Bahasa Blunder ala Medsos

Bahasa Blunder ala Medsos
Ikke Dewi Pratama, M.Hum.
ikkepratama89@gmail.com
Dosen Luar Biasa FITK IAIN Surakarta
Akhir-akhir ini medsos atau media sosial menjelma menjadi produk yang berperan besar di
kehidupan manusia. Dalam jangkauan yang hampir tak terbatas, seseorang berkesempatan
mengekspresikan apa saja yang dilakukan, dirasakan, dan dipikirkan kepada khalayak. Saking hebatnya
kekuatan media sosial, hal-hal yang bersifat personal sekalipun, yang seharusnya atau bahkan sebaiknya,
tak perlu didengungkan sebagai konsumsi publik dirasa perlu untuk diumbar ke masyarakat.
Tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran media sosial menjadi senjata ampuh bagi kalangan kreatif
untuk mendapatkan berbagai keuntungan. Munculnya bisnis online shop, seleb medsos, dan penggunaan
medsos sebagai sarana kampanye adalah bukti dahsyatnya kekuatan media sosial. Global Web Index
menyatakan bahwa pengguna internet di Indonesia memiliki hampir semua jenis media sosial. Maka tak
heran jika “kisah” dari negeri ini kadang nangkring sebagai trending topic di beberapa media sosial.
Namun, selayaknya dua sisi mata pisau, sisi positif selalu disertai dengan sisi negatif. Meskipun
Indonesia memiliki UU ITE, toh masih ada pengguna yang seolah menemukan “area bebas tanpa batas”
di media sosial. Kritik, sindiran, bahkan olokan diungkapkan tanpa tedeng aleng-aleng dan tak jarang
menjadi blunder bagi pemilik akun itu sendiri. Publik mungkin masih ingat dengan kehebohan selfie di
taman bunga amarilis Yogyakarta yang “mengorbitkan” pengguna instagram “suka-suka gue dong”.
Kasus ini, bisa jadi, terjadi karena pengguna tidak mempertimbangkan kesantunan berbahasa dalam bermedsos. Padahal, setiap postingan yang diunggah akan dibaca user lain dan memungkinkan untuk dishare secara luas. Kesantunan sebuah tuturan berkaitan dengan “bahasa” yang digunakan yang sesuai
dengan ciri kesantunan, meliputi penutur dan petutur, konteks dimana tuturan berlangsung, topik, dll

(Chaer, 2010). Berdasarkan teori penyebab ketidaksantunan sebuah tuturan oleh Pranowo (2009), heboh
postingan foto selfie di taman bunga Amarilis disebabkan dorongan emosi penutur dalam mengungkapkan

apa yang dianggap benar. Namun, tuturan yang disertai emosi ini menjadi blunder bagi penutur dan
memaksanya menerima sanksi sosial yang tak sebentar.
Kasus yang tak kalah rame adalah ditangkapnya Yulianus Paonganan atau Ongen, oleh kepolisian
akibat cuitannya lewat @ypaonganan yang menyinggung presiden. Dipampangnya foto Presiden bersama
aktris yang terlilit masalah prostitusi, Nikita Mirzani, dengan caption yang “bikin gerah” istana pada
akhirnya menghantarkan Ongen ke pihak berwajib. Sebenarnya sudah banyak pengguna twitter yang
mengetahui aktivitas @ypaonganan yang sering mengkritik pemerintah dengan status satire. Namun,
cuitan Ongen berhashtag #PapaDoyanL***E saat itu dinilai sebagai tindakan pidana yang berbenturan
dengan UU Pornografi dan UU ITE, serta tidak mengandung kritik konstruktif.
Postingan Ongen tersebut dapat dilihat dari segi kebahasaan dengan teori Leech (1995) mengenai
skala ketidaklangsungan sebagai bagian dari skala pengukur kesantunan berbahasa. Dalam teori ini
dijelaskan bahwa semakin langsung sebuah tuturan maka semakin tidak santunlah tuturan tersebut,
sebaliknya semakin tidak langsung sebuah tuturan maka semakin santunlah tuturan tersebut. Maka jika
pihak berwajib sebelumnya tak mempersoalkan kritik @ypaonganan yang ditulis dengan bahasa “tak
langsung”, postingan berhashtag saru tersebut akhirnya menjadi blunder yang membawa si pemilik akun
kepada pihak berwenang.
Lain Ongen lain pula Jonru. Postingan Jonru di facebook mengenai foto Presiden Jokowi di Raja

Ampat mendapat reaksi keras dari berbagai pengguna media sosial. Namun demikian, alih-alih secara
langsung menuduh foto presiden di Raja Ampat itu palsu, Jonru menghiasi pendapatnya dengan beragam
tuturan yang bertujuan melindungi muka positif dirinya selaku penutur. Dalam teori strategi kesantunan
berbahasa (Brown & Levinson, 1967) tindakan Jonru ini adalah upaya melinduingi citra diri agar apa
yang dikatakannya diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik. Jonru melontarkan pendapatnya dengan
cara memberikan analisisnya, melibatkan petutur untuk mengkaji foto tersebut, dan berjanji menghapus
postingan tersebut dan meminta maaf jika ternyata foto tersebut asli. “Bahasa” yang digunakan Jonru
dalam mengkritik foto Presiden Jokowi di Raja Ampat memang tak setajam cuitan Ongen, dan tak selugas

caption foto selfie suka-suka gue. Namun, belakangan status tersebut membuat “panas” sang fotografer,
Agus Suparto, yang mempertimbangkan membawa kasus tersebut ke ranah hukum.
Meskipun banyak contoh percakapan di media sosial yang berbuntut ke ranah pidana, nyatanya
tidak semua orang menanggapi kritik dengan emosi berapi-api. Belakangan heboh berita dua putra
Presiden Jokowi yang membalas haters ayahnya dengan cuitan kelakar. Tentu saja dibalik kelakar ini
terdapat implikasi yang tersirat. Kosakata seperti kecebong, drone, mafia migas, pesawat jet, air kobokan,
papadoyanlontong yang dipakai keduanya bukan digunakan tanpa sebab. Kosakata tersebut dikaitkan
dengan kasus yang belakangan bersinggungan dengan ayah mereka. Walhasil, terciptalah satire yang
dibungkus candaan. Beragam tanggapan muncul setelah percakapan keduanya ramai diberitakan media.
Ada yang terhibur tetapi tak sedikit yang melontarkan kritik mengingat status mereka sebagai putra
presiden.

Serentetan bukti dampak media sosial agaknya menjadi lampu merah bagi pengguna medsos agar
tetap berpedoman pada petuah “berpikir sebelum bertindak”. Kesantunan dalam berbahasa sebagai etika
dasar yang diajarkan oleh agama, orang tua, bahkan guru kita nyatanya menjadi hal yang di-nomorsekian-kan di era cyber saat ini. Adanya UU ITE hendaknya menjadi rambu-rambu bagi para pengguna
media sosial dalam mengkontrol aktivitas mereka di dunia maya sehingga komentar yang diutarakan tidak
berakhir menjadi blunder yang berdampak buruk pada citra diri dihadapan publik.