Manfaat Ekstrak Daun Sirih Sebagai Penghambat Kejadian Penyakit Antraknosa (Colletotrichum Acutatum) Pada Cabai Selama Penyimpanan

MANFAAT EKSTRAK DAUN SIRIH SEBAGAI
PENGHAMBAT KEJADIAN PENYAKIT ANTRAKNOSA
(Colletotrichum acutatum) PADA CABAI SELAMA
PENYIMPANAN

DESI TRISNAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA
PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Manfaat Ekstrak Daun
Sirih sebagai Penghambat Kejadian Penyakit Antraknosa (Colletotrichum
acutatum) pada Cabai Selama Penyimpanan adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016

Desi Trisnawati
NIM F152130251

RINGKASAN
DESI TRISNAWATI. Manfaat Ekstrak Daun Sirih sebagai Penghambat
Kejadian Penyakit Antraknosa (Colletotrichum acutatum) pada Cabai selama
Penyimpanan. Dibimbing oleh LILIK PUJANTORO EN dan EFI TODING
TONDOK.
Cabai merupakan komoditas sayuran yang sering dibutuhkan masyarakat
dalam bentuk segar. Cabai termasuk produk yang tidak tahan lama dan
memerlukan penanganan ekstra, sehingga tidak mengalami penurunan kualitas.
Salah satu penyebab turunnya kualitas cabai adalah mikroorganisme, yaitu
penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum spp. Alternatif yang
dapat dilakukan adalah dengan pemanfaatan bahan-bahan nabati sebagai fungisida.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji manfaat ekstrak daun sirih (EDS) yang
berpotensi sebagai fungisida nabati dalam menghambat pertumbuhan

Colletotrichum acutatum pada cabai selama penyimpanan.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan
Hasil Pertanian FATETA IPB, Laboratorium Teknik Lingkungan Biosistem
FATETA IPB, dan Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman FAPERTA
IPB. Proses penelitian ini dimulai dari persiapan bahan baku, pembuatan ekstrak
daun sirih (EDS), pengujian pertumbuhan cendawan secara in-vitro pada media
beracun, dan perlakuan pada cabai selama penyimpanan (uji in-vivo), serta
pengujian kualitas fisik cabai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode perajangan merupakan
metode ektraksi daun sirih terbaik diantara perlakuan lain, penggunaan
konsentrasi ekstrak daun sirih 10% merupakan konsentrasi paling efektif dalam
menghambat pertumbuhan Colletotrichum acutatum, perlakuan penyemprotan
menggunakan ekstrak daun sirih 10% dapat menghambat terjadinya penyakit
antraknosa paling baik, serta perlakuan pemberian ekstrak daun sirih pada cabai
setelah panen tidak mengubah kualitas cabai secara signifikan, baik warna, aroma,
kekerasan, maupun susut bobot.
Kata kunci: ekstraksi, fungisida nabati, in vitro, in vivo.

SUMMARY
DESI TRISNAWATI. The Benefits of Piper betle Extract as Inhibitor of

Antracnose (Colletotrichum acutatum) on Chili during Storage. Supervised by
LILIK PUJANTORO EN and EFI TODING TONDOK.
Indonesian consumed chili as a condiment needed in fresh products. It is a
perishable commodity so that it needs a treatment to prolong its self-life. One of
the main causes of the quality change during storage is the microorganism fungus
called Colletotrichum spp. which caused antracnose disease. In order to fix this
problem, the researcher have an idea to use botanical fungicide. This research
applies Piper betle extract as a potential botanical fungicide to decrease the
growing of Colletotrichum acutatum on chili during storage.
This Study was conducted in Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan
dan Hasil Pertanian FATETA IPB, Laboratorium Teknik Lingkungan Biosistem
FATETA IPB, and Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman FAPERTA
IPB. The sequences of this research is started with the preparation of raw material,
production of Piper betle extract, bioassay of betel extract by measuring the
diameter of fungus growth through in vitro measurement, and counting the
number of chili which still infected by the fungus after extract treatment during
storage time (in vivo test), then identified the physical properties of chili.
The result shows that chopping was the best extraction method of raw
material among other treatments, in-vitro test shows that the applying of 10%
Piper betle extract is the best concentration to hamper the growth of

Colletotrichum acutatum, and the in-vivo test shows that spraying was the best
method to prevent antracnose disease during storage. This treatment was not
affected the quality of chilli, such as color, aroma, texture, or weight loss.
Keywords: extraction, botanical fungicide, in-vitro, in-vivo.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MANFAAT EKSTRAK DAUN SIRIH SEBAGAI
PENGHAMBAT KEJADIAN PENYAKIT ANTRAKNOSA
(Colletotrichum acutatum) PADA CABAI SELAMA
PENYIMPANAN

DESI TRISNAWATI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr

9 ,49 )34/)96,9 $/$#9 $9,#+49 '%,9

66*9 3$39

,8)$49 ,4/),-39  



 


 .9 $9
*+9 ,8$+.,,9
+9

93%9/%3,74$9


9





$346'6%9 -*#9
-+$3%9 +$+$,9


/9
/9 %*%)9
469

%)4#6%9-*#9

569 /-/+9 46$9
),-*-$9 3.,,9

0-/9 19641$3,-919

,*9 '$,9

,6/$9


,*96*639

   


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini ialah
tentang penanganan pascapanen cabai merah, dengan judul manfaat ekstrak daun
sirih sebagai penghambat kejadian penyakit antraknosa (Colletotrichum acutatum)
pada cabai selama penyimpanan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Lilik Pujantoro EN,
M.Agr dan Ibu Dr. Efi Toding Tondok, SP., M.ScAgr selaku pembimbing I dan II
dalam bimbingannya selama ini. Terima kasih kepada Dirjen DIKTI (Program
Beasiswa BPPDN) yang telah memberikan bantuan dana dari awal perkuliahan
hingga selesai. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr sebagai
dosen penguji atas saran dan koreksi yang diberikan. Terimakasih kepada Kang
Mista yang telah menyediakan buah cabai dari kampung Ciawi Jawa Barat.
Terimakasih pula untuk Pak Ahmad, Mba Ita, Jul, Pak Sulyaden, dan Pak Baskara
atas bantuannya di Lab selama penelitian. Disamping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada kedua orang tua, Bapak Suhendro dan Ibu Solihati, Kakek dan
Nenek, Om dan Tante, atas do’a dan dukungan selama ini. Serta rekan-rekan
seperjuangan TPP 2013 Khania khususnya yang telah bekerjasama selama
perkuliahan dan telah membantu dalam penelitian. Penulis bukanlah siapa-siapa

tanpa doa, bantuan, dan kerjasama dari orang-orang yang ada di sekitar.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016
Desi Trisnawati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis

7
7
8
8
8

2 TINJAUAN PUSTAKA
Cabai merah segar
Penyakit Antraknosa
Ekstrak Daun Sirih

9
9
10
11


3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur Penelitian
Analisis Mutu Fisik Cabai (in vivo)
Analisis Data

12
12
12
13
13
14
16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Metode Ekstraksi
Penentuan Konsentrasi EDS
Aplikasi EDS

19
19
19
21

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

29
29
29

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

32

RIWAYAT HIDUP

41

DAFTAR TABEL
1. Persyaratan Mutu Cabai Merah Segar
2. Skala penilaian uji sensori

9
16

DAFTAR GAMBAR
1. Diagram alir penelitian 1 (uji in vitro) untuk menentukan metode
ekstraksi daun sirih terbaik (Chen et al. 2013)
2. Diagram alir penelitian 2 (uji in vitro) untuk menentukan konsentrasi
EDS paling efektif dalam menghambat pertumbuhan C. acutatum
(Chen et al. 2013)
3. Diagram alir penelitian 3 (uji in vivo) aplikasi pemberian EDS 10%
dalam menekan kejadian penyakit antraknosa pada cabai selama
penyimpanan (Bill et al. 2014).
4. Hubungan konsentrasi EDS dan diameter pertumbuhan C. acutatum 3
metode persiapan bahan hari ke-15.
5. Hubungan konsentrasi EDS dan pertumbuhan C. acutatum hari ke-21.
6. Hubungan pertumbuhan C. acutatum per hari pada 7 konsentrasi EDS.
7. Hubungan konsentrasi EDS dan pertumbuhan C. acutatum hari ke-21.
8. Hubungan perlakuan cabai dan persentase kejadian antraknosa
hari ke-9.
9. Perubahan susut bobot cabai selama penyimpanan
10.Perubahan kekerasan cabai selama penyimpanan
11.Perubahan warna L cabai selama penyimpanan
12.Perubahan warna a* cabai selama penyimpanan
13.Perubahan warna b* cabai selama penyimpanan
14.Perubahan warna C* cabai selama penyimpanan
15.Perubahan warna 0hue cabai selama penyimpanan
16.Perubahan uji organoleptik warna cabai selama penyimpanan
17.Perubahan uji organoleptik aroma keseluruhan cabai selama
penyimpanan
18.Perubahan uji organoleptik aroma daun sirih selama penyimpanan.

17
18
18
19
20
20
21
21
22
23
24
25
25
26
26
27
28
28

DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil sidik ragam masing-masing parameter setiap perlakuan
2. Perbandingan diameter C. acutatum pada masing-masing konsentrasi
EDS
3. Perbandingan cabai pada masing-masing perlakuan hari ke-0 hingga
hari ke-9
4. Cabai terserang penyakit antraknosa
5. Penyimpanan cabai pada suhu ruang
6. Diagram warna
7. Fromulir Uji Organoleptik Cabai

32
33
34
35
36
37
38

7

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Cabai merah merupakan komoditas sayuran yang tidak dapat ditinggalkan
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Semakin bervariasi menu makanan dan
produk olahan yang berbahan dasar cabai menyebabkan kebutuhan akan buah
cabai semakin meningkat. Data produksi dan konsumsi cabai pada tahun 20072011 menunjukkan tidak adanya kekurangan, bahkan hampir sepanjang tahun
kebutuhan cabai dapat dipenuhi oleh produksi nasional (LPPM-IPB 2014).
Surplus tingkat persediaan perkapita pada tahun 2007-2011 antara 5.04-6.30
kg/orang/tahun sementara kebutuhan total cabai sebesar 2.96-3.29 kg/orang/tahun.
Akan tetapi cabai banyak diperlukan dalam bentuk segar dan jika disimpan pada
suhu ruangan, cabai akan menjadi cepat busuk dan rusak sehingga umur simpan
cabai tidak tahan lama. Faktor serangan mikroorganisme kemungkinan besar juga
akan menurunkan kualitas dan jumlah cabai. Menurut Than et al. (2008) penyakit
antraknosa akan menurunkan produksi sebesar 50%, menurut Hidayat et al.
(2004) menurunkan produktivitas sebesar 45% – 60%. Hal ini menyebabkan
jumlah cabai menurun sehingga harga cabai meningkat di tingkat konsumen dari
harga Rp. 28 000/kg (petani) menjadi Rp. 75 000 – Rp. 80 000 /kg (konsumen)
(LPPM-IPB 2014).
Kehilangan cabai yang disebabkan oleh antraknosa kemungkinan besar
dapat dimulai sejak produk terinfeksi patogen dari lahan pertanian sebelum
dipanen dan tebawa hingga periode pascapanen (bersifat laten). Beberapa
penyakit yang dominan menyerang cabai adalah penyakit antraknosa, hawar
Phytophthora, layu bakteri dan virus (Yoon 2003). Penyakit antraknosa
merupakan salah satu penyakit penting yang sering menyerang tanaman cabai dan
tersebar luas di semua daerah penanaman cabai di seluruh dunia yang disebabkan
oleh Colletotrichum spp. yang digolongkan menjadi enam spesies utama yaitu C.
gloeosporioides, C. acutatum, C. dematium, C. capsici dan C. coccodes (Kim et
al. 1999). C. gloeosporioides dan C. acutatum menyebabkan kerusakan pada buah
dan kehilangan hasil paling besar (Yoon 2003). Di Indonesia, patogen antraknosa
yang paling banyak dijumpai menyerang tanaman cabai adalah C. acutatum C.
capsici dan C. gloeosporioides (Than et al. 2008). Perlu adanya penanganan
cukup ekstra pada cabai agar tidak menyebabkan penurunan kualitas akibat
serangan penyakit antraknosa sehingga cabai dapat disimpan dalam waktu lama,
dengan tujuan dapat menguntungkan petani dalam memenuhi permintaan
masyarakat saat tidak musim panen.
Teknologi pascapanen yang biasanya diterapkan pada produk cabai segar
adalah teknologi penyimpanan dalam lemari pendingin yang akan menghambat
aktifnya patogen-patogen terbawa dari lahan pertanian. Akan tetapi harga dan
pengoperasiannya relatif mahal dan tidak semua petani/pedagang mampu
memiliki ruangan/lemari pendingin tersebut. Sejauh ini penanganan cabai yang
dilakukan petani/pedagang adalah menyimpan dengan menumpuk cabai di kondisi
ruang yang akan menyebabkan cabai cepat busuk yang salah satunya adalah
akibat penyebaran penyakit antraknosa. Penggunaan fungisida sistemik sering

8
digunakan saat di lahan pertanian, akan tetapi jika digunakan secara terus menerus
akan mengakibatkan perkembangan resistensi patogen serta residu yang dapat
merusak lingkungan, dan berbahaya bagi konsumen (Bhanu et al. 2010).
Dari uraian tersebut, dirasa perlu dicari alternatif pengendalian penyakit
antaraknosa pasca panen cabai dengan menggunakan fungisida seperti yang
dilakukan di lahan pertanian dengan memanfaatkan bahan-bahan nabati yang
tidak berbahaya dan memiliki kandungan senyawa fenolik yang berfungsi untuk
menghambat pertumbuhan dan perkembangan penyakit antraknosa selama
penyimpanan cabai. Salah satu tanaman yang mengandung senyawa fenolik
adalah daun sirih. Daun sirih memiliki sifat anticendawan, antiaflatoxigenic, dan
antioksidan dengan komponen minyak atsiri yaitu eugenol 63,39%, acetyleugenol
14,05% (Bhanu et al. 2010), senyawa fenol 13% (Nisa et al. 2014) yang dapat
menghambat pertumbuhan patogen. Untuk mendapatkan ekstrak yang memiliki
sifat anticendawan, perlu dilakukan proses ekstraksi daun sirih yang tepat dan
mudah diaplikasikan. Pada penelitian ini akan dilakukan proses perajangan dan
blanching dan daun sirih utuh sebagai kontrol. Perlakuan tersebut bertujuan untuk
mempermudah keluarnya senyawa fenol yang terkandung didalam daun sirih.
Perumusan Masalah
Kehilangan pascapanen pada produk cabai akan menyebabkan harga cabai
meningkat di tingkat konsumen. Kehilangan tersebut terjadi akibat penanganan
cabai yang dilakukan petani/pedagang dengan menyimpan atau menumpuk cabai
di kondisi ruangan yang akan menyebabkan cabai cepat busuk. Cabai yang busuk
disebabkan oleh penyebaran penyakit antraknosa. Penyakit ini akan menurunkan
produksi cabai sehingga diperlukan alternatif pengendalian penyakit antaraknosa
pascapanen cabai dengan menggunakan fungisida nabati yang terbuat dari daun
sirih.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk 1) menentukan metode ekstraksi persiapan
bahan/daun sirih yang baik dalam menghambat pertumbuhan Colletotrichum
acutatum, 2) menentukan konsentrasi Ekstrak Daun Sirih (EDS) yang paling
efektif dalam menghambat pertumbuhan Colletotrichum acutatum, 3) menentukan
teknik aplikasi Ekstrak Daun Sirih (EDS) yang dapat menekan terjadinya penyakit
antraknosa pada cabai selama penyimpanan, serta 4) analisis dampak penggunaan
Ekstrak Daun Sirih (EDS) terhadap mutu fisik cabai selama penyimpanan.

Hipotesis
Ekstrak daun sirih diduga mampu menghambat pertumbuhan dan
perkembangan Colletotrichum acutatum penyebab penyakit antraknosa pada cabai
selama penyimpanan.

9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Cabai merah segar
Cabai merah dapat berguna sebagai penyedap masakan dan pembangkit
selera makan, cabai merah juga mengandung zat-zat gizi yang sangat diperlukan
untuk kesehatan manusia. Cabai merah mengandung protein, lemak, karbohidrat,
kalsium, fosfor, besi, vitamin-vitamin, dan mengandung senyawa alkaloid, seperti
capsaicin, flavonoid dan minyak esensial. Cabai yang rendah sodium dan bebas
kolesterol, kaya akan vitamin A dan C, dan merupakan sumber potasium yang
baik, asam folat dan vitamin E. cabai hijau mengandung lebih banyak vitamin C
dan cabai merah segar mengandung vitamin A. Capsaicinoid adalah alkaloid yang
membuat pedas cabai panas sedangkan karotenoid memberikan nilai gizi yang
tinggi dan warna untuk cabai (Than et al. 2008). Cabai segar adalah buah cabai
yang dipetik pada tingkat ketuaan optimal (keadaan buah pada stadia buah cabai
yang telah matang fisiologis tepat untuk dipanen) dan belum diproses. Cabai
merah dinyatakan tua apabila buah sudah matang dimana warna sudah merah.
Panen pertama dilakukan setelah pertanaman berbuah merah lebih dari 60% (SNI
1998).
Penanganan pascapanen pada cabai merah meliputi panen, sortasi,
pengkelasan mutu (grading), pengemasan, transportasi dan penyimpanan. Tujuan
utama dari penanganan pascapanen adalah mengurangi kehilangan dan kerusakan
produk, dimana besarnya kehilangan produk sangat bervariasi tergantung pada
komoditas dan tempat produksinya (Nurdjannah 2014). Rahman et al. (2012)
menyatakan bahwa kehilangan pascapanen produk rempah pada negara
berkembang mencapai 20–50%, sedangkan pada negara yang maju mencapai
5%–25%. Syarat mutu cabai merah segar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Persyaratan Mutu Cabai Merah Segar

Sumber: SNI No. 01-4480-1998

10
Penanganan pascapanen yang kurang hati-hati akan menyebabkan
timbulnya faktor predisposisi yang kemudian akan memudahkan terjadinya
kerusakan produk, Jadi dapat dikatakan bahwa penyakit pascapanen sangat
berperan penting dalam penyebab penurunan kualitas dan tingginya kerusakan
produk. Hal ini mengingat penyakit pascapanen terjadi disemua proses sejak
dilahan, panen, pascapanen, hingga ke konsumen (Soesanto 2006).
Penyakit Antraknosa
Organisme penganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi
tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan.
Organisme pengganggu tanaman secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu
hama, penyakit dan gulma. Hama menimbulkan gangguan tanaman secara fisik,
dapat disebabkan oleh serangga, tungau, vertebrata, moluska. Sedangkan penyakit
menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman, disebabkan oleh cendawan,
bakteri, fitoplasma, virus, viroid, nematoda dan tumbuhan tingkat tinggi (Wiyono
2007).
Antraknosa, berasal dari kata Yunani yang berarti 'batu arang', adalah nama
umum untuk penyakit tanaman ditandai dengan gejala buah menunjukkan noda
sangat gelap, lesi cekung jaringan nekrotik, dengan cincin konsentris acervuli
berwarna merah muda, untuk masa konidia berwarna orange, dan mengandung
spora (Than et al. 2008) (Maja et al. 2013). Umumnya, penyakit antraknosa yang
disebabkan oleh spesies Colletotrichum termasuk kerajaan Fungi, Filum
Ascomycota, Kelas Sordariomycetes, orde Phyllachorales, dan famili
Phyllachoraceae. Kerusakan pra dan pasca panen cabai yang diakibatkan oleh
spesies Colletotricum penyebab penyakit antraknosa ditandai dengan gejala yaitu
buah menjadi busuk dengan warna seperti terekspos sinar matahari (terbakar)
yang diikuti busuk basah berwarna hitam, karena penuh dengan rambut hitam
(setae), cendawan ini pada umumnya menyerang buah cabai menjelang masak
(buah berwarna kemerahan) (Than et al. 2008) tetapi juga dapat terjadi pada saat
perkembangan buah, pada batang dan daun (Maja et al. 2013).
Cepat lambatnya perkembangan penyakit pada suatu tanaman tergantung
pada inang, patogen, lingkungan, dan waktu. Lingkungan merupakan faktor utama
perkembangan penyakit, Pengaruh suhu berinteraksi dengan faktor - faktor lain
seperti kelembaban, pencahayaan, mikrobiologi kempetitif, iklim dan kondisi
tanaman basah. Umumnya perkembangan penyakit terjadi selama cuaca basah
yang hangat pada suhu 27 0C dan kelembaban rata-rata 80% (Than et al. 2008).
Pada konsep segitiga penyakit, iklim merupakan faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap proses timbulnya penyakit. Pengaruh faktor iklim terhadap
patogen bisa terhadap siklus hidup patogen, virulensi (daya infeksi), penularan,
dan reproduksi patogen. Serangan antraknosa cabai (Colletotrichum sp.) pada
tahun-tahun terakhir ini berkembang pada musim hujan dan suhu yang hangat
(Wiyono 2007).
Spesies Colletotrichum sp dapat bertahan hidup didalam buah dan di biji
sebagai acervuli dan mikro-sclerotia, berkoloni melalui miselia dan stomata, dan
mudah berkolonisasi pada kulit biji dan lapisan pelifer dari endosperm, hal
tersebut menunjukkan disintegrasi lapisan parenkim dari kulit biji dan menipisnya

11
cadangan makanan di endosperm dan embrio. Proses infeksi awal yang
diakibatkan oleh spesies Colletotrichum yaitu perkembangan konidia pada
permukaan tanaman, perkecambahan konidia, produksi appresoria perekat,
penetrasi epidermis tanaman, pertumbuhan dan kolonisasi jaringan tanaman dan
produksi acervuli dan sporulasi (Than et al. 2008).
Ketahanan terhadap penyakit dapat dikelompokkan ke dalam ketahanan
struktural dan ketahanan fungsional. ketahanan struktural seperti tebal tipisnya
epidermis, adanya lignin pada dinding sel, adanya lapisan lilin pada permukaan
buah. Sedangkan ketahanan fungsional berupa meningkatnya aktivitas enzim
tertentu atau terbentuknya ketahanan zat toksik tertentu seperti fitoaleksin yang
dapat mematikan patogen. Salah satu senyawa kimia yang dapat menghambat
serangan patogen seperti C. acutatum adalah senyawa fenolik yang dapat
dioksidasi oleh peroksidase. Peningkatan aktivitas enzim peroksidase akan
meningkatkan produk toksin bagi patogen, oleh karena itu menghasilkan tingkat
ketahanan lebih tinggi terhadap infeksi (Syukur et al. 2009).
Ekstrak Daun Sirih
Penggunaan bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan dapat digunakan
sebagai salah satu alternatif pestisida nabati atau bioinsektisida. Pestisida nabati
mengandung senyawa bioaktif sepeti alkaloid, terpenoid, fenolik dan zat-zat kimia
sekunder lainnya yang dapat berpengaruh terhadap sistem saraf atau otot,
keseimbangan hormon, reproduksi, perilaku seperti penolak, penarik, anti-makan
(anti-feeding) dan sistem pernafasan. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan
sumber potensial insektisida nabati adalah Meliacea, Annonaceae, Astraceae,
Piperaceae dan Rutaceae. Daun sirih (Piper betle L.) termasuk dalam famili
piperaceae (sirih-sirihan) yang mengandung minyak atsiri dan senyawa alkaloid
(Handayani et al. 2013).
Daun sirih merupakan tanaman tropis yang tumbuh di Malaysia, Taiwan,
dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. kandungan yang terdapat dalam daun
sirih yaitu eugenol dan hydroxychavicol yang bersifat menghasilkan aromatik
yang khas. Ekstrak daun sirih pada konsentrasi 50% dapat menghambat
superoksida radikal, dan radikal hidroksil serta menghambat asam arakhidonat
dan diinduksi agregasi platelet induksi kolagen penyebab bau mulut (Daniel et al.
2003). Daun sirih menjadi tanaman biodegradable di alam dapat digunakan
sebagai alternatif bahan pengawet sintetis dan fumigants terhadap biodeterioration
dari makanan. Banyak formulasi antimikroba yang berisi minyak atsiri.
Komponen lain yang terdapat dalam daun sirih yaitu acetyleugenol, kelompok OH
dari eugenol dapat membentuk ikatan hidrogen dengan kondisi aktif dari enzym
sasaran dan meningkatkan aktivitas enzym dengan denaturasi enzym yang
bertanggungjawab untuk sekresi toksin (Bhanu et al. 2010).
Daun sirih memiliki sifat anticendawan, antiaflatoxigenic, dan antioksidan
dengan komponen minyak atsiri yaitu eugenol 63,39%, acetyleugenol 14,05%
(Bhanu et al. 2010), senyawa fenol 13% (Nisa et al. 2014) yang dapat
menghambat pertumbuhan patogen. Untuk mendapatkan ekstrak yang memiliki
sifat anticendawan, perlu dilakukan proses ekstraksi daun sirih yang tepat dan
mudah diaplikasikan. Pada penelitian ini akan dilakukan proses perajangan dan

12
blanching dan daun sirih utuh sebagai kontrol. Perlakuan tersebut bertujuan untuk
mempermudah keluarnya senyawa fenol yang terkandung didalam daun sirih.
Minyak atsiri merupakan minyak yang mudah menguap (volatile oils)
berwujud cair yang diperoleh dari berbagai tanaman akar, kulit batang, daun,
buah, biji, atau bunga dengan cara destilasi uap, ekstraksi atau ditekan (Kan et al.
2006). Manfaat minyak atsiri digunakan untuk bakterisida, membasmi virus,
fungisida, antiparasitical, insektisida, obat, aplikasi kosmetik, dan farmasi,
industri kesehatan, pertanian, dan makanan (Reina et al. 2010).
Hasil penelitian Nurhayati (2007), tanaman sirih, kulit jeruk, biji jarak,
brotowali, daun nimba, biji nimba, laos, dan gadung dapat dimanfaatkan sebagai
pestisida nabati untuk mengendalikan Collectotricum capsici pada cabai, media
dengan ekstrak daun sirih merupakan yang terbaik dalam menekan pertumbuhan
dan perkembangan C. capsici. Daun sirih memiliki sifat anticendawan
antiaflatoxigenic dan antioksidan dengan komponen minyak atsiri yaitu eugenol
63,39%, acetyleugenol 14, 05% (Bhanu et al. 2010), merupakan komponen
minyak atsiri yang dapat menghambat pertumbuhan patogen. Kadar senyawa
fenol yang dihasikan yaitu 13% (Nisa et al. 2014), konsentrasi ekstrak daun sirih
dapat menghambat pertumbuhan Aspergillus sp (Bhanu et al. 2010). Pemberian
ekstrak daun sirih dengan konsentrasi 40% efektif dapat menghambat
pertumbuhan diameter koloni Rhizoctonia sp. (Achmad dan Suryana 2009).
Dengan demikian perlu diteliti penggunaan ekstrak daun sirih yang efektif
terhadap pertumbuhan Colletotrichum acutatum pada cabai selama penyimpanan.

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2015 hingga Mei 2015, di
Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian FATETA IPB,
Laboratorium Teknik Lingkungan Biosistem FATETA IPB, dan Klinik Tanaman
Departemen Proteksi Tanaman FAPERTA IPB.
Bahan
Daun sirih yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari penanaman
daun sirih di provinsi Lampung, dengan kriteria daun sirih segar berwarna hijau,
tingkat ketuaan sedang (daun terletak dibagian tengah tangkai tanaman), berdaun
utuh (tidak termakan ulat ataupun serangga). Daun sirih dipetik pada pagi hari
kemudian dikemas dengan menggunakan kardus dan ditransportasikan menuju
laboratorium selama 15 jam.
Media PDA yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan membuat
media yang terbuat dari media PDB (Potato Dextrose Broth) sebanyak 24 gram,
agar 15 gram dan aquadest 1000 ml kemudian dilakukan pemanasan dan didapat
media PDA cair dan dilakukan sterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121
0
C.

13
Isolat cendawan yang digunakan pada penelitian ini adalah Colletotrichum
acutatum dengan kode isolat Ca. SMG 136 III yang didapat dari Klinik Tanaman
Departemen Proteksi Tanaman FAPERTA IPB yang diremajakan untuk
digunakan pada pengujian–pengujian selanjutnya.
Buah cabai yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah cabai merah
keriting yang diperoleh dari penanaman cabai rakyat di Jawa Barat dengan kriteria
cabai matang, berwarna merah seragam, panen pertama dilakukan setelah
pertanaman berbuah merah lebih dari 60%, sehat (tidak ada gejala serangan
patogen). Cabai dipanen pada pagi hari kemudian dikemas menggunakan plastik
dan ditransportasikan menuju laboratorium selama 2 jam perjalanan. Cabai di
sortasi saat di lahan dan sebelum perlakuan (setelah transportasi). Diagram alir
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, pinset,
penggaris, timbangan digital, cawan petri, erlenmeyer, lemari asam, autoklaf,
jangka sorong, mikroskop, rheometer tipe CR-300DX, perangkat image
prosessing.
Prosedur Penelitian
Penelitian I: Penentuan Metoda Ekstraksi
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan metode persiapan bahan (daun
sirih) terbaik dengan menggunakan uji in-vitro. Ekstraksi dilakukan dengan
menggunakan metode pemanasan/perebusan. Daun sirih dilakukan pencucian dan
penirisan agar daun sirih bersih dari kotoran dan kontaminan lain. Perlakuan yang
dijadikan sebagai faktor pada penelitian ini adalah persiapan bahan daun sirih
sebelum dilakukan perebusan, yaitu perlakuan daun sirih segar/kontrol, perlakuan
daun sirih yang dilakukan blanching dan perlakuan daun sirih perajangan.
Masing-masing dilakukan perebusan dengan perbandingan daun sirih dan air
adalah 1:1 selama 1 jam (Achmad dan Suryana 2009) kemudian dilakukan
penyaringan untuk mendapatkan hasil Ekstrak Daun Sirih (EDS). Hasil masingmasing EDS dilakukan pengujian menggunakan metode in vitro/bioassay dengan
menginfestasi biakan C. acutatum pada media beracun (media PDA yang
ditambah dengan EDS). Penentuan konsentrasi EDS dilakukan dengan rumus
sebagai berikut :
EDS (%) =
e
a

x 100% ....................................................................................... (1)

= volume ekstrak daun sirih (EDS) yang diambil dari EDS hasil ekstraksi
(ml)
= volume media yang ditambahkan (ml)

Masing-masing konsentrasi media beracun dilakukan sterilisasi dengan
menggunakan autoklaf dengan suhu 121 0C, kemudian diinfestasi biakan C.
acutatum dan diinkubasi selama 3 hari dan dilakukan pengamatan diameter
pertumbuhan C. acutatum setiap hari hingga hari ke 15. Perlakuan masing-masing
diulang sebanyak 3 kali ulangan. Pengamatan untuk pengujian EDS secara

14
bioassay/in vitro diamati setiap hari selama 21 hari dengan mengukur diameter
penghambatan pertumbuhan C. acutatum. Pengukuran diameter cendawan
dilakukan dengan menggunakan jangka sorong dengan mencatat diameter
pertumbuhan C. acutatum pada cawan petri dengan satuan mm (Chen et al. 2013).
Hasil penentuan metode ekstraksi daun sirih terbaik digunakan pada penelitian
kedua. Diagram alir penelitian pertama disajikan pada Gambar 1.
Penelitian II: Penentuan Konsentrasi EDS
Hasil penelitian pertama digunakan pada penelitian kedua yang bertujuan
untuk menentukan konsentrasi EDS paling efektif dalam menghambat
pertumbuhan C. acutatum. Faktor utama pada penelitian ini adalah perbandingan
konsentrasi EDS yaitu 0% (kontrol), 3%, 5%, 10%, 15%, 20%. Masing-masing
konsentrasi media beracun diinfestasi C. acutatum dan diinkubasi selama tiga hari
dan dilakukan pengamatan pertumbuhan C. acutatum setiap hari hingga hari ke21. Pada tahap ini dicari konsentrasi yang dianggap paling efektif, yaitu dilakukan
penelitian lanjutan dengan konsentrasi yang lebih kecil sebagai faktor yaitu
konsentrasi 0%/kontrol, 5%, 6%, 7%, 8%, 9%, dan 10%. Perlakuan masingmasing diulang sebanyak 5 kali ulangan. Metode pengamatan pertumbuhan C.
acutatum dilakukan seperti pada penelitian pertama. Hasil penentuan metode
persiapan terbaik digunakan pada penelitian ketiga. Diagram alir penelitian kedua
disajikan pada Gambar 2.
Penelitian III: Aplikasi EDS
Hasil penelitian tahap dua digunakan pada penelitian ketiga yang bertujuan
untuk aplikasi penggunaan konsentrasi EDS terpilih terhadap buah cabai setelah
panen. Cabai hasil sortasi dilakukan pencucian agar daun sirih bersih dari kotoran
dan kontaminan lain serta bebas dari pestisida, kemudian dilakukan penirisan.
Cabai yang sudah bersih dilakukan perlakuan pemberian EDS yang dijadikan
sebagai faktor, yaitu tanpa pemberian daun sirih/kontrol, penyemprotan,
perendaman 10 menit, perendaman 15 menit, dan perendaman 20 menit.
Kemudian dilakukan penirisan lalu penyimpanan pada suhu ruangan (27 0C ±2).
Dilakukan pengamatan mikrobiologi dan mutu fisik cabai sebagai pembuktian
dampak penggunaan EDS. Perlakuan masing-masing diulang sebanyak 3 kali
ulangan. Diagram alir penelitian ketiga disajikan pada gambar 3.
Analisis Mutu Fisik Cabai (in vivo)
Perkembangan Antraknosa selama Penyimpanan
Pengamatan untuk aplikasi pengujian EDS terhadap cabai dilakukan
secara in vivo diamati setiap hari. Populasi cabai sebanyak 50 cabai diamati
dengan melihat ada tidaknya spot pada cabai secara cermat dan dihitung setiap
hari jumlah cabai yang terserang antraknosa (sampai hari ke-9). Adanya spot
menunjukkan bahwa cabai tersebut terserang penyakit antraknosa. Setiap
perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali ulangan dan dihitung persentase
cabai yang terserang antraknosa dengan rumus menurut Bill et al. 2014:
...................... (2)

15
Warna
Cabai dianalisis mutu bahan secara destruktif sebelum dan sesudah diberi
perlakuan EDS dan semua sample dipastikan seragam. Parameter yang diukur
adalah warna, kekerasan dan berat awal sampel. Parameter warna dilakukan
dengan menggunakan metode image prosessing yaitu cabai diletakkan pada ruang
yang telah diatur pencahayaannya kemudian diambil gambar dengan
menggunakan kamera CCD. Hasil gambar ditransformasikan menggunakan
software photoshop untuk mendapatkan nilai L, a, b. Nilai L merupakan atribut
nilai yang menunjukkan tingkat kecerahan suatu obyek, dengan kisaran 0-100.
Nilai L yang mendekati nol menunjukkan obyek memiliki kecerahan rendah
(gelap), nilai L yang mendekati 100 menunjukkan obyek memiliki kecerahan
tinggi (terang). Nilai a* menyatakan spektrum warna dari merah ke hijau (nilai
+60 – 0 menunjukkan warna merah, nilai 0 – (-60) menunjukkan warna hijau).
Nilai b* menunjukkan derajad kekuningan atau kebiruan suatu obyek. Semakin
positif nilai b* (+60 – 0) menunjukkan derajat kekuningan yang tinggi dan
semakin negatif nilai b* (0 – (-60)) menunjukkan derajat kebiruan yang tinggi
(Liyanage 2008). Hasil pengukuran nilai a dan b dikonversi ke dalam satuan
kromatis C* dan derajat hue (°hue). Nilai C menunjukkan intensitas suatu warna
sedangkan nilai °hue menunjukkan warna dominan dalam campuran beberapa
warna. Untuk memperoleh nilai C* dan °hue digunakan rumus menurut Petzold et
al. (2014) adalah sebagai berikut:
................................................................................................. (3)

.......................................................................................... (4)

Tingkat Kekerasan
Parameter kekerasan dianalisis dengan menggunakan Rheometer. Sebelum
dilakukan pengukuran, pada alat Rheometer model CR-300DX. Pilih plunger
yang sesuai dengan sample lalu pilih beban maksimum dan kecepatan turun benda
kemudian letakkan sample pada plunger. Operasikan plunger dengan kecepatan
tetap menekan sample hingga patah/rusak/pecah, lalu catat nilai kekerasan (kgf).
Berikut ini adalah pengaturan awal untuk penggunaan Rheometer untuk cabai
pada penelitian ini :
Jarum penekan = 2.5 mm
Mode 20 Max. 10 kg
R/H hold = 10.0 mm
P/T press = 30 mm/m
Susut Bobot
Parameter susut bobot diukur dengan menggunakan timbangan digital,
sample yang akan digunakan dipastikan seragam, sample ditimbang dengan
menggunakan alat timbangan digital, setiap angka yang didapat akan dicatat
(gram) dan akan dihitung susut bobot dari sample ditiap pengamatan selama
penyimpanan. Persamaan yang digunakan untuk mengukur susut bobot tersebut
adalah sebagai berikut:
..................................................................... (5)
Dimana: a = berat awal cabai (gram)
b = berat akhir cabai (gram)

16
Uji Sensori
Parameter aroma dan warna secara subjektif dianalisis menggunakan uji
sensori menggunakan 15 orang panelis. Skala penilaian yang diamati adalah
warna cabai keseluruhan, aroma cabai keseluruhan, aroma daun sirih
menggunakan metode garis (Stone et al. 1974). Formulir penilaian uji sensori
disajikan pada Lampiran 7. Skala penilaian uji sensori dapat dilihat pada Tabel 2.
Skala Penilaian
0 >x≤ 20
20 >x≤ 40
40 >x≤ 60
60 >x≤ 80
80 >x≤ 100

Tabel 2 Skala penilaian uji sensori
Warna keseluruhan Aroma keseluruhan
cabai
cabai
tidak suka
tidak suka
agak tidak suka
agak tidak suka
netral
netral
agak suka
agak suka
suka
suka

Aroma
daun
sirih
lemah
agak lemah
netral
agak kuat
kuat

Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) 3 ulangan dan dianalisis menggunakan Analysis of Variance (ANOVA)
dan di uji lanjut Tukey menggunakan software Minitab16. Huruf yang sama pada
hasil uji lanjut menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan
Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yij

µ + αi + βj+ Ɛ ij ....................................................................................... (6)

Keterangan:
Yij
: Pengamatan pada kombinasi perlakuan ke-i perlakuan ke-j
µ
: Rataan umum
αi
: Pengaruh perlakuan ke-i
βj
: Pengaruh perlakuan ke-j
:
Pengaruh acak perlakuan ke-i perlakuan ke-j
Ɛ ij

17
Daun Sirih
Pencucian
Penirisan
Metode persiapan bahan
- Daun sirih utuh/kontrol
- Blanching
- Perajangan
Perebusan (1 jam)
Penyaringan
(EDS)
Sterilisasi
Isolat
Colletotrichum acutatum

Konsentrasi:
0%, 0,5%, 1%, 1,5%, 2%

Media PDA

Media PDA

Pembiakan 5-7 hari
(siap untuk media biakan)

Tempering

Biakan
Colletotrichum acutatum

Infestasi biakan
C. acutatum
Inkubasi
t=3hari
Pengamatan Mikrobiologi:
Mengukur diameter pertumbuhan
C. acutatum setiap hari sampai 15 hari

Penentuan metode ekstraksi terbaik

Gambar 1 Diagram alir penelitian 1 (uji in vitro) untuk menentukan metode
ekstraksi daun sirih terbaik (Chen et al. 2013)

18
EDS
Perajangan

Isolat
Colletotrichum acutatum

Konsentrasi:
0%, 3%, 5%, 10%, 15%, 20%
Media PDA
Media PDA
Pembiakan 5-7 hari
(siap untuk media biakan)
Biakan
Colletotrichum acutatum

Tempering
Infestasi biakan C. acutatum
Inkubasi (t=3hari)
Pengamatan Mikrobiologi:
Mengukur diameter pertumbuhan
C. acutatum setiap hari selama 21 hari
Hasil

YA
Penelitian
Selanjutnya

Tidak
EDS Perajangan
Konsentrasi:
0%, 5%, 6%, 7%, 8%,9%, 10%

Gambar 2 Diagram alir penelitian 2 (uji in vitro) untuk menentukan konsentrasi
EDS paling efektif dalam menghambat pertumbuhan C. acutatum
(Chen et al. 2013)
Cabai Merah Segar

Konsentrasi
EDS 10%

Perlakuan EDS
(Kontrol, Penyemprotan,
Perendaman 10', Perendaman
15', Perendaman 20')
Tempering
Penyimpanan Suhu Ruang
(270C ±2)

Pengamatan Mutu fisik:
Pengamatan Mikrobiologi:
- Warna
- Aroma
Menghitung jumlah cabai yang terserang
- Kekerasan - Susut Bobot
penyakit antraknosa (ada spot pada cabai)
t = 3 hari, 6 hari, 9 hari,
Menentukan perlakuan pemberian
EDS yang baik dalam menekan susut
akibat penyakit antraknosa pada cabai
selama penyimpanan

Menentukan dan membuktikan mutu
fisik cabai yang baik setelah diberi
perlakuan EDS

Gambar 3 Diagram alir penelitian 3 (uji in vivo) aplikasi pemberian EDS 10%
dalam menekan kejadian penyakit antraknosa pada cabai selama
penyimpanan (Bill et al. 2014).

19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Metode Ekstraksi

Diameter Pertumbuhan C.
acutatum (Ømm)

Penelitian pertama bertujuan untuk menentukan metode ekstraksi daun sirih
yang baik dalam menghambat pertumbuhan C. acutatum. Hasil analisis sidik
ragam penelitian pertama pada Gambar 4 menunjukkan adanya perbedaan nyata
antara daun sirih utuh dengan perlakuan perajangan pada hari ke-15.
60,00

a a a

a

ab

a

ab

50,00

a
ab

40,00

ab ab

a
ab

b

ab

30,00
20,00
10,00
0,00
0

0,5

1

1,5

2

Konsentrasi EDS (%)
Segar

Blanching

Perajangan

Gambar 4 Hubungan konsentrasi EDS dan diameter pertumbuhan C. acutatum 3
metode persiapan bahan hari ke-15.
Perlakuan perajangan mampu menekan pertumbuhan C. acutatum dengan
diameter paling rendah yaitu sebesar 26,62 mm pada konsentrasi 1%. Hal tersebut
diduga karena proses perajangan dapat mempermudah keluarnya senyawa fenol
yang terkandung di dalam daun sirih. Hal ini didukung oleh penelitian Sudrajad
(2004) yang menyatakan bahwa semakin tipis irisan simplisia, akan menyebabkan
minyak atsiri yang terkandung di dalamnya mudah menguap dan akan semakin
besar kandungan minyak atsiri yang dihasilkan. Dengan demikian, metode
ekstraksi perajangan digunakan pada penelitian selanjutnya karena memiliki
diameter pertumbuhan C. acutatum paling rendah. Pada Gambar 4 juga dapat
dilihat bahwa dengan konsentrasi tersebut, diameter pertumbuhan C. acutatum
masih tinggi, sehingga perlu dilakukan penelitian tahap kedua untuk mengetahui
konsentrasi paling efektif dalam menghambat pertumbuhan C. acutatum.
Kelemahan pada penelitian pertama yaitu tidak dilakukan analisis senyawa fenol
yang terkandung dalam EDS, sehingga tidak diketahui pasti berapa banyak
kandungan senyawa fenol pada masing-masing perlakuan.
Penentuan Konsentrasi EDS
Penelitian tahap kedua disajikan pada Gambar 5, dapat dilihat bahwa C.
acutatum tidak tumbuh pada konsentrasi EDS 10% dan masih tumbuh pada
konsentrasi EDS 5%. Untuk mengetahui konsentrasi yang lebih efektif, dilakukan
penelitian lanjutan (antara 5% – 10%). Hasil pada tahap lanjutan tersebut dapat
dilihat pada Gambar 6, yang menunjukkan bahwa konsentrasi EDS 9% dapat

20

Diameter Pertumbuhan C.
acutatum (Ømm)

menghambat pertumbuhan C. acutatum sampai hari ke-8, sedangkan pada
konsentrasi EDS 10 % dapat menekan C. acutatum hingga hari ke-21.
60

a

50
a

a

40
30
20
10

b

b

b

10

15

20

0
0

3

5

Konsentrasi EDS (%)

Diameter pertumbuhan C. acutatum
(Ømm/hari)

Gambar 5 Hubungan konsentrasi EDS dan pertumbuhan C. acutatum hari ke-21.
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Hari ke0%

5%

6%

7%

8%

9%

10%

Gambar 6 Hubungan pertumbuhan C. acutatum per hari pada 7 konsentrasi EDS.
Semakin tinggi konsentrasi EDS yang diuji maka semakin rendah diameter
pertumbuhan koloni C. acutatum, sehingga dapat dinyatakan bahwa semua
konsentrasi EDS memiliki aktivitas fungistatis yang lebih baik terhadap
pertumbuhan C. acutatum jika dibandingkan dengan tanpa EDS. Hal ini dapat
disebabkan karena EDS mengandung senyawa fenol yang bersifat anticendawan
dalam menghambat pertumbuhan C. acutatum. Achmad dan Suryana (2009)
menyatakan bahwa adanya penghambatan terhadap cendawan Rhizoctonia sp.
menunjukkan bahwa senyawa anti cendawan yang terdapat dalam EDS diduga
mampu merusak jaringan dan mengakibatkan kerusakan struktur hifa cendawan.
Mekanisme pengendalian C. acutatum adalah secara fungistatik, dapat dilakukan
dengan menghambat proses pembentukan dinding sel, percabangan dan
pembentukan spora, kemudian menghambat pembentukan tabung berkecambah
dan pertumbuhan miselium, serta mengganggu permeabilitas membran sel
cendawan sehingga cendawan kehilangan nutrisi yang penting untuk pertumbuhan
(Bangun dan Sarwono 2002).

21
Hasil analisis sidik ragam pada gambar 7 menunjukkan bahwa diameter
pertumbuhan pada perlakuan konsentrasi EDS 9% dan 10% berbeda nyata dengan
konsentrasi 0, 5%, 6%, 7%, 8%. Dengan demikian, konsentrasi EDS 10% akan
digunakan pada penelitian tahap ketiga karena C. acutatum tidak tumbuh hingga
hari ke-21. Tujuan penelitian tahap ketiga adalah untuk mengetahui metode
aplikasi pemberian EDS 10% dalam menekan kejadian penyakit antraknosa pada
cabai selama penyimpanan. Hasil perbandingan diameter C. acutatum pada
masing-masing perlakuan konsentrasi EDS lebih jelasnya dapat dilihat pada
Lampiran 2.

Diameter pertumbuhan
C. acutatum (Ømm)

60,00

a

a
a

50,00

a
a

40,00

b

30,00
20,00
10,00

b

0,00
0%

5%

6%

7%

8%

9%

10%

Konsentrasi EDS

Gambar 7 Hubungan konsentrasi EDS dan pertumbuhan C. acutatum hari ke-21.

Aplikasi EDS

Persentase kejadian antraknosa
(%)

Perkembangan antraknosa selama penyimpanan
Penelitian tahap ketiga disajikan pada Gambar 8, dapat dilihat bahwa
pemberian EDS 10% pada cabai mampu menekan pertumbuhan C. acutatum
selama penyimpanan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh
nyata antara kontrol dengan perlakuan semprot dan perendaman, akan tetapi tidak
ada perbedaan yang signifikan antar perlakuan.
70
60

a
ab

50

b

40

b

b

Semprot

Perendaman
10 menit

30
20
10
0
Tanpa
Perlakuan

Perendaman
15 menit

Perendaman
20 menit

Perlakuan cabai

Gambar 8 Hubungan perlakuan cabai dan persentase kejadian antraknosa
hari ke-9.

22
Hal tersebut diduga berkaitan dengan ketebalan lapisan lilin pada permukaan buah
yang menyebabkan EDS berbasis air tidak meresap ke dalam cabai dan hanya
melapisi bagian luar cabai, sehingga perlakuan semprot dan perendaman tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Menurut Syukur et al. (2009),
salah satu senyawa kimia yang dapat menghambat serangan patogen seperti C.
acutatum adalah senyawa fenolik yang dapat dioksidasi oleh peroksidase.
Peningkatan aktivitas enzim peroksidase akan meningkatkan produk toksin bagi
patogen yang berpotensi dapat mencegah perkecambahan cendawan (Petkovsek et
al. 2013), oleh karena itu dapat menghasilkan tingkat ketahanan lebih tinggi
terhadap infeksi patogen. Gambar cabai terserang antraknosa dapat dilihat pada
Lampiran 4.
EDS yang diaplikasikan pada media cabai belum menunjukkan
penghambatan kejadian penyakit yang efektif dibanding dengan menggunakan
media PDA, hal tersebut diduga karena sifat dari penyakit antraknosa yang
bersifat laten, sehingga perlu konsentrasi yang lebih tinggi dan bersifat sistemik
untuk menghambat serangan patogen penyakit antraknosa. Sama hal nya dengan
penelitian Maqbool et al. (2011) menyatakan bahwa minyak esensial dari sereh
dan kayu manis memiliki efek terbesar dalam menghambat pertumbuhan C.
musae dan C. gloeosporioides penyebab antraknosa secara in vitro. Namun
kurang efektif bila diaplikasikan pada pepaya secara in vivo. Hal tersebut diduga
karena minyak esensial dapat mengubah kapasitas jaring epidermis buah dalam
mempertahankan spora berkecambah. Selain itu, faktor lingkungan seperti suhu
dan kelembaban juga diduga menjadi faktor utama belum efektifnya EDS dalam
menghambat terjadinya penyebaran penyakit antraknosa dibanding dengan
metode in-vitro. Lingkungan penyimpanan cabai pada suhu ruang dapat dilihat
pada Lampiran 5
Perubahan susut bobot
Penelitian tahap ketiga dilakukan pengamatan mutu fisik cabai. Tujuan
dilakukan pengukuran susut bobot adalah untuk mengetahui susut yang terjadi
setelah dilakuakan perlakuan pemberian EDS dengan membandingkan bobot awal
sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan pemberian EDS pada cabai selama
penyimpanan. Hasil analisis susut bobot disajikan pada Gambar 9.
70,00

Susut bobot (%)

60,00
50,00

Tanpa Perlakuan

40,00

Semprot

30,00

Perendaman 10'

20,00

Perendaman 15'
Perendaman 20'

10,00
0,00
0

3
6
Penyimpanan hari ke-

9

Gambar 9 Perubahan susut bobot cabai selama penyimpanan

23
Setelah dilakukan penyemprotan maupun perendaman, cabai disimpan pada
suhu ruang dan dapat bertahan hingga hari ke-9. Semakin lama cabai disimpan
maka susut bobot cabai semakin tinggi. Hasil analisis sidik ragam dapat dilihat
pada Lampiran 1 yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang nyata antara
susut bobot cabai sebelum disimpan dengan setelah disimpan hingga hari ke-9,
akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada setiap perlakuan. Hal
tersebut terjadi karena cabai yang licin tidak dapat menyerap EDS dan
menyebabkan penambahan bobot ataupun penurunan bobot yang signifikan.
Faktor yang mempengaruhi susut bobot cabai yaitu faktor lingkungan salah
satunya adalah suhu penyimpanan. Suhu ruang dapat menyebabkan cabai masih
melakukan respirasi. Menurut Nurdjannah (2014) menyatakan bahwa perubahan
susut bobot pada cabai disebabkan oleh proses respirasi dan transpirasi yang
mengakibatkan kehilangan substrat dan air yang ditandai dengan layu sehingga
permukaan cabai menjadi mengkerut.
Perubahan tingkat kekerasan
Pengukuran tingkat kekerasan dilakukan sebagai indikasi terjadinya
kerusakan cabai atau penurunan mutu cabai, dimana semakin menurun nilai
tekannya, mutu cabai sudah semakin menurun. Sebelum dilakukan perlakuan,
cabai memiliki tingkat kekerasan rata-rata 0,43 kgf (Lampiran 1). Setelah
dilakukan perlakuan pemberian EDS, tingkat kekerasan cabai mengalami
penurunan dan yang paling menurun yaitu pada perlakuan semprot, yaitu rata-rata
sebesar 0,36 kgf. Hal tersebut terjadi karena adanya tekanan air yang
disemprotkan pada cabai, sehingga permukaan cabai menjadi melunak akibat
dinding sel yang rusak akibat penyemprotan. Gambar 10 menunjukkan adanya
penurunan tingkat kekerasan setelah dilakukan penyimpanan.
0,50

Kekerasan (kgf)

0,40
Tanpa Perlakuan

0,30

Semprot
0,20

Perendaman 10'
Perendaman 15'

0,10
Perendaman 20'
0,00
0

3

6

9

Hari Ke-

Gambar 10 Perubahan kekerasan cabai selama penyimpanan
Penurunan terjadi hingga hari ke-6 akibat terjadinya perubahan komposisi
dinding sel dan menyebabkan menurunnya tekanan turgor sel dan kekerasan buah
menurun. Akan tetapi tingkat kekerasan pada hari ke-9 mengalami kenaikan
dikarenakan cabai mulai mengering dan liat. Hasil analisis sidik ragam dapat
dilihat pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang nyata
dari setiap perlakuan di setiap hari penyimpanan karena memiliki P-V
≥ 5%.
Dapat disimpulkan bahwa umur simpan cabai yang diberi perlakuan EDS 10%

24
adalah enam hari, sedangkan hari selanjutnya cabai mulai kering dan liat, lebih
jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 3 bahwa cabai mulai kering pada hari ke-9.
Perubahan mutu warna
Warna dapat dijadikan sebagai parameter utama yang digunakan konsumen
dalam memilih cabai. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan warna secara
visual/subjektif dan secara objektif. Pengamatan warna secara objektif yaitu
dengan menggunakan metode image prosessing dengan software Adobe
Photoshop (derajat warna L, a, b). Menurut Sutrisno et al. (2009) tingkat
kecerahan (nilai L) mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih), tingkat
kehijauan (nilai a*) dimana nilai positif (+) menyatakan warna merah, nilai 0
menyatakan warna abu-abu dan nilai negatif (-) menyatakan warna hijau, serta
tingkat kekuningan (nilai b*), dimana nilai positif (+) menyatakan warna kuning,
nilai 0 menyatakan warna abu-abu dan nilai negatif (-) menyatakan nilai biru.
Penelitian ini melihat tentang perubahan kualitas warna dari cabai akibat
pemberian EDS. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa
tidak adanya perbedaan yang nyata dari setiap perlakuan di setiap hari
penyimpanan karena memiliki P-V
≥ 5%. Pada perlakuan kontrol nilai L ratarata adalah 44,61, sedangkan pada perlakuan semprot dan perendaman 10 menit
mengalami penurunan nilai (semprot rata-rata 44,30 dan perendaman 10 menit
rata-rata 41,44), dan pada perlakuan perendaman 15 menit dan perendaman 20
menit mengalami kenaikan nilai (perendaman 15 menit rata-rata 47,42 dan
perendaman 20 menit rata-rata 45,33). Hal tersebut terjadi karena adanya
perlakuan menggunak