Memberikan rekomendasi konservasi dalam melestarikan penyebaran

3 Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi ekologi, karakteristik populasi, dan kraniometri sebagai dasar pijakan dalam menentukan kebijakan konservasi.

2. Memberikan rekomendasi konservasi dalam melestarikan penyebaran

Bange di Kabupaten Morowali. Kerangka Pemikiran Kehilangan keanekaragaman hayati, genetik, spesies merupakan kehilangan bagi semua orang, untuk sekarang dan masa yang akan datang, apabila dampak penurunan mutu ekosistem dan habitat telah melampaui batas. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka hendaknya dilakukan upaya-upaya yang mengarah pada pelestarian yang bermuatan konsevasi. Manusia mempunyai peranan yang sangat besar terhadap timbulnya gangguan satwaliar, oleh karena itu dalam melakukan analisis terhadap rangkaian permasalahan gangguan satwaliar, seharusnya dimulai dari unsur manusia yang mempunyai kekuasaan dan kemampuan yang sangat besar dalam penurunan populasi satwaliar khususnya satwa primata di habitatnya. Secara teoritis berbagai aktivitas manusia yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas habitat dan penurunan populasi akibat perburuan Bange di habitatnya dapat dilihat pada Gambar 2. Skema tersebut menggambarkan populasi kelompok Bange di daerah penyebarannya mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Keadaan ini terjadi tidak hanya disebabkan berkurangnya hutan sebagai habitat, tetapi juga disebabkan terjadinya perburuan. Sejalan dengan tingkat kondisi habitat dan perburuan, maka penurunan populasi akan bervariasi antar lokasi penyebaran di habitatnya. Kecenderungan manusia dalam melakukan perburuan dan penebangan liar yang berlebihan disebabkan berbagai faktor, antara lain untuk memenuhi kehidupan sehari-hari yang merupakan hasil pendapatan mereka. 4 Kondisi Permasalahan Pemecahan Masalah Gambar 2 Skema Kerangka Berpikir Penelitian Bange. Adanya perburuan yang dilakukan oleh masyarakat, akan mengakibatkan satwa mengalami stress, sehingga mereka cenderung mencari daerah yang lebih aman untuk berlindung dan bersembunyi. Dalam kondisi habitatnya yang merosot, beberapa jenis satwa akan nekad untuk menerobos daerah pertanian atau perkebunan masyarakat, sehingga menyebabkan satwa tersebut dibunuh karena menjadi hama pertanian. Perubahan keadaan lingkungan terutama terjadi karena “illegal logging” yang kontinyu dari hutan primer. Hal ini mengakibatkan hutan primer yang merupakan habitat berbagai spesies primata semakin berkurang. Penurunan kuantitas habitat juga diikuti penurunan kualitas habitat karena adanya penebangan liar maupun eksploitasi produk hutan lainnya. Kondisi habitat baik secara kuantitatif maupun kualitatif akan menentukan distribusi dan populasi Ekologi Perburuan Penurunan kualitas habitat Penurunan populasi Identifikasi habitat Identifikasi vegetasi dan pakan Evaluasi populasi Identifikasi sosial ekonomi Kraniometri Rekomendasi konservasi Bange Macaca tonkeana Bange Sedikitnya informasi Pengamatan kraniometri 5 satwa, sehingga perhatian yang lebih serius dari pihak pengelolah atau instansi terkait diharapkan dapat membantu untuk menjaga dampak penurunan kualitas habitat. Dengan berbagai tekanan ini, sudah bisa dipastikan bahwa suatu ketika Bange akan mengalami kepunahan . Untuk itu perlu ditempuh langkah-langkah penyelamatan, perlindungan habitat yan g utuh dalam kawasan konservasi. Agar tetap sesuai dengan keadaan aslinya, sangat dih arapkan pelestarian Bange yang ada di Kabupaten Morowali dapat dipertahan kan. Selain itu langkah -langkah yang perlu dilakukan adalah menetapkan secara definitif batas-batas kawasan konservasi yang merupakan habitat Bange oleh instansi terkait. 6 TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Habitat Habitat adalah suatu tempat bagi organisme atau individu biasanya ditemukan. Habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen yaitu komponen fisik yang terdiri dari air, tanah, topografi dan iklim makro dan mikro serta komponen biologis yang terdiri dari manusia, vegetasi dan satwa Smiet 1986. Lebih lanjut menurut Yoakum 1971 dalam Alikodra 1980 menyatakan bahwa komponen habitat terpenting untuk kehidupan satwa liar terdiri dari makanan, air dan “cover”. “Cover” adalah setiap struktur dari sumberdaya lingkungan yang mempertinggi reproduksi dan atau kelangsungan hidup satwa serta melengkapi setiap fungsi alami satwa tersebut Bailey 1984. Habitat Macaca tonkeana hampir sama dengan Monyet Hitam Sulawesi lain yaitu hidup pada hutan dataran rendah, hutan sekunder dan hutan dataran tinggi hingga ketinggian 1.300 meter dpl. Selain itu, satwa ini juga mendiami daerah sekitar perladangan, perkebunan dan pesisir Supriatna 2000. Sutisna dan Soeyatman 1983 menyatakan bahwa tipe-tipe komposisi jenis pohon yang terdapat di daerah hutan hujan dataran rendah maupun tipe-tipe hutan lainnya diperlukan pada pengelolaan hutan terutama dalam usaha pemulihan mutu tegakan pada hutan bekas tebangan. Struktur vegetasi menyangkut susunan bentuk life form dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik vegetasi yang kompleks yang dapat dipakai dalam menentukan stratifikasi baik vertikal maupun horizontal yang menjadi dasar untuk melihat jenis -jenis pohon yang dominan, kedominan dan tertekan Richard 1964; Cain dan Castro 1971; Soerianegara dan Indrawan 1988; Ewusie 1990. Menurut laporan World Wildlife Fund WWF 1980 bahwa vegetasi hutan dataran Morowali hutan daratan aluvial merupakan daerah endapan alluvial yang sangat kompleks dan spesifik di Sulawesi Tengah. Daerah Morowali kaya akan tipe-tipe hutan dan keanekaragaman geologisnya mulai dari basa dan ultrabasa di daerah sebelah barat hingga batu kapur di bagian timur yang mengakibatkan variasi vegetasinya sesuai dengan tipe tanahnya Gambar 3. 7 endapan alluvial Gambar 3 Profil Habitat 2x30 m Lahan Ultrabasic di Cagar Alam Morowali, Horisontal dan Vertic al Pada Area yang sama Whitten 1987. Makanan Menurut Wheatley 1980 dari suatu pengamatan yang terbatas terdapat kesan bahwa monyet memilih buah berdasarkan kematangannya. Penyebaran buah-buahan dalam hutan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku pergerakan monyet. Lebih lanjut Supriatna 2000 Bange mengkonsumsi berbagai bagian tumbuhan. Komposisi makanan satwa ini antara lain buah 57, daun 17, serangga 8, bunga 4, tunas pohon 2 dan sisanya berupa rumput, jamur, moluska, tanah dan berbagai jenis vertebrata kecil lainnya. Makanan Bange yang utama berupa buah ara Ficus sp yang merupakan porsi terbesar dalam makanannya. Buah lainnya yang dimakan meliputi Myristica sp, Eugenia sp, Arenga pinnata, Garcinia celebica, Pangium edule, Mangifera indica . Selain itu kelompok ini juga memakan daun muda, bunga-bungaan serta tanaman budidaya Whitten et al. 1987. Selain makan tumbuhan, monyet juga memakan tanah walaupun sedikit. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan 8 mineral tertentu. Untuk memenuhi kebutuhan protein dan vitamin B kompleks, monyet juga memakan serangga Jolly 1980 dalam Baihaki et al. 1989. Adaptasi Kemampuan hidup dari berbagai spesies primata pada habitat hutan terganggu disturbed forest d ipengaruhi oleh faktor yang sangat kompleks Johns dan Skorupa 1987. Setiap faktor lingkungan yang ada saling terkait dan berinteraksi satu sama lain, sehingga terbentuk suatu keadaan lingkungan tertentu yang akan berpengaruh terhadap kehidupan primata. Perubahan salah satu faktor lingkungan tidak saja hanya berpengaruh secara langsung terhadap hewan primata, tetapi juga dapat berpengaruh secara tidak langsung karena berinteraksinya faktor tersebut dengan faktor lingkungan lainnya. Perubahan lingkungan mempunyai pengaruh relatif berbeda terhadap spesies hewan. Respon terhadap perubahan lingkungan tidak hanya bervariasi antar spesies, tetapi juga di antara individu-individu dalam speseis yang sama Clark 1991. Perubahan keadaan lingkungan terutama terjadi karena konversi lahan yang kontinyu dari hutan primer menjadi peruntukan lain, yang merupakan konsekuensi dari tekanan pertumbuhan populasi penduduk yang cepat Heywood dan Stuart 1992. Penurunan kualitas hutan disebabkan karena adanya penebangan liar dan konversi lahan menjadi daerah perkebunan. Alikodra 1990 menjelaskan bahwa perubahan habitat yang disebabkan oleh kegiatan manusia dapat men yebabkan terjadinya perubahan-perubahan pokok dalam populasi dan bahkan dapat menghancurkan suatu populasi yang tidak dapat beradaptasi. Selanjutnya Vancatova 1994 juga mengemukakan bahwa perubahan kualitas lingkungan akan menyebabkan peningkatan agresi, sebaliknya peningkatan kualitas lingkungan akan menurunkan agresi pada Macaca. Kemampuan adaptasi Bange telah menjadikannya sebagai hama yang memakan berbagai jenis tanaman pertanian. Spesies-spesies primata yang menjadi hama perkebunan. Menurut Else 1991 umumnya adalah yang bersifat teresterial yang mampu bergerak di lantai 9 hutan dan bersifat omnivora seperti spesies -spesies yang tergolong dalam genus Macaca , Papio dan Cercopithecus. Interaksi Masyarakat dengan Hutan Interaksi diartikan sebagai suatu hubungan antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi atau saling memberi aksi dan reaksi Moen 1973 dalam Sulistiadi 1986. Interaksi sosial pengertiannya menunjuk pada hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan di antara orang per orang, antara perorangan dengan kelompok manusia, maupun antara kelompok manusia yang satu dengan kelompok manusia lain. Berdasarkan pengertian interaksi sosial di atas, dapat dipahami betapa pentingnya peranan interaksi sosial dalam kehidupan manusia, disadari ataupun tidak semua aktivitas manusia berlangsung atas dasar interaksi sosial sebagai faktor utamanya. Pada umumnya masyarakat sekitar kawasan hutan secara umum hidupnya tergantung pada hasil hutan, usaha tani dan sebagian diantara mereka juga memanfaatk an hasil hutan seperti pengumpulan kayu, kulit kayu, daun, rotan dan sebagainya. Faktor-faktor pembatas dalam usaha tani yang berkaitan dengan meningkatnya jumlah penduduk yang lebih besar terhadap ketergantungan hutan dan hasil hutan. Contoh konkrit interaksi sistem sosial tersebut dapat dilihat dari ketergantungan masyarakat desa di sekitar hutan akan sumber-sumber bahan kehidupan dasar seperti air, kayu dan bahan makanan dari hutan Susetiyaningsi 1992. Fenomena-fenomena yang mempunyai hubungan keterkaitan masyarakat desa di sekitar hutan meliputi masalah kemiskinan, pelestarian hutan dan pemeratan nilai manfaat hutan. Kurangnya pemerataan nilai manfaat hutan dapat membawa kepada kondisi masyarakat yang miskin, sebaliknya, degradasi hutan juga dapat menimbulkan kemiskinan sehingga pertumbuhan dan pemeratan kesejateraan akan sulit untuk diwujudkan Departemen Kehutanan 1994. 10 Klasifikasi Menurut Fooden 1969 Bange diklasifikasikan kedalam Ordo Primata, Subordo Antropoidae, Superfamili Cercopithecoidae, Famili Cercipithecidae, Genus Macaca, Spesies Macaca tonkeana. Nama lokal mori: Bange atau Monyet Hitam Sulawesi. Napier dan Napier 1985 menyebutkan bahwa Bange merupakan spesies quadrupedal dan diurnal dalam beraktivitas. Bange berukuran sedang dengan panjang dari kepala sampai badan sekitar 50 cm dan memiliki kantung pipi. Bobot badan jantan dan betina dewasa sekitar 6,60 -10,40 kg, lama kebuntingan 175 hari dan jumlah anak satu setiap kali melahirkan. Menurut Supriatna 2000 bahwa panjang tubuh Bange berkisar 500-700 mm dengan panjang ekor 30-70 mm. Tubuh bagian dorsal dan anggota badan seluruhnya berwarna hitam mengkilap dengan rambut bagian kepala berwarna coklat hingga coklat gelap. Eimerl et al. 1978 menyatakan bahwa terdapat penebalan serta pengerasan kulit di bagian pantat yang disebut “ischial callosities” yang berguna sebagai bantalan pada waktu duduk di pohon atau tempat-tempat yang keras lainnya. Populasi dan Penyebaran Populasi satwaliar berfluktuasi dari waktu ke waktu sesuai dengan fluktuasi keadaan lingkungannya. Menurut Alikodra 2002 populasi sat waliar dapat berkembang, stabil ataupun menurun sesuai dengan kondisi perubahan - perubahan komponen lingkungannya. Anderson 1985 dalam Alikodra 2002 menyatakan bahwa populasi adalah kelompok organisme yang terdiri atas individu satu spesies yang saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu tertentu. Alikodra 1990 menyempurnakan batasan populasi dari Anderson 1985 yaitu kelompok organisme yang terdiri atas individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Anggota kelompok ini jarang melakukan hubungan dengan spesies yang sama dari kelompok lain. Menurut Supriatna 2000 Bange hidup pada hutan primer dataran rendah , hutan sekunder dan hutan dataran tinggi hingga ketinggian 1.300 m dpl. Selain itu, dapat juga mendiami daerah sekitar perladangan, perkebunan dan pesisir. 11 MacKinnon 1986 dan Whitten et al. 1987 menyatakan bahwa kelompok Macaca dapat ditemukan di dataran rendah dan dataran tinggi sampai ketinggian 2.000 m. Badan Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA 1998 menambahkan bahwa pada umumnya kelompok Bange banyak dan mudah dijumpai di pinggir kawasan hutan, terutama yang berdekatan dengan kebun dan ladang masyarakat. Populasi Bange menyebar pada seluruh kawasan Taman Nasional Lore Lindu TNLL dengan penyebaran tidak merata karena habitatnya merupakan perpaduan antara tipe ekosistem hutan dataran rendah, dataran tinggi, padang alang-alang atau kebunladang pada ketinggian antara 650-1.000 m dpl. Satwa ini dapat ditemukan mulai bagian utara sampai ke selatan dan sebelah utara. Penyebarannya dibatasi oleh dataran rendah Siweli-Kasimbar 0-05 LS, sebelah barat daya oleh penyempitan Danau Tempe 4 LS dan sebelah tenggara oleh Danau Matano dan Danau Towuti 2 30 1 LS Gambar 4. Gambar 4 Peta Penyebaran Macaca di Sulawesi Whitten 1987. 12 Ukuran Kelompok Ukuran kelompok tergantung pada bentuk kelompok yang merupakan ciri kehidupan sosial primata. Supriatna et al. 1992 menyatakan bahwa ukuran kelompok Bange 10-30 ekorkelompok. Badan Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA 1998 menyatakan bahwa pada musim buah di hutan, kelompok tersebut akan dijumpai dalam jumlah yang besar antara 60-80 ekor dan dipimpin oleh satu individu jantan yang besar. Di lihat dari jumlah individu dan komposisi kelompok, maka kelompok Macaca spp. digolongkan dalam bentuk “multi male group” yaitu banyak jantan dewasa dalam satu kelompok. Hampir semua jenis monyet yang termasuk Cercopithecidae adalah monyet yang sistem perkawinannya bersifat poligami. Bentuk kelompok Bange yaitu “multi male-multi female”, satu kelompok biasanya terdiri atas banyak jantan dan banyak betina dewasa. Kepadatan Populasi Kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit ruang, umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu di dalam satu unit luas atau tempat. Menurut MacKinnon 1987 bahwa populasi Bange diperkirakan kurang dari 10.000 ekor dari habitat yang tersisa sekitar 10 dengan penyebaran yang sangat terbatas. Supriatna 2000 menyatakan bahwa Bange telah kehilangan 33 dari habitatnya, kini mereka hanya menempati daerah seluas 1.055 km yang berada dalam kawasan konservasi. Hasil penelitian Alvard dan Winarni 1999 bahwa kepadatan populasi Bange di Cagar Alam Morowali hanya sebesar 2,2 individu per km. Kraniometri Tengkorak Kepala Bange Menurut Carol 2002 kraniometri adalah ukuran bagian-bagian tengkorak untuk mengklasifikasikan suatu ras, sifat temperamen dan kecerdasan. Secara umum, metode ini dapat menentukan ukuran-ukuran bagian tengkorak dan otak untuk menggambarkan tingkat kecerdasan, sifat kesopanan, kesusilaan dan moral. 13 Menurut Leach 1961 tengkorak terbagi dalam tiga tingkatan fungsi yaitu bagian atas untuk mendukung dan melindungi otak, bagian pertengahan yang mendukung proses pernapasan dan bagian bawah dapat membantu masuknya makanan. Tengkorak manusia memiliki panjang rata-rata tulang kepala belakang Supra Occipitale 180,50 mm, panjang tulang hidung Nasal 98,81mm, panjang tulang dahi Frontale 97,31 mm dan Zygomaticus 133,22 mm Jackes et al. 1997. Menurut Hamdani 2005 bahwa rerata tertinggi pada ukuran tengkorak beruk jantan yang berumur 4,5-5,5 tahun adalah panjang tulang rahang bawah sebesar 78,01±1,90 mm, sedangkan rerata terendah adalah panjang tulang baji sebesar 13,64±0,99 mm. Nilai koefisien keragaman tertinggi adalah tinggi tulang pelipis sebesar 9,92 dan nilai koefisien keragaman terendah adalah lebar tulang rahang atas sebesar 2,11. Hasil Analisis Komponen Utama menunjukkan bahwa keragaman peubah ukuran tengkorak beruk pada sumbu komponen utama pertama memiliki akar ciri ragam sebesar 27,380 dengan keragaman total sebesar 58,8 dan ragam kumulatif sebesar 58,8. Perhitungan koefisien kolerasi didapatkan bahwa peubah ukuran panjang tulang dahi 0,890, panjang tulang ubun-ubun 0,892, panjang tulang pelipis 0,936 dan tinggi tulang pelipis 0,863 berkolerasi sangat erat dengan pembentukan sumbu komponen utama pertama. Sumbu komponen utama kedua meiliki akar ciri ragam sebesar 8,850 dengan keragaman total sebesar 19 dan keragaman kumulatif sebesar 77,8. Sumbu komponen utama kedua banyak dipengaruhi oleh tinggi tulang rahang bawah 0,890 dan panjang tulang rahang bawah 0,675 yang berkolerasi sangat erat dengan pembentukan sumbu komponen utama kedua. Konservasi Status konservasi Bange sebagai satwa yang rentan terhadap kepunahan . Bersama monyet endemik sulawesi lainnya, Boti dilindungi melalui SK Menteri Pertanian 29 Januari 1970 No. 421Kptsum81970, SK Meteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301Kpts-II1991 dan diperkuat dengan Undang-undang No.5 Tahun1990 Supriatna 2000. 14 Perubahan habitat berkaitan dengan perluasan areal perkebunan dan pemukiman masyarakat sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk. Sebagai contoh dapat dilihat bahwa sebagian besar hutan yang menjadi habitat Bange telah berubah fungsi menjadi lahan perkebunan. Pertambahan luas pemukiman mempersempit ruang gerak dari satwa tersebut, sehingga sering merusak atau menjadi hama bagi tanaman perkebunan penduduk Supriatna 2000. Selanjutnya menurut Bismark 1984 bahwa masalah utama dalam konservasi primata di Indonesia adalah meningkatnya usaha pemanfaatan yang mengarah kepada pengurangan habitat untuk berbagai keperluan sep erti pembukaan hutan untuk pertanian, perkebunan dan pemukiman. 15 KARAKTERISTIK LOKASI PENELITIAN Keadaan Fisik Wilayah Kabupaten Morowali merupakan salah satu Daerah Tingkat II yang berada dalam wilayah Propinsi Sulawesi Tengah dan dimekarkan menurut UU No. 51 Tahun 1999. Secara administrasif Kabupaten Morowali memiliki batas-batas wilayah Kompas 2000 sebagai berikut: Utara : Kabupaten Banggai dan Poso Selatan : Propinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan Barat : Kabupaten Poso Timur : Perairan Teluk Tolo Luas wilayah :15,490,12 km 2 Jumlah Penduduk :154,851 jiwa Jumlah Kecamatan :10 Sensus Penduduk 2000 Berdasarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Morowali pada tahun 2000 sensus penduduk luas wilayah dan jumlah penduduk menurut kepadatan per km yang terdapat di Kabupaten tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel tersebut menggambarkan secara umum mengenai k eadaan penduduk di sepuluh kecamatan dalam wilayah Kabupaten Morowali. Tabel 1 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk di Kabupaten Morowali Penduduk No Kecamatan Luas km 2 Jumlah orang Kepadatan orangkm 2 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Menui Kepulauan Bungku Selatan Bahodopi Bungku Tengah Bungku barat Lembo Mori Atas Petasia Sayo Jaya Bungku Utara 223.63 1.271,19 1.080,98 1.112,80 1.783.40 1.332,84 2.557,74 1.038,75 1.202,00 3.886,79 11.519 11.845 5.349 18.097 30.794 15.352 13.683 23.198 5.379 16.635 52 12 5 16 17 12 5 22 4 4 T o t a l 15.490,12 154.851 10 16 Desa Sampalowo merupakan salah satu dari Desa yang berada di Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah. Secara geografis Desa Sampalowo terletak LS=02 .03 i .450 ” , BT=121 .17 i .665 ” dengan luas wilayah 5,528 ha. Ben tuk permukaan tanah terdiri atas dataran dan pegunungan. Di sebelah utara terdapat daerah pegunungan batu kapur dan batu gamping. Jumlah penduduk 742 jiwa 186 KK. Pekerjaan masyarakat sebagian besar petanipekebun dan pencari ikan air tawar. Jarak tempuh dari Ibu Kota Kabupaten Morowali ke Desa Sampalowo kurang lebih 15 km dengan menggunakan kendaraan angkutan umum. Tabel 2 Jenis Penggunaan Tanah Desa Sampalowo No Jenis Penggunaan Tanah Jumlah ha Keterangan 1 2 3 4 5 6 7 8 Perumahan dan pekarangan Sawah Perkebunan Pertanian tanah kering, ladang Hutan Negara Danaurawa Tanah tandus Hutan Sagu 25 117 550 125 2,631 650 100 200 1,41 6,61 31,09 7,06 0,14 36,74 5,65 11,30 Sumber: Sensus Penduduk Tahun 1997. Keadaan Iklim Desa Sampalowo beriklim tropik musiman dengan curah hujan rata-rata per tahun antara 3,500 -4,500 mm. Distribusi musiman curah hujan ditentukan oleh angin musim tenggara. Informasi lokal dan catatan tentang curah hujan menunjukkan bahwa musim hujan mulai pada bulan Maret dan mencapai puncaknya pada bulan Mei, sedangk an musim kering mulai pada bulan September sampai Oktober. Ekologi Profil Hutan di Morowali Vegetasi Darat Menurut survei yang dilakukan oleh WWF 1980 bahwa terdiri atas hutan primer dan sebagian besar daerah ini relatif sedikit terganggu oleh kegiatan 17 manusia. Dataran Morowali memiliki hutan bakau yang berpadu dengan hutan hujan dataran rendah dan memiliki tegakan Casuarina di sepanjang sungai. Hutan Bakau Hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut. Lap isan tajuknya hanya terdiri atas satu lap is. Seperi Rhizophora apiculata dengan akar-akarnya yang menggantung dan merupakan spesies yang paling dominan bersama dengan R. mucronata dan Sonneratia alba yang hidup pada daerah pantai. Pada daerah-daerah yang lebih kering di batas daratan hutan bakau, tumbuh Lumnitzere spp, Acrostichum spp serta Pandanus, Ficus, Eugenia yang menyerupai tumbuhan bakau. Hutan Dataran aluvial Hutan dataran aluvial ditumbuhi beraneka ragam tipe vegetasi, banyak diantaranya miskin dalam spesies dan ketinggian kanopi yang rendah, yang merupakan akibat dari toksiditas terhadap pertumbuhan tanaman yang disebabkan senyawa logam basa yang sangat tinggi di dalam tanah, yang berasal dari batuan basal dan ultrabasal. Hampir sebagian besar dataran yang berada di Kabupaten Morowali mempunyai vegetasi endapan alluvial yang dibawah oleh sungai-sungai morowali. Hutan pegunungan Menurut laporan hasil survei WWF 1980 hutan hujan dataran tinggi merupakan hutan campuran yang amat baik serta menghijau sepanjang tahun dengan jumlah spesies pohon mencapai 480 dengan garis keliling lebih dari 50 cm per hektar serta memiliki keanekaragaman yang sangat tinggi lebih dari 50 spesies tercacat dalam setiap setengah hektar dengan ketinggian kanopi jarang melebihi 25 m. 18 Gambar 5 Peta Lokasi Penelitian di Kabupaten Morowali. 19 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan di daerah Tangkobange, Lowo dan Matandau Desa Sampalowo Kecam atan Petasia Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah, pada bulan September 2004 – Januari 2005. Data yang dikumpulkan mencakup aspek ekologi, populasi dan kraniometri tengkorak Bange. Bahan dan Alat Bahan penelitian kelompok Bange yang akan dipergunakan di lokasi tersebut adalah peta lokasi, lembaran kerja, binokuler, kompas, altimeter, pita ukur dengan satuan milimeter, meteran, kertas milimeter, termometer, higrometer, kamera, kompas, tenda dum, ransel tas punggung, GPS global position system, jangka sorong dengan satuan mm, borang pencatatan ukuran bagian tulang tengkora Bange. Tulang tengkorak berjumlah sembilan buah n=9 serta lembar kuesioner. Metode Penelitian ini diawali dengan observasi lapangan untuk mencari informasi dari instansi terkait dan Lembaga sewadaya Masyarakat LSM setempat tentang keadaan lokasi penelitian. Setelah itu dilakukan survei ke lokasi yang telah ditentukan untuk melihat keadaan lapangan, selanjutnya dilakukan pembuatan jalur pengamatan yang akan digunakan untuk pengambilan data. Pengamatan dilakukan setiap hari saat matahari mulai terbit sekitar pukul 06.00 WIB sampai saat matahari terbenam sekitar pukul 17.00 WIB selama dua minggu 14 ulangan disetiap lokasi. Peubah yang diamati dalam penelitian ini mengenai ekologi mencakup tipe habitat, strata vegetasi, interaksi masyarakat dengan hutan dan Bange, karakteristik populasi mencakup ukuran kelompok jumlah individu setiap kelompok, nisbah kelamin jantan dan betina dewasa serta kepadatan populasi densitas, kraniometri tengkorak Bange dikumpulkan dari masyarakat di daerah sekitar lokasi penelitian di Kabupaten Morowali. 20 Ekologi Pengamatan ini dilakukan untuk mendapatkan karakteristik tipe habitat dan hubungan populasi Bange dalam memanfaatkan strata vegetasi selang ketinggian Tipe Habitat Pengamatan dilakukan untuk melihat komposisi tipe vegetasi lokasi penyebaran Bange pada lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi topografi dan struktur vegetasi meliputi; nama jenis, jumlah setiap jenis dan ketinggian. Pengambilan data dilakukan secara kualitatif dengan menyusuri sepanjang garis transek. Penggunaan Strata Vegetasi Pengambilan data strata vegetasi dilakukan bersamaan dengan pengamatan sumber pakan d i lokasi Tangkobange, Lowo dan Matandau dengan mencatat selang ketinggian yang digunakan oleh kelompok Bange dalam memanfaatkan strata vegetasi yang diamati menjadi 5 kategori yang terdiri atas : 1 Stratum A dengan ketinggian di atas 15 m, merupakan lapisan teratas yang mempunyai batang pohon tinggi dan tegak lurus, 2 Stratum B dengan ketinggian 10 sampai 15 m, terdiri dari pohon- pohon yang tinggi serta mempunyai banyak cabang, 3 Stratum C dengan ketinggian 5 sampai 10 m, yang terdiri dari pohon- pohon kecil, rendah, dan banyak cabang, 4 Stratum D dengan ketinggian di atas lantai sampai 5 m, merupakan tanaman perdu dan semak -semak dan 5 Stratum E merupakan lantai hutan dan merupakan lapisan penutup tanah. Pengamatan dilakukan dengan mencatat selang ketinggian yang digunakan Bange saat terlihat oleh pengamat, berdasarkan total frekuensi penggunaan selang ketinggian, dihitung persentasenya dan analisis secara deskriptif. Untuk menggambarkan struktur vegetasi selang ketinggian yang dipergunakan oleh 21 kelompok Bange dibuat satu p lot diagram profil habitat seluas 10x60 m yang mencakup tempat makan di Tangkobange dan Matandau. Proses pengambilan data dilakukan dengan menyusuri garis transek dengan leb ar 50 meter dan panjang 2,5 km. Sedangkan sumber pakan dilakukan secara kualitatif meliputi bagian tumbuhan yang dimakan antara lain: buah, daun, bunga, jamur dan pencatatan jenis pakan lainnya seperti serangga dan hewan vertebrata lainnya pada setiap lokasi. Pemanfaatan habitat Bange oleh masyarakat interaksi masyarakat dengan hutan dan Bange dikumpulkan dengan metode wawancara. Seleksi responden dilakukan berdasarkan pendidikan, pekerjaan, umur, terutama yang mempunyai akses terhadap hutan. Jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 40 responden atau 21,50 dari jumlah kepala keluarga 186 KK. Informasi yang dikumpulkan meliputi aktivitas penebangan, luas perkebunan, tingkat gangguan diperkebunan, kerugian, perburuan dan presepsi masyarakat terhadap undang- undang pelestarian. Hasil ini ditambahkan dengan data sekunder dari Balai Desa, LSM dan Pemda Kab upaten Morowali. Data yang dihasilkan selama pengamatan akan dianalisis secara deskriptif berdasarkan pustaka dan fakta-fakta yang terjadi dilapangan dan memberikan rekomendasi konservasi Bange. Karakteristik populasi Aspek populasi meliputi ukuran kelompok, nisbah kelamin dan kepadatan populasi. Pengamatan dilakukan dengan metode line transect sampling sebanyak dua transekjalur. Metode Line transect sampling dapat digunakan untuk sensus primata dengan berdasar jumlah satwa perwilayah NRC 1981. Lokasi transek pertama di Tangkobange dengan panjang 2,5 km. Transek kedua di sekitar Lowo dengan panjang jalur pengamatan 1,5 km. Transek ketiga di Matandau dengan panjang jalur pengamatan 2,5 km. Pengamatan dilakukan mulai jam 06.00-10.00 dan 14.00-17.30 pada setiap lokasi dengan ulangan sebanyak 14 kali. Proses pengambilan data dilakukan pencarian dan berupaya melihat keberadan Bange pada jalur pengamatan sambil berjalan perlahan-lahan menelusuri jalur pengamatan. Bila menemukan kelompok Bange, dilakukan 22 pencatatan ukuran kelompok, nisbah jantan dan betina dewasa maupun kepadatan populasi. Ukuran Kelompok , diperoleh dengan meng identifikasi seluruh anggota kelompok menurut umur dan jenis kelamin. Identifikasi dilakukan dengan mengamati ciri-c iri khas setiap individu secara seksama menggunakan binokuler meliputi ukuran tubuh, warna rambut, bentuk bagian -bagian tubuh, kecacatan, bekas-bekas luka pada muka, tang an, kaki, telinga dan bagian tubuh lainnya. Pengelompokan umur didasarkan pada fase perkembangan individu yaitu bayi infant, anak juvenile, remaja subadult dan dewasa adult Chalmers 1980. Ciri-ciri masing-masing fase berdasarkan yang dideskripsikan oleh Altman 1981. 1. Bayi: berumur 0-1 tahun. Bayi mempunyai muka berwarna putih, warna yang membedakannya dengan kelompok umur lain. Warna muka putih ini digunakan sebagai pedoman dalam menetapkan fase bayi. Rentang umur bayi dimulai dari waktu lah ir diasuh oleh induknya sampai dengan masa sapihan, 2. Anak: anak adalah fase yang dimulai setelah bayi sampai sebelum dewasa. Individu fase ini biasanya sudah disapih dan tidak lagi dibawa induknya dan secara reproduksi belum matang, 3. Remaja: ukuran tub uh individu remaja sedikit lebih besar dibandingkan dengan ukuran tubuh anak dan sedikit lebih kecil kecil dibandingkan dengan yang dewasa dan 4. Dewasa: pada jantan dewasa ditunjukkan dengan perkembangan penuh pada organ genitalia dan karakter seks sekunder. Warna rambut pada bahu dan tangan berwarna hitam terang. Ukuran tubuh jantan dewasa lebih besar dibandingkan dengan pada betina. Betina dewasa dengan melihat warna puting susunya panjang dan sering menggantung. 23 Berdasarkan penghitungan total indiv idu setiap hari dapat ditentukan ukuran kelompok dan nisbah kelamin antara jantan dan betina dewasa pada lokasi penelitian. Kepadatan populasi, kepadatan populasi Bange dihitung per lokasi dan hasilnya dirata-ratakan dari ketiga lokasi penelitian. Prakiraan kepadatan populasi di setiap jalur pengamatan, dihitung menggunakan Metode King berdasarkan ketentuan yang dikemukakan oleh Alikodra 1990; Buckland et al. 1994; Greenwood 1997; Rabinowitz 1997 sebagai berikut: Keterangan: D = kepadatan densitas, N = jumlah individu kelompok yang ditemukan, X = rata-rata jarak antara pengamat d engan obyek dan Y = panjang jalur pengamatan. Kraniometri Tengkorak kepala Bange dikumpulkan dari beberapa daerah disekitar lokasi penelitian di Kabupaten Morowali. Jumlah tengkorak yang ditemukan terdiri atas jantan dewasa n=5 dan betina dewasa n=4. Skema pengukuran bagian -bagian tulang tengkorak Gambar 7, 8 dan 9 meliputi: a panjang tulang dahi, b panjang dan tinggi tulang ubun-ubun, c panjang dan tinggi tulang pelipis, d panjang dan lebar tulang kepala belakang, e panjang dan tinggi tulang baji, f tinggi dan lebar tulang rahang atas, g panjang dan tinggi tulang rahang bawah dan h panjang tulang pipi. ∑ N D = 2 XY 24 Peubah yang diukur dianalisis menggunakan Analisis Komponen Utama Principal Component Analysis menurut Gasperz 1992 dengan model sebagai berikut: 14 17 3 3 2 2 1 1 ....... Χ ∂ + Χ ∂ + Χ ∂ + Χ ∂ = Υ p p p p p Keterangan: Y p = komponen utama ke-p a 1 p , a 2 p ……. a 14 p = vektor ciri koefisien pembobot komponen utama X 1 = panjang tulang dahi Os Frontalis , X 2 = panjang tulang ubun-ubun Os Parietalis, X 3 = tinggi tulang ubun-ubun Os Parietalis, X 4 = panjang tulang pelipis Os Temporalis, X 5 = tinggi tulang pelipis Os Temporalis , X 6 = lebar tulang kepala belakang Os Supra Occipitalis, X 7 = panjang tulang kepala belakang Os Supra Occipitalis, X 8 = panjang tulanh baji Os Sphenoidalis, X 9 = tinggi tulang baji Os Sphenoidalis, X 10 = lebar tulang rahang atas Os Maxillaris, X 11 = tinggi tulang rahang atas Os Maxillaris, X 12 = panjan g tulang rahang bawahOs Mandibullaris, X 13 = tinggi tulang rahang bawah Os Mandibullaris dan X 14 = panjang tulang pipi Os Zygomaticus. Uji-t diperoleh dengan rumus: X 1 – X 2 t = Sv1n 1 + 1n 2 Keterangan: X 1 = rerata k elompok pertama X 2 = rerata kelompok kedua n 1 = jumlah kelompok pertama n 2 = jumlah kelompok kedua S = galat baku Pengukuran bagian -bagian tulang tengkorak kepala Bange Macaca tonkeana dianalisis secara deskriptif meliputi rerata, nilai maksimum, simpangan baku dan koefisien keragaman. Model statistik yang digunakan untuk menghitung rerata dan simpangan baku Mattjik dan Sumertajaya 2000 sebagai berikut : 25 ∑ = = n n i x n x 1 1 Keterangan: = x nilai = n jumlah contoh = i x anggota contoh ∑ − − − = n i i x x n s 1 1 1 Keterangan: = s simpangan baku = n jumlah contoh = i x anggota contoh = x nilai tengah contoh Masing -masing ukuran tulang tengkorak kepala Bange dihitung koefisien keragamannya. Model matematika yang digunakan untuk menghitung koefisien keragaman menurut Steel and Torrie 1995: 100 × = ΚΚ x s Keterangan: = ΚΚ koefisien keragaman = s simpangan baku = x nilai tengah contoh Data ukuran dan bentuk diolah dengan bantuan Minitab versi 13 dan dianalisis secara deskriptif. Selanjutnya dilakukan pengamatan gigi untuk menentukan tingkat umur satwa dengan gigi permanen lengkap ditetapkan sebagai satwa dewasa Tabel 3 . 26 Tabel 3 Tingkatan Umur Monyet Berdasarkan Rumus Gigi Haigh dan Sco tt 1965 Umur Rumus Gigi 6 bulan i 1 i 2 cm 1 m 2 I 1 i 2 cm 1 m 2 1 tahun i 1 i 2 cm 1 m 2 I 1 i 2 cm 1 m 2 1,25 tahun i 1 i 2 cm 1 m 2 I 1 i 2 cm 1 m 2 M 1 1,5 tahun i 1 i 2 cm 1 m 2 I 1 i 2 cm 1 m 2 M 1 2 tahun i 1 i 2 cm 1 m 2 M 1 I 1 i 2 cm 1 m 2 M 1 2,5 tahun I 1 i 2 cm 1 m 2 M 1 I 1 i 2 cm 1 m 2 M 1 I 1 I 2 cm 1 m 2 M 1 I 1 I 2 cm 1 m 2 M 1 3 tahun I 1 I 2 cm 1 m 2 M 1 I 1 I 2 cm 1 m 2 M 1 M 2 I 1 I 2 cm 1 m 2 M 1 M 2 I 1 I 2 cm 1 m 2 M 1M 2 3,6 tahun I 1 I 2 cm 1 m 2 M 1 M 2 I 1 I 2 Cm 1 m 2 M 1 M 2 I 1 I 2 Cm 1 m 2 M 1 M 2 I 1 I 2 Cm 1 m 2 M 1 M 2 4-4,5 tahun I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 5,5-6,5 tahun I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 M 3 6,6-7,6 tahun I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 M 3 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 M 3 Keterangan: I,i =Incisor, C,c = Canin, M,m= Mollar, P,p= Premollar Huruf besar menunjukkan gigi sejati dan huruf kecil menunjukkan gigi susu Untuk menentukan umur tengkorak dilakukan dengan mengidentifikasi berdasarkan jumlah dan kondisi gigi pada bagian rahang Swindler 1998 Gambar 6. 27 Gambar 6 Skema Separuh Rahang Satwa Primata. Sumber: Swindler 1998 Gambar 7 Skema Pengukuran Tulang Tengkorak Beruk Macaca nemesrina. Sumber: Lekagul dan McNeely 1977 28 Gambar 8 Skema Pengukuran Tulang Tengkorak Beruk Macaca nemesrina. Sumber: Lekagul dan McNeely 1977 Gambar 9 Skema Pengukuran Tulang Tengkorak Beruk Macaca nemesrina. Sumber: Lekagul dan McNeely 1977 29 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekologi Kawasan lahan basah di Lembah Laa terdiri atas berbagai tipe habitat, dengan tingkat variasi yang cukup tinggi yaitu bagian dari hutan dataran tinggi maupun dataran rendah. Kondisi ini sangat mendukung keanekaragaman hayati di dalamnya dan memberikan nilai yang tinggi bagi usaha konservasi. Tipe Habitat dan Penyebaran Dari hasil pengamatan di lokasi penelitian didapatkan tiga kelompok populasi Bange yang tersebar di tiga lokasi Gambar 10. Adapun lokasi yang ditemukan sebagai berikut: Gambar 10 Sketsa Peta Lokasi Penelitian. U 30 1. Lokasi Tangkobange LS= 02 o .04 i .089 ” , BT= 121 o .16 i .927 ” Topografi bervariasi tetapi kebanyakan bergunung-gunung yang tanahnya terdiri dari batuan gamping. Hutan-hutannya lebih kering dan dicirikan oleh kanopi yang bervariasi. Tinggi pohon diperkirakan 15 m dengan pohon-pohon yang lebih besar berada di atas bukit. Pada tepian sungai banyak dijumpai tegakan Casuarina dan pohon beringin Ficus eugenia yang menyerupai tumbuhan bakau. Pada sekitar lokasi ini telah terjadi fragmentasi habitat yang disebabkan oleh konversi hutan menjadi daerah perkebunan masyarakat. Kawasan yang terdegradasi dicirikan oleh kanopi yang terbuka dan renggang, ditumbuhi oleh berbagai tanaman liana. Namun, pohon-pohon yang besar dengan kanopi yang mengembang cukup melimpah. Di sebelah perladangan masyarakat kawasan hutan primer memiliki poho n-pohon yang kanopinya lebih tinggi dan rapat, beberapa pohon rau Dracontomelum dao diameternya mencapai 3 m dengan tinggi sekitar 25 m. Jenis pohon: teo kayu nangka, Ficus sp, cempedak hutan dan meranti. 2. Lokasi Lowo LS= 02 o .04 i .369 ” BT= 121 o .15 i .670 ” Tipe habitat dicirikan oleh topografi pegunungan dan berbatu-batu yang tidak terganggu, namun dipinggir danau ada beberapa kawasan hutan terdegradasi oleh lahan pertanian. Hutan-hutannya kering yang ditandai oleh kanopi yang relatif lebih terbuka. Tinggi pohon diperkirakan sekitar 20 m. Jenis pohon disekitar kawasan Lowo didominasi oleh beringin Ficus sp. Menurut masyarakat bahwa di lokasi ini pernah ditemukan sekitar 20 ekor bangkai Bange yang terkena racun babi yang sering dipergunakan oleh masyarakat setempat untuk menangkap babi hutan. 3. Lokasi Matandau LS= 02 o .03 i .918 ” , BT= 121 o .12 i .890 ” Tipe hutan terletak di bagian atas Danau Lowo sekitar setengah hari perjalanan dari Desa Sampalowo apabila air danau surut, topografi terdiri atas dataran rendah lembah dan pegunungan. Dalam kawasan hutan tersebut ada beberapa yang terdegradasi oleh lahan perkebunan masyarakat. Hutan primer 31 dicirikan oleh banyaknya kanopi yang tertutup dengan tinggi pohon sekitar 35 m dengan diameter pohonnya mencapai 2,5 m. Kawasan hutan ini menjadi incaran beberapa pengusaha kayu di Kabupaten Morowali. Jenis pohon: di domin asi enau Metroxylon sagu, beringin Ficus sp, cempedak hutan Morace spp, nantu Palaquium amboinense, Umpama kayu keras. Lokasi ini juga mempunyai kawasan hutan sagu Metroxylon sagu. Di tengah-tengah hutan sagu terdapat beberapa jenis kayu keras. Penggunaan Strata Vegetasi Data hasil pengamatan terhadap penggunaan strata vegetasi selang ketinggian oleh kelompok Bange mempunyai frek uensi yang bervariasi pada setiap strata yang ditemukan, namun demikian, ketinggian yang paling banyak digunakan adalah antara 10 -15 m dan 5-10 m dari permukaan tanah. Survei yang dilakukan pada semua kawasan yang menjadi habitat dari kelompok Bange yang sedang beraktivitas dan mencari pakan di beberapa strata vegetasi, disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Penggunaan Strat a Vegetasi pada Lokasi Penelitian Tangkobange, Lowo dan Matandau Stratum Selang ketinggian m Jumlah pemanfaatan Persentase A 15-atas 2 25,0 B 10-15 5 62,5 C 5-10 1 12,5 D 0-5 E Lantai hutan Total 8 100 Pada Tabel 4 menunjukkan sebagian besar pemanfaatan Strata Vegetasi berada pada bagian tengah kanopi Stratum B dengan ketinggian antara 10-15 m dengan frekuensi penggunaan rata-rata 62,5. Pada selang ketinggian 15-25 m Stratum A didapatkan frekuensi penggunaan rata-rata 25, dan penggunaan selang ketinggian 5-10 m dari permukaan tanah Stratum C frekuensi sebesar 12,5, hal ini menunjukkan bahwa pada Stratum A, B dan C merupakan pohon yang memiliki sumber pakan yang banyak serta mempunyai banyak cabang 32 dengan kanopi yang kontinyu. Secara keseluruhan data tersebut memperlihatkan bahwa kelompok Bange lebih sering menggunakan kanopi tengah yang cenderung ke kanopi atas Gambar 11 dan 12. Menurut Kohlhaas 1993 Macaca nigrescens menghabiskan sebagian besar waktunya pada bagian tengah dan atas kanopi 15- 30 m dari atas tanah. Keterangan: 1 Ficus sp beringin, 2 Metroxylon sagu enau, 3 Pangium edule pangi, 4 Dracontomelum dao rau, 5 dan 6 Morace spp cempedak hutan Gambar 11 Diagram Pemanfaatan Stratum Vegetasi Lokasi Matandau. Pada Stratum D dengan ketinggian 0-5 m tidak pernah dijumpai atau stratum yang paling jarang dimanfatkan kelo mpok Bange di lokasi penelitian. Hal ini disebabkan tebalnya lapisan semak, sehingga menyulitkan untuk beraktivitas dan menghindari adanya predato r, selain itu pada stratum ini ket ersedian akan pucuk daun-daun yang dapat di makan kurang, sedangkan pada Macaca fasicularis lebih banyak menghabiskan waktunya pada stratum D Peterson 1992. 33 Aktivitas kelompok Bange pada Stratum E lantai hutan tidak dijumpai, baik itu didekat perkebunan masyarakat maupun dalam kawasan hutan karena topografi dan kemiringan tanah yang sangat curam. Demikian pula hasil penelitian Pombo 2004 Boti Macaca tonkeana lebih banyak memanfaatkan Stratum A, B dan C, sedangkan pada Stratum D dan E jarang dijumpai. Keterangan: 1 Ficus sp beringin, 2 Morace spp cempedak hutan, 3 Dracontomelum dao Rau, 4 Andolia Cananga odorata dan 5 kebun masyarakat Gambar 12 Diagram Pemanfaatan Stratum Vegetasi Lokasi Tangkobange. Penggunaan selang ketinggian oleh satwa primata sangat tergantung dengan sumber pakan dan kesesuaian sarana dalam melakukan aktivitas. Secara umum, semua selang ketinggian mempunyai kelimpahan pakan daun dan buah yang dapat dimanfaatkan oleh Bange, walaupun mempunyai kelimp ahan pakan yang berbeda-beda. Faktor ini yang menjadi penyebab bervariasinya frekuensi penggunaan selang ketinggian pada kelompok Bange yang ditemukan di Stratum A, B dan C kecuali di dekat tanah dengan ketinggian kurang dari 10 m. 34 Sumber Pakan Hasil pengamatan di tiga lokasi penelitian, sumber pakan yang dimanfaatkan oleh kelompok Bange adalah Ficus sp, Dracontomelum dao serta hasil wawancara terhadap masyarakat meliputi Musa sp, Morace spp cempedak hutan, Carica papaya pepaya, Theobroma cacao coklat dan Manihot utilisim ubi kayu Tabel 5. Menurut responden kelompok Bange biasanya mengambil hasil perkebunan pisang, pepaya, ubi kayu dan coklat sebagai sumber pakan, hal ini mungkin disebabkan sumber makanan dalam hutan sudah berkurang. Rosenbaum et al. 1998 menyatakan perkebunan yang terletak di pinggir hutan merupakan lokasi yang paling disukai oleh satwa primata untuk dikunjungi dalam pemenuhan sumber pakan. Tabel 5 Sumber Pakan Bange di Lokasi Penelitian Bagian yang di makan Lokasi Jenis tanaman Buah Daun Pucuk Ficus sp x x x Morace spp x Dracontomelum dao x x Musa sp x Carica papaya x Tangkobange Theobroma cacao x Ficus sp x x x Manihot utilisim x Carica papaya x Lowo Musa sp x Ficus sp x x x Dracontomelum dao x x Theobroma cacao x Matandau Morace spp x Interaksi Masyarakat dengan Hutan Satwa primata merupakan salah satu satwa penghuni hutan yang memiliki arti penting dalam kehidupan di alam. Keberadaan satwa primata Macaca tonkeana memiliki arti penting dalam regenerasi hutan tropik, sebagian besar mereka memakan buah dan biji sehingga mereka berperan penting dalam 35 penyebaran biji-bijian. Selain itu juga, satwa primata dapat dijadikan maskot dalam pengembangan ekoturisme. Perusakan habitat merupakan salah satu faktor serius bagi kelangsungan hidup Bange Macaca tonkeana di Kabupaten Morowali. Kesulitan ekonomi merupakan salah satu faktor yang memaksa masyarakat melakukan penebangan hutan, sehingga masyarakat cenderung membuka daerah hutan untuk dijadikan daerah perkebunan yang akan mempersempit habitat kelompok Bange Gambar 13. Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden n=40 masyarakat yang sering melakukan aktivitas penebangan di hutan sebesar 40 dan tidak melakukan penebangan 60, karena dipergunakan untuk keperluan sendiri pembangunan rumah dan didukung oleh aturan adat setempat. Gambar 13 Kawasan Perkebunan di Lokasi penelitian. Luas perkebunan masyarakat bervariasi berkisar 0,5-1,5 ha 87,5, 2-7 ha 10 dan 30 ha 2,5. Adanya pembukaan lahan perkebunan ini membawa dampak terhadap populasi Bange di alam. Aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat dalam kawasan hutan secara langsung mengakibatkan penurunan kondisi hutan dan bermuara terhadap kualitas habitat satwaliar. Menurut Supriatna 2000 perubahan habitat berkaitan dengan perluasan areal perkebunan dan pemukiman masyarakat akibat pertambahan jumlah penduduk. 36 Mittermeier 1994 mengemukakan bahwa ancaman utama terhadap kelestarian satwa primata adalah bersumber dari manusia; tidak hanya karena terjadinya destruksi habitat tetapi juga karena tingginya tingkat perburuan. Oleh karena itu, pengawasan hutan dari konversi hutan menjadi daerah perkebunan sangat perlu ditingkatkan, mengingat kawasan tersebut merupakan salah satu daerah ekosistim perairan tawar Weatland di Sulawesi Tengah dan merupakan daerah paling potensial sebagai lokasi pelestarian satwa primata di Kabupaten Morowali dalam jangka panjang. Meningkatnya laju deforestasi hutan di wilayah Kabupaten Morowali sepanjang satu tahun terakhir ini karena kegagalan aparat Dinas Kehutanan Kabupaten Morowali dalam menangani permasalahan ini. Hal ini diperparah dengan meningkatnya erosi dan banjir di wilayah ini. Perubahan kondisi habitat oleh manusia akan merupakan faktor utama yang mempengaruhi keadaan populasi hidupan satwa liar Alikodra 1990. Peran serta masyarakat merupakan faktor terpenting dalam upaya perlindungan dan penyelamatan satwa primata. Untuk mendorong keterlibatan masyarakat, penyediaan informasi yang mudah dimengerti tentang kehidupan satwa primata sangat diperlukan. Dengan demikian, peran Dinas Kehutanan Kabupaten Morowali sangat penting untuk melakukan patroli dan peningkatan kesadaran baik di tingkat masyarakat ataupun di tingkat pengusaha mengenai penegakkan aturan yang ada untuk menunjang keberhasilan usaha konservasi. Interaksi Masyarakat dengan Bange Macaca tonkeana Gangguan diperkebunan yang paling tinggi disebabkan oleh tikus hutan famili Muridae 44,8, kelompok Bange Macaca tonkeana 29,9, babi hutan Sus celebensis 22,3 serta ada pula yang menyatakan tidak ada gangguan sebanyak 3,0. Selain tikus hutan, kelompok Bange juga mendatangi kebun masyarakat untuk mencari pakan Gambar 14. Biasanya kelompok tikus tersebut menyerang tanaman coklat yang siap panen, sehingga mengakibatkan kerugian di tingkat petani. Tingginya tingkat gangguan diperkebunan, menyebabkan 37 masyarakat memasang racun babi di sekitar area perkebunan maupun dalam kawasan hutan. Tingginya gangguan tikus hutan terhadap perkebunan masyarakat sudah dilaporkan pada hasil penelitian Riley 2004 di Desa Tomado dalam Taman Nasional Lore Lindu bahwa gangguan hewan diperkebunan kakao terutama oleh tikus hutan Muridae. 44,80 29,90 22,30 3,00 0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 35,0 40,0 45,0 Jumlah Responden Tikus Monyet Babi Tidak ada Gambar 14 Gangguan binatang terhadap perkebunan masyarakat. Responden 72,5 menganggap Bange Macaca tonkeana bukan sebagai hama utama perkebunan, sementara yang menyatakan merusakmerugikan sebesar 27,5. Hal ini menunjukkan kerusakan yang diakibatkan oleh Bange pada perkebunan tidak berdampak pada pendapatan petani karena masyarakat menganggap Bange adalah mahluk hidup yang berhak hidup di hutan. Hal demikian sudah menjadi tradisi masyarakat setempat terhadap kelompok Bange, tradisi terseb ut sudah sejak lama turun temurun di pegang oleh masyarakat setempat. Pandangan masyarakat tersebut sangat mendukung program konservasi Bange. Perburuan Hasil survei menunjukkan 95 responden tidak melakukan perburuan, yang melakukan perburuan hanya 5. Hal ini disebabkan masyarakat setempat 38 hanya melakukan perburuan babi hutan. Masyarakat Mori tidak mengkonsumsi daging Bange, berbeda dengan masyarakat suku Wana yang hampir seluruhnya mendiami pegunungan di bagian dalam kawasan Cagar Alam Morowali. Oleh karena ada masyarakat yang mengkonsumsi daging Bange, mengakibatkan populasi Bange dalam kawasan konservasi tersebut mengalami penurunan yang sangat besar. Hasil wawancara hanya 5 masyarakat yang mengetahui monyet dilindungi berdasarkan Undang-undang dan peraturan pemerintah, sementara 95 belum mengetahui. Hal ini menunjukkan bahwa presepsi masyarakat terhadap pelestarian Bange masih rendah dan belum mengetahui peraturan perlindungan satwa liar. Dengan demikian, diharapkan instansi terkait Dinas Kehutanan dapat melakukan sosialisai mengenai peraturan perlindungan satwa liar di Tingkat Desa agar populasi Bange di Kabupaten Morowali dapat dipertahankan dari ancaman kepunahan. Akhirnya kerjasama dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk pengelolaan kawasan yang berbasis masyarakat lokal, menegakan peraturan yang ada dan didukung oleh pemerintah Kabupaten Morowali dalam melestarikan salah satu Macaca Sulawesi dari ambang kepunahan. Karakteristik Populasi Ukuran Kelompok Hasil pengamatan karakteristik populasi di Desa Sampalowo ditiga lokasi transek ditemukan 39,82 ekor, lokasi Tangkobange 10,82 ekor, Lowo 13 ekor dan Matandau 16 ekor Tabel 6. Tabel 6 Karakteristik Kelompok pada Lokasi Penelitian ekor Komposisi umur Lokasi Jantan dewasa Betina dewasa Remaja Anak Total Nisbah kelamin dewasa Kepadatan populasi per km 2 Tangkobange 1,66 3,33 4,50 1,33 10,82 1:2,00 0,67 Lowo 4,00 6,00 3,00 0,00 13,00 1:1,50 0,48 Matandau 3,00 5,00 4,50 3,50 16,00 1:1,60 1,00 Jumlah 8,66 14,33 12,00 4,83 39,82 Rerata 2,88 3,55 4,00 1,61 13,27 1:1,65 0,71 39 Ukuran kelompok Bange bervariasi dari 10,82-16 ekorkelompok dengan rerata 13,27 ekorkelompok. Ukuran kelompok yang paling sering ditemukan di lokasi Tangkobange 10,82 ekorkelompok. Hal ini disebabkan banyaknya sumber pakan seperti Ficus sp, Morace spp dan Dracontomelum dao, disamping itu juga kawasan tersebut berdekatan dengan perkebunan masyarakat yang bertanaman Musa sp, Carica papaya dan Theobroma cacao. Pendapat ini sesuai yang dikemukak an oleh Jolly 1985; Napier dan Napier 1985 bahwa jumlah individu dalam setiap kelompok ukuran kelompok pada suatu spesies primata dipengaruhi oleh kelimpahan pakan. Di lokasi Matandau ditemukan 16 ekorkelompok. Hal ini disebabkan kawasan ini di dominasi oleh sagu Metroxylon sagu, walaupun masih banyak dijumpai buah Ficus sp dan rau Dracontomelum dao di sekitar kawasan tersebut. Menurut hasil penelitian Firman 1995 dalam Kwarnas 2005 bahwa Fonti Macaca togeans tidak pernah memanfaatkan habitat hutan bakau dan sagu. Pada lokasi Lowo merupakan kelompok yang kecil hanya 13 ekorkelompok, hal ini disebabkan kawasan hutan agak terbuka dan terjal dengan kemiringan 75 sehingga tidak memungkinkan untuk beraktivitas dan areal perkebunan masyarakat juga tidak banyak. Menurut Kilner 2001 kelompok monyet Sulawesi dibedakan menjadi kelompok besar dengan ukuran lebih dari 30 ekor dan kelompok kecil dengan ukuran kurang dari 30 ekor . Supriatna et al. 1992 menyatakan bahwa ukuran kelompok Bange 10-30 ekorkelompok. Riley et al. 2001 melaporkan bahwa ukuran kelompok berkisar 2-9 ekorkelompok di Taman Nasional Lore Lindu. Selanjutnya Pombo 2004 melaporkan di Desa Wuasa Kecamatan Lore Utara dalam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu TNLL ukuran kelomp ok berkisar 14-25 ekorkelompok. Ukuran kelompok Macaca brunescens sebesar 30 ekor Whitten et al. 1987, Macaca nigrescens dan Macaca ochreata sebesar 16-18 ekor, Macaca hecki sebesar 10-15 ekor dan Macaca maura sebesar 20-30 ekor Matsumura 1998. Deng an demikian, bila hasil penelitian ini dibandingkan hasil penelitian lainnya, ukuran kelompok Bange yang ditemukan dilokasi penelitian masih sesuai dengan yang dilaporkan sebelumnya. 40 Nisbah Jantan dan Betina Dewasa Berdasarkan Tabel 6 komposisi umur dan jenis kelamin di lokasi Tangkobange dan Matandau mempunyai struktur dan kelas individu lengkap yang terdiri atas jantan dewasa, betina dewasa, remaja dan anak. Komposisi umur kedua kelompok tersebut mempunyai struktur umur yang lengkap terdiri atas jantan dan betina dewasa, remaja dan anak. Dengan demikian kelompok tersebut akan berkembang baik regenerasi dengan perbandingan nisbah kelamin antar dua kelompok adalah 1:2,0 dan 1:1,6. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Napier dan Napier 1985 yang membentuk kelompok sosial banyak jantan - banyak betina dengan nisbah kelamin umumnya 1:2 Pada lokasi Lowo komposisi umur tidak lengkap tidak dijumpai anak, sehingga untuk jangka pendek diprediksi kelompok tersebut tidak akan berkembang dengan baik tidak adanya regenerasi, meskipun kelompok terdiri atas 13 ekorkelompok. Jumlah ini menunjukan kelompok yang kecil, namun apabila tidak ada gangguan pada masa yang akan datang dapat berkembang menjadi kelompok yang besar dengan melihat perbandingan nisbah kelamin 1:1,5. Lebih lanjut menurut Riley et al. 2001 penyebab terjadinya komposisi umur tidak lengkap pada suatu kelompok adalah terjadinya perburuan dan penengkapan. Perbandingan umur antara kelompok pada setiap lokasi adalah dewasa 57,54, remaja 30,61 dan anak 12,85. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi kelompok pada lokasi penelitian mengalami gangguan. Sesuai yang dikemukakan Supriatna et al. 1994 bahwa indikator kestabilan kelompok monyet berdasarkan segi komposisi umur adalah jumlah anak dan bayi dalam satu kelompok 20-40. Secara umum perbandingan nisbah kelamin antara jumlah jantan dan betina dewasa dalam setiap kelompok, ditemukan lebih banyak betina dibanding dengan jumlah jantan. Kondisi demikian merupakan karakter umum pada satwa primata yang hidup dengan sistem sosial “ multi male-multi female” banyak jantan banyak betina dalam kelompok beserta turunannya Rowe 1996. Kepadatan Populasi Kepadatan populasi di kawasan hutan Desa Sampalowo bervariasi di setiap lokasi, hal ini mengindikasikan bahwa faktor musim tanam juga 41 mempengaruhi keberadaan kelompok Bange, disamping faktor kualitas habitat. Pengaruh kondisi habitat dapat mempengaruhi terjadinya penurunan populasi kelompok Bange, namun belum mengakibatkan terjadinya kepunahan lokal. Keadaan ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Alikodra 1990 terjadinya perubahan kualitas hutan sebagai habitat satwaliar dapat menjadi penyebab perubahan beberapa parameter populasi. Rerata kepadatan populasi Bange pada tiga lokasi penelitian adalah 0,71 ekorkm 2 . Selanjutnya Alvard dan Winarni 1999 menyatakan kepadatan populasi Bange Macaca tonkeana di Cagar Alam Morowali sebesar 2,2 individu perkm 2 . Dengan demikian, secara umum dalam kurun waktu lima tahun telah terjadi penurunan populasi. Karakteristik Kraniometri Pencirian karakteristik tengkorak dapat dilakukan dengan cara kualitatif dan kuantitatif. Menurut Ehlinger 1991 menyatakan variasi morfologi terutama terhadap ukuran tubuh size dipengaruhi oleh faktor lingkungan misalnya ketersediaan makanan dan umur sedangkan perbedaan dalam bentuk shape lebih berhubungan dengan faktor genetik. Tengkorak tersusun atas berbagai macam tulang-tulang yang saling menyambung atau berkaitan satu dengan yang lain menjadi satu kesatuan yang utuh. Tulang-tulang penyusun tengkorak antara lain tulang dahi, tulang ubun- ubun, tulang pelipis , tulang kepala belakang, tulang baji, tulang rahang atas, tulang rahang bawah dan tulang pipi. Tengkorak Bange Macaca tonkeana mempunyai warna putih kecoklatan, dengan bentuk muka agak lebar, mulut moncong dan bagian dalam panjang, di bagian tulang dahi mempunyai torus supraorbitale besar dan lebar yang berbeda dengan tengkorak satwa primata pada umumnya serta mempunyai gigi taring yang besar dan tajam. Selanjutnya pada tulang pipi agak lebar dan besar hingga mencapai tulang pelipis. Pada tengkorak yang masih berumur muda, terdapat sekat pemisah di bagian tulang kepala belakang. Selanjutnya pada tengkorak yang berumur dewasa tulang kepala belakang tidak terdapat sekat pemisah dan sudah bersatu dengan bagian bawah tengkorak. 42 Tengkorak jantan dewasa bagian torus supraorbitale menonjol dan menebal karena adanya penyempitan pada bagian tulang dahi. Pada tulang rahang atas terdapat suatu jembatan penghubung arcus yang melingkar sangat menonjol serta lebar hingga menghubungkan antara tulang pelipis. Pada tengkorak satwa primata umumnya torus supraorbitale dan arcus zygomaticus tidak menonjol dan agak kecil Tabel 7. Tabel 7 Perbedaan Bagian Tulang Tengkorak Jantan dan Betina Dewasa Jenis Kelamin Bagian Tulang Jantan dewasa Betina dewasa Os Frontalis mengecil lebar Torus supraorbitale besar dan menonjol sedang Os Supra occipitalis bersatu bersatu Arcus Zygomatycus lebar dan memanjang sedang Pada tengkorak betina dewasa torus supraorbitale datar dan sedang, tidak terdapat penyempitan diantara tulang dahi. Jembatan penghubung arcus antara tulang kepala belakang dan tulang pipi tidak memanjang. Pada tulang tengkorak jantan dewasa tampak susunan gigi sempurna dengan jumlah 32 buah yang terdiri atas gigi seri, gigi taring yang besar dan memanjang dengan susunan premolar dan molar lengkap. Pada tulang tengkorak betina dewasa susunan gigi belum sempurna dengan jumlah gigi 28 buah, hal ini disebabkan pada gigi molar belum sempurna. Bagian-bagian tulang tengkorak Bange Macaca tonkeana jantan dan betina dewasa berdasarkan tingkatan umur Gambar 15, 16, 17, 18, 19 dan 20. 43 Keterangan: 1 tulang dahi, 2 linea temporalis, 3 torus supraorbitale, 4 tulang pipi, 5 tulang rahang atas, 6 Canin, 7 Incisor, 8 tulang baji, 9 tulang pelipis dan 10 tulang rahang bawah Gambar 15 Bagian Depan dan Samping Tulang Tengkorak Jantan Dewasa. 1 2 3 4 5 7 6 10 9 8 44 Keterangan:1 tulang pipi, 2 tulang ubun- ubun, 3 linea temporalis, 4 Incisor, 5 Canin , 6 dan 7 Premolar, 8, 9 dan 10 Molar, 11 tulang kepala belakang Gambar 16 Bagian Atas dan Bawah Tulang Tengkorak Jantan Dewasa. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 45 Keterangan: 1 torus supraorbitale, 2 tulang ubun-ubun, 3, tulang pelipis, 4 tulang kepala belakang, 5 tulang baji, 6 tulang pipi, 7 tulang rahang atas, 8 Incisor, 9 Canin , 10 dan 11 Premolar, 12, 13, 14 Molar Gambar 17 Tengkorak Bange Jantan Dewasa. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 14 13 12 11 10 9 46 Keterangan: 1 tulang dahi, 2 torus supraorbitale, 3 tulang pipi, 4 tulang rahang atas, 5 Canin, 6 Incisor, 7 tulang baji, 8 tulang pelipis Gambar 18 Bagian Depan dan Samping Tulang Tengkorak Betina Dewasa. 1 2 3 4 5 6 7 8 47 Keterangan:1 torus supraorbitale, 2 tulang dahi, 3 tulang pipi, 4 sutura, 5 tulang ubun- ubun, 6 tulang kepala belakang, 7 Incisor, 8 Canin, 9 dan 10 Premolar, 11, 12 dan 13 Molar 11 tulang kepala belakang Gambar 19 Bagian Atas dan Bawah Tulang Tengkorak Betina Dewasa. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 48 Keterangan: 1 torus supraorbitale, 2 tulang ubun-ubun, 3, tulang pelipis, 4 tulang kepala belakang, 5 tulang baji, 6 tulang pipi, 7 tulang rahang atas, 8 Incisor, 9 Canin , 10 dan 11 Premolar, 12, 13, 14 Molar Gambar 20 Tengkorak Bange Betina Dewasa. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 49 Identifikasi Umur Tengkorak Bange Berdasarkan hasil pengamatan terhadap tulang tengkorak n=9, mempunyai umur yang bervariasi yaitu mulai dari jantan dan betina dewasa serta remaja dengan kisaran umur yang bervariasi Tabel 8. Tabel 8 Identifikasi Umur Tengkorak Bange yang Diteliti Umur tahun Jenis kelamin Jumlah Gigi Rumus Gigi 2 - 2,5 Betina muda 24 I 1 i 2 CP 1 P 2 M 1 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 4,5 – 5,5 Betina 28 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 4,5 – 5,5 Betina 28 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 4,5 - 5,5 Betina 28 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 7,7 Jantan 32 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 M 3 7,7 Jantan 32 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 M 3 7,7 Jantan 32 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 M 3 7,7 Jantan 32 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 M 3 7,7 Jantan 32 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 I 1 I 2 CP 1 P 2 M 1 M 2 M 3 Keterangan: I,i = Incisor, C,c = Canin, P,p = Premollar, M,m = Mollar = gigi tampak aus Pada pengamatan tengkorak jantan dewasa terdapat perbedaan jumlah gigi pada rahang atas bagian kiri berjumlah 6 dan pada bagian kanan berjumlah 5 buah. Sementara pada tengkorak betina remaja kondisi gigi belum menunjukkan adanya tingkat kehausan, ini disebabkan tengkorak tersebut berada pada umur dewasa muda. Menurut Bennet et al. 1995 umur 4,5-5,5 tahun pada primata digolongkan dalam ketegori umur dewasa usia muda yang ditandai dengan kematangan seksual lebih dahulu, diikuti dengan kematangan gigi dan kematangan tulang, kemudian diakhiri dengan kematangan morfologi. Pada tengkorak dewasa berumur enam hingga tujuh tahun keatas , ditandai gigi geraham sudah menunjukkan adanya tingkat kehausan. Hal ini menunjukkan sudah berada pada fase dewasa kelamin tingkat maksimum seperti yang 50 dikemukakan oleh Swindler 1998 bahwa fase usia dewasa penuh dicapai pada umur sekitar tujuh tahun dan pada umumnya ukuran dan pertumbuhan monyet sudah berakhir dan mencapai tingkat maksimum. Ukuran Tengkorak Bange Macaca tonkeana Rata-rata, simpangan baku dan koefisien keragaman ukuran tulang tengkorak jantan dan betina dewasa disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Rerata, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman Ukuran Tengkorak Jantan dan Betina Peubah Jantan Betina Rerata mm KK rerata mm KK Pjg. Tlg Dahi 62,74±6,80 5 10,84 58,10±2,07 4 3,56 Pjg. Tlg Ubun-Ubun 66,46±3,94 5 5,93 63,52±1,77 4 2,79 Tgg. Tlg Ubun-ubun 58,08±5,82 5 10,01 53,95±2,39 4 4,43 Pjg. Tlg Pelipis 52,94±6,94 5 13,01 42,85±2,18 4 9,75 Tgg. Tlg Pelipis 35,02±2,70 5 7,72 32,67±2,03 4 6,22 Lbr. Tlg Kpl Blkg 57,02±4,19 5 7,36 52,63±4,17 4 7,93 Pjg Tlg Kpl Blkg 56,34±4,89 5 8,68 53,68±2,82 4 5,25 Pjg. Tlg Baji 14,14±3,34 5 23,61 10,07±0,82 4 8,12 Tgg. Tlg Baji 37,10±4,14 5 11,15 31,30±3,93 4 12,54 Lbr Tlg Rahang Atas 43,50±3,04 5 6,99 36,10±4,01 4 11,10 Tgg. Tlg Rahang Atas 66,32±6,23 5 9,39 49,30±5,45 4 11,06 Pjg. Tlg Rhg Bawah 110,6 1 - 76,27±10,854 14,23 Tgg. Tlg Rhg Bawah 47,4 1 - 36,73±6,35 4 17,29 Pjg. Tlg Pipi 54,62±3,99 5 7,31 43,05±4,86 4 11,28 Rerata tertinggi yang dicapai tulang tengkorak betina dewasa adalah tulang rahang bawah sebesar 76,27±10,85 dengan koefisien keragaman sebesar 14,23. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai peubah tersebut akan mempengaruhi besarnya ukuran tengkorak. Rerata tertinggi pada ukuran tulang tengkorak jantan dewasa adalah panjang tulang ubun-ubun sebesar 66,46± 3,94 dengan nilai koefisien keragaman 5,93. Nilai rerata tulang ubun-ubun tersebut mempunyai korelasi yang erat dengan tinggi tulang rahang atas terhadap ukuran dan bentuk tengkorak , sedangkan rerata terendah adalah panjang tulang baji sebesar 14,14±3,34 dengan 51 koefisien keragaman 23,61. Hal ini menunjukkan bahwa tulang baji pada tengkorak jantan dan betina dewasa merupakan bagian tulang terkecil diantara bagian -bagian tulang, sehingga tidak memberikan kontribusi yang tinggi terhadap ukuran tengkorak. Rerata ukuran terkecil adalah panjang tulang baji sebesar 10,07±0,82 mm dengan nilai koefisien keragaman sebesar 8,12. Hal ini menunjukkan bahwa tulang tengkorak tersebut menyumbang proporsi sedikit. Ada tiga peubah yang memiliki kontribusi yang besar terhadap ukuran tengkorak betina dewasa yaitu panjang tulang dahi, panjang tulang ubun-ubun dan panjang tulang kepala belakang. Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga peubah tersebut akan memberikan pengaruh positif terhadap ukuran tengkorak . Berdasarkan hasil diatas menunjukkan bahwa rerata ukuran tengkorak betina dan jantan memiliki nilai yang berbeda, tengkorak betina lebih kecil dari pada jantan. Hal ini menunjukkan karakteristik dimorfisme yang jelas pada Bange. Selain itu bahwa hasil penelitian umur Bange jantan lebih tua dan yang betina lebih muda. Berdasarkan Tabel 9 pengolahan data rerata dan simpangan baku pada peubah yang diamati, diteruskan dengan menggunakan uji-t. Berdasarkan hasil uji-t yang disajikan pada Tabel 10 diperoleh persamaan dan perbedaan ukuran tengkorak jantan dan betina dewasa. Tabel 10 Hasil Uji-t pada Peubah Tulang Tengkorak Jantan JD dan Betina Dewasa BD Peubah Perbedaan ukuran Taraf beda Panjang Tulang Dahi JD = BD t n Panjang Tulang Ubun- Ubun JD = BD t n Tinggi Tulang Ubun- Ubun JD = BD t n Panjang Tulang Pelipis JD BD n Tinggi Tulang Pelipis JD = BD t n Lebar Tulang Kepala Belakang JD = BD t n Panjang Tulang Kepala Belakang JD = BD t n Panjang Tulang Baji JD BD n Tinggi Tulang Baji JD = BD t n Lebar Tulang Rahang Atas JD BD n Tinggi Tulang Rahang Atas JD BD s.n Panjang Tulang Pipi JD BD s.n Keterangan: : lebih besar; =: sama; tn: tidak berbeda nyata, n: berbeda nyata P0,05, sn: berbeda sangat nyata P0,01 52 Berdasarkan ringkasan hasil uji-t pada Tabel 10 diperoleh kesimpulan bahwa masing-masing ukuran tengkorak jantan dan betina dewasa menunjukkan ukuran panjang tulang dahi, panjang dan tinggi tulang ubun- ubun, tinggi tulang pelipis, panjang dan lebar tulang kepala belakang dan tinggi tulang baji tidak berbeda. Perbedaan ukuran terdapat pada panjang tulang pelipis, panjang tulang baji dan lebar tulang rahang atas berbeda nyata P0,05 dan tinggi tulang rahang atas serta panjang tulang pipi berbeda sangat nyata P0,01. Secara statistik ukuran tulang tengkorak Bange jantan dewasa nyata lebih besar dari betina dewasa pada panjang tulang pelipis, panjang tulang baji dan lebar tulang rahang atas dan sangat nyata pada tinggi tulang rahang atas serta panjang tulang pipi, namun bentuk hampir sama. Hasil uji-t menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan ukuran tengkorak jantan dan betina dewasa. Persamaan dan perbedaan ukuran tengkorak tersebut disajikan dalam grafik diagram analisis komponen utama AKU. Analisis AKU Tulang Tengkorak Betina Tanpa Rahang Bawah Analisis Komponen Utama AKU pada persamaan ukuran dan bentuk tulang tengkorak Bange d isajikan pada T abel 11. Tabel 11 Persamaan Ukuran dan Bentuk Tulang Tengkorak Betina tanpa Rahang Bawah Ukuran: Y 1= -0,038X 1 – 0,159X 2 – 0,209X 3 – 0,270X 4 – 0,119X 5 – 0,360X 6 – 0,243X 7 – 0,030X 8 – 0,301X 9 – 0,357X 10 – 0,498X 11 – 0,432X 14 ?= 102,89 KT= 70,7 Bentuk: Y2= 0,339X 1 – 0,113X 2 – 0,142X 3 + 0,522X 4 + 0,000X 5 – 0,315X 6 – 0,226X 7 - 0,037X 8 – 0,395X 9 – 0,251X 10 + 0,294X 11 + 0,351X 14 ?=35,45 KT=24,3 Persamaan linear ukuran dan bentuk tengkorak betina tanpa rahang menunjukkan total keragaman tertinggi dicapai pada sumbu komponen utama yang pertama sebesar 70,7. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keragaman antara komponen penyusun kepala dapat dijelaskan pada koefisien komponen utama yang pertama. 53 Komponen pembobot pada sumbu komponen utama pertama ukuran adalah peubah tinggi tulang rahang atas sebesar 0,498 dan panjang tulang kepala belakang dengan nilai pembobot 0,432, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai kedua peubah tersebut akan memberikan pengaruh positif terhadap ukuran tengkorak. Tingkat keragaman pada sumbu komponen utama kedua bentuk sebesar 24,3, hal ini menunjukkan bahwa hasil tersebut belum dapat menjelaskan bentuk dari tulang tengkorak. Selanjutnya koefisien pembobot tertinggi adalah peubah panjang tulang pelipis sebesar 0,522. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor peubah tersebut maka skor komponen bentuk akan semakin besar atau sebaliknya. Analisis AKU Tulang Tengkorak Jantan Tanpa Rahang Bawah Persamaan linear ukuran dan bentuk tengkorak jantan tanpa rahang bawah, keragaman tertinggi dicapai pada persamaan sumbu komponen utama yang pertama sebesar 72,1. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keragaman antara komponen penyusun kepala dapat dijelaskan pada sumbu komponen utama yang pertama. Koefisien pembobot dalam pembentukan sumbu utama pertama ukuran adalah peubah panjang tulang pelipis dengan nilai pembobot sebesar 0,419. Hal ini menunjukkan bahwa panjang tulang pelipis akan memberikan kontribusi terhadap ukuran tengkorak Tabel 12. Tabel 12 Persamaan Linear Ukuran dan Bentuk Tengkorak Jantan tanpa Rahang Bawah Ukuran: Y 1= -0,381X 1 – 0,261X 2 – 0,297X 3 – 0,419X 4 – 0,181X 5 – 0,150X 6 – 0,258X 7 – 0,212X 8 – 0,278X 9 – 0,185X 10 – 0,393X 11 – 0,273X 14 ?= 205,36 KT= 72,1 Bentuk: Y2=0,409X 1 – 0,150X 2 – 0,513X 3 + 0,222X 4 + 0,109X 5 – 0,181X 6 – 0,429X 7 - 0,226X 8 – 0,175X 9 – 0,225X 10 + 0,373X 11 + 0,133X 14 ?= 36,23 KT= 12,7 54 Tingkat keragaman pada sumbu komponen utama kedua bentuk hanya mencapai 12,7. Koefisien pembobot pada sumbu komponen utama kedua bentuk adalah tinggi tulang ubun-ubun sebesar 0,513. Hal ini menunjukkan bahwa peubah tersebut akan memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan tulang tengkorak. Grafik diagram analisis komponen utama AKU persamaan ukuran dan bentuk jantan dan betina dewasa disajikan pada Gambar 21. Ukuran dan Bentuk Tengkorak Macaca Tonkeana -50 -40 -30 -20 -10 10 20 30 -250 -200 -150 -100 -50 Sumbu Komponen Utama Pertama Sumbu Komponen Utama Kedua Macaca Tonkeana Jantan Dewasa Tanpa Rahang Bawah Macaca Tonkeana Betina Dewasa Tanpa Rahang Bawah Macaca Tonkeana Betina Remaja Tanpa Rahang Bawah Gambar 21 Grafik Analisis Komponen Utama pada Tengkorak tanpa Tulang Rahang Baw ah. Vektor ukuran tulang tengkorak jantan dan betina tanpa rahang bawah memiliki daerah penyebaran yang berbeda. Hal ini menunjukan bahwa tampak jelas dimorfisme seksual pada ukuran tengkorak jantan lebih besar dari betin a, sedangkan pada vektor bentuk tidak menunjukkan perbedaan yang jelas antara jantan dan betina. Secara statistik ukuran tulang tengkorak kepala jantan dewasa lebih besar dari betina dewasa namun bentuk hampir sama. Secara umum karakteristik tulang kerangka dipengaruhi oleh jenis kelamin, spesies, umur dan ukuran tubuh Van Lavieren, 1982. Menurut Sussman 1960 variasi ukuran terjadi diantara spesies yang berbeda, bahkan pada spesies yang sama. Beberapa faktor yang membatasi ukuran dan bentuk pada hewan diantaranya adalah keadaan genetik, suplai makanan, toksitas dan perbandingan luas permukaan terhadap volume. 55 SIMPULAN DAN REKOMENDASI Simpulan 1. Di lokasi penelitian strata vegetasi yang paling banyak dimanfaatkan oleh Bange adalah stratum B dengan ketinggian 10-15 m dari permukaan tanah sebesar 62,5, karena lebih banyak memiliki sumber pakan yang disukai, mesk ipun dapat hidup di stratum A 15 -25 m sebesar 25 dan C 5-10 m sebesar 12,5 . 2. Bange bukan merupakan pengganggu utama diperkebunan masyarakat. 3. Rerata ukuran kelompok Bange sebesar 13,27 ekorkelompok, rerata kepadatan populasi 0,71 ekorkm 2 dengan ratio jantan dan betina dewasa 1:1,65. 4. Ukuran tulang tengkorak Bange jantan dewasa nyata lebih besar dari betina dewasa pada panjang tulang pelipis, panjang tulang baji dan lebar tulang rahang atas dan sangat nyata pada tinggi tulang rahang atas serta panjang tulang pipi, namun bentuk tengkorak hampir sama. Rekomendasi Konservasi 1. Mengingat adanya keprihatinan terhadap penurunan populasi Bange Macaca tonkeana di habitat terus berlangsung, maka dibutuhkan dukungan yang lebih besar untuk menegakkan Peraturan Daerah. Pemerintah pusat sangat perlu mengkomunikasikan ketetapan undang- undang perlindungan bagi jenis satwa yang dilindungi kepada pihak yang berwewenang di tingkat propinsi dan daerah. Langkah yang terpenting adalah menegaskan dan mensosialisasikan Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Pertanian dan Keputusan Menteri Kehutanan kepada masyarakat desa agar mengetahui jenis -jenis satwa yang dilindungi. 2. Upaya untuk pemberlakuan tindakan konservasi hutan sebagai kawasan Cagar Alam harus segera dilakukan karena adanya konversi hutan secara luas menjadi lahan pertanian dan perkebunan dalam beberapa tahun yang akan datang. 56 3. Kawasan Desa Sampalowo merupakan daerah yang sangat potensi bagi perlindungan berbagai jenis satwa. 4. Segera dilakukan kaji ulang berbagai rencana untuk mengkonversi hutan di daerah Matandau, mengingat dampak dari kegiatan tersebut terhadap berbagai satwa di dalamnya khususnya populasi Bange Macaca tonkeana.

5. Kawasan Danau Lowo dapat dijadikan sebagai daerah pariwisata yang