimcntcr) daripada yang sebelah
dalam (medial).

Untuk menandai batas teritorial dan "hierarchical"

menggunakan suatu kelenjar bau (scent gland).
empat buah puting susu (nipples).

nya, rusa

Kelenjar ambingnya mempunyai

1.2. Tingkah laku rusa
Rusa merupakan satwa sosial yang biasanya akan membentuk suatu kelompok
kecil sebagai "harem" selama musim kawin. Tetapi ada satu spesies yaitu "North
American Moose

"

(Alces alces) yang hidupnya biasa soliter dan selama musim

kawin hanya bersama pasangannya saja.

Selama musim kawin ini biasanya rusa

jantan bersifat amat ganas dan berbahaya. Ceranggahnya dipakai sebagai senjata yang
amat tajam setelah veivetnya mengelupas. Seringkali tejadi perkelahian antara
sesama rusa jantan dari spesies yang sama untuk memperebutkan sekelompok rusa
betina, tetapi juga untuk mempertahankan daerah teritorialnya terhadap satwa
pengganggu yang datang dari luar.
Beberapa spesies rusa biasa melakukan migrasi yang cukup lama pada bulanbulan tertentu setiap tahun.

Dalam penangkaran, yang perlu diperhatikan ialah

bentuk dan tingginya pagar karena biasanya rusa yang tereksitasi &pat melompati
pagar yang tingginya 2.5 meter, akan tetapi bilamana pakan disediakan dan rusa tidak
mengalami eksitasi, ia akan tetap tinggal dalarn areal penangkaran.

1.3. Pakan rusa
Rusa adalah jenis satwa herbivora yang biasa makan rumput dan dedaunan
terutama pucuk-pucuk daun muda dan pepohonan.

Di penangkaran biasanya-diberi

makanan "dairy chow" atau pellet untuk herbivora. Juga "salt block" dan "mineral
block" perlu diberikan setiap saat. Rumput dan biji-bijian yang berkualitas baik amat

Sedangkan sub family Cervinae (true deer) yang terdiri dari empat genera
(Axis, Duma. EEiaphurusdan Cervus) mempunyai empat belas spesies masing-masing

adalah sebagai berikut:
Hog deer (Axis porcinus)
Chital, axis deer, spotted deer (Axis axis)
Kuhl's deer (Axis kuhlii)
Calamian deer ( h i s calamianensis)
Fallow deer (Dama duma)
Pere David's deer, milu (Elaphurus davidianus)
Philippine sambar (Cervus mariannus)
Sambar (Cemus unicolor)
Sunda sambar, Rusa deer (Cervus timorens~s)
Barasingha, Indian swampdeer (Cervus duvauceli)
Eld's deer (Cervm eldi)
Sika deer, Japanese deer (Cemus nIppon)
Red deer (Cervus elaphus)
Thorold' s deer (Cervusprzewuiskium)
2. Rusa di Indonesia

"Indian sambar" (Cervus unicolor) bayak diternukan di Kalimantan dan pulau
Sumatera, dan mempakan jenis rusa yang paling besar di Asia selatan. Akan tetapi
semua rusa sambar ini berasal dari Jawa, Sulawesi dan Kepulauan Sunda kecil
sehingga disebut sebagai "Moluccan deer", "Tirnor deer" atau " Mane deer". Namun
sekarang ini semuanya telah diklasifikasi menjadi satu spesies yaitu Sunda sambar,
Rusa deer atau Rusa (Cervus timorensis) (Parker, 1990).

Rusa (Cervus timorensis) ini populasinya tersebar hampir di

seluruh

kepulauan Indonesia yaitu: Jawa, Bali, Flores, Sulawesi, Maluku, Kalimantan dan
Irian Barat. Ukuran besar badannya pada usia dewasa lebih kecil dari Rusa sambar

(Cervus unicolor) dan lebih besar dari Rusa bawean (Cervus kuhli/a.xis kuhli).

2. 1. Sio-ekologi Rusa (Cervus timrensis)
2. 1. 1. Sistematika Rusa
Menurut Schroeder (1976) sistematika rusa (Cervus timorensis) adalah
sebagai berikut:
Phylum

: Chordata

Sub-phylum

: Vertebrapa

Class

: Mammalia

Ordo

: Artiodactyla

Family

: Cervidae

Sub family

: Cervinae

Genus

: Cervus

Spesies

: Cervus tzrnoremrs (Blainville, 1822)

2. 1.2. Penyebaran
Schroeder (1976) menyatakan bahwa di Indonesia, rusa (Cervus lirnorensis) ini
terdiri dari delapan sub spesies dengan daerah penyebaran sebagai berikut:

(1) Cervus timorensis russa, terdapat di Jawa dan Kalimantan.
( 2 ) Cervus tirnorensis faronesiotes, terdapat di Pulau Peucang, Nusa Barung,
Karimun Jawa, Puiau Karnujan dan Sepanjang.
( 3 ) Cervus timorensis ranschi, terdapat di Pulau Bali.

( 4 ) Cervus rimorensis timorensis, terdapat di Pulau Timor, Pulau Roti, Pulau Semau,

Pulau Alor, Pulau Pantar, Pulau Rusa dan Pulau Kambing.
( 5 ) Cervus tirnorensis mucus..ruricus, terdapat di Banggai clan Selayar.

(6) CJervus tirnorensisjongu, terdapat di Pulau Buton dan Pulau Muna
(7) Cervus timorensis moluccensis, terdapat di Ternate, Mareh, Moti, Halrnahera,
Bacan, Bum, Ambon dan lrian.

( 8 ) Cervus tirnorensis jlorensienr~s, terdapat di Pulau Lornbok, Pulau Sumbawa,

Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Flores, Pulau Solor dan Pulau Sumba.
2. 1. 3. Morfologi dan anatomi

Menurut Haemman dan Ontario (1977), rusa ini berukuran sedang, panjang
kepala dan badan 1.65 meter sampai 2.5 meter; panjang ekor 12 sampai 15 cm, tinggi
gumba 1.2 sarnpai 1.5 meter. BuIu tengkuk rusa jantan yang sedang birahi amat lebat

sedangkan yang betina agak jarang. Warna bulunya coklat keabuan hingga kekuningkuningan. Rusa jantan mempunyai ceranggah (antler) setelah dewasa, sedangkan rusa
betina tidak mempunyai ceranggah. Ceranggah rusa jantan biasanya mempunyai
cabang yang jumlahnya tiga cabang pada setiap ceranggah. Panjangnya ceranggah
maksimum 750 mm dan Iebarnya maksimum 120 mm
2. I . 4. Biologi rusa

Rusa ini umurnnya berbiak pada bulan Juni sampai September. Masa
kehamilan ialah 9 buIan (Schoeder, 1976). Angka pertumbuhan rusa yang ada di
Ujung Kulon adaIah 12.6% per tahun yaitu seekor anak rusa untuk setiap 3 ekor
betina yang berumur di atas 2 tahun. Jadi "sex ratio" rusa di Ujung Kulon adalah 2 :
2.3, sedangkan untuk wilayah Indonesia umumnya adalah 1 : 3 (Hoogenverf, 1970).

Menurut Hoogerwerf (1970),umur rusa dapat dideteksi berdasarkan ukuran
tubuh (tidak termasuk ekor). Rusa tertua yang telah ditemukan tengkoraknya adalah
rusa jantan yang berumur 14 tahun di Pulau Karimun Jawa. Tetapi diperkirakan
umur rusa di Pulau Karimun Jawa dapat rnencapai 20 tahun untuk rusa jantan.
Umur maksimum rusa di Bali adalah 15 tahun, sedangkan di Ujung Kulon rusa tertua
berumur 12 tahun yang telah ditemukan di Pulau Peucang.

2. 1. 5. Habitat
Rusa mempunyai kesukaan yang rnenyolok terhadap tempat-tempat terbuka
seperti padang rumput. Sebagai tempat berlindung rusa sering memanfaatkan hutan
atau daerah penuh semak belukar. Penyebaran satwa ini tampaknya tidak dipengaruhi
oleh ketinggian dari permukaan laut, terutama bila kondisi makanan menguntungkan.

Meskipun demikian rusa jarang ditemukan di tempat-tempat yang lebih

tinggi dari 2500 m di atas permukaan laut.
Rusa lebih menyukai hidup di daerah kering karena kebutuhan akan air
minum sangat sedikit dan mereka jarang rninum.

Menurut pengamatan Junghun

(dikutip oleh Hoogerwerf, 1970) populasi rusa di Jawa Barat (yang lebih besar curah
hujannya daripada Jawa Timur) adalah lebih sedikit daripada populasi m a di Jawa
Timur. Dikemukakan pula bahwa rusa ini dapat hidup di hutan hujan primer yang
rapat seperti Pulau Peucang, Pulau Nusa Barung dan Maluku Utara. Diduga rusa ini
memiliki daya penyesuaian yang lebih besar dari Banteng (Bos sondaicus), karena
selain makan rumput rusa juga memakan hijauan lainnya dari pohon dan semak di
hutan (browser).

2.2. Aktivitas harian dan tingkah laku

Rusa termasuk satwa liar yang aktif sepanjang hari, makan terutama di malam
hari, senang pergi ke tempat terbuka dimana banyak terdapat makanan dan
keadaannya aman. Rusa istirahat siang pada jam 10.00

-

11.00 lalu berbaring di

tempat kering sampai jam 13.30, dan setelah itu rnulai makan rumput dan dedaunan
hutan sampai pagi.

Hoogerwerf (1970) mengamati rusa di Ujung Kulon, temyata

jumlah anggota tiap kelompok bervariasi antara 3

-

75 ekor. Yang terbanyak adalah

kelompok rusa yang terdiri dari 3 - 4 ekor atau kurang dari 7 ekor (60%); 10 - 15
ekor (20%); 20 ekor (10%) dan 20

-

75 ekor (10%). Di luar Jawa, seperti di Nusa

Tenggara, kelompok ini dapat mencapai ratusan ekor terutama pada awal musim
kawin.
3. Manfaat dan nilai ekonomis rusa

Rusa termasuk satwa yang dilindungi karena jumlahnya semakin sedikit
bahkan semakin langka karena terus diburu orang. Undang-undang No.5 tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya merupakan
landasan hukum bagi perlindungan rusa di Indonesia.

Bila di negara kita rusa

dilindungi, di negara lain, New Zealand dan Australia justru sebaiiknya.

Orang-

orang dibayar untuk berburu rusa karena populasinya sernakin besar dan sudah
mengganggu keseimbangan ekosistem. Nrtmun pada akhirnya di negara tersebut rusa
tidak lagi dibunuh percurna, tetapi telah ditemakkan dan dagingnya di ekspor
sehingga menambah devisa bagi negara tersebut (Badarina, 1995).

Daging rusa

memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan daging sapi yaitu kadar

proteinnya sedikit lebih tinggi dan kadar lemaknya jauh lebih rendah. Kadar protein
daging rusa 21 .I%, dan daging sapi iaiah 18.8%, sedangkan kadar lemak daging rusa
7.0% dan daging sapi 14.0%. Kadar Iemak yang rendah menjadikan daging rusa
dianggap sebagai makanan yang baik untuk kesehatan, terutama bagi mereka yang
menghindari makanan berlemak, ingin mengurangi konsumsi asam Iemak jenuh serta
membatasi konsumsi energi.
Perbandingan kandungan nilai energi dari 100 gram daging domba, sapi dan
rusa &pat dilihat pada Tabel 1. Dari tabel terlihat bahwa pada porsi yang sama (1 00
gram) kandungan energi daging msa 44% lebih rendah dari daging dornba dan 57%

lebih rendah dari daging sapi.

Tabel 1. Nilai energi daging domba, sapi d m rusa

Jenis Hewan

Energi (Joule / 100 gram daging)

Domba
Sapi
Rusa
Sumber : Drew, 1985 dalam Badarina, 1995
Sebagai ternak yang diharapkan mernproduksi daging, maka variabel yang
terpenting daIam penilaian efisiensi produksi daging ialah "dressing percentage"
yaitu proporsi berat karkas terhadap berat hidup m a . Ternyata persentase berat
karkas rusa lebih tinggi yaitu 56-58%, sedangkan sapi 51-55% dan domba berkisar
antara 44-50%. Karkas rusa (hasil pemotongan rusa tanpa kepala, kulit dan kaki)

mengandung lebih banyak daging. Daging rusa memiliki kandungan protein, fosfor
dan niasin yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan daging sapi dan domba.
Selain daging, bagian-bagian lain dari tubuh rusa yaitu tanduklceranggah, tulang,
darah, kulit dan gigi, juga bermanfaat serta rnempunyai nilai ekonomi yang tinggi
(Badarina, 1995).
Perhitungan

yang

dilakukan

di

New

Zealand

rnenunjukkan

bahwa

pengernbalian modal hasil temak rusa sebesar 10,47% dari total devisa per tahun.
Sedangkan temak sapi potong, sapi perah dan domba 5,52% dari total devisa per
tahun. Pada tahun 1992 majalah Agriculture, Horticulture and Forestry melaporkan
bahwa New Zealand memperoleh devisa US$ 147 juta dari produk non daging temak
rusa, terutama dari produk berupa rangga (US$ 81 juta), velvet (US$ 60 juta) dan
kulit setengah samak (US$ 6 juta). Ditinjau dari segi kandungan gizi, kualitas daging
rusa tidak kalah dibandingkan dengan daging sapi dan domba. Bahkan daging rusa
memiliki kandungan koIestero1 yang paling rendah dibanding daging sapi, domba
maupun babi (Subekti, 1995).

3. Pengendalian Hewan
Pengendalian hewan tidak hanya penting untuk pemindahan hewan, tetapi juga
untuk meneliti serta mempelajari berbagai penyakit hewan khususnya pada satwa
liar, sehingga dapat dilakukan usaha pencegahan serta pengobatannya.

Selain itu,

ha1 ini juga penting bagi lingkungan di sekitamya agar tidak berbahaya bagi temak
domestik lainnya (Hofmeyer, 1974).

Kematian akibat penangkapanlpengendalian seringkali terjadi dalam usahausaha penangkapan satwa baik pada populasi yang masih liar maupun di dalam
penangkaran. Penangkapan dan pembiusan yang aman sudah menjadi sarana ilmiah
yang penting dan menarik, serta merupakan ha1 yang mtin dilakukan untuk
mengurangi kasus kematian ini.
Secara umum pengendalian hewan ini terdiri atas dua bagian yaitu:

(I). Pengendalian fisik (physicaVmechanica1 restraint) yang biasa disebut "Manual",
dan (2). Pengendalian kimia (chemical restraint) yang

biasa

disebut dengan

"Pembiusan."

1. Pengendalian fisik/manual

Pekejaan menangkap atau menjerat hewan bukanlah merupakan ha1 yang
baru

karena sejak dahulu manusia

sudah berhasil

menangkap hewan

liar.

Perbedaamya hanyalah bahwa dahulu tekniknya dirancang untuk membunuh
hewadsatwa tersebut. Sekarang, teknik pengendaliannya telah dimodifikasi dan
ditemukan cara baru sehingga hewan dapat ditangkap dalam keadaan hidup tanpa
mengalami cedera. Bilamana ingin menangkap jenis hewan tertentu maka peralatan
yang dibutuhkan hams diperiksa lebih dahulu agar penggunaannya benar-benar
efektif. Dipertimbangkan pula alat/cara lain yang pernah dipakai sebelumnya, dan
pengendalian manual ini sudah cukup memadai atau masih perlu diikuti dengan
pernbiusan ( ~ o w l e r ,1978). Bentuk pengendalian manual ini sebenarnya kurang tepat
untuk menangkap satwa liar yang hidup bebas, kecuali kalau masih cukup kecil dan
aman bila dipegang, atau spesies tersebut memang perlu ditangani secara fisik seperti

reptil dan burung besar (raptor). Untmk pengendalian fisik dapat digunakan
bennacam-macam

peralatan

kandang jepit dan lain-lain.

yang

terdiri

alat bantu, perangkap, jaring,

dari

Dan beragam alat untuk pengendalian fisik , hanya

beberapa saja yang dapat dan efektif digunakan untuk berbagai jenis rusa yaitu:
tambang

(rope),

kotak

perangkap

(large

box

traps)

dan

kandang jepit

Tabel 2 . Peralatan untuk pengendalian fisik

Jarinp
Tambang ( r o p e )

Snares

Linear drive nets

Ftmiel/drive traps

Samng tangan

Ginfieghold traps

Drop ,refs

Chutes &? squeezes

Tape and u,raps

Purse-Jawed &
Bow haps

Jump rze ts

Penutup mata (Eye cover52

Wire box Paps

RockPt/cannon Nets

Hohbles & pegging Strings

Barrel traps

Net

Snare poles and Graspers

Large box traps

- gun

CIover traps
Panel haps
Corral h q s

Sumber: Fowler, 1991.

T a m bang (rope)

Dibuat sebagai Lariat atau Tali lasso untuk menjerat leher hewan. Para
penangkap satwaliar hams mahir dalam tali-temali dan cara-cara pembuatan simpul
dasar. Rusa yang jantan lebih mudah ditangkap dengan menggunakan Tali lasso ini

karena memiliki tanduk (antler), sedangkan yang betina tidak bertanduk dan perlu
lebih hati-hati agar tali tidak mencekik lehernya. Tambanghli yang terbuat dari
bahan nilon dan biasa dipakai untuk lasso kuda, cukup kuat dan kaku hingga mudah

dilemparkan sebagai tali lasso, tetapi ini kurang baik sebab dapat menyayat kulit dan
masuk kedalam otot, mudah terbakar dan simpul ikatannya mudah kendor.

Yang

paling c o w k untuk mengikat dan mengangkat rusa ialah tambang yang terbuat dari
bahan katun. Ikatan/simpul yang kencangkuat

hams selalu diamati

selama

pengendalian berlangsung karena tekanan tambang dapat menimbulkan kebengkakan
(swelling) serta kerusakan jaringan. Gambar 1 sampai 5 adalah contoh alat bantu
untuk pengendalian hewan secara fisik, dialihkan dari Fowler ( 1991).

Gambar 1. Tambang/tali pengikat leher m a

Gambar 2. Sarung tangan &lit untuk memegang berbaga~spesies satwaliar

Gambar 3

Hobbles yangierbuat dan kul~tuntuk pengendalian hewan berkuku

Gambar 4. Graspers yang terbuat dari logam untuk pengendalian kucing dan
anjing liar.

Gambar 5. Sketsa berbagai bentuk perangkap

Kandang perangkap (Large box traps)

Perangkap ini bempa kotak besar yang terbuat dan kayu. Di Eropa biasanya
digunakan untuk menangkap Red deer, sedangkan di U S A u n e menangkap White
furled deer. Bagian dalam kotak yang geIap akan membuat hewan rnenjadi lebih

tenang serta membatasi penglihatannya terhadap manusia yang berada di dekatnya.
Akan tetapi bila terlalu lama dalam kurungan ini, hewan bisa menderita cedera akibat
benturan pada dinding kayu. Gambar 6. mernperlihatkan model perangkap peti.

hinge ioint

nut

'3
TOP VIEV4

Gambar 6. Contoh model perangkap berbentuk peti (Fowler, 1991)

3aring (Net)
Ada

beberapa jenis

satwaliar

yang

lebih

mudah

ditangkap

dengan

mengb~akan
jaring yaitu jenis-jenis kucinflelidae, coyote, serta beberapa spesies
mamalia kecil yang galak dan berbahaya.

Jaring yang biasa dipakai dapat terbuat

dari bahan nilon atau katun yang luasnya 2 meter persegi dengan mata jala (mesh)

10-15 cm. Jaring dilemparkan ke arah satwa sama seperti menjala ikan, kemudian
satwa tersebut bisa ditangkap, diperiksa atau disuntik. Sedangkan untuk menangkap
rusa di halaman sekitar mmah, dapat digunakan jaring nilonlkatun yang panjangnya
6-7 meter dan tingginya 2 - 3 meter dengan besar lubang jala 20
dipasang merintangi jalan yang akan dilewati

-

25 cm, yang

rusa atau diikatkan pada beberapa

pasakltiang.

"Linear Drive Net"
Beberapa tahun belakangan ini banyak digunakan jaring model ini yang
panjangnya 30-40 meter dan tingginya 3,5 meter dengan lubang jala 30-40 cm.
Bahannya terbuat dari nilon, dan dipakai untuk menangkap rusa, sapi bertanduk
besar, dan berbagai jenis antelop (Jessup, 1983; Lange, 1983; dan Kock 1997). Di
Afrika, jaring seperti ini sudah dipakai selama bertahun-tahun untuk menangkap
berbagai jenis hewan berkuku seperti dik dik, impala dan eland (Pienaar, 1973).
Gambar 7. memperlihatkan model/sketsa Linear Drive Net yang sering/lazim dipakai.

linear-drivenet

7

wash 01 open plain

Gambar 7. Linear Drive Net (Fowler, 1991)
Kandang Jepit (Chutes/Squeezes)

Para penangkar rusa

.peneliti satwa liar dan penangkap hewan liar berkuku

(ungulata) yang hidup bebas, telah menemukan kandang jepit khusus yang dapat
mengontrol

dan memanipulasi hewan. Beberapa model terdahulu yang terus

dimodifikasi masih terus dipakai, namun berbagai desain yang b a r - telah dipakai
untuk mengendalikan berbagai spesies rusa dengan trauma yang sangat minimal. Sisi

- sisi nya dibuat tebal clan lunak seolah-olah menjepit hewan dalam sebuah bantal.
Squeezes banyak dipakai di peternakan rusa di Texas.

2. Pengendatian Kimia/ Pembiusan

Obat bius yang digunakan untuk menenangkan clan menangkap hewan
hampir sama dengan yang biasa digunakan untuk membius manusia.

Obat bius ini, baik tunggal maupun kombinasinya bekeja pada berbagai
tempat/lokasi

di dalam otak untuk menghasilkan ketenangan (tranquilization),

depresi (sedation), kehilangan rasa sakit (analgesia), dan kehilangan kesadaran
(anesthesia). Ada juga obat seperti Curare yang bisa menghasilkan paralisis dengan
memblokir transmisi kiriman pesan ke otot (Succinylcholine dan Gallamine). Obatobat ini seringkali bersifat paralitik atau "muscle relaxant".
Oieh karena obat bius bekerja pada sistem syaraf, maka lebih dahulu obat ini
hams diserap dari tempat/lokasi penyuntikan, kemudian diserap ke dalam darah
untuk mencapai otak maupun syaraf tepi dalam konsentrasi yang cukup untuk
menghasilkan efek yang d i i n ~ n k a n . Obat bius sebagai agen imobilisasi dan
kombinasinya amat bervariasi dan pada umumnya tidak spesifik bagi spesies tertentu.
Namun ada satu patokan yang harusnya diikuti yaitu: jangan menggunakan obat
apapun termasuk antibiotik terhadap hewan yang berpotensi sebagai hewan bum, 30
hari sebelum datangnya musirn berburu. Beberapa dari obat bius ini mempunyai
antidota yang dapat digunakan untuk mengatasi "ov