KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT.

(1)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN

KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Departemen Pendidikan Fisika

Oleh: KHOLIDAH

1103103

PROGRAM STUDI FISIKA DEPARTEMEN PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN

KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Departemen Pendidikan Fisika

Oleh: KHOLIDAH

1103103

PROGRAM STUDI FISIKA DEPARTEMEN PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(3)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

KHOLIDAH

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN

KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

disetujui dan disahkan oleh pembimbing : Pembimbing I

Rasdewita Kesumaningrum, M.Si. NIP. 198105092005012005

Pembimbing II

Judhistira Aria Utama, M.Si. NIP. 197703312008121001

Mengetahui

Ketua Departemen Pendidikan Fisika

Dr. Dadi Rusdiana, M.Si. NIP. 196810151994031002


(4)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN

KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Oleh Kholidah

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains di Departemen Pendidikan Fisika

FPMIPA UPI

© Kholidah

Universitas Pendidikan Indonesia Juli 2015

Hak cipta dilindungi Undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difotokopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(5)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu iv

Keterkaitan Daerah Aktif di Matahari dengan Kejadian Badai

Geomagnet Kuat

Nama : Kholidah NIM : 1103103 Program Studi : Fisika

Pembimbing : 1. Rasdewita Kesumaningrum, M.Si. 2. Judhistira Aria Utama, M.Si.

ABSTRAK

Kejadian badai geomagnet dapat diidentifikasi dengan menggunakan indikator indeks Dst yang menunjukan gangguan medan geomagnet pada komponen H. Badai geomagnet merupakan salah satu fenomena penting dalam sistem cuaca antariksa karena merupakan dampak dari hubungan Matahari-Bumi. Cuaca antariksa sangat dipengaruhi oleh aktivitas di Matahari seperti misalnya bintik Matahari, CME, dan flare yang biasanya berasal dari daerah aktif di Matahari. Hasil identifikasi dan analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator indeks Dst < -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 diperoleh 104 kejadian dan sekitar 75,9 % disebabkan oleh CME yang umumnya merupakan CME Halo dan sebesar 92,4 % CME ini dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif. Hasil analisis menunjukkan bahwa konfigurasi medan magnet daerah aktif memiliki keterkaitan yang lebih besar terhadap frekuensi dan intensitas badai geomagnet dibandingkan luas daerah aktif. Frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst < -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 paling banyak dihasilkan oleh daerah aktif dengan keluasan sempit yaitu sebesar 51,7 %. Semakin luas daerah aktif tidak menunjukan nilai intensitas yang semakin besar. Konfigurasi medan magnet yang lebih kompleks dapat menghasilkan intensitas badai yang lebih besar dibandingkan konfigurasi medan magnet yang sederhana meskipun daerah aktif tersebut memiliki keluasan yang luas. Semakin kompleks konfigurasi medan magnet daerah aktif maka semakin banyak bermunculan fenomena daerah aktif seperti flare dan CME yang dapat menjadi penyebab peningkatan kecepatan angin Matahari yang menyebabkan terjadinya badai geomagnet.

Kata Kunci : Badai Geomagnet, CME, Flare, Indeks Dst, Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif, Luas Daerah Aktif


(6)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu v

ABSTRACT

Geomagnetic storm events can be identified by the use of Dst index indicators that show geomagnetic field disturbances in H component. The geomagnetic storm is one of the important phenomena in space weather system because it is the impact of the Sun-Earth relationship. Space weather is influenced by activity on the Sun, such as sunspots, CME and flares which are usually derived from an active region on the sun. The result from identification and analysis of the characteristics of geomagnetic storms with Dst index indicator <-100 nT throughout the 23rd and the 24th cycle of the Sun, it is obtained that 104 events and approximately 75.9% due to the CME which is generally a Halo CME and 92.4% of CME is triggered by a flare that occurred over the active region. The analysis showed that the configuration of the magnetic field of active regions have a greater relevance to the frequency and intensity of geomagnetic storms than the extensive active region. The frequency of occurrence of geomagnetic storms with Dst index <-100 nT throughout the 23rd and 24th cycle of the Sun are mostly produced by active region with narrow breadth is equal to 51.7%. The more extensive active region does not show the greater intensity value. Configuration of more complex magnetic field could produce a greater intensity of the storms than the simple configuration of the magnetic field although the active region has a wide breadth. The more complex configuration of the magnetic field of active regions, the more active areas phenomena emerged such as flares and CME that can be the cause of the increased speed of the solar wind that cause geomagnetic storms.

Key Words: Geomagnetic Storm, CME, Flare, Dst Index, Configuration of Magnetic Field of Active Region, Extensive Active Region


(7)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

vi

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... Error! Bookmark not defined. ABSTRAK ... Error! Bookmark not defined. ABSTRACT ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB IPENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. 1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat penelitian ... 4

1.5 Struktur Organisasi Skripsi ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6

2.1 Bintik Matahari ... 6

2.2 CME ... 12

2.3 Flare... 14

2.4 Lubang Korona... 15

2.5 Badai Geomagnet ... 16

2.6 Rekoneksi ... 17

2.7 Indeks Dst ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

3.2 Sumber Data ... 24


(8)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

vii

3.4 Tehnik Pengolahan Data ... 32

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1 Data Kejadian Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nT Sepanjang Siklus Matahari ke-23 dan ke-24 ... 38

4.2 Aktivitas di Matahari sebagai Sumber Terjadinya Badai Geomagnet Kuat ... 41

4.3 Analisis Keterkaitan Daerah Aktif di Matahari dengan Kejadian Badai Geomagnet ... 47

BAB VSIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI ... 60

5.1 Simpulan ... 60

5.2 Implikasi ... 61

5.3 Rekomendasi ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62


(9)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi Grup Bintik Matahari dalam Skala Zurich ... 8

Tabel 2.2. Klasifikasi Kompleksitas Magnetik Grup Bintik Matahari Mount Wilson ... 10

Tabel 2.3. Panjang Siklus Aktivitas Matahari ... 11

Tabel 2.4. Klasifikasi Flare Berdasarkan Intensitas sinar-X ... 15

Tabel 2.5. Koordinat Tempat Pengukuran ... 20

Tabel 2.6. Klasifikasi Intensitas Badai Geomagnet Berdasarkan Pola Indeks Dst ... 22

Tabel 3.1. Waktu Tiba CME di Bumi dengan Asumsi Tidak Ada Perlambatan 33

Tabel 3.2. Klasifikasi Keluasan Daerah Aktif ... 36

Tabel 4.1. Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nT Sepanjang Siklus Matahari ke-23 dan ke-24 ... 38

Tabel 4.2. Distribusi Penyebab Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nT Sepanjang Siklus Matahari ke-23 dan ke-24 ... 42

Tabel 4.3. Pemicu Timbulnya CME ... 45

Tabel 4.4. Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nT Berdasarkan Klasifikasi Keluasan Daerah Aktif... 48

Tabel 4.5. Distribusi Keluasan Daerah Aktif terhadap Intensitas Badai geomagnet ... 50

Tabel 4.6. Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nT Berdasarkan Klasifikasi Konfigurasi Medan Magnet ... 53

Tabel 4.7. Distribusi Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif terhadap Intensitas Badai geomagnet ... 56

Tabel 4.8.. Hasil Analisis Terjadinya Flare dan CME yang Berkaitan dengan Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif ... 57

Tabel 4.9. Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet Kuat Berdasarkan Klasifikasi Keluasan dan Konfigurasi Medan Magnet ... 58

Tabel 4.10. Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet Sangat kuat Berdasarkan Klasifikasi Keluasan dan Konfigurasi Medan Magnet ... 59


(10)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Bagian-bagian bintik Matahari ... 6

Gambar 2.2. Tahap-tahap terbentuknya bintik Matahari ... 7

Gambar 2.3. Klasifikasi grup bintik Matahari Zurich ... 9

Gambar 2.4. Contoh CME pada tanggal 18 November 2003 yang teramati oleh Coronagraph ... 13

Gambar 2.5. Lubang korona yang muncul dekat kutub Matahari ... 16

Gambar 2.6. Lubang korona yang muncul di lintang rendah ... 16

Gambar 2.7. Rekoneksi antara dua medan magnet yang berlawanan arah ... 18

Gambar 2.8. Peristiwa rekoneksi ... 18

Gambar 2.9. Daerah pengukuran Dst ... 21

Gambar 2.10. Pola indeks Dst saat terjadi badai geomagnet ... 21

Gambar 3.1 Tampilan awal pengambilan data badai geomagnet berdasarkan indeks Dst ... 24

Gambar 3.2. Tampilan awal SOHO/LASCO CME Catalog ... 25

Gambar 3.3. Contoh data flare pada 4 November 1997 ... 26

Gambar 3.4. Tampilan awal Solar Monitor ... 27

Gambar 3.5. Contoh data luas dan konfigurasi medan magnet daerah aktif dengan nomor daerah aktif 8100 pada 4 November 1997 ... 28

Gambar 3.6. Diagram Alur Penelitian... 31

Gambar 3.7. Contoh grafik perubahan indeks Dst terhadap waktu pada bulan Oktober 1996 yang memberikan nilai indeks Dst sebesar -105 nT .... 32

Gambar 3.8. Distribusi kejadian flare dengan luas daerah aktif ... 37

Gambar 4.1. Frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst < -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 ... 40

Gambar 4.2. Siklus aktivitas Matahari ke-23 dan ke-24 dengan jumlah bintik Matahari sebagai indikator aktivitas Matahari ... 41

Gambar 4.3. Distribusi penyebab terjadinya badai geomagnet sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 ... 43


(11)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

x

Gambar 4.4. Frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst < -100 nT berdasarkan klasifikasi keluasan daerah aktif ... 49 Gambar 4.5. Hubungan luas daerah aktif dengan intensitas badai Geomagnet ... 52 Gambar 4.6. Frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst < -100 nT berdasarkan konfigurasi medan magnet ... 54


(12)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Kejadian Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 nT Sepanjang Siklus Aktivitas Matahari ke-23 dan ke-24 ... 66 Lampiran 2. Data Kejadian Badai Geomagnet dengan Indeks Dst < -100 n T Sepanjang Siklus Aktivitas Matahari ke-23 dan ke-24 yang Disebabkan oleh CME yang Dipicu oleh Flare di Atas Daerah Aktif ... 78 Lampiran 3. Frekuensi Terjadinya Badai Geomagnet Berdasarkan Klasifikasi Keluasan Daerah Aktif ... 86 Lampiran 4. Frekuensi Kejadian Badai Geomagnet Kuat Berdasarkan Klasifikasi Konfigurasi Medan Magnet ... 93


(13)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Penelitian

Kondisi di Matahari mengalami perubahan yang periodik dengan rata-rata perubahan sekitar 11 tahun atau dikenal dengan siklus 11 tahun. Siklus ini menunjukkan adanya masa awal siklus, masa puncak siklus dan masa akhir siklus. Saat masa awal dan akhir siklus aktivitas di Matahari cenderung tenang atau minimum, sedangkan pada saat puncak siklus aktivitas Matahari mencapai maksimum dan banyak bermunculan fenomena daerah aktif seperti bintik Matahari, CME, dan flare yang dapat menjadi penyebab perubahan cuaca antariksa. Cuaca antariksa merupakan kondisi di Matahari dan di ruang antarplanet / magnetosfer, ionosfer dan termosfer yang dapat mempengaruhi medan magnet Bumi, jaringan listrik, sistem satelit, penentuan posisi berbasis satelit seperti GPS (Global Positioning System), bahkan dapat mempengaruhi keadaan iklim di Bumi (Martiningrum, dkk. 2012, hlm. 1).

Salah satu fenomena terpenting dalam sistem cuaca antariksa yaitu kejadian badai geomagnet yang merupakan dampak dari hubungan Matahari-Bumi. Badai geomagnet merupakan gangguan pada magnetosfer Bumi yang disebabkan oleh lontaran partikel-partikel yang berasal dari Matahari dan medan magnet Matahari yang dibawa oleh angin Matahari yang mengarah ke selatan Bumi sehingga menyebabkan terjadinya rekoneksi yang menyebabkan melemahnya medan magnet Bumi. Kecepatan angin Matahari dapat lebih tinggi dari biasanya setelah terjadi CME atau saat terdapat lubang korona di Matahari (Santoso, 2013).

Lubang korona (Coronal Holes) muncul sebagai daerah gelap di korona Matahari yang berkaitan dengan garis medan magnet yang terbuka. Lubang korona dapat menjadi sumber angin Matahari berkecepatan tinggi yang dapat mengakibatkan terjadinya CIR (Corotating Interaction Region) yang bisa mempercepat partikel dan bisa menimbulkan terjadinya badai geomagnet,


(14)

2

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

sedangkan Coronal Mass Ejection (CME) merupakan material yang dilepaskan di korona Matahari berupa plasma dan mengandung medan magnet. Saat terjadi CME, sekitar 2 × 1011 kg s.d 4 × 1013 kg materi korona terlontar ke angkasa dengan energi sebesar 1022 Joule s.d 6 × 1024 Joule dengan kecepatan yang bervariasi berkisar 400 km/s s.d 2500 km/s yang bersesuaian sekitar 1 hari s.d 4 hari. CME ini dapat mencapai Bumi rata-rata 2 hari s.d 3 hari (Schrijver, 2013; Martiningrum, dkk. 2012, hlm. 6). CME penyebab terjadinya badai geomagnet biasanya terlihat sebagai CME Halo (Howard, dkk dalam Youssef, 2012) yang dapat terjadi akibat adanya flare atau erupsi filamen.

Flare merupakan suatu ledakan di Matahari yang melontarkan partikel berenergi tinggi yang disebabkan oleh peristiwa rekoneksi magnet (magnetic reconnection) (Yatini, dkk, 2010). Rekoneksi magnet adalah penyusunan kembali garis-garis gaya magnet ketika dua medan magnet berlawanan arah dibawa bersama-sama. Penyusunan kembali ini diikuti oleh pelepasan energi secara mendadak yang tersimpan di dalam medan magnet dengan arah berlawanan. Umumnya flare terjadi di atas daerah aktif. Sumber energi flare ini tersimpan dalam medan magnetik di daerah aktif (Svestka; Tanberd, Hanssen & Emslie; Somov dalam Yatini, 2005).

Pada saat terjadi CME atau flare, partikel-partikel bermuatan dan medan magnet terlontar dari permukaan Matahari yang kemudian dibawa oleh angin Matahari melewati ruang antarplanet sehingga menumbuk magnetosfer, yang dikenal dengan istilah Interplanetary Shock (IPS). Pada saat terjadi IPS, energi dan momentum dari angin Matahari dapat masuk ke dalam magnetosfer Bumi dan mengarah ke selatan, maka dapat menimbulkan terjadinya badai geomagnet.

Salah satu contoh kasus dampak kejadian badai geomagnet yang dapat dirasakan langsung oleh manusia di Bumi yaitu peristiwa blackout yang terjadi di Malmö, Sweden selatan pada tanggal 30 Oktober 2003. Peristiwa blackout ini berlangsung selama 20 menit s.d 50 menit (Pulkkinen, dkk. dalam Wik, dkk. 2009). Penyebabnya yaitu terjadinya kejenuhan pada transformator karena adanya GIC (Geomagnetically Induced Current) yang menyebabkan relay terlalu sensitif


(15)

3

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

terhadap harmonik ketiga dari frekuensi dasar yaitu 50 Hz. GIC merupakan arus induksi yang dihasilkan dari fluktuasi medan geomagnet yang terjadi akibat badai geomagnet, yang merupakan imbas dari aktivitas Matahari. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa pada tanggal 30 Oktober 2003 terjadi badai geomagnet dengan intensitas -353 nT yang diduga sebagai penyebab terjadinya peristiwa ini. Kejadian badai geomagnet ini didahului oleh CME Halo dengan kecepatan 2459 km/s pada tanggal 28 Oktober 2003 yang berasosiasi dengan flare kelas X17.2 yang berasal dari daerah aktif 486.

Berdasarkan dampak yang ditimbulkan, maka pengamatan terhadap aktivitas Matahari sangat penting dilakukan. Aktivitas di Matahari seperti misalnya bintik Matahari, CME maupun flare biasanya berasal dari daerah aktif di Matahari. Daerah aktif di Matahari mengalami perubahan dari segi ukuran maupun konfigurasi medan magnetnya. Konfigurasi medan magnet bintik Matahari penting dalam menentukan potensi perubahan daerah aktif tertentu. Jika konfigurasi medan magnet meningkat, maka kemampuan daerah aktif untuk menghasilkan kejadian energetik yang besar juga akan meningkat.

Pada penelitian ini, akan dilakukan analisis tentang keterkaitan daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet siklus Matahari ke-23 (1996 s.d 2007) dan siklus Matahari ke-24 (2008 s.d 2014). Indikator yang digunakan untuk mengukur intensitas badai geomagnet yaitu indeks Dst yang dibatasi dengan nilai lebih kecil dari -100 nT. Indeks Dst (Disturbance Storm Time) merupakan suatu indeks yang menggambarkan kuat vektor geomagnet komponen H (arah utara-selatan geomagnet). Saat terjadi badai geomagnet, indikasinya adalah penurunan atau pelemahan kuat medan magnet yang mengarah ke utara. Semakin negatif harga Dst mengindikasikan semakin kuat badai geomagnet tersebut. Adapun variabel daerah aktif yang akan ditinjau yaitu luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif.


(16)

4

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1.2Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana keterkaitan luas daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet kuat ?

2. Bagaimana keterkaitan konfigurasi medan magnet daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet kuat ?

Pada penelitian ini, indikator badai geomagnet kuat ditunjukkan dengan nilai indeks Dst < -100 nT yang selanjutnya akan diklasifikasikan menjadi badai geomagnet kuat dan badai geomagnet sangat kuat sesuai dengan klasifikasi yang diberikan oleh Gonzales & Tsurutani.

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilakukannnya penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis keterkaitan luas daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet kuat.

2. Menganalisis keterkaitan konfigurasi medan magnet daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet kuat.

1.4Manfaat Penelitian

Penulis berharap dengan selesainya peneliitan ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Dapat menjadi bahan referensi dalam mengkategorikan tentang keluasan daerah aktif di Matahari.

2. Dapat memperoleh pengetahuan tentang keterkaitan luas dan konfigurasi medan magnet daerah aktif dengan kejadian badai geomagnet kuat.

3. Dapat menjadi bahan referensi untuk mengantisipasi bahkan meminimalisasi dampak-dampak yang akan terjadi di Bumi saat peristiwa tersebut terjadi. 4. Dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian selanjutnya terutama yang


(17)

5

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1.5Struktur Organisasi Skripsi

Struktur skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu Bab I mengenai Pendahuluan, Bab II mengenai Kajian Pustaka, Bab III mengenai Metode Penelitian, Bab IV mengenai Temuan dan Pembahasan, dan Bab V mengenai Simpulan, Implikasi dan Rekomendasi.

Bab I, merupakan bagian awal skripsi yang memaparkan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi skripsi.

Bab II, menjelaskan hasil dari studi literatur yang menjadi landasan teoritik dalam menyusun pertanyaan penelitian dimulai dari penjelasan mengenai aktivitas Matahari yang meliputi penjelasan tentang bintik Matahari, CME, flare, dan lubang korona, penjelasan tentang dampak hubungan Matahari-Bumi yaitu penjelasan tentang kejadian badai geomagnet, proses rekoneksi dan penjelasan tentang indikator yang digunakan untuk mengukur intensitas badai geomagnet yaitu penjelasan tentang indeks Dst.

Bab III, menjelaskan tentang metode penelitian yang dilakukan secara rinci dimulai dari waktu dan tempat dilakukannya penelitian, sumber data, prosedur penelitian dan tehnik pengolahan data.

Bab IV, membahas hasil dari pengolahan data yang telah dilakukan dimulai dari data kejadian badai geomagnet kuat selama siklus aktivitas Matahari ke-23 dan ke-24, aktivitas di Matahari sebagai sumber terjadinya badai geomagnet kuat, dan hasil analisis tentang keterkaitan daerah Aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet kuat yang meliputi analisis tentang keterkaitan luas daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet kuat dan hasil analisis tentang keterkaitan konfigurasi medan magnet daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet kuat.

Bab V, menjelaskan tentang simpulan dari hasil yang diperoleh, implikasi, dan rekomendasi untuk penelitian yang serupa.


(18)

1

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian deskriptif analitik yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang realitas pada obyek yang diteliti secara obyektif. Studi literatur ini dilakukan dengan menganalisis keterkaitan antara kejadian badai geomagnet kuat dengan daerah aktif di Matahari.

Pada penelitian ini, digunakan indeks Dst sebagai indikator kejadian badai geomagnet kuat (indeks Dst < -100 nT) .Adapun variabel daerah aktif yang digunakan yaitu luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif. Data kejadian badai geomagnet yang diolah merupakan data sekunder yang diunduh dari World Data Center C2 at Kyoto University database (http://wdc.kugi.kyoto-u ac.jp/dst_final/index.html) sedangkan untuk memperoleh data daerah aktif maka dilakukan identifikasi terlebih dahulu terhadap CME atau lubang korona yang diduga sebagai penyebab peningkatan kecepatan angin Matahari yang dapat menyebabkan terjadinya badai geomagnet. Data luas dan konfigurasi medan magnet daerah aktif dapat diperoleh jika badai tersebut disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare.

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu Penelitian : Februari 2015 s.d Juni 2015

Tempat Penelitian: Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jl. Dr. Djunjunan No.133 Bandung 40173


(19)

2

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 3.2 Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yang dikumpulkan dari hasil pengamatan satelit dan pengamatan landas Bumi yang mengamati aktivitas Matahari dan Bumi . Data yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Data kejadian badai geomagnet (indeks Dst) yang diperoleh dari World Data Center C2 at Kyoto University database (http://wdc.kugi.kyoto-u ac.jp/dst_final/index.html)

World Data Center Kyoto merupakan laman yang menyediakan data kejadian badai geomagnet dengan indikator indeks Dst . Data yang terdapat pada laman ini merupakan data dari hasil pengamatan yang dilakukan di empat stasiun yaitu Kakioka (Jepang), Hermanus (Afrika Selatan) , Honolulu (USA) dan San Juan (Brasil) yang tersedia dari tahun 1957 sampai dengan sekarang yang disajikan dalam tabulasi tahunan dan tabulasi bulanan perjam seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1.Tampilan awal pengambilan data badai geomagnet berdasarkan indeks Dst (Sumber:wdc.kugi.kyoto-u ac.jp/dst_final/index.html)


(20)

3

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2. Data CME diperoleh dari SOHO/LASCO CME Catalog

(http://cdaw.gsfc.nasa.gov/CME_list/) untuk data CME sampai dengan tahun 2013 dan dari Cactus (http://sidc.oma.be/cactus/catalog.php) untuk data CME tahun 2014.

Katalog ini berisi identifikasi semua CME yang diidentifikasi secara manual sejak tahun 1996 dari LASCO (Large Angle and spektrometri coronagraph) dibawah misi Solar dan Heliospheric Observatory (SOHO). Satelit SOHO merupakan satelit yang mempelajari Matahari mulai dari bagian inti sampai lapisan korona. SOHO dilengkapi beberapa instrumen antara lain teleskop EIT (Extreme Ultraviolet Coronagraph) yang berfungsi untuk mengamati Matahari pada spektrum Ultraviolet dan LASCO (Large Angle and Spektrometri Coronagraph) yang berfungsi untuk mengamati CME. LASCOmemiliki tiga teleskop C1, C2, dan C3. Namun, hanya data C2 dan C3 yang digunakan untuk keseragaman karena C1 dinonaktifkan pada bulan Juni 1998. Katalog ini disajikan dalam tabulasi tahunan dan tabulasi bulanan seperti ditunjukkan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Tampilan awal SOHO/LASCO CME Catalog


(21)

4

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3. Data flare dan erupsi filamen diperoleh dari Spaceweather (ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/)

Data flaredan erupsi filamen dapat diunduh dari internet yang tersedia di ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/events dengan kode flare yaitu XRA seperti di tunjukan pada Gambar 3.3 dan erupsi filamen yaitu DSF atau EPL.

Gambar 3.3. Contoh data flare pada 4 November 1997 (Sumber:ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/)

4. Data lubang korona diperoleh dari Solar Monitor

(http://www.solarmonitor.org/)

Solar Monitor merupakan laman yang disediakan oleh Solar Physics Group, Trinity College Dublin dan e-INIS, Irish National e-Infrastructure. Laman ini berisi informasi data realtime tentang daerah aktif dan aktivitas Matahari seperti ditunjukkan pada Gambar 3.4.

Data yang terdapat pada solar Monitor relevan dengan sumber data dari SDO (Solar Dynamics Observatory), SOHO (Solar and Heliospheric Observatory), GONG (Global Oscillation Network Group), SXI (Solar X-ray Imager), Hinode XRT (X-Ray Telescope), GHN (Global High Resolution H-alpha Network), STEREO (Solar TErrestrial RElations Observatory),


(22)

5

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

SECCHI (Sun Earth Connection Coronal and Heliospheric Investigation), SOLIS (Synoptic Optical Long-term Investigations of the Sun), NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) Space Weather Prediction Center.


(23)

6

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

5. Data daerah aktif di Matahari yang diperoleh dari Spaceweather (ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/). Dari laman ini, data daerah aktif yang digunakan yaitu luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet darah aktif seperti ditunjukkan oleh lingkaran hitam pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5.Contoh data luas dan konfigurasi medan magnet daerah aktif dengan nomor daerah aktif 8100 pada 4 November 1997 (Sumber : ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/)

3.3Prosedur Penelitian

3.3.1 Tahap Identifikasi Indeks Dst

Penelitian ini diawali dengan mencari data munculnya badai geomagnet kuat dengan melakukan identifikasi terhadap indeks Dst. Data Indeks Dst merupakan data kontinu dengan resolusi 1 jam. Data yang digunakan yaitu tahun 1996 s.d tahun 2007 (untuk siklus aktivitas Matahari ke-23) dan tahun 2008 s.d tahun 2014 (untuk siklus aktivitas Matahari ke-24). Data indeks Dst diperoleh dari World Data Center C2 at Kyoto University database (http://wdc.kugi.kyoto-u ac.jp/dst_final/index.html) .


(24)

7

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Setelah memperoleh data kejadian badai geomagnet, maka selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap munculnya badai geomagnet yang masuk dalam kategori badai geomagnet kuat dengan kriteria indeks Dst lebih kecil dari -100 nT. 3.3.2 Tahap Pemilihan Sumber di Matahari yang Menyebabkan Terjadinya

Badai Geomagnet.

3.3.2.1 Tahap Identifikasi Data CME yang Berkaitan

Webb, dkk (dalam Yatini 2008) mengungkapkan bahwa badai geomagnet dengan intensitas sedang dan kuat disebabkan oleh CME beberapa hari sebelumnya sehingga tinjauan terhadap CME sebagai sumber di Matahari yang menyebabkan badai geomagnet perlu dilakukan. Selang waktu dipilih antara 2 hari s.d 3 hari ke belakang. Penentuan selang waktu ini dilakukan berdasarkan rata-rata CME tiba di Bumi (Martiningrum, dkk. 2012, hlm. 6).

3.3.2.1.1 Identifikasi Data Flare sebagai Pemicu Terjadinya CME Selang waktu flare yang diduga sebagai kandidat pemicu CME disesuaikan dengan CME yaitu antara 2 hari s.d 3 hari. Data flare dapat diunduh dari internet yang tersedia di ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/events dengan kode flare yaitu XRA. Data flare yang ditinjau meliputi rentang waktu terjadinya flare, kelas flare, lokasi daerah aktif, luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif. Flare yang diduga sebagai pemicu CME diidentifikasi dari waktu terjadinya flare dan CME.

3.3.2.1.2 Identifikasi Data Erupsi Filamen sebagai Pemicu Terjadinya CME

Selang waktu erupsi filamen yang diduga sebagai kandidat pemicu CME disesuaikan dengan CME yaitu antara 2 hari s.d 3 hari. Data erupsi filamen dan dapat diunduh dari internet yang tersedia di ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/events dengan kode erupsi filamen yaitu DSF atau EPL. Data erupsi filamen yang ditinjau yaitu rentang waktu terjadinya erupsi filamen dan lokasinya.


(25)

8

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3.3.2.2 Tahap Identifikasi Data Lubang Korona yang Berkaitan

Santoso (2013) mengungkapkan bahwa badai geomagnet dipengaruhi oleh aktivitas Matahari yaitu CME atau lubang korona. Lubang korona dapat menghasilkan plasma berkecepatan tinggi yang dibawa oleh angin Matahari yang kemudian dapat mengganggu medan magnet Bumi sehingga identifikasi terhadap lubang korona sebagai sumber di Matahari yang menyebabkan badai geomagnet perlu dilakukan. Data adanya lubang korona dapat diunduh di http://www.solarmonitor.org/. Dari laman Solar Monitor dapat terlihat posisi lubang korona yang muncul di Matahari. Posisi lubang korona yang dapat menyebabkan badai geomagnet berada di daerah dekat ekuator di bagian barat Matahari. Selang waktu dipilih antara 1 hari s.d 5 hari sebelum terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu ini dilakukan berdasarkan tinjauan dari kecepatan angin Matahari yaitu antara 300 km/s s.d 800 km/s (solarscience.msfc.nasa.gov/feature4.s.html).


(26)

9

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Beberapa tahapan diatas dapat dilihat pada Gambar 3.6 dibawah ini

Gambar 3.6. Diagram Alur Penelitian Data Kejadia n Badai Geomagnet Kuat

(Indeks Dst < -100 nT)

CME

Flare Erupsi Filamen

Lubang Korona

Luas Daerah Aktif Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif

Analisis Keterkaitan Luas

Daerah Aktif dengan Kejadian Badai Geomagnet

Tidak Terjadi di Daerah

Aktif Matahari Terjadi di

Daerah Aktif Matahari

Simpulan

Analisis Keterkaitan Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif

dengan Kejadian Badai Geomagnet


(27)

10

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 3.4 Tehnik Pengolahan Data

3.4.1 Mengidentifikasi Indeks Dst

Setelah diperoleh data kejadian badai geomagnet kuat (Indeks Dst < -100 nT) maka dilihat grafik perubahan Dst dari tiap jam pada hari terjadinya badai geomagnet. Waktu yang dijadikan acuan yaitu waktu saat Dst mencapai nilai terendah.

Gambar 3.7. Contoh grafik perubahan Indeks Dst terhadap waktu pada bulan Oktober 1996 yang memberikan nilai Indeks Dst sebesar -105 nT

Berdasarkan data indeks Dst yang terlihat pada grafik diatas, hal yang perlu diperhatikan yaitu waktu kejadian (mulai turun sampai naik kembali) dan tingkat kekuatan badai (Dst minimum).

3.4.2 Mengidentifikasi Sumber Gangguan di Matahari

Setelah diperoleh data indeks Dst yang meliputi waktu kejadian dan Dst minimum maka selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap sumber di Matahari yang menyebabkan terjadinya badai tersebut.


(28)

11

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Pemilihan kandidat CME yang diduga sebagai penyebab badai dilakukan dalam selang waktu 2 hari s.d 3 hari . Setelah diperoleh kandidat CME yang berkaitan, selanjutnya dilakukan analisis terhadap kecepatan CME untuk memperkirakan waktu tibanya CME di Bumi. Jika waktu tibanya CME di Bumi sesuai dengan waktu terjadinya badai geomagnet maka CME tersebut dipilih sebagai penyebab badai geomagnet tersebut. Dengan mengetahui jarak Bumi - Matahari dan kecepatan CME maka waktu tibanya CME di Bumi dapat diketahui. Perkiraan waktu tibanya CME di Bumi dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1.Waktu Tiba CME di Bumi dengan Asumsi Tidak Ada

Perlambatan (Sumber : sidc.be/rwc/cor2speed/cor2speed.html)

Kecepatan CME (km/s)

Waktu Tempuh

Jam Hari Jam

300 138,88 5 hari 18,8 jam

400 104,16 4 hari 8,16 jam

500 83,33 3 hari 11,33 jam

600 69,44 2 hari 21,44 jam

700 59,52 2 hari 11,52 jam

800 52,08 2 hari 4,08 jam

900 46,30 1 hari 22,30 jam

1000 41,67 1 hari 17,67 jam


(29)

12

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Kecepatan CME (km/s)

Waktu Tempuh

Jam Hari jam

1200 34,72 1 hari 10,72 jam

1300 32,05 1 hari 8,05 jam

1400 29,76 1 hari 5,76 jam

1500 27,78 1 hari 3,78 jam

1600 26,04 1 hari 2,04 jam

1700 24,51 1 hari 0,51 jam

1800 23,15 23,15 jam

1900 21,93 21,93 jam

2000 20,83 20,83 jam

2100 19,84 19,84 jam

2200 18,94 18,94 jam

Jika telah ditemukan CME yang berkaitan, selanjutnya diidentifikasi pemicu terjadinya CME yaitu flare atau erupsi filamen. Flare terjadi dekat daerah aktif di Matahari sedangkan erupsi filamen dapat terjadi dekat atau jauh dari daerah aktif di Matahari. Selang waktu dipilih antara 2 hari s.d 3 hari sebelum kejadian badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan pemilihan waktu identifikasi CME. Flare dan erupsi filamen dapat dikatakan sebagai pemicu CME jika adanya kesesuaian antara waktu terjadinya flare atau erupsi filamen dengan waktu terjadinya CME.


(30)

13

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Jika telah diidentifikasi flare sebagai pemicu CME maka kita dapat memperoleh data berupa waktu kejadian, kelas flare, lokasi daerah aktif, luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif. Sedangkan jika diidentifikasi bahwa erupsi filamen sebagai pemicu CME maka kita dapat memperoleh data berupa waktu kejadian dan lokasi. Data yang telah diperoleh ditabulasi disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet dan CME.

Jika tidak ditemukan adanya CME yang berkaitan maka dilakukan identifikasi terhadap lubang korona yang diduga sebagai penyebab terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu dipilih antara 1 hari s.d 5 hari sebelum terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan kecepatan angin Matahari. Posisi lubang korona yang diduga sebagai pemicu terjadinya badai yaitu terletak didekat ekuator dan berada di bagian barat Matahari. Data yang diperoleh berupa waktu kejadian dan posisi lubang korona. Data yang telah diperoleh ditabulasi disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet.

Data yang telah diperoleh ditabulasi dan kemudian dibuat grafik untuk melihat penyebab terbanyak terjadinya badai geomagnet.

3.4.3 Mengidentifikasi Luas Daerah Aktif di Matahari dan Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif di Matahari

Sesuai dengan tujuan awal penelitian yaitu mengetahui keterkaitan antara daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet kuat dengan variabel daerah aktif yaitu luas dan konfigurasi medan magnet, maka pada penelitian ini data kejadian badai geomagnet yang bukan disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare yang terjadi diatas daerah aktif dapat diabaikan.

Pada penelitian ini, klasifikasi keluasan daerah aktif di bagi menjadi 3 kategori yaitu sempit, sedang dan luas dengan ukuran keluasan di tunjukan pada Tabel 3.2. Klasifikasi ini di buat berdasarkan kecenderungan distribusi kejadian flare dengan luas daerah aktif .


(31)

14

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Pada Gambar 3.8 terlihat bahwa kecenderungan flare kelas B dan C yang memiliki intensitas sinar-X lebih kecil dari 10-2 ergs cm-2s-1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 0 Millionth Solar Hemisphere (MH)s.d 400 MH, flare kelas M yang memiliki intensitas sinar-X 10-2 ergs cm-2s-1 s.d lebih kecil dari 10-1 ergs cm-2s-1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d 1000 MH dan flare kelas X yang memiliki intensitas sinar-X lebih besar sama dengan 10-1 ergs cm-2s-1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d 2500 MH, sehingga pengklasifikasian di buat dengan menjadikan kecenderungan distribusi flare kelas B dan C sebagai batas untuk kategori keluasan sempit, flare kelas M sebagai batas untuk kategori keluasan sedang dan flare kelas X sebagai batas untuk kategori keluasan luas.

Tabel 3.2. Klasifikasi Keluasan Daerah Aktif

Klasifikasi Keluasan Luas (MH) Sempit L < 400 Sedang 400


(32)

15

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Gambar 3.8. Distribusi kejadian flare terhadap keluasan daerah aktif Klasifikasi konfigurasi medan magnet mengacu pada klasifikasi konfigurasi medan magnet Mount Wilson yaitu

. 0.00E+00 2.00E-02 4.00E-02 6.00E-02 8.00E-02 1.00E-01 1.20E-01 0 50 0 10 00 15 00 20 00 25 00 In te n si tas Fl ar e

Keluasan Daerah Aktif

Flare Kelas B

Flare Kelas C

Flare Kelas M


(33)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

60

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

5.1 Simpulan

Dari hasil identifikasi dan analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator indeks Dst lebih kecil dari -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 (1996 s.d 2007) dan siklus Matahari ke-24 (2008 s.d 2014) diperoleh 104 kejadian dan sekitar 75,9 % disebabkan oleh CME yang umumnya merupakan CME Halo dan sebesar 92,4 % CME ini dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif.

Frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst < -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 paling banyak dihasilkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sempit yaitu sebesar 51,7 % dan konfigurasi medan magnet yang paling banyak muncul yaitu beta-gamma-delta sebesar 35 %.

Kejadian badai geomagnet kuat yang disebabkan oleh luas daerah aktif sempit, diperoleh sebesar 53,9 % memiliki konfigurasi medan magnet beta sedangkan kejadian badai geomagnet sangat kuat diperoleh bahwa kecenderungan luas daerah aktif yaitu dalam kategori keluasan sempit dan sedang yang memiliki konfigurasi medan magnet terbanyak yaitu beta dan beta-gamma dan keluasan sedang yang memiliki konfigurasi medan magnet beta-gamma-delta.

Dari hasil yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa konfigurasi medan magnet daerah aktif memiliki keterkaitan yang lebih besar terhadap frekuensi dan intensitas badai geomagnet dibandingkan luas daerah aktif. Semakin luas daerah aktif tidak menunjukkan nilai intensitas yang semakin besar. Konfigurasi medan magnet yang kompleks memiliki probabilitas yang lebih besar untuk menghasilkan kejadian badai geomagnet dengan intensitas besar dibandingkan daerah aktif dengan keluasan luas. Semakin kompleks konfigurasi medan magnet daerah aktif, maka intensitas badai geomagnet yang dihasilkan semakin besar.


(34)

61

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 5.2 Implikasi

Dengan mengetahui karakteristik luas dan konfigurasi medan magnet daerah aktif yang menghasilkan kejadian badai geomagnet dengan intensitas besar, maka hasil dari penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi untuk mengantisipasi bahkan meminimalisasi dampak-dampak yang akan ditimbulkan dari kejadian badai geomagnet tersebut yang berdampak bagi kehidupan di Bumi.

5.3 Rekomendasi

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut :

1. Sebaiknya siklus Matahari yang ditinjau bukan hanya siklus Matahari ke-23 dan ke-24 namun dapat digunakan siklus Matahari yang lebih banyak lagi sebagai data untuk manganalisis keterkaitan luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif dengan kejadian badai geomagnet, sehingga hasil yang diperoleh lebih baik lagi.

2. Perlu dilakukan analisis tentang karakteristik fenomena daerah aktif seperti bintik Matahari, CME, dan flare yang menghasilkan kejadian badai geomagnet dan korelasinya dengan fase siklus Matahari.


(35)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

62

DAFTAR PUSTAKA

Adipranata, R., Budhi, G.S., Setiahadi, B. & Anwar, B. (2010). Segmentasi Menggunakan Metode Watershed. Bandung: LAPAN. [Online]. Diakses dari : http// repository. petra. ac. Id / 15109/1/ Segmentasi_ Bintik_ Matahari_ Menggunakan_Metode_Watershed.doc

Cactus. [Online]. Diakses dari : http://sidc.oma.be/cactus/catalog.php

Djamaluddin, T. (2011). Dampak Anomali Peralihan Siklus 23 dan Siklus 24 Aktivitas Matahari pada Lingkungan Bumi. [Online]. Diakses dari https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/04/11/dampak-anomali-peralihan siklus-23-dan-siklus-24-aktivitas-Matahari-pada-lingkungan-bumi/

Harra, L.K. & Mason, K.O. (2004). Space Science. London : Imperial College Press Jastrow, R. & Thompson, M.H. (1925). Astronomy Fundamentals & Fronties.

Amerika: John Wiley

Martiningrum, D.R., Purwono, A., Nuraeni, F., Muhamad, J. (2012). Fenomena CuacaAntariksa. Bandung: LAPAN

Maspupu, J. (2011). Prediksi untuk Siklus 24 Secara Numerik. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Penerapan MIPA .Bandung: LAPAN

Pranoto, S.C. (2013). Hubungan antara Medan Magnet Antar Planet dengan Frekuensi pulsa magnet Pc3. Jurnal Sains Dirgantara. hlm. 60-63

Purba, S.F., Nuraeni, F., Utama. J.A. (2013). Penerapan Metode Polarisasi Sinyal ULF dalam Pemisahan Pengaruh Aktivitas Matahari dari Anomali Geomagnet Terkait Gempa Bumi. Fibusi (JoF), 1 (3)

Santoso, A. (2013). Identifikasi Badai Geomagnet kuat (Dst <-100 nT) selama siklus Matahari ke-23. Jurnal Pusat Sains Dirgantara. (3), hlm.67-75

Santoso, A., Habirun., Rachyany, S., Bangkit, H., (2008). Karakteristik Sudden Commencement dan Sudden Impulse di SPD Biak Periode 1992-2001. Jurnal Sains Dirgantara, 6 (1), hlm. 60-70.


(36)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

63

Saroso, S. (2010). Karakteristik Badai Geomagnet Besar Dalam Siklus Matahari ke-22 dan ke-23. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, hlm.190-194


(37)

64

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Schrijiver, C.J. & Mitchell, S.D. (2013). Disturbances in the US electric grid associated with geomagnetic activity. J. Space Weather Space Clim, 3

Setiyowati. (2012). Keterkaitan Luas Grup Bintik Matahari kelas D E dan F dengan Peristiwa Flare Kelas M dan X pada Siklus Matahri ke -23. Skripsi. Bandung : UPI

SOHO-LASCO CME Catalog. [Online]. Diakses dari :

http://cdaw.gsfc.nasa.gov/CME_list/

Solar Monitor. [Online]. Diakses dari : http://www.solarmonitor.org/

Solar Science. [Online]. Diakses dari : solarscience.msfc.nasa.gov/feature4.s.html

Space Weather. [Online]. Diakses dari : ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/ Space Weather. (t.t). Coronal Holes. [Online]. Diakses dari :

http://www.spaceweather.com/glossary/coronalholes.html

Space Weather. (t.t). Coronal Mass Ejection. [Online]. Diakses dari : http://www.swpc.noaa.gov/phenomena/coronal-mass-ejections

Space Weather. (t.t). Mount Wilson Sunspot Magnetic Classification. [Online]. Diakses dari : http://spaceweather.com

Wik, M., Pirjola, R., Lundstedt, H., Viljanen, A., Wintoft, P., & Pulkkinen, A. (2009). Space Weather Events in July 1982 and October 2003 and Effects of Geomagnetically Induced Currents on Swedish Technical System. Ann. Geophys, 27, hlm. 1775-1787

World Data Center for Geomagnetism Kyoto. [Online]. Diakses dari : http://wdc.kugi.kyoto-u ac.jp/dst_final/index.html

Yatini, C.Y. (2005). Konfigurasi Medan Magnet di Matahari yang Menghasilkan Flare. Jurnal Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa,7 (3), hlm. 71-83

Yatini, C.Y. (2011). Analisisi Perbedaan Intensitas Solar Proton Event. Jurnal Pusat sains dan Antariksa, hlm. 1-12

Yatini, C.Y. (2008). Identifikasi Badai Geomagnet dari Matahari. Jurnal Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, hlm.39-44


(38)

65

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Yatini, C.Y., Saroso, S., Sinambela, W., Nugroho, J.L., Suhandi., B. (2010). Modul Diseminasi Interaksi Matahari-Bumi untuk Kalangan Guru Sekolah Menengah Atas. Bandung: LAPAN

Youssef, M. (2012). On the relation between the CMEs and the solar flares. NRIAG Journal of Astronomy and Geophysics, 1, hlm. 172–178

Zirin, H. (1966). The Solar Atmosphere. Amerika: Blaisdell http://sidc.be/rwc/cor2speed/cor2speed.html

http:// solen.info/solar/

http://www.windows2universe.org/sun/Solar_interior/Sun_layers/differential_rotation .html


(1)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 60

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

5.1 Simpulan

Dari hasil identifikasi dan analisis karakteristik badai geomagnet dengan indikator indeks Dst lebih kecil dari -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 (1996 s.d 2007) dan siklus Matahari ke-24 (2008 s.d 2014) diperoleh 104 kejadian dan sekitar 75,9 % disebabkan oleh CME yang umumnya merupakan CME Halo dan sebesar 92,4 % CME ini dipicu oleh flare yang terjadi di atas daerah aktif.

Frekuensi terjadinya badai geomagnet dengan indeks Dst < -100 nT sepanjang siklus Matahari ke-23 dan ke-24 paling banyak dihasilkan oleh daerah aktif dengan kategori keluasan sempit yaitu sebesar 51,7 % dan konfigurasi medan magnet yang paling banyak muncul yaitu beta-gamma-delta sebesar 35 %.

Kejadian badai geomagnet kuat yang disebabkan oleh luas daerah aktif sempit, diperoleh sebesar 53,9 % memiliki konfigurasi medan magnet beta sedangkan kejadian badai geomagnet sangat kuat diperoleh bahwa kecenderungan luas daerah aktif yaitu dalam kategori keluasan sempit dan sedang yang memiliki konfigurasi medan magnet terbanyak yaitu beta dan beta-gamma dan keluasan sedang yang memiliki konfigurasi medan magnet beta-gamma-delta.

Dari hasil yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa konfigurasi medan magnet daerah aktif memiliki keterkaitan yang lebih besar terhadap frekuensi dan intensitas badai geomagnet dibandingkan luas daerah aktif. Semakin luas daerah aktif tidak menunjukkan nilai intensitas yang semakin besar. Konfigurasi medan magnet yang kompleks memiliki probabilitas yang lebih besar untuk menghasilkan kejadian badai geomagnet dengan intensitas besar dibandingkan daerah aktif dengan keluasan luas. Semakin kompleks konfigurasi medan magnet daerah aktif, maka intensitas badai geomagnet yang dihasilkan semakin besar.


(2)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

5.2 Implikasi

Dengan mengetahui karakteristik luas dan konfigurasi medan magnet daerah aktif yang menghasilkan kejadian badai geomagnet dengan intensitas besar, maka hasil dari penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi untuk mengantisipasi bahkan meminimalisasi dampak-dampak yang akan ditimbulkan dari kejadian badai geomagnet tersebut yang berdampak bagi kehidupan di Bumi.

5.3 Rekomendasi

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut :

1. Sebaiknya siklus Matahari yang ditinjau bukan hanya siklus Matahari ke-23 dan ke-24 namun dapat digunakan siklus Matahari yang lebih banyak lagi sebagai data untuk manganalisis keterkaitan luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif dengan kejadian badai geomagnet, sehingga hasil yang diperoleh lebih baik lagi.

2. Perlu dilakukan analisis tentang karakteristik fenomena daerah aktif seperti bintik Matahari, CME, dan flare yang menghasilkan kejadian badai geomagnet dan korelasinya dengan fase siklus Matahari.


(3)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

62

DAFTAR PUSTAKA

Adipranata, R., Budhi, G.S., Setiahadi, B. & Anwar, B. (2010). Segmentasi Menggunakan Metode Watershed. Bandung: LAPAN. [Online]. Diakses dari : http// repository. petra. ac. Id / 15109/1/ Segmentasi_ Bintik_ Matahari_ Menggunakan_Metode_Watershed.doc

Cactus. [Online]. Diakses dari : http://sidc.oma.be/cactus/catalog.php

Djamaluddin, T. (2011). Dampak Anomali Peralihan Siklus 23 dan Siklus 24

Aktivitas Matahari pada Lingkungan Bumi. [Online]. Diakses dari

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/04/11/dampak-anomali-peralihan siklus-23-dan-siklus-24-aktivitas-Matahari-pada-lingkungan-bumi/

Harra, L.K. & Mason, K.O. (2004). Space Science. London : Imperial College Press Jastrow, R. & Thompson, M.H. (1925). Astronomy Fundamentals & Fronties.

Amerika: John Wiley

Martiningrum, D.R., Purwono, A., Nuraeni, F., Muhamad, J. (2012). Fenomena

CuacaAntariksa. Bandung: LAPAN

Maspupu, J. (2011). Prediksi untuk Siklus 24 Secara Numerik. Prosiding Seminar

Nasional Penelitian dan Penerapan MIPA .Bandung: LAPAN

Pranoto, S.C. (2013). Hubungan antara Medan Magnet Antar Planet dengan Frekuensi pulsa magnet Pc3. Jurnal Sains Dirgantara. hlm. 60-63

Purba, S.F., Nuraeni, F., Utama. J.A. (2013). Penerapan Metode Polarisasi Sinyal ULF dalam Pemisahan Pengaruh Aktivitas Matahari dari Anomali Geomagnet Terkait Gempa Bumi. Fibusi (JoF), 1 (3)

Santoso, A. (2013). Identifikasi Badai Geomagnet kuat (Dst <-100 nT) selama siklus Matahari ke-23. Jurnal Pusat Sains Dirgantara. (3), hlm.67-75

Santoso, A., Habirun., Rachyany, S., Bangkit, H., (2008). Karakteristik Sudden Commencement dan Sudden Impulse di SPD Biak Periode 1992-2001. Jurnal Sains Dirgantara, 6 (1), hlm. 60-70.


(4)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

63

Saroso, S. (2010). Karakteristik Badai Geomagnet Besar Dalam Siklus Matahari ke-22 dan ke-23. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, hlm.190-194


(5)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Schrijiver, C.J. & Mitchell, S.D. (2013). Disturbances in the US electric grid associated with geomagnetic activity. J. Space Weather Space Clim, 3

Setiyowati. (2012). Keterkaitan Luas Grup Bintik Matahari kelas D E dan F dengan Peristiwa Flare Kelas M dan X pada Siklus Matahri ke -23. Skripsi. Bandung : UPI

SOHO-LASCO CME Catalog. [Online]. Diakses dari :

http://cdaw.gsfc.nasa.gov/CME_list/

Solar Monitor. [Online]. Diakses dari : http://www.solarmonitor.org/

Solar Science. [Online]. Diakses dari : solarscience.msfc.nasa.gov/feature4.s.html Space Weather. [Online]. Diakses dari : ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/

Space Weather. (t.t). Coronal Holes. [Online]. Diakses dari :

http://www.spaceweather.com/glossary/coronalholes.html

Space Weather. (t.t). Coronal Mass Ejection. [Online]. Diakses dari : http://www.swpc.noaa.gov/phenomena/coronal-mass-ejections

Space Weather. (t.t). Mount Wilson Sunspot Magnetic Classification. [Online]. Diakses dari : http://spaceweather.com

Wik, M., Pirjola, R., Lundstedt, H., Viljanen, A., Wintoft, P., & Pulkkinen, A. (2009). Space Weather Events in July 1982 and October 2003 and Effects of Geomagnetically Induced Currents on Swedish Technical System. Ann. Geophys, 27, hlm. 1775-1787

World Data Center for Geomagnetism Kyoto. [Online]. Diakses dari :

http://wdc.kugi.kyoto-u ac.jp/dst_final/index.html

Yatini, C.Y. (2005). Konfigurasi Medan Magnet di Matahari yang Menghasilkan Flare. Jurnal Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa,7 (3), hlm. 71-83

Yatini, C.Y. (2011). Analisisi Perbedaan Intensitas Solar Proton Event. Jurnal Pusat sains dan Antariksa, hlm. 1-12

Yatini, C.Y. (2008). Identifikasi Badai Geomagnet dari Matahari. Jurnal Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, hlm.39-44


(6)

KHOLIDAH, 2015

KETERKAITAN DAERAH AKTIF DI MATAHARI DENGAN KEJADIAN BADAI GEOMAGNET KUAT

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Yatini, C.Y., Saroso, S., Sinambela, W., Nugroho, J.L., Suhandi., B. (2010). Modul Diseminasi Interaksi Matahari-Bumi untuk Kalangan Guru Sekolah Menengah

Atas. Bandung: LAPAN

Youssef, M. (2012). On the relation between the CMEs and the solar flares. NRIAG Journal of Astronomy and Geophysics, 1, hlm. 172–178

Zirin, H. (1966). The Solar Atmosphere. Amerika: Blaisdell http://sidc.be/rwc/cor2speed/cor2speed.html

http:// solen.info/solar/

http://www.windows2universe.org/sun/Solar_interior/Sun_layers/differential_rotation .html