Kandungan uap air dan stabilitas atmosfer sebagai prediktor kejadian badai guntur

KANDUNGAN UAP AIR DAN STABILITAS ATMOSFER
SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN BADAI GUNTUR

MARGARETTA PUSPASARI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kandungan Uap Air
dan Stabilitas Atmosfer sebagai Prediktor Kejadian Badai Guntur adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Margaretta Puspasari
NIM G24100018

ABSTRAK
MARGARETTA PUSPASARI. Kandungan Uap Air dan Stabilitas Atmosfer
sebagai Prediktor Kejadian Badai Guntur. Dibimbing oleh SOBRI EFFENDY.
Parameter atmosfer digunakan untuk memprediksi kejadian badai guntur
sehingga risiko yang ditimbulkan terutama pada bidang transportasi udara dapat
diminimalisir. Tujuan penelitian ini adalah mengamati fluktuasi dan
kecenderungan kejadian badai guntur berdasarkan kandungan uap air dan
stabilitas atmosfer. Kedua prediktor masing-masing diwakili oleh precipitable
water (PW) dan lifted index (LI) pada 00 dan 12 Universal Time Coordinated
(UTC). Hubungan prediktor dan kejadian badai guntur dianalisis dengan regresi
logistik. Badai guntur tahun 2005 sampai 2008 jarang terjadi pada malam hari
(pukul 19.00–03.00 Local Time (LT)), 37 hari dan bulan Juni sampai Agustus
(JJA), 64 hari. Nilai PW dan LI terbaik berdasarkan perhitungan True Skill
Statistic (TSS) untuk badai guntur periode JJA adalah 45.4 mm dan -1.7 (00 UTC),
53.4 mm dan -2.9 (12 UTC). Badai guntur cenderung meningkat saat PW

meningkat dan LI menurun. Model logit yang dibangun oleh PW dan LI dapat
memprediksi kejadian badai guntur pada pagi dan malam hari dengan akurasi
masing-masing sebesar 60% dan 57%. Badai guntur disebabkan oleh beberapa
parameter sehingga kurang dapat dijelaskan hanya dengan satu parameter.
Kata kunci: badai guntur, lifted index, precipitable water, regresi logistik,
stabilitas atmosfer

ABSTRACT
MARGARETTA PUSPASARI. Water Vapor Content and Atmospheric Stability
as Thunderstorm Predictors. Supervised by SOBRI EFFENDY.
Atmospheric parameters are used to predict thunderstorm so its risk
especially for air transportation can be minimized. The aim of this study is
observing fluctuation and tendency of thunderstorm case by considering water
vapor content and atmospheric stability. The both predictors were estimated
respectively by precipitable water (PW) and lifted index (LI) value at 00 and 12
Universal Time Coordinated (UTC). The relationship between predictors and
thunderstorm event was analyzed by logistic regression. Thunderstorm event from
2005 to 2008 rarely happened at night (19.00–03.00 Local Time (LT)), 37 days
and at June to August (JJA), 64 days. The best value of PW and LI with True Skill
Statistic (TSS) calculation for thunderstorm event at JJA are 45.4 mm and -1.7 (00

UTC), 53.4 mm and -2.9 (12 UTC). Thunderstorm activity nominally increased
with increasing PW and decreasing LI. The logit models with PW and LI as
predictors could predict thunderstorm event at morning and night with 60% and
57% of accuracy respectively. Thunderstorm probability is influenced by several
parameters therefore explanation by one parameter was poor.
Keywords: atmospheric stability, lifted index, logistic regression, precipitable
water, thunderstorm

KANDUNGAN UAP AIR DAN STABILITAS ATMOSFER
SEBAGAI PREDIKTOR KEJADIAN BADAI GUNTUR

MARGARETTA PUSPASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Kandungan Uap Air dan Stabilitas Atmosfer sebagai Prediktor
Kejadian Badai Guntur
Nama
: Margaretta Puspasari
NIM
: G24100018

Disetujui oleh

Dr Ir Sobri Effendy, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
kasih dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini adalah Kandungan
Uap Air dan Stabilitas Atmosfer sebagai Prediktor Kejadian Badai Guntur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sobri Effendy selaku
pembimbing yang telah memberi kritik dan saran sehingga karya tulis ini dapat
diselesaikan serta Bapak Dedi yang telah membantu dalam perolehan data cuaca
bandara. Di samping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh
dosen dan staf departemen GFM. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman GFM 47 terutama teman “sepermainan” yang terus memberi
dukungan dan semangat serta berbagi pengetahuan. Ungkapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Mama, adik, dan kakak serta seluruh kerabat keluarga
atas segala dukungan, kasih sayang, dan doa.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Juli 2014
Margaretta Puspasari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA
Badai Guntur

2

Stabilitas Atmosfer

2

Lifted Index (LI)

3

Precipitable Water (PW)


3

METODE
Bahan dan Alat

4

Prosedur Penelitian
Pengumpulan Data

4

Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Fluktuasi Kejadian Badai Guntur

6


Variasi Harian

6

Variasi Triwulan

7

Kecenderungan Potensi Badai Guntur
Badai Guntur terhadap Precipitable Water
Badai Guntur terhadap Lifted Index
Precipitable Water dan Lifted Index sebagai Prediktor

9
10
11

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan


13

Saran

14

DAFTAR PUSTAKA

14

LAMPIRAN

15

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL

1 Tabel kontingensi 2 x 2
2 Distribusi nilai precipitable water (PW) dan lifted index (LI) tiap 3
bulan
3 Nilai PW dan LI dengan TSS tertinggi tiap periode
4 Signifikansi model logit selang 3, 6, dan 9 jam (WIB)
5 Nagelkerke R2 pada model prediksi dari tiap selang waktu (WIB)

5
8
8
11
13

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

5

6

7

8

Diagram alir penelitian
Jumlah kejadian badai guntur tiap jam tahun 2005–2008
Akumulasi badai guntur per jam tiap 3 bulan
Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara
pukul 07.00–15.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang
precipitable water (mm) pukul 00 UTC periode 2005–2008
Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara
pukul 19.00–03.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang
precipitable water (mm) pukul 12 UTC periode 2005–2008
Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara
pukul 07.00-15.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang lifted
index pukul 00 UTC periode 2005–2008
Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara
pukul 19.00-03.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang lifted
index pukul 12 UTC periode 2005–2008
Peluang kejadian model prediksi pukul 13.00–15.00 (a), pukul 01.00–
03.00 WIB (b), pukul 07.00–15.00 (c), dan pukul 19.00–03.00 WIB (d)

6
7
7

9

9

10

10
12

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisis regresi logistik
2 Kurva penentu cut value untuk peluang model pukul 13.00–15.00 WIB
(a), 07.00–15.00 WIB (b), 01.00–03.00 WIB (c), dan 19.00–03.00 WIB
(d)
3 Akurasi model prediksi (model logit)
4 Contoh tampilan RAOB untuk profil vertikal suhu udara saat terjadi
badai guntur pukul 10.00 WIB tanggal 11 Maret
5 Contoh tampilan RAOB untuk profil vertikal suhu udara saat tidak
terjadi badai guntur pukul 10.00 WIB tanggal 8 Agustus

15

16
17
17
18

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Badai guntur terjadi hampir di seluruh daerah di muka Bumi. Daerah
beriklim sedang (temperate region) mengalami badai guntur yang cukup tinggi
terutama saat musim semi dan musim panas sedangkan daerah kutub jarang
mengalami badai guntur (Rafferty 2011). Daerah tropis dengan kondisi udara
yang hangat dan lembab berpotensi mengalami badai guntur. Badai guntur terjadi
di sepanjang Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) karena karakter udara di
wilayah ini lembab dan tidak stabil. Sistem tekanan rendah yang terbentuk di
ITCZ (5–23 °LU / LS) mendukung pertumbuhan awan kumulonimbus.
Badai guntur terjadi pada awan kumulonimbus sebagai penghasil kilat/petir.
Peristiwa petir sering terjadi di daerah tropis. Berdasarkan penelitian dengan
jaringan pendeteksi petir, densitas petir cloud to ground di daerah tropis
(23.5 °LU–23.5 °LS) lebih banyak daripada daerah beriklim sedang (Pinto et al.
2006). Pulau Jawa bagian barat memiliki aktivitas petir tertinggi selama Desember
1994 sampai November 1995 daripada Jawa bagian timur (Hidayat dan Ishii
1998) dengan keragaman musiman tertinggi pada bulan November sampai April
(musim hujan). Aktivitas petir tertinggi, dipantau melalui satelit, dari tahun 1998
sampai 2007 terjadi di atas Danau Maracaibo, Venezuela (Albrecht et al. 2009).
Badai guntur yaitu kejadian kilat, guntur, hujan lebat, dan angin kencang
dapat membahayakan kegiatan penerbangan. Pergolakan udara serta perubahan
arah dan kecepatan angin secara tiba-tiba (wind shear) yang terjadi selama badai
guntur berlangsung dapat mempengaruhi pergerakan pesawat. Sambaran kilat
pada badan pesawat merusak sistem navigasi dan mesin pesawat. Hujan lebat
yang turun mengurangi jarak pandang pilot selama proses penerbangan. Setiap
gangguan dan kerusakan akibat aktivitas badai guntur yang mungkin terjadi
selama kegiatan penerbangan berlangsung akan mengancam keselamatan para
penumpang dan awak pesawat.
Potensi kejadian badai guntur dapat diprediksi melalui indeks stabilitas yang
diperoleh berdasarkan pengamatan rawinsonde. Distribusi vertikal dari suhu,
tekanan, kelembaban, dan angin digunakan untuk menghitung indeks stabilitas
seperti lifted index (LI), k-index (KI), dan severe weather threat index (SWEAT).
Haklander dan Delden (2003) menganalisis 32 indeks dari pengamatan
rawinsonde dan memperoleh hasil bahwa setiap indeks memiliki tingkat akurasi
berbeda dalam meramalkan kejadian badai guntur di Belanda. Penggunaan nilai
tiap indeks stabilitas juga tidak dapat disamakan untuk setiap daerah. Kriteria
interval nilai KI, SWEAT, dan total-totals index (TT) yang digunakan untuk
wilayah lintang tinggi tidak cocok untuk prakiraan di Stasiun Meteorologi
Cengkareng (Budiarti et al. 2012).
Analisis kejadian badai guntur dapat dilakukan dengan mengamati
parameter atmosfer melalui observasi udara atas. Hasil observasi udara atas
dianalisis melalui perangkat lunak Rawinsonde Observation (RAOB) sehingga
diperoleh parameter seperti LI dan precipitable water (PW). Penelitian
Mayangwulan et al. (2011) menunjukkan bahwa peluang kejadian badai guntur di
Biak berkorelasi positif dengan nilai PW. Pemanfaatan kemampuan indeks

2
tersebut dalam meramalkan kejadian badai guntur merupakan langkah awal
antisipasi untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi terutama untuk sektor
transportasi udara. Hasil penelitian yang dilakukan ini dapat meningkatkan
kemampuan prakirawan dalam memprediksi kejadian badai guntur melalui
penggunaan parameter atmosfer yang tepat pada suatu wilayah kajian.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengamati fluktuasi dan kecenderungan kejadian
badai guntur berdasarkan parameter kandungan uap air dan stabilitas atmosfer.

TINJAUAN PUSTAKA
Badai Guntur
Badai guntur identik dengan pembentukan awan kumulonimbus yang
menghasilkan kilat dan guntur. Ketinggian awan kumulonimbus dapat mencapai
10 km dari permukaan tanah (Ahrens 2000; Rafferty 2011) sehingga bagian atas
dan bawah awan berada dalam suhu yang berbeda. Perbedaan suhu tersebut
menyebabkan perbedaan muatan listrik di dalam awan. Pembebasan muatan listrik
selama aktivitas badai guntur berlangsung disebut kilat. Rafferty (2011)
menyatakan bahwa tingginya suhu yang dihasilkan kilat membuat udara memuai
atau mengembang dengan cepat sehingga menghasilkan gelombang suara yang
dikenal sebagai guntur.
Badai guntur berpotensi terjadi saat kondisi udara hangat dan lembab pada
atmosfer tidak stabil. Suhu kantong udara lebih tinggi daripada udara di lapisan
atas sehingga kantong udara terangkat ke atas. Uap air yang terbawa selama
pengangkatan terkondensasi pada ketinggian tertentu yang disebut Lifting
Condensation Level (LCL) dan mulai membentuk awan kumulus.
Pengangkatan massa udara ke atas seiring dengan pembentukan awan
kumulus merupakan fase awal terjadinya badai guntur. Awan kumulus terus
bertumbuh menjadi awan kumulonimbus yang memiliki landasan pada bagian
atas awan dan berwarna gelap pada bagian bawah awan (Rafferty 2011). Selama
proses pertumbuhan awan tersebut, titik air atau es akan terakumulasi dan jatuh ke
permukaan bumi sebagai presipitasi. Peristiwa presipitasi merupakan pertanda
mulainya fase kedua badai guntur atau dikenal sebagai fase pematangan. Kejadian
kilat semakin intensif dibandingkan pada fase awal. Intensitas presipitasi perlahan
berkurang dan massa awan meluruh melalui evaporasi sehingga dikenal sebagai
fase peluruhan. Ketiga fase tersebut merupakan ringkasan siklus badai guntur.

Stabilitas Atmosfer
Stabilitas udara ditentukan oleh nilai perubahan suhu terhadap ketinggian
(lapse rate) lingkungan (ELR / Environmental Lapse Rate) dan adiabatik kering
(DALR / Dry Adiabatic Lapse Rate) serta terbagi atas 3 macam yaitu stabil, netral,

3
dan tidak stabil (Ahrens 2000). Kondisi atmosfer tidak stabil terjadi saat nilai ELR
lebih besar daripada DALR. Pergerakan kantong udara yang mengikuti DALR
cenderung menuju ke atas karena pada ketinggian tertentu suhu kantong udara
lebih besar daripada suhu lingkungan. Gerakan ke atas tersebut berlangsung lama
dan semakin kuat. Pada kondisi stabil yaitu nilai ELR lebih kecil daripada DALR,
pergerakan kantong udara ke atas tidak berlangsung lama dan menuju ke bawah /
turun karena suhu kantong udara lebih rendah daripada suhu lingkungan. Kondisi
tanpa ada pergerakan kantong udara terjadi pada kondisi netral yaitu saat nilai
ELR sama dengan DALR karena suhu kantong udara dan lingkungan adalah sama.
Mekanisme ketidakstabilan atmosfer secara sederhana dapat diterangkan
melalui proses pemanasan permukaan bumi. Pemanasan permukaan bumi oleh
radiasi matahari menyebabkan perbedaan suhu antara lapisan udara dekat
permukaan dengan lapisan udara atas. Udara dekat permukaan menjadi lebih
hangat dan ringan sehingga terjadi pergerakan vertikal ke atas. Ketidakstabilan
juga dipengaruhi oleh topografi seperti daerah berbukit (Rafferty 2011). Gunung
sebagai penghalang dapat memaksa udara bergerak ke atas.

Lifted Index (LI)
Lifted index merupakan indeks pendugaan stabilitas atmosfer berdasarkan
perbedaan suhu kantong udara yang bergerak naik secara adiabatik basah ke
ketinggian 500 mb (milibar) dengan suhu lingkungan pada ketinggian 500 mb
(Haklander & Delden 2003). Nilai LI dihitung dalam persamaan matematis
sebagai berikut.
LI = T500 – Tp500
T500 = Suhu lingkungan di ketinggian 500 mb
Tp500 = Suhu kantong udara di ketinggian 500 mb
Badai guntur terjadi pada atmosfer tidak stabil atau saat LI bernilai negatif
(Haklander & Delden 2003). Suhu kantong udara (T p500) lebih besar daripada suhu
lingkungan (T500) sehingga pertumbuhan awan kumulus menjadi awan
kumulonimbus terus berlangsung. Nilai LI lebih dari 2 menandakan kondisi stabil
sedangkan nilai LI lebih kecil dari -4 menunjukkan adanya aktivitas konveksi
(Jayakrishnan & Babu 2014).

Precipitable Water (PW)
Precipitable water merupakan indeks yang menunjukkan jumlah kandungan
uap air pada suatu kolom udara. Kandungan uap air berperan sebagai bahan
pembuat awan terutama awan konvektif atau kumulonimbus melalui proses
kondensasi. Peningkatan jumlah kandungan uap air terjadi pada daerah
konvergensi (Jayakrishnan & Babu 2014) sehingga peluang kejadian badai guntur
meningkat (Mayangwulan et al. 2011). Parameter PW yang dihasilkan oleh
RAOB disebut water dengan satuan sentimeter (cm) dan tidak menunjukkan
secara langsung jumlah presipitasi yang turun.
Kandungan uap air di atmosfer dipengaruhi oleh ketersediaan air, suhu,
tekanan, angin, dan sumber uap (Okstrifiani 2013). Masuknya uap air ke atmosfer

4
berasal dari peristiwa evaporasi dan transpirasi. Transpirasi merupakan bagian
dari proses fisiologis tumbuhan sedangkan evaporasi (penguapan) dapat berasal
dari daratan, badan air, maupun permukaan daun. Ketersediaan air berkontribusi
dalam peningkatan kandungan uap air di atmosfer suatu wilayah. Peningkatan
kandungan uap air juga dipengaruhi oleh suhu udara karena pemicu air menguap
adalah perbedaan suhu.

METODE
Penelitian dimulai dari bulan Februari hingga Juni 2014 di Laboratorium
Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan berupa data, antara lain:
1. Data observasi udara atas tahun 2005–2008 pukul 00 dan 12 UTC yang diambil
dari http://ready.arl.noaa.gov/READYamet.php.
2. Data kondisi cuaca harian Bandara Halim Perdanakusuma tahun 2005–2008.
Alat yang digunakan berupa seperangkat alat komputer dengan perangkat
lunak RAOB (Rawinsonde Observation), SPSS 17, Ms. Word, dan Ms. Excel.

Prosedur Penelitian
Pengumpulan Data
Data yang diambil dari situs NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Administration) merupakan data observasi udara atas untuk lokasi Bandara Halim
Perdanakusuma dengan kode 96747. Data diolah dengan RAOB sehingga
diperoleh nilai PW (precipitable water) dan LI (lifted index) yang masing-masing
mewakili parameter kandungan uap air dan stabilitas atmosfer. Nilai PW dan LI
ditabulasi dan dihubungkan dengan kondisi cuaca yang tercatat di bandara terkait.
Kondisi cuaca bernilai nol (0) jika selama 9 jam ke depan (07.00–15.00 dan
19.00–03.00 WIB) tidak ada aktivitas badai guntur dan angka satu (1) untuk
kondisi sebaliknya. Berikut adalah tahapan pengolahan data (Gambar 1).
Analisis Data
Kecenderungan kejadian badai guntur dilihat dari jumlah dan peluang
kejadian tiap interval nilai PW dan LI. Nilai PW dan LI dikelompokkan ke dalam
5 kelas (k). Range (R) atau panjang kelas merupakan hasil pengurangan antara
nilai tertinggi dan terendah. Interval (I) ditentukan berdasarkan persamaan berikut.
I=R/k
Kemampuan tiap nilai PW dan LI sebagai prediktor diduga dari perhitungan
TSS (True Skill Statistic) sehingga diperoleh suatu nilai ambang batas (threshold)
terbaik. Nilai TSS merupakan pengurangan persentase dari jumlah kejadian badai
guntur yang terprediksi dan jumlah bukan kejadian badai guntur yang tidak

5
terprediksi (Haklander & Delden 2003). Peningkatan PW meningkatkan potensi
terbentuknya awan kumulonimbus sedangkan penurunan nilai LI meningkatkan
ketidakstabilan sehingga badai guntur diprediksi terjadi saat lebih besar atau sama
dengan nilai ambang batas PW dan lebih kecil atau sama dengan nilai ambang
batas LI. Nilai TSS tertinggi menyatakan bahwa tercapainya suatu nilai PW atau
LI tertentu akan diikuti dengan tingginya dugaan badai guntur dalam waktu 9 jam
ke depan. Penentuan nilai TSS tertinggi didasarkan pada kriteria antara prediksi
dan observasi (Tabel 1) dengan persamaan matematis TSS sebagai berikut.
TSS = (h / (h + s)) - (f / (f + q))
Tabel 1 Tabel kontingensi 2 x 2
Kriteriaa
Prediksi
a

Terjadi (1)
Tidak Terjadi (0)
Total

Terjadi (1)
h
s
h+s

Observasi
Tidak Terjadi (0)
f
q
f+q

Total
h+f
s+q

Kriteria h (hits): prediksi kejadian badai guntur sesuai observasi; s (surprises): prediksi bukan
kejadian badai guntur tidak sesuai observasi; f (false alarms): prediksi kejadian badai guntur
tidak sesuai observasi; q (quiescent cases): prediksi bukan kejadian badai guntur sesuai observasi.

Hubungan antara nilai PW dan LI dengan badai guntur dianalisis melalui
metode regresi logistik. Metode statistika ini bertujuan menggambarkan
keterkaitan variabel bebas (x) dengan variabel terikat (y) yang berupa kategori
biner (Arfianto 2006) dalam persamaan model logit.
ln(p / (1 - p)) = a + b1·x1 + b2·x2 + ... + bi·xi
Variabel bi merupakan koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas (xi)
yang diperoleh melalui metode pendugaan kemungkinan maksimum (maximum
likelihood method). Nilai koefisien yang dihasilkan akan memaksimumkan
peluang. Variabel p merupakan peluang suatu kejadian dengan y benilai 1 atau 0.
Nilai (p / (1 - p)) menunjukkan kemungkinan (odds) sehingga jika odds bernilai
kurang dari 1, peluang suatu peristiwa untuk terjadi semakin kecil.
Proses analisis regresi logistik dilakukan dengan perangkat lunak SPSS 17.
Variabel bebas atau prediktor pada penelitian ini berupa data PW dan LI
sedangkan variabel terikat berupa kondisi cuaca. Variabel terikat bernilai 0 (tidak
ada badai guntur selama 3, 6, atau 9 jam ke depan) dan 1 (sebaliknya). Pengujian
model logit didasarkan pada hipotesis nol (H0) yaitu prediktor tidak berpengaruh
dalam model secara signifikan dan hipotesis alternatif (H1) yaitu kondisi
sebaliknya (Arfianto 2006). Pada tingkat kepercayaan 95%, H0 akan ditolak jika
nilai signifikansi model logit lebih kecil dari 0.05. Berdasarkan uji model (chisquare), nilai signifikansi (p-value) harus lebih kecil dari 0.05 yang berarti bahwa
keberadaan prediktor dalam model mempengaruhi prediksi badai guntur. Walau
demikian keberadaan prediktor harus menghasilkan pendugaan yang sesuai
dengan observasi. Oleh karena itu, melalui uji kebaikan (goodness of fit) dengan
uji Hosmer and Lemeshow nilai signifikansi model harus lebih besar dari 0.05
yang berarti hasil prediksi sesuai observasi.
Model logit yang diperoleh menghasilkan nilai peluang badai guntur dalam
kisaran 0 sampai 1 sehingga nilai tengah (0.5) berperan sebagai patokan. Badai
guntur dinyatakan terjadi jika nilai peluang lebih besar dari 0.5 dan sebaliknya.

6
Jika nilai peluang tertinggi model tidak bernilai 1, nilai tengah ditentukan dari
perpotongan kurva sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas dan spesifisitas model
masing-masing menunjukkan prediksi tepat terjadi (h / (h + s)) dan tepat tidak
terjadi badai guntur (q / (f + q)). Akurasi model logit diperoleh dari penjumlahan
seluruh prediksi yang tepat (h dan q) dibagi total seluruh data (Tabel 1).

Gambar 1 Diagram alir penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Fluktuasi Kejadian Badai Guntur
Badai guntur merujuk kepada kondisi cuaca dengan kilat dan guntur disertai
hujan dan angin kencang. Badai guntur yang tidak disertai hujan disebut badai
guntur kering. Hujan yang terbentuk dan sedang jatuh terevaporasi di udara
sehingga hujan tidak mencapai permukaan (Rafferty 2011). Badai guntur terjadi
pada awan kumulonimbus (Cb) sehingga keberadaan awan Cb menjadi ancaman
dalam jalur penerbangan.
Pengamatan kondisi cuaca di bandara dilakukan rutin setiap hari. Cuaca atau
gambaran perubahan kondisi sesaat dari atmosfer diamati untuk mengurangi risiko
kecelakaan pesawat oleh faktor alam. Badai guntur termasuk salah satu kondisi
cuaca yang cukup sering teramati seperti pada hasil pengamatan cuaca di Bandara
Halim Perdanakusuma (HLP).
Variasi Harian
Puncak kejadian badai guntur terjadi pada siang hari dan terendah pada
malam hari. Hasil akumulasi kejadian tiap jam selama 4 tahun menunjukkan
bahwa lebih dari 90 kejadian badai guntur terjadi pada pukul 06.00–12.00 WIB
dengan kejadian terbanyak pada pukul 09.00 dan 10.00 WIB yaitu sebanyak 168

7

Kejadian badai
guntur

kejadian (Gambar 2). Badai guntur jarang teramati di malam hari atau di atas
pukul 19.00 WIB. Hasil pengamatan Mayangwulan et al. (2011) menunjukkan
peningkatan badai guntur di Biak dilihat dari frekuensi awan Cb terjadi pada pagi
menjelang sore hari, yaitu pukul 09.00–15.00 WIT.
160
120
80
40
0
00.00

3

6

9
12
Waktu (WIB)

15

18

21

Gambar 2 Jumlah kejadian badai guntur tiap jam tahun 2005–2008.
Peningkatan jumlah kejadian badai guntur di bandara (daratan) lebih tinggi
pada siang hari. Badai guntur pada pukul 07.00–09.00 WIB terjadi sebanyak 260
hari, pada pukul 07.00–12.00 WIB sebanyak 360 hari, dan pada pukul 07.00–
15.00 WIB sebanyak 386 hari. Akumulasi aktivitas badai guntur pada malam hari
juga bertambah tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit, yaitu selama pukul 19.00–
21.00 WIB terjadi sebanyak 25 hari, pukul 19.00–24.00 WIB sebanyak 30 hari,
dan pukul 19.00–03.00 WIB sebanyak 37 hari. Jumlah hari kejadian badai guntur
selama 9 jam ke depan pada siang hari lebih banyak karena kondisi atmosfer tidak
stabil terjadi pada siang hari. Pemanasan udara di sekitar permukaan daratan oleh
radiasi matahari memicu proses pengangkatan udara. Kemampuan menyimpan
panas oleh daratan lebih rendah daripada laut sehingga peristiwa pengangkatan
massa udara di daratan mudah terjadi pada siang hari.

Kejadian badai
guntur

Variasi Triwulan
Aktivitas badai guntur di bandara HLP tercatat sebanyak 449 hari mulai
tahun 2005 sampai 2008. Akumulasi tertinggi dari kejadian badai guntur baik
yang disertai hujan maupun tidak disertai hujan terjadi antara bulan Maret dan
Mei (MAM), yaitu 159 hari. Badai guntur antara bulan Desember sampai Februari
(DJF), September sampai November (SON), dan Juni sampai Agustus (JJA)
masing-masing terjadi sebanyak 126, 100, dan 64 hari. Akumulasi aktivitas badai
guntur pada keempat periode meningkat dari pagi hingga menjelang sore hari
(Gambar 3).
DJF
MAM
JJA
SON

60
40
20
0
0

3

6

9
12
15
Waktu (WIB)

18

21

Gambar 3 Akumulasi badai guntur per jam tiap 3 bulan.
Kejadian badai guntur selama periode JJA lebih sedikit daripada periode
DJF, MAM, dan SON karena kandungan uap air selama periode JJA lebih rendah

8
daripada periode lainnya. Rerata nilai PW periode JJA lebih rendah daripada
periode DJF, yaitu 41.5 mm (00 UTC) dan 44.4 mm (12 UTC). Nilai terendah PW
selama JJA dan DJF adalah 22.4 dan 36.3 mm pada 00 UTC serta 21.3 dan 40.0
mm pada 12 UTC (Tabel 2). Fenomena fisis seperti ITCZ mendukung potensi
badai guntur (Pinto et al. 2006). Wilayah pertemuan udara permukaan dari
belahan bumi utara (BBU) dan selatan (BBS) disebut ITCZ yang terbentuk di atas
wilayah Indonesia pada bulan Januari. Peningkatan suhu permukaan laut sekitar
ITCZ menambah kandungan uap air di atmosfer. Sistem tekanan rendah yang
terbentuk di wilayah ini dan ketersediaan uap air mendukung pembentukan awan
kumulonimbus.
Tabel 2 Distribusi nilai precipitable water (PW) dan lifted index (LI) tiap 3 bulan

Jumlah kejadian badai guntur yang rendah selama JJA menunjukkan bahwa
pada musim kering keadaan atmosfer cenderung stabil. Manurung (2012)
menyatakan kondisi atmosfer di Jakarta cenderung tidak stabil pada periode DJF,
MAM, dan SON melalui indeks stabilitas. Periode MAM dan SON merupakan
masa transisi atau peralihan dari musim hujan ke musim kemarau dan sebaliknya.
Kedua periode ini cenderung tidak stabil sehingga kejadian badai guntur
meningkat. Rerata nilai LI pada keempat periode bernilai negatif yang
menunjukkan kondisi udara tidak stabil. Walau demikian selang nilai LI periode
MAM lebih cenderung negatif daripada periode JJA. Kisaran LI periode MAM
adalah -5.4 sampai 3.7 dengan rerata -2.2 sedangkan kisaran LI periode JJA
adalah -3.9 sampai 5.5 dengan rerata -0.6 pada 00 UTC (Tabel 2).
Tabel 3 Nilai PW dan LI dengan TSS tertinggi tiap periode
Periode
DJF
MAM
JJA
SON

00 UTC
PW (mm)
LI
54.8
-2.6
44.8
-1.1
45.4
-1.7
43.9
-1.5

12 UTC
PW (mm)
LI
52.8
-4.1
56.9
-2.1
53.4
-2.9
42.4
-1.7

Nilai PW dan LI dengan nilai TSS tertinggi diduga sebagai penentu badai
guntur terbaik. Nilai LI terbaik untuk prediksi 9 jam adalah -1.5 dengan akurasi
sebesar 50% pada pagi hari dan 20% pada malam hari sedangkan nilai PW terbaik
adalah 52.8 mm (pagi hari) dan 44.8 mm (malam hari) dengan akurasi sebesar
53%. Nilai PW pada 00 UTC yang terpilih untuk periode DJF, MAM, JJA, dan
SON berturut-turut yaitu 54.8, 44.8, 45.4, dan 43.9 mm sedangkan nilai LI
berturut-turut yaitu -2.6, -1.1, -1.7, dan -1.5 (Tabel 3). Sebagian besar kejadian

9
badai guntur selama 9 jam ke depan pada siang hari untuk periode MAM
terprediksi saat nilai LI lebih kecil dari -1.1 dengan kandungan uap air yang
melebihi 44.8 mm.

Kecenderungan Potensi Badai Guntur

40
30
20
10
0

200
150
100
50
0

Peluang
kejadian (%)

Jumlah kejadian
badai guntur

Badai Guntur terhadap Precipitable Water
Fenomena meteorologis seperti badai guntur memerlukan kandungan uap
air yang cukup besar. Kantong udara yang bergerak vertikal ke atas dan cukup
mengandung uap air (jenuh) akan bergerak secara adiabatik basah dan mengalami
kondensasi sehingga membentuk awan (Ahrens 2000). Precipitable water (PW)
tahun 2005 sampai 2008 berada dalam kisaran 22.1–63.6 mm dan 21.3–65.4 mm
pada 00 dan 12 UTC. Kisaran PW dengan kejadian badai guntur pukul 07.00–
15.00 dan 19.00–03.00 WIB adalah 24.9–62.2 mm dan 36.6–62.6 mm.

22.1–30.4 30.5–38.8 38.9–47.2 47.3–55.6 55.7–64.0
PW (mm)

4
3
2
1
0

16
12
8
4
0
21.3–30.1

30.2–39.0

39.1–47.9

48.0–56.8

Peluang
kejadian (%)

Jumlah kejadian
badai guntur

Gambar 4 Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara
pukul 07.00–15.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang
precipitable water (mm) pukul 00 UTC periode 2005–2008.

56.9–65.7

PW (mm)

Gambar 5 Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara
pukul 19.00–03.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang
precipitable water (mm) pukul 12 UTC periode 2005–2008.
Peningkatan kandungan uap air cenderung diikuti dengan kejadian badai
guntur. Sebanyak 206 hari (53%) dan 84 hari (22%) dari 386 hari kejadian badai
guntur pukul 07.00–15.00 WIB terjadi pada selang 47.3–55.6 mm dan 38.9–47.2
mm (Gambar 4). Pada pengamatan 12 UTC, 16 hari (43%) dan 13 hari (35%) dari
37 hari kejadian badai guntur pukul 19.00–03.00 WIB selama 4 tahun terjadi pada
selang 48.0–56.8 mm dan 56.9–65.7 mm (Gambar 5). Kejadian badai guntur pada
tiap selang pertama dari kedua waktu pengamatan PW sangat kecil bahkan
bernilai nol, yaitu 22.1–30.4 mm hanya diikuti 4 hari kejadian dan 21.3–30.1 mm
tidak diikuti dengan kejadian badai guntur.

10
Peluang kejadian badai guntur juga berhubungan dengan peningkatan
kandungan uap air. Peluang badai guntur meningkat dari selang PW terkecil
hingga terbesar yaitu sebesar 7%, 8%, 23%, 34%, dan 35% pada 00 UTC
(Gambar 4) serta 0%, 1%, 2%, 3%, dan 3% pada 12 UTC (Gambar 5).
Kemunculan nilai PW antara 21.3 mm dan 30.1 mm terjadi sebanyak 17 kali,
tetapi kondisi tersebut tidak diikuti dengan kejadian badai guntur. Meskipun nilai
persentase peluang pada kedua pengamatan tidak terlalu besar, peluang kejadian
badai guntur berbanding lurus dengan peningkatan nilai PW.

40
30
20
10
0

300
200
100
0
-5.4–(-3.2) -3.1–(-0.9) -0.8–(1.4)
LI

1.5–3.7

Peluang
kejadian (%)

Jumlah kejadian
badai guntur

Badai Guntur terhadap Lifted Index
Kondisi udara tidak stabil ditunjukkan dari nilai LI yang bernilai negatif
tetapi tidak semua badai guntur terjadi saat nilai LI negatif. Rentang nilai lifted
index (LI) pada 00 UTC adalah (-5.4)–5.6 sedangkan pada 12 UTC berkisar antara
(-6.4) dan 3.5. Nilai LI saat terjadi badai guntur selama 9 jam ke depan (pukul
07.00–15.00 WIB) sebesar (-5.4)–4.8 serta (-5.0)–0.2 untuk selang pukul 19.00–
03.00 WIB. Nilai LI akan semakin kecil ketika suhu kantong udara mendekati
suhu lingkungan dan akan bernilai negatif ketika suhu kantong udara lebih tinggi
daripada suhu lingkungan pada ketinggian 500 mb. Kondisi ini dapat didukung
melalui kontribusi energi panas laten yang dihasilkan dari proses kondensasi
sehingga pertumbuhan awan konvektif terus berlanjut melebihi 500 mb.

3.8–6.0

30

4
3
2
1
0

20
10
0
-6.4–(-4.4) -4.3–(-2.3) -2.2–(-0.2) -0.1–(1.9)
LI

Peluang
kejadian (%)

Jumlah kejadian
badai guntur

Gambar 6 Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara
pukul 07.00–15.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang
lifted index pukul 00 UTC periode 2005–2008.

2.0–4.0

Gambar 7 Jumlah kejadian badai guntur (batang) dalam hari yang terjadi antara
pukul 19.00–03.00 WIB dan peluang kejadian (scatter) tiap selang
lifted index pukul 12 UTC periode 2005–2008.
Badai guntur pukul 07.00–15.00 WIB pada selang (-3.1)–(-0.9) dan (-5.4)–
(-3.2) terjadi sebanyak 283 hari (73%) dan 62 hari (16%) dari 386 hari kejadian
badai guntur (Gambar 6). Badai guntur saat nilai LI di atas nol hanya terjadi
sebanyak 28 kali. Jumlah hari kejadian badai guntur selama pukul 19.00–03.00

11
WIB terbesar (27 hari) terjadi pada LI antara -4.3 dan -2.3 sedangkan LI lebih
besar dari 2.0 tidak diikuti kejadian badai guntur (Gambar 7). Badai guntur saat
nilai LI di atas nol hanya terjadi sebanyak 1 kali. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa semakin positif nilai LI maka kejadian badai guntur akan semakin sedikit
bahkan tidak terjadi sama sekali.
Peluang atau kemungkinan kejadian badai guntur berbanding terbalik
terhadap peningkatan nilai LI. Nilai LI pada selang (-5.4)–(-3.2) memiliki nilai
peluang tertinggi sebesar 39% (Gambar 6). Selanjutnya penurunan peluang terus
terjadi dengan nilai LI yang semakin besar yaitu sebesar 29%, 13%, 13%, dan 6%.
Peluang badai guntur malam hari juga meningkat yaitu 0% sampai 3% dari selang
LI terbesar ke terkecil (Gambar 7). Persentase tertinggi dicapai pada selang nilai
LI (-4.3)–(-2.3) dan (-6.4)–(-4.4).

Precipitable Water dan Lifted Index sebagai Prediktor
Model logit yang dihasilkan dari analisis regresi logistik menggambarkan
hubungan antara variabel bebas (PW dan LI) dengan variabel terikat (kejadian
badai guntur). Pertama, pengaruh prediktor diduga dari nilai signifikansi pada
model/chi-square (p < 0.05). Variabel PW dan LI berkontribusi dalam penentuan
badai guntur pagi hari (p < 0.001) tetapi tidak pada semua model malam hari.
Kedua, uji kebaikan (goodness of fit) dengan uji Hosmer and Lemeshow
memperlihatkan kecocokan hasil observasi dan prediksi. Jika hasil prediksi sesuai
dengan klasifikasi hasil observasi, model prediksi cocok digunakan (p > 0.05).
Model logit yang menunjukkan pengaruh PW dan LI dan menghasilkan prediksi
yang sesuai observasi berdasarkan kedua uji tersebut dengan peluang kesalahan
5% adalah model pukul 13.00–15.00 WIB (p < 0.001; p = 0.134) dan 07.00–15.00
WIB serta 01.00–03.00 dan 19.00–03.00 WIB (Tabel 4).
Tabel 4 Signifikansi model logit selang 3, 6, dan 9 jam (WIB)
Uji Model 07.00–09.00 10.00–12.00 13.00–15.00 07.00–12.00 07.00–15.00
chi-square