Motivasi, Kepuasan Kerja dan Kinerja Penyuluh Kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat

MOTIVASI, KEPUASAN KERJA DAN KINERJA PENYULUH
KEHUTANAN DI KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT

FIRMANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Motivasi, Kepuasan
Kerja dan Kinerja Penyuluh Kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Januari 2015
Firmansyah
I351120101

RINGKASAN
FIRMANSYAH. Motivasi, Kepuasan Kerja dan Kinerja Penyuluh Kehutanan di
Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Dibimbing oleh SITI AMANAH dan DWI
SADONO.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil penyuluh kehutanan,
menganalisis tingkat motivasi, kepuasan kerja dan kinerja penyuluh kehutanan,
serta menganalisis sejauhmana profil penyuluh, motivasi dan kepuasan kerja
berhubungan dengan kinerja penyuluh kehutanan. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Maret-April 2014 di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Metode pengumpulan
data menggunakan kuesioner, wawancara, observasi, studi literatur, dan teknik
sensus (43 penyuluh kehutanan). Peubah-peubah yang diamati dan diduga
mempengaruhi kinerja penyuluh kehutanan terdiri atas: (1) profil penyuluh (umur,
masa kerja, tingkat pendidikan, dan frekuensi pelatihan), (2) motivasi kerja
(tingkat berprestasi, tingkat kepekaan terhadap informasi, tingkat pemaknaan
kerja, tingkat kewenangan dan tanggung jawab, tingkat dukungan administrasi

dan kebijakan, tingkat dukungan pembinaan dan supervisi, tingkat imbalan,
tingkat hubungan interpersonal, dan kondisi wilayah kerja), dan (3) kepuasan
kerja (faktor psikologi, faktor sosial, faktor finansial, dan faktor fisik).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penyuluh kehutanan
Kabupaten Cianjur Jawa Barat mempunyai kategori umur tua, yaitu di atas 48
tahun (72 persen), mempunyai masa kerja lama, yaitu di atas 23 tahun (58 persen),
tingkat pendidikan tinggi, yaitu S1-S2 (70 persen), dan frekuensi pelatihan yang
rendah, yaitu 1-3 kali per tahun (67 persen). Tingkat motivasi kerja termasuk
kategori tinggi cenderung sedang, tingkat kepuasan kerja termasuk kategori tinggi,
dan tingkat kinerja termasuk kategori sedang. Terdapat hubungan nyata antara
motivasi kerja dengan kinerja penyuluh kehutanan, namun tidak terdapat
hubungan nyata antara profil penyuluh dan kepuasan kerja dengan kinerja
penyuluh kehutanan.
Subpeubah profil penyuluh dan kepuasan kerja tidak ada yang berhubungan
nyata dengan kinerja penyuluh kehutanan. Hal ini dikarenakan meskipun terdapat
proses transfer ilmu, pengetahuan, dan pengalaman yang baik antara sesama
penyuluh kehutanan serta sistem kerja yang berjalan baik berupa pelaksanaan
monev di Dishutbun Cianjur, namun frekuensi pelatihan yang rendah dan tingkat
pendidikan tinggi penyuluh kehutanan yang kurang sesuai dengan bidang
kehutanan menyebabkan kinerja penyuluh kehutanan menjadi kurang optimal.

Subpeubah motivasi kerja yang berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh
kehutanan adalah tingkat berprestasi, tingkat kepekaan terhadap informasi, tingkat
pemaknaan kerja, tingkat kewenangan dan tanggung jawab, tingkat dukungan
administrasi dan kebijakan, tingkat dukungan pembinaan dan supervisi, serta
kondisi wilayah kerja. Sebaliknya, subpeubah motivasi kerja yang tidak
berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh kehutanan adalah tingkat imbalan
dan tingkat hubungan interpersonal. Adanya totalitas penyuluh dalam
melaksanakan tupoksinya walaupun dengan keterbatasan tunjangan operasional
yang ada, dan tingginya tingkat kewenangan, pengetahuan serta kemandirian
penyuluh dalam pelaksanaan tupoksinya menyebabkan kinerja penyuluh
kehutanan tetap cukup baik.

Menindaklanjuti hasil tersebut, Dishutbun Kabupaten Cianjur perlu
meningkatkan jumlah pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan
penyuluh di lapangan mengingat frekuensi pelatihan bagi penyuluh kehutanan
yang masih rendah, mengarahkan agar pendidikan tinggi yang akan ditempuh oleh
penyuluh agar sesuai dengan bidang kehutanan, dan lebih meningkatkan
kesejahteraan penyuluh kehutanan mengingat totalitas penyuluh dalam
menjalankan tupoksinya dengan segala keterbatasan yang ada. Selanjutnya,
Dishutbun Kabupaten Cianjur perlu melakukan rekruitmen penyuluh kehutanan

mengingat penyuluh kehutanan yang ada sebagian besar akan segera memasuki
usia pensiun. Pembinaan dan kaderisasi Penyuluh Kehutanan Swadaya
Masyarakat (PKSM) di setiap desa merupakan salah satu upaya untuk mengatasi
keterbatasan jumlah penyuluh kehutanan. Pentingnya penelitian lanjutan untuk
mengetahui faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kinerja penyuluh
kehutanan sebagai informasi dan upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan
penyuluhan kehutanan.
Kata kunci: penyuluh kehutanan, motivasi, kepuasan kerja, kinerja

SUMMARY
FIRMANSYAH. Motivation, Job Satisfaction and Job Performance of Forestry
Extension Workers in Cianjur District West Java Province. Supervised by SITI
AMANAH and DWI SADONO.
This study aims to describe the profile of forestry extension, analyze the
level of motivation, job satisfaction and performance of forestry extension in
Cianjur, and analyzes the extent of extension profiles, motivation and job
satisfaction related to the performance of extension forestry. The data gathering
was conducted from March to April 2014 in Cianjur Regency West Java Province.
Methods of data collection using questionnaires, interviews, observation and
study of literature with census techniques (43 forestry extension). Variables were

observed and expected to affect the performance of forestry extension consists of:
(1) extension profile (age, years of service, education level, and frequency of
training), (2) work motivation (achievement level, the sensitivity of the
information, meaning of work, levels of authority and responsibility,
administrative support and policy level, the level of support coaching and
supervision, the level of benefits, the level of interpersonal relationships, and the
condition of the working area), and (3) job satisfaction (psychological factors,
social factors, financial factors, and factors physical).
The results showed that the majority of forestry extension has older age
categories, above 48 years (72 percent), has a long working period, above 23
years (58 percent), higher education level, S1-S2 (70 percent), and frequency of
training is low, ie 1-3 times a year (67 percent). The level of work motivation
were high tended to moderate, work satisfaction were high, and the level of
performance including the moderate categories. There is an positive significant
correlation between motivation to the performance of forestry extension workers,
and there is no significant correlation between the profile of forestry extension
and job satisfaction to the performance of forestry extension workers.
Subvariable the extension profile and job satisfaction no real associated with
the performance of forestry extension. This is because even though there is
knowledge transfer, knowledge, and experience both among forestry extension

and working system that runs well in Dishutbun Cianjur, but the low frequency of
training and higher education level forestry extension that was not relevant to the
forestry sector’s causes the performance of forestry extension be less than
optimal.
Subvariable motivation to work related to the performance of forestry
extension is the level of achievement, the sensitivity of the information, meaning
the level of employment, levels of authority and responsibility, administrative
support and policy level, the level of coaching support and supervision, as well as
the condition of the working area. Instead, work motivation subvariable unrelated
to the performance of forestry extension is the rate of return and the level of
interpersonal relationships. The totality of forestry extension in carrying out their
duties despite the limitations of the existing allowance, and high levels of
authority, knowledge and independence in the execution of his duty cause the
performance of forestry extension still quite good.

Dishutbun Cianjur district needs to increase the number of training
appropriate to the needs and problems of extension workers in the field, directed
that higher education will be pursued by further extension to match the forestry
sector, and further improve the welfare of the extension forestry considering the
totality of extension in their duties with all the limitations that exist. Furthermore,

there needs to be an effort to recruit candidates for forestry extension considering
most will soon retire. The importance of further research to determine other
factors associated with the performance of extension agents as information and
efforts to improve the quality of forestry extension services.
Key words: forestry extension workers, motivation, job satisfaction, job
performance.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MOTIVASI, KEPUASAN KERJA DAN KINERJA PENYULUH
KEHUTANAN DI KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT


FIRMANSYAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Aida Vitayala S Hubeis

Judul Tesis : Motivasi, Kepuasan Kerja dan Kinerja Penyuluh Kehutanan di
Kabupaten Cianjur Jawa Barat
Nama
: Firmansyah
NIM
: I351120101


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua

Dr Ir Dwi Sadono, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sumardjo, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian:
28 November 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah
penyuluh kehutanan, dengan judul Motivasi, Kepuasan Kerja dan Kinerja
Penyuluh Kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Ucapan terima kasih
penulis ucapkan kepada:
1.
Komisi pembimbing Dr Ir Siti Amanah MSc (Ketua) dan Dr Ir Dwi Sadono
MSi (Anggota) yang telah membimbing dan memberikan saran, masukan
serta arahan dalam penyusunan karya ilmiah ini.
2.
Penguji luar komisi Prof Dr Ir Aida Vitayala S Hubeis atas masukan dan
sarannya.
3.

Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Prof Dr Ir Sumardjo
MS dan seluruh Dosen beserta karyawan PPN IPB atas semua ilmu dan
bantuannya.
4.
Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak Ibnu Mas’ud dan Ibu Sultonih atas
doa dan kasih sayangnya selama ini.
5.
Istriku tercinta Rahayu Ningsih dan Anakku tersayang Khairul Azzam, atas
dukungan, kasih sayang dan pengorbanannya.
6.
Rekan-rekan PPN IPB Angkatan 2012 yaitu Mujiburrahmad, Aan
Hermawan, Ismilaili, Rindi Metalisa, Nurul Dwi Novikarumsari, Lina
Asnamawati dan Annisa Yulia Handayani. Terima kasih atas kebersamaan
kita yang tak terlupakan.
7.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cianjur Jawa Barat atas
perkenannya memberikan segala data dan informasi yang diperlukan.
8.
Seluruh Penyuluh Kehutanan Kabupaten Cianjur Jawa Barat atas
kerjasamanya terutama Bapak Hadi Firmansyah dan seluruh keluarganya
yang telah memberikan bantuan akomodasi penginapan selama penelitian.
9.
Pusat Penyuluhan Kehutanan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM
Kehutanan Kementerian Kehutanan atas beasiswa pascasarjana dan biaya
penelitian yang diberikan.
10. Seluruh Penyuluh Kehutanan Ahli di Pusat Penyuluhan Kehutanan atas
dukungan dan sarannya.
11. Semua pihak terkait yang tidak dapat penulis sebutkan yang turut membantu
kelancaran penyusunan karya ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belumlah sempurna, namun
penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi
pengembangan ilmu penyuluhan di bidang kinerja penyuluh.
.
Bogor, Januari 2015
Firmansyah
I351120101

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Motivasi Kerja
Kepuasan Kerja
Kinerja
Kebijakan dan Pembangunan Penyuluhan Kehutanan
Penyuluh Kehutanan
Jabatan dan Tupoksi Penyuluh Kehutanan
Kerangka Berpikir Penelitian
Hipotesis Penelitian
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Sampel
Desain Penelitian
Pengembangan Instrumen Penelitian
Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah
Uji Coba Instrumen
Teknik Pengumpulan Data
Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Profil Penyuluh Kehutanan
Tingkat Motivasi Kerja
Tingkat Kepuasan Kerja
Tingkat Kinerja Penyuluh Kehutanan
Hubungan Profil dengan Kinerja Penyuluh Kehutanan
Hubungan Motivasi Kerja dengan Kinerja Penyuluh Kehutanan
Hubungan Kepuasan Kerja dengan Kinerja Penyuluh Kehutanan
5 SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

i
ii
ii
ii
1
1
3
4
5
5
5
7
9
12
14
15
17
20
20
20
20
20
20
21
26
27
28
29
29
31
34
42
45
51
53
57
59
60
78

DAFTAR TABEL
1 Jumlah pengadaan kendaraan roda dua penyuluh kehutanan
2 Hasil uji instrumen penelitian
3 Distribusi penyuluh, PKSM dan KTH di Kabupaten Cianjur
4 Profil penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur
5 Skor tingkat motivasi kerja penyuluh kehutanan Kabupaten Cianjur
6 Skor tingkat kepuasan kerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur
7 Skor tingkat kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur
8 Nilai koefisien korelasi profil penyuluh dengan kinerjanya
9 Nilai koefisien korelasi motivasi kerja penyuluh dengan kinerjanya
10 Nilai koefisien korelasi kepuasan kerja penyuluh dengan kinerjanya

14
27
30
32
35
42
46
51
53
57

DAFTAR GAMBAR
1 Bagan kerangka berpikir penelitian motivasi, kepuasan kerja dan
kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat

19

DAFTAR LAMPIRAN
1 Sketsa wilayah penelitian Kabupaten Cianjur
2 Luas dan produksi hutan rakyat Kabupaten Cianjur tahun 2012
3 Luas kawasan hutan di Kabupaten Cianjur berdasarkan fungsi atau
statusnya
4 Hasil uji validitas dan reliabilitas
5 Hasil Uji Korelasi Pearson
6 Uji beda nyata kinerja penyuluh penyuluh, atasan dan petani
7 Sarana dan prasarana penyuluhan di Kabupaten Cianjur
8 Hutan dan kebun bibit rakyat di Kabupaten Cianjur

65
66
67
68
72
74
76
77

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan kehutanan penting untuk diperhatikan mengingat saat ini
sekitar 48.8 juta orang bergantung hidupnya dari hutan dan 10.2 juta orang secara
struktural ekonomi termasuk dalam kategori miskin. Sektor kehutanan juga
merupakan salah satu sektor yang berkontribusi dalam pembangunan kelestarian
lingkungan hidup. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan pembangunan milenium
saat ini (millennium development goals/ MDGs) yang ke-tujuh, berbunyi
“Memastikan Kelestarian Lingkungan” (Kemenhut 2012).
Kebijakan pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan dalam
pembangunan kehutanan kini lebih menitikberatkan pada masyarakat sebagai
pelaku utama kegiatan. Hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang kehutanan pasal 70 dimana pemerintah wajib mendorong
peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang
berdaya guna dan berhasil guna. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui partisipasi mereka dalam kegiatan
pembangunan kehutanan. Salah satu bentuk upaya pemerintah pusat melalui
Kementerian Kehutanan dalam pembangunan kehutanan adalah dengan
meningkatkan partisipasi dan peran serta masyarakat melalui pemberdayaan,
pembinaan atau pendampingan. Melalui partisipasi dan peran serta masyarakat
sebagai pelaku utama dalam kegiatan-kegiatan pembangunan kehutanan,
diharapkan kerusakan terhadap sumber daya hutan dapat diminimalisir.
Menurut data Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur (2014), selama periode
tahun 1995-2006 diketahui bahwa laju pertambahan penduduk di Kabupaten
Cianjur saat ini adalah salah satu yang tertinggi di Provinsi Jawa Barat yakni ratarata 1.86 persen per tahun. Namun untuk kurun waktu 2005-2015, perkiraan laju
pertumbuhan penduduknya diperkirakan 1.62-1.86 persen. Hal tersebut tentu
menyebabkan semakin tinggi pula kebutuhan masyarakat akan sandang, pangan,
papan, serta berbagai keperluan lainnya. Masalah sosial ekonomi yang
diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk tersebut, secara langsung maupun tidak
langsung akan berdampak pula pada kelestarian sumber daya hutan di Provinsi
Jawa Barat khususnya di Kabupaten Cianjur.
Luas keseluruhan hutan rakyat di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2010
tercatat 419 041 ha. Kabupaten Cianjur adalah kabupaten yang memiliki hutan
rakyat terluas di Jawa Barat yaitu 60 221 ha atau 14.37 persen dari total luas hutan
rakyat di Jawa Barat (Kemenhut 2011). Seiring dengan waktu, luas hutan rakyat
di Kabupaten Cianjur kini menurun menjadi 47 603 ha (Dishutbun Cianjur 2012).
Berkenaan dengan hal tersebut, maka diperlukan upaya penanggulangan
gangguan terhadap kelestarian sumber daya hutan secara umum dan secara khusus
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan kehutanan.
Kegiatan penyuluhan kehutanan merupakan salah satu solusi yang dinilai efektif
dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan sumber
daya hutan secara optimal.
Jumlah penyuluh kehutanan Pegawai Negeri Sipil yang ada di Indonesia
masih sangat terbatas, yakni 4 091 orang yang terdiri dari Penyuluh Kehutanan

2

Tingkat Terampil sebanyak 2 726 orang, dan Penyuluh Kehutanan Tingkat Ahli
sebanyak 1 365 orang. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki
jumlah penyuluh kehutanan tertinggi ketiga di Indonesia setelah Provinsi Jawa
Tengah dan Jawa Timur, yaitu sekitar 480 orang atau 11.73 persen dari total
penyuluh kehutanan di Indonesia. Kabupaten Cianjur adalah kabupaten yang
memiliki jumlah penyuluh kehutanan tertinggi di Provinsi Jawa Barat yakni 50
orang penyuluh kehutanan atau 10.4 persen dari jumlah penyuluh kehutanan yang
ada di Provinsi Jawa Barat (Kemenhut 2013).
Kementerian Kehutanan (2010) mencatat jumlah desa yang berhubungan
dengan kawasan hutan di Indonesia sebanyak 31 957 desa yang terdistribusi di
dalam kawasan hutan sebanyak 1 305 desa (4.08 persen), tepi kawasan hutan
sebanyak 7 943 desa (24.86 persen), dan di sekitar kawasan hutan tercatat
sebanyak 22 709 desa (71.06 persen). Apabila dibandingkan antara jumlah
penyuluh kehutanan dengan jumlah desa hutan yang ada, maka terdapat perbedaan
yang sangat besar dimana setiap penyuluh harus membina sekitar delapan desa.
Mengingat terbatasnya jumlah penyuluh kehutanan yang ada, maka optimalisasi
kinerja penyuluh kehutanan sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan
pembangunan sektor kehutanan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka hal-hal
yang berhubungan dengan optimalisasi kinerja dari penyuluh kehutanan menjadi
sangat penting untuk diteliti.
Penelitian yang berkaitan dengan kinerja penyuluh kehutanan sampai saat
ini masih sangat terbatas. Penelitian terhadap kinerja penyuluh kehutanan
sebelumnya pernah dilakukan oleh Asmoro (2009) di Kabupaten Kuningan dan
Purwakarta Provinsi Jawa Barat yang merekomendasikan perlu dilakukannya
penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang berhubungan dengan
kinerja penyuluh kehutanan.
Penelitian terhadap kinerja penyuluh kehutanan sampai saat ini belum
mengkaji secara khusus dan mendalam faktor individu dan faktor psikologis
penyuluh. Pada penelitian sebelumnya, pengukuran tingkat kinerja penyuluh
kehutanan hanya berdasarkan teori penilaian kinerja dan belum mengacu pada
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi penyuluh kehutanan sesuai Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 27 Tahun 2013. Hal ini
mendasari pentingnya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kinerja
penyuluh kehutanan berdasarkan pelaksanaan tugas pokoknya.
Kinerja penyuluh kehutanan pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor. Kinerja penyuluh kehutanan seperti halnya penyuluh
pertanian sangat dipengaruhi oleh faktor individu, faktor psikologis dan
lingkungan atau organisasi tempat penyuluh bertugas. Hubeis (2007)
mengemukakan bahwa hubungan kepuasan kerja dengan produktivitas penyuluh
pertanian lapangan di Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat bernilai positif
namun tidak berkorelasi secara nyata. Kusumawati (2008) mengemukakan bahwa
terdapat hubungan nyata antara kepuasan kerja dengan kinerja pegawai. Suhanda
et al. (2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan sangat nyata antara motivasi
intrinsik sebagai faktor motivator dan motivasi ekstrinsik sebagai faktor hygiene
dengan kinerja penyuluh pertanian di Provinsi Jawa Barat.
Sejalan dengan hal tersebut, Sapar et al. (2011) dan Hamzah (2011)
menemukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara sejumlah faktor individu
seperti umur, pelatihan, masa kerja dan motivasi kerja dengan kinerja penyuluh

3

pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa faktor individu dan motivasi kerja juga
merupakan unsur penting yang dapat mempengaruhi kinerja dari seorang
penyuluh.
Menindaklanjuti hasil penelitian-penelitian tersebut, penyuluh kehutanan
sebagaimana halnya pekerja pada umumnya, kinerjanya terkait dengan unsur
motivasi kerja (Koys 2001), serta unsur komitmen dan kepuasan kerja (Carmeli &
Freud 2004). Hal ini sesuai dengan pendapat pakar bahwa kinerja dipengaruhi
oleh kemampuan dan motivasi (Ainsworth et al. 2002). Gibson (2000) kemudian
secara jelas menggambarkan adanya hubungan timbal balik antara kinerja dan
kepuasan kerja.
Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa kepuasan kerja dapat
mempengaruhi kinerja seseorang di dalam organisasi dimana individu yang
memiliki kepuasan kerja yang tinggi mempunyai sikap yang positif terhadap
pelaksanaan kerjanya, sedangkan individu yang tidak memiliki kepuasan kerja
mempunyai sikap yang negatif terhadap pelaksanaan pekerjaannya. Berdasarkan
hal tersebut, faktor-faktor lain yang ingin ditelaah lebih mendalam dan
diperkirakan berhubungan dengan kinerja dari penyuluh kehutanan yaitu profil
individu penyuluh, motivasi dan kepuasan kerja dari penyuluh kehutanan.
Optimalnya kinerja dari penyuluh kehutanan diharapkan akan berdampak
secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberdayaan dan kemandirian
masyarakat hutan di suatu daerah. Melalui kinerja penyuluh kehutanan yang baik,
diharapkan juga dapat menekan laju degradasi luasan hutan termasuk hutan rakyat
di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Hal tersebut menjadi dasar pentingnya
penelitian ini dilakukan sebagai upaya masukan ataupun saran serta informasi
kepada pihak-pihak terkait untuk peningkatan profesionalisme penyuluh
kehutanan agar lebih baik lagi sesuai dengan tuntutan profesinya.
Perumusan Masalah
Mengingat terbatasnya jumlah penyuluh kehutanan yang ada saat ini, maka
optimalisasi kinerja penyuluh kehutanan sangat dibutuhkan untuk mengefektifkan
peran dan fungsi mereka sebagai pendamping, pembina maupun pengembang ideide kegiatan pembangunan kehutanan. Terlebih lagi peran penyuluh dalam
mengatasi masalah-masalah kehutanan di lapangan sangat vital dibutuhkan.
Jumlah penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat setiap tahun
terus mengalami penurunan. Pada tahun 2012, jumlah penyuluh kehutanan di
Kabupaten Cianjur berjumlah 59 orang, dan pada akhir tahun 2013 berubah
menjadi sebanyak 50 orang (Kemenhut 2013).
Banyaknya faktor yang menyebabkan penurunan jumlah penyuluh
kehutanan, selain karena memasuki usia pensiun, juga disebabkan adanya pindah
jabatan yaitu beralih ke jabatan nonstruktural. Hal ini tentu harus menjadi
perhatian mengingat Kabupaten Cianjur memiliki potensi kehutanan yang tinggi
sehingga membutuhkan penyuluh kehutanan yang memadai baik dari kualitas
maupun kuantitasnya.
Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat saat ini tercatat memiliki luas
wilayah 350 148 Km2 dimana terdapat luas kawasan hutan seluas 89 834 ha dan
hutan rakyat seluas 47 603 ha. Saat ini banyak kegiatan kehutanan di Kabupaten
Cianjur yang membutuhkan pendampingan ataupun pembinaan dari penyuluh

4

kehutanan seperti program penghijauan dalam bentuk pengembangan hutan
rakyat, kebun bibit rakyat, pemeliharaan kebun bibit permanen maupun aneka
usaha kehutanan lainnya seperti budidaya jamur, tanaman obat dan lainnya.
Berbagai kegiatan pembangunan kehutanan seperti yang diuraikan di atas,
berhasil atau tidak tentunya tidak terlepas dari kinerja penyuluh kehutanan dalam
menjalankan tugas pokok yang salah satu fungsi dan perannya adalah
memberdayakan, membina dan mendampingi masyarakat sasaran. Oleh karena
itu, sebagai profesi yang bertugas memberdayakan, membina, mendampingi dan
memberi contoh kepada para petani hutan, penyuluh kehutanan semestinya juga
harus memiliki semangat dalam melaksanakan tugasnya.
Berdasarkan fakta di lapangan, masih sering dijumpai penyuluh kehutanan
di Kabupaten Cianjur yang terlihat kurang memiliki semangat dalam
melaksanakan tugasnya. Hal ini tentu disebabkan oleh berbagai faktor, salah satu
kemungkinan sebabnya adalah kurangnya motivasi dan kepuasan kerja dari
penyuluh kehutanan.
Zainun (2004) menyatakan bahwa kepuasan kerja yang timbul dari sebuah
pekerjaan maka akan membuat seseorang melaksanakan pekerjaannya dengan
sungguh-sungguh dan menumpahkan perhatian yang penuh kepada pekerjaannya
tersebut. Hasil penelitian Widiyawati (Hubeis 2007) menyatakan bahwa pekerja
yang termotivasi akan menggunakan 80-90 persen kemampuannya dalam bekerja
dan mereka yang tidak termotivasi hanya memakai 20-30 persen kemampuannya
dalam bekerja.
Menindaklanjuti hasil rekomendasi penelitian Asmoro (2009), maka penting
dilakukan penelitian lanjutan mengenai kinerja penyuluh kehutanan khususnya di
Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Adanya perkembangan pembangunan penyuluhan
kehutanan saat ini yaitu terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang
Sistem Penyuluhan, Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, serta adanya kebijakan
pemerintah pusat untuk melakukan sertifikasi setiap penyuluh kehutanan sejak
tahun 2010 dan rencana pemberian tunjangan profesi bagi penyuluh kehutanan
diduga dapat memberikan perubahan kinerja penyuluh kehutanan yang lebih baik
dari sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah yang dirumuskan dalam
penelitian ini diantaranya yaitu:
1. Bagaimanakah kondisi profil penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur
Jawa Barat?
2. Bagaimanakah tingkat motivasi, kepuasan kerja dan kinerja penyuluh
kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat?
3. Sejauhmana hubungan antara profil penyuluh, motivasi dan kepuasan kerja
dengan kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa barat?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan profil penyuluh kehutanan Kabupaten Cianjur Jawa Barat.
2. Menganalisis tingkat motivasi, kepuasan kerja dan kinerja penyuluh
kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat.
3. Menganalisis hubungan antara profil, motivasi dan kepuasan kerja dengan
kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat.

5

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan penyelenggara
penyuluhan kehutanan di daerah, para penyuluh, dan pihak yang terkait
dalam rangka upaya peningkatkan kualitas sumber daya manusia kehutanan
Indonesia pada umumnya dan khususnya penyuluh kehutanan.
3. Sebagai informasi yang dapat digunakan untuk penelitian lanjutan terhadap
permasalahan yang sama di masa yang akan datang.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Motivasi Kerja

Berbagai pakar mengetengahkan pandangannya tentang definisi motivasi.
Pandangan para pakar tersebut melahirkan berbagai teori motivasi.
Padmowihardjo (1994) menjelaskan bahwa kata motivasi berasal dari dua kata
yakni motif dan asi (action). Motif berarti dorongan dan asi berarti usaha,
sehingga motivasi dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan manusia untuk
menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Motivasi juga
dapat artikan sebagai faktor pendorong yang berasal dari dalam diri manusia yang
akan mempengaruhi cara bertindak seseorang. Berdasarkan hal tersebut, motivasi
kerja akan berpengaruh terhadap kinerja seseorang.
Uno (2006) menyatakan bahwa motivasi berasal dari kata motif, yaitu
dorongan yang terdapat dalam diri seseorang untuk berusaha mengadakan
perubahan tingkah laku yang lebih baik dalam memenuhi kebutuhannya. Motivasi
tidak dapat diamati langsung, tetapi dapat diinterpretasikan dari tingkah lakunya.
Jadi, motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respon dari suatu aksi, yaitu
mencapai tujuan dimana tujuan ini menyangkut tentang kebutuhan.
Terkait konsep tentang motivasi, yang pertama kali terkenal dikemukakan
oleh Maslow tahun 1943 berdasarkan tingkatan kebutuhan seseorang yang
kemudian dikenal dengan “Teori Motivasi Kebutuhan Maslow”. Menurut teori
ini, seseorang berperilaku karena adanya dorongan untuk memperoleh pemenuhan
dalam bermacam-macam kebutuhan. Seseorang akan membutuhkan jenjang
kebutuhan selanjutnya bila kebutuhan sebelumnya telah tercapai. Menurut
Maslow kebutuhan berjenjang meliputi: (1) kebutuhan fisiologis manusia
meliputi: makan, minum, pakaian bertempat tinggal dan kebutuhan fisik lainnya,
(2) kebutuhan untuk memperoleh keselamatan, keamanan, jaminan atau
perlindungan dari ancaman yang membahayakan kelangsungan hidup dan
kehidupannya, (3) kebutuhan untuk disukai dan menyukai, disenangi dan
menyenangi, bergaul, berkelompok, bermasyarakat, (4) kebutuhan untuk
memperoleh kehormatan, penghormatan, pujian, penghargaan dan pengakuan, (5)
kebutuhan untuk kebanggaan, kekaguman dan kemasyhuran sebagai orang yang

6

mampu dan berhasil mewujudkan potensi bakatnya dengan hasil prestasi yang
luar biasa (Steers et al. 1996).
Atkinson dan Mac Clelland tahun 1961 (Zainun 2004) lebih lanjut
menampilkan tiga macam motif utama pada manusia dalam bekerja yang
dikemudian dikenal dengan nama “Teori Motivasi Berprestasi” yaitu: (1)
kebutuhan merasa berhasil atau berprestasi, (2) kebutuhan untuk bergaul atau
berteman, dan (3) kebutuhan untuk berkuasa. Sekalipun semua orang mempunyai
kebutuhan atau motif ini, namun kekuatan pengaruh kebutuhan itu tidak sama
bagi setiap orang, bahkan untuk satu orang yang sama tidak sama kuatnya pada
kondisi atau saat yang berbeda. Lebih lanjut, Atkinson dan Mac Clelland sudah
menggunakan teori mereka ini untuk meningkatkan kinerja suatu pekerja dengan
jalan menyesuaikan kondisi sedemikian rupa sehingga dapat menggerakkan orang
ke arah pencapaian hasil yang diinginkannya.
Teori motivasi yang paling terkenal lainnya yaitu dari Hezberg tahun 1966
yang terkenal dengan “Teori Dua Faktor”. Teori ini menyatakan bahwa pada
setiap pelaksanaan pekerjaan akan terdapat dua faktor penting yang
mempengaruhi suatu pekerjaan dilaksanakan dengan baik atau tidak. Faktor
tersebut adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik (Uno 2006). Faktor intrinsik
berhubungan dengan perasaan positif terhadap pekerjaan dan berasal dari
pekerjaan itu sendiri. Faktor ekstrinsik berhubungan dengan perasaan negatif
terhadap pekerjaan dan berhubungan dengan lingkungan dimana pekerjaan
tersebut dilakukan. Faktor ekstrinsik tersebut akan berfungsi sebagai
pemeliharaan faktor intrinsik, sehingga faktor ini sering disebut dengan faktorfaktor hygiene.
Pada tahun 1972, Psikolog Clayton Alderfer sepakat dengan Maslow bahwa
motivasi pekerja dapat diukur menurut hierarki kebutuhan. Menurut pendapat
Alderfer yang kemudian dikenal dengan “Teori ERG”, bahwa kebutuhankebutuhan manusia dibagi ke dalam tiga kategori yaitu: (1) kebutuhan eksistensi
(kebutuhan fundamental Maslow ditambah tunjangan tambahan di tempat kerja),
(2) kebutuhan hubungan personal dan interpersonal, (3) kebutuhan pertumbuhan,
seperti kreativitas, produktif (Uno 2006).
Stoner dan Freeman (1994) kemudian menyatakan bahwa teori kebutuhan
Maslow dan teori Alderfer sukar untuk diuji, dikarenakan aplikasinya sulit untuk
dilakukan evaluasi pada lingkungan organisasi, praktek manajemen atau
pemenuhan kebutuhan pribadi karyawan. Kedua teori ini menawarkan pengertian
yang bermanfaat mengenai kebutuhan manusia.
Sejalan dengan teori Herzberg tahun 1966, Malone (Uno 2006)
membedakan dua bentuk motivasi yang meliputi motivasi intrinsik dan motivasi
ekstrinsik. Motivasi intrinsik timbul tidak memerlukan ransangan dari luar karena
memang telah ada dalam diri individu sendiri, sedangkan motivasi ektrinsik
berkembang karena adanya ransangan dari luar individu. Menurut Suhanda et al.
(2009) faktor-faktor intrinsik meliputi motivasi berprestasi, kesempatan
pengembangan karir, pemaknaan pekerjaan, kewenangan dan tanggung jawab,
sedangkan faktor-faktor ekstrinsik diantaranya adalah sistem administrasi dan
kebijakan, pembinaan dan supervisi, kondisi kerja, gaji dan honor.
Uno (2006) menyatakan bahwa ciri-ciri yang dapat diamati dari seseorang
yang memiliki motivasi kerja yang baik antara lain: (1) memiliki kinerja yang
baik dan tergantung pada usaha dan kemampuan yang dimilikinya sendiri

7

dibandingkan dengan melalui kelompok, (2) memiliki kemampuan dalam
menyelesaikan tugas-tugas yang sulit, dan (3) seringkali memiliki umpan balik
yang kongkret tentang bagaimana seharusnya ia melaksanakan tugas secara
optimal.
Mengacu pada uraian teoritis dan pakar di atas, dapat didefinisikan bahwa
motivasi kerja merupakan salah satu faktor yang turut menentukan kinerja
seseorang. Perbedaan motivasi kerja bagi seseorang biasanya akan tercermin
dalam berbagai kegiatan, terutama dari kinerja atau prestasi kerja yang
dicapainya.
Pada penelitian ini, berdasarkan konsep teori dua faktor dari Herzberg dan
pendapat dari Malone yang menyatakan bahwa motivasi terbagi menjadi dua,
yaitu motivasi intrinsik yang meliputi: (1) tingkat berprestasi, (2) tingkat
kepekaan terhadap informasi, (3) tingkat pemaknaan kerja, (4) tingkat
kewenangan dan tanggung jawab. Kemudian motivasi ekstrinsik meliputi (1)
tingkat dukungan administrasi dan kebijakan, (2) tingkat dukungan pembinaan
dan supervisi, (3) tingkat imbalan, (4) tingkat hubungan interpersonal, serta (5)
kondisi wilayah kerja.
Kepuasan Kerja
Menurut Siagian (1995) bahwa kepuasan kerja merupakan suatu cara
pandang seseorang baik yang bersifat positif maupun yang negatif tentang
pekerjaannya dimana situasi lingkungan pun turut berpengaruh pada tingkat
kepuasan kerja seseorang. Pemahaman yang lebih tepat tentang kepuasan kerja
dapat terwujud apabila analisis tentang kepuasan kerja dikaitkan dengan prestasi
kerja (kinerja), tingkat kemangkiran (absensi), keinginan pindah, usia pekerja,
tingkat jabatan dan besar kecilnya organisasi.
Davis dan John (Puspadi 2002) menyatakan bahwa kepuasan kerja
merupakan seperangkat persepsi seseorang tentang menyenangkan atau tidaknya
pekerjaan. Kemudian As’ad (2003) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah
perasaan seseorang terhadap pekerjaan, artinya kepuasan kerja merupakan hasil
interaksi manusia dengan lingkungan kerjanya.
Sejalan dengan David dan John serta As’ad, Robbins dan Judge (2008) juga
berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah sebagai suatu perasaan positif tentang
pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya.
Menurutnya, konsep kepuasan kerja mengacu pada sikap umum seseorang
terhadap pekerjaannya.
Menurut Zainun (2004), sampai saat ini para pakar dan ahli masih saling
bertentangan mengenai hubungan antara kepuasan kerja dengan kinerja seseorang.
Satu mazhab menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada hubungan antara kepuasan
kerja dengan kinerja seseorang. Namun di kalangan lainnya terdapat keyakinan
tentang adanya hubungan itu bahwa kepuasan kerja akan meningkatkan kinerja
seseorang.
Gibson (2000) menyatakan pendapat adanya hubungan timbal balik antara
kinerja dan kepuasan kerja. Pernyataan Gibson tersebut kemudian diperkuat oleh
Zainun (2004) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja yang timbul dari sebuah
pekerjaan maka akan membuat seseorang melaksanakan pekerjaannya dengan

8

sungguh-sungguh dan menumpahkan perhatian yang penuh kepada pekerjaannya
tersebut.
Wexley dan Yulk (Puspadi 2002) lebih lanjut mengatakan bahwa persepsi
individu tentang pekerjaannya akan menentukan kepuasan kerjanya. Persepsi
individu tentang pekerjaan dipengaruhi oleh karakteristik individu yang terdiri
atas kebutuhan, nilai-nilai, kepribadian dan lingkungan kerja yang terdiri dari
imbalan, pembinaan, pekerjaan itu sendiri, kolega, keamanan kerja, kesempatan
untuk berkembang atau karir. Banyak faktor yang menentukan kepuasan kerja,
antara lain: (1) pekerjaan yang menantang; (2) penghargaan yang adil; (3)
lingkungan kerja yang mendukung; (4) dukungan rekan kerja, dan (5) kesesuaian
antara kepribadian dengan pekerjaan. Kemudian As’ad (2003) juga menjelaskan
bahwa kepuasan kerja dari tiap-tiap individu secara garis besar dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya yaitu: (1) faktor psikologi, (2) faktor sosial, (3)
faktor finansial, (4) faktor fisik. Sejalan dengan hal tersebut, Robbins dan Judge
(2008) berpendapat bahwa kepuasan kerja dapat mempengaruhi kinerja seseorang
dimana individu yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi mempunyai sikap
yang positif terhadap pelaksanaan kerjanya, sedangkan individu yang tidak
memiliki kepuasan kerja mempunyai sikap yang negatif terhadap pelaksanaan
pekerjaannya.
Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa pekerja yang bahagia dengan
pekerjaannya akan cenderung lebih produktif dan memiliki kinerja yang baik,
meskipun sulit untuk mengatakan ke mana arah hubungan sebab akibatnya.
Sebuah tinjauan dari 300 penelitian menunjukkan adanya korelasi yang cukup
kuat antara kepuasan kerja dengan kinerja seseorang. Robbins dan Judge
kemudian dalam penelitiannya menemukan bahwa, ketika data produktivitas dan
kepuasan secara keseluruhan dikumpulkan dalam suatu organisasi, mereka
menemukan bahwa organisasi yang mempunyai karyawan yang lebih puas
cenderung lebih efektif dan optimal bila dibandingkan dengan karyawan yang
tidak puas.
Menurut Robbins dan Judge (2008), bahwa respon karyawan yang tidak
puas dengan pekerjaannya yaitu: (1) keluar, yaitu perilaku yang ditunjukkan
seseorang dengan mencari posisi baru atau mengundurkan diri, (2) aspirasi, yaitu
secara aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi termasuk menyarankan
perbaikan, mendiskusikan dengan atasan dan beberapa aktivitas, (3) kesetiaan,
yaitu secara pasif tetapi tetap optimis menunggu membaiknya kondisi termasuk
membela dan mempercayai organisasi melakukan hal yang benar, (4) pengabaian,
yaitu secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk
ketidakhadiran, keterlambatan yang terus menerus, kurangnya gairah, dan
meningkatnya angka kesalahan. Hal tersebut menjadi berguna bagi organisasi
dalam mempresentasikan konsekuensi yang mungkin dari ketidakpuasan kerja
karyawan.
Penelitian Hubeis (2007) menitikberatkan pada hubungan kepuasan kerja
terhadap produktivitas penyuluh pertanian lapangan di Kabupaten Sukabumi
Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa hubungan kepuasan
kerja dengan produktivitas penyuluh pertanian lapangan bernilai positif namun
tidak berkorelasi secara nyata. Pada penelitian tersebut, unsur kepuasan kerja yang
diteliti yaitu: (1) faktor psikologis, (2) faktor sosial, (3) faktor fisik, dan (4) faktor
finansial.

9

Merujuk pendapat dari para pakar, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan
kerja adalah tingkat persepsi dan perasaan yang bersifat positif maupun negatif
seseorang terhadap pekerjaannya. Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor
yang diduga dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja penyuluh kehutanan
dalam penelitian ini yaitu: (1) faktor psikologi, (2) faktor sosial, (3) faktor
finansial dan (4) faktor fisik.
Kinerja
King (1993) menjelaskan bahwa kinerja adalah aktivitas seseorang dalam
melaksanakan tugas pokok yang dibebankan kepadanya. Senada dengan Patria
King, ahli lainnya Withmore (1997) mengatakan bahwa kinerja adalah
pelaksanaan fungsi-fungsi dan tugas yang dituntut dari seseorang.
Hal senada lainnya juga dinyatakan oleh As’ad (2003) yang menyatakan
bahwa kinerja merupakan kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugas
pekerjaannya. Mengacu pada pandangan tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa
tingkat kinerja seseorang dihubungkan dengan tugas-tugas pokok yang
dibebankan kepadanya.
Bedein dan Glueck (1983) menyatakan bahwa kinerja adalah interaksi dari
faktor-faktor individual seseorang seperti motivasi, kemampuan, persepsinya
terhadap peran dan tugas pekerjaannya. Hal hampir senada juga disampaikan oleh
Uno dan Lamatenggo (2012) yang memandang bahwa kinerja merupakan hasil
interaksi atau berfungsinya unsur-unsur motivasi, kemampuan, persepsi atau
pandangannya terhadap pekerjaannya, dan karakteristik diri seseorang.
Uno dan Lamatenggo (2012) kemudian menyatakan banyak faktor yang
dapat berhubungan dengan kinerja seseorang. Berdasarkan hasil-hasil penelitian
sebelumnya, kinerja seseorang dapat dipengaruhi faktor internal dan eksternal.
Faktor internal merupakan faktor-faktor yang ada pada diri seorang, sedangkan
faktor eksternal merupakan situasi sosial atau lingkungan dimana seseorang
melaksanakan tugas-tugasnya.
Terkait unsur-unsur yang dinilai dalam penilaian kinerja seseorang, Byar
dan Rue (1991) menyatakan terdiri dari: (1) kualitas dari pekerjaan, yaitu mutu
hasil pekerjaan dengan mempertimbangkan keakuratan, ketelitian, dan dapat
dipercaya, (2) kuantitas dari pekerjaan, yaitu jumlah dari pekerjaan yang
bermanfaat, pada periode waktu sejak penilaian terakhir, dibandingkan dengan
standar kerja yang telah dibuat, (3) kerja sama, yaitu sikap pegawai terhadap
pekerjaan, terhadap teman kerja dan pimpinannya, (4) pengetahuan terhadap
pekerjaan, yaitu tingkat dimana pegawai mengerti mengenai bermacam prosedur
dari pekerjaan dan tujuan-tujuannya, (5) kehandalan dari pekerjaan, yang ditandai
dengan keakuratan tugas dan pembagian waktu, (6) kehadiran dan ketepatan
waktu, yang berkaitan dengan catatan pegawai dan kemampuan berperilaku dalam
peraturan unit kerja.
Prawirosentono (1999) kemudian mengelompokkan hal-hal yang meliputi
penilaian kinerja seorang pegawai yaitu: (1) penilaian umum meliputi: penilaian
atas jumlah pekerjaannya, kualitas pekerjaannya, kemampuan kerjasama dalam
tim, kemampuan berkomunikasi dengan rekan kerja atau atasannya, sikap atau
perilakunya dan dorongan untuk melaksanakan pekerjaan, dan (2) penilaian atas
keterampilan meliputi: penilaian atas ketrampilan teknis, kemampuan mengambil

10

keputusan yang tepat, kepemimpinan yaitu mendorong teman-temannya bekerja
lebih baik lagi, kemampuan administrasi yaitu mengatur urutan kerja yang tepat,
dan kreativitas serta inovasi agar hasil pekerjaan lebih baik. Berikutnya, penilaian
dalam kemampuan membuat rencana dan jadwal kerja, terutama bagi karyawan
yang mempunyai banyak tanggung jawab, termasuk mengatur waktu dan upaya
menekan biaya.
Lewa dan Subowo (2005) kemudian menyatakan bahwa indikator dari
kinerja seseorang antara lain yaitu: (1) faktor kualitas kerja, (2) kuantitas kerja, (3)
pengetahuan, (4) kehandalan, dan (5) kerjasama. Kemudian Miner (Handayani
2006), menyatakan beberapa variabel yang digunakan untuk penilaian kinerja
yang ditunjukkan seseorang antara lain: (1) kualitas pekerjaan, (2) kuantitas
pekerjaan, (3) ketepatan waktu kerja, (4) kerjasama dengan rekan kerja.
Melengkapi hal tersebut, Donnely et al. (Rivai dan Basri 2005) menyatakan
bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang antara lain: (1)
harapan, (2) dorongan (motivasi), (3) kemampuan, kebutuhan dan sifat, (4)
persepsi terhadap tugas, (5) imbalan, (6) kepuasan kerja.
Banyaknya batasan dan pengertian yang diberikan oleh para ahli mengenai
definisi kinerja dikarenakan semuanya mempunyai visi yang agak berbeda.
Namun demikian, secara prinsip mereka setuju bahwa kinerja mengarah pada
suatu upaya seseorang dalam rangka mencapai prestasi kerja yang lebih baik.
Beberapa peneliti telah mengungkapkan tingkat kinerja penyuluh di daerah
penelitian masing-masing.
Penelitian Hadiyanti (2002) melihat tingkat kinerja penyuluh dari
pengetahuan atas content area, pengetahuan atas process area, keinovatifan, dan
akses terhadap jaringan komunikasi. Hasil penelitian menyatakan bahwa tingkat
kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Cianjur dipengaruhi oleh faktor internal
dan eksternal. Faktor internal yang berhubungan dengan kinerja penyuluh
diantaranya: (1) tingkat pendidikan, 2) pengalaman kerja, 3) persepsi terhadap
tanggung jawab, (4) persepsi terhadap tugas, dan (5) sikap terhadap tanggung
jawab. Kemudian faktor eksternal yang berhubungan kinerja penyuluh
diantaranya: (1) jumlah kompensasi, (2) tingkat pengakuan keberhasilan, (3)
intensitas hubungan interpersonal, (4) intensitas supervisi, dan (5) tingkat
ketersediaan sarana dan prasarana penyuluhan.
Penelitian Leilani dan Jahi (2006) melihat tingkat kinerja penyuluh dari
persiapan, pelaksanaan penyuluhan, evaluasi dan pelaporan, pengembangan
penyuluhan, pengembangan profesi, kegiatan penunjang penyuluhan. Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa motivasi kerja berhubungan nyata dengan kinerja
penyuluh dalam pelaksanaan tugas pokoknya. Pada penelitian tersebut, motivasi
dibagi menjadi dua, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Beberapa
subpeubah faktor intrinsik yang berhubungan dengan kinerja yaitu: (1) motivasi
berprestasi, kesempatan pengembangan karir, kewenangan dan tanggung jawab
serta pemaknaan kerja, sedangkan subpeubah faktor ekstrinsik yang berhubungan
nyata diantaranya yaitu: (1) gaji dan honor, (2) administrasi dan kebijakan, (3)
pembinaan dan supervisi, serta (4) kondisi kerja.
Penelitian Asmoro (2009) melihat tingkat kinerja penyuluh dari kuantitas
dari pekerjaan, kualitas dari pekerjaan, kerja sama, pengetahuan terhadap
pekerjaan, kehandalan dari pekerjaan, kehadiran dan ketepatan waktu. Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara motivasi

11

berprestasi dengan kinerja penyuluh kehutanan terampil, namun terdapat
hubungan nyata antara iklim organisasi dengan kinerjanya. Subpeubah iklim
organisasi yang berhubungan nyata dengan kinerja adalah: (1) rasa tanggung
jawab, (2) standar atau harapan tentang kualitas pekerjaan, (3) ganjaran atau
reward, (4) rasa persaudaraan, dan (5) semangat tim.
Penelitian Suhanda et al. (2009) melihat tingkat kinerja penyuluh dari
pelibatan masyarakat, analisis potensi dan kebutuhan, penyusunan programa,
rencana kerja, materi penyuluhan, penerapan metode penyuluhan, penumbuhan
dan pengembangan kelompok, pengembangan keswadayaan dan keswakarsaan
petani, menumbuhkan kelembagaan ekonomi, evaluasi dan pelaporan,
pengembangan profesionalisme, jejaring/kemitraan, tatalaksana kantor. Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa kinerja penyuluh pertanian di Provinsi Jawa
Barat berhubungan nyata dengan motivasi intrinsik dan motivasi ektrinsik.
Subpeubah motivasi intrinsik yang berhubungan sangat nyata dengan kinerja
penyuluh pertanian di Provinsi Jawa Barat yaitu: (1) motivasi berprestasi, (2)
kesempatan pengembangan karir, (3) kewenangan dan tanggung jawab, serta (4)
makna pekerjaan. Subpeubah motivasi ekstrinsik yang berhubungan sangat nyata
dengan kinerjanya yaitu: (1) gaji dan honor, (2) administrasi dan kebijakan, (3)
pembinaan dan supervisi, serta (4) kondisi kerja.
Hamzah (2011) menyatakan bahwa tingkat kinerja penyuluh pertanian dapat
dilihat dari beberapa hal yang dilakukannya, antara lain: perencanaan program,
pelaksanaan program, pengevaluasian program, inisiatif, kreatifitas,
kerjasama,dan komunikasi. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
karakteristik internal dan eksternal serta kompetensi penyuluh menentukan kinerja
penyuluh pertanian. Subpeubah karakteristik internal penyuluh pertanian yang
berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pertanian yakni: (1) umur, (2) masa
kerja, (3) pendidikan formal, (4) pelatihan, (5) persepsi, dan (6) pemanfaatan
media. Untuk subpeubah karakteristik eksternal penyuluh pertanian yang
berhubungan nyata antara lain: (1) dukungan administrasi, (2) kebijakan
organisasi, (3) penghargaan, dan (4) supervisi.
Sapar et al. (2011) meneliti kinerja penyuluh pertanian berdasarkan fungsi
dan perannya, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan,
pengembangan penyuluhan, pengembangan profesi penyuluh, kepemimpinan
penyuluh, diseminasi teknologi, komunikasi, kemitraan usaha dan kemampuan
teknis budidaya kako. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang
berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pertanian diantaranya yaitu
karakteristik penyuluh, motivasi, kompetensi dan kemandirian penyuluh.
Subpeubah karakteristik penyuluh yang berhubungan nyata diantaranya yaitu: (1)
umur, (2) pelatihan, dan (3) pengalaman kerja. Kemudian subpeubah motivasi
yang berhubungan nyata dengan kinerja yaitu: (1) kebutuhan untuk berprestasi,
dan (2) kebutuhan berafiliasi
Banyaknya batasan dan definisi yang diberikan para ahli mengenai kinerja,
maka berdasarkan kesimpulan dari berbagai pendapat, teori dan penelitian tentang
penilaian kinerja, maka penilaian tingkat kinerja dari penyuluh kehutanan dalam
penelitian ini adalah berdasarkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya yaitu
meliputi: (1) tersedianya dokumen perencanaan penyuluhan kehutanan, (