Kinerja Petani Hutan Rakyat Dan Penyuluh Kehutanan Di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah

(1)

KINERJA PETANI HUTAN RAKYAT DAN PENYULUH

KEHUTANAN DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT DAN

KABUPATEN PURWOREJO, JAWA TENGAH

SONI TRISON

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kinerja Petani Hutan Rakyat dan Penyuluh Kehutanan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012,

Soni Trison


(3)

SONI TRISON. Private Forests Farmers dan Forestry Extension Agent Performance in Ciamis District West Java and Purworejo District, Central Java. Under Supervision of DIDIK SUHARJITO, HARDJANTO, and SITI AMANAH.

Private forests play an important role in national forest policy. From private forests management, farmers get income to support the family life and at the same time forests can conserve the environment. However, the economic benefits of private forests to farmers may not be optimal and often said to be not quite fair. Likewise with the Forestry Extension Performance is not optimal. The purpose of this study is describes the performance and factors influence of farmer forests and forestry extension. The data were collected on August 2011-January 2012 in Ciamis District, West Java and Purworejo District, Central Java using some methods: list questionare, interview, observation, and documents. The data were analyzed using 1) descriptive statistics,2) inferential statistics, 3) factor analysis, and 4) path analysis .The conclusion of the study is that factors affecting the performance of forest farmers in the management of private forests is the performance version of the forestry extension farmers and socio-cultural environment. Factors affecting the performance of forestry extension is extension of competence and environment. Those critical aspect are: to improve the performance of forest farmers are strengthening cultural social environment and farmers' perceptions about performance enhancement instructor. Meanwhile, to increase performance is improving the competence of forestry extension educators and conductive environment to strengthen forestry extension.


(4)

SONI TRISON. Kinerja Petani Hutan Rakyat dan Penyuluh Kehutanan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Dibawah bimbingan DIDIK SUHARJITO, HARDJANTO, dan SITI AMANAH.

Keberadaan hutan rakyat dalam konteks pembangunan kehutanan secara nasional memegang peranan penting. Masalah penelitian yang ingin diangkat dalam penelitian pengelolaan hutan rakyat ini adalah dari aspek kinerja petani hutan rakyat dan aspek penyuluh kehutanan. Kinerja petani hutan rakyat di Pulau Jawa saat ini masih rendah dan kinerja penyuluh kehutanan juga perlu ditingkatkan.

Adapun tujuan penelitian ini adalah menjelaskan kinerja petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan, menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan terhadap kinerja petani hutan rakyat, menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan terhadap kinerja penyuluh kehutanan dan merumuskan rekomendasi peningkatan kinerja petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan.

Penelitian dilakukan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Populasi utama dalam penelitian ini adalah petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan. Jumlah responden penyuluh kehutanan di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo masing-masing 50 dan 25 orang, sehingga jumlah petani hutan rakyat yang menjadi responden masing-masing adalah 100 petani di Kabupaten Ciamis dan 50 petani di Kabupaten Purworejo. Hubungan antar peubah penelitian dan menemukan model empiris hubungan antar peubah dan faktor-faktor pendukungnya, digunakan analisis faktor dan dilanjutkan analisis jalur.

Kinerja petani hutan rakyat dalam melakukan kegiatan pengelolaan hutan rakyat diukur melalui kualitas kelestarian fungsi produksi, fungsi ekologi dan fungsi sosial. Pada prinsip kelestarian fungsi produksi indikator status lahan jelas hak milik di Kabupaten Ciamis 73 persen di Kabupaten Purworejo 80 persen, teknik silvikultur di Kabupaten Ciamis lebih intensif dibandingkan dengan di Kabupaten Purworejo namun belum rutin dan sebagian besar petani hutan rakyat menerapkan tebang butuh. Pada prinsip kelestarian fungsi ekologi di Kabupaten Ciamis 75 persen dan di Kabupaten Purworejo 60 persen ditandai dengan pengelolaan petani dalam hal pola tanam agroforestri. Pada prinsip kelestarian fungsi sosial memiliki persamaan baik di Kabupaten Ciamis maupun di Kabupaten Purworejo, hal ini ditandai dengan adanya jaminan pengembangan dan ketahanan ekonomi masyarakat namun masih terbatas yang diwujudkan dengan pendapatan, terbangunnya pola hubungan antar petani yang masih terbatas dan kejelasan batas areal hutan rakyat dengan petani lainnya. Kinerja petani hutan rakyat secara keseluruhan termasuk kategori sedang.

Kinerja petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dipengaruhi secara bersama dari karakteristik petani hutan rakyat (X11), faktor lingkungan fisik (X12), kinerja penyuluh kehutanan menurut persepsi petani (X13), lingkungan sosial budaya (X14) dan kinerja penyuluh kehutanan (X15) terhadap kinerja petani hutan


(5)

karakteristik petani hutan rakyat (X11), faktor lingkungan fisik (X12), kinerja penyuluh menurut persepsi petani (X13), lingkungan sosial budaya (X14) dan kinerja penyuluhan kehutanan (X15) terhadap kinerja petani hutan rakyat (Y11) adalah sebesar 44,1 persen, sisanya 55,9 persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Ciamis dipengaruhi kompetensi penyuluh kehutanan (X21), motivasi penyuluh kehutanan (X22), dan lingkungan penyuluh kehutanan (X23) terhadap kinerja penyuluh kehutanan (Y21) adalah sebesar 56,3 persen, sisanya 43,7 persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Purworejo dipengaruhi kompetensi penyuluh kehutanan (X21), motivasi penyuluh kehutanan (X22), dan lingkungan penyuluh kehutanan (X23) terhadap kinerja penyuluh kehutanan (Y21) adalah sebesar 62,0 persen, sisanya 38,0 persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Rumusan rekomendasi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja petani hutan rakyat adalah penguatan lingkungan sosial budaya dan peningkatan persepsi petani tentang kinerja penyuluh. Sementara itu untuk peningkatan kinerja penyuluh kehutanan adalah peningkatan kompetensi penyuluh dan memperkuat kondusifnya lingkungan penyuluh kehutanan.


(6)

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012. Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

SONI TRISON

Disertasi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS Dr. Ir. I Gusti Putu Purnaba, DEA Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS


(9)

(10)

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, atas karunia Nya, alhamdulillah Disertasi dengan judul “Kinerja Petani Hutan Rakyat dan Penyuluh Kehutanan di Kabupaten Ciamis,Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah” dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

1. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS dan Dr. Ir. Siti Amanah, MSc sebagai anggota Komisi Pembimbing atas masukan dan motivasinya sehingga mendorong Penulis untuk dapat menyelesaikan disertasi ini

2. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS dan Dr. Ir. I. Gusti Putu Purnaba, DEA sebagai penguji pada ujian tertutup yang telah memberikan saran dan perbaikan; serta Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS dan Dr. Ir. Haryatno, MSc sebagai penguji pada ujian terbuka yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyempurnaan Disertasi ini.

3. Pimpinan IPB, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Ketua Departemen Manajemen Hutan IPB yang telah memberikan izin dan dukungan selama penulis menempuh studi

4. Dosen senior di Bagian Kebijakan Kehutanan IPB atas dukungan dan bantuannya dalam memberikan masukan dan saran terhadap penyempurnaan disertasi ini.

5. Pimpinan dan staf Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo yang telah membantu pengambilan data di lapangan 6. Pimpinan dan penyuluh Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan

Kehutanan di Kabupaten Ciamis dan Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan yang telah membantu pengambilan data di lapangan

7. Orang tua dan mertua yang senantiasa memberikan dukungan dan doa.

8. Istri (Medhanita Dewi Renanti) dan anak tercinta (Shofia Dzakka Hanifa) yang senantiasa memberikan perhatian dan dukungan selama proses menempuh studi ini.


(11)

10. Kepada Art Fudlaili, Haqqi Annazili dan M Hasan Ramdhani yang telah membantu pengambilan data di lapangan

11. Semua pihak yang telah banyak memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung mulai penyusunan proposal, pengambilan data sampai tersusunnya disertasi ini

Semoga semua kebaikan menjadi amal baik dan dibalas Allah SWT. Penulis menyadari Disertasi ini masih banyak kekurangan. Namun semoga karya kecil ini bermanfaat bagi pembangunan kehutanan Indonesia.

Bogor, Agustus 2012. Soni Trison


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 23 November 1977, sebagai putra tunggal pasangan Bapak Didin Kasrudin dan Ibu Mimin Rohaeti, menikah tahun 2005 dengan Medhanita Dewi Renanti dan dikarunia anak Shofia Dzakka Hanifa pada tahun 2011.

Pendidikan Sarjana ditempuh Penulis pada tahun 1996 di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB dan lulus tahun 2001. Penulis melanjutkan program master di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada tahun 2002 dan lulus tahun 2005. Pada tahun 2007, Penulis mendapatkan beasiswa BPPS untuk melanjutkan S3 di Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan IPB.

Sejak tahun 2008, Penulis menjadi Dosen di Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB sampai sekarang. Sejak tahun 2009, penulis menjadi ketua Komisi Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni Departemen Manajemen Hutan IPB. Sejak tahun 2011 penulis ditugaskan menjadi ketua Komisi Jaminan Mutu Pendidikan Fakultas Kehutanan IPB.


(13)

Halaman

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN………... vii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Masalah Penelitian... 6

1.3. Tujuan Penelitian... 7

1.4. Manfaat Penelitian... 8

1.5. Kebaruan Penelitian... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1 Pengelolaan Hutan Rakyat... 9

2.2 Kinerja Petani Hutan Rakyat dan Penyuluh Kehutanan... 18

2.3 Analisis Faktor dan Analisis Jalur ………... 27

III. METODE PENELITIAN... 29

3.1 Kerangka Berfikir... 29

3.2 Hipotesis... 32

3.3 Rancangan Penelitian... 32

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian... 32

3.5 Populasi dan Teknik Penentuan Sampel... 33

3.6 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data... 33

3.7 Uji Reliabilitas dan Validitas... 34

3.8 Definisi Operasional... 34

3.9 Pengolahan Data... 36

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 38

4.1 Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Purworejo……… 38 4.2 Kelembagaan Penyuluhan di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten


(14)

4.4 Hasil Tahapan Analisis Faktor dan Analisis Jalur Kinerja Petani

Hutan Rakyat……….. 54

4.5 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Petani Hutan Rakyat... 63 4.6 Kinerja Penyuluh Kehutanan………... 90

4.7 Hasil Tahapan Analisis Faktor dan Analisis Jalur Kinerja Penyuluh Kehutanan………... 96

4.8 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Penyuluh Kehutanan….…... 103 4.9 Kontribusi dan Implikasi Praktis serta Rekomendasi Hasil Penelitian terhadap Pengelolaan Hutan Rakyat…………... 120

V. KESIMPULAN, IMPLIKASI TEORI DAN SARAN... 128

5.1 Kesimpulan………... 128

5.2 Implikasi Teori……….... 130

5.3 Saran……… 131

DAFTAR PUSTAKA... 133


(15)

No Halaman

1. Aspek permasalahan, arah dan strategi perbaikan, serta penelitian dan pengembangan hutan rakyat yang diperlukan... 12 2 Sebaran kinerja petani hutan rakyat ... 54 3 Hasil pengujian analisis faktor kinerja petani hutan rakyat……….... 55 4 Koefisien model analisis jalur kinerja petani hutan rakyat di

Ciamis…... 57 5 Koefisien analisis jalur kinerja petani hutan rakyat di Ciamis…….... 58 6 Anova analisis jalur kinerja petani hutan rakyat di Ciamis………… 58 7 Ringkasan model analisis jalur kinerja petani hutan rakyat di

Purworejo……… 60

8 Koefisien analisis jalur kinerja petani hutan rakyat di Purworejo….. 61 9 Anova analisis jalur kinerja petani hutan rakyat di Purworejo……... 61

10 Sebaran karakteristik individu petani hutan rakyat………. 64

11 Sebaran faktor lingkungan fisik……….. 74 12 Sebaran kompetensi penyuluh kehutanan menurut persepsi petani… 78 13 Sebaran lingkungan sosial budaya ……...………... 85 14 Sebaran kinerja penyuluh kehutanan………... 92

15 Hasil pengujian analisis faktor kinerja penyuluh kehutanan……….. 96

16 Ringkasan model analisis jalur kinerja penyuluh kehutanan di

Ciamis………...………….. 98

17 Koefisien analisis jalur kinerja penyuluh kehutanan di Ciamis...…... 98 18 Anova analisis jalur kinerja penyuluh kehutanan di Ciamis... 99 19 Ringkasan model analisis jalur kinerja penyuluh kehutanan di

Purworejo……… 101

20 Koefisien analisis jalur kinerja penyuluh kehutanan di Purworejo…. 101

21 Anova analisis jalur kinerja penyuluh kehutanan di Purworejo……. 102

22 Sebaran kompetensi penyuluh kehutanan………... 104 23 Sebaran lingkungan penyuluh kehutanan………... 111


(16)

(17)

No Halaman 1 Kerangka hubungan antar faktor kinerja petani hutan rakyat... 30 2 Kerangka hubungan antar faktor kinerja penyuluh kehutanan………... 31 3 Hasil uji normalitas dan linearitas kinerja petani hutan rakyat di

Ciamis………....………... 57

4 Hasil uji normalitas dan linearitas kinerja petani hutan rakyat di

Purworejo……….. 60

5 Hasil uji normalitas dan linearitas kinerja penyuluh kehutanan di

Ciamis………... 90

7 Hasil uji normalitas dan linearitas kinerja penyuluh kehutanan di


(18)

No

1 Validitas dan realibilitas kuesioner hasil ujicoba………... 141

2 Indikator, definisi operasional dan parameter karakteristik petani... 142

3 Indikator, definisi operasional dan parameter faktor lingkungan fisik... 142

4 Indikator, definisi operasional dan parameter kompetensi penyuluh kehutanan menurut persepsi petani... 152

5 Indikator, definisi operasional dan parameter lingkungan sosial budaya... 152

6 Indikator, definisi operasional dan parameter kinerja petani hutan rakyat... 153

7 Indikator, definisi operasional, parameter dan kategori pengukuran peubah kompetensi penyuluh... 154

8 Indikator, definisi operasional dan parameter motivasi penyuluh... 154

9 Indikator, definisi operasional dan parameter lingkungan... 154

10 Indikator, definisi operasional dan parameter kinerja penyuluh kehutanan... 155

11 Daftar nama responden penyuluh di Ciamis dan Purworejo... 156

12 Data petani hutan rakyat di Ciamis dan Purworejo... 160

13 Pengelolaan hutan rakyat di Ciamis dan Purworejo... 167

14 Kategorisasi kinerja petani hutan rakyat... 177

15 Kategorisasi kinerja penyuluh kehutanan... 193

16 Hasil CFA... 217

17 Hasil analisis jalur... 254

18 Hasil uji beda... 272


(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kenyataan kondisi sumberdaya hutan yang terus merosot, maka mendorong pergeseran paradigma pembangunan kehutanan yang semula bertumpu pada timber based management menjadi pendekatan ekosistem resource based management yang berbasis pada forest community based development (FCBD). Dengan demikian pembangunan kehutanan harus memperhatikan daya dukung ekosistem, sehingga fungsi ekonomi, ekologi, dan fungsi sosial sumber daya hutan dapat selaras dan seimbang. Pembangunan kehutanan menghadapi tantangan berbagai isu, antara lain: sorotan internasional terhadap kerusakan lingkungan, kemerosotan biodiversitas, illegal logging, kebakaran hutan, pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah daerah, perimbangan pendapatan sumber daya alam pusat dan daerah serta masalah kemiskinan masyarakat sekitar hutan (Pusbinluhut 2002).

Kementerian Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No P10/Menhut II/2011 tentang enam kebijakan prioritas bidang kehutanan dalam program pembangunan nasional yaitu pemantapan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS), pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran hutan, konservasi keanekaragaman hayati, revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan, pemberdayaan masyarakat disekitar hutan. Implementasi enam kebijakan prioritas tersebut dilaksanakan melalui program-program pembangunan kehutanan dengan pendekatan social forestry. Salah satu program yang dikembangkan yakni pengembangan hutan rakyat.

Hutan rakyat di Jawa mempunyai potensi besar, baik dari segi populasi pohon maupun jumlah rumah tangga yang mengusahakannya. Perkiraan luas hutan rakyat menurut BPKH XI Jawa Madura tahun 2008 total luasan areal indikatif hutan rakyat di Pulau Jawa adalah kurang lebih 2,6 juta hektar. Walaupun hutan rakyat mempunyai potensi dan peranan yang cukup besar, namun hutan rakyat di Pulau Jawa pada umumnya hanya sedikit yang memenuhi luasan minimal sesuai dengan definisi


(20)

hutan, yakni minimal harus 0,25 hektar. Hal tersebut disebabkan oleh rata-rata pemilikan lahan di Pulau Jawa sangat sempit. Dengan sempitnya pemilikan lahan setiap keluarga, hal ini mendorong kepada pemiliknya untuk memanfaatkan seoptimal mungkin. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada umumnya pemilik berusaha memanfaatkan lahan dengan membudidayakan tanaman-tanaman yang bernilai tinggi dan cepat menghasilkan. Hamparan hutan rakyat yang kompak dengan luasan cukup biasanya ditemui pada petani yang memiliki lahan di atas rata-rata, pada lahan marginal dan pada lahan terlantar (Hardjanto 2000).

Pengusahaan hutan rakyat memiliki peranan besar didalam pengembangan ekonomi pedesaan mengingat kegiatan yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan yaitu produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan kelembagaan cukup banyak. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam usaha hutan rakyat ini cukup banyak, antara lain: pemilik lahan, petani penggarap, buruh tani, pekerja kasar, sampai dengan pedagang dan industri serta pemerintah daerah. Hal ini juga berdampak pada perkembangan perekonomian desa (Hardjanto 2003).

Pengusahaan hutan rakyat juga mampu memberikan lapangan pekerjaan terhadap tenaga kerja produktif, mampu menstimulir usaha ekonomi produktif lainnya sebagai produksi lanjutan dari pengusahaan hutan rakyat, bahkan hutan rakyat juga terbukti mampu meminimalisir dampak krisis moneter. Dalam rangka meningkatkan peran hutan rakyat dalam perekonomian desa, maka perlu adanya intensifikasi pengelolaan hutan rakyat, sehingga hutan rakyat lebih mampu melebarkan spektrum perannya dalam meningkatkan perekonomian khususnya di pedesaan sebagai basis usaha hutan rakyat. Makin intensifnya pengusahaan hutan rakyat secara umum akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan memberikan kontribusi pendapatan yang lebih luas, karena para pelaku yang terlibat dalam pengusahaan hutan rakyat makin banyak. Dengan terjadinya peningkatan pendapatan dari masing-masing individu yang terlibat dalam pengusahaan hutan maka secara tidak langsung, usaha hutan rakyat ini akan ikut mendongkrak perekonomian pedesaan (Darusman dan Hardjanto 2006)


(21)

Namun demikian, penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa kinerja petani hutan rakyat di Pulau Jawa saat ini masih rendah (Hardjanto 2003; Daniyati 2009; Sumarlan 2012). Hardjanto (2003) menyatakan adanya beberapa variabel atau faktor internal yang berpengaruh melemahkan pengembangan usaha kayu rakyat, yaitu: pemilikan lahan sempit, kelembagaan masyarakat, teknologi pemanenan dan pasca panen, keterbatasan modal dan aksesnya, tingkat pendidikan petani rendah, keterbatasan informasi dan aksesnya, ketergantungan besar pada tengkulak, belum adanya rencana yang bersifat strategis, dan kelangkaan petani yang berkualitas. Daniyati (2009) menjelaskan bahwa petani hutan rakyat kurang memiliki kemampuan mengolah hasil hutannya. Demikian juga Sumarlan (2012) menyatakan bahwa kinerja petani hutan rakyat rendah.

Kinerja petani hutan rakyat dipengaruhi dalam menjalankan fungsi dan peran dapat berasal dari dalam individu dan dari luar individu. Salah satu faktor eksternal yang berhubungan dengan kinerja petani hutan rakyat adalah penyuluh kehutanan. Pemberdayaan petani hutan rakyat dalam rangka meningkatkan kinerjanya merupakan upaya untuk membangun kemandirian petani dengan kualitas kinerja yang tinggi. Oleh karena itu diperlukan kualitas kinerja penyuluh kehutanan yang tinggi. Penyuluh kehutanan harus memiliki kompetensi, motivasi dan kemandirian yang tinggi untuk melaksanakan fungsi pembinaan dan pendampingan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.

Keberadaan penyuluh kehutanan merupakan salah satu ujung tombak pembangunan kehutanan di lapangan. Penyuluh kehutanan mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam mendidik dan mengajak masyarakat sekitar hutan agar mau dan mampu ikut terlibat di dalam pengelolaan hutan secara lestari. Kondisi ideal yang dapat menunjang keberhasilan penyuluhan kehutanan adalah kesadaran, kerelaan dan kesiapan penyuluh tersebut untuk mampu mendampingi masyarakat dengan berada di tengah-tengah atau bila perlu menetap bersama masyarakat (Suprayitno 2008). Pusbinluhhut (2003) menyebutkan bahwa strategi yang digunakan dalam pemberdayaan masyarakat adalah melalui usaha pendampingan. Dalam hal ini, pendamping atau penyuluh dan masyarakat membentuk hubungan kemitraan yang di


(22)

dalamnya terdapat pola hubungan koordinasi, kooperasi, dan kolaborasi (Suporahardjo 2005).

Beberapa hasil penelitian tentang kinerja penyuluh kehutanan menunjukkan bahwa kinerja dan kompetensi penyuluh kehutanan masih perlu ditingkatkan (Asmoro 2009 dan Hadiyanti 2002). Hasil penelitian Hadiyanti (2002) mengungkapkan bahwa kinerja penyuluh kehutanan dalam pelaksanaan tugasnya di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat menunjukkan kinerja rendah. Asmoro (2009) menyatakan bahwa kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Purwakarta dan Kuningan Provinsi Jawa Barat menunjukkan kinerja sedang. Demikian juga hasil evaluasi Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional II Kementerian Kehutanan yang melingkupi Wilayah Pulau Jawa dan Nusa Tenggara tahun 2011 menyatakan bahwa permasalahan dalam penyuluhan kehutanan adalah kuantitas dan kualitas penyuluh kehutanan. Berdasarkan data dari Pusat Pembinaan Penyuluhan Kementerian Kehutanan sampai dengan Bulan Maret 2011, jumlah keseluruhan penyuluh kehutanan se-Indonesia adalah sebanyak 3.770 orang yang tersebar di Pusat, Dinas Kehutanan Provinsi/Badan Koordinasi Penyuluh, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota/Badan Pelaksana Penyuluhan, dan Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Kepala Badan Pengembangan Penyuluhan Kehutanan Kementerian Kehutanan juga menekankan bahwa jumlah Penyuluh Kehutanan Pegawai Negeri Sipil di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat masih sangat kurang. Jumlah penyuluh kehutanan di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 725 orang, sedangkan di Provinsi Jawa Barat 480 orang. Penelitian ini juga akan mengkaji kinerja penyuluh kehutanan yang salah satunya dihubungkan dengan kinerja petani hutan rakyat dan faktor-faktor internal maupun eksternal yang berhubungan dengan kinerja penyuluh kehutanan. Inilah yang menjadi fokus perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

Hadiyanti (2002) menyatakan bahwa penelitian di Kabupaten Cianjur tentang penyuluh kehutanan yang difokuskan pada pengetahuan atas content area, process area, keinovatifan penyuluh dan akses terhadap jaringan komunikasi menjelaskan bahwa tingkat kinerja penyuluh secara nyata dipengaruhi oleh faktor internal yang


(23)

meliputi: 1) Tingkat pendidikan, 2) Pengalaman kerja, 3) Persepsi terhadap tanggungjawab, 4) Persepsi terhadap tugas pokok dan 5) Sikap terhadap tanggungjawab dan faktor eksternal yang berhubungan kinerja penyuluh kehutanan meliputi: 1) Jumlah kompensasi, 2) Tingkat pengakuan keberhasilan, 3) Intensitas hubungan interpersonal, 4) Intensitas supervisi, dan 5) Tingkat ketersediaan sarana dan prasarana penyuluhan. Faktor internal dan eksternal lainnya yang diduga dapat berhubungan kinerja penyuluh adalah motivasi terutama motivasi untuk berprestasi dan iklim organisasi penyuluh sebagai lembaga yang menaungi para penyuluh kehutanan. Penelitian terhadap kinerja penyuluh kehutanan menjadi sangat penting sebagai upaya untuk mengadakan pembinaan dan peningkatan profesionalismenya sesuai tuntutan pembangunan dibidang kehutanan serta dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia kehutanan pada umumnya dan kualitas penyuluh kehutanan pada khususnya. Petani berada pada usia produktif dan pengalaman beragribisnis cukup lama, namun belum ditunjang oleh pendidikan formal dan non formal yang tinggi serta belum didukung oleh luas penguasaan lahan pertanian yang memadai.

Asmoro (2009) menyatakan bahwa kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Purwakarta dan Kuningan tergolong sedang. Tidak terdapat hubungan yang nyata antara motivasi berprestasi dengan kinerja penyuluhan kehutanan terampil. Terdapat hubungan positif sangat nyata antara iklim organisasi dengan kinerja penyuluhan terampil. Sub peubah motivasi berprestasi yang berhubungan dengan kinerja penyuluh kehutanan terampil adalah berusaha menghindari kegagalan, sedangkan sub peubah iklim organisasi yang berhubungan dengan kinerja penyuluhan kehutanan terampil adalah rasa tanggung jawab, standar atau harapan tentang kualitas pekerjaan, ganjaran atau reward, rasa persaudaraan dan semangat tim.

Penelitian tentang kinerja petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan serta faktor-faktor yang berhubungannya masih sangat terbatas. Penelitian ini menelaah lebih mendalam tentang kinerja petani hutan rakyat dan kinerja penyuluh kehutanan dengan melihat faktor-faktor yang berhubungan dan rekomendasi dalam peningkatan kinerja petani hutan rakyat maupun penyuluh kehutanan. Dalam penelitian ini kinerja


(24)

petani hutan rakyat diukur dengan pencapaian penerapan prinsip pengelolaan hutan lestari. Fokus penelitian yang mengkaitkan kinerja petani hutan rakyat dengan pencapaian pengelolaan hutan lestari belum mendapat perhatian dalam penelitian-penelitian sebelumnya.

1.2. Masalah Penelitian

Kinerja petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan sangat berpengaruh dalam pengelolaan hutan rakyat. Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis kinerja petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan, dan menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerjanya. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, dibuat strategi rekomendasi dalam rangka peningkatan kinerja petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan dalam pengelolaan hutan rakyat.

Permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan hutan rakyat khususnya dalam petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan adalah kinerjanya yang masih rendah. Permasalahan pada kinerja petani hutan rakyat adalah karakteristik petani hutan rakyat, kompetensi penyuluh kehutanan menurut persepsi petani hutan rakyat maupun menurut penyuluh kehutanan sendiri, faktor lingkungan fisik, dan lingkungan sosial budaya. Faktor karakteristik petani meliputi: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, pengalaman berusahatani dan rasio ketergantungan keluarga. Kompetensi penyuluh kehutanan, meliputi: manajerial, komunikasi dan interaksi sosial, kemampuan bidang keahlian, dan kepemimpinan. Faktor lingkungan fisik menyangkut tentang komposisi jenis tanaman yang ditanam, luas hutan rakyat, produktivitas hutan rakyat dan rasio tebang-tanam. Lingkungan sosial budaya, meliputi: kepercayaan antar sesama petani, hubungan sosial, ketaatan terhadap aturan dan kearifan lokal. Adapun faktor-faktor yang dikonfirmasi berhubungan dengan kinerja penyuluh kehutanan, meliputi: kompetensi penyuluh kehutanan, motivasi penyuluh kehutanan dan lingkungan penyuluh kehutanan. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.


(25)

Berdasarkan uraian tersebut diatas, pertanyaan penelitian yang perlu dijawab melalui penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kinerja petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah?

2. Bagaimana faktor karakteristik petani, faktor lingkungan fisik, lingkungan sosial budaya, kompetensi penyuluh kehutanan menurut persepsi petani dan kinerja penyuluh kehutanan berhubungan dengan kinerja petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah?

3. Bagaimana faktor kompetensi penyuluh kehutanan, motivasi penyuluh kehutanan dan lingkungan penyuluh kehutanan berhubungan dengan kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah ?

4. Bagaimana rekomendasi peningkatan kinerja petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan tentang kinerja petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah;

2. Menjelaskan faktor karakteristik petani, faktor lingkungan fisik, faktor kompetensi penyuluh kehutanan menurut persepsi petani, faktor lingkungan sosial budaya, dan faktor kinerja penyuluh kehutanan yang terkonfirmasi berhubungan dengan kinerja petani hutan rakyat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah;

3. Menjelaskan faktor kompetensi penyuluh kehutanan, faktor motivasi penyuluh kehutanan dan faktor lingkungan penyuluh kehutanan yang terkonfirmasi


(26)

berhubungan dengan kinerja penyuluh kehutanan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah;

4. Merumuskan rekomendasi peningkatan kinerja petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah;

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah secara teoritis memberikan karya untuk memahami kinerja petani hutan rakyat dan kinerja penyuluh kehutanan dalam pengelolaan hutan rakyat serta faktor-faktor yang terkonfirmasi berhubungan dengan hal tersebut. Manfaat secara praktis penelitian ini sebagai bahan informasi dan masukan bagi pemerintah daerah dan Kementerian Kehutanan dalam pengambilan kebijakan dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang berperan dalam pengembangan hutan rakyat khususnya di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

1.5. Kebaruan Penelitian

Kebaruan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini lebih jauh menelaah secara komprehensif tentang kinerja petani hutan rakyat dengan ukuran prinsip pengelolaan hutan lestari (kelestarian fungsi produksi, fungsi ekologi dan fungsi sosial) dan faktor-faktor yang berhubungan, meliputi: karakteristik petani hutan rakyat, lingkungan sosial budaya, faktor lingkungan fisik, kompetensi penyuluh kehutanan menurut persepsi petani hutan rakyat dan kinerja penyuluh kehutanan. Penelitian ini juga menelaah kinerja penyuluh kehutanan dengan faktor-faktor yang berhubungan, yaitu: faktor kompetensi penyuluh kehutanan, motivasi penyuluh kehutanan dan lingkungan penyuluh kehutanan. Disamping itu metode yang digunakan baru untuk penelitian bidang kinerja petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan dalam pengelolaan hutan rakyat dengan menggunakan analisis faktor dan jalur.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Hutan Rakyat

Hutan rakyat berdasarkan Undang-undang Pokok Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 termasuk dalam definisi hutan hak menurut undang-undang tersebut, hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Menurut Hardjanto (2000) dalam perkembangan usaha hutan rakyat, dinyatakan bahwa usaha hutan rakyat merupakan usaha yang tidak pernah besar, tetapi juga tidak pernah mati. Usaha hutan rakyat oleh masyarakat di pedesaan Jawa, juga termasuk dalam kategori usaha pertanian skala kecil dengan hasil baik untuk keperluan sendiri maupun untuk dijual dan dapat menjadi komoditi ekspor. Karenanya usaha ini mempunyai salah satu peluang yang dapat dikembangkan. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik (Hardjanto 2001). Dalam pelaksanaannya, masing-masing sub sistem dijelaskan sebagai berikut:

2.1.1 Subsistem Produksi

Suharjito (2000) mengatakan bahwa beberapa faktor telah mendorong budidaya hutan rakyat di Jawa, yaitu: faktor ekologis, ekonomi, dan budaya. Ketiga faktor tersebut turut menentukan pemilihan jenis pohon oleh petani hutan rakyat. Pada umumnya pola penanaman pada hutan rakyat adalah pola campuran dan tumpangsari. Pengetahuan masyarakat tentang menanam pohon-pohonan belum diwujudkan dengan baik. Upaya maksimal dalam budidaya belum diterapkan, seperti penggunaan bibit unggul, pengaturan jarak tanam, pemeliharaan, dan sebagainya sehingga pertumbuhan pohon dan mutu yang dihasilkan kurang baik. Umumnya petani hanya menggunakan bibit dari permudaan alam yang mutunya kurang baik, karena biasanya pohon induknya masih muda dan bibit tidak dipilih khusus dari pohon induk yang bermutu baik, sehingga anakan yang dihasilkan juga kurang baik. Dari beberapa studi yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa bibit diadakan sendiri oleh rakyat, sedangkan peran pemerintah dalam pengadaan bibit hanya sebagian kecil dari jumlah


(28)

total bibit yang ditanam di hutan rakyat. Dalam penanaman, umumnya bibit tanam kurang diperhatikan, pada lokasi sekitar pohon induk jarak tanamnya terlalu rapat sementara di lokasi lain terlalu jarang. Pemangkasan cabang hanya dilakukan pada saat pohon masih kecil, setelah besar pemangkasan sama sekali tidak dilakukan. Pemangkasan dan penjarangan dilakukan menurut pengetahuan masing-masing pemiliknya, pada umumnya mutu kayu yang dihasilkan masih kurang baik. Masalah lain yang cukup menonjol dalam membangun hutan rakyat yaitu belum adanya kerjasama antar pemilik hutan rakyat, sehingga keputusan pengelolaan tergantung pada masing-masing pemilik yang jumlahnya banyak (Hardjanto 2003).

Kelestarian hutan rakyat ditentukan oleh struktur tegakan hutan. Struktur tegakan hutan yang diharapkan memenuhi syarat bagi tercapainya kelestarian, yakni kurang lebih menyerupai hutan normal. Budidaya hutan rakyat pada dasarnya telah dikuasai oleh para petani hutan rakyat, walaupun dalam pengertian apa adanya. Artinya, mulai dari penyediaan bibit, penanaman, pemeliharaan sampai siap jual semuanya dilakukan secara sederhana (Hardjanto 2000). Hasil penelitian Prabowo (2000) menunjukkan bahwa dalam pengelolaan hutan rakyat di Desa Sumberejo Kabupaten Wonogiri tidak dikenal sistem silvikultur tertentu. Fakta serupa juga ditemukan oleh Attar (2000) bahwa sistem pengelolaan hutan rakyat di Sumberejo masih sederhana dan belum menggunakan teknik silvikultur. Kemampuan silvikultur petani hutan rakyat yang rendah dapat menyebabkan rendahnya kualitas kayu. Kenyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Prabowo (2000) yang menunjukkan bahwa kayu dari hutan rakyat, baik kayu gelondongan maupun kayu rencekan (kayu bakar) merupakan simpanan kekayaan (tabungan) yang akan dipanen bila petani sangat membutuhkan saja.

2.1.2 Subsistem Pengolahan Hasil

Hardjanto (2003) mengemukakan bahwa jenis-jenis pengolahan dari kayu rakyat berupa papan, balok, reng, dan kaso. Sementara itu alat-alat yang digunakan untuk pengolahan hasil kayu rakyat masih menggunakan alat-alat yang sederhana. Menurut Suharjito (2000) hasil penting lain dari hutan rakyat adalah kayu bakar yang


(29)

banyak dikonsumsi oleh industri-industri kecil seperti industri genting dan bata, serta industri makanan (kerupuk dan brem). Pengolahan hasil kayu pada hutan rakyat masih sangat terbatas. Pengolahan hasil dari hutan rakyat tersebut dipengaruhi pula oleh permintaan pasar. Kurangnya modal finansial dan keterampilan menjadi hambatan tersendiri bagi petani hutan rakyat untuk melakukan pengolahan hasil hutan menjadi produk akhir yang memiliki nilai tambah tinggi.

2.1.3 Subsistem Pemasaran

Budidaya hutan rakyat di Jawa dengan hasil utama kayu berkembang karena adanya pasar (termasuk yang mengatur perilaku efisiensi maupun gengsi) yaitu: untuk peralatan rumah tangga, peti kemas, pulp, dan lain-lain penggunaan (Suharjito 2000). Mengingat pada saat ini posisi tawar petani yang lemah menyebabkan pendapatan petani selalu kecil yang pada gilirannya tidak dapat merangsang petani untuk mengembangkan usahanya (Hardjanto 2000).

Pemasaran kayu rakyat biasanya dilakukan seperti pemasaran hasil-hasil pertanian lainnya. Pemilik langsung menjual kayu rakyat yang masih berdiri kepada para pembeli. Sebagian besar petani masih sangat kurang pengetahuannya dalam memasarkan hasil-hasil kayunya, belum adanya informasi pasar dan ditambah kurangnya modal menyebabkan masih dominannya peran tengkulak yang membeli kayu-kayu dari rakyat dengan harga yang relatif rendah (Hardjanto 2003)

2.1.4 Subsistem Kelembagaan

Arifin (2005) menyebutkan bahwa definisi kelembagaan mencakup dua hal penting, yaitu: 1) Norma dan konvensi, dan 2) Aturan main. Selanjutnya dikatakan bahwa kelembagaan juga dapat tidak ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, tetapi kelembagaan juga dapat ditulis secara formal seperti pada aturan adat dan norma yang dianut masyarakat. Kelembagaan menjadi bahasan yang relevan dalam konteks hutan rakyat karena perannya yang tak pernah lepas dalam upaya pengembangan hutan rakyat. Karakteristik pengelolaan hutan rakyat di Indonesia sebagian besar masih bersifat subsisten, individual (dikelola oleh keluarga), belum


(30)

mempunyai manajemen formal, dan belum profesional. Karakteristik seperti ini kurang memiliki daya saing dan tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dibanding pedagang maupun industri. Sementara lembaga selain petani bersifat lebih solid dalam arti telah memiliki perencanaan usaha yang lebih baik karena mereka memiliki informasi (pasar) (Hardjanto 2000).

Menurut Darusman dan Hardjanto (2006) dalam struktur sistem usaha, pihak petani berada dalam posisi termiskinkan, dimana nasibnya ditentukan oleh pelaku lain. Dengan demikian strategi dan program pengembangan usaha kayu rakyat adalah pemberdayaan dan peningkatan pendapatan petani, mewujudkan kelestarian usaha dan kelestarian sumberdaya kayu rakyat. Dengan demikian diperlukan kebijakan dan program operasional dalam bidang: pemasaran, subsidi, pemanfaatan lahan (terlantar, negara), peningkatan teknologi, permodalan, perencanaan sumberdaya (hutan) secara terpadu dalam setiap kabupaten dan atau antar kabupaten. Permasalahan pengelolaan hutan rakyat masih sangat banyak. Permasalahan tersebut terdapat pada keempat sub sistemnya yaitu sub sistem produksi, pengolahan, pemasaran dan kelembagaan. Prioritas penelitian yang harus dilakukan dalam mewujudkan kelestarian hutan rakyat dan kelestarian usahanya dengan mengedepankan peningkatan manfaat yang diterima oleh petani pemiliknya. Menurut Hardjanto (2003) permasalahan, arah kebijakan dan strategi perbaikannya dari hutan rakyat, disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Aspek permasalahan, arah dan strategi perbaikan, serta penelitian dan pengembangan hutan rakyat yang diperlukan.

Aspek Masalah Arah dan strategi

perbaikan

Penelitian & Pengembangan 1. Produksi - Ketersediaan

lahan. - Rentabilitas rendah. - Peran terhadap pendapatan masih rendah

-Akses/hak guna terhadap lahan negara. -Pengayaan

tanaman dengan sistem agroforestri, baik oleh jenis kayu maupun non-kayu.

- Bentuk-bentuk hak guna dan tenurial yang adil dan aman. - Jenis dan

silvikultur - pengayaan

dalam sistem agroforestri


(31)

Aspek Masalah Arah dan strategi perbaikan Penelitian & Pengembangan 2.Pemanenan dan pemasaran

- Panen masih diserahkan ke pihak luar petani. - Struktur pasar

monopsonistik- lokal

- Petani/kelompok petani harus mampu panen - Struktur pasar

kompetitif terbuka

-Appropriate technologies secara lokal. -Pendidikan &

latihan. -Kelompok pemasar. -Market information system. -Mendorong pelaku-pelaku industri baru 3.Industri pengolahan

- Masih terbatas pada industri primer - Perlu dikembangkan indusri sekunder/ tersier. - Dukungan investasi UKM - Industri sekunder/ tersier yang sesuai (teknologi, ekonomi dan manajemen usaha). - Pendidikan &

latihan 4.Kelembagaan - Masih ada

peraturan yang menghambat. - Belum cukup

peraturan yang mendukung.

- Aturan

pelaksanaan hak guna lahan

negara untuk hutan rakyat.

- Aturan yang memudahkan pemanenan dan angkutan kayu rakyat.

- Bentuk-bentuk hak guna dan tenurial yang adil dan aman. - Prosedur pemanenan dan pengangkutan yang aman secara hukum. 5.Sumberdaya manusia - Tingkat pendidikan dan ekonomi yang relatif rendah untuk usaha jangka panjang seperti hutan rakyat - Penyuluhan, pendidikan dan latihan.

- Perlu lapangan kerja atau sumber pendapatan lainnya - Paket/modul penyuluhan dan pendidikan dan pelatihan yang sesuai. - Jenis-jenis lapangan kerja lain yang sesuai dan terkait


(32)

Aspek Masalah Arah dan strategi perbaikan

Penelitian & Pengembangan

dengan hutan rakyat

(backward & forward linkages)

Sumber : Hardjanto (2003)

2.1.5 Tipologi Hutan Rakyat

Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (1995) membagi tipologi hutan rakyat menjadi 3 (tiga), sebagai berikut:

1. Bentuk murni/monokultur, hutan rakyat yang hanya ditanami pohon satu jenis kayu-kayuan saja

2. Bentuk campuran, hutan rakyat yang ditanami lebih dari satu jenis tanaman keras 3. Bentuk agroforestri (campuran dengan tanaman pertanian), hutan rakyat yang

ditanami tanaman keras dan tanaman pertanian

2.1.6 Prinsip, Kriteria dan Indikator Kelestarian Hutan Rakyat

Menurut Hardjanto dan Trison (2010) prinsip, kriteria dan indikator hutan rakyat energi merupakan pedoman yang digunakan untuk mengukur pencapaian kelestarian pengelolaan hutan rakyat untuk keperluan energi. Prinsip kelestarian yang ingin dicapai dalam rangka kelestarian pengelolaan hutan rakyat untuk keperluan energi, yaitu: 1) Prinsip kelestarian fungsi produksi, 2) Prinsip kelestarian fungsi ekologi dan 3) Prinsip kelestarian fungsi sosial.

Kriteria untuk mencapai kelestarian fungsi produksi dalam rangka kelestarian pengelolaan hutan rakyat untuk keperluan energi, yaitu: 1) Kelestarian sumberdaya dan 2) Kelestarian hasil dan usaha. Adapun indikator untuk kriteria kelestarian sumberdaya, meliputi: 1) Sebaran lokasi hutan rakyat berada pada tanah milik atau tanah terlantar, 2) Status lahan jelas menurut aturan yang berlaku, 3) Perubahan peruntukan lahan untuk hutan rakyat dan 4) Intensitas persemaian, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan hutan rakyat. Sementara indikator untuk kriteria


(33)

kelestarian hasil dan usaha, meliputi: 1) Kerjasama antar pemilik dalam pengelolaan hutan rakyat, 2) Kepastian pasar, 3) Kemampuan akses pasar, 4) Ketersediaan sistem informasi pasar dan 5) Kontribusi terhadap peningkatan kondisi sosial dan ekonomi setempat.

Kriteria untuk mencapai kelestarian fungsi ekologi dalam rangka kelestarian pengelolaan hutan rakyat untuk keperluan energi adalah tercapainya stabilitas ekosistem. Adapun indikator untuk kriteria ini adalah dampak positif kegiatan kelola produksi terhadap stabilitas ekosistem.

Kriteria untuk mencapai kelestarian fungsi sosial dalam rangka kelestarian pengelolaan hutan rakyat untuk keperluan energi, yaitu: 1) Kejelasan sistem tenurial lahan dan pengelolaan hutan rakyat dan 2) Terciptanya kondisi pengembangan ekonomi masyarakat setempat. Adapun indikator untuk kriteria kejelasan sistem tenurial lahan dan pengelolaan hutan rakyat adalah pelaku pengelolaan hutan rakyat baik warga komunitas atau yang lain, dapat menjalankan usahanya sendiri atau bermitra. Indikator untuk kriteria terciptanya kondisi pengembangan ekonomi masyarakat setempat, meliputi: 1) Sumber-sumber ekonomi lain minimal tetap dan tidak terganggu oleh usaha hutan rakyat dan 2) Penerapan teknik-teknik produksi kegiatan pengelolaan hutan maupun pasca panen sejauh mungkin menggunakan tenaga kerja setempat.

Selain itu Suhendang (2002) menyatakan bahwa pengelolaan hutan secara lestari adalah pemanfaatan hasil dan nilai-nilai yang dapat diperoleh dari hutan untuk generasi kini tidak boleh mengorbankan daya dukung hutan tersebut untuk memberikan hasil dan nilai-nilai yang sama untuk generasi yang akan datang. Konsep pengelolaan hutan lestari mencakup pemahaman bahwa hutan memiliki fungsi sebagai berikut :

1. Kelestarian fungsi ekonomi adalah keseluruhan hasil hutan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam melakukan berbagai tindakan ekonomi (Suhendang 2002). Hal ini berarti sumberdaya hutan diharapkan memberikan manfaat dan menyokong pendapatan masyarakat serta


(34)

dapat menjadi sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan;

2. Kelestarian fungsi ekologis adalah berbagai bentuk jasa hutan yang diperlukan dalam memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan misalnya untuk mengendalikan erosi, memelihara kesuburan tanah, habitat flora dan fauna dan fungsi-fungsi hutan untuk mengendalikan penyakit tanaman pertanian. Artinya sumberdaya hutan diharapkan dapat menopang terciptanya keseimbangan dan kestabilan sehingga hutan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya;

3. Kelestarian fungsi sosial adalah barang dan jasa yang dapat dihasilkan oleh hutan yang dapat memenuhi kepentingan umum, terutama bagi masyarakat di sekitar hutan untuk berbagai kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, misalnya penyediaan lapangan pekerjaan, penyediaan kayu bakar, penyediaan lahan untuk bercocok tanam, serta untuk berbagai fungsi yang diperlukan dalam rangka melaksanakan kegiatan pendidikan, pelatihan serta untuk kegiatan budaya dan keagamaan. Fungsi sosial budaya dari hutan adalah dapat menampung tenaga kerja masyarakat dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang mengedepankan aspek keadilan, kesejahteraan dan keberlanjutan

Awang et al (2002) menyatakan bahwa kelestarian hutan rakyat ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kebutuhan ekonomi masyarakat, pandangan-pandangan, kebutuhan penyelamatan lingkungan, dan sebagainya. Pemanfaatan hutan rakyat yang seimbang antara kepentingan ekonomi dan lingkungan mengakibatkan hutan rakyat akan lestari. Faktor yang mengakibatkan tidak lestarinya hutan rakyat adalah eksploitasi yang berlebihan terhadap hasil hutan rakyat.

Dalam sistem sertifikasi Lembaga Ekolabel Indonesia, kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari, masing-masing fungsi kelestarian hutan (produksi, sosial, dan ekologi) mengembangkan kriteria-kriteria untuk penilaiannya masing-masing. Secara keseluruhan, aspek produksi mengembangkan 3 kriteria dan 18 indikator. Aspek sosial mengembangkan 4 kriteria dan 13 indikator. Sedangkan aspek ekologi mengembangkan 2 kriteria dan 6 indikator.


(35)

Kriteria kelestarian untuk tingkat kesatuan pengelolaan hutan dan contoh indikatornya adalah sebagai berikut (ITTO 1992) :

1. Kriteria keamanan sumber, contoh indikatornya yaitu ketetapan kawasan hutan tetap, rencana pengelolaan, kejelasan tata batas, tingkat penebangan, dan perambahan, serta perjanjian masa konsesi hutan.

2. Kriteria keberlanjutan hasil kayu, contoh indikatornya yaitu aturan yang jelas dan resmi tentang pemanenan, produktivitas tanah jangka panjang, inventarisasi tegakan sebelum penebangan, jumlah pohon atau volume pohon yang boleh ditebang per hektar, monitoring tegakan sisa tebangan, pencatatan hasil hutan tahunan, areal produksi yang bersih, dan pencatatan areal tebangan hutan.

3. Kriteria konservasi flora dan fauna, contoh indikatornya yaitu perlindungan ekosistem dalam areal konsesi hutan dan unit pengelolaan, serta tingkat gangguan vegetasi setelah penebangan.

4. Kriteria manfaat sosial ekonomi, contoh indikatornya yaitu jumlah tenaga kerja yang diserap, macam pekerjaan, dan jumlah volume pekerjaan yang dapat dikaitkan dengan pengelolaan hutan.

5. Kriteria pengalaman dalam perencanaan dan pengaturan, contoh indikatornya yaitu konsultasi kemasyarakatan dan rencana pengelolaan hutan dengan memasukkan pemanfaatan hutan secara tradisional.

Berdasarkan kriteria dan indikator di atas, maka prinsip kelestarian produksi, ekologi dan sosial menjadi ukuran dalam pengelolaan hutan lestari. Khusus dalam penelitian ini hanya difokuskan pada beberapa kriteria dan indikator yang relevan dengan pengelolaan hutan rakyat. Prinsip kelestarian produksi akan difokuskan pada status lahan, teknik silvikultur dan pengaturan hasil. Prinsip kelestarian ekologi akan difokuskan pada keseimbangan ekosistem. Prinsip kelestarian sosial akan difokuskan pada manfaat ekonomi dan kerjasama antar petani hutan rakyat.


(36)

2.2 Kinerja Petani Hutan Rakyat dan Penyuluh Kehutanan

Kinerja merupakan terjemahan dari hasil kerja atau prestasi kerja seseorang dalam suatu organisasi, baik organisasi pemerintah maupun swasta. Kinerja didefinisikan sebagai catatan hasil-hasil yang diperoleh melalui fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan selama periode waktu tertentu, yaitu berupa kegiatan belajar-mengajar, kegiatan penyuluhan, kegiatan pemasaran dan lain-lain. Gibson (1996) menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang diinginkan dari perilaku dan kinerja individu yang merupakan dasar dari kinerja organisasi.

Keberhasilan dari pelaksanaan kinerja organisasi dapat ditentukan melalui penilaian kinerja individu dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya untuk mencapai tujuan organisasi. Penilaian prestasi kerja dapat terpenuhi apabila penilaian mempunyai hubungan dengan pekerjaan dan adanya standar pelaksanaan kerja. Agar penilaian dapat dilaksanakan secara efektif, maka standar penilaian hendaknya berhubungan dengan hasil-hasil yang diinginkan setiap pekerja.

Beach (1970) mendefinisikan penilaian kinerja adalah sebuah penilaian sistematis atas individu karyawan mengenai prestasi dalam pekerjaannya dan potensinya untuk pengembangan organisasi, yaitu pengembangan program kerja dan potensi individu untuk menyusun tindak lanjut dari program tersebut. Blanchard dan Spencer (1982) menjelaskan bahwa penilaian prestasi kerja atau kinerja merupakan proses organisasi yang mengevaluasi karyawan terhadap pekerjaannya.

Robbins (1996) menjelaskan bahwa kinerja merupakan fungsi dari faktor kemampuan, faktor motivasi dan faktor kesempatan. Faktor kesempatan adalah tingkat kinerja yang tinggi, sebagian merupakan fungsi dari tidak adanya rintangan-rintangan yang mengendalikan karyawan itu. Meskipun seorang individu mungkin bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang menjadi penghambat. Sehubungan dengan itu kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan.

Gibson (1996) menjelaskan bahwa terdapat tiga variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, yaitu: individu, organisasi dan psikologis.


(37)

Variabel individu yang dapat mempengaruhi kinerja adalah variabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang pribadi dan demografis. Kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu. Variabel demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung. Variabel organisasi yang dapat mempengaruhi kinerja terdiri dari variabel sumberdaya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Variabel penghargaan akan berpengaruh terhadap variabel motivasi, yang pada akhirnya secara langsung mempengaruhi kinerja individu. Sementara itu variabel psikologis yang dapat mempengaruhi kinerja terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel psikologis dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis.

Kinerja petani sangat tergantung dari kemampuan, motivasi dan kesempatan yang ada. Oleh karena itu kinerja dapat dikatakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesempatan (Robbins 1996).

Menurut Rogers dan Soemakers (1983) keberhasilan penyuluh memiliki kinerja yang baik tercermin dari pelaksanaan rangkaian tugasnya yang mencakup: 1) Kemauan dan kemampuan penyuluh menjalin hubungan secara langsung dengan para tokoh masyarakat, pemuka masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat, 2) Kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menjadi perantara sumber-sumber inovasi dengan pemerintah/lembaga penyuluhan dan masyarakat petani sasarannya dan 3) Kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menyesuaikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan kebutuhan-kebutuhan yang dapat dirasakan oleh pemerintah atau lembaga penyuluhan dan masyarakat sasaran.

Slamet (2003) menegaskan bahwa kualitas sumberdaya penyuluh harus mampu merespon perubahan perilaku para petani, yang ditentukan oleh kualitas interaksi antara petani dengan sumberdaya alamnya saja, juga sangat ditentukan oleh kualitas interaksi dengan pihak ketiga, seperti pedagang, sumber permodalan, dan sebagainya. Kinerja penyuluh kehutanan dapat dijabarkan melalui tugas, pokok dan fungsi penyuluh yang menjadi tanggungjawabnya selama penyuluh tersebut berprofesi sebagai tenaga fungsional di lapangan. Chamala et al (1997) berpendapat bahwa


(38)

pemberdayaan dapat menjadi tugas, pokok dan fungsi penyuluhan. Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya untuk membantu warga masyarakat sebagai berikut:

1. Mengorganisasikan warga masyarakat desa yaitu melalui para penyuluh harus memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan warga pedesaan dan mengelola kelompok;

2. Mengembangkan sumberdaya manusia yaitu melalui pengembangan sumberdaya manusia akan memberdayakan rakyat dan memberi makna baru pada peranan-peranan lain. Pengembangan kecakapan teknis haruslah dipadukan dengan kecakapan manajemen;

3. Memecahkan masalah dan mendidik yaitu melalui peran penyuluh bukan lagi sekedar memberikan solusi teknis, melainkan memberdayakan organisasi petani untuk memecahkan masalah mereka sendiri, dengan jalan membantu mereka menentukan masalah dan mencari solusi yang benar, dengan memadukan pengetahuan asli mereka dengan pengetahuan modern dan menggunakan sumberdaya mereka secara tepat

Van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa peranan agen penyuluhan adalah membantu petani membentuk pendapat yang sehat dan membuat keputusan yang baik dengan cara berkomunikasi dan memberikan informasi yang diperlukan. Pendapat petani dan keputusannya berdasarkan kepada citra mereka tentang kenyataan hidup dan dugaan mereka terhadap konsekuensi tindakannya. Namun, dugaan itu tidaklah selalu benar karena bayangan tentang suatu kenyataan sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan itu sendiri. Oleh karena itu, penyuluh bertugas membantu petani untuk menghadapi kenyataan ini. Ini memberi mereka pengalaman, karena dari tindakan mereka kemudian diperoleh konsekuensi sesuai dengan yang diharapkan. Dengan seringnya mencapai konsekuensi yang diharapkan, maka petani menjadi lebih baik penyesuaian dirinya di dalam kehidupan.

Berdasarkan uraian berbagai konsep di atas, maka kinerja dapat didefinisikan sebagai kualitas respons individu terhadap keberhasilan kerja yang dicapai oleh


(39)

individu secara aktual dalam suatu organisasi sesuai tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya yang dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan periode waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

Proses-proses perubahan perilaku, melalui belajar, tidak terlepas dari lingkungan yang berada di luar individu atau pihak-pihak yang mempunyai pengaruh kuat terhadap perilaku individu. Kepemimpinan dalam kelompok, oleh Beebe dan Masterson (1994) dianggap sebagai perilaku yang mempengaruhi, menuntun, memerintah, atau mengendalikan kelompok. Kajian kepemimpinan menyangkut tiga perspektif, yaitu: perspektif sifat, perspektif fungsional, dan perspektif situasional. Kajian perspektif sifat memperlihatkan adanya serangkaian sifat tertentu yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Kajian perspektif fungsional menguji kepemimpinan sebagai perilaku yang mungkin dapat dikerjakan bersama anggota kelompok untuk memaksimalkan efektivitas kelompok, seperti: tuntutan, pengaruh, atau pengendalian. Kajian perspektif situasional mengakomodasi semua faktor-faktor, yaitu: perilaku, kebutuhan tugas dan kebutuhan proses, juga memperhitungkan gaya kepemimpinan dan situasi.

Hersey, Blanchard, dan Johnson (1996) mengemukakan tiga kemampuan umum yang dimiliki seorang pemimpin adalah kemampuan dalam: 1) Mendiagnosa, memahami situasi yang akan dipengaruhi; 2) Adaptasi, menentukan kombinasi perilaku dan sumberdaya yang dimiliki dengan situasi yang sesuai; dan 3) Komunikasi, berinteraksi yang mudah dipahami dan diterima dengan orang lain.

Kemampuan memotivasi adalah bentuk keterampilan yang dimiliki oleh seseorang pemimpin dalam melakukan berbagai kegiatan atau cara yang bertujuan memotivasi atau menggerakkan bawahan agar berperilaku seperti yang diinginkan. Kemampuan memotivasi termasuk dalam kategori interpersonal skill (Katz dan Mann dalam Yukl 1998). Keterampilan interpersonal adalah keterampilan untuk melakukan hubungan antar pribadi, meliputi: pengetahuan tentang manusia dan proses-proses hubungan antar pribadi, kemampuan untuk mengerti perasaan, sikap, serta motivasi orang lain dari apa yang mereka katakan dan lakukan (empati, sensitivitas sosial), kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara jelas dan efektif


(40)

(kemahiran berbicara, kemampuan menyakinkan orang), serta kemampuan untuk membuat hubungan yang efektif dan kooperatif (kebijaksanaan, diplomasi, keterampilan mendengarkan, pengetahuan mengenai perilaku sosial yang dapat diterima). Keterampilan antar pribadi berperan meningkat efektivitas perilaku pemimpin atau manajer yang berorientasi pada hubungan.

Zulkarnain (2008) menjelaskan tentang tingkat keberhasilan petani hutan rakyat dalam mengelola hutan rakyat, hanya sekitar 3 persen petani yang berhasil sangat baik. Tingkat keberhasilan hutan rakyat dipengaruhi aspek teknis dan aspek sosial ekonomi. Faktor teknis yang berpengaruh adalah pemupukan dan pemeliharaan hutan rakyat. Sedangkan faktor sosial ekonomi yaitu pendapatan dan status lahan. Sumarlan (2012) menjelaskan faktor-faktor penentu kinerja petani hutan rakyat meliputi tingkat motivasi, kesempatan dan kemampuan petani. Lemahnya faktor-faktor penentu kinerja petani menyebabkan rendahnya kinerja petani.

Slamet (1992) menyatakan bahwa umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan dan sikap merupakan faktor-faktor individu yang berhubungan proses difusi inovasi. Mardikanto (1993) menyatakan bahwa, karakteristik individu adalah sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, antara lain: umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial dan agama. Robbins (1996) mengungkapkan beberapa karakteristik individu, meliputi: umur, jenis kelamin, status perkawinan, banyaknya tanggungjawab dan pengalaman kerja mempunyai efek terhadap kinerja. Karakteristik individu tersebut akan menjadikan seseorang berperilaku positif yang berarti disiplin dan sebaliknya jika tidak sesuai cenderung berperilaku tidak disiplin.

Berdasarkan persamaan dan perbedaan dari konsep yang dikemukakan oleh para ahli yang berhubungan dengan faktor-faktor yang berhubungan kinerja individu, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja individu dapat dipengaruhi karakteristik individu.

Roger dan Shoemaker (1983) menjelaskan bahwa kinerja penyuluh adalah personal faktor yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungan, karena penyuluh merupakan pekerja profesional yang berusaha berhubungan atau


(41)

mengarahkan keputusan inovasi selaras dengan tujuan organisasi lembaga penyuluhan.

Spencer dan Spencer (1993) menyatakan bahwa, kompetensi merupakan karakteristik dasar seseorang yang berhubungan cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap segala situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia. Karakteristik individu yang dapat membentuk kompetensi dan menciptakan kinerja yang baik yaitu: 1) Motif individu, 2) Ciri-ciri fisik, 3) Konsep diri, 4) Pengetahuan dan 5) Kemampuan teknis.

Menurut Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 46 A Tahun 2003 Tanggal 21 Nopember 2003 dinyatakan bahwa kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara professional, efektif, dan efisien. Padmowihardjo (2004) mengemukakan bahwa kompetensi adalah kemampuan dan rasa tanggungjawab seseorang terhadap tugas atau pekerjaan yang dilaksanakan agar dapat dicapai hasil yang baik. Kompetensi didukung dengan kemampuan intelektual, kemampuan yang berkaitan dengan kejiwaan, dan kemampuan gerak fisik.

Berdasarkan uraian di atas, maka komponen kompetensi inti yang harus dikuasai penyuluh kehutanan, yaitu: 1) Melaksanakan aksi sosial, 2) Merancang program penyuluhan, 3) Mempertemukan sumberdaya dengan kebutuhan petani, 4) Mengelola informasi, 5) Hubungan interpersonal, 6) Pemahaman organisasi penyuluhan, 7) Kepemimpinan, 8) Mengelola organisasi, 9) Profesionalisme dan 10) Bidang keahlian.

Hasibuan (1995) dan Crawford (2005) berpendapat bahwa, motivasi adalah suatu keahlian atau daya penggerak dalam mengarahkan pegawai dan organisasi yang bisa menyebabkan orang-orang bertindak atau berperilaku dengan cara-cara tertentu agar mereka mau bekerjasama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasaan dan tujuan organisasi. Sedangkan perbedaan


(42)

dari kedua ahli tersebut yaitu: Hasibuan (1995), menjelaskan motivasi lebih kearah suatu keahlian atau daya penggerak dalam mengarahkan pegawai atau organisasi. Crawford (2005), menjelaskan motivasi lebih terarah pada perilaku orang-orang untuk bertindak dalam mencapai kepuasan dan tujuan organisasi.

Maslow (1956), McClelland (1961) dan Herzberg (2000), mengemukakan persamaan teori motivasi dari aspek kebutuhan individu. Kebutuhan individu yang dimaksud pada teori motivasi yang di kemukakan oleh ketiga ahli tersebut, yaitu kebutuhan dasar, kebutuhan tumbuh, kebutuhan akan berprestasi dan kebutuhan individu akan faktor pemuas.

Berdasarkan konsep-konsep teori motivasi, maka dapat disimpulkan bahwa, motivasi merupakan kondisi yang mendorong, menggerakkan, mengendalikan, membangkitkan kegiatan, menumbuhkan perasaan, pengambilan prakarsa, dan usaha individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor motivasi penyuluh kehutanan yang akan di analisis adalah motivasi kebutuhan untuk berprestasi, motivasi kebutuhan untuk memperoleh kekuasaan, motivasi kebutuhan untuk berafiliasi dan motivasi dalam mendapatkan pengakuan petani atas tugas yang dilakukan.

Herzberg (2000) mengembangkan dua faktor yang berhubungan kondisi pekerjaan seseorang, yaitu; 1) Faktor pemuas yaitu faktor-faktor yang mendorong berprestasi individu yang sifatnya intrinsik yang berarti bersumber dalam diri seseorang dan 2) Faktor pemelihara yaitu faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupannya.

Lingkungan merupakan faktor-faktor di luar individu yang berhubungan dalam kehidupannya. Lingkungan juga sebuah sistem yang utuh, kolektivitas dari serangkaian sub sistem yang saling berhubungan, saling bergantung dan fungsional satu sama lain, sehingga membentuk suatu kesatuan ekosistem yang utuh (Purba 2002). Sumaryanto dan Siregar (2003) menyatakan bahwa faktor eksternal tidak hanya kemampuan seseorang tidak saja disebabkan oleh potensi yang ada dalam dirinya (faktor internal), tetapi juga oleh faktor di luar dirinya (faktor


(43)

eksternal/lingkungan). Lingkungan adalah kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan, makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi perikehidupan. Lingkungan dapat digolongkan dalam lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan lingkungan organisasi (Ainsworth et al 2002). Lingkungan fisik adalah sumberdaya yang tersedia yang dapat mempengaruhi kelancaran pekerjaan, seperti: alat, alat bantu teknologi, dan kondisi fisik (Robbins 1996).

Menurut Lionberger dan Gwin (1982) informasi dapat berupa: 1) Informasi tentang hasil-hasil temuan yang dihasilkan oleh para peneliti (melalui para penyuluh) kepada masyarakat penggunanya, dan 2) Umpan balik (baik berupa laporan keberhasilan maupun masalah yang dihadapi) dari penerapan hasil penelitian yang disampaikan masyarakat pengguna (melalui penyuluh kepada peneliti). Semakin banyak informasi yang dapat dipelajari, semakin tinggi pula pengetahuan dan kreativitas yang dihasilkan dari proses belajar tersebut, yang pada gilirannya mampu meningkatkan kinerjanya.

Selain lingkungan fisik, lingkungan manusia (sosial) pun sangat menentukan kinerja penyuluh. Lingkungan sosial merupakan tempat terjadinya interaksi pada sekelompok orang atau individu yang secara sukarela menempati kawasan tertentu secara relatif permanen. Jenis lingkungan lainnya yang dapat mempengaruhi kinerja penyuluh adalah lingkungan organisasi di mana penyuluh bekerja. Menurut Robbins (1996), struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa dan mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti.

Slamet (2003) juga mengemukakan bahwa struktur organisasi menggambarkan bagaimana organisasi mengatur hubungan antar orang dan antar organisasi. Struktur organisasi merupakan keputusan yang diambil oleh organisasi itu sendiri berdasarkan situasi, kondisi dan kebutuhan organisasi.

Simamora (1996) mengemukakan bahwa tujuan pelatihan dan pengembangan meliputi: 1) Memperbaiki kinerja, 2) Memutakhirkan keahlian para karyawan sejalan dengan kemajuan teknologi, 3) Mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru supaya menjadi kompeten, 4) Membantu memecahkan persoalan operasional, 5)


(44)

Mempersiapkan karyawan untuk promosi, dan 6) Memenuhi kebutuhan-kebutuhan pertumbuhan pribadi. Pelatihan dan pengembangan keduanya penting karena merupakan cara yang digunakan organisasi untuk mempertahankan, menjaga, memelihara dan meningkatkan keahlian serta kompetensi para pegawai agar produktivitas kerjanya meningkat.

Ndraha (1999) mengatakan bahwa terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungannya, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi) maupun lingkungan horizontal (geografik, fisik, sosial). Dengan kata lain perilaku manusia akan terbentuk tidak saja secara alami, tetapi juga karena faktor lingkungan. Baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat secara umum. Pendidikan informal dan kebiasaan dalam keluarga akan turut mempengaruhi perkembangan fisik dan mental seseorang. Pengetahuan, kecakapan, dan kecerdasan tidak saja dibentuk di sekolah melalui pendidikan formal atau non formal, tetapi juga melalui pendidikan informal dalam keluarga. Demikian juga lingkungan sosial umum memiliki pengaruh terhadap perkembangan kecerdasan, sikap, dan keterampilan seseorang.

Dukungan organisasi/lembaga penyuluhan dalam bentuk kekondusifan lembaga secara struktural dan sistematik memungkinkan semua elemen organisasi termasuk penyuluh pertaniannya memiliki modal sosial untuk bekerja sesuai dengan peranannya dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Pencapaian tujuan organisasi diukur dari kinerjanya dalam memuaskan pelanggannya. Pemenuhan kebutuhan pelanggan akan tercapai jika semua elemen organisasi memiliki kapasitas tertentu dalam bentuk kecakapan, kemampuan, strategi, dan sebagainya. Kapasitas penyuluh ditentukan oleh kecakapannya dalam memberikan penyuluhan. Kecakapan (kompetensi) ini akan tercapai jika organisasi/lembaga penyuluhan memiliki berbagai sumberdaya sebagai aspek pendukungnya, baik sumberdaya ekonomi maupun sumberdaya berupa sistem yang kondusif serta akses untuk memudahkan tercapainya kesepakatan-kesepakatan tersebut.


(45)

2.3. Analisis Faktor dan Analisis Jalur.

Analisis faktor adalah analisis untuk menemukan hubungan antar sejumlah variabel-variabel yang awalnya saling independen satu dengan yang lain, sehingga bisa dibuat satu atau beberapa kumpulan variabel yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal. Tujuan analisis faktor adalah untuk mengidentifikasi adanya hubungan antar variabel dengan melakukan uji korelasi. Setelah itu dilakukan proses membuat variabel set baru yang dinamakan faktor untuk menggantikan sejumlah variabel tertentu (Santoso 2012)

Proses dasar analisis faktor adalah 1) Menentukan variabel yang akan dianalisis, 2) Menguji variabel-variabel yang telah ditentukan untuk menentukan variabel-variabel yang dianggap layak untuk masuk tahap analisis faktor, 3) Mengekstrak satu atau lebih faktor dari variabel-variabel yang telah lolos pada uji variabel sebelumnya, 4) Interpretasi atas faktor yang telah terbentuk, 5) Validasi atas faktor yang terbentuk (Santoso 2012)

Analisis jalur (path analysis) merupakan suatu metode penelitian yang utamanya digunakan untuk menguji kekuatan dari hubungan langsung dan tidak langsung diantara berbagai variabel. Hal tersebut sejalan dengan salah satu tujuan penelitian di bidang pengetahuan sosial, yaitu untuk mengetahui adanya hubungan sosial (Sandjojo 2011)

Langkah-langkah dalam melakukan analisis jalur adalah sebagai berikut : pertama, instrumen penelitian yang digunakan harus valid dan reliabel, kedua,Uji normalitas galat, uji homogenitas dan uji signifikansi dan lineraitas, ketiga uji tersebut dilakukan sebagai persyaratan uji statistik sebelum analisis jalur diimplementasikan, keempat, pengujian model. kelima, pengujian hipotesis. Ada beberapa elemen dasar agar model jalur dapat dikembangkan untuk meneliti fenomena sosial. Adapun elemen tersebut antara lain adalah diagram jalur, variabel eksogen dan endogen, koefisien jalur, persamaan struktural dan kesalahan sisa (Sandjojo 2011)

Beberapa asumsi dalam menggunakan analisis jalur adalah: 1) semua hubungan adalah linier dan adaptif, asumsi kausal, 2) residu tidak berkorelasi dengan


(46)

variabel-variabel di model dan residu lain, 3) aliran kausal satu arah, 4) variabel-variabel-variabel-variabel diukur dengan skala interval atau yang lebih baik dan 5) variabel-variabelnya diukur tanpa adanya kesalahan (Sandjojo 2011)


(47)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Berfikir

Kinerja petani hutan rakyat merupakan hasil kerja petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja dapat berasal dari dalam individu dan dari luar individu. Faktor yang berasal dari dalam individu berupa karakter individu. Dalam penelitian ini, karakteristik individu petani hutan rakyat yang diduga berhubungan erat dan sangat mempengaruhi kinerja petani hutan rakyat dalam pengelolaan hutan rakyat. Karakteristik pribadi dimaksud, antara lain: umur, tingkat pendidikan formal, pengalaman berusahatani, luas penguasaan lahan, dan tingkat pendapatan.

Faktor luar individu atau faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu petani hutan rakyat dan merupakan faktor yang penting dalam rangka mengetahui upaya seseorang untuk melakukan suatu usaha. Adapun faktor yang dimaksud seperti lahan, interaksi dengan penyuluh, sarana produksi, partisipasi kelompok tani dan akses perbankan. Peneliti mengidentifikasi kekuatan dari luar yaitu faktor lingkungan fisik, kompetensi penyuluh kehutanan menurut persepsi petani dan kinerja penyuluh kehutanan, lingkungan sosial budaya serta kinerja penyuluh kehutanan.

Kinerja petani hutan rakyat dalam pengelolaan hutan rakyat masih rendah, oleh karena itu perlu didorong peningkatan kinerjanya melalui program pemberdayaan oleh penyuluh kehutanan. Faktor-faktor dan indikator-indikator yang diduga berhubungan dengan kinerja petani hutan rakyat. Faktor karakteristik petani meliputi indikator: umur, pendidikan formal, pengalaman berusaha tani, pendidikan non formal, pendapatan dan rasio ketergantungan keluarga. Faktor lingkungan fisik meliputi indikator tentang pola komposisi tanaman yang ditanam, luas hutan rakyat, produktivitas hutan rakyat dan rasio tebang tanam hutan rakyat. Faktor lingkungan sosial budaya meliputi indikator kepercayaan antar sesama, hubungan sosial, ketaatan terhadap aturan dan kearifan lokal. Sementara faktor kompetensi penyuluh kehutanan


(48)

menurut persepsi petani meliputi indikator manajerial, komunikasi dan interaksi sosial, kemampuan bidang keahlian dan kepemimpinan.

Keterkaitan faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan kinerja petani hutan rakyat disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka hubungan antar faktor yang berhubungan dengan kinerja petani hutan rakyat

Peningkatan kinerja petani hutan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani dan kelestarian hutan rakyat tidak dapat dilepaskan dari kinerja penyuluh kehutanan. Kinerja penyuluh kehutanan dapat mengubah perilaku petani dalam mengelola hutan rakyat. Kinerja penyuluh kehutanan yang baik akan

Kompetensi penyuluh kehutanan menurut persepsi petani (X13)

1.Manajerial 2.Interaksi sosial

3.Kemampuan bidang keahlian 4.Kepemimpinan

Karakteristik petani hutan rakyat (X11)

1. Umur

2. Pendidikan formal 3. Pendidikan nonformal 4. Pengalaman berusaha tani 5. Pendapatan

6. Rasio ketergantungan keluarga

Lingkungan sosial budaya (X14)

1. Kepercayaan antar sesama 2. Hubungan sosial 3. Ketaatan terhadap aturan 4. Kearifan lokal

Kinerja petani hutan rakyat (Y11)

1. Kelestarian fungsi produksi 2. Kelestarian fungsi

ekologi

3. Kelestarian fungsi sosial

Hutan lestari Petani hutan rakyat

sejahtera

Lingkungan fisik (X12)

1.Komposisi jenis tanaman yang ditanam

2.Luas hutan rakyat 3.Produktivitas hutan rakyat 4.Rasio tebang tanam hutan

rakyat

Kinerja penyuluh kehutanan (X15)

1.Pelaksanaan kegiatan sosial 2. Penyusunan program penyuluhan 3. Pemanfaatan sumberdaya lokal 4.Penyelenggaraan penyuluhan 5.Manajemen organisasi


(49)

berdampak pada perilaku petani yang lebih baik, sebaliknya jika kinerja penyuluh kehutanan tidak baik maka perilaku petani juga tidak optimal dalam melaksanakan usaha hutan rakyat.

Kinerja penyuluh kehutanan dalam membantu petani mengelola hutan rakyatnya tidak terlepas dari kompetensi penyuluh dalam melaksanakan tugas pokok, dan fungsinya yang menjadi tanggungjawabnya sebagai penyuluh. Kinerja penyuluh kehutanan ini pula merupakan refleksi dari motivasi kerja seorang penyuluh yang mendorong adanya semangat kerja dan kreativitasnya untuk membantu petani. Dengan adanya kompetensi dan motivasi kerja ini akan melahirkan suatu kemandirian penyuluh yang berusaha membantu petani dengan segenap kemampuannya agar tercipta suatu kemandirian petani yang tidak tergantung pada pihak lain. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang meliputi indikator organisasi, dukungan dari pemerintah daerah dan pengakuan dari masyarakat.

Keterkaitan faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan kinerja penyuluh kehutanan disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka hubungan antar faktor yang berhubungan dengan kinerja penyuluh kehutanan

Kompetensi penyuluh kehutanan (X21)

1.Melakukan aksi sosial 2.Merencanakan program

penyuluhan

3.Memanfaatkan sumberdaya lokal

4.Manajemen organisasi

Motivasi penyuluh kehutanan (X22)

1. Pengembangan potensi diri 2. Pengakuan petani

3. Kebutuhan untuk berprestasi 4. Kebutuhan untuk kekuasaan

Lingkungan penyuluh kehutanan (X23)

1. Organisasi 2. Dukungan pemda 3. Pengakuan dari masyarakat

Kinerja penyuluh kehutanan (Y21)

1.Pelaksanaan kegiatan sosial 2. Penyusunan program penyuluhan 3.Pemanfaatan sumberdaya lokal 4. Penyelenggaraan penyuluhan 5.Manajemen organisasi


(50)

3.2. Hipotesis

Hipotesis yang diturunkan dari kerangka berpikir dirumuskan sebagai berikut : 1. Faktor karakteristik petani hutan rakyat, faktor lingkungan fisik, faktor

kompetensi penyuluh kehutanan menurut persepsi petani dan faktor lingkungan sosial budaya dan kinerja penyuluh kehutanan terkonfirmasi berhubungan nyata dengan kinerja petani hutan rakyat.

2. Faktor kompetensi penyuluh kehutanan, faktor motivasi penyuluh kehutanan dan faktor lingkungan penyuluh kehutanan terkonfirmasi berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh kehutanan.

3.3.Rancangan Penelitian

Penelitian menggunakan rancangan explanatory research dengan tujuan untuk menjelaskan hubungan dan pengaruh antar peubah penelitian melalui pengujian hipotesis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data dan informasi kualitatif untuk memberikan atau mendeskripsikan informasi sehingga menjadi lebih komprehensif hasil dari penelitian ini. Unit analisis dalam penelitian adalah petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan. Penelitian ini membandingkan kinerja petani hutan rakyat dan penyuluh kehutanan dalam pengelolaan hutan rakyat serta faktor-faktor yang berhubungannya di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

3.4. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pertimbangan pemilihan lokasi kabupaten tersebut yaitu kedua kabupaten memiliki sebaran hutan yang cukup luas, kedua kabupaten memiliki perbedaan lingkungan sosial budaya yang berbeda dan kedua kabupaten sudah memiliki kelembagaan penyuluh di tingkat kabupaten. Waktu penelitian Bulan Agustus 2011- Januari 2012.


(1)

UJI BEDA FAKTOR EKOLOGI ANTAR DUA KABUPATEN ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

KompTnm Between Groups .480 1 .480 1.167 .282

Within Groups 60.860 148 .411

Total 61.340 149

LuasHR Between Groups 2.211 1 2.211 6.152 .014

Within Groups 53.185 148 .359

Total 55.396 149

ProdHR Between Groups 1102799.070 1 1102799.070 5.768 .018

Within Groups 2.830E7 148 191202.911

Total 2.940E7 149

Klestarian Between Groups .023 1 .023 .153 .697

Within Groups 21.840 148 .148

Total 21.862 149

Ho = Tidak ada perbedaan H1 = Ada perbedaan

Bila Sig > 0,05, Ho diterima

Bila Sig < 0,05 Ho ditolak (H1 diterima)

Dari hasil uji beda diatas terlihat bahwa hanya Luas HR dan Produksi HR yang berbeda antara Kab Purworejo dan Ciamis.

UJI BEDA KINERJA PETANI ANTAR DUA KABUPATEN ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

FgssProd Between Groups 1348.283 1 1348.283 6.063 .015*

Within Groups 33132.088 149 222.363

Total 34480.371 150

FgsEkol Between Groups 902.418 1 902.418 34.990 .000**

Within Groups 3842.813 149 25.791


(2)

FgsSos Between Groups 95.329 1 95.329 7.181 .008**

Within Groups 1977.903 149 13.275

Total 2073.232 150

Ho = Tidak ada perbedaan H1 = Ada perbedaan

Bila Sig > 0,05, Ho diterima

Bila Sig < 0,05 Ho ditolak (H1 diterima)

Dari hasil uji beda diatas terlihat bahwa Semua indikator Kinerja petani antara Kab purwerejo dan Ciamis adalah berbeda.

UJI BEDA KINERJA PENYULUH-VERSI PETANI ANTAR DUA KABUPATEN ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Mnjeial Between Groups 3766.563 1 3766.563 52.045 .000

Within Groups 10711.010 148 72.372

Total 14477.573 149

Interaksos Between Groups 806.880 1 806.880 9.835 .002

Within Groups 12141.580 148 82.038

Total 12948.460 149

kemampuanahli Between Groups 1850.083 1 1850.083 16.281 .000

Within Groups 16817.410 148 113.631

Total 18667.493 149

kepemimpinan Between Groups 1554.963 1 1554.963 29.929 .000

Within Groups 7689.410 148 51.955

Total 9244.373 149

Ho = Tidak ada perbedaan H1 = Ada perbedaan

Bila Sig > 0,05, Ho diterima

Bila Sig < 0,05 Ho ditolak (H1 diterima)

Dari hasil uji beda diatas terlihat bahwa SEMUA ASPEK berbeda antara Kab purwerejo dan Ciamis berbeda.


(3)

UJI BEDA KOMPETENSI PENYULUH ANTAR DUA KABUPATEN ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

AKSOS Between Groups 5.607 1 5.607 .092 .762

Within Groups 4434.740 73 60.750

Total 4440.347 74

RENCPROGLUH Between Groups 526.407 1 526.407 3.336 .072

Within Groups 11520.180 73 157.811

Total 12046.587 74

PMNFAATSDLOK Between Groups 3389.127 1 3389.127 3.294 .074

Within Groups 75103.540 73 1028.816

Total 78492.667 74

MNJORG Between Groups 55.207 1 55.207 4.146 .045

Within Groups 971.940 73 13.314

Total 1027.147 74

Ho = Tidak ada perbedaan H1 = Ada perbedaan

Bila Sig > 0,05, Ho diterima

Bila Sig < 0,05 Ho ditolak (H1 diterima)

Dari hasil uji beda diatas terlihat bahwa hanya Manajemen Organisasi antara Kab Purworejo dan Ciamis yang berbeda.


(4)

UJI BEDA LINGKUNGAN ANTAR DUA KABUPATEN ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

ORGSASI Between Groups 1.127 1 1.127 .062 .804

Within Groups 1321.060 73 18.097

Total 1322.187 74

DUKPEMDA Between Groups 35.527 1 35.527 12.118 .001

Within Groups 214.020 73 2.932

Total 249.547 74

AKUANMAS Y

Between Groups 7.707 1 7.707 .087 .769

Within Groups 6479.440 73 88.759

Total 6487.147 74

Ho = Tidak ada perbedaan H1 = Ada perbedaan

Bila Sig > 0,05, Ho diterima

Bila Sig < 0,05 Ho ditolak (H1 diterima)

Dari hasil uji beda diatas terlihat bahwa aspek dukungan pemda yang berbeda antara Kab Purworejo dan Ciamis.


(5)

UJI BEDA MOTIVASI PENYULUH ANTAR DUA KABUPATEN

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

BANGPOTENSI Between Groups 32.667 1 32.667 .856 .358

Within Groups 2786.000 73 38.164

Total 2818.667 74

AKUANPETANI Between Groups 2.160 1 2.160 .091 .764

Within Groups 1730.320 73 23.703

Total 1732.480 74

BTHPRESTASI Between Groups 64.027 1 64.027 .536 .467

Within Groups 8726.960 73 119.547

Total 8790.987 74

BTHKUASA Between Groups 88.167 1 88.167 2.291 .134

Within Groups 2809.380 73 38.485

Total 2897.547 74

Ho = Tidak ada perbedaan H1 = Ada perbedaan

Bila Sig > 0,05, Ho diterima

Bila Sig < 0,05 Ho ditolak (H1 diterima)

Dari hasil uji beda diatas terlihat bahwa TIDAK ADA PERBEDAAN MOTIVASI antara Kab Purworejo dan Ciamis .


(6)

UJI BEDA SOSIAL BUDAYA ANTAR DUA KABUPATEN ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

PERCAYA Between Groups 32.670 1 32.670 7.396 .007

Within Groups 653.790 148 4.417

Total 686.460 149

HUBSOS Between Groups 16.803 1 16.803 14.013 .000

Within Groups 177.470 148 1.199

Total 194.273 149

TAAT Between Groups 2.083 1 2.083 1.346 .248

Within Groups 228.990 148 1.547

Total 231.073 149

ARIFAN Between Groups 173.280 1 173.280 50.044 .000

Within Groups 512.460 148 3.463

Total 685.740 149

Ho = Tidak ada perbedaan H1 = Ada perbedaan

Bila Sig > 0,05, Ho diterima

Bila Sig < 0,05 Ho ditolak (H1 diterima)

Dari hasil uji beda diatas terlihat bahwa HANYA KETAATAN yang tidak ada perbedaan antara Kab Purworejo dan Ciamis..