Kerentanan Wereng Batang Cokelat, Nilaparvata Lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae), Dari Enam Lokasi Di Pulau Jawa Terhadap Tiga Jenis Insektisida
KERENTANAN WERENG BATANG COKELAT, Nilaparvata
lugens STÅL (HEMIPTERA: DELPHACIDAE), DARI ENAM
LOKASI DI PULAU JAWA TERHADAP TIGA JENIS
INSEKTISIDA
ERWIN CUK SURAHMAT
PROGRAM STUDI ENTOMOLOGI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kerentanan Wereng
Batang Cokelat, Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae), dari Enam
Lokasi di Pulau Jawa terhadap Tiga Jenis Insektisida adalah karya saya dengan
arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Erwin Cuk Surahmat
NIM A3511100411
i
RINGKASAN
ERWIN CUK SURAHMAT. Kerentanan Wereng Batang Cokelat, Nilaparvata
lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae), dari Enam Lokasi di Pulau Jawa terhadap
Tiga Jenis Insektisida. Dibimbing oleh DADANG dan DJOKO PRIJONO.
Wereng batang cokelat (WBC) Nilaparvata lugens Stål merupakan salah satu
hama utama tanaman padi di Indonesia. Hama tersebut dapat berkembang biak
secara cepat. WBC cepat berubah biotipe dan menjadi resisten terhadap insektisida.
Selain itu WBC juga berperan sebagai vektor penyakit kerdil rumput dan kerdil
hampa pada tanaman padi. Kehilangan hasil akibat serangan WBC dapat mencapai
70%. Selama ini belum banyak data mengenai resistensi populasi WBC terhadap
insektisida yang banyak digunakan oleh petani padi.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan informasi mengenai
kerentanan populasi hama WBC dari enam lokasi di Pulau Jawa, yaitu Serang,
Karawang, Subang, Indramayu, Purbalingga, dan Pasuruan terhadap insektisida
imidakloprid (neonikotinoid, golongan 4A), BPMC (karbamat, golongan 1A) dan
pimetrozin (azomektin, golongan 9B). Informasi ini selanjutnya dapat digunakan
untuk menghasilkan rekomendasi penggunaan insektisida pengendali hama WBC
secara spesifik lokasi.
Koloni WBC yang diperoleh dari enam lokasi berbeda di Pulau Jawa dipelihara
di rumah kaca dan imago yang baru terbentuk keturunan pertama digunakan dalam
pengujian. Selama mengumpulkan WBC dari setiap daerah, sepuluh petani di
sekitar lokasi tersebut diwawancarai mengenai jenis insektisida yang mereka
gunakan untuk mengendalikan WBC dalam 2-5 tahun terakhir. Koloni WBC dari
Balai Besar Padi Sukamandi, Subang, Jawa Barat digunakan sebagai pembanding.
Metode pengujian kerentanan WBC terhadap insektisida uji yang digunakan adalah
metode perlakuan pakan (metode residu pada tanaman) sesuai dengan metode
Nomor 005 dari IRAC (www.irac-online.org). Pengujian dilakukan menggunakan
enam tingkat konsentrasi yang berbeda dari insektisida uji yang diharapkan
mengakibatkan kematian serangga uji dengan kisaran 0 < X < 100%. Konsentrasi
tersebut ditentukan berdasarkan uji pendahuluan. Konsentrasi sediaan insektisida
dibuat dengan mengencerkan formulasi insektisida uji pada volume tertentu dengan
pengencer air ditambah non ionic wetter dengan konsentrasi 0.03%. Sepuluh bibit
padi berumur 10-12 hari setelah semai (HSS) dimasukkan ke dalam gelas plastik
berdiameter 19-20 mm. Agar direbus sesuai petunjuk pabrikan, lalu dituangkan
pada permukaan gelas dalam kondisi hangat (suhu 37 oC) untuk menutupi seluruh
permukaan gelas. Setelah agar membeku, gelas dibalikkan dan dicelupkan pada
sediaan insektisida uji selama 10 detik. Bibit padi diangkat dan dikeringanginkan
selama 15 menit, kemudian dimasukkan ke dalam kurungan plastik. Sepuluh
individu imago yang baru terbentuk dimasukkan ke dalam kurungan plastik
tersebut. Pengamatan dilakukan sesuai dengan golongan cara kerja insektisida uji
dengan cara mencatat jumlah WBC yang mati dan yang masih hidup, 48 jam setelah
aplikasi untuk insektsida berbahan aktif BPMC (karbamat), 72 jam setelah aplikasi
untuk insektisida berbahan aktif imidakloprid (neonikotinoid), 7 dan 18 hari setelah
aplikasi untuk insektisida berbahan aktif pimetrozin (penghambat makan
Homoptera selektif). Suhu minimum dan maksimum ruangan dicatat, untuk
ii
pengujian dengan insektisida BPMC dan imidakloprid dilakukan di dalam
laboratorium dengan kisaran suhu 25-30 oC, sedangkan pengujian dengan
insektisida pimetrozin dilakukan di dalam rumah kaca dengan kisaran suhu 24-42
o
C.
Hubungan antara konsentrasi insektisida BPMC dan imidakloprid dengan
tingkat kematian larva serangga uji pada waktu-waktu pengamatan tersebut dengan
menggunakan analisis probit. Dari analisis probit data tingkat kematian yang
diperoleh dalam pengujian tersebut dapat ditentukan LC50 masing-masing
insektisida uji. Sebagai tolok ukur resistensi, digunakan nisbah resistensi (NR) yang
dihitung dengan membandingkan LC50 populasi lapangan dengan LC50 populasi
standar. Populasi serangga yang berasal dari lapangan dikatakan telah resisten jika
memiliki NR ≥ 4. Indikasi resistensi telah terjadi jika NR ≥ 1. Untuk pimetrozin
perlu data tambahan untuk mengetahui kerentanan populasi WBC, yaitu dengan
menghitung persentase penghambatan perkembangan populasi dengan
menggunakan rumus Abbott.
Hasil perlakuan pada koloni BB Padi menunjukkan LC50 insektisida pimetrozin
sebesar 1.7 ppm b.a., imidakloprid 244 ppm b.a., dan BPMC 216 ppm b.a. LC95
pimetrozin 959 ppm b.a. (3.2-3.8 kali konsentrasi anjuran), imidakloprid 3772 ppm
b.a. (94.3-188.6 kali konsentrasi anjuran), dan LC95 BPMC 1322.5 ppm b.a. (0.66
kali konsentrasi anjuran).
WBC dari keenam lokasi masih rentan terhadap insektisida pimetrozin (NR
1.2-2.2). Bila dilihat dari penghambatan populasi, WBC dari keenam lokasi masih
rentan, terlihat dari perlakuan pada konsentrasi 50 ppm (seperlima konsentrasi
anjuran di lapangan) mengakibatkan penghambatan perkembangan populasi WBC
sebesar 100%. WBC populasi Pasuruan masih rentan terhadap imidakloprid (NR
2.0), tetapi WBC dari kelima lokasi lainnya sudah resisten (NR 4.8-108.1). Hanya
WBC dari Indramayu yang telah resisten terhadap BPMC (NR 6.6) WBC dari
kelima lokasi lainnya masih rentan (NR 2.5-3.0). Pemajanan populasi pembanding
pada konsentrasi subletal (LC50) masing-masing insektisida sebanyak tiga generasi
menyebabkan pergeseran kerentanan WBC terhadap BPMC tetapi hal tersebut tidak
terjadi terhadap imidakloprid.
Kata kunci: hama padi, neonikotinoid, rekomendasi spesifik lokasi, resistensi.
iii
SUMMARY
ERWIN CUK SURAHMAT. Susceptibility of Rice Brown Planthopper,
Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae), from Six Locations in Java to
Three Insecticides. Supervised by DADANG and DJOKO PRIJONO.
The rice brown planthopper (BPH), Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera:
Delphacidae), is one of the important rice pests in Indonesia. BPH also acts as
vector for grassy stunt tenuivirus and rice ragged stunt oryzavirus. Yield losses due
to BPH infestation can reach up to 70%. Despite relatively frequent use of
insecticides to control this pest, data on BPH resistance to insecticides commonly
used by farmers in Indonesia is scarce.
This study was conducted to assess the susceptibility of BPH from six locations
in Java i.e. Serang, Karawang, Subang, Indramayu, Purbalingga, and Pasuruan to
imidacloprid, BPMC, and pymetrozyne. Information obtained can be used as
reference for location specific BPH control recommendation. Ten farmers in the
surrounding sample collection location were interviewed to find out what are the
insecticides they used to control BPH in past 2-5 years.
The first laboratory generation of BPH adults were subjected to insecticide
treatments using a leaf dips residual method as described in IRAC Method No 005.
After conducting a range of preliminary test for bracketting, 6 concentration of each
insecticides use for bioassay expected to give mortality between 0 < X < 100%.
Each concentration prepared by diluting commercial formulation into water
contained 0.03% non-ionic wetter (Extravon 250EC). Ten hills of rice seed, 10-12
days after sowing, plant into plastic cup (Ø: 19-20 cm, h: 9.5 cm). Prepare agar
according to manufacturer’s instructions and allow it to cool but not solidify. As
soon as it is lukewarm (approx. 37 oC) pour enough agar into each pot of rice to
cover the soil surface. Note that if the agar is too hot it will run straight through the
pot. The cool, but still liquid agar, will stay on the soil surface and quickly solidify.
The agar helps to prevent soil from falling out of the pots when the plants are dipped
into the insecticide solution and also makes it easier to find dead or affected hoppers
during assessment. Invert the pots and dip seedlings completely into the test
solutions for 10 seconds. It is very important that the seedlings are dipped all the
way into the solution to ensure that all exposed plant parts are in contact with the
insecticide. After dipping, revert the pots and allow the seedlings to dry for 15
minutes. When the plants are dry, cover them with individual plastic tubes.
Different MoAs require assessment at different time points, 48 hours after treatment
(HAT) for BPMC (carbamates), 72 HAT for imidakloprid (neonicotinoid) and 7 &
18 days after treatment (DAT) for pimetrozin (selective homopteran feeding
blocker). Record temperature and humidity, for BPMC and imidakloprid store the
treatment series in laboratory with 25-30 oC, while for pimetrozine keep it in
greenhouse with 24-40 oC.
Mortality data was analyzed using probit analysis to get LC 50. Resistance
factor (RF) was determined by comparing LC50 of each insecticide against BPH
field populations with that against the reference population. Field population
categorized as resistance if RF ≥ 4, and if RF ≥ 1 it indicate resistance is starting to
iv
happen in the field. BPH susceptibility to pymetrozine was also assessed based on
inhibition of BPH population development using Abbott formula.
LC50 for refrerence population are 1.7 ppm a.i for pimetrozine, 244 ppm a.i.
for imidacloprid, and 216 ppm a.i. for BPMC. While LC 95 for pimetrozine is 959
(3.2-3.8 times recommendation rate), 3772 ppm a.i. (94.3-188.6 recommendation
rate), and 1332.5 ppm a.i. (0.66 times recommendation rate). BPH populations from
all six locations were susceptible to pymetrozine (NR 1.2-2.2), in which the
treatment with pymetrozine at 50 ppm a.i. (one-fifth of the recommended field rate)
caused 100% inhibition of BPH population development. BPH from five locations
showed resistance to imidacloprid (RF 4.8-108.1), but that from Pasuruan did not
(RF 2.0). BPH from Indramayu was resistant to BPMC (RF 6.6) whereas those from
the other five locations were not (RF2.5-3.0). Exposure of the reference population
to a sublethal dose of insecticides (LC50) for three generations decreased the
susceptibility of the third BPH generation to BPMC but not to imidacloprid.
Key words: location specific recommendation, neonicotinoid, resistance, rice pest.
©Hak cipta milik IPB, tahun 2015
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KERENTANAN WERENG BATANG COKELAT, Nilaparvata
lugens STÅL (HEMIPTERA: DELPHACIDAE), DARI ENAM
LOKASI DI PULAU JAWA TERHADAP TIGA JENIS
INSEKTISIDA
ERWIN CUK SURAHMAT
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
iii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. I Wayan Winasa, MSi.
Judul Tesis
: Kerentanan Wereng Batang Cokelat, Nilaparvata lugens Stål
(Hemiptera: Delphacidae), dari Enam Lokasi di Pulau Jawa
terhadap Tiga Jenis Insektisida
Nama Mahasiswa: Erwin Cuk Surahmat
NRP
: A351110041
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc.
Ketua
Ir. Djoko Prijono, MAgrSc.
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Entomologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Pudjianto, MSi.
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr.
Tanggal Ujian: 18 Agustus 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
atas segala karunia-Nya karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini adalah resistensi
serangga terhadap insektisida dengan judul Kerentanan Wereng Batang Cokelat,
Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae), dari Enam Lokasi di Pulau Jawa
terhadap Tiga Jenis Insektisida. Karya ilmiah ini ditulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc dan Ir. Djoko
Prijono, MAgrSc masing-masing selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing
atas bimbingan dari rencana sampai selesainya penelitian dan penulisan tesis ini.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. I Wayan Winasa, MSi yang
bersedia menjadi penguji luar komisi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Midzon Johannis yang
telah mengijinkan penulis menggunakan waktu kerja untuk menghadiri kuliah,
Mardi, Badrudin, Agri Kardinan, Candra Putra, Abduhaki, Tajudin, Hudan, Aryo
Susetyo, Amad Muhammad, Agus Triwiyono dan semua rekan di PT Syngenta
Indonesia kantor penelitian Cikampek untuk bantuan yang diberikan selama
pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bp Baehaki
SE yang telah banyak memberi masukan untuk penelitian ini, Balai Besar Penelitian
Padi yang telah menyediakan populasi WBC untuk acuan, dan Nadzirum Mubin
yang banyak membantu proses administrasi.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta Lia Aliyah,
ibunda Sri Suwarsi, ananda Hariz Mahir Nafi dan seluruh keluarga atas segala doa,
motivasi, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Erwin Cuk Surahmat
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Wereng Batang Cokelat
Taksonomi
Bioekologi
Insektisida Uji
Imidakloprid
BPMC
Pimetrozin
Resistensi terhadap Insektisida
Status Resistensi WBC terhadap Insektisida
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Resistensi
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penyiapan Serangga Uji
Penyiapan Insektisida Uji dan Varietas Padi
Pengujian Kerentanan
Seleksi Resistensi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Kerentanan Acuan
Tingkat Resistensi WBC
Wawancara Penggunaan Insektisida
Seleksi Resistensi
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
vii
1
1
2
3
4
4
4
4
7
7
7
8
9
9
10
13
13
13
13
13
14
16
16
16
19
25
26
27
31
41
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Lokasi dan waktu pengambilan sampel WBC
Konsentrasi uji lanjutan insektisida imidakloprid
Konsentrasi uji lanjutan insektisida BPMC
Toksisitas insektisida pimetrozine, imidakloprid, dan BPMC
terhadap WBC populasi BB Padi Sukamandi
Tingkat resistensi WBC populasi lapangan terhadap insektisida
pimetrozin, imidakloprid, dan BPMC
Persentase penghambatan populasi lapangan WBC dengan
perlakuan insektisida pimetrozin
Frekuensi aplikasi insektisida untuk mengendalikan WBC dari 6
lokasi di Pulau Jawa
Insektisida yang digunakan petani untuk mengendalikan WBC dari
6 lokasi di Pulau Jawa
Deteksi resistensi WBC setelah tiga kali perlakuan dengan dosis
subletal (LC50)
12
13
13
18
18
19
19
21
25
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
Struktur kimia imidakloprid
Struktur kimia BPMC
Struktur kimia pimetrozin
7
8
8
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi BB
Padi
Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi Serang
Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi
Karawang
Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi Subang
Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi
Indramayu
Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi
Purbalingga
Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi
Pasuruan
Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi BB Padi
Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Serang
Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Karawang
Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Subang
Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Indramayu
Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Purbalingga
Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Pasuruan
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC koloni BB Padi (7 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Serang (7 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Karawang
(7 HSA
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Subang
(7 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Indramayu
(7 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Purbalingga
(7 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Pasuruan
(7 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC koloni BB Padi
(18 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Serang
(18 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Karawang
(18 HSA
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Subang
(18 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Indramayu
(18 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Purbalingga
(18 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Pasuruan
(18 HSA)
30
30
30
31
31
31
32
32
32
33
33
33
34
34
34
35
35
35
36
36
36
37
37
37
38
38
38
39
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wereng batang cokelat (WBC) Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera:
Delphacidae) merupakan salah satu hama utama tanaman padi di Indonesia.
Serangan WBC secara luas pertama kali terjadi pada tahun 1976/1977. Pada kurun
1971-1980 serangan WBC mencapai 3 093 593 ha, pada kurun 1981-1990 458 038
ha, pada kurun 1991-2000 312 610 ha, pada 2001- 2010 351 748 ha, dan pada kurun
waktu 2011-2013 serangan WBC mencapai 39 069 ha (Ditlin 2013). Serangan
WBC tidak hanya mengakibatkan puso yang ditandai dengan hopperburn tetapi
juga meningkatnya kejadian penyakit yang disebabkan oleh virus yaitu kerdil
rumput dan kerdil hampa yang dapat mengakibatkan penghambatan pertumbuhan
sampai 55% (Ling 1977). Serangan WBC pada tahun 2010 diikuti munculnya
kedua penyakit tersebut pada pertanaman padi di musim tanam berikutnya.
Kehilangan hasil akibat serangan hama WBC dan serangan penyakit yang
disebabkan virus mencapai 70%. Berdasarkan data dari Ditlin (2012), lahan sawah
yang terserang hama WBC terdapat di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam,
Lampung, Serang, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogjakarta, Jawa
Timur, dan Sulawesi. Sebagian besar daerah endemik terdapat di Pulau Jawa, yaitu
Jawa Tengah (32 kabupaten), Jawa Timur (27 kabupaten), Jawa Barat (19
kabupaten), dan Serang (6 kabupaten).
WBC dapat berkembang biak secara cepat dan dapat menghabiskan makanan
dengan cara mengisap cairan tanaman dalam waktu singkat karena WBC termasuk
serangga hama berstrategi-r yang mempunyai ciri (a) serangga kecil yang cepat
menemukan habitatnya, (b) berkembang biak dengan cepat dan mampu
mempergunakan sumber daya dengan baik sebelum serangga lain ikut
berkompetisi, (c) mempunyai sifat menyebar dengan cepat ke habitat baru sebelum
habitat lama tidak berguna. Menurut Baehaki (1984), laju pertumbuhan intrinsik (r)
WBC adalah 0.013, yang berarti satu ekor betina WBC dapat menghasilkan
keturunan sebanyak 1353 ekor dalam 70 hari atau sebanyak 10 615 ekor dalam 3
bulan.
Karakter strategi-r WBC membuat hama ini cepat berubah biotipe dan menjadi
resisten terhadap insektisida. Soemawinata dan Soemartono (1986) menyatakan
bahwa WBC adalah serangga yang plastis, mudah beradaptasi pada keadaan baru.
Pembentukan biotipe baru dapat terjadi dengan mudah pada serangga yang siklus
hidupnya pendek dan tanaman inangnya menggunakan antibiosis sebagai strategi
pertahanan utama. Antibiosis akan menyebabkan kematian yang tinggi pada
serangga hama, yang merupakan tekanan seleksi populasi. Pembentukan biotipe
sebenarnya adalah mekanisme pertahanan alami serangga hama. Sejak pertama kali
dikendalikan dengan varietas tahan, WBC relatif cepat berdaptasi terhadap varietas
tahan tersebut. Adaptasi ini memunculkan biotipe baru, populasi awal WBC
sebelum penggunaan varietas tahan disebut biotipe 1, populasi yang virulen
terhadap gen WBC 1 (berhasil berkembang pada varietas tahan pertama disebut
WBC biotipe 2), dan populasi WBC yang virulen terhadap gen WBC 2 (berhasil
berkembang pada varietas tahan kedua) disebut biotipe 3. Sejak varietas tahan
digunakan pertama kali pada tahun 1975 sampai sekarang, WBC di Indramayu,
Cirebon, Demak, Pati, Lamongan, dan Tuban telah mencapai biotipe 3 (Baehaki
2
dan Munawar 2007). Pelemahan kerja insektisida terjadi dengan mekanisme yang
serupa dengan pembentukan biotipe baru. Tekanan seleksi karena insektisida sering
disebabkan ketidaktepatan penggunaan insektisida oleh petani. Hal tersebut akan
memicu terjadinya penurunan kerentanan WBC terhadap insektisida.
Secara umum serangan WBC lebih dominan terjadi pada musim hujan,
sedangkan pada musim kemarau serangannya terjadi di daerah-daerah yang sering
hujan. Populasi WBC cepat meningkat pada kelembapan tinggi (70%-80%), suhu
siang hari optimum (28-30 °C), intensitas cahaya matahari rendah, pemupukan N
tinggi, tanaman rimbun, lahan basah, angin lemah. Faktor lain yang memengaruhi
perkembangan populasi WBC di lapangan adalah ketahanan varietas padi yang
digunakan, pola tanam padi-padi-padi (faktor ketersediaan air), keberadaan musuh
alami (parasitoid, predator dan patogen), penggunaan pestisida yang tidak
memenuhi kaidah enam tepat (tepat jenis, sasaran, waktu, dosis, cara, dan tempat).
Selain itu penanaman varietas berdaya hasil tinggi (high-yielding variety) memicu
penggunaan pupuk nitrogen yang berlebihan. Praktik ini dikombinasikan dengan
penggunaan insektisida yang kurang bijaksana dapat menyebabkan ketidakstabilan
populasi WBC dan sering terjadi ledakan populasi WBC (Lu dan Heong 2009).
Serangan WBC sangat dipengaruhi oleh anomali iklim. Puncak serangan pada
tahun 1998 di Jawa Barat terjadi pada saat La Nina yang didahului oleh El Nino
yang sangat kuat pada tahun 1997. Beratnya serangan WBC dipengaruhi oleh
polimorfisme serangga ini. Serangga dewasa akan mempunyai sayap panjang
(makroptera) bila makanan atau ruang sudah tidak mencukupi untuk perkembangan
populasi. Apabila makanan atau ruang masih mencukupi, serangga dewasa yang
terbentuk akan mempunyai sayap pendek (brakiptera). Sawada et al. (1992)
menyatakan sering terjadi populasi tumpang tindih di lapangan karena adanya
migrasi WBC makroptera. Hal ini disebabkan oleh preferensi imago WBC
makroptera pada tanaman padi muda.
Sejak tahun 1970 ledakan populasi WBC terjadi di beberapa negara di Asia
Tenggara, yang diduga sebagai dampak dari Revulosi Hijau (Green Revolution).
Negara-negara Indochina menggunakan insektisida yang berbahan aktif
neonikotinoid dan fenilpirazol untuk mengendalikan WBC sejak tahun 1990-an.
Penggunaan insektisida yang kurang tepat memicu terjadinya resistensi dan ledakan
populasi. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan populasi WBC yang sangat besar
dan terus berlanjut pada 3 tahun berikutnya di Jepang. Ledakan populasi tidak
hanya terjadi di Jepang, tetapi juga di Cina dan Vietnam. Ledakan populasi tersebut
terjadi karena berkembangnya resistensi populasi WBC terhadap insektisida
berbahan aktif imidakloprid (Matsumura dan Morimura 2010). Di Indonesia, tidak
banyak data mengenai resistensi populasi WBC terhadap insektisida tertentu,
walaupun ledakan populasi WBC sering terjadi. Setelah tahun 1980-an terjadi
ledakan populasi WBC yang ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Inpres Nomor
3 Tahun 1986 tentang peningkatan pengendalian hama WBC. Ledakan populasi
WBC terjadi beberapa kali di tahun-tahun berikutnya.
Secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa penyemprotan pestisida yang tidak tepat
dosis dan konsentrasi dapat mendorong terjadinya resistensi dan resurjenisi WBC
yang berakibat meningkatnya populasi WBC lebih cepat dibandingkan dengan
sebelum dilakukan penyemprotan. Hal ini mendasari pemilihan insektisida uji pada
penelitian ini, yaitu imidakloprid, BPMC, dan pimetrozin yang merupakan
insektisida yang terdaftar untuk mengendalikan WBC. Insektisida berbahan aktif
3
imidakloprid termasuk golongang neonikotinoid, yang telah diketahui dapat
menyebabkan terjadinya resistensi di beberapa negara Asia dan mulai
diperdagangkan di Indonesia sejak tahun 1994. Insektisida berbahan aktif BPMC
merupakan insektisida yang dianjurkan oleh pemerintah untuk pengendalian hama
WBC dan mulai diperdagangkan di Indonesia sejak tahun 1999. Sedangkan
pimetrozin merupakan insektisida untuk pengendalian WBC yang baru
diperdagangkan di Indonesia sejak tahun 2009 (Ditjen PSP 2013).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan informasi mengenai
kerentanan populasi hama wereng batang cokelat dari enam lokasi di Pulau Jawa
terhadap tiga jenis insektisida yang sering digunakan oleh petani serta informasi
mengenai penggunaan insektisida di daerah tersebut.
Manfaat Penelitian
Informasi yang didapatkan dari penelitian ini dapat digunakan untuk
menghasilkan rekomendasi penggunaan insektisida pengendali hama wereng
batang cokelat secara spesifik lokasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Wereng Batang Cokelat
Taksonomi
Nilaparvata lugens Stål termasuk dalam ordo Hemiptera, subordo
Auchenorrhynca, superfamili Fulgoroidea, famili Delphacidae (Mochida dan
Okada 1979). Dua genus dari famili Delphacidae yang menjadi hama penting di
Indonesia adalah Nilaparvata dan Sogatella, dan spesiesnya adalah Nilaparvata
lugens Stål atau wereng batang cokelat (WBC) dan Sogatella furcifera (Horváth)
atau wereng punggung putih. (Wilson dan Claridge 1990). Kedua spesies ini sering
ditemukan bersamaan pada tanaman padi.
Bioekologi
Wereng batang cokelat merupakan hama utama pada pertanaman padi irigasi
teknis, tetapi juga menyerang tanaman padi tadah hujan dan sangat jarang
ditemukan pada sawah di daerah dataran tinggi (Reissig et al. 1986). Serangga ini
awalnya bukan merupakan hama penting di Indonesia, namun sejak tahun 1970
WBC statusnya berubah menjadi hama penting pertanaman padi di Indonesia
(Kalshoven 1981). Sejak saat itu Indonesia telah mengalami ledakan populasi WBC
sebagai akibat dari beberapa hal, yaitu penanaman padi sepanjang tahun,
penggunaan varietas rentan, dan kurangnya pengendalian gulma. WBC adalah
serangga dengan metamorfosis tidak sempurna (paurometabola), yang dalam satu
generasi akan melewati fase telur, nimfa, dan serangga dewasa. Serangga dewasa
mempunyai dua bentuk sayap, yaitu bersayap panjang (makroptera) dan bersayap
pendek (brakiptera) (Subroto et al. 1992b).
Hama ini tersebar di Asia, Australia, dan Kepulauan Pasifik. Di benua Asia
serangga ini dapat ditemukan di Bangladesh, Brunei, Myanmar, Cina, Hongkong,
India, Indonesia, Jepang, Kamboja, Korea, Laos, Malaysia, Nepal, Pakistan,
Filipina, Singapura, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Di Australia dan
Kepulauan Pasifik serangga ini dapat ditemukan di Kepulauan Karolina, Fiji,
Kepulauan Mariana, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon (Reissig et al. 1986).
WBC tidak ditemukan di benua Amerika dan Afrika.
WBC mengisap cairan pada jaringan floem dan menutup pembuluh tanaman.
Nimfa instar awal makan sedikit dan mengakibatkan kerusakan yang sedikit, nimfa
instar lanjut dan serangga dewasa makan lebih banyak tetapi hanya akan
menyebabkan kerusakan jika populasinya tinggi. Tanaman dirusak melalui
pengisapan nutrisi sehingga mengurangi hasil dan dapat mematikan tanaman.
Kerusakan lebih berat biasanya terjadi pada musim hujan, karena stomata menutup
dan terjadi pengurangan fotosintesis. Kerusakan berat akibat serangan WBC terlihat
seperti gejala terbakar atau biasa disebut hopperburn (Gallagher 1991). Gejalanya
secara umum mirip penuaan, termasuk di dalamnya adalah tepi daun menggulung
(termasuk pada tanaman muda), klorosis daun (warna daun berubah menjadi
kekuningan), diikuti dengan terkulainya daun, dan tanaman menjadi kerdil yang
disebabkan oleh berkurangnya laju pertumbuhan daun (Backus et al. 2005).
Selain kerusakan langsung akibat aktivitas makan, WBC juga menimbulkan
kerusakan tidak langsung karena menjadi vektor virus kerdil rumput (grassy stunt)
dan kerdil hampa (ragged stunt). WBC menularkan rice grassy stunt virus (RGSV)
5
dan rice ragged stunted virus (RRSV) secara persisten tetapi tidak bersifat
transovarial. Tanaman padi yang terinfeksi RGSV menunjukkan gejala kerdil dan
jumlah anakannya menjadi banyak, daunnya menjadi kaku dan kecil, terkadang
menunjukkan klorosis antartulang daun. Tanaman padi yang terinfeksi RRSV
menunjukkan gejala kerdil, daun tidak normal dengan pinggiran bergerigi dan
menggulung, dan pembengkakan vena (terbentuk puru) pada bagian bawah
seludang daun (Cabauatan et al. 2009). Pada beberapa varietas, daun yang masih
muda menunjukkan gejala titik-titik atau bergaris, tetapi daun akan tetap terlihat
hijau jika diberi pupuk nitrogen yang cukup. Penghambatan tumbuh akibat
serangan virus dapat mencapai 55% (Ling 1977). Kedua virus tersebut hanya
menjadi masalah serius pada tempat dengan populasi WBC tinggi (Gallagher 1991).
WBC meletakkan telur dalam jaringan tanaman pada seludang daun dan helai
daun. Pada helai daun telur biasanya diletakkan pada tulang daun, terutama bagian
pangkal. Telur diletakkan berkelompok, tersusun mirip buah pisang dalam satu
sisir. Bentuk telur dan susunan telur WBC dan wereng punggung putih sangat sulit
dibedakan satu sama lain (Baco 1984). Satu kelompok telur terdiri atas 4–10 butir
telur. Satu serangga dewasa betina dapat meletakkan telur sebanyak 100–500 butir
bergantung pada fase pertumbuhan tanaman padi, dengan rata-rata tertinggi 243.7
butir pada tanaman yang berumur 70 hari (Baco 1984). Penetasan biasanya terjadi
pada pagi hari, secara bersamaan dalam satu kelompok. Periode inkubasi telur
selama 8–9 hari (Kalshoven 1981). Suhu lingkungan memengaruhi lamanya
stadium telur, yaitu rata-rata 10 hari pada suhu 30 °C dan dapat mencapai 50 hari
pada suhu 10 ºC. Telur WBC sangat sensitif terhadap desikasi dan akan mengerut
bila tanaman inangnya layu. Telur bertambah panjang sampai 15% selama masa
embrio, diduga karena mengisap air (Wilson dan Claridge 1990). Di daerah tropis,
masa inkubasi telur berkisar 7–11 hari (Subroto et al. 1992b).
Fase nimfa WBC terdiri atas lima instar. Instar awal tidak dapat dibedakan
antara nimfa wereng batang cokelat dan wereng punggung putih. Nimfa kedua
spesies wereng tersebut mulai dapat dibedakan pada instar 3. Lamanya
perkembangan nimfa bervariasi antara 9 dan 15 hari (Baco 1984; Subroto et al.
1992b). Seperti halnya telur, lama perkembangan nimfa juga bervariasi bergantung
pada suhu lingkungan mulai 15 hari pada 30 ºC sampai 70 hari pada 10 ºC (Wilson
dan Claridge 1990). Nimfa yang baru keluar tidak banyak bergerak, setelah ganti
kulit baru berpindah tempat. Nimfa lebih menyukai tanaman padi berumur 24 hari
setelah tanam (HST) dan 70 HST dibandingkan dengan tanaman padi 100 HST,
yang menunjukkan bahwa nimfa WBC lebih menyukai tanaman muda. Nimfa
WBC lebih memilih melakukan aktivitas makan pada seludang daun daripada helai
daun. Embun madu yang dihasilkan tidak berbeda pada berbagai umur tanaman
padi yang berbeda. Rata-rata periode makan nimfa WBC adalah 1 jam (Baco 1984).
Nimfa biasanya terdapat pada pangkal batang tanaman padi (Subroto et al. 1992b).
Serangga dewasa biasanya muncul pada pagi hari dan sayapnya langsung
menjadi aktif walaupun organ reproduksinya belum matang (Kisimoto 1977). Baik
serangga dewasa jantan maupun betina dapat membentuk makroptera dan
brakiptera (Baco 1984). Sayap depan serangga dewasa WBC berwarna cokelat
transparan dengan warna cokelat gelap pada pembuluh sayapnya. Serangga dewasa
jantan makroptera berukuran 3.7-4.1 mm, sedangkan serangga betinanya berukuran
4.1-5.0 mm. Ukuran serangga dewasa jantan brakiptera adalah 2.4-2.8 mm,
sedangkan serangga dewasa betinanya berukuran 2.8-3.3 mm (Wilson dan Claridge
6
1990). Lama hidup serangga dewasa makroptera jantan adalah 8-9 hari dan
serangga dewasa makroptera betina selama 11-12 hari (Kalshoven 1981). Menurut
Subroto et al. (1992a), serangga jantan yang berbentuk makroptera berukuran 2.67
± 0.16 mm dan yang berbentuk brakiptera 2.94 ± 0.29 mm, secara keseluruhan
berwarna cokelat tua. Betina makroptera berukuran 3.32 ± 0.253 mm dan yang
berbentuk brakiptera 3.39 ± 0.22 mm, pada umumnya berwarna cokelat muda. Pada
tanaman berumur 40 hari pembentukan makroptera sangat dipengaruhi oleh
kepadatan populasi induk.
Nisbah kelamin serangga dewasa bergantung pada umur tanaman padi, makin
tua umur tanaman padi makin tinggi persentase betina. Pada tanaman padi 53 HST,
nisbah kelamin serangga dewasa (jantan:betina) adalah 1:1, pada tanaman padi 27
HST 1:2, sedangkan pada tanaman padi 81 HST 1:3. Mekanisme penyebab
perbedaan nisbah kelamin serangga dewasa WBC pada tanaman padi dengan umur
berbeda sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Kematangan seksual tercapai pada
1-3 hari serangga dewasa terbentuk, dengan rata-rata 1.56 hari. Periode
prapeneluran, waktu dari kemunculan serangga dewasa sampai bertelur, adalah 24 hari, dengan rata-rata 2.27 hari (Baco 1984). Perkawinan terjadi setelah organ
reproduksi matang, akan tetapi tidak ada bukti yang jelas mengenai hubungan
antara kedua bentuk serangga dewasa dengan kemampuan kopulasi mereka.
Serangga dewasa WBC dapat berkopulasi maksimal sebanyak enam kali/hari dan
sebanyak 21 kali sepanjang hidupnya. Serangga dewasa jantan dapat berkopulasi
dengan maksimum sembilan serangga dewasa betina dalam jangka waktu 24 jam
dan serangga dewasa betina dapat berkopulasi lebih dari dua kali selama masa
hidupnya (Mochida dan Okada 1979).
Analisis kepadatan WBC di wilayah udara daerah yang terserang parah
menunjukkan dua puncak kepadatan penerbangan yaitu pada pagi dan sore hari.
Intensitas cahaya tampaknya menjadi faktor yang sangat memengaruhi kegiatan
penerbangan serangga dewasa WBC. Pada suhu di atas 20 ºC, WBC terbang pada
intensitas cahaya 1-200 lux dengan maksimum 100 lux, akan tetapi ketika suhu
pada pagi hari adalah 13 ºC, tidak ada serangga dewasa WBC yang terbang.
Penerbangan pada sore hari ditemukan pada intensitas cahaya 50-4000 lux. Selama
awal musim kemarau, ketika cuaca tidak menentu, imigrasi terjadi pada saat siang
hari. Di laboratorium, nimfa yang dipelihara di dalam tabung reaksi dengan pakan
bibit padi yang masih sangat muda, pada populasi rendah, semua serangga dewasa
betina yang keluar berbentuk brakiptera, sedangkan serangga dewasa jantan
berbentuk makroptera. Seiring meningkatnya kepadatan populasi, persentase
kemunculan serangga dewasa betina makroptera meningkat mencapai hampir
100% (pada kepadatan 20 individu/tabung reaksi). Serangga dewasa jantan bentuk
brakiptera terlihat pada kepadatan populasi menengah. Pada kepadatan populasi
yang lebih tinggi, serangga dewasa jantan kembali membentuk makroptera, sejalan
dengan serangga dewasa betina. Kemunculan bentuk brakiptera dipercepat dengan
seringnya perubahan makanan dan habitat. Kemunculan ini juga dipengaruhi oleh
singkatnya fotoperiode, yaitu 8 jam hari terang/hari, tetapi kemunculan serangga
dewasa jantan brakiptera tidak dipengaruhi oleh fakor ini (Kisimoto 1977).
Insektisida Uji
Imidakloprid
Imidakloprid (Gambar 1) merupakan insektisida dari golongan neonikotinoid
(4A) yang pertama kali ditemukan oleh Shell Development Company di Kalifornia
7
pada tahun 1970, dimodifikasi dari senyawa nikotin. Insektisida tersebut memilliki
aktivitas sedang terhadap lalat rumah dan kutu daun. Pengembangan lebih lanjut
dilakukan oleh Nihon Tokushu Noyaku Seizo di Jepang (sekarang menjadi Bayer
Crop Science Japan) sehingga dapat mengendalikan wereng hijau pada padi, akan
tetapi masih belum stabil bila terkena pajanan cahaya matahari sehingga belum
dapat digunakan secara luas dalam perlindungan tanaman. Penelitian lebih lanjut
untuk menstabilkan struktur kimia di bawah pajanan matahari dilakukan dengan
mengganti gugus imidazolidin dengan tiazolidin atau oksadiazinan atau padanan
nonsiklik (acyclic counterpart), dan kloropiridinilmetil dengan klorotiazolilmetil
atau tetrahidrofuranmetil. Perubahan nitrometilen menjadi nitroguanidin atau
sianoamidin membuat senyawa ini menjadi fotostabil. Beberapa bahan aktif yang
termasuk dalam golongan neonikotinoid ini masing-masing memperoleh paten
pada tahun 1977 nitiazin heterosiklik, imidakloprid (1985), tiakloprid (1985),
tiametoksam (1992); dan nitenpiram nonsiklik (1988), asetamiprid (1989),
klotianidin (1989), dan dinotefuran (1994). Bahan aktif dari golongan
neonikotinoid ini bersifat sistemik pada tanaman, mempunyai efek kontak yang
lemah terhadap larva Lepidoptera, dan bekerja sebagai agonis reseptor asetilkolin
(nAChR) (Tomizawa dan Casida 2004). Di Indonesia insektisida imidakloprid
sudah terdaftar untuk mengendalikan kutudaun, belalang, wereng kapas, rayap
tanah, hama thrip, wereng mangga, wereng batang cokelat, dan pengisap daun
(Ditjen PSP 2013).
Gambar 1 Struktur kimia imidakloprid (Tomlin 2006)
BPMC
BPMC (Gambar 2) dikenal juga dengan nama fenobukarb merupakan
insektisida dari golongan karbamat (1A, IRAC). Fenobukarb merupakan insektisida
non sistemik dan masuk ke dalam tubuh serangga dengan cara kontak. Fenobukarb
tidak mudah terdegradasi oleh cahaya matahari tetapi akan terhidrolisis oleh asam
(Tomlin 2006). Insektisida ini bekerja dalam sistem saraf serangga, sebagai
penghambat kerja enzim asetilkolinesterase dalam menguraikan asetilkolin di celah
sinapsis sistem saraf pusat (IRAC 2015).
8
Gambar 2 Struktur kimia BPMC (Tomlin 2006)
Di Indonesia insektisida BPMC sudah terdaftar untuk mengendalikan belalang,
pengisap buah, wereng batang cokelat, wereng hijau, wereng punggung putih, dan
walang sangit (Ditjen PSP 2013).
Pimetrozin
Pimetrozin (Gambar 3) adalah insektisida yang ditemukan dan dikembangkan
oleh CIBA, pertama kali disintesis pada akhir tahun 1986. Insektisida tersebut
dikelompokkan dalam golongan 9B, yaitu sebagai racun saraf yang menghambat
aktivitas makan serangga Homoptera (IRAC 2015).
Insektisida ini tidak mempunyai efek knockdown, tetapi bekerja dengan cepat
mengendalikan serangga pengisap dengan cara menghambat aktivitas makan.
Setelah aplikasi pimetrozin, baik secara topical maupun melalui makanan, stilet
serangga tersebut segera berhenti memenetrasi tanaman. Serangga tersebut akan
mati beberapa hari kemudian, kemungkinan karena kelaparan. Blokade stilet
tersebut berlangsung beberapa jam setelah serangga terpajan pimetrozin dan
bersifat tidak dapat balik (irreversible). Pimetrozin tidak mempunyai efek repelen
dan bekerja di dalam sistem saraf serangga. Di Indonesia, insektisida pimetrozin ini
terdaftar untuk mengendalikan kutu kebul, walang sangit, wereng batang cokelat,
wereng punggung putih, wereng hijau, dan kepinding tanah (Ditjen PSP 2013).
Gambar 3 Struktur kimia pimetrozin (Tomlin 2006)
Cara kerja pimetrozin di dalam sistem saraf serangga sampai saat ini masih
belum diketahui dengan pasti. Kematian serangga akibat perlakuan pimetrozin
lebih lambat dibandingkan serangga yang dilaparkan. Data electrical penetration
graph menunjukkan pimetrozin secara signifikan meningkatkan periode non-
9
probing dan menghambat pengisapan floem. Penghambatan tersebut berbanding
lurus dengan dosis perlakuan, serangga berhenti mengisap floem pada konsentrasi
400 mg/L. Jadi pimetrozin menggangu perilaku makan serangga utamanya dengan
meningkatkan non-probe period dan menghambat pengisapan floem yang
kemudian menyebabkan kematian karena kelaparan (He et al. 2011).
Resistensi terhadap Insektisda
Status Resistensi WBC terhadap Insektisida
Resistensi adalah berkurangnya kerentanan hama terhadap suatu bahan aktif.
Indikasi awal di lapangan dapat dilihat dari terjadinya kegagalan pengendalian
hama sasaran walaupun penggunaan insektisida sudah sesuai anjuran yang
tercantum di label (IRAC 2014).
Laporan tertulis mengenai masalah resistensi WBC terhadap insektisida di
Indonesia masih sangat terbatas, walaupun tanda-tanda resistensi di lapangan sering
dijumpai. Strain WBC yang berasal dari Bandung dan Karawang telah resisten
terhadap diazinon, BPMC, dan MIPC tetapi belum resisten terhadap buprofezin.
Strain WBC dari Bogor telah resisten terhadap BPMC dengan nisbah resistensi 5.08
tetapi belum resisten terhadap diazinon, MIPC, dan buprofezin ditunjukkan dengan
nisbah resistensi terhadap ketiga bahan aktif tersebut 3.56, 3.39, dan 0.91. Strain
WBC dari Tasikmalaya belum resisten terhadap diazinon, BPMC, MIPC, dan
buprofezin dengan nisbah resistensi 2.75, 2.71, 3.18, dan 0.90. WBC dari Bandung
dan Karawang menunjukkan kondisi yang sama, resisten terhadap tiga jenis
insektisida yaitu diazinon dengan nisbah resistensi 55.42 dan 6.57, BPMC dengan
nisbah resistensi 7.82 dan 6.14, MIPC dengan nisbah resistensi 14.63 dan 9.51.
Strain WBC dari Bandung dan Karawang belum menunjukkan resistensi terhadap
insektisida buprofezin dengan nisbah resistensi 0.72 dan 1.80 (Soemawinata et al.
1991). Hasil pengujian Soemawinata et al. (1994) di lapangan menunjukkan telah
terjadi resistensi WBC dari 4 lokasi (Subang, Indramayu, Purworejo, dan
Magelang) terhadap pestisida karbofuran dengan nisbah resistensi 11.0 – 18.6 akan
tetapi belum menunjukkan resistensi terhadap insektisida berbahan aktif BPMC dan
MIPC.
Pada tahun 2005, WBC di Cina telah menunjukkan resistensi terhadap
insektisida berbahan aktif imidakloprid sebesar 200–799 kali dibanding dengan
strain rentan. Setelah penggunaan insektisida tersebut dikurangi, tingkat
resistensinya turun menjadi 135–233 kali pada tahun 2007. Sementara populasi
yang terus-menerus diseleksi dengan imidakloprid di laboratorium tingkat
resistensinya meningkat dari 200 menjadi 1 298 kali dalam 23 generasi. Bila seleksi
dihentikan, tingkat resistensi turun dari 759 menjadi 114 kali dalam 17 generasi.
Setelah itu tingkat resistensi menjadi stabil dan tidak mengalami penurunan. Hasil
yang serupa didapatkan dalam percobaan lain, dari 625 kali menjadi 105–129 kali
dan tidak mengalami perubahan lagi (Wang et al. 2009).
Penelitian di India dan Thailand juga telah melaporkan terjadinya resistensi
WBC terhadap beberapa bahan aktif insektisida. Di India, tingkat resistensi WBC
terhadap insektisida berbahan aktif imidakloprid 35.13 kali, terhadap tiametoksam
10.78 kali dan terhadap klotianidin 4.98 kali pada tahun 2006. Di Thailand,
resistensi WBC terhadap insektisida berbahan aktif imidakloprid meningkat dari 3
kali pada tahun 2002 menjadi 5.6 kali pada tahun 2006 (Catindig et al. 2009).
10
Imidakloprid merupakan insektisida yang umum digunakan di Cina, India, dan
Thailand untuk mengendalikan WBC. Penggunaan yang terus-menerus memicu
terjadinya resistensi WBC terhadap imidakloprid. Resistensi WBC terhadap
imidakloprid di Cina mencapai 79.1 sampai 81.1 kali pada tahun 2006, di India
35.13 kali, dan di Thailand 3 sampai 4.1 kali (Catindig et al. 2009).
Resistensi terhadap pimetrozin dilaporkan di Spanyol pada hama kutu kebul
(Bemisia tabaci) dengan NR 5.8-1900, di Cyprus dengan NR 92, di Guatemala
dengan NR 1100, di Mexico dengan NR 520, di Afrika Barat dengan NR 7.3-18
(Gorman et al. 2010) (Houndété 2010). Hama kutukebul Trialeuroides
vaporariorum dilaporkan sudah mengalamai resistensi terhadap pimetrozin di
negara Inggris, Spanyol, Turki, Cina, dan Jerman dengan NR 4.13-20.4.
Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Resistensi
Terjadinya resistensi merupakan konsekuensi dari proses evolusi karena dalam
suatu populasi terdapat keragaman genetika. Beberapa individu dalam populasi
hama dapat sintas dari aplikasi bahan kimia yang ditujukan untuk mengendalikan
hama tersebut karena memiliki perbedaan genetika. Perkembangbiakkan individu
yang sintas tersebut akan meningkatkan proporsi individu yang dapat bertahan
terhadap senyawa kimia yang digunakan dan menurunkan kerentanannya pada
generasi berikutnya. Mekanisme umum terjadinya resistensi adalah berkurangnya
kerentanan bagian sasaran (target site), detoksifikasi insektisida oleh enzim, dan
berkurangnya penetrasi insektisida menuju bagian sasaran (Georghiou dan Taylor
1986).
Faktor yang memengaruhi terjadinya resistensi pada populasi serangga adalah
intensitas seleksi, frekuensi gen resisten dalam suatu populasi, karakteristik gen
resisten (dominan atau resesif), dan dinamika reproduksi serangga (Heong et al.
2011). Menurut Georghiou dan Taylor (1986) ada 3 faktor yang mempengaruhi
resisitensi, yaitu faktor genetik, faktor bioekologi, dan faktor operasional.
Keberadaan alel resisten dalam suatu populasi yang seringkali besifat resesif.
Frekuensi alel resisten merupakan faktor penting untuk berkembang atau tidaknya
resistensi dalam suatu populasi. Seringkali frekuensi alel tersebut sangat rendah
sehingga tidak memungkinkan terbentuknya dominansi individu homozigot
resisten. Faktor bioekologi yang paling berpengaruh terhadap terbentuknya
resistensi adalah jumlah keturunan yang dihasilkan individu serangga. Semakin
banyak keturunan yang dihasilkan akan semakin cepat evolusi terjadinya resistensi
dalam suatu populasi. Selain itu preferensi pakan juga menjadi faktor bioekologi
yang mempengaruhi terbentuknya resistensi. Serangga polifag cenderung lebih
lambat menjadi resisten dibandingkan serangga monofag. Hal ini disebabkan oleh
dua hal yaitu pemaparan insektisida yang lebih rendah dibandingkan dengan
serangga monofag sehingga tekanan seleksinya lebih rendah dan adanya migrasi
individu yang tidak terpapar insektisida. Faktor operasional yang mempengaruhi
terjadinya resistensi dalam suatu populasi adalah penggunaan insektisida dan
semua hal yang bisa dikendalikan oleh manusia. Waktu aplikasi, dosis, dan
formulasi insektisida yang tepat akan menunda terjadinya resistensi karena
menghindarkan terbentuknya refugia yang kemudian walaupun ada migrasi
serangga datang individu resisten tidak akan menjadi dominan.
Resistensi dapat berkembang dengan cepat bila insektisida yang digunakan
selalu dari golongan dan cara kerja yang sama, mempunyai persistensi di
11
lingkungan yang lama, diaplikasikan dengan formulasi slow release, aplikasi selalu
dilakukan walaupun populasi WBC berada di bawah ambang kendali, seleksi terjadi
pada fase pra dewasa dan dewasa, aplikasi insektisida dilakukan secara terusmenerus pada area geografi yang luas sehingga terjadi seleksi pada setiap generasi
(Heong et al. 2011). Sampai saat ini masih belum jelas apakah pencampuran
insektisida dari bahan aktif berbeda ataukah pergiliran penggunaan insektisida yang
merupakan cara terbaik untuk mengelola resistensi, masih diperlukan penelitian
lebih lanjut mengenai hal tersebut (Georghiou dan Taylor 1986).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Stasiun Penelitian PT Syngenta Indonesia, Desa
Pangulah Baru, Kecamatan Cikampek, Kabupaten Karawang, dari Mei 2013
sampai Maret 2015.
Penyiapan Serangga Uji
Serangga uji yang digunakan terdiri atas dua kelompok. Kelompok pertama
merupakan populasi standar, sedangkan kelompok kedua merupakan populasi
lapangan yang diperoleh dari enam lokasi hot spot WBC. Populasi standar
diperoleh dari Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi (BB Padi) yang dipelihara
dalam keadaan bebas pestisida sejak tahun 1987.
Enam lokasi asal serangga uji adalah daerah endemik WBC di Pulau Jawa dan
diperkirakan petani di tempat tersebut menggunakan insektisida berbahan aktif
neonikotinoid untuk mengendalikan WBC dengan intensif (Tabel 1).
Tabel 1 Lokasi dan waktu pengambilan sampel WBC
Lokasi
Waktu pengambilan sampel
Desa Lebak Wangi, Kecamatan Pontang, Serang
30 Desember 2013
(6.035957LS, 106.258117BT)
Desa Sarijaya, Kecamatan Majalaya, Karawang
1 November 2013
(6.313118LS, 107.356749BT)
Desa Ciasem Tengah, Kecamatan Ciasem,
8 Januari 2014
Subang (6.330862LS, 107.691832BT)
Desa
Bangodua,
Kecamatan
Bangodua,
2 Maret 2014
Indramayu (6.513728LS, 108.290587BT)
Desa Kemangkon, Kecamatan Kemangkon,
8 April 2014
Purbalingga (7.459704LS, 109.363128BT)
Desa Latek, Kecamatan Bangil, Pasuruan
6 Februari 2014
(7.589043LS, 112.829314BT)
Wawancara dilakukan terhadap 10 orang petani di sekitar lokasi pengambilan
serangga uji. Informasi yang ingin didapatkan adalah nama dagang insektisida dan
dosis yang digunakan untuk mengendalikan WBC per musim tanam dalam 2–5
tahun terakhir.
Penyiapan Insektisida Uji dan Varietas Padi
Insektisida yang digunakan dalam penelitian ini adalah insektisida komersial
dengan bahan aktif BPMC (Baycarb 500 EC), imidakloprid (Confidor 200 SL), dan
pimetrozin (Plenum 50 WG). Varietas padi yang digunakan dalam pengujian ini
adalah Pelita, yang diketahui sangat rentan terhadap WBC.
13
Pengujian Kerentanan
Metode pengujian kerentanan serangga uji terhadap insektisida yang
digunakan adalah metode perlakuan pakan (metode residu pada tanaman) sesuai
dengan metode nomor 005 dari IRAC (2013). Pengujian dilakukan menggunakan
enam tingkat konsentrasi insektisida yang diharapkan mengakibatkan kematian
serangga uji dengan kisaran 0% < X < 100%. Konsentrasi tersebut ditentukan
berdasarkan uji pendahuluan. Konsentrasi sediaan insektisida dibuat dengan
mengencerkan formulasi insektisida uji pada volume tertentu dengan pengencer air.
Pada pengujian pimetrozin digunakan konsentrasi 0.0005, 0.005, 0.05, 0.5, 5, dan
50 ppm b.a, sedangkan konsentrasi uji untuk imidakloprid dan BPMC tercantum
pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2 Konsentrasi uji lan
lugens STÅL (HEMIPTERA: DELPHACIDAE), DARI ENAM
LOKASI DI PULAU JAWA TERHADAP TIGA JENIS
INSEKTISIDA
ERWIN CUK SURAHMAT
PROGRAM STUDI ENTOMOLOGI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kerentanan Wereng
Batang Cokelat, Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae), dari Enam
Lokasi di Pulau Jawa terhadap Tiga Jenis Insektisida adalah karya saya dengan
arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Erwin Cuk Surahmat
NIM A3511100411
i
RINGKASAN
ERWIN CUK SURAHMAT. Kerentanan Wereng Batang Cokelat, Nilaparvata
lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae), dari Enam Lokasi di Pulau Jawa terhadap
Tiga Jenis Insektisida. Dibimbing oleh DADANG dan DJOKO PRIJONO.
Wereng batang cokelat (WBC) Nilaparvata lugens Stål merupakan salah satu
hama utama tanaman padi di Indonesia. Hama tersebut dapat berkembang biak
secara cepat. WBC cepat berubah biotipe dan menjadi resisten terhadap insektisida.
Selain itu WBC juga berperan sebagai vektor penyakit kerdil rumput dan kerdil
hampa pada tanaman padi. Kehilangan hasil akibat serangan WBC dapat mencapai
70%. Selama ini belum banyak data mengenai resistensi populasi WBC terhadap
insektisida yang banyak digunakan oleh petani padi.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan informasi mengenai
kerentanan populasi hama WBC dari enam lokasi di Pulau Jawa, yaitu Serang,
Karawang, Subang, Indramayu, Purbalingga, dan Pasuruan terhadap insektisida
imidakloprid (neonikotinoid, golongan 4A), BPMC (karbamat, golongan 1A) dan
pimetrozin (azomektin, golongan 9B). Informasi ini selanjutnya dapat digunakan
untuk menghasilkan rekomendasi penggunaan insektisida pengendali hama WBC
secara spesifik lokasi.
Koloni WBC yang diperoleh dari enam lokasi berbeda di Pulau Jawa dipelihara
di rumah kaca dan imago yang baru terbentuk keturunan pertama digunakan dalam
pengujian. Selama mengumpulkan WBC dari setiap daerah, sepuluh petani di
sekitar lokasi tersebut diwawancarai mengenai jenis insektisida yang mereka
gunakan untuk mengendalikan WBC dalam 2-5 tahun terakhir. Koloni WBC dari
Balai Besar Padi Sukamandi, Subang, Jawa Barat digunakan sebagai pembanding.
Metode pengujian kerentanan WBC terhadap insektisida uji yang digunakan adalah
metode perlakuan pakan (metode residu pada tanaman) sesuai dengan metode
Nomor 005 dari IRAC (www.irac-online.org). Pengujian dilakukan menggunakan
enam tingkat konsentrasi yang berbeda dari insektisida uji yang diharapkan
mengakibatkan kematian serangga uji dengan kisaran 0 < X < 100%. Konsentrasi
tersebut ditentukan berdasarkan uji pendahuluan. Konsentrasi sediaan insektisida
dibuat dengan mengencerkan formulasi insektisida uji pada volume tertentu dengan
pengencer air ditambah non ionic wetter dengan konsentrasi 0.03%. Sepuluh bibit
padi berumur 10-12 hari setelah semai (HSS) dimasukkan ke dalam gelas plastik
berdiameter 19-20 mm. Agar direbus sesuai petunjuk pabrikan, lalu dituangkan
pada permukaan gelas dalam kondisi hangat (suhu 37 oC) untuk menutupi seluruh
permukaan gelas. Setelah agar membeku, gelas dibalikkan dan dicelupkan pada
sediaan insektisida uji selama 10 detik. Bibit padi diangkat dan dikeringanginkan
selama 15 menit, kemudian dimasukkan ke dalam kurungan plastik. Sepuluh
individu imago yang baru terbentuk dimasukkan ke dalam kurungan plastik
tersebut. Pengamatan dilakukan sesuai dengan golongan cara kerja insektisida uji
dengan cara mencatat jumlah WBC yang mati dan yang masih hidup, 48 jam setelah
aplikasi untuk insektsida berbahan aktif BPMC (karbamat), 72 jam setelah aplikasi
untuk insektisida berbahan aktif imidakloprid (neonikotinoid), 7 dan 18 hari setelah
aplikasi untuk insektisida berbahan aktif pimetrozin (penghambat makan
Homoptera selektif). Suhu minimum dan maksimum ruangan dicatat, untuk
ii
pengujian dengan insektisida BPMC dan imidakloprid dilakukan di dalam
laboratorium dengan kisaran suhu 25-30 oC, sedangkan pengujian dengan
insektisida pimetrozin dilakukan di dalam rumah kaca dengan kisaran suhu 24-42
o
C.
Hubungan antara konsentrasi insektisida BPMC dan imidakloprid dengan
tingkat kematian larva serangga uji pada waktu-waktu pengamatan tersebut dengan
menggunakan analisis probit. Dari analisis probit data tingkat kematian yang
diperoleh dalam pengujian tersebut dapat ditentukan LC50 masing-masing
insektisida uji. Sebagai tolok ukur resistensi, digunakan nisbah resistensi (NR) yang
dihitung dengan membandingkan LC50 populasi lapangan dengan LC50 populasi
standar. Populasi serangga yang berasal dari lapangan dikatakan telah resisten jika
memiliki NR ≥ 4. Indikasi resistensi telah terjadi jika NR ≥ 1. Untuk pimetrozin
perlu data tambahan untuk mengetahui kerentanan populasi WBC, yaitu dengan
menghitung persentase penghambatan perkembangan populasi dengan
menggunakan rumus Abbott.
Hasil perlakuan pada koloni BB Padi menunjukkan LC50 insektisida pimetrozin
sebesar 1.7 ppm b.a., imidakloprid 244 ppm b.a., dan BPMC 216 ppm b.a. LC95
pimetrozin 959 ppm b.a. (3.2-3.8 kali konsentrasi anjuran), imidakloprid 3772 ppm
b.a. (94.3-188.6 kali konsentrasi anjuran), dan LC95 BPMC 1322.5 ppm b.a. (0.66
kali konsentrasi anjuran).
WBC dari keenam lokasi masih rentan terhadap insektisida pimetrozin (NR
1.2-2.2). Bila dilihat dari penghambatan populasi, WBC dari keenam lokasi masih
rentan, terlihat dari perlakuan pada konsentrasi 50 ppm (seperlima konsentrasi
anjuran di lapangan) mengakibatkan penghambatan perkembangan populasi WBC
sebesar 100%. WBC populasi Pasuruan masih rentan terhadap imidakloprid (NR
2.0), tetapi WBC dari kelima lokasi lainnya sudah resisten (NR 4.8-108.1). Hanya
WBC dari Indramayu yang telah resisten terhadap BPMC (NR 6.6) WBC dari
kelima lokasi lainnya masih rentan (NR 2.5-3.0). Pemajanan populasi pembanding
pada konsentrasi subletal (LC50) masing-masing insektisida sebanyak tiga generasi
menyebabkan pergeseran kerentanan WBC terhadap BPMC tetapi hal tersebut tidak
terjadi terhadap imidakloprid.
Kata kunci: hama padi, neonikotinoid, rekomendasi spesifik lokasi, resistensi.
iii
SUMMARY
ERWIN CUK SURAHMAT. Susceptibility of Rice Brown Planthopper,
Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae), from Six Locations in Java to
Three Insecticides. Supervised by DADANG and DJOKO PRIJONO.
The rice brown planthopper (BPH), Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera:
Delphacidae), is one of the important rice pests in Indonesia. BPH also acts as
vector for grassy stunt tenuivirus and rice ragged stunt oryzavirus. Yield losses due
to BPH infestation can reach up to 70%. Despite relatively frequent use of
insecticides to control this pest, data on BPH resistance to insecticides commonly
used by farmers in Indonesia is scarce.
This study was conducted to assess the susceptibility of BPH from six locations
in Java i.e. Serang, Karawang, Subang, Indramayu, Purbalingga, and Pasuruan to
imidacloprid, BPMC, and pymetrozyne. Information obtained can be used as
reference for location specific BPH control recommendation. Ten farmers in the
surrounding sample collection location were interviewed to find out what are the
insecticides they used to control BPH in past 2-5 years.
The first laboratory generation of BPH adults were subjected to insecticide
treatments using a leaf dips residual method as described in IRAC Method No 005.
After conducting a range of preliminary test for bracketting, 6 concentration of each
insecticides use for bioassay expected to give mortality between 0 < X < 100%.
Each concentration prepared by diluting commercial formulation into water
contained 0.03% non-ionic wetter (Extravon 250EC). Ten hills of rice seed, 10-12
days after sowing, plant into plastic cup (Ø: 19-20 cm, h: 9.5 cm). Prepare agar
according to manufacturer’s instructions and allow it to cool but not solidify. As
soon as it is lukewarm (approx. 37 oC) pour enough agar into each pot of rice to
cover the soil surface. Note that if the agar is too hot it will run straight through the
pot. The cool, but still liquid agar, will stay on the soil surface and quickly solidify.
The agar helps to prevent soil from falling out of the pots when the plants are dipped
into the insecticide solution and also makes it easier to find dead or affected hoppers
during assessment. Invert the pots and dip seedlings completely into the test
solutions for 10 seconds. It is very important that the seedlings are dipped all the
way into the solution to ensure that all exposed plant parts are in contact with the
insecticide. After dipping, revert the pots and allow the seedlings to dry for 15
minutes. When the plants are dry, cover them with individual plastic tubes.
Different MoAs require assessment at different time points, 48 hours after treatment
(HAT) for BPMC (carbamates), 72 HAT for imidakloprid (neonicotinoid) and 7 &
18 days after treatment (DAT) for pimetrozin (selective homopteran feeding
blocker). Record temperature and humidity, for BPMC and imidakloprid store the
treatment series in laboratory with 25-30 oC, while for pimetrozine keep it in
greenhouse with 24-40 oC.
Mortality data was analyzed using probit analysis to get LC 50. Resistance
factor (RF) was determined by comparing LC50 of each insecticide against BPH
field populations with that against the reference population. Field population
categorized as resistance if RF ≥ 4, and if RF ≥ 1 it indicate resistance is starting to
iv
happen in the field. BPH susceptibility to pymetrozine was also assessed based on
inhibition of BPH population development using Abbott formula.
LC50 for refrerence population are 1.7 ppm a.i for pimetrozine, 244 ppm a.i.
for imidacloprid, and 216 ppm a.i. for BPMC. While LC 95 for pimetrozine is 959
(3.2-3.8 times recommendation rate), 3772 ppm a.i. (94.3-188.6 recommendation
rate), and 1332.5 ppm a.i. (0.66 times recommendation rate). BPH populations from
all six locations were susceptible to pymetrozine (NR 1.2-2.2), in which the
treatment with pymetrozine at 50 ppm a.i. (one-fifth of the recommended field rate)
caused 100% inhibition of BPH population development. BPH from five locations
showed resistance to imidacloprid (RF 4.8-108.1), but that from Pasuruan did not
(RF 2.0). BPH from Indramayu was resistant to BPMC (RF 6.6) whereas those from
the other five locations were not (RF2.5-3.0). Exposure of the reference population
to a sublethal dose of insecticides (LC50) for three generations decreased the
susceptibility of the third BPH generation to BPMC but not to imidacloprid.
Key words: location specific recommendation, neonicotinoid, resistance, rice pest.
©Hak cipta milik IPB, tahun 2015
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KERENTANAN WERENG BATANG COKELAT, Nilaparvata
lugens STÅL (HEMIPTERA: DELPHACIDAE), DARI ENAM
LOKASI DI PULAU JAWA TERHADAP TIGA JENIS
INSEKTISIDA
ERWIN CUK SURAHMAT
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
iii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. I Wayan Winasa, MSi.
Judul Tesis
: Kerentanan Wereng Batang Cokelat, Nilaparvata lugens Stål
(Hemiptera: Delphacidae), dari Enam Lokasi di Pulau Jawa
terhadap Tiga Jenis Insektisida
Nama Mahasiswa: Erwin Cuk Surahmat
NRP
: A351110041
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc.
Ketua
Ir. Djoko Prijono, MAgrSc.
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Entomologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Pudjianto, MSi.
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr.
Tanggal Ujian: 18 Agustus 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
atas segala karunia-Nya karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini adalah resistensi
serangga terhadap insektisida dengan judul Kerentanan Wereng Batang Cokelat,
Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae), dari Enam Lokasi di Pulau Jawa
terhadap Tiga Jenis Insektisida. Karya ilmiah ini ditulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi Institut
Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc dan Ir. Djoko
Prijono, MAgrSc masing-masing selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing
atas bimbingan dari rencana sampai selesainya penelitian dan penulisan tesis ini.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. I Wayan Winasa, MSi yang
bersedia menjadi penguji luar komisi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Midzon Johannis yang
telah mengijinkan penulis menggunakan waktu kerja untuk menghadiri kuliah,
Mardi, Badrudin, Agri Kardinan, Candra Putra, Abduhaki, Tajudin, Hudan, Aryo
Susetyo, Amad Muhammad, Agus Triwiyono dan semua rekan di PT Syngenta
Indonesia kantor penelitian Cikampek untuk bantuan yang diberikan selama
pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bp Baehaki
SE yang telah banyak memberi masukan untuk penelitian ini, Balai Besar Penelitian
Padi yang telah menyediakan populasi WBC untuk acuan, dan Nadzirum Mubin
yang banyak membantu proses administrasi.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta Lia Aliyah,
ibunda Sri Suwarsi, ananda Hariz Mahir Nafi dan seluruh keluarga atas segala doa,
motivasi, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Erwin Cuk Surahmat
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Wereng Batang Cokelat
Taksonomi
Bioekologi
Insektisida Uji
Imidakloprid
BPMC
Pimetrozin
Resistensi terhadap Insektisida
Status Resistensi WBC terhadap Insektisida
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Resistensi
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penyiapan Serangga Uji
Penyiapan Insektisida Uji dan Varietas Padi
Pengujian Kerentanan
Seleksi Resistensi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Kerentanan Acuan
Tingkat Resistensi WBC
Wawancara Penggunaan Insektisida
Seleksi Resistensi
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
vii
1
1
2
3
4
4
4
4
7
7
7
8
9
9
10
13
13
13
13
13
14
16
16
16
19
25
26
27
31
41
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Lokasi dan waktu pengambilan sampel WBC
Konsentrasi uji lanjutan insektisida imidakloprid
Konsentrasi uji lanjutan insektisida BPMC
Toksisitas insektisida pimetrozine, imidakloprid, dan BPMC
terhadap WBC populasi BB Padi Sukamandi
Tingkat resistensi WBC populasi lapangan terhadap insektisida
pimetrozin, imidakloprid, dan BPMC
Persentase penghambatan populasi lapangan WBC dengan
perlakuan insektisida pimetrozin
Frekuensi aplikasi insektisida untuk mengendalikan WBC dari 6
lokasi di Pulau Jawa
Insektisida yang digunakan petani untuk mengendalikan WBC dari
6 lokasi di Pulau Jawa
Deteksi resistensi WBC setelah tiga kali perlakuan dengan dosis
subletal (LC50)
12
13
13
18
18
19
19
21
25
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
Struktur kimia imidakloprid
Struktur kimia BPMC
Struktur kimia pimetrozin
7
8
8
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi BB
Padi
Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi Serang
Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi
Karawang
Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi Subang
Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi
Indramayu
Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi
Purbalingga
Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi
Pasuruan
Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi BB Padi
Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Serang
Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Karawang
Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Subang
Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Indramayu
Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Purbalingga
Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Pasuruan
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC koloni BB Padi (7 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Serang (7 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Karawang
(7 HSA
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Subang
(7 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Indramayu
(7 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Purbalingga
(7 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Pasuruan
(7 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC koloni BB Padi
(18 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Serang
(18 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Karawang
(18 HSA
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Subang
(18 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Indramayu
(18 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Purbalingga
(18 HSA)
Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Pasuruan
(18 HSA)
30
30
30
31
31
31
32
32
32
33
33
33
34
34
34
35
35
35
36
36
36
37
37
37
38
38
38
39
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wereng batang cokelat (WBC) Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera:
Delphacidae) merupakan salah satu hama utama tanaman padi di Indonesia.
Serangan WBC secara luas pertama kali terjadi pada tahun 1976/1977. Pada kurun
1971-1980 serangan WBC mencapai 3 093 593 ha, pada kurun 1981-1990 458 038
ha, pada kurun 1991-2000 312 610 ha, pada 2001- 2010 351 748 ha, dan pada kurun
waktu 2011-2013 serangan WBC mencapai 39 069 ha (Ditlin 2013). Serangan
WBC tidak hanya mengakibatkan puso yang ditandai dengan hopperburn tetapi
juga meningkatnya kejadian penyakit yang disebabkan oleh virus yaitu kerdil
rumput dan kerdil hampa yang dapat mengakibatkan penghambatan pertumbuhan
sampai 55% (Ling 1977). Serangan WBC pada tahun 2010 diikuti munculnya
kedua penyakit tersebut pada pertanaman padi di musim tanam berikutnya.
Kehilangan hasil akibat serangan hama WBC dan serangan penyakit yang
disebabkan virus mencapai 70%. Berdasarkan data dari Ditlin (2012), lahan sawah
yang terserang hama WBC terdapat di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam,
Lampung, Serang, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogjakarta, Jawa
Timur, dan Sulawesi. Sebagian besar daerah endemik terdapat di Pulau Jawa, yaitu
Jawa Tengah (32 kabupaten), Jawa Timur (27 kabupaten), Jawa Barat (19
kabupaten), dan Serang (6 kabupaten).
WBC dapat berkembang biak secara cepat dan dapat menghabiskan makanan
dengan cara mengisap cairan tanaman dalam waktu singkat karena WBC termasuk
serangga hama berstrategi-r yang mempunyai ciri (a) serangga kecil yang cepat
menemukan habitatnya, (b) berkembang biak dengan cepat dan mampu
mempergunakan sumber daya dengan baik sebelum serangga lain ikut
berkompetisi, (c) mempunyai sifat menyebar dengan cepat ke habitat baru sebelum
habitat lama tidak berguna. Menurut Baehaki (1984), laju pertumbuhan intrinsik (r)
WBC adalah 0.013, yang berarti satu ekor betina WBC dapat menghasilkan
keturunan sebanyak 1353 ekor dalam 70 hari atau sebanyak 10 615 ekor dalam 3
bulan.
Karakter strategi-r WBC membuat hama ini cepat berubah biotipe dan menjadi
resisten terhadap insektisida. Soemawinata dan Soemartono (1986) menyatakan
bahwa WBC adalah serangga yang plastis, mudah beradaptasi pada keadaan baru.
Pembentukan biotipe baru dapat terjadi dengan mudah pada serangga yang siklus
hidupnya pendek dan tanaman inangnya menggunakan antibiosis sebagai strategi
pertahanan utama. Antibiosis akan menyebabkan kematian yang tinggi pada
serangga hama, yang merupakan tekanan seleksi populasi. Pembentukan biotipe
sebenarnya adalah mekanisme pertahanan alami serangga hama. Sejak pertama kali
dikendalikan dengan varietas tahan, WBC relatif cepat berdaptasi terhadap varietas
tahan tersebut. Adaptasi ini memunculkan biotipe baru, populasi awal WBC
sebelum penggunaan varietas tahan disebut biotipe 1, populasi yang virulen
terhadap gen WBC 1 (berhasil berkembang pada varietas tahan pertama disebut
WBC biotipe 2), dan populasi WBC yang virulen terhadap gen WBC 2 (berhasil
berkembang pada varietas tahan kedua) disebut biotipe 3. Sejak varietas tahan
digunakan pertama kali pada tahun 1975 sampai sekarang, WBC di Indramayu,
Cirebon, Demak, Pati, Lamongan, dan Tuban telah mencapai biotipe 3 (Baehaki
2
dan Munawar 2007). Pelemahan kerja insektisida terjadi dengan mekanisme yang
serupa dengan pembentukan biotipe baru. Tekanan seleksi karena insektisida sering
disebabkan ketidaktepatan penggunaan insektisida oleh petani. Hal tersebut akan
memicu terjadinya penurunan kerentanan WBC terhadap insektisida.
Secara umum serangan WBC lebih dominan terjadi pada musim hujan,
sedangkan pada musim kemarau serangannya terjadi di daerah-daerah yang sering
hujan. Populasi WBC cepat meningkat pada kelembapan tinggi (70%-80%), suhu
siang hari optimum (28-30 °C), intensitas cahaya matahari rendah, pemupukan N
tinggi, tanaman rimbun, lahan basah, angin lemah. Faktor lain yang memengaruhi
perkembangan populasi WBC di lapangan adalah ketahanan varietas padi yang
digunakan, pola tanam padi-padi-padi (faktor ketersediaan air), keberadaan musuh
alami (parasitoid, predator dan patogen), penggunaan pestisida yang tidak
memenuhi kaidah enam tepat (tepat jenis, sasaran, waktu, dosis, cara, dan tempat).
Selain itu penanaman varietas berdaya hasil tinggi (high-yielding variety) memicu
penggunaan pupuk nitrogen yang berlebihan. Praktik ini dikombinasikan dengan
penggunaan insektisida yang kurang bijaksana dapat menyebabkan ketidakstabilan
populasi WBC dan sering terjadi ledakan populasi WBC (Lu dan Heong 2009).
Serangan WBC sangat dipengaruhi oleh anomali iklim. Puncak serangan pada
tahun 1998 di Jawa Barat terjadi pada saat La Nina yang didahului oleh El Nino
yang sangat kuat pada tahun 1997. Beratnya serangan WBC dipengaruhi oleh
polimorfisme serangga ini. Serangga dewasa akan mempunyai sayap panjang
(makroptera) bila makanan atau ruang sudah tidak mencukupi untuk perkembangan
populasi. Apabila makanan atau ruang masih mencukupi, serangga dewasa yang
terbentuk akan mempunyai sayap pendek (brakiptera). Sawada et al. (1992)
menyatakan sering terjadi populasi tumpang tindih di lapangan karena adanya
migrasi WBC makroptera. Hal ini disebabkan oleh preferensi imago WBC
makroptera pada tanaman padi muda.
Sejak tahun 1970 ledakan populasi WBC terjadi di beberapa negara di Asia
Tenggara, yang diduga sebagai dampak dari Revulosi Hijau (Green Revolution).
Negara-negara Indochina menggunakan insektisida yang berbahan aktif
neonikotinoid dan fenilpirazol untuk mengendalikan WBC sejak tahun 1990-an.
Penggunaan insektisida yang kurang tepat memicu terjadinya resistensi dan ledakan
populasi. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan populasi WBC yang sangat besar
dan terus berlanjut pada 3 tahun berikutnya di Jepang. Ledakan populasi tidak
hanya terjadi di Jepang, tetapi juga di Cina dan Vietnam. Ledakan populasi tersebut
terjadi karena berkembangnya resistensi populasi WBC terhadap insektisida
berbahan aktif imidakloprid (Matsumura dan Morimura 2010). Di Indonesia, tidak
banyak data mengenai resistensi populasi WBC terhadap insektisida tertentu,
walaupun ledakan populasi WBC sering terjadi. Setelah tahun 1980-an terjadi
ledakan populasi WBC yang ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Inpres Nomor
3 Tahun 1986 tentang peningkatan pengendalian hama WBC. Ledakan populasi
WBC terjadi beberapa kali di tahun-tahun berikutnya.
Secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa penyemprotan pestisida yang tidak tepat
dosis dan konsentrasi dapat mendorong terjadinya resistensi dan resurjenisi WBC
yang berakibat meningkatnya populasi WBC lebih cepat dibandingkan dengan
sebelum dilakukan penyemprotan. Hal ini mendasari pemilihan insektisida uji pada
penelitian ini, yaitu imidakloprid, BPMC, dan pimetrozin yang merupakan
insektisida yang terdaftar untuk mengendalikan WBC. Insektisida berbahan aktif
3
imidakloprid termasuk golongang neonikotinoid, yang telah diketahui dapat
menyebabkan terjadinya resistensi di beberapa negara Asia dan mulai
diperdagangkan di Indonesia sejak tahun 1994. Insektisida berbahan aktif BPMC
merupakan insektisida yang dianjurkan oleh pemerintah untuk pengendalian hama
WBC dan mulai diperdagangkan di Indonesia sejak tahun 1999. Sedangkan
pimetrozin merupakan insektisida untuk pengendalian WBC yang baru
diperdagangkan di Indonesia sejak tahun 2009 (Ditjen PSP 2013).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan informasi mengenai
kerentanan populasi hama wereng batang cokelat dari enam lokasi di Pulau Jawa
terhadap tiga jenis insektisida yang sering digunakan oleh petani serta informasi
mengenai penggunaan insektisida di daerah tersebut.
Manfaat Penelitian
Informasi yang didapatkan dari penelitian ini dapat digunakan untuk
menghasilkan rekomendasi penggunaan insektisida pengendali hama wereng
batang cokelat secara spesifik lokasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Wereng Batang Cokelat
Taksonomi
Nilaparvata lugens Stål termasuk dalam ordo Hemiptera, subordo
Auchenorrhynca, superfamili Fulgoroidea, famili Delphacidae (Mochida dan
Okada 1979). Dua genus dari famili Delphacidae yang menjadi hama penting di
Indonesia adalah Nilaparvata dan Sogatella, dan spesiesnya adalah Nilaparvata
lugens Stål atau wereng batang cokelat (WBC) dan Sogatella furcifera (Horváth)
atau wereng punggung putih. (Wilson dan Claridge 1990). Kedua spesies ini sering
ditemukan bersamaan pada tanaman padi.
Bioekologi
Wereng batang cokelat merupakan hama utama pada pertanaman padi irigasi
teknis, tetapi juga menyerang tanaman padi tadah hujan dan sangat jarang
ditemukan pada sawah di daerah dataran tinggi (Reissig et al. 1986). Serangga ini
awalnya bukan merupakan hama penting di Indonesia, namun sejak tahun 1970
WBC statusnya berubah menjadi hama penting pertanaman padi di Indonesia
(Kalshoven 1981). Sejak saat itu Indonesia telah mengalami ledakan populasi WBC
sebagai akibat dari beberapa hal, yaitu penanaman padi sepanjang tahun,
penggunaan varietas rentan, dan kurangnya pengendalian gulma. WBC adalah
serangga dengan metamorfosis tidak sempurna (paurometabola), yang dalam satu
generasi akan melewati fase telur, nimfa, dan serangga dewasa. Serangga dewasa
mempunyai dua bentuk sayap, yaitu bersayap panjang (makroptera) dan bersayap
pendek (brakiptera) (Subroto et al. 1992b).
Hama ini tersebar di Asia, Australia, dan Kepulauan Pasifik. Di benua Asia
serangga ini dapat ditemukan di Bangladesh, Brunei, Myanmar, Cina, Hongkong,
India, Indonesia, Jepang, Kamboja, Korea, Laos, Malaysia, Nepal, Pakistan,
Filipina, Singapura, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Di Australia dan
Kepulauan Pasifik serangga ini dapat ditemukan di Kepulauan Karolina, Fiji,
Kepulauan Mariana, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon (Reissig et al. 1986).
WBC tidak ditemukan di benua Amerika dan Afrika.
WBC mengisap cairan pada jaringan floem dan menutup pembuluh tanaman.
Nimfa instar awal makan sedikit dan mengakibatkan kerusakan yang sedikit, nimfa
instar lanjut dan serangga dewasa makan lebih banyak tetapi hanya akan
menyebabkan kerusakan jika populasinya tinggi. Tanaman dirusak melalui
pengisapan nutrisi sehingga mengurangi hasil dan dapat mematikan tanaman.
Kerusakan lebih berat biasanya terjadi pada musim hujan, karena stomata menutup
dan terjadi pengurangan fotosintesis. Kerusakan berat akibat serangan WBC terlihat
seperti gejala terbakar atau biasa disebut hopperburn (Gallagher 1991). Gejalanya
secara umum mirip penuaan, termasuk di dalamnya adalah tepi daun menggulung
(termasuk pada tanaman muda), klorosis daun (warna daun berubah menjadi
kekuningan), diikuti dengan terkulainya daun, dan tanaman menjadi kerdil yang
disebabkan oleh berkurangnya laju pertumbuhan daun (Backus et al. 2005).
Selain kerusakan langsung akibat aktivitas makan, WBC juga menimbulkan
kerusakan tidak langsung karena menjadi vektor virus kerdil rumput (grassy stunt)
dan kerdil hampa (ragged stunt). WBC menularkan rice grassy stunt virus (RGSV)
5
dan rice ragged stunted virus (RRSV) secara persisten tetapi tidak bersifat
transovarial. Tanaman padi yang terinfeksi RGSV menunjukkan gejala kerdil dan
jumlah anakannya menjadi banyak, daunnya menjadi kaku dan kecil, terkadang
menunjukkan klorosis antartulang daun. Tanaman padi yang terinfeksi RRSV
menunjukkan gejala kerdil, daun tidak normal dengan pinggiran bergerigi dan
menggulung, dan pembengkakan vena (terbentuk puru) pada bagian bawah
seludang daun (Cabauatan et al. 2009). Pada beberapa varietas, daun yang masih
muda menunjukkan gejala titik-titik atau bergaris, tetapi daun akan tetap terlihat
hijau jika diberi pupuk nitrogen yang cukup. Penghambatan tumbuh akibat
serangan virus dapat mencapai 55% (Ling 1977). Kedua virus tersebut hanya
menjadi masalah serius pada tempat dengan populasi WBC tinggi (Gallagher 1991).
WBC meletakkan telur dalam jaringan tanaman pada seludang daun dan helai
daun. Pada helai daun telur biasanya diletakkan pada tulang daun, terutama bagian
pangkal. Telur diletakkan berkelompok, tersusun mirip buah pisang dalam satu
sisir. Bentuk telur dan susunan telur WBC dan wereng punggung putih sangat sulit
dibedakan satu sama lain (Baco 1984). Satu kelompok telur terdiri atas 4–10 butir
telur. Satu serangga dewasa betina dapat meletakkan telur sebanyak 100–500 butir
bergantung pada fase pertumbuhan tanaman padi, dengan rata-rata tertinggi 243.7
butir pada tanaman yang berumur 70 hari (Baco 1984). Penetasan biasanya terjadi
pada pagi hari, secara bersamaan dalam satu kelompok. Periode inkubasi telur
selama 8–9 hari (Kalshoven 1981). Suhu lingkungan memengaruhi lamanya
stadium telur, yaitu rata-rata 10 hari pada suhu 30 °C dan dapat mencapai 50 hari
pada suhu 10 ºC. Telur WBC sangat sensitif terhadap desikasi dan akan mengerut
bila tanaman inangnya layu. Telur bertambah panjang sampai 15% selama masa
embrio, diduga karena mengisap air (Wilson dan Claridge 1990). Di daerah tropis,
masa inkubasi telur berkisar 7–11 hari (Subroto et al. 1992b).
Fase nimfa WBC terdiri atas lima instar. Instar awal tidak dapat dibedakan
antara nimfa wereng batang cokelat dan wereng punggung putih. Nimfa kedua
spesies wereng tersebut mulai dapat dibedakan pada instar 3. Lamanya
perkembangan nimfa bervariasi antara 9 dan 15 hari (Baco 1984; Subroto et al.
1992b). Seperti halnya telur, lama perkembangan nimfa juga bervariasi bergantung
pada suhu lingkungan mulai 15 hari pada 30 ºC sampai 70 hari pada 10 ºC (Wilson
dan Claridge 1990). Nimfa yang baru keluar tidak banyak bergerak, setelah ganti
kulit baru berpindah tempat. Nimfa lebih menyukai tanaman padi berumur 24 hari
setelah tanam (HST) dan 70 HST dibandingkan dengan tanaman padi 100 HST,
yang menunjukkan bahwa nimfa WBC lebih menyukai tanaman muda. Nimfa
WBC lebih memilih melakukan aktivitas makan pada seludang daun daripada helai
daun. Embun madu yang dihasilkan tidak berbeda pada berbagai umur tanaman
padi yang berbeda. Rata-rata periode makan nimfa WBC adalah 1 jam (Baco 1984).
Nimfa biasanya terdapat pada pangkal batang tanaman padi (Subroto et al. 1992b).
Serangga dewasa biasanya muncul pada pagi hari dan sayapnya langsung
menjadi aktif walaupun organ reproduksinya belum matang (Kisimoto 1977). Baik
serangga dewasa jantan maupun betina dapat membentuk makroptera dan
brakiptera (Baco 1984). Sayap depan serangga dewasa WBC berwarna cokelat
transparan dengan warna cokelat gelap pada pembuluh sayapnya. Serangga dewasa
jantan makroptera berukuran 3.7-4.1 mm, sedangkan serangga betinanya berukuran
4.1-5.0 mm. Ukuran serangga dewasa jantan brakiptera adalah 2.4-2.8 mm,
sedangkan serangga dewasa betinanya berukuran 2.8-3.3 mm (Wilson dan Claridge
6
1990). Lama hidup serangga dewasa makroptera jantan adalah 8-9 hari dan
serangga dewasa makroptera betina selama 11-12 hari (Kalshoven 1981). Menurut
Subroto et al. (1992a), serangga jantan yang berbentuk makroptera berukuran 2.67
± 0.16 mm dan yang berbentuk brakiptera 2.94 ± 0.29 mm, secara keseluruhan
berwarna cokelat tua. Betina makroptera berukuran 3.32 ± 0.253 mm dan yang
berbentuk brakiptera 3.39 ± 0.22 mm, pada umumnya berwarna cokelat muda. Pada
tanaman berumur 40 hari pembentukan makroptera sangat dipengaruhi oleh
kepadatan populasi induk.
Nisbah kelamin serangga dewasa bergantung pada umur tanaman padi, makin
tua umur tanaman padi makin tinggi persentase betina. Pada tanaman padi 53 HST,
nisbah kelamin serangga dewasa (jantan:betina) adalah 1:1, pada tanaman padi 27
HST 1:2, sedangkan pada tanaman padi 81 HST 1:3. Mekanisme penyebab
perbedaan nisbah kelamin serangga dewasa WBC pada tanaman padi dengan umur
berbeda sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Kematangan seksual tercapai pada
1-3 hari serangga dewasa terbentuk, dengan rata-rata 1.56 hari. Periode
prapeneluran, waktu dari kemunculan serangga dewasa sampai bertelur, adalah 24 hari, dengan rata-rata 2.27 hari (Baco 1984). Perkawinan terjadi setelah organ
reproduksi matang, akan tetapi tidak ada bukti yang jelas mengenai hubungan
antara kedua bentuk serangga dewasa dengan kemampuan kopulasi mereka.
Serangga dewasa WBC dapat berkopulasi maksimal sebanyak enam kali/hari dan
sebanyak 21 kali sepanjang hidupnya. Serangga dewasa jantan dapat berkopulasi
dengan maksimum sembilan serangga dewasa betina dalam jangka waktu 24 jam
dan serangga dewasa betina dapat berkopulasi lebih dari dua kali selama masa
hidupnya (Mochida dan Okada 1979).
Analisis kepadatan WBC di wilayah udara daerah yang terserang parah
menunjukkan dua puncak kepadatan penerbangan yaitu pada pagi dan sore hari.
Intensitas cahaya tampaknya menjadi faktor yang sangat memengaruhi kegiatan
penerbangan serangga dewasa WBC. Pada suhu di atas 20 ºC, WBC terbang pada
intensitas cahaya 1-200 lux dengan maksimum 100 lux, akan tetapi ketika suhu
pada pagi hari adalah 13 ºC, tidak ada serangga dewasa WBC yang terbang.
Penerbangan pada sore hari ditemukan pada intensitas cahaya 50-4000 lux. Selama
awal musim kemarau, ketika cuaca tidak menentu, imigrasi terjadi pada saat siang
hari. Di laboratorium, nimfa yang dipelihara di dalam tabung reaksi dengan pakan
bibit padi yang masih sangat muda, pada populasi rendah, semua serangga dewasa
betina yang keluar berbentuk brakiptera, sedangkan serangga dewasa jantan
berbentuk makroptera. Seiring meningkatnya kepadatan populasi, persentase
kemunculan serangga dewasa betina makroptera meningkat mencapai hampir
100% (pada kepadatan 20 individu/tabung reaksi). Serangga dewasa jantan bentuk
brakiptera terlihat pada kepadatan populasi menengah. Pada kepadatan populasi
yang lebih tinggi, serangga dewasa jantan kembali membentuk makroptera, sejalan
dengan serangga dewasa betina. Kemunculan bentuk brakiptera dipercepat dengan
seringnya perubahan makanan dan habitat. Kemunculan ini juga dipengaruhi oleh
singkatnya fotoperiode, yaitu 8 jam hari terang/hari, tetapi kemunculan serangga
dewasa jantan brakiptera tidak dipengaruhi oleh fakor ini (Kisimoto 1977).
Insektisida Uji
Imidakloprid
Imidakloprid (Gambar 1) merupakan insektisida dari golongan neonikotinoid
(4A) yang pertama kali ditemukan oleh Shell Development Company di Kalifornia
7
pada tahun 1970, dimodifikasi dari senyawa nikotin. Insektisida tersebut memilliki
aktivitas sedang terhadap lalat rumah dan kutu daun. Pengembangan lebih lanjut
dilakukan oleh Nihon Tokushu Noyaku Seizo di Jepang (sekarang menjadi Bayer
Crop Science Japan) sehingga dapat mengendalikan wereng hijau pada padi, akan
tetapi masih belum stabil bila terkena pajanan cahaya matahari sehingga belum
dapat digunakan secara luas dalam perlindungan tanaman. Penelitian lebih lanjut
untuk menstabilkan struktur kimia di bawah pajanan matahari dilakukan dengan
mengganti gugus imidazolidin dengan tiazolidin atau oksadiazinan atau padanan
nonsiklik (acyclic counterpart), dan kloropiridinilmetil dengan klorotiazolilmetil
atau tetrahidrofuranmetil. Perubahan nitrometilen menjadi nitroguanidin atau
sianoamidin membuat senyawa ini menjadi fotostabil. Beberapa bahan aktif yang
termasuk dalam golongan neonikotinoid ini masing-masing memperoleh paten
pada tahun 1977 nitiazin heterosiklik, imidakloprid (1985), tiakloprid (1985),
tiametoksam (1992); dan nitenpiram nonsiklik (1988), asetamiprid (1989),
klotianidin (1989), dan dinotefuran (1994). Bahan aktif dari golongan
neonikotinoid ini bersifat sistemik pada tanaman, mempunyai efek kontak yang
lemah terhadap larva Lepidoptera, dan bekerja sebagai agonis reseptor asetilkolin
(nAChR) (Tomizawa dan Casida 2004). Di Indonesia insektisida imidakloprid
sudah terdaftar untuk mengendalikan kutudaun, belalang, wereng kapas, rayap
tanah, hama thrip, wereng mangga, wereng batang cokelat, dan pengisap daun
(Ditjen PSP 2013).
Gambar 1 Struktur kimia imidakloprid (Tomlin 2006)
BPMC
BPMC (Gambar 2) dikenal juga dengan nama fenobukarb merupakan
insektisida dari golongan karbamat (1A, IRAC). Fenobukarb merupakan insektisida
non sistemik dan masuk ke dalam tubuh serangga dengan cara kontak. Fenobukarb
tidak mudah terdegradasi oleh cahaya matahari tetapi akan terhidrolisis oleh asam
(Tomlin 2006). Insektisida ini bekerja dalam sistem saraf serangga, sebagai
penghambat kerja enzim asetilkolinesterase dalam menguraikan asetilkolin di celah
sinapsis sistem saraf pusat (IRAC 2015).
8
Gambar 2 Struktur kimia BPMC (Tomlin 2006)
Di Indonesia insektisida BPMC sudah terdaftar untuk mengendalikan belalang,
pengisap buah, wereng batang cokelat, wereng hijau, wereng punggung putih, dan
walang sangit (Ditjen PSP 2013).
Pimetrozin
Pimetrozin (Gambar 3) adalah insektisida yang ditemukan dan dikembangkan
oleh CIBA, pertama kali disintesis pada akhir tahun 1986. Insektisida tersebut
dikelompokkan dalam golongan 9B, yaitu sebagai racun saraf yang menghambat
aktivitas makan serangga Homoptera (IRAC 2015).
Insektisida ini tidak mempunyai efek knockdown, tetapi bekerja dengan cepat
mengendalikan serangga pengisap dengan cara menghambat aktivitas makan.
Setelah aplikasi pimetrozin, baik secara topical maupun melalui makanan, stilet
serangga tersebut segera berhenti memenetrasi tanaman. Serangga tersebut akan
mati beberapa hari kemudian, kemungkinan karena kelaparan. Blokade stilet
tersebut berlangsung beberapa jam setelah serangga terpajan pimetrozin dan
bersifat tidak dapat balik (irreversible). Pimetrozin tidak mempunyai efek repelen
dan bekerja di dalam sistem saraf serangga. Di Indonesia, insektisida pimetrozin ini
terdaftar untuk mengendalikan kutu kebul, walang sangit, wereng batang cokelat,
wereng punggung putih, wereng hijau, dan kepinding tanah (Ditjen PSP 2013).
Gambar 3 Struktur kimia pimetrozin (Tomlin 2006)
Cara kerja pimetrozin di dalam sistem saraf serangga sampai saat ini masih
belum diketahui dengan pasti. Kematian serangga akibat perlakuan pimetrozin
lebih lambat dibandingkan serangga yang dilaparkan. Data electrical penetration
graph menunjukkan pimetrozin secara signifikan meningkatkan periode non-
9
probing dan menghambat pengisapan floem. Penghambatan tersebut berbanding
lurus dengan dosis perlakuan, serangga berhenti mengisap floem pada konsentrasi
400 mg/L. Jadi pimetrozin menggangu perilaku makan serangga utamanya dengan
meningkatkan non-probe period dan menghambat pengisapan floem yang
kemudian menyebabkan kematian karena kelaparan (He et al. 2011).
Resistensi terhadap Insektisda
Status Resistensi WBC terhadap Insektisida
Resistensi adalah berkurangnya kerentanan hama terhadap suatu bahan aktif.
Indikasi awal di lapangan dapat dilihat dari terjadinya kegagalan pengendalian
hama sasaran walaupun penggunaan insektisida sudah sesuai anjuran yang
tercantum di label (IRAC 2014).
Laporan tertulis mengenai masalah resistensi WBC terhadap insektisida di
Indonesia masih sangat terbatas, walaupun tanda-tanda resistensi di lapangan sering
dijumpai. Strain WBC yang berasal dari Bandung dan Karawang telah resisten
terhadap diazinon, BPMC, dan MIPC tetapi belum resisten terhadap buprofezin.
Strain WBC dari Bogor telah resisten terhadap BPMC dengan nisbah resistensi 5.08
tetapi belum resisten terhadap diazinon, MIPC, dan buprofezin ditunjukkan dengan
nisbah resistensi terhadap ketiga bahan aktif tersebut 3.56, 3.39, dan 0.91. Strain
WBC dari Tasikmalaya belum resisten terhadap diazinon, BPMC, MIPC, dan
buprofezin dengan nisbah resistensi 2.75, 2.71, 3.18, dan 0.90. WBC dari Bandung
dan Karawang menunjukkan kondisi yang sama, resisten terhadap tiga jenis
insektisida yaitu diazinon dengan nisbah resistensi 55.42 dan 6.57, BPMC dengan
nisbah resistensi 7.82 dan 6.14, MIPC dengan nisbah resistensi 14.63 dan 9.51.
Strain WBC dari Bandung dan Karawang belum menunjukkan resistensi terhadap
insektisida buprofezin dengan nisbah resistensi 0.72 dan 1.80 (Soemawinata et al.
1991). Hasil pengujian Soemawinata et al. (1994) di lapangan menunjukkan telah
terjadi resistensi WBC dari 4 lokasi (Subang, Indramayu, Purworejo, dan
Magelang) terhadap pestisida karbofuran dengan nisbah resistensi 11.0 – 18.6 akan
tetapi belum menunjukkan resistensi terhadap insektisida berbahan aktif BPMC dan
MIPC.
Pada tahun 2005, WBC di Cina telah menunjukkan resistensi terhadap
insektisida berbahan aktif imidakloprid sebesar 200–799 kali dibanding dengan
strain rentan. Setelah penggunaan insektisida tersebut dikurangi, tingkat
resistensinya turun menjadi 135–233 kali pada tahun 2007. Sementara populasi
yang terus-menerus diseleksi dengan imidakloprid di laboratorium tingkat
resistensinya meningkat dari 200 menjadi 1 298 kali dalam 23 generasi. Bila seleksi
dihentikan, tingkat resistensi turun dari 759 menjadi 114 kali dalam 17 generasi.
Setelah itu tingkat resistensi menjadi stabil dan tidak mengalami penurunan. Hasil
yang serupa didapatkan dalam percobaan lain, dari 625 kali menjadi 105–129 kali
dan tidak mengalami perubahan lagi (Wang et al. 2009).
Penelitian di India dan Thailand juga telah melaporkan terjadinya resistensi
WBC terhadap beberapa bahan aktif insektisida. Di India, tingkat resistensi WBC
terhadap insektisida berbahan aktif imidakloprid 35.13 kali, terhadap tiametoksam
10.78 kali dan terhadap klotianidin 4.98 kali pada tahun 2006. Di Thailand,
resistensi WBC terhadap insektisida berbahan aktif imidakloprid meningkat dari 3
kali pada tahun 2002 menjadi 5.6 kali pada tahun 2006 (Catindig et al. 2009).
10
Imidakloprid merupakan insektisida yang umum digunakan di Cina, India, dan
Thailand untuk mengendalikan WBC. Penggunaan yang terus-menerus memicu
terjadinya resistensi WBC terhadap imidakloprid. Resistensi WBC terhadap
imidakloprid di Cina mencapai 79.1 sampai 81.1 kali pada tahun 2006, di India
35.13 kali, dan di Thailand 3 sampai 4.1 kali (Catindig et al. 2009).
Resistensi terhadap pimetrozin dilaporkan di Spanyol pada hama kutu kebul
(Bemisia tabaci) dengan NR 5.8-1900, di Cyprus dengan NR 92, di Guatemala
dengan NR 1100, di Mexico dengan NR 520, di Afrika Barat dengan NR 7.3-18
(Gorman et al. 2010) (Houndété 2010). Hama kutukebul Trialeuroides
vaporariorum dilaporkan sudah mengalamai resistensi terhadap pimetrozin di
negara Inggris, Spanyol, Turki, Cina, dan Jerman dengan NR 4.13-20.4.
Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Resistensi
Terjadinya resistensi merupakan konsekuensi dari proses evolusi karena dalam
suatu populasi terdapat keragaman genetika. Beberapa individu dalam populasi
hama dapat sintas dari aplikasi bahan kimia yang ditujukan untuk mengendalikan
hama tersebut karena memiliki perbedaan genetika. Perkembangbiakkan individu
yang sintas tersebut akan meningkatkan proporsi individu yang dapat bertahan
terhadap senyawa kimia yang digunakan dan menurunkan kerentanannya pada
generasi berikutnya. Mekanisme umum terjadinya resistensi adalah berkurangnya
kerentanan bagian sasaran (target site), detoksifikasi insektisida oleh enzim, dan
berkurangnya penetrasi insektisida menuju bagian sasaran (Georghiou dan Taylor
1986).
Faktor yang memengaruhi terjadinya resistensi pada populasi serangga adalah
intensitas seleksi, frekuensi gen resisten dalam suatu populasi, karakteristik gen
resisten (dominan atau resesif), dan dinamika reproduksi serangga (Heong et al.
2011). Menurut Georghiou dan Taylor (1986) ada 3 faktor yang mempengaruhi
resisitensi, yaitu faktor genetik, faktor bioekologi, dan faktor operasional.
Keberadaan alel resisten dalam suatu populasi yang seringkali besifat resesif.
Frekuensi alel resisten merupakan faktor penting untuk berkembang atau tidaknya
resistensi dalam suatu populasi. Seringkali frekuensi alel tersebut sangat rendah
sehingga tidak memungkinkan terbentuknya dominansi individu homozigot
resisten. Faktor bioekologi yang paling berpengaruh terhadap terbentuknya
resistensi adalah jumlah keturunan yang dihasilkan individu serangga. Semakin
banyak keturunan yang dihasilkan akan semakin cepat evolusi terjadinya resistensi
dalam suatu populasi. Selain itu preferensi pakan juga menjadi faktor bioekologi
yang mempengaruhi terbentuknya resistensi. Serangga polifag cenderung lebih
lambat menjadi resisten dibandingkan serangga monofag. Hal ini disebabkan oleh
dua hal yaitu pemaparan insektisida yang lebih rendah dibandingkan dengan
serangga monofag sehingga tekanan seleksinya lebih rendah dan adanya migrasi
individu yang tidak terpapar insektisida. Faktor operasional yang mempengaruhi
terjadinya resistensi dalam suatu populasi adalah penggunaan insektisida dan
semua hal yang bisa dikendalikan oleh manusia. Waktu aplikasi, dosis, dan
formulasi insektisida yang tepat akan menunda terjadinya resistensi karena
menghindarkan terbentuknya refugia yang kemudian walaupun ada migrasi
serangga datang individu resisten tidak akan menjadi dominan.
Resistensi dapat berkembang dengan cepat bila insektisida yang digunakan
selalu dari golongan dan cara kerja yang sama, mempunyai persistensi di
11
lingkungan yang lama, diaplikasikan dengan formulasi slow release, aplikasi selalu
dilakukan walaupun populasi WBC berada di bawah ambang kendali, seleksi terjadi
pada fase pra dewasa dan dewasa, aplikasi insektisida dilakukan secara terusmenerus pada area geografi yang luas sehingga terjadi seleksi pada setiap generasi
(Heong et al. 2011). Sampai saat ini masih belum jelas apakah pencampuran
insektisida dari bahan aktif berbeda ataukah pergiliran penggunaan insektisida yang
merupakan cara terbaik untuk mengelola resistensi, masih diperlukan penelitian
lebih lanjut mengenai hal tersebut (Georghiou dan Taylor 1986).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Stasiun Penelitian PT Syngenta Indonesia, Desa
Pangulah Baru, Kecamatan Cikampek, Kabupaten Karawang, dari Mei 2013
sampai Maret 2015.
Penyiapan Serangga Uji
Serangga uji yang digunakan terdiri atas dua kelompok. Kelompok pertama
merupakan populasi standar, sedangkan kelompok kedua merupakan populasi
lapangan yang diperoleh dari enam lokasi hot spot WBC. Populasi standar
diperoleh dari Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi (BB Padi) yang dipelihara
dalam keadaan bebas pestisida sejak tahun 1987.
Enam lokasi asal serangga uji adalah daerah endemik WBC di Pulau Jawa dan
diperkirakan petani di tempat tersebut menggunakan insektisida berbahan aktif
neonikotinoid untuk mengendalikan WBC dengan intensif (Tabel 1).
Tabel 1 Lokasi dan waktu pengambilan sampel WBC
Lokasi
Waktu pengambilan sampel
Desa Lebak Wangi, Kecamatan Pontang, Serang
30 Desember 2013
(6.035957LS, 106.258117BT)
Desa Sarijaya, Kecamatan Majalaya, Karawang
1 November 2013
(6.313118LS, 107.356749BT)
Desa Ciasem Tengah, Kecamatan Ciasem,
8 Januari 2014
Subang (6.330862LS, 107.691832BT)
Desa
Bangodua,
Kecamatan
Bangodua,
2 Maret 2014
Indramayu (6.513728LS, 108.290587BT)
Desa Kemangkon, Kecamatan Kemangkon,
8 April 2014
Purbalingga (7.459704LS, 109.363128BT)
Desa Latek, Kecamatan Bangil, Pasuruan
6 Februari 2014
(7.589043LS, 112.829314BT)
Wawancara dilakukan terhadap 10 orang petani di sekitar lokasi pengambilan
serangga uji. Informasi yang ingin didapatkan adalah nama dagang insektisida dan
dosis yang digunakan untuk mengendalikan WBC per musim tanam dalam 2–5
tahun terakhir.
Penyiapan Insektisida Uji dan Varietas Padi
Insektisida yang digunakan dalam penelitian ini adalah insektisida komersial
dengan bahan aktif BPMC (Baycarb 500 EC), imidakloprid (Confidor 200 SL), dan
pimetrozin (Plenum 50 WG). Varietas padi yang digunakan dalam pengujian ini
adalah Pelita, yang diketahui sangat rentan terhadap WBC.
13
Pengujian Kerentanan
Metode pengujian kerentanan serangga uji terhadap insektisida yang
digunakan adalah metode perlakuan pakan (metode residu pada tanaman) sesuai
dengan metode nomor 005 dari IRAC (2013). Pengujian dilakukan menggunakan
enam tingkat konsentrasi insektisida yang diharapkan mengakibatkan kematian
serangga uji dengan kisaran 0% < X < 100%. Konsentrasi tersebut ditentukan
berdasarkan uji pendahuluan. Konsentrasi sediaan insektisida dibuat dengan
mengencerkan formulasi insektisida uji pada volume tertentu dengan pengencer air.
Pada pengujian pimetrozin digunakan konsentrasi 0.0005, 0.005, 0.05, 0.5, 5, dan
50 ppm b.a, sedangkan konsentrasi uji untuk imidakloprid dan BPMC tercantum
pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2 Konsentrasi uji lan