Pemetaan Hutan Rakyat Pala Menggunakan Citra Landsat 8 Oli Di Kabupaten Aceh Selatan

PEMETAAN HUTAN RAKYAT PALA MENGGUNAKAN
CITRA LANDSAT 8 OLI DI KABUPATEN ACEH SELATAN

YUNI RISMELIA BUNTANG

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Hutan
Rakyat Pala Menggunakan Citra Landsat 8 OLI di Kabupaten Aceh Selatan
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015

Yuni Rismelia Buntang
NIM E14100087

ABSTRAK
YUNI RISMELIA BUNTANG. Pemetaan Hutan Rakyat Pala Menggunakan Citra
Landsat 8 OLI di Kabupaten Aceh Selatan. Dibimbing oleh NINING
PUSPANINGSIH.
Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah penghasil Pala terbesar kedua di
Indonesia setelah provinsi Maluku. Informasi mengenai potensi hutan rakyat pala
sangat diperlukan untuk perencanaan pembangunan. Data penginderaan jarak jauh
dapat memberikan informasi yang lebih efisien khususnya citra Landsat 8.
Landsat 8 memiliki citra panchromatic dengan resolusi spasial 15m x 15m dan
citra multispektral dengan resolusi spatial 30m x 30m. Penelitian bertujuan untuk
mengidentifikasi jenis tanaman pala dan tutupan lahan lain serta melakukan
pemetaan tutupan lahan khususnya tanaman pala di Kabupaten Aceh Selatan.
Metode yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing (supervised classification).
Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan metode kemiripan maksimum

(maximum likelihood). Jenis tutupan lahan yang dapat diidentifikasi , yaitu hutan
rakyat pala monokultur, hutan rakyat pala campuran, hutan, semak/belukar,
perkebunan kelapa sawit, perkebunan kelapa sawit baru tanam, sawah siap panen,
sawah baru tanam, awan, bayangan awan, lahan kosong di puncak, rawa, hutan
rawa, lahan terbangun, lahan terbuka, dan badan air. Hasil pemetaan menunjukkan
luas hutan rakyat pala monokultur sebesar 6184.22 ha (1.48%) dan hutan rakyat
pala campuran sebesar 26 783.96 ha (6.41%) dengan akurasi kappa (kappa
accuracy) sebesar 98.09%.
Kata kunci: fusi citra, landsat 8, metode kemiripan maksimum, pala, tutupan lahan

ABSTRACT
YUNI RISMELIA BUNTANG. Nutmeg Community Forest Mapping Using
Landsat 8 OLI in South Aceh Regency. Supervised by NINING PUSPANINGSIH.
South Aceh district is the second largest producer area of nutmeg
commodities in Indonesia after Mollucas Province. Information on the potential of
nutmeg people plantation indispensable for development planning. Remote
sensing data can provide information that is more efficient, especially Landsat 8.
Landsat 8 has a panchromatic image with a spatial resolution of 15m x 15m and
multispectral image with a spatial resolution of 30m x 30m. The study aims to
identify the types of nutmeg crop and other land cover and also land cover

mapping, especially nutmeg crop in South Aceh district. Supervised classification
is the used method. Classification is performed by using the method of maximum
likelihood. Types of land cover which can be identified , namely monocultures
nutmeg community forest, mix nutmeg community forest, forest, bush/shrub, oil
palm plantations, planting new palm oil plantations, paddy fields ready for harvest,
planting new rice fields, cloud, cloud shadows, vacant land at the top, swamp,
forest swamp, undeveloped land, open land, and water bodies. Mapping result
showing that broad monocultures nutmeg community forest of 6184.22 hectares
(1.48%) and mix nutmeg community forests of 26 783.96 hectares (6.41%) with
accuracy kappa 98.09%.
Keywords: image fusion, landsat 8, the maximum likelihood classifier, nutmeg,
land cover

PEMETAAN HUTAN RAKYAT PALA MENGGUNAKAN
CITRA LANDSAT 8 OLI DI KABUPATEN ACEH SELATAN

YUNI RISMELIA BUNTANG

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
berkat dan kasih setia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan bulan Agustus 2014 sampai
Desember 2014 ini ialah pemetaan, dengan judul Pemetaan Hutan Rakyat Pala
Menggunakan Citra Landsat 8 OLI di Kabupaten Aceh Selatan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Nining Puspaningsih MSi
selaku pembimbing, serta Bapak Uus Saepul yang telah banyak memberi masukan
dan saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Elia Buntang
(Papa), Ibu Sarni Rombe (Ibu), serta saudara-saudara tercinta Nova Amelia

Buntang, Rachel Angelia Buntang, dan Gabriel Christofer Buntang atas segala
doa dan kasih sayangnya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
BAPPEDA Kabupaten Aceh Selatan terutama Bapak Dzumairi, Bapak Zufrizal,
Bapak Khomputra, Bang Safrudin yang telah banyak membantu dalam
pengambilan data di lapangan, dan juga kepada keluarga baru di Tapak Tuan,
yaitu Mariza, Taufiq, Bang Agus, Mbak Ita, dan segenap keluarga di Hotel
Catherine. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih banyak untuk temanteman seperjuangan Manajemen Hutan 47 untuk support dan doanya, serta
keluarga besar Fahutan 47. Semangat, perjuangan, dan doa adalah modal awal
untuk melangkah.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015
Yuni Rismelia Buntang

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian


2

METODE

2

Waktu dan Tempat

2

Alat dan Bahan

3

Metode Penelitian

4

HASIL DAN PEMBAHASAN


8

Kondisi Umum

8

Hasil Image Fusion

9

Perhitungan Optimum Index Factor (OIF)

12

Klasifikasi Tutupan Lahan

14

Pemetaan Hutan Tanaman Pala


21

Uji Akurasi

25

SIMPULAN DAN SARAN

26

Simpulan

26

Saran

26

DAFTAR PUSTAKA


26

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR TABEL
Karakteristik citra Landsat 8
Contoh Matrik Kesalahan (Matrix Error)
Contoh perubahan nilai DN setelah Image Fusion
Nilai OIF pada citra Landsat 8 dengan komposit 3 band
Karakteristik tutupan lahan
Kelas tutupan lahan pada citra Landsat 8
Analisis nilai separabilitas pada 16 kelas tutupan lahan
Rata-rata nilai digital number (DN) tiap tutupan lahan pada Citra

Landsat 8 sebelum dilakukan fusi citra
9. Rata-rata nilai digital number (DN) tiap tutupan lahan pada Citra
Landsat 8 yang telah melalui proses fusi citra
10. Luas tutupan lahan di Kabupaten Aceh Selatan
11. Hasil evaluasi akurasi

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

5
8
11
13
15
16
19
20
21
22
25

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Peta lokasi penelitian di Kabupaten Aceh Selatan tahun 2014
Peta titik groundcheck di Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2014
Citra Landsat 8 komposit 7-5-4: [a] band panchromatic; [b] citra
sebelum dilakukan fusi citra; dan [c] citra hasil fusi citra
(a) Histogram band sinar merah pada citra normal (b) Histogram band
sinar merah pada citra hasil fusi
(a) citra komposit 125; (b) citra komposit 145; dan (c) citra komposit
754
Peta hutan rakyat pala dan tutupan lahan lainnya di Kabupaten Aceh
Selatan Tahun 2014
Peta hutan rakyat pala monokultur dan hutan rakyat pala campuran

3
6
10
12
14
23
24

DAFTAR LAMPIRAN
1. Matrik Kontingensi

28

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman Pala (Myristica fragrans Houtt) merupakan tanaman asli Indonesia,
sudah terkenal sebagai tanaman rempah sejak abad ke-18. Sampai saat ini Indonesia
merupakan produsen pala terbesar di dunia (70% – 75 %). Negara produsen lainnya
adalah Grenada sebesar 20% – 25 %, kemudian selebihnya India, Srilangka dan
Malaysia (Forpala 2011).
Komoditas pala Indonesia sebagaian besar dihasilkan oleh perkebunan rakyat.
Hasil yang diambil dari pala yang diperdagangkan dipasaran dunia adalah biji, fuli,
dan minyak atsiri serta daging buah yang digunakan untuk industri makanan di
dalam negeri. Biji dan fuli digunakan dalam industri pengawetan ikan, pembuatan
sosis, makanan kaleng dan sebagai adonan kue, karena aroma minyak atsiri dan
lemak yang dikandungnya dapat meningkatkan nafsu makan. Minyak pala dari hasil
penyulingan merupakan bahan baku industri obat-obatan, pembuatan sabun, parfum
dan sebagainya.
Kabupaten Aceh Selatan yang dikenal dengan sebutan daerah pala, merupakan
daerah penghasil pala terbesar kedua di Indonesia setelah provinsi Maluku, dan
merupakan sentra utama penghasil Pala di provinsi Aceh. Di daerah ini tanaman pala
(Myristica fragrans) merupakan tanaman unggulan lokal, karena tanaman ini
dibudidayakan di setiap kecamatan. Tanaman ini mempunyai nilai ekonomi tinggi
serta cukup berperan sebagai sumber pendapatan utama sebagian besar petani
maupun sebagai salah satu pedapatan asli daerah.
Komoditi pala mempunyai arti penting dalam perekonomian masyarakat
kabupaten Aceh Selatan, karena di samping salah satu komoditi ekspor yang
menambah devisa negara juga diharapkan dapat menyerap tenaga kerja dan
meningkatkan pendapatan petani. Usaha untuk mewujudkan semua itu perlu
dipikirkan pembangunan industri pengolah pala seperti, industri pengolah daging
buah pala, industri pengolah biji dan fuli pala. Hal ini diperlukan agar dapat
memperbesar nilai tambah (added value) dari komoditi pala, sehingga dalam
penerapannya dapat menunjang pendapatan daerah dan pengembangan serta
pembangunan wilayah.
Data potensi tentang luas dan sebaran hutan pala belum ada sampai saat ini.
Hal ini merupakan salah satu hambatan bagi pemerintah setempat untuk membuat
perencanaan terhadap hutan tanaman pala yang ada di Kabupaten Aceh Selatan.
Teknologi penginderaan jauh telah banyak digunakan dalam penelitian kondisi
tutupan lahan yang dapat dilakuan secara cepat, efisien, lengkap, dan akurat. Data
penginderaan jarak jauh dapat digunakan untuk pengukuran, pemetaan, pantauan,
dan pemodelan dengan lebih efisien dibandingkan pemetaan secara teristris. Satelit
pengamat bumi pada tahun 1972 ERTS (Earth Resources Technoology Satellite) atau
Landsat 1 yang terus berkembang hingga Landsat 7. Hingga akhirnya semenjak
tahun 2003 Landsat 7 mengalami kerusakan (striping) yang mengakibatkan
terganggunya kegiatan analisis citra.
Satelit generasi terbaru dari program Landsat yaitu Landsat Data Continuity
Mission (LDCM) atau dikenal dengan nama Landsat 8 telah diluncurkan pada
tanggal 11 Februari 2013. Citra Landsat 8 merupakan satelit observasi bumi hasil

2
kerjasama antara National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan U.S
Geographical Survey (USGS). Landsat 8 memiliki sensor Operational Land Imager
(OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan ketinggian terbang 705 km dari
permukaan bumi dan memiliki area scan seluas 170km x 183km yang didesain untuk
dapat beroperasi selama 5 tahun. Citra satelit ini memerlukan waktu 99 menit untuk
mengorbit bumi dan melakukan liputan pada area yang sama setiap 16 hari sekali.
Landsat 8 memiliki 11 saluran (band) yang terdiri dari 9 band berada pada sensor
OLI dan 2 band lainnya berada pada sensor TIRS (NASA 2011).
Penelitian menggunakan citra satelit generasi terbaru yaitu Landsat 8 belum
banyak dilakukan. Penelitian penggunaan Landsat 8 diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan dalam mengidentifikasi karakteristik citra untuk tutupan lahan,
khususnya identifikasi tanaman pala.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi jenis tanaman pala dan tutupan lahan lain menggunakan
citra Landsat 8.
2. Melakukan pemetaan tutupan lahan, khususnya tanaman pala di Kabupaten
Aceh Selatan menggunakan citra Landsat 8 OLI.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terbaru mengenai
keadaan hutan tanaman pala serta tutupan lahan lain dan memberikan manfaat pada
kegiatan perencanaan dan pengelolaannya di Kabupaten Aceh Selatan.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan selama lebih dari 3 bulan dimulai dari akhir bulan
Agustus 2014 hingga awal bulan Desember 2014. Penelitian dilaksanakan di
Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam guna mendapatkan
data di lapangan dan data atribut lainnya. Sedangkan, untuk pengolahan dan analisis
data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing Departemen Manajemen
Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Aceh Selatan
disajikan pada Gambar 1.

3

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Aceh Selatan tahun 2014
Alat dan Bahan
Pengolahan citra dan analisis spasial SIG dilakuakan menggunakan perangkat
lunak (software) terdiri dari Arc-GIS versi 9.3, DNR Garmin, MS-Office, dan
software Erdas Imagine 9.1. Perangkat keras (hardware) menggunakan satu set
komputer termasuk printer. Sedangkan, untuk pengambilan data di lapangan
digunakan peralatan, seperti: Global Positioning System (GPS), kompas, kamera,
parang, suunto, dan alat-alat tulis.
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama yang diambil langsung
di lapangan pada saat penelitian, sedangkan data sekunder merupakan berbagai

4
kumpulan data yang telah tersedia atau telah dikaji sebelumnya. Data yang
digunakan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut:
1. Data primer
Data primer yang digunakan adalah :
a. Citra LANDSAT 8
b. Data koordinat kawasan yang ditanami pala, baik monokultur ataupun
campuran, serta tutupan lahan lainnya.
c. Data nama jenis tumbuhan teridentifikasi yang ada di sekitar hutan tanaman
pala maupun di kawasan campuran.
d. Dokumentasi di lapangan berupa gambaran di sekitar titik pengambilan data.
2. Data sekunder
Beberapa data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Citra Landsat 8 Operational Land Imager (OLI) Path/Row 129/57, 129/58,
dan 130/58 dengan resolusi spasial 30 m untuk semua band dan band
pankromatik ber esolusi 15 m (kecuali band TIRS 1 dan TIRS 2 dengan
resolusi 100 m) yang diperoleh dari EARTHEXPLORER.USGS.GOV.
b. Peta kecamatan yang akan dituju.
c. Peta jaringan jalan Kabupaten Aceh Selatan
d. Peta administrasi Kabupaten Aceh Selatan

Metode Penelitian
Pra-pengolahan Citra
Pra-pengolahan citra merupakan proses awal sebelum dilakukan kegiatan
pengolahan citra. Pra-pengolahan citra dalam penelitian ini terdiri dari beberapa
langkah, yaitu: fusi citra (image fusion atau pansharpening), mosaik citra (mozaic
process), pemotongan citra (cropping), koreksi geometrik (geometric enhancement),
dan perrhitungan OIF (Optimum Index Factor).
1. Fusi Citra (Image Fusion or Pan-sharpening)
Fusi citra atau pan-sharpening adalah salah satu teknik untuk
mengintegrasikan detail geometri atau spasial dari suatu citra pankromatik beresolusi
tinggi dengan citra multispektral beresolusi rendah. Proses ini juga dapat disebut
sebagai proses peningkatan resolusi spasial. Citra satelit yang digunakan pada
penelitian ini juga melalui proses fusi band 8 yang memiliki resolusi spasial 15 m x
15 m (panchromatic) dengan band multispektal lainnya (band 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan
9). Dengan penggabungan tersebut diperoleh citra yang mempunyai resolusi spasial
15m x 15 m.
Menurut (Dehghani 2003) formula yang digunakan untuk transformasi Brovey
dapat dilihat pada persamaan dibawah ini:










dengan
adalah citra Pankromatik;
kanal hijau,
adalah kanal biru; serta
dan biru.

adalah kanal merah,
adalah
adalah jumlah kanal merah, hijau,

5
2. Mosaik Citra (Mosaic Process)
Mosaic citra merupakan penggabungan beberapa citra ke dalam satu citra pada
suatu kenampakan yang utuh dari suatu wilayah. Untuk menampilkan keseluruhan
scene data citra satelit untuk melihat liputan citra secara keseluruhan.
3. Pemotongan Citra (Cropping)
Dalam pengolahan citra dibutuhkan area tertentu dari suatu citra satelit yang
tersedia, sehingga perlu dilakukan pemotongan citra (cropping) sesuai dengan daerah
yang dibutuhkan. Dalam penelitian ini cropping dilakukan di daerah yag difokuskan
pada penelitian ini, yaitu daerah yang sesuai dengan batas administrasi Kabupaten
Aceh Selatan.
4. Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik dilakukan terhadap kesalahan geometrik yang terjadi pada
saat perekaman. Menurut Jaya (2010), tahap ini mempunyai tujuan, yaitu melakukan
rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar koordinat citra sesuai
dengan koordinat geografi, registrasi posisi citra dengan citra lain atau
mentransformasikan sistem koordinat citra multispektral atau citra multitemporal,
registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat citra ke peta, yang
menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu. Penentuan sistem koordinat,
proyeksi dan datum sistem koordinat yang dipilih untuk koreksi ini adalah Universal
Tranverse Mercator (UTM) zona 47N. Pemilihan proyeksi ini disesuaikan dengan
pembagian area pada sistem UTM. Kabupaten Aceh Selatan termasuk wilayah
Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak pada zona UTM 47N, sedangkan datum
yang digunakan adalah World Geographic System 84 (WGS 84).
Perhitungan OIF (Optimum Index Factor)
Visualiasi citra menggunakan kombinasi 3 saluran dalam format RGB (Red
Green Blue) yang menghasilkan warna komposit. Pemilihan saluran yang dapat
menyajikan variasi informasi lebih banyak, digunakan perhitungan faktor indeks
optimum. Menurut Jaya (2010) nilai OIF dapat dihitung secara matematis dengan
formula sebagai berikut :
=
Nilai Si, Sj, dan Sk merupakan simpangan baku (standar deviasi) dari band i, j,
dan k. Nilai rij, rjk, dan rik. Karakteristik citra Landsat 8 yang digunakan dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik citra Landsat 8
Band number
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Spectral Range (μm)
0.43-0.45 (coastal blue)
0.45-0.51 (blue)
0.53-0.59 (green)
0.64-0.67(red)
0.85-0.88 (NIR)
1.57-1.65 (SWIR-1)
2.11-2.19 (SWIR-2)
0.50-0.68 (Pancromatic)
1.36-1.38 (cirrus)

Sumber: USGS (2014)

Sensor
OLI
OLI
OLI
OLI
OLI
OLI
OLI
OLI
OLI

Resolusi (m)
30
30
30
30
30
30
30
15
30

6
Interpretasi Visual Citra Satelit
Menurut Jaya (2010) interpretasi visual suatu kegiatan untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi obyek-obyek permukaan bumi yang tampak pada citra (potret udara
ataupun citra satelit. Elemen-elemen dalam analisis visual yang digunakan, yaitu
tone atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, serta bayangan. Agar interpretasi
visual menjadi lebih mudah, maka citra dapat ditampilakn dalam format RGB (Red,
Green, Blue) sesuai hasil OIF yang dipilih.
Pengambilan Data Lapang (Ground Check)
Groundcheck dilakukan untuk mendapat informasi di lapangan berupa
informasi tentang pengamatan di lapangan serta titik koordinat yang diambil dengan
metode purposive sampling. Informasi-informasi tersebut dapat digunakan untuk
pengecekan kebenaran hasil klasifikasi visual yang hasilnya dapat digunakan sebagai
area contoh (training area) dalam klasifikasi citra digital. Pengambilan titik
koordinat tersebut sebanyak 90 titik menggunakan alat bantu berupa GPS (Global
Positioning System). Sebaran titik pengamatan di lapangan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Peta titik groundcheck di Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2014

7
Pembuatan Areal Contoh (Training Area)
Training area digunakan untuk menghitung nilai-nilai dasar penciri kelas.
Jumlah piksel masing-masing kelas disesuaikan dengan masing-masing luas
penampakkan. Secara teoritis jumah piksel yang perlu diambil untuk mewakili
setiap kelas adalah N+1 (N = jumlah band yang digunakan), namun pada prakteknya
jumlah piksel yang dianjurkan adalah 10 N sampai 100 N (Swain dan Davis, 1978
dalam Jaya, 2002).
Areal contoh yang dibuat pada citra satelit berdasarkan koordinat tutupan lahan
yang diambil pada saat groundcheck dan berdasarkan penampakan objek pada citra.
Training area dibuat sesuai dengan kelas-kelas yang ditemukan saat melakukan
groundcheck serta informasi-informasi lain yang didapatkan.
Analisis Separabilitas
Separabilitas merupakan suatu ukuran statistik yang menggambarkan
keterpisahan yang dibuat antara dua kelas atau lebih dari hasil proses training area.
Ukuran separabilitas yang digunakan adalah dengan perhitungan nilai Transformed
Divergence (TD). Ukuran ini digunakan untuk menguji keterpisahan antar kelas
dalam satu kombinasi band (Jaya 2010). Secara matematis perhitungan nilai
separabilitas dituliskan dengan formula, sebagai berikut :
= ⁄

[(

)(

)] + ⁄
[

[(

Keterangan :
TDij = separabilitas antar kelas i dan j Dij
Ci
= matriks peragam kelas I
μi
Cj
= matriks peragam kelas j
μj
Ci-1 = matriks kebalikan kelas I
tr
Cj-1 = matriks kebalikan kelas j
T
exp = -2,718

[

]]

)(

)(

) ]

= divergence
=matriks vektor rata-rata kelas i
=matriks vektor rata-rata kelas j
=fungsi trace
=fungsi transpose

Klasifikasi Tutupan Lahan
Klasifikasi tutupan lahan pada penelitian ini menggunakan metode
kemungkinan maksimum (maximum likelihood method). Metode klasifikasi ini pada
dasarnya merupakan metode pengelompokkan piksel berdasarkan nilai pantulnya
sesuai dengan daerah contoh yang dipilih. Metode ini mengelompokkan piksel yang
belum diketahui identitasnya berdasarkan vektor rata-rata dan matriks ragam
peragam dari setiap pola spektral kelas informasi. Piksel dimasukkan menjadi satu
kelas yang memiliki probabilitas (peluang) yang tinggi.
Uji Akurasi Pemetaan
Uji akurasi pemetaan ini dilakukan untuk melihat tingkat atau persentase
kesalahan pemetaan yang dilakukan pada saat klasifikasi area contoh pada citra
satelit yang digunakan. Uji akurasi ini dilakukan untuk mengevaluasi tingkat
keakuratan yang dilakukan secara visual dan digital dari klasifikasi terbimbing.
Akurasi pemetaan ini dilakukan menggunakan matrik kontingensi (error matrix atau

8
confusion matrix) yang merupakan suatu matriks bujur sangkar yang memuat jumlah
piksel yang telah diklasifikasikan (Tabel 2).
Tabel 2 Contoh Matrik Kesalahan (Matrix Error)
Data
Referensi
A
B
C
D
Jumlah
User's
accuracy

Jumlah

Diklasifikasi ke kelas
A
X
X
X
X
X₊
X /X₊

B
X
X
X
X
X₊
X /X₊

C
X
X
X
X
X₊
X /X₊

D
X
X
X
X

Producer's
accuracy

X₊
X₊
X₊
X₊

X
X
X
X

/X ₊
/X ₊
/X ₊
/X ₊

X₊
X /X₊

Menurut Jaya (2010), dari matrik kontingensi atau matrik kesalahan dapat
akurasi yang dapat dihitung yaitu akurasi pembuat (producer’s accuracy), akurasi
pengguna (user’s accuracy) dari tiap kelas, akurasi keseluruhan (overall accuracy),
serta akurasi kappa (kappa accuracy). Secara matematis rumus menghitung akurasi
tersebut sebagai berikut :
ii

1. Producer’s Accuracy (PA)
2. User’s Accuracy (UA)

i

3. Overall Accuracy (OA)
4. Kappa Accuracy (K)

i
ii

∑ri

∑ri

ii

- ∑ri
- ∑ i
ii

i

i

i

Keterangan :
= nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i
= jumlah piksel dalam kolom ke-i
= jumlah piksel dalam baris ke-i
= banyaknya piksel dalam contoh

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Secara geografis Kabupaten Aceh Selatan merupakan salah satu kabupaten di
Provinsi Aceh yang teretak di wilayah pantai Barat-Selatan dengan ibukota
kabupaten adalah Tapaktuan. Luas wilayah daratan Kabupaten Aceh Selatan adalah
4176.59 km² atau 417 658.85 ha yang meliputi daratan utama di pesisir Barat-Selatan
Provinsi Aceh dengan 18 kecamatan dengan jumlah penduduk pada akhir tahun 2012

9
diperkirakan mencapai 208 160 jiwa. Sebagian penduduk terpusat di sepanjang jalan
raya pesisir dan pinggiran sungai dengan aktivitas sebagian besar
bermatapencaharian di sektor pertanian (80%) disampng usaha-usaha lainnya. Selain
itu di Kabupaten ini masih ditemukan adanya masyarakat terasing di kawasan
pedalaman yang populasinya diperkirakan mencapai 2638 jiwa (458 KK).
Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50 000, wilayah daratan
Kabupaten Aceh Selatan secara geografis terletak pada º 3’ 4”- 3º 44’ 4” LU
dan 96 º 57’ 36” - 97 º 56’ 4” BT. Batas-batas wilayah di Kabupaten Aceh Selatan
adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara
: Kabupaten Aceh Tenggara;
Sebelah Timur : Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil;
Sebelah Selatan : Samudera Hindia;
Sebelah Barat
: Kabupaten Aceh Barat Daya.

Hasil Image Fusion
Citra Landsat 8 memiliki resolusi spektral yang tinggi (11 band) dan resolusi
spasial yang sedang (30m x 30m) serta memiliki band Pancromatic yang beresolusi
spasial tinggi (15m x 15m). Untuk mengoptimalkan penggunaan band citra Landsat
8, maka dilakukan fusi citra. Sehingga didapatkan citra baru dengan resolusi spektral
dan spasial yang tinggi. Hasil fusi citra dapat mempermudah dalam analisis
klasifikasi tutupan lahan. Proses fusi citra pada bidang remote sensing ini bertujuan
untuk mempermudah langkah analisis yang memerlukan ekstraksi citra secara detail,
antara lain pada metode klasifikasi untuk analisis pemetaan penggunaan lahan (land
use) dan penutupan lahan (land cover). Fusi citra merupakan penajaman citra dengan
menggabungkan data citra multispectral (warna) yang mempunyai resolusi rendah
dengan citra pankromatik (hitam-putih atau tingkat keabuan) yang mempunyai
resolusi tinggi (Sitanggang 2006). Tujuan utama penggabungan citra (image fusion)
adalah untuk memperoleh citra baru yang mempunyai keunggulan dalam resolusi
spasial serta sekaligus resolusi spektral dari dua atau lebih data citra multisensor
yang digunakan. Selain itu menurut (Wenbo et al. 2008) untuk mendapatkan tepian
objek yang semakin jelas serta didapatkannya informasi warna yang paling tajam dan
representatif dengan mengacu pada citra multispektral.
Menurut (Johnson et al. 2014 ) proses pansharpening ini dapat meningkatkan
resolusi spasial band multispektral pada citra landsat 8 menggunakan informasi
spasial dalam resolusi spasial yang lebih tinggi (tetapi resolusi spektral lebih kecil)
pada band Pancromatic. Pada citra Landsat 8 dapat dilakukan peningkatan resolusi
pada band multispectral (band 1-7 dan 9) dari 30m menjadi 15m atau mendekati
15m setelah diakukan proses Pansharpening.
Image fusion (penajaman citra) pada penelitian ini dilakukan menggunakan
metode brovey transform. Metode tersebut merupakan sebuah metode numerik
sederhana yang digunakan untuk menggabungkan dua citra digital yang berbeda
resolusi spasial dan spektralnya. Selain itu, menurut Svab dan Otsir (2006) metode
Brovey Transform ini digunakan karena metode ini juga merupakan salah satu
metode fusi citra yang menghasilkan karakteristik spektral maupun spasial yang baik.
Gambar 3 memperlihatkan citra sebelum dilakukan fusi citra dan citra hasil fusi citra
yang digunakan dalam penelitian ini.

10

[a]

[b]

[c]
Gambar 3 Citra Landsat 8 komposit 7-5-4: [a] band panchromatic; [b] citra
sebelum dilakukan fusi citra; dan [c] citra hasil fusi citra
Penajaman citra dilakukan pada citra Landsat 8 multispektral dengan resolusi
spasial 30 meter (8 band: coastal blue, blue, green, red, NIR, SWIR-1, SWIR-2, dan
cirrus) dan citra Landsat 8 Panchromatic (Pan) dengan resolusi spasial 15 meter.
Hasil perbandingan kualitas gambar citra Landsat 8 sebelum dilakukan fusi citra dan
hasil penajaman citra yang telah di-subset sesuai dengan batas administrasi
Kabupaten Aceh Selatan dapat dilihat pada Gambar 3. Terlihat bahwa terjadi
peningkatan kekontrasan yang tinggi pada hasil penajaman citra dibandingakan
dengan citra multispectral sebelum dilakukan proses Pansharpening. Ini terjadi
karena adanya perubahan pada resolusi spasial yang menjadi lebih besar (15m x
15m) dan nilai digital (DN) atau nilai-nilai pada piksel dalam suatu citra. Salah satu
contoh perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

11
Tabel 3 Contoh perubahan nilai DN setelah Image Fusion
No

Tutupan lahan

1

Pala
monokultur

Nilai DN pada citra
sebelum Pansharpening

Band 7 (R): 6393
Band 5 (G): 16132
Band 4 (B): 6785
2

3

Nilai DN pada hasil fusi citra

Band 7 (R): 703
Band 5 (G): 1898
Band 4 (B): 743

Badan air

Band 7 (R): 5698
Band 5 (G): 7109
Band 4 (B): 7689

Band 7 (R): 773
Band 5 (G): 977
Band 4 (B): 1050

Band 7 (R): 12 707
Band 5 (G): 15 651
Band 4 (B): 11 597

Band 7 (R): 1615
Band 5 (G): 1881
Band 4 (B): 1481

Lahan terbuka

Tabel 3 memperlihatkan nilai DN pada hasil fusi citra menjadi lebih kecil
dibandingkan nilai DN pada citra sebelum dilakukan fusi citra, ini dikarenakan
formula matematis pada metode Brovey Transform. Setiap band pada citra
multispektral dengan rasio dari data resolusi spasial tinggi yang dibagi dengan
jumlah band warna. Fungsi tersebut secara otomatis me-resampling tiga warna band
tersebut ke dalam ukuran piksel resolusi tinggi.
Perubahan nilai piksel atau nilai DN ini juga dapat dilihat dari histogram citra.
Histogram citra ini merupakan sebuah grafik yang menggambarkan penyebaran nilai
intensitas piksel dari suatu citra atau bagian tertentu dalam citra. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Tood et al. (1997) dalam Juniyanti (2014), sinar merah
merupakan sinar tampak yang diserap oleh zat aktif fotosintesis sehingga sinar merah
ini sensitif terhadap vegetasi. Selain itu juga, daerah kabupaten ini sebagian besar
lahannya masih didominasi oleh vegetasi. Oleh sebab itu, contoh histogram yang
diamati adalah histogram dari band sinar merah dalam Gambar 4.

12

(a)

(b)
Gambar 4 (a) Histogram band sinar merah pada citra normal (b) Histogram band
sinar merah pada citra hasil fusi
Histogram pada citra hasil fusi citra lebih lebar dari histogram pada citra
normal. Bentuk histogram yang lebar menunjukkan citra ini memiliki kontras yang
baik, karena menggunakan daerah tingkat keabuan secara penuh dengan distribusi
piksel yang hampir merata pada setiap nilai intensitas piksel. Sebaliknya, histogram
yang sempit menunjukkan citra dengan kontras rendah karena hanya menggunakan
daerah tingkat keabuan yang lebih sedikit (Ibrahim 2004). Hal ini yang menjadikan
citra hasil fusi lebih baik dari segi visual dari citra sebelum dilakukan Pansharpening.

Perhitungan Optimum Index Factor (OIF)
Komposit citra merupakan citra hasil penggabungan tiga saluran yang mampu
menampilkan keunggulan dari saluran-saluran penyusunnya (Sigit 2011).
Penggunaan komposit citra ini dikarenakan keterbatasan mata yang kurang mampu
dalam membedakan gradasi warna dan juga lebih mudah memahami dengan
pemberian warna. Pada penyajian citra dengan multispectral, biasanya dilakukan
pemilihan kombinasi band terbaik dengan tujuan memperoleh tampilan citra yang
mempunyai informasi tertinggi. OIF adalah ukuran atau derajat banyaknya informasi
yang dimuat pada suatu citra dengan kombinasi band tertentu. Ukuran ini merupakan

13
perbandingan antara total simpangan baku dari ketiga band yang dikombinasikan
dengan tiga koefisien korelasi dari masing – masing pasangan band yang digunakan.
Dalam citra Landsat 8 digunakan delapan band yaitu band 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,
dan 9. Dari delapan band tersebut dapat dibuat 56 kombinasi band. Nilai OIF pada
kombinasi band besarnya berbeda-beda pada setiap citra. Hal ini dikarenakan adanya
variasi nilai digital number (DN) yang berbeda pada citra yang direkam pada waktu
yang berbeda akibat perbedaan kndisi objek yang direkam dan akibat pengaruh dari
kondisi atmosfer. Hasil perhitungan OIF dari berbagai kombinasi band tersebut
ditampilkan dalam Tabel 4.
Tabel 4 Nilai OIF pada citra Landsat 8 dengan komposit 3 band
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

Komposit
1-2-5
1-4-5
1-3-5
2-4-5
2-3-5
1-5-8
2-5-8
1-5-6
3-4-5
2-5-6
4-5-8
3-5-8
1-5-7
2-5-7
5-6-8
3-5-6
4-5-6
1-2-6
3-5-7
4-5-7
5-7-8
1-4-6
1-3-6
2-4-6
2-3-6
1-6-8
2-6-8
3-4-6

Nilai OIF
1062
981
976
965
952
949
926
906
869
869
845
840
823
797
759
750
744
726
711
709
691
680
676
667
663
656
644
615

No
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56

Komposit
4-6-8
3-6-8
1-2-4
1-2-3
1-3-4
2-3-4
1-6-7
2-6-7
1-2-7
5-6-7
1-2-8
1-4-7
1-4-8
2-4-8
2-4-7
1-3-7
2-3-7
1-3-8
2-3-8
3-4-8
4-6-7
3-6-7
3-4-7
1-7-8
2-7-8
6-7-8
4-7-8
3-7-8

Nilai OIF
595
591
560
551
545
543
538
525
521
515
506
505
502
501
500
499
494
493
492
483
476
475
474
458
455
450
436
430

Keterangan : * menunjukkan band 9 yang didisplay pada layer 8

Dari Tabel 4, secara teori dapat diketahui bahwa pada citra yang digunakan
kombinasi band yang memiliki nilai OIF tertinggi adalah pada komposit 1-2-5 yang

14
berarti kombinasi band tersebut memiliki informasi yang terbanyak. Sedangkan
menurut Jaya (2010) citra komposit yang digunakan untuk kegiatan penginderaan
jarak jauh spectrum gelombang elektromagnetik yang digunakan mulai dari visible
(sinar tampak) sampai gelombang mikro, tetapi pada penginderaan jauh sistem optik
dengan band reflektif, spectrum elektromagnetik yang digunakan adalah inframerah
sedang (SWIR), inframerah dekat (NIR), dan sinar tampak yang secara berturut-turut
akan didisplay pada RGB guns.
Pada komposit citra 1-2-5 kenampakannya secara visual kurang baik karena
tidak memiliki visible spectrum (sinar tampak). Kemudian, nilai OIF tertinggi setelah
komposit 1-2-5 adalah citra komposit komposit 1-4-5, tetapi untuk komposit ini juga
tidak digunakan karena kenampakannya secara visual juga kurang memuaskan.
Dalam penelitian ini digunakan komposit 7-5-4, karena komposit ini memiliki
kenampakan visual yang baik dan dapat digunakan untuk analisis tutupan lahan.
Secara teori, semakin tinggi nilai OIF, semakin baik kualitas citra komposit
yang dihasilkan. Akan tetapi kombinasi antar saluran yang kurang baik juga sering
menunjukan nilai OIF yang tinggi karena dilibatkan saluran dengan panjang
gelombang kecil (blue atau green). Variasi spektral pada akhirnya dapat
meningkatkan variasi spectral dan nilai OIF (Projo 1996).

(a)
(b)
(c)
Gambar 5 (a) citra komposit 125; (b) citra komposit 145; dan (c) citra komposit 754
Klasifikasi Tutupan Lahan
Klasifikasi tutupan lahan merupakan upaya pengelompokkan berbagai jenis
tutupan lahan atau penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan tertentu. Klasifikasi
tutupan lahan digunakan sebagai acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan
jauh untuk tujuan pembuatan peta tutupan lahan. Berdasarkan teknik dari pendekatan
klasifikasi secara kuantitatif terbagi atas dua, yaitu klasifikasi tidak terbimbing
(unsupervised classification) dan klasifikasi terbimbing (supervised classification).
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode klasifikasi
terbimbing (supervised classification) yang merupakan metode klasifikasi yang
memberikan bimbingannya kepada komputer dalam proses klasifikasinya.
Klasifikasi ini mengacu pada nilai piksel yang sudah diketahui jenis penutup
lahannya melalui groundcheck serta pengenalan dan pengetahuan dari
analis/interpreter mengenai kenampakan data dalam mewakili informasi permukaan
bumi dalam citra. Proses klasifikasi ini dilakukan dengan pemilihan kategori yang
diinginkan dan memilih daerah contoh (training area) untuk setiap kategori
penutupan lahan. Training area yang telah didapatkan kemudian bisa dijadikan

15
sebagai masukan dalam proses klasifikasi untuk keseluruhan citra yang sama (Sirait
2011).
Berdasarkan hasil klasifikasi visual citra dan groundcheck di lapangan
didapatkan 16 kelas tutupan lahan, yaitu hutan rakyat pala monokultur, hutan rakyat
pala campuran, sawah baru tanam, sawah siap panen, pemukiman, badan air, hutan,
rawa, hutan rawa, semak/belukar, lahan terbuka, awan, bayangan awan, lahan kosong
di puncak, perkebunan kelapa sawit, dan perkebunan kelapa sawit yang baru ditanam.
Karakteristik tutupan lahan yang ada di lapangan dapat dilihat dalam Tabel 5,
sedangkan karakteristik tutupan lahan yang diamati di lapangan dan pada citra dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 5 Karakteristik tutupan lahan
No. Kelas tutupan lahan
1.
Pala monokultur

2.

Pala campuran

3.

Badan air

4.

Lahan terbuka

5.

Sawah siap panen

6.

Sawah baru tanam

7.

Semak/belukar

8.

Lahan terbangun

9.

Hutan

10.

Rawa

Keterangan
Hutan rakyat yang seluruh lahannya ditanami
oleh tegakan pala dengan jarak tanam yang tidak
diatur rata-rata 3-5m.
Hutan rakyat yang didominasi oleh tegakan pala
tetapi juga ditanami dengan pohon buah-buahan
dan juga beberapa tegakan lainnya seperti,
mahoni.
Lokasi yang tergenang oleh air yang tidak
dinaungi oleh vegetasi. Badan air yang
ditemukan di lapangan berupa sungai, danau dan
laut.
Lahan terbuka yang diamati di lapangan berupa
bekas galian tanah serta tidak ditumbuhi oleh
vegetasi apapun .
Kawasan pertanian lahan basah yang ditanami
dengan padi yang sudah tumbuh dengan luasan
yang sangat besar
Kawasan pertanian lahan berupa padi yang baru
ditanam, tumbuh menghijau dalam luasan yang
besar.
Areal yang terdiri dari campuran jenis rumput,
alang-alang, dan juga tumbuhan bawah lainnya
yang tumbuh berukuran kecil sampai sedang.
Lahan yang digunakan untuk pemukiman, baik
perkotaan, pedesaan, industri, fasilitas umum,
dan lain-lain.
Kawasan hutan yang ditemukan di lapang adalah
kawasan hutan alam yang terhampar luas.
Dataran rendah yang selalu tergenang air baik
dari air hujan, air tanah atau air permukaan
lainnya dan tidak ada jalan untuk pelepasan
airnya secara lancar dan biasanya ditumbuhi
dengan tanaman air.

16
Lanjutan Tabel 5
No. Kelas tutupan lahan
11. Hutan rawa

12.

Awan

13.
14.

Bayangan awan
Perkebunan kelapa
sawit
Perkebunan kelapa
sawit baru tanam
Lahan kosong di
puncak

15.
16.

Keterangan
Dataran rendah yang selalu tergenang air tawar,
biasanya terletak di belakang air payau, dan
didominasi oleh tegakan hutan yang selalu hijau
dengan tinggi pohon hingga 40 meter.
Kenampakan awan yang menutupi lahan pada
citra satelit.
Bayangan awan ini juga tampak pada citra
Kawasan perkebunan yang ditanami dengan
tanaman pertanian berupa kelapa sawit.
Lahan yang pernah ditanami dengan tanaman
perkebunan sawit.
Lahan ini berupa lahan yang tidak ditumbuhi oleh
vegetasi, berada di puncak gunung atau dataran
tinggi.

Tabel 6 Kelas tutupan lahan pada citra Landsat 8
No. Kelas Tutupan Lahan
1
Pala monokultur

2

Pala campuran

3

Badan air

4

Lahan terbuka

5

Sawah siap panen

Keadaan di Lapang

Citra

17
Lanjutan Tabel 6
No. Kelas Tutupan Lahan
6
Sawah baru tanam

7

Semak/belukar

8

Lahan terbangun

9

Hutan

10

Rawa

11

Hutan rawa

12

Perkebunan kelapa
sawit

13

Perkebunan kelapa
sawit baru tanam

14

Lahan kosong di
puncak

Keadaan di Lapang

Citra

18
Lanjutan Tabel 6
No. Kelas Tutupan Lahan
15 Awan

Keadaan di Lapang

Citra

(tidak terjangkau di
lapangan)
16

Bayangan awan
(tidak terjangkau di
lapangan)

Hasil dari proses training area yang telah dilakukan pada tiap nilai digital yang
dikelompokkan berdasarkan klasifikasi tutupan lahan yang telah ditentukan,
kemudian dilakukan evaluasi berdasarkan nilai separabilitas atau nilai
keterpisahannya. Pada saat proses training area perlu dilakukan secara cermat dan
hati-hati, karena hal ini berpengaruh terhadap akurasi hasil klasifikasi. Proses
klasifikasi secara digital serta visual pada citra satelit yang menjadi 15 kelas tutupan
lahan sudah memiliki keterpisahan yang baik jika dilihat dari rata-rata nilai digital
masing masing kelas. Evaluasi tingkat separabilitas sampel dilakukan melalui
metode Transformed Divergence (TD). Metode ini digunakan untuk mengukur
tingkat keterpisahan antar kelas. Tahap paling penting pada klasifikasi terbimbing
adalah tahap penamaan piksel (labeling) yang diperoleh dari data training area.
Setelah membuat training area untuk klasifikasi, dapat dilihat apakah area contoh
suatu kelas dapat teridentifikasi secara statistik atau melakukan uji separabilitas atau
daya keterpisahan. Nilai separabilitas pada setiap kelas tutupan lahan disajikan dalam
Tabel 7.

Tabel 7 Analisis nilai separabilitas pada 16 kelas tutupan lahan
Tutupan lahan
Pala
1
monokultur
Sawah baru
2
tanam
3
Semak/belukar

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

0

2000

1999.67

2000

2000

1970.47

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

0

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

1999.67

2000

0

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

4

Awan

2000

2000

2000

0

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

5

Badan air

2000

2000

2000

2000

0

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

6

Pala campuran
Bayangan
awan
Perkebunan
kelapa sawi
Perkebunan
kelapa sawit
baru tanam
Sawah siap
panen
Hutan

1970.47

2000

2000

2000

2000

0

2000

2000

2000

1994.53

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

0

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

0

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

0

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

1994.53

2000

2000

2000

0

2000

2000

2000

2000

1999.91

1997.32

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

0

2000

2000

2000

2000

2000

Rawa
Lahan
terbangun
Lahan terbuka
Lahan kosong
di puncak
Hutan rawa

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

0

1998.92

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

1998.92

0

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

0

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

1999.91

2000

2000

2000

2000

0

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

2000

1997.32

2000

2000

2000

2000

2000

0

7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

19

20
Hasil uji separabilitas dari hutan tanaman pala dan tutupan lahan lainya dengan
nilai separabilitas dari 1970.47 sampai 2000. Tabel 7 menghasilkan nilai
separabilitas dengan nilai keterpisahan yang terendah yaitu antara pala monokultur
dan pala campuran sebesar 1970.47. Kemudian pada tutupan lahan pala monokultur
dengan semak/belukar memiliki keterpisahan sebesar 1999.67. Selain itu dapat
dilihat juga keterpisahan antara kelas hutan dengan kelas pala monokultur sebesar
1994.53. Sedangkan nilai separabilitas pala campuran dengan hutan sebesar 1994.53,
serta pada tutupan lahan yang memiliki nilai separabilitas atau nilai keterpisahan
sebesar 1998.92 yaitu pada kelas pemukiman dengan lahan terbuka. Hal ini terjadi
karena memiliki kenampakkan yang mirip di lapangan dan juga nilai digital yang
dimiliki.
Akan tetapi tingkat keterpisahannya masih ada pada range nilai separabilitas
yang sangat baik. Dari data pada Tabel 7 juga menunjukkan nilai rata-rata
keterpisahannya 1999.65, yang artinya tingkat separabilitasnya sangat baik/good
bahkan hampir mendekati tingkat separabilitas sempurna/excellent yang bernilai
2000. Hal ini menunjukkan bahwa nilai DN antar semua kelas tutupan dan
penggunaan lahan memiliki tingkat keterpisahan yang sangat baik.
Menurut Jaya (2010) proses klasifikasi ini merupakan proses pengelompokan
piksel ke dalam kelas atau kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai
kecerahan (brightness value/BV atau digital number/DN). Tabel 8 dan Tabel 9
disajikan nilai digital tutupan lahan pada citra Landsat 8 sebelum di fusi citra.
Tabel 8 Rata-rata nilai digital number (DN) tiap tutupan lahan pada Citra Landsat 8
sebelum dilakukan fusi citra
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Tutupan lahan
Pala monokultur
Pala campuran
Hutan
Semak/belukar
Sawit
Sawah siap panen
Bayangan awan
Puncak
Rawa
Hutan rawa
Bekas sawit
Sawah baru tanam
Lahan terbangun
Lahan terbuka
Badan air
Awan

Band 4
6909.17
7026.60
6654.50
7277.19
7310.31
8841.80
6109.22
7666.29
7897.97
7098.64
8363.79
8669.17
9409.25
11 947.70
7593.89
40 585.63

Band 5
17 122.21
19 190.49
15 363.17
18 774.6
23 026.40
12 612.72
7851.04
12 530.43
13 472.77
17 037.34
13 182.62
11 882.54
12 129.16
14 595.25
6812.60
44 002.28

Band 7
6555.47
7184.85
6245.73
7605.61
7640.62
8915.21
5306.11
11 025.65
9759.07
6398.85
12 083.96
6506.10
10 449.07
12 603.54
5311.61
21 737.72

21
Tabel 9 Rata-rata nilai digital number (DN) tiap tutupan lahan pada Citra Landsat 8
yang telah melalui proses fusi citra
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Tutupan lahan
Pala monokultur
Sawah baru tanam
Semak/belukar
Awan
Badan air
Pala campuran
Bayangan awan
Sawit
Bekas sawit
Sawah siap panen
Hutan
Rawa
Hutan rawa
Lahan terbangun
Lahan terbuka
Puncak

Band 4
748.76
1057.55
730.72
3628.18
1195.27
709.36
795.65
752.15
852.71
795.81
723.10
847.25
762.80
1113.72
1480.44
797.09

Band 5
1859.00
1414.07
1848.53
4003.26
1059.79
1951.95
1080.38
2151.28
1238.19
1896.25
1890.77
1385.42
1831.42
1382.50
1828.50
1292.05

Band 7
1017.88
943.84
711.59
2602.44
765.94
721.57
659.93
793.45
1329.59
834.77
696.47
1019.62
685.03
1315.55
1580.86
1077.60

Citra Landsat 8 memiliki resolusi radiometrik 16 bit yang artinya citra ini
memliki nilai piksel 0 sampai 65 535. Dengan kombinasi RGB yang digunakan akan
menhasilkan 65 353³ kemungkinan warna yang didisplay oleh monitor. Semakin
tinggi rentang nilai DN maka akan semakin banyak informasi yang akan diperoleh.
Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa nilai DN pada citra yang tidak melalui proses
penajaman citra, memiliki nilai DN yang besar. Sedangkan pada citra hasil
pansharpening memiliki nilai DN yang jauh lebih kecil. Selain itu, dapat dilihat
bahwa kelas tutupan lahan pala monokultur dengan pala campuran memiliki nilai DN
yang mirip. Nilai keterpisahannya pun paling kecil dibanding dengan kelas tutupan
lahan lainnya yaitu senilai 1997.40 , tetapi nilai keterpisahannya tetap dalam tingkat
yang memiliki keterpisahan yang sangat bagus.

Pemetaan Hutan Tanaman Pala
Setelah dilakukan klasifikasi, setiap piksel pada citra dibandingkan dengan
setiap kategori pada kunci numerik, yaitu dengan menentukan nilai piksel yang tidak
dikenal dan yang paling mirip dengan kategori yang sama. Perbandingan ini dapat
dilakukan dengan menggunakan berbagai metode klasifikasi terkontrol (supervised
classification), diantaranya jarak terdekat terhadap nilai rerata (minimum distance),
nilai rata-rata, klasifikasi paralelepiped, klasifikasi maximum likelihood dan
klasifikasi tetangga terdekat (nearest neighbour). Metode yang digunakan pada
proses pemetaan dari hasil klasifikasi adalah metode kemiripan maksimum
(maximum likelihood classifier) berdasarkan areal contoh (training area) yang telah
ditetapkan sebelumnya. Metode klasifikasi ini pada dasarnya merupakan metode
pengelompokan piksel berdasarkan nilai pantulnya sesuai dengan daerah contoh yang

22
dipilih (Purwadhi 2001). Metode ini mengelompokkan piksel yang belum diketahui
identitasnya berdasarkan vektor rata-rata dan matriks ragam peragam dari seiap pola
spectral kelas informai. Piksel dimasukan menjadi satu kelas yang memiliki
probabilitas (peluang) yang tinggi.
Setelah dilakukan dilakukan proses klasifikasi dengan menggunakan metode
maxiumum likelihood pada citra Landsat 8 didapatkan peta klasifikasi penutupan
lahan di Kabupaten Aceh Selatan beserta luas dari tiap kelas tutupan lahannya. Pada
citra Landsat 8 sebelum dilakukan penajaman citra didapatkan hasil pemetaan yang
tidak memuaskan karena tidak sesuai tutupan lahan di lapangan.
Sedangkan pemetaan pada hasil klasifikasi dengan metode pansharpening
didapatkan hasil pemetaan yang cukup sesuai dengan tutupan lahan di lapangan.
Luas dan sebaran spasial hutan tanaman pala serta kelas-kelas penutupan lahan
lainnya disajikan dalam Tabel 10.
Tabel 10 Luas tutupan lahan di Kabupaten Aceh Selatan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Tutupan lahan
Awan
Badan air
Bayangan awan
Sawit baru tanam
Hutan
Hutan rawa
Lahan kosong (puncak)
Lahan terbuka
Pala campuran
Pala monokultur
Lahan terbangun
Rawa
Sawah baru tanam
Sawah siap panen
Perkebunan kelapa sawit
Semak/belukar
Kab. Aceh Selatan

Luas (ha)
5363.37
1893.66
1134.76
1960.90
247 976.91
62 550.10
6 481.59
15 170.37
23 814.67
5 610.18
4 831.19
428.93
958.46
1 970.43
36 152.53
1 360.81
417 658.85

Persentase (%)
1.28
0.45
0.27
0.47
59.37
14.98
1.55
3.63
5.70
1.34
1.16
0.10
0.23
0.47
8.66
0.33

100

Berdasarkan klasifikasi, penutupan lahan tahun 2014 di Kabupaten Aceh
Selatan yang didominasi oleh hutan seluas 247 976.91 Ha (59.37%) diikuti dengan
hutan rawa seluas 62 550.10 (14.98%). Lahan di Kabupaten Aceh Selatan ini pun
dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit seluas 36 152.53 Ha (8.66%).
Sedangkan luas penutupan lahan berupa hutan tanaman pala monokultur sebesar 5
610.18 ha (1.34%) dan untuk luasan hutan tanaman pala campuran sebesar 23 814.67
ha (5.70%).
Luas hutan tanaman pala cukup luas dibandingkan dengan hasil budidaya
lainnya dimasyarakat, terbukti dari hasil pemetaan yang didapatkan luas hutan
tanaman pala memiliki luasan yang tinggi lahan budidayanya setelah sawit. Memang
terlihat juga di lapangan bahwa tegakan pala adalah tegakan yang paling sering

23
dijumpai. Masyakat di Kabupaten Aceh Selatan juga hampir semuanya menanam
tegakan pala di dekat rumahnya bahkan juga pada lahan yang cukup luas. Terlihat
juga besarnya antusias masyarakat untuk menanam pala karena dari menanam pala
ini juga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat.

Gambar 6 Peta hutan rakyat pala dan tutupan lahan lainnya di Kabupaten Aceh
Selatan Tahun 2014

24

Gambar 7 Peta hutan rakyat pala monokultur dan hutan rakyat pala campuran

25
Uji Akurasi
Dalam proses identifikasi hutan tanaman pala tingkat keakuratannya harus diuji.
Selain mengevaluasi separabilitas maka dilakukan evaluasi contingency. Evaluasi ini
dilakukan untuk menguji tingkat keakuratan secara visual dari hasil klasifikasi
terbimbing (supervised classification) dengan menggunakan titik-titik kontrol yaitu
hasil groundcheck. Ketelitian klasifikasi merupakan ketepatan dan keakuratan peta
dalam pendeteksian dan pengidentifikasian suatu objek. Uji akurasi ini dilakukan
dengan menilai jumlah piksel hasil klasifikasi yang sama dengan groundcheck,
kemudian dibandingakan dengan jumlah keseluruhan hasil groundcheck. Badan
Survey Geologi Amerika Serikat (USGS) menyatakan bahwa ukuran akurasi
minimum yang dihasilkan tidak boleh kurang dari 85% dan nilai akurasi harus
kurang lebih sama untuk beberapa kategori. Matrik kontingensi yang telah
didapatkan dari hasil klasifikasi tutupan lah