Produktivitas Sapi Bali Pada Sistem Penggembalaan Di Kabupaten Bombana.

PRODUKTIVITAS SAPI BALI PADA SISTEM
PENGGEMBALAAN DI KABUPATEN
BOMBANA

ABDUL RAUF

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produktivitas Sapi Bali
pada Sistem Penggembalaan di Kabupaten Bombana adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Abdul Rauf
D151120191

RINGKASAN
ABDUL RAUF. Produktivitas Sapi Bali pada Sistem Penggembalaan di
Kabupaten Bombana. Dibimbing oleh RUDY PRIYANTO dan PANCA DEWI
MHKS
Sapi bali Kabupaten Bombana dikembangkan secara ekstensif pada padang
penggembalaan yang mengalami penurunan kuantitas dan kualitas pada musim
kemarau. Penelitian ini bertujuan mengkaji produktivitas padang penggembalaan
dengan menganalisis aspek teknis pendukung serta faktor-faktor yang
mempengaruhi dan mengkaji performa sapi di padang penggembalaan yang
direkondisi dengan berbasis pakan tambahan lokal.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Oktober 2014 di Kecamatan
Lantari Jaya dan Mata Usu Kabupaten Bombana dengan kondisi iklim pada saat
penelitian adalah musim kemarau. Metode yang digunakan adalah survey lapang
untuk mengidentifikasi hijauan pakan ternak pada padang penggembalaan,
mengetahui tingkat konsumsi pakan ternak, besarnya kapasitas tampung dari

kedua kecamatan dan pertambahan bobot badan sapi bali. Data yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan kondisi yang ada di lapangan.
ANOVA digunakan untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan tambahan
terhadap pertambahan bobot badan harian (PBBH).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pemeliharaan peternak dengan
sistem gembala sepanjang hari. Nilai kapasitas tampung pada kecamatan Mata
Usu dan Lantari jaya adalah 1.15 ST/ha/tahun dan 0.66 ST/ha/tahun. Rataan
pertambahan bobot badan harian (PBBH) tidak berbeda nyata antara sapi kontrol,
dedak dan kulit kakao masing-masing adalah 0.148 kg/ekor/hari, 0.207
kg/ekor/hari dan 0.138 kg/ekor/hari. Angka kelahiran anak per tahun adalah
77.60% dari jumlah induk dan 33.99% dari populasi, angka kematian anak adalah
17.88%, angka panen pedet (calf crop) adalah 59.64%. Angka kematian dewasa
adalah 8.14%. Berdasarkan hasil studi dapat disimpulkan produktivitas padang
penggembalaan ternak di Kabupaten Bombana relatif rendah sampai sedang.
Suplementasi dedak padi, sedikit meningkatkan produktivitas ternak jika
dibandingkan pada perlakuan kulit kakao dan control pada musim kemarau.
Kata kunci : padang penggembalaan, pakan tambahan, sapi bali.

SUMMARY
ABDUL RAUF. Productivity of Bali Cattle on Grazing Systems in Bombana

District. Supervised by RUDY PRIYANTO dan PANCA DEWI MHKS
Bali cattle in Bombana district which commonly raised extensively on
communal grassland decreased in ther then performance quantity and quality of
forage in the dry season. This research aimed to assess the performance of bali
cattle on grazing system that was reconditioned by locally-based feed
supplementation.
The research was conducted during the dry season from Juni-Oktober 2014
in Mata Usu and Lantari Jaya. A field survey method was used to identify forage
pasture, konsumtion feed suflement, feed intake, carrying capacity native grass land
in the two of sub district and body measurement of bali cattle. The collected data
were descriptively analysed to describe the observed conditions in the field. ANOVA
method was used to examined the effect of feed supplement bali cattle performance.
The results showed that the management of bali cattle was carried out in full
day grazing system. Carrying capacity at sub district Mata Usu and Lantari Jaya
was 1.15 AU/ha/year and 0.66 AU/ha/year. Daily weight gain of grazing cattle
for both, without feed suflement, and suflemented with rise brand, and cocoa pod
were 0.148 kg/head/day, 0.207 kg/head/day; and 0.138 kg/head/day respectively.
The cows calving rate was 77.60%, mortality rate was 8.14% and calf crop
59.64%. in total, calve mortality rate was 17.88%. In conclusion, the productivity
of grazing cattle in Bombana district was relatively between low to moderate.

Supplementation of rice bran, slightly improved the performance of grazing cattle
in the dry season.
Keywords: bali cattle, feed supplement, grazing.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PRODUKTIVITAS SAPI BALI PADA SISTEM
PENGGEMBALAAN DI KABUPATEN
BOMBANA

ABDUL RAUF


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Iwan Prihantoro, SPt MSi

Judul Tesis : Produktivitas Sapi Bali pada Sistem Penggembalaan di Kabupaten
Bombana
Nama
: Abdul Rauf
NIM
: D151120191


Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Rudy Priyanto
Ketua

Prof Dr Ir Panca Dewi MHKS, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Salundik, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian: 11 Agustus 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 sampai dengan
bulan Oktober 2014 dengan judul Produktivitas Sapi Bali pada Sistem
Penggembalaan di Kabupaten Bombana.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Rudy Priyanto dan Ibu
Prof Dr Ir Panca Dewi MHKS MSi selaku pembimbing yang telah banyak
memberi bimbingan, saran, waktu dan tenaga sehingga tesis ini dapat diselesaikan,
serta Bapak Dr Iwan Prihantoro SPt MSi yang telah banyak memberikan saran
pada saat ujian tesis. Penulis juga mengucapkan terima kasih serta Bapak Dr Ir
Salundik MSi, Ibu Dr Ir Niken Ulupi MS sebagai ketua dan sekretaris program
studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Sekolah Pascasarjana IPB, kepada
Ibu Ade dan Teh Okta yang telah banyak membantu dalam bidang akademik.
Kepada seluruh dosen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan IPB. Ungkapan

terima kasih juga buat teman-teman ITP 2012 yang telah ikhlas membangun
dealetika bersama.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015
Abdul Rauf

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN
Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian

1
2
2

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Materi
Prosedur Penelitian
Analisis Data

3
3
3
3
5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Daerah Penelitian

Karakteristik Peternak
Produksi Hijauan
Kapasitas Tampung Padang Penggembalaan
Kualitas Pakan Tambahan Sapi Bali
Konsumsi Pakan Tambahan Sapi Bali
Performa Reproduksi Sapi Bali

5
5
6
8
11
13
13
15

KESIMPULAN

16


DAFTAR PUSTAKA

16

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Karakteristik peternak
Kapasitas tampung padang penggebalaan
Komposisi BK 100% pakan suplementasi
Konsumsi bahan kering pakan suplementasi
Nilai performa reproduksi sapi bali pada padang penggembalaan

7
11
13
14
15

DAFTAR GAMBAR
1 Kondisi hijauan musim kemarau
2 Pola pemberian pakan tambahan

10
14

1

PENDAHULUAN
Prioritas pembangunan ternak ruminansia pada padang penggembalaan
khususnya sapi potong di wilayah Indonesia di masa yang akan datang semestinya
mempertimbangkan lahan yang memiliki sumber hijauan atau padang
penggembalaan yang berkualitas. Dalam usaha peningkatan produksi ternak
ruminansia terdapat hubungan antara lahan, makanan ternak, dan ternak yang
merupakan satu kesatuan organis yang tak terpisahkan dalam usaha tani. Bila
salah satu diantaranya tidak ada maka produksi yang dihasilkan tidak akan
memuaskan. Salah satu sumber pakan hijauan yang penting adalah padang
penggembalaan alami. Pemanfaatan padang penggembalaan alami sebagai sumber
pakan sudah lama dilakukan oleh peternakan kecil (peternakan rakyat). Peternak
memperoleh pakan hijauan bagi ternak yang dipeliharanya dengan
menggembalakan ternaknya pada padang penggembalaan alami yang berada di
sekitar tempat tinggal peternak. Pada kenyataannya, sistem pemeliharaan ternak
ruminansia dengan cara tersebut cenderung menghasilkan produksi yang relatif
rendah.
Populasi sapi potong lokal Indonesia memiliki potensi yang sangat besar.
Menurut BPS (2011) populasi sapi potong sejumlah 14 824 373 ekor. Komposisi
rumpun ternak yang dipelihara yaitu sapi bali sebesar 4 789 521 juta ekor
(32.31%), turunan ongole sebesar 4 281 602 juta ekor (28.88%), silangan lokal
sebesar 1 452 332 ekor (9.80%), madura sebesar 1 285 690 ekor (8.67%), serta
lainnya sebesar 3 015 228 ekor (20.34%). Terkait lokasi penyebaran sebanyak
50.8% berada di pulau Jawa, 18.38% di pulau Sumatera, 14.18% di Bali dan Nusa
Tenggara, 12.08% di pulau Sulawesi, dan 4.68% tersebar di pulau Kalimantan,
Maluku, dan Papua.
Perubahan musim pada iklim tropis di Indonesia yang bisa menyebabkan
penyediaaan hijauan berkurang dalam jumlah besar dan berkesinambungan sering
terjadi, kendala tersebut disebabkan oleh musim kemarau yang panjang. Kondisi ini
sangat mempengaruhi produktivitas ternak terutama adanya kehilangan berat
badan ternak atau kematian anak sapi (pedet) umur dibawah satu tahun, meskipun
padang penggembalaan tersedia sepanjang tahun.
Kabupaten Bombana untuk mendapatkan nilai tambah perlu dicermati dan
dikembangkan secara maksimal mengingat bahwa faktor musim sangat
mempengaruhi kualitas, kuantitas serta kuntinuitas yang berpengaruh pula
terhadap produktivitas peternakan sapi bali yang dipelihara. Pertumbuhan sapi
bali di lahan kering pada umumnya relatif lamban meskipun adaptasinya sangat
baik dengan lingkungan pemeliharaanya. Lahan kering di musim kemarau
merupakan lahan yang miskin unsur hara sehingga produktivitas hijauan rendah.
Kondisi demikian mengakibatkan ketersediaan pakan ternak terbatas ditambahkan
lagi peternak dengan tatalaksana pemeliharaan secara tradisional sehingga
produktivitas ternak yang dipelihara pada padang penggembalaan relatif rendah.
Menurut Mullik dan Jelantik (2009) bahwa ternak sapi gembala akan mengalami
rata-rata pertambahan berat badan sebesar 0.3-0.6 kg/hari selama musim hujan,
tetapi kehilangan berat mencapai 0.35 kg/hari selama musim kemarau.
Menurut Bamualim dan Wirdahayati (2005) Umumnya produktivitas sapi
pada padang penggembalaan sangat dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas pakan.

Pengaruh musim kemarau sangat berdampak terhadap penurunan jumlah dan
kualitas pakan di padang penggembalaan alam sehingga produktivitas ternak
dapat menurun terutama pada pertumbuhan anak sapi, sapi muda dan sapi induk
yang sedang menyusui. Terbatasnya kemampuan induk untuk membesarkan anak
pada musim kemarau menjadi pemicu tingginya angka kematian anak. Induk dan
anak menghadapi risiko kematian yang tinggi akibat kekurangan pakan sehingga
limbah hasil pertanian seperi kulit buah kakao dan dedak padi memiliki peranan
yang cukup penting dalam penyediaan pakan ternak ruminansia khususnya
terutama pada musim kemarau.
Kabupaten Bombana dengan karakteristik usaha penduduk bertani yang
termasuk salah satu komoditas andalan daerah yang menjadi penyumbang utama
ekonomi pembangunan yang tersebar di beberapa kecamatan, luas areal
pengembangan tanaman perkebunan coklat sekitar 9 687 ha dan jumlah produksi
6 152 ton menjadikan limbah pertanian seperti dedak serta kakao sebagai pakan
tambahan ternak pada musim kemarau (BPS Bombana 2010).
Pemanfaatan limbah pertanian seperti dedak padi, kulit kakao (pod coklat)
sebagai pakan suplemen merupakan sebuah langkah yang bijaksana dalam
pengembangan peternakan berbasis sumber daya lokal karena proses pembuatan
pakan alternatif akan mengurangi pencemaran lingkungan. Pemanfaatanya
memiliki peranan yang cukup penting dalam penyediaan pakan ternak ruminansia
khususnya terutama pada musim kemarau, saat hijauan makanan ternak terganggu
pertumbuhannya.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkaji produktivitas padang penggembalaan
dengan menganalisis aspek teknis pendukung serta faktor-faktor yang
mempengaruhi dan mengkaji performa sapi di padang penggembalaan yang
direkondisi dengan berbasis pakan tambahan lokal.

Manfaat Penelitian
1.
2.
3.
4.

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
Sebagai kajian produktivitas sapi bali pada sistem padang penggembalaan.
Informasi peternak yang ingin mengembangkan usaha peternakan sapi bali.
Para peternak mengetahui limbah pertanian sebagai pakan ternak sapi bali.
Pemerintah setempat dalam mengambil kebijakan dan keputusan dalam
penggembangan produktivitas sapi bali pada sistem padang penggembalaan.

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama empat bulan (Juni-Oktober 2014) di
kecamatan Lantari Jaya dan Mata Usu Kabupaten Bombana. Kondisi iklim pada
saat penelitian adalah musim kemarau.

Materi
Penelitian ini menggunakan metode sampling dengan proportional cluster
random sampling. Penentuan klaster adalah dua kecamatan yang memiliki padang
penggembalaan. Jumlah sampel ditentukan melalui perhitungan:

Keterangan :
N : jumlah peternak
: galat (10%)
n : jumlah sampel
Sebanyak 95 peternak dari dua kecamatan dijadikan responden untuk
mendapatkan informasi tentang karakteristik sistem peternakan rakyat di
kecamatan Lantari Jaya dan Mata Usu dengan menggunakan kuisioner. Ternak
yang diamati dalam penelitian ini adalah sapi bali (n=15).

Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan dua metode yaitu survei
lapang dan wawancara. Survei dilakukan dengan pengamatan di kandang, dan
wawancara dilakukan dengan mengisi lembar kuisoner yang telah disiapkan. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari survei lapang yaitu hasil penimbangan konsumsi pakan
suplemen sapi bali, identifikasi hijauan makanan ternak di padang penggembalaan,
pertambahan bobot badan sapi bali, dan kapasitas tampung dari kedua kecamatan.
Data sekunder diperoleh dari data pustaka dari Dinas Peternakan dan Badan Pusat
Statistik Kabupaten Bombana. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan
berdasarkan spesies hijauan makanan ternak yang paling dominan di dua
kecamatan penelitian diambil kemudian dianalisis kandungan nutrisinya.
Kapasitas Tampung
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan kapasitas tampung
menurut Kencana (2000) yaitu : mengambil petak cuplikan pertama yang
ditentukan secara acak seluas 0.25 m2 kemudian mengambil petak cuplikan kedua
pada jarak 10 langkah ke kanan dari petak cuplikan pertama dengan luas 0.25 m2,

cluster berikutnya diambil pada jarak lurus 125 m dari cluster sebelumnya. Setiap
cuplikan seluas 0.25 m2 kemudian ditentukan semua hijauan yang terdapat dalam
petak tersebut dengan cara dipotong sedekat mungkin dengan tanah termasuk juga
bagian tanaman pohon-pohonan yang mungkin dimakan ternak sampai ketinggian
1.5 m. Hijauan tersebut dimasukkan ke dalam kantong dan ditimbang bobot
segarnya. Penentuan Proper Use Factor (PUF) digunakan untuk menjamin
pertumbuhan hijaun kembali dengan melihat jenis ternak, kondisi tanah serta tipe
iklim sehingga dapat ditentukan produksi hijauan segar yang tersedia.
Faktor musim sangat berpengaruh terhadap produktifitas padang rumput,
maka waktu istirahat (rest) dan waktu merumput (stay) ditentukan dengan
menggunakan rumus Voisin dengan Metode Halls (1964) :
(Y – 1) S = R
Keterangan :
Y: Jumlah satuan luas tanah (paddock) terkecil yang dibutuhkan satu ekor
sapi
S: periode merumput pada setiap paddock
R: periode istirahat yang dibutuhkan agar hijauan tidak direnggut terus.
Analisis Kapasitas Tampung Berdasarkan Struktur Populasi
Sampel sapi diambil secara acak pada peternak yang memiliki sapi diamati
berdasarkan umur. Identifikasi struktur populasi ternak meliputi jumlah ternak
sapi, jumlah sapi dewasa, sapi muda dan anak sapi (pedet). Populasi ternak
dihitung berdasarkan satuan ternak (ST) sebagai berikut :
- Anak sapi yaitu sapi jantan maupun betina berumur kurang dari 1 tahun,
dihitung sama dengan 0.25 ST
- Sapi muda yaitu sapi jantan maupun betina berumur lebih dari 1 tahun,
dihitung sama dengan 0.50 ST
- Sapi dewasa yaitu sapi jantan maupun betina yang telah berumur 2 tahun,
dihitung sama dengan 1.00 ST
Analisis Potensi Pakan Suplemen yang Terkonsumsi
Penelitian ini dilakukan dengan mengalisis produktivitas sapi bali dengan
melihat pertambahan bobot sapi dengan perlakuan pemberian pakan tambahan
pada musim kemarau di kelompok Mattirowalie Kecamatan Mata Usu. Sebanyak
15 ekor sapi jantan muda, berumur 12-17 bulan dengan rata-rata bobot awal 95 kg
dipelihara selama 53 hari dan dikelompokkan menjadi tiga perlakuan pemberian
pakan, yaitu :
P1 = kontrol (merumput seharian pada padang penggembalaan)
P2 = dedak pagi + kontrol (pemberian pakan pagi hari jam 8.00 dan sore 4.00
pada kandang individu) sisanya dibiarkan merumput pada padang
penggembalaan
P3 = kulit kakao + kontrol (pemberian kulit kakao pagi hari jam 8.00 dan sore
4.00 pada kandang individu) sisanya dibiarkan merumput pada padang
penggembalaan

Pertambahan Bobot Badan Sapi Bali
Pertambahan bobot badan harian (PBBH) diestimasi dari lingkar dada
dengan menggunakan persamaan Zurahmah (2011).
BB = 2.62 LD-192
Keterangan :
BB : bobot badan (kg)
LD : lingkar dada (cm)
Pertambahan bobot badan harian sapi dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan
keadaan umum di lokasi penelitian yaitu karakteristik peternak, kondisi iklim dan
menganalisis sistem pemeliharaan ternak pada padang penggembalaan yang dapat
mendukung usaha peternakan ruminansia di Kabupaten Bombana. Analisis ragam
(ANOVA) digunakan untuk mengetahui perbedaan antara bobot badan sapi bali
yang diberikan pakan suplementasi pada padang penggembalaan. Hubungan
antara data perlakuan pemberian pakan dengan pendekatan statistik sebagai
berikut :
Yij µ + αi + Єij
Keterangan :
Yij : nilai pengamatan
µ
: nilai rataan Umum
α
: Pengaruh aditif dari pakan ke-i
Єij : pengaruh galat yang menyebar normal

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Daerah Penelitian
Kabupaten Bombana merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara
yang terletak di kepulauan Jazirah Tenggara pulau memiliki potensi sumber daya
alam untuk mendukung program penggembangan sapi potong dengan jumlah
populasi ternak sapi dan kerbau berkisar 41 280 ekor. Berdasarkan hasil sensus
pertanian 2013 apabila dirinci menurut wilayah, kecamatan yang memiliki sapi
dan kerbau paling banyak adalah Lantari Jaya dengan jumlah populasi 5 716 ekor
dan Mata Usu 882 ekor (BPS Bombana 2013).
Secara geografis Kabupaten Bombana terletak di bagian Selatan garis
khatulistiwa, memanjang dari Utara ke Selatan
4°22’ 59.4” – 5028’ 26.7”

Lintang Selatan (sepanjang ± 180 km) dan membentang dari Barat ke Timur
diantara 121027’ 46.7” – 122010’ 9.4” T. Batas wilayah adalah
- sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kolaka dan Konawe Selatan
- sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores
- sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Muna dan Kabupaten Buton
- serta sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bone.
Kabupaten Bombana memiliki luas daerah daratan seluas ± 3 316.16 km2
atau 331 616 ha, yang tersebar di beberapa kecamatan yang memiliki padang
penggembalaan antara lain :
- Kecamatan Mata Usu memiliki luas wilayah 456.17 km2 atau 13.76 %
terhadap total luas daerah Kabupaten Bombana. Seluruh desa di Kecamatan
Mata Usu merupakan desa dataran yang jumlahnya mencapai 5 desa dengan
topografi wilayah sebagian besar berupa pada rumput (sabana).
- Lantari Jaya dengan luas wilayah 285.01 km2 dengan vegetasi unik di
kecamatan Lantari Jaya sebagian wilayahnya berupa padang rumput sabana.
Bulan dengan curah hujan tinggi terutama terjadi di Bulan Mei dengan curah
hujan 215 mm dan 13 hari hujan sedangkan pada Bulan Agustus sampai
dengan Desember di Kecamatan Mata Usu sama sekali tidak turun hujan
(BPS 2013).
Manajemen beternak meliputi sistem pemeliharaan, kesehatan ternak,
reproduksi dan pemanfataan limbah pertanian maupun peternakan. Pemeliharaan
ternak sapi masih bersifat tradisioanal/ekstensif, sistim pemeliharaan yang
dijalankan oleh peternak dengan pola ekstensif adalah ternak dilepas sepanjang
hari pada padang penggembalaan. Penggiringan ternak masuk pada kawat
pembatas pada umumnya dilakukan seminggu sekali yang dilakukan secara
gotong royong antara kelompok yang berdekatan. Pemeliharaan secara ekstensif
berpeluang karena masih banyak tersedianya rumput lapangan dan hijauan lainnya
yang berkualitas rendah (Elly et al. 2013).
Sarana dan prasarana produksi meliputi kandang hanya dengan kawat
pembatas yang difungsikan sebagai tempat menampung ternak. Pada umumnya
ternak makan dan minum di padang penggembalaan tanpa dilakukan kontrol dari
peternak. Peralatan yang banyak digunakan berupa tali yang dipakai untuk
menggikat ternak, cap bakar manual untuk memberikan tanda pada ternak
walaupun tidak terdapat kandang permanen sebagai tempat makan, minum dan
berteduh, pada lokasi penelitian tersediaan sarana berupa kandang jepit hampir
seluruh kelompok peternak, sehingga dalam penanganan ternak peternak dapat
memanfaatkan kandang tersebut. Keberadaan sarana prasarana produksi seperti
kandang sangat diperlukan dalam usaha peternakan, menghindarkan ternak dari
suhu yang ekstrim seperti saat musim penghujan atau saat musim kemarau, sebab
kelembaban udara akan berdampak pada kesehatan ternak dan menghindarkan
ternak dari pencurian.

Karakteristik Peternak
Profil responden berdasarkan jenis kelamin, umur, pendidikan, mata
pencaharian, pengalaman beternak dapat disajikan pada Tabel 1. Hasil survei dan
wawancara yang dilakukan di kecamatan Mata Usu dan Lantari Jaya Umur

peternak di kedua kecamatan tersebut masih tergolong dalam usia produktif yaitu
sebagian besar berumur 31-40 tahun. Tingkat pendidikan formal sebagian besar
adalah lulusan Sekolah Dasar (40%) untuk kecamatan Mata Usu sedangkan untuk
kecamatan Lantari Jaya sebagian besar lulusan Sekolah Menengah Pertama
(35.71%), jika dilihat dari tingkat pendidikan peternak masih tergolong rendah.
Menurut Hoda (2002), pendidikan formal merupakan indikator awal yang dapat
digunakan untuk mengetahui kemampuan peternak dalam mengadopsi informasi
dan inovasi baru, sebab tingkat pendidikan sangat berpengaruh terdadap
perubahan pola pikir, hal ini sependapat dengan Mirah et al. (2015) bahwa
sumberdaya manusia merupakan faktor penting dalam pembangunan karena pada
akhirnya manusia yang menentukan berhasil atau gagalnya pembangunan suatu
wilayah.
Tabel 1 Karakteristik peternak
No.
1
2

3

4

5

Karakteristik
Jumlah responden (orang)
Umur (tahun)
15-30
31-40
>41
Pendidikan terakhir
Tidak tamat SD
SD/sederajat
SMP/sederajat
SMA/sederajat
Perguruan Tinggi
Pekerjaan
Petani-peternak
Pegawai Negeri Sipil
Wiraswasta
Lama beternak
10

Kecamatan
Mata usu

(%)

25

Latari jaya

(%)

70

3
11
11

12
44
44

18
31
21

25.71
44.29
30

4
10
3
6
2

16
40
12
24
8

3
19
25
18
5

4.29
27.14
35.71
25.71
7.14

23
2
0

92
8
0

65
3
2

92.86
4.29
2.86

14
5
6

56
20
24

47
18
5

67.14
25.71
7.14

Pekerjaan utama peternak beragam, didominasi oleh petani peternak dan
pegawai negeri sipil yang berturut-turut adalah (92%), (8%) untuk kecamatan
Mata Usu sedangkan untuk kecamatan Lantari Jaya petani peternak (92.86%),
pegawai negeri sipil (4.29%) dan wiraswasta (2.86%). Kepemilikan usaha
peternakan merupakan usaha sampingan yang merupakan kebudayaan yang
diturunkan secara turun temurun. Petani-peternak dilakukan untuk menambah
pendapatan keluarga dan biasanya dilakukan setelah peternak melakukan
pekerjaan utama. Hasil dari beternak digunakan untuk kebutuhan sekolah,
pernikahan, dan acara-acara adat lainnya.
Para peternak ini memiliki pengalaman beternak 1 hingga 20 tahun dari
keluarga yang diwariskan turun temurun sejak kecil yang didominasi tanpa

mengikuti penyuluhan tentang peternakan. Skala usaha peternakan dikedua
kecamatan merupakan kombinasi dari kepemilikan sendiri yang berasal dari
warisan keluarga atau membeli sendiri. Peternakan pada padang penggembalaan
didominasi Kecamatan Lantari Jaya sebagai konsentrasi peternak yang banyak
serta jumlah populasi ternak dibandingkan dengan Kecamatan Mata Usu.

Produksi Hijauan
Komposisi padang penggembalaan alami di Kecamatan Mata Usu dan
Lantari Jaya Kabupaten Bombana di dominasi oleh rumput alang-alang untuk
konsumsi ternak dan tidak ditemukan leguminosa. Jenis tanaman pada padang
penggembalaan alami seluruhnya merupakan jenis lokal dan tidak terdapat spesies
introduksi. Hal ini diduga karena faktor musim yang telah memasuki musim
kemarau pada saat penelitian sehingga keberagaman jenis hijauan relatif seragam
dan hanya jenis rumput yang tahan pada iklim panas. Menurut Subagiyo dan
Kusmartono (1988) musim terutama curah hujan sangat berpengaruh terhadap
kualitas dan kuantitas produksi rumput. Perubahan musim antara musim
penghujan dan musim kemarau mengakibatkan adanya perubahan nilai gizi
rumput. Hal ini disebabkan karena kandungan nilai gizi rumput berasal dari unsur
hara dalam tanah. Berkurangnya kadar air tanah di musim kemarau, maka unsur
hara tersebut kurang dapat diabsorbsi oleh rumput untuk pembetukan zat gizi
sehingga kandungan protein kasarnya pun pada musim kemarau akan menurun,
disamping itu radiasi sinar matahari yang lebih besar pada musim kemarau akan
mengakibatkan pembentukan serat kasar yang lebih aktif sehingga kandungan
kasar rumput akan lebih tinggi.
Pemanfaatan dari sisa dari limbah pertanian berupa daun ubi jalar dan daun
kacang juga diberikan tetapi pemanfataan limbah ini masih terbatas dan belum
bisa menopang dari ternak yang digembalakan. Salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan pengembangan ternak sapi yaitu ketersediaan hijauan
yang cukup jumlah maupun kualitas dan berkesinambungan (Elly et al. 2013).
Menurut Siregar (2008) kelompok hijauan berkualitas tinggi yaitu campuran
antara rumput dan leguminosa.
Adanya dukungan pemerintah Kabupaten Bombana melalui program
GERBANG PATAS dengan penanaman kebun hijauan makanan ternak belum
terkelola dengan baik serta lokasi tempat penanaman yang tidak strategis sehingga
produktivitas tanaman hijauan rendah, hal ini disebakan karena posisi tempat
penanaman jauh dari sumber air dan jauh dari tempat pengumpulan ternak
sehingga hijauan banyak yang tidak termanfaatkan. Menurut Mirah et al. (2015)
lahan pertanian memiliki potensi sebagai sumber pakan ternak maka perlu
dilakukan evaluasi hijauan pakan ternak untuk memprediksi potensi ternak disuatu
wilayah untuk mendukung kapasitas peningkatan populasi ternak sapi.

(a)

(b)

(c)
Gambar 1 Kondisi hijauan musim kemarau : (a) rumput gajah, (b) rumput lapang,
dan (c) lokasi penelitian pakan tambahan

Gambar di atas menunjukkan bahwa padang penggembalaan di Kecamatan
Mata Usu dan Lantari Jaya memiliki kualitas rendah karena tidak ditemukan
keragaman jenis tanaman dan tidak ditemukan leguminosa. Hal ini didasarkan atas
asumsi bahwa semakin beragam hijauan pakan yang dikonsumsi, maka semakin
kecil peluang ternak kekurangan zat gizi tertentu. Oleh karenanya, untuk
meningkatkan kualitas hijauan pakan pada padang penggembalaan alami dapat
dilakukan dengan menambah/menanam beberapa spesies terutama leguminosa.
Mengacu pada standar yang direkomendasikan oleh Crowder dan Chheda (1982),
kualitas padang penggembalaan tergolong baik apabila proporsi padang
penggembalaan 3:2 antara rumput dibanding leguminosa. Di sisi lain, ketersediaan
leguminosa yang cukup dalam suatu padang penggembalaan sangat diperlukan
karena leguminosa memiliki kandungan nutrisi (protein) yang lebih tinggi
dibanding rumput. Pengamatan yang di lakukan pada padang penggembalaan
Kabupaten Bombana pada musim kemarau di dominasi rumput dan kurang
mampunya bertahan leguminosa menjadikan padang penggembalaan berkualitas
rendah ditambah lagi pemanfaatan padang penggembalaan dilakukan secara terus
menerus (kontinyu), tanpa dilakukan istirahat. Padang penggembalaan yang
secara terus menerus digunakan tanpa diistirahatkan menyebabkan hijauan yang
berada dalam padang penggembalaan mengalami tekanan yang berat sehingga
menyebabkan pertumbuhannya terhambat. Jenis hijauan pakan yang tergolong
leguminosa merupakan jenis yang paling terpengaruh akibat dampak tersebut.
Leguminosa rentan terhadap tekanan yang berat karena leguminosa memiliki
perakaran yang kurang kuat dan tidak tahan terhadap injakan. Sebaliknya, hijauan

non pakan yang dapat tumbuh dengan baik. Kondisi demikian tentu akan
mempengaruhi komposisi botanis yang terdapat pada padang penggembalaan
tersebut. Pendapat tersebut di atas diperkuat oleh Susetyo (1980), yang
menyatakan bahwa kualitas hijauan pakan ditentukan oleh komposisi hijauan
dalam suatu areal pertanaman atau padang penggembalaan yang dapat mengalami
perubahan susunan karena pengaruh iklim, kondisi tanah dan pengaruh
pemanfaatan oleh ternak.

Kapasitas Tampung Padang Penggembalaan
Kapasitas tampung adalah kemampuan padang penggembalaan untuk
menghasilkan hijauan makanan ternak yang dibutuhkan oleh sejumlah ternak yang
digembalakan dalam luasan satu hektar atau kemampuan padang penggembalaan
untuk menampung ternak per hektar (Reksohadiprodjo 1994). Gambaran kapasitas
tampung dari masing-masing kecamatan padang penggembalaan alami di
Kabupaten Bombana dapat dilihat pada Tabel 2.
Kapasitas tampung dilakukan untuk memberikan cerminan dari
produktivitas dari suatu padang penggembalaan. Keberadaan padang
penggembalaan sangat diperlukan, oleh karena itu, perlu adanya upaya
pemanfaatan terhadap padang penggembalaan yang ada dengan menentukan
kapasitas tampung, sehingga lahan yang memproduksi hijauan makanan ternak
dapat dimanfaatkan dengan optimal. Ada beberapa faktor yang sangat
mempengaruhi seperti kondisi tanah, pemupukan, faktor klimat, spesies hijauan,
serta jenis ternak/satwa yang digembalakan atau terdapat di suatu padangan
(Kencana 2000).
Kapasitas tampung identik dengan tekanan penggembalaan (stocking rate)
yaitu jumlah ternak atau unit ternak per satuan luas padang penggembalaan.
Tekanan penggembalaan yang optimum merupakan pencerminan dari kapasitas

Tabel 2 Kapasitas tampung padang penggembalaan
Kecamatan

Keterangan

Mata Usu
2

Rataan Produksi (produksi/1m )
PUF (%)
Rataan Produksi Hijauan (gr/m2 )
Rataan Produksi Hijauan (kg/ha )
Kebutuhan Lahan (bulan/ha)
Kebutuhan Lahan (tahun/ha)
Kapasitas Tampung (ST/ha/tahun)
Total Luas Lahan (ha)
Daya Tampung Padang (ST)
Populasi Riil (ST)

1013.28
45
455.976
4559.76
0.26
0.86
1.15
915
1052
730.75

PUF : Proper Use Factor, ST : Satuan Ternak

Lantari Jaya
586.56
45
263.952
2639.52
0.45
1.50
0.66
3167
2090
1985.25

tampung yang sebenarnya dari padang penggembalaan, karena baik pertumbuhan
ternak maupun hijauan dalam keadaan optimum merupakan pencerminan
keseimbangan antara padang rumput dengan jumlah unit ternak yang
digembalakan (Susetyo 1980).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kapasitas tampung pada
kecamatan Mata Usu dan Lantari Jaya adalah yaitu 1.15 ST/ha/tahun dan 0.66
ST/ha/tahun dengan produksi rumput pada padang penggembalaan di Kecamatan
Mata Usu dan Lantari Jaya masing-masing adalah 4559.76 dan 2639.52 kg Ha-1,
sehingga dapat dikatakan secara kuantitas berada pada under grazing dan
peningkatan populasi ternak masih bisa ditingkatkan. Berdasarkan hasil
pengamatan yang diperoleh menunjukkan bahwa Kecamatan Mata Usu secara
kuantitas hijauan padang penggembalaan lebih tinggi dibandingkan Kecamatan
Lantari Jaya, dengan luas kepemilikan padang penggembalaan yang peternak
miliki yang berturut-turut 915 ha dan 3 167 ha. Populasi sapi yang ada di
Kecamatan Mata Usu masih bisa ditingkatkan sekitar 321 ekor dan pada
Kecamatan Lantari Jaya sekitar 104 ekor. Hasil penelitian kapasitas tampung
padang penggembalaan sesuai dengan hasil penelitian di Pulau Flores dan Sumba
memiliki daya tampung ternak 1.66 dan 1.56 ekor/ha sedangkan untuk Pulau
Timur memiliki daya dukung terendah hanya 0.85 ekor/ha (Wirdahayati 2010),
Papua Barat antara 0.48-1.70 UT/ha/tahun (Yoku 2012), Kabupaten Yapen 0.56
UT/ha (Junaidi dan Sawen 2010), Kabupaten Poso 0.61-0.65 UT/ha (Damry
2009).
Kapasitas tampung berhubungan erat dengan produktivitas hijauan pakan
pada suatu areal penggembalaan ternak. Makin tinggi produktivitas hijauan pada
suatu areal padang penggembalaan, makin tinggi pula kapasitas tampung ternak
yang ditunjukkan dengan banyaknya ternak yang dapat digembalakan. Hasil
pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa, jumlah ternak yang digembalakan
di lokasi padang penggembalaan Kabupaten Bombana masih relatif bisa di
tingkatkan meskipun hal ini mengkhawatirkan jika sampai mengalami kelebihan
ternak (Over Stocking) dan peran kontrol supaya ternak tidak tidak mengalami
pertambahan ternak secara berlebihan (over grazing) menjadi kunci sehingga bisa
memberi kesempatan yang cukup bagi hijauan pakan untuk tumbuh kembali
(Regrowth).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas
tampung padang penggembalaan yaitu melalui pembasmian/menghilangkan jenis
non pakan (non palatabel) dan mengganti dengan jenis hijauan pakan (palatabel),
baik berupa rumput maupun legume dengan proporsi yang ideal. Di sisi lain,
untuk mempertahankan produktivitas hijauan pada padang penggembalaan adalah
mengendalikan/mengatur jumlah ternak yang digembalakan pada padang
penggembalaan tersebut.
Berdasarkan waktu pengambilan sampel pada bulan Juli pada Kecamatan
Mata Usu dan September pada Kecamtan Lantari Jaya, maka waktu tersebut
merupakan musim kemarau. Menurut Subagiyo dan Kusmartono (1988) musim
terutama curah hujan sangat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas produksi
rumput. Perubahan musim antara musim penghujan dan musim kemarau
mengakibatkan adanya perubahan nilai nutrisi rumput. Hal ini disebabkan karena
kandungan nilai gizi rumput berasal dari unsur hara dalam tanah. Kadar air akan
menurun pada musim kemarau, maka unsur hara tersebut kurang dapat diabsorbsi

rumput untuk pembetukan zat gizi. Pada musim kemarau juga menurunkan
kuantitas produksi rumput karena kadar air tanah yang rendah, maka rumput akan
mengalami hambatan pertumbuhan karena berkurangnya kadar air tanah serta
kurang dapatnya unsur hara untuk diabsorbsi rumput untuk pertumbuhan tersebut.
Bahkan penurunan produksi rumput pada musim kemarau dapat mencapai lebih
dari setengah produksi pada musim penghujan. Fluktuasi ini juga dapat
mengakibatkan menurunya fluktuasinya pertumbuhan ternak di padang rumput
tersebut.

Kualitas Pakan Tambahan Sapi Bali
Hasil analisis proksimat pakan suplementasi sapi bali pada padang
penggembalaan kecamatan Mata Usu tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi BK 100 % pakan suplementasi
Komposisi kimia

Kulit kakao

Rumput

Dedak

Bahan Kering
Kadar Protein
Kadar Abu
Kadar Lemak
Kadar Serat kasar
Beta-N

32.28
2.64
4.91
0.33
11.74
12.66

93.29
2.99
12.15
1.16
26.33
50.66

88.2
9.80
12.8
4.81
15.86
45.80

Keterangan : Hasil analisis Laboraorium Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan
Bioteknologi IPB

Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kandungan protein pada
dedak lebih tinggi dibandingkan dengan pod coklat yang difermentasi dan rumput
lapang. Rendahnya kandungan protein kasar pada fermentasi dedak pod coklat
diduga karena pendeknya waktu fermentasi menjadi penyebab menurunya kualitas
kandungan nutrisi hal ini sangat berbeda dengan hasil penelitian Anas et al.
(2011) yang melaporkan bahwa kandungan protein kasar pada kulit buah kakao
yang difermentasi dengan EM4, urea dan air bisa mencapai 17.68%. Menurut
Dimas et al. (2013) proses fermentasi sangat dipengaruhi oleh faktor level dan
waktu, tingkat level berkaitan dengan besaran populasi mikroba yang berpeluang
menentukan cepat tidaknya perkembangan mikroba dalam menghasilkan enzim
untuk merombak substrat, sehingga akan berpengaruh terhadap proses akhir
sehingga perlu diketahui tingkat dosis dan lama fermentasi yang optimum untuk
menghasilkan kandungan nutrien terbaik.

Konsumsi Pakan Tambahan Sapi Bali
Kemampuan konsumsi bahan pakan tambahan sapi bali memberikan
gambaran palatabilitas pakan atau sejauh mana pakan tersebut disukai oleh ternak.
Konsumsi bahan kering dan protein kasar anak sapi bali jantan dengan konsumsi
pakan tambahan dapat dilihat pada Tabel 4

Tabel 4 Konsumsi bahan kering pakan suplementasi pada padang penggembalaan
selama 53 hari
Kontrol
Dedak padi
Kulit Kakao
Keterangan
(P1)
(P2)
(P3)
Rataan BB Awal (kg.e-1.hari-1)
Rataan konsumsi BK(kg.e-1.hari-1)
Rataan konsumsi BK (%)
Rataan konsumsi PK (kg.e-1.hari-1)
Rataan konsumsi PK (%)
Rataan PBBH (kg.e-1.hari-1)

115.85±4.14
0.148± 0.07

88.86±18.42 94.36±27.44
1.22±0.29
0.42±0.04
1.32±0.25
0.49±0.09
0.14±0.03
0.05±0.03
0.14±0.02
0.06±0.05
0.207± 0.15 0.138 ± 0.10

BK: Bahan Kering, PK: Protein Kasar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis pakan yang diberikan
tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan harian sapi Bali.
Dalam hal ini, pertambahan bobot badan harian sapi yang merumput pada padang
penggembalaan ditambahkan dedak menghasilkan pertambahan bobot badan lebih
tinggi (0.207) kg/ekor/hari) dibandingkan dengan ternak yang hanya merumput
seharian pada padang pengembalan (0.148 kg/ekor/hari) dan penambahan kulit
kakao (0.138 kg/ekor/hari). Pertambahan bobot badan harian (PBBH) di sebabkan
nutrisi pada jenis pakan sangat rendah terutama protein pada kulit kakao. Pada
perlakuan pod coklat menurut Hafid dan Rugayah (2010) menunjukkan bahwa
pada perlakuan pod coklat 30% menghasilkan 0.33 kg/ekor/hari. Hal ini berbeda
jauh dari hasil penelitian yang di hasilkan pada tabel pod coklat di atas yang
berkisar 0.148 kg/ekor/hari. Menurut Pamungkas et al. (2011) salah satu yang

menyebabkan rendahnya tingkat konsumsi pakan oleh ternak karna faktor
palatabilitas pakan, ternak memerlukan waktu lama beradaptasi baik terhadap
pakan, lingkungan kandang, pekerja maupun lingkungan.
Gambar 2 Pola pemberian pakan tambahan
Konsumsi BK. Hasil Tabel 4 konsumsi BK terhadap bobot badan
menunjukkan ternak hanya mampu konsumsi 1.32% dari bobot badan pada dedak
sedangkan pada pod coklat lebih rendah hanya berkisar 0.49% , begitupun pada
konsumsi PK pada dedak dan pod coklat berturut-turut 0.14% dan 0.06%. Angka
ini masih rendah dari kebutuhan konsumsi protein kasar dari standar NRC yaitu
kebutuhan protein untuk sapi dengan berat badan 150 kg ekor-1 hari-1 pertambahan
membutuhkan protein 0.4 kg (Edward 2009).
Pada perlakuan sapi yang di gembalakan seharian menunjukkan
pertambahan berat badan harian rata-rata 0.148 kg hari -1. Hal ini sesuai dengan
Jelantik et al. (2006), melaporkan bahwa sapi bali muda (pedet) dalam kondisi
peternakan rakyat dengan pola digemblakan hanya menghasilkan pertambahan
bobot badan 0.1-0.2 kg/hari. Hal ini membuktikan bahwa kandungan nutrien
(terutama protein kasar) dalam ransum sangat berpengaruh dan mempunyai peran
penting dalam menghasilkan laju pertambahan bobot badan ternak.

Performa Reproduksi Sapi Bali
Performa reproduksi dalam usaha pengembangan sapi bali padang
penggembalaan Kabupaten Bombana disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Nilai Performa Reproduksi Sapi Bali Pada Padang Penggembalaan
Peubah Diamati
Populasi (ekor)
Anak
muda
dewasa
Populasi (ST)
Kelahiran dari jumlah betina (%/tahun)
Kelahiran dari jumlah populasi (%/tahun)
Calf mortality (%/tahun)
Calf crof (%)
Cow mortality (%/tahun)
Sex ratio (%/tahun)
Jantan (ekor)
Betina (ekor)

Kecamatan

Ratarata

Mata Usu

Lantari Jaya

333
235
530
730.75
74.09
32.38
20.93
53
6.60

765
694
1447
1985.25
81.12
35.61
14.83
66.29
9.68

77.60
33.99
17.88
59.64
8.14

139
194

372
393

255.5
293.5

Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kelahiran anak pertahun dari
jumlah betina 77.60% dan 33.99% dari populasi yang diperoleh dari padang

penggembalaan Mata Usu dan Lantari Jaya. Tingkat kelahiran anak dari jumlah
betina yang diperoleh lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Lukas et
al. (2011) 53.12%, Kabupaten Kepulauan Yapen 72.27% dari induk dan 19.51%
dari populasi (Karel et al. 2010), Kabupaten Timur Tengah Utara 67.66±13.77
dari induk dan populasi 27.14±6.73 (Trimeldus et al. 2009). Kabupaten Sumba
Timur 61.07% dari jumlah induk dan dari populasi 25.49% (Sumadi dan Siliwolu
2004). Tingkat kelahiran anak terhadap induk dari penelitian ini sesuai dengan
penelitian Bammuallim dan Wirdahayati (2003) yang memperoleh tingkat
kelahiran anak terhadap jumlah induk sapi bali di nusa tenggara barat yaitu 75%90%.
Rata-rata tingkat kematian anak pada padang penggembalaan Kabupaten
Bombana yaitu 17.88%. hasil ini tergolong tinggi jika dibandingkan dengan
penelitian Sumadi dan Siliwolu (2004) rata-rata tingkat kematian anak Kabupaten
Sumba Timur 9.35%, dan Sulawesi Selatan dan Bali yaitu 7% dan 8% (Thalib
2002). Hal ini menunjukkan bahwa bahwa kematian pedet yang menyebabkan
penurunan populasi sapi terhadap rendahnya produktivitas sapi bali. Adanya
kematian pedet yang tinggi disebabkan faktor lingkungan serta manajemen
pemeliharaan yang kurang terkontrol sehingga mudah terserang penyakit dan
ketika terserang penyakit tidak bisa langsung diadakan penanganan disebabkan
ternak dilepaskan sepanjang hari. Adanya produktifitas hijauan juga menjadi
faktor yang sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan ternak, diduga bahwa
tingginya kematian anak karna kebutuhan hijauan padang penggembalaan
Kabupaten Bombana belum bisa mencukupi.
Tingkat panen pedet (calf crop) di lokasi penelitian yang diperoleh adalah
59.64%. Hasil ini masih sedikit lebih rendah dari kondisi idealnya 70-80% pada
peternakan sapi bali. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya rendahnya calf
crop antara lain ketersediaan dan kualitas pakan terutama pada saat kemarau,
harga bahan baku pakan tambahan yang harus disediakan peternak terus
meningkat, serta kesehatan ternak (Puslitbang Peternakan 2012).
Tingkat kematian ternak dewasa di lokasi penelitian yang diperoleh adalah
8.14%. Hasil ini tergolong tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian
Sumadi dan Siliwolu (2004) yaitu 5.62%. Thalib (2002) juga melaporan bahwa
tingkat kematian ternak dewasa sulawesi selatan dan Bali adalah 3%. Penyebab
kematian ternak dewasa pada lokasi penelitian banyak disebabkan oleh adanya
penyakit kebutaan pada ternak disebabkan oleh kurangnya pengetahuan peternak
dalam mengelola peternakan berbasis padang penggembalaan.

KESIMPULAN
Produktivitas dimusim kemarau padang penggembalaan Kecamatan Mata
Usu dan Lantari Jaya relatif sedang dengan komposisi hijauan didominasi oleh
rumput alang-alang. Produktivitas ternak Kecamatan Mata Usu dan Lantari Jaya
relatif sedang dengan angka persentase panen pedet (calf crop) mencapai 59.64%.
Pemberian pakan suflemen belum berpengaruh terhadap peningkatan bobot badan
ternak.

DAFTAR PUSTAKA
Anas S, Annas Z, Rohmadi D. 2011. Kajian pemberian pakan kulit kakao
fermentasi terhadap pertumbuhan sapi bali. J Agris. 7(2)
[BPS] Balai Pusat Statistik. 2010. Kabupaten Bombana dalam Angka. Bombana
(ID): BPS Kabupaten Bombana.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan
Kerbau 2011 (PSPK 2011). Jakarta (ID) : BPS.
[BPS] Balai Pusat Statistik Kabupaten Bombana 2013. Kabupaten Bombana
dalam Angka. Bombana (ID): BPS Kabupaten Bombana.
Crowder LV, Chheda HR. 1982. Tropical Grassland Husbandry. London (GB):
Longman.
Bamualim A, Wirdahayati RB. 2003. Nutrition and management strategies to
improve bali cattle productivity in Nusa Tenggara. Di dalam : Entwistle K,
Lindsay DR, editor. Prosiding Seminar Strategies to Improve Bali Cattle in
Eastren Indonesia; 2002 Februrary 4–7; Bali, Indonesia. Bali (ID): ACIAR. 4-7.
Bamualim A, Wirdahayati RB. 2005. Potensi padang rumput alam di Nusa
Tenggara untuk produksi sapi potong. Prosiding Seminar Nasional
Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Fakultas
Peternakan UGM, Yogyakarta. hlm. 49 – 56.
Damry. 2009. Produksi dan kandungan nutrien hijauan padang penggembalaan
alam di Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso. J Agroland. 16(4):296 – 300.
Dimas PA, Utami S, Suparwi 2013. Fermentasi kulit buah kakao (Theobroma
cacao.L) menggunakan aspergillus niger pengaruhnya terhadap kadar VFA
danN-Nh3 secara in-vitro. J Ilm Pet. 1(3):774-780.
Edward B. Rayburn. 2009. Nutrient Requirements for Beef Cattle. Forage
Management. West Virginia University [Internet]. [diunduh 2015 Mar 9].
Tersedia
pada
:
https://www.wvu.edu/~agexten/forglvst/Nutrient_
Requirements_Beef_Cattle_September_2009.pdf.
Elly FH, Waleleng POV, Ingriet DR, Lumenta, Oroh FNS. 2013. Introduksi
makanan ternak sapi di Minahasa Selatan. J Trop For Sci (Pastura). 3(1):5-8.
Hafid H, Rugayah N. 2010. Pengukuran pertumbuhan sapi bali dengan ransum
berbahan baku lokal. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
2010.151-160. [Internet]. [diunduh 2015 Mar 9]. Tersedia pada:
http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/semnas/pro10-3.pdf?secure=1
Halls H, Rummel, Southwel. 1964. Forage and cattle management in Longleaf
Slaash Fine Forest. Farmer’s Buletin. 21-99.
Hoda A. 2002. Potensi pengembangan sapi potong pola usaha tani terpadu di
wilayah Maluku Utara [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Jelantik IGN, Sanam MUE, Kana Hau D. 2006. Pengaruh suplementasi dan
pemberian vitamin A terhadap performans induk dan anak sapi bali selama
musim kemarau di Pulau Timor. Prosiding Seminar Nasional; 2006 Jul 26-27
Juli. 402-409.
Junaidi M, Sawen D. 2010. Keragaman botanis dan kapasitas tampung padang
penggembalaan alami di Kabupaten Yapen. J Ilm Pet. 5(2): 92– 97.
Karel YS, Nono N, Sumadi. 2010. Estimasi dinamika populasi dan produktivitas
sapi bali Di Kabupaten Kepulauan Yapen, Propinsi Papua. Bul Pet. 34(3):169177.

Kencana S. 2000. Habitat rusa timor (Cervus timurensis) dan kapasitas tampung
padang alam Taman Buru Rumberpon. Manokwari [Internet]. [diunduh 2014
Mei 5]. Tersedia pada: http://papuaweb.org/unipa/dlib-s123/kencana.
Lukas YS, Krishna AS, dan Panjono. 2011. Evaluasi program pengembangan sapi
potong gaduhan melalui kelompok lembaga mandiri yang mengakar di
masyarakat Di Kabupaten Manokwari Papua Barat. Bul Pet. 35(3):208-217.
Mirah ER, Endoh EKM, Pandey J, Salendu AHS. 2015. Potensi pengembangan
ternak sapi pada usaha tani di Kecamatan Tareran Minahasa. J Zootek.
35(1):46-54.
Mullik ML, Jelantik IGN 2009. Strategi peningkatan produktivitas sapi bali pada
sistem pemeliharaan ekstensif di daerah lahan kering: pengalaman Nusa
Tenggara Timur. Seminar Nasional Pengembangan Sapi Bali Berkelanjutan
dalam Sistem Peternakan Rakyat [Internet] : 2009 Okt 28; Mataram. Mataram
(ID): Universitas Nusa Cendana.1-15; [diundu 2014 Mei 5]. Tersedia pada:
http://largeruminant.org/wp-content/uploads/2013/07/Ekstensif_sapibali.
Pamungkas D, Anggraeny YN, Kusmartono, Hartutik, Quigley S, Poppi DP.
2011. Penggunaan daun lamtoro (L. leucocephala) dalam ransum terhadap
konsumsi, kecernaan dan pertambahan bobot badan sapi bali jantan lepas
sapih. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 [Internet].
[diundu
2014
Mei
5];
200-2017.
Tersedia
pada:
http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/semnas/pro11-32.pdf.
Pane I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi bali. Prosiding Seminar Nasional
Sapi Bali. 1991. Ujung Pandang: Fakultas peternakan Universitas Hasanuddin.
50-69.
[PUSLITBANG] Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 2012. Menakar
Potensi Penyediaan Daging Sapi dan Kerbau di Dalam Negeri Menuju
Swasembada 2014. Jakarta (ID): IAARD Press
Reksohadiprojo S. 1994. Produksi Hijauan Makanan Ternak. Yogyakarta (ID):
BPFE.
Siregar SB. 2008. Penggemukan Sapi Edisi Revisi. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Subagiyo I, Kusmartono. 1988. Ilmu Kultur Padangan. Malang (ID): NUFFIC
Universitas Brawijaya Malang.
Sumadi dan Siliwolu 2004. Penelitian mutu genetik sapi ongole dan brahman di
Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Lokakarya Nasional Sapi
Potong 2004.
Susetyo S. 1980. Padang Penggembalaan. Bogor (ID): Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor.
Thalib C. 2002. Sapi bali di daerah sumber pembibitan dan peluang
pengembangannya. J Wartazoa. 12(3): 1-8.
Trimeldus TT, Nono N, Sumadi. 2009. Estimasi potensi dan kinerja sapi bali di
Kabupaten Timor Tengah Utara, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Buletin
Peternakan. 33(1): 30-39.
Wirdahayati R. 2010. Penerapan teknologi dalam upaya meningkatkan
produktivitas sapi potong di Nusa Tenggara Timur. J Wartazoa. 20(1):12-20.
Yoku O, Supriyantono A, Widayati T, Sumpe I. 2014. Produksi padang
penggembalaan alam dan potensi pengembangan sapi bali dalam mendukung
program kecukupan daging di Papua Barat. J Pastura. 3 (2) : 102 – 105.

Zurahmah N. 2011. Penduga bobot badan calon pejantan sapi bali menggunakan
dimensi ukuran tubuh. Bull Peternakan. 35(3):160-164.

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 09 Mei 1987 di Soreantiworo Kabupaten
Bombana, Sulawesi Tenggara. Penulis merupakan anak kedua dari empat
bersaudara, orang tua bernama H.Mustamin dan Hj. saenab. Penulis mengawali
pendidikan Sekolah Dasar Negri 1 Poleang Tengah, Sekolah Menengah pertama
Negeri 1 Poleang Tengah, Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Poleang, Kabupaten
Bombana. Pada tahun 2006 penulis meneruskan studi di Universitas Hasanuddin