Perdagangan Labi-labi untuk Konsumsi di Provinsi DKI Jakarta

PERDAGANGAN LABI-LABI UNTUK KONSUMSI
DI PROVINSI DKI JAKARTA

DHIAN EKO PRASTIWI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perdagangan Labi-labi
untuk Konsumsi di Provinsi DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014


Dhian Eko Prastiwi
NRP E353120055

RINGKASAN
DHIAN EKO PRASTIWI. Perdagangan Labi-labi untuk Konsumsi di Provinsi DKI
Jakarta. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan ANI MARDIASTUTI.
Suku labi-labi (Trionychidae) merupakan bagian dari kelompok kura-kura
yang mempunyai penyebaran paling luas di dunia dan banyak dimanfaatkan sebagai
bahan pangan. Salah satu jenis suku tersebut adalah bulus atau common softshell
turtle (Amyda cartilaginea) dapat dijumpai di Indonesia, dan sejumlah pasar di
Indonesia diketahui menjual A. cartilaginea untuk dikonsumsi, seperti di Jakarta,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi karakteristik perdagangan A.
cartilaginea untuk konsumsi domestik di Provinsi DKI Jakarta serta
mengidentifikasi karakteristik morfometrinya. Data yang dibutuhkan diperoleh
melalui wawancara terhadap para pedagang A. cartilaginea di pasar, survey
terhadap rumah makan yang menjual hasil olahan serta pengamatan dan pengukuran
terhadap sejumlah A. cartilaginea yang dipotong di pasar.
Sejumlah 8 818.1 kg labi-labi diperdagangkan selama tiga bulan, terdiri atas 7

171.6 kg jenis A. cartilaginea dan 1 646.5 kg jenis Trionyx siamensis. A.
cartilaginea terbanyak berasal dari Sumatera Selatan, Jambi dan Lampung serta
beberapa wilayah di Jawa Barat dan Banten. Apabila rata-rata berat A. cartilaginea
diasumsikan relatif sama yaitu 4.26 kg serta angka penjualan relatif konstan setiap
bulan, maka perdagangan selama tiga bulan mencapai 1 684 individu atau 6 736
individu per tahun, jumlah yang jauh lebih tinggi daripada kuota yang ditetapkan
untuk pemanfaatan dalam negeri.
Jumlah rumah makan yang menjual hasil olahan A. cartilaginea sebanyak 34
rumah makan dan tiga pedagang kaki lima yang lokasinya tersebar di hampir
seluruh wilayah Jakarta, kecuali Jakarta Timur. Konsumen kebanyakan adalah etnis
Cina baik konsumen yang dijumpai di pasar maupun di rumah makan. Harga
masakan hasil olahannya bervariasi, berkisar Rp 26 000– 200 000 per porsi.
Hasil pengukuran terhadap sejumlah sampel menunjukkan bahwa A.
cartilaginea yang diperdagangkan 95% merupakan individu dewasa serta jumlah
betina (54%) lebih banyak dibandingkan jantan. Terdapat kecenderungan adanya
dimorfisme seksual dimana jantan lebih besar dibanding betina, dilihat dari ukuran
berat, panjang dan lebar lengkung karapas. Ukuran berat betina terkecil yang telah
dewasa kelamin adalah 1.2 kg dengan folikel dan telur seberat 182 gr, sedangkan
ukuran berat jantan terkecil yang telah dewasa kelamin adalah 1.7 kg dengan testis
berwarna kuning kemerahan seberat 13.74 gr. Hasil tersebut berbeda dengan acuan

kementerian kehutanan yang berdasarkan rekomendasi LIPI menentukan kisaran
labi-labi yang bisa dipanen berukuran kurang dari 5 kg dan lebih dari 15 kg dengan
asumsi bahwa labi-labi yang tidak boleh dipanen merupaan labi-labi produktif.c
Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi kajian untuk
menentukan apakah kebijakan mengenai kisaran berat A. cartilaginea yang tidak
diperbolehkan panen perlu diperlebar ataukah sebaliknya.
Kata kunci: A. cartilaginea, perdagangan, kuota, morfometri.

SUMMARY
DHIAN EKO PRASTIWI. The Trade of Common Softshell Turtle for
Consumption in Jakarta Province. Under the supervision of MIRZA DIKARI
KUSRINI and ANI MARDIASTUTI.
Turtles from the family of Tronichidae distribute widely in the world
and have been recorded as the most harvested turtle species, mainly for
consumption. Amyda cartilaginea as the only species in the genus Amyda in
Indonesiahas been known to be traded for consumption in selected markets,
example.g., in Jakarta, West and East Kalimantan.
This research aimed to assess domestic trade of A. cartilaginea for
consumption in Jakarta and the morphometric characteristics of the traded
turtle. Data was collected by interviewing traders in the market, and

identifying trader selling softshell turtle for food. We observed and measured
the number of A. cartilaginea bought by consumers.
During three months survey, total number of turtle sold were 8 818.1 kg,
consisting of 7 171.6 kg of A. cartilaginea and 1 646.5 kg of Trionyx
siamensis. Most of A. cartilaginea came from South Sumatera, Jambi and
Lampung, as well as some areas at West Java and Banten. Assuming that all
A. cartilaginea sold has the same average weight and volume of trade
relatively constant for every month, the number of A. cartilaginea sold for
three months were 1 684 turtles or 6 734 turtles a year. It means that the
volume of trade is h gher than quota given by the authority for domestic
utilization.
Thirty four restaurants and three vendors selling softshell turtle food
were identified. Price for each serving varied, between Rp 26 000–200 000.
Most turtle consumers in the market restaurants were mostly from Chinese
ethnic.
Most of A. cartilaginea sold were mature, and number of female is
slightly larger than male (54%). There is tendency of sexual dimorphism
(male were heavier than female. There is tendency of sexual dimorphism
(males were heavier and had longer body weight, carapace length and
carapace width than females). The smallest sexual mature female was a 1.2 kg

with 182 gr folicle and eggs, whereas smallest sexual mature male was at body
weight 1.7 kg with 13.74 gr testis weight. The result of this research differs
with Ministry of Forestry decree that allows harvest of soft shelled turtle
weighing less than 5 kg and more than 15 kg, with the assumptions that turles
between 5-15 kg are productive. Thus, result of this research can be used to
review policy on the allowable size for harvest of A. cartilagenea.
Keywords: A. cartilaginea, trade, quota, morphometric.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis in dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERDAGANGAN LABI-LABI UNTUK KONSUMSI
DI PROVINSI DKI JAKARTA


DHIAN EKO PRASTIWI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi
pada
Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Nyoto Santoso, MS

Judul Tesis
Nama
NIM


Perdagangan Labi-labi untuk Konsumsi di Provinsi DKI
Jakarta
Dhian Eko Prastiwi
E.353120055

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, MSi
Ketua

Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc.
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Konservasi Keanekaragaman
Hayati


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 17 Oktober 2014

Tanggal Lulus: 29 Oktober 2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013
ini ialah pemanfaatan domestik, dengan judul Perdagangan Labi-labi untuk
Konsumsi di Provinsi DKI Jakarta.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Mirza Dikari Kusrini,
MSi dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc selaku pembimbing, serta
Bapak Dr Ir Nyoto Santoso, MS sebagai penguji luar yang telah banyak
memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak

Ir. Maraden Purba selaku ketua APEKLI yang telah memberikan bantuan dana
penelitian, informasi dan kemudahan mengakses beberapa responden
penelitian; para narasumber yang telah memberikan ijin, data dan waktu untuk
berdiskusi bagi penulis, rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana Konservasi
Keanekaragaman Hayati angkatan 2012 untuk semangat kekeluargannya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami terkasih:
Marwoto dan anak-anak tersayang: Ahza Abrisam Akbar dan Ahmad Affan
Annasai, atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan
pascasarjana, pengorbanan, pengertian dan doa yang diberikan. Tidak lupa
kepada kedua orang tua penulis untuk dukungan dan doa yang senantiasa
diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014
Dhian Eko Prastiwi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


5

Manfaat Penelitian

5

2 MAKALAH I: PERDAGANGAN LABI-LABI UNTUK KONSUMSI DI
PROVINSI DKI JAKARTA

6

Pendahuluan

6

Metode Penelitian

7

Hasil

8

Pembahasan

14

Simpulan

17

3 MAKALAH II: KARAKTERISTIK MORFOMETRI LABI-LABI Amyda
cartilaginea YANG DIPERDAGANGKAN UNTUK KONSUMSI DI PROVINSI
DKI JAKARTA
18
Pendahuluan

18

Metode Penelitian

19

Hasil

22

Pembahasan

26

Simpulan

29

4 PEMBAHASAN UMUM

0

Perdagangan A. cartilaginea

0

Kuota A. cartilaginea

0

Karakteristik Panenan A. cartilaginea untuk Konsumsi

1

Monitoring dan Pengawasan

2

Strategi Konservasi yang Diperlukan

3

Penelitian yang Dibutuhkan

4

5 SIMPULAN DAN SARAN

0

Simpulan

0

Saran

0

DAFTAR PUSTAKA

0

LAMPIRAN

3

RIWAYAT HIDUP

0

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jumlah labi-labi yang diperdagangkan per bulan ............................... 9
Tabel 2.2 Jumlah labi-labi yang diperdagangkan masing-masing
pedagang ............................................................................................ 9
Tabel 2.3 Jumlah labi-labi A. cartilaginea berdasarkan lokasi asal ................. 10
Tabel 3.1 Sebaran ukuran morfometri A. cartilaginea ..................................... 23
Tabel 3.2 Struktur umur A. cartilaginea* ......................................................... 23
Tabel 3.3 Hasil regresi antara berbagai variabel morfometri
A.cartilaginea jantan ........................................................................ 24
Tabel 3.5 Sebaran ukuran morfometri A.cartilaginea betina dewasa
kelamin (n=24) ................................................................................. 25
Tabel 3.6 Sebaran ukuran morfometri A. cartilaginea jantan dewasa
kelamin (n=27) ................................................................................ 25
Tabel 3.7 Nilai R, R2 dan signifikansi hasil regresi linier berganda ................ 25
Tabel 3.8 Nilai r dan signifikansi hasil analisis korelasi antara parameter
morfometri dengan berat telur dan berat testis A. cartilaginea ....... 26

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Fluktuasi rata-rata harian jumlah pembelian labi-labi oleh
konsumen .................................................................................... 10
Gambar 2.2 Sebaran rumah makan yang menjual hasil olahan labi-labi di
Jakarta ......................................................................................... 12
Gambar 2.3 Alur perdagangan labi-labi untuk konsumsi di wilayah
Jakarta ......................................................................................... 14
Gambar 3.2 Pengukuran karapas A. cartilaginea dengan metode
curveline (a) ................................................................................ 20
Gambar 3.3 Pengukuran tanda dewasa kelamin A. cartilaginea betina .......... 21
Gambar 3.4 Pengukuran tanda dewasa kelamin A. cartilaginea jantan .......... 21
Gambar 3.5 Struktur umur A. cartilaginea berdasarkan asumsi berat ............ 24

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil uji independent sample t test terhadap berat, PLK dan
LLK antara A. cartilaginea dengan T. siamensis .......................... 3
Lampiran 2 Hasil uji Mann Whitney terhadap jumlah pengiriman A.
cartilaginea dari Jawa dan luar Jawa ............................................ 3
Lampiran 3 Hasil uji independent sample t test terhadap berat, PLK dan
LLK antara A. cartilaginea jantan dengan betina ......................... 4
Lampiran 4 Hasil uji normalitas Kolmogorv Smirnov, regresi dengan
variabel tak bebas PLK dan berat pada A. cartilaginea
jantan ............................................................................................. 5

Lampiran 5 Hasil uji normalitas Kolmogorov Smirnov, regresi dengan
variabel tak bebas PLK dan berat pada A. cartilaginea
betina ............................................................................................. 6
Lampiran 6 Hasil analisis korelasi antar parameter morfometri dengan
berat telur pada A. cartilaginea betina .......................................... 7
Lampiran 7 Hasil analisis korelasi antar parameter morfometri dengan
berat testis pada A. cartilaginea jantan .......................................... 8

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Biologi, Habitat dan Status Amyda cartilaginea
Suku labi-labi (Famili Trionychidae) merupakan kelompok kura-kura yang
mempunyai penyebaran paling luas di dunia (Iskandar 2000). Suku ini dapat
dengan mudah dibedakan dari karapas (perisai)nya yang sebagian besar terdiri
dari tulang rawan. Pada beberapa jenis, kaki belakangnya dapat disembunyikan
dibalik katup perisai. Anggota suku ini mempunyai leher relatif panjang sehingga
kepalanya hampir dapat mencapai bagian belakang. Lubang hidungnya selalu
terletak pada ujung belalai yang kecil dan pendek dan mempunyai ekor agak
panjang (Iskandar 2000).
Anggota famili Trionychidae terdiri atas (1) bulus atau Common softshell
turtle atau Asiatic softshell turtle (Amyda cartilaginea), (2) labi-labi bintang atau
Star softshell turtle (Chitra chitra), (3) labi-labi hutan atau Forest softshelled
turtle (Dogania subplana), (4) labi-labi katup atau Valved sofshelled turtle
(Lissemys scutata), (5) labi-labi irian atau New guinean softshell turtle
(Pelochelys bibroni), (6) labi-labi raksasa atau Giant sofshell turtle (Pelochelys
cantori) dan (7) labi-labi cina atau Chinese soft shell turtle (Pelodiscus sinensis).
Salah satu suku labi-labi yaitu bulus (Amyda cartilaginea) lazim dikenal
dengan labi-labi biasa. A.cartilaginea dapat mencapai panjang 100 cm, walaupun
pada umumnya berkisar 60 cm saja. Mata A. cartilaginea berukuran relatif kecil
dan lubang hidungnya terletak di ujung belalai yang kecil dan pendek. Mulutnya
mempunyai bibir relatif tebal, dan kakinya mempunyai selaput penuh dan jari-jari
kaki mempunyai cakar yang relatif kuat dan berujung lancip. A cartilaginea
mempunyai leher yang relatif panjang karena dapat mencapai paling sedikit
pertengahan dari perisainya dan termasuk hewan yang galak sehingga hewan yang
berukuran besar sangat berbahaya apabila dipegang (Iskandar 2000).
Warna perisai hitam sampai abu-abu dan terdapat jejeran tuberkel di atas
karapas bagian anterior di atas leher (Asian Turtle Conservation Network 2006).
Jantan umumnya lebih besar, mempunyai ekor yang lebih panjang dibandingkan
dengan betina. Warna plastron biasanya putih pada jantan dan abu-abu pada
betina (Asian Turtle Conservation Network 2006; Farajallah 2013). Kepala dan
kaki berwarna hitam atau abu-abu dan pada hewan muda umumnya dijumpai
bintik-bintik berwarna kuning (Iskandar 2000).
Jenis ini menyebar di Asia Tenggara, meliputi Brunei Darussalam,
Cambodia, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand dan
Vietnam (Asian Turtle Conservation Network 2006). Di Indonesia, jenis ini
dijumpai di Sumatera Kalimantan, Jawa, dan Lombok dan Sulawesi (Iskandar
2000).
A.cartilaginea umum dijumpai di perairan yang tenang dan berarus lambat
maupun kolam yang berhubungan dengan sungai atau danau (Iskandar 2000).
Farajallah (2013) menyatakan, A. cartilaginea dapat ditemukan baik pada perairan
di pegunungan yang berlumpur, perairan dataran rendah yang mengalir pelan dan
sungai-sungai dan juga ditemukan di danau, rawa yang berdekatan dengan sungai
besar. Elviana (2000) mengemukakan kondisi habitat A. cartilaginea berupa

2

perairan tergenang, berarus tenang dengan dasar perairan lumpur berpasir,
terdapat batu-batuan dan tak terlalu dalam. Umumnya, A. cartilaginea selalu
bersembunyi di dalam lumpur atau pasir di dasar kolam atau sungai (Iskandar
2000), tetapi terkadang nampak di atas batu-batuan untuk berjemur (Elviana
2000).
A.cartilaginea termasuk hewan omnivora (Asian Turtle Conservation
Network 2006), biasanya menyukai perairan yang banyak dihuni oleh hewan air
(molusca, ikan, crustacea dan lain-lain) serta pada permukaan airnya terdapat
tumbuh-tumbuhan air seperti enceng gondok, salvinia, monochorida, teratai dan
lain-lainnya karena dapat menjadi bahan makanan di dalam air (BBAT 2002).
Mumpuni dan Riyanto (2010) menyebutkan, jenis pakan A. cartilaginea
bervariasi, meliputi biji sawit, dedaunan, singkong, bulu burung, kepiting dan
ikan.
Wyneken (2001) menyatakan bahwa organ reproduksi kura-kura atau
disebut gonad terdiri dari ovarium dan testis dan masing-masing menghasilkan
gamet (sel telur ataupun sperma). Kematangan gonad biasanya terjadi pada bulan
Mei dan Juni pada saat temperatur air berkisar 20 °C, dua minggu kemudian
betina akan memijah dan kemudian bertelur di darat di tempat yang berpasir
(BBAT 2002). Sekali bertelur A. cartilaginea dapat menghasilkan 40 butir telur
bercangkang keras dan seekor betina dapat bertelur sampai empat kali dalam
setahun. Ukuran telur hanya sekitar 21–33 mm, berbentuk bulat seperti bola
pingpong dengan lama penetasan 135–140 hari (Iskandar 2000).
A. cartilaginea termasuk satwa liar yang tidak dilindungi menurut Undang
Undang di Indonesia. Menurut Mumpuni dan Riyanto (2012), tahun 2004 CITES
(Convention on International Trade on Endangered Species of Wild Flora and
Fauna) telah menyatakan bahwa pemanfaatan A. cartilaginea yang berlebih di
negara-negara yang menjadi daerah sebaran telah menyebabkan penurunan
populasi terkecuali Brunei Darussalam, Kamboja dan India, sehingga tahun 2005
A. cartilaginea terdaftar sebagai Apendiks II.
Di Indonesia sendiri, pemanenan A. cartilaginea di Indonesia sudah
dilakukan secara intensif sejak akhir tahun 1980, dimana kuota tangkap jenis ini
merupakan yang tertinggi dari semua jenis kura-kura. Berdasarkan alasan
kehilangan habitat dan eksploitasi yang berlebihan, IUCN (International Union
for Conservation Nature) memberikan status vulnerable pada tahun 2010
(Mumpuni dan Riyanto 2012). Tahun 2008, CITES memasukkan jenis tersebut
sebagai RST (Review Significant Trade) yang berarti perlu ada perhatian khusus
atas populasi alami, yang bermakna bahwa pemanfaatan untuk pemanenan harus
sesuai dengan kaidah kelestarian (Kusrini et al. 2009).
CITES di Indonesia
CITES merupakan konvensi yang mengatur perdagangan hidupan liar yang
terancam punah yang beranggotakan para pihak dari negara-negara di seluruh
dunia yang didirikan pada tahun 1973. Tujuan konvensi ini adalah untuk
mencegah terjadinya kepunahan jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar di muka
bumi yang dapat atau mungkin disebabkan oleh adanya kegiatan perdagangan
internasional. Indonesia bergabung sebagai anggota CITES pada tahun 1978
berdasarkan Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978.

3

Dalam pelaksanaan kegiatan CITES, masing-masing negara anggota
menunjuk minimal satu Otoritas Pengelola (Management Authority) dan Otoritas
Keilmuan (Scientific Authority). Di Indonesia, Otoritas Pengelola dan Otoritas
Keilmuan dipegang oleh Departemen Kehutanan dan LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) sesuai dengan PP No 8 tahun 1999. Melalui Keputusan
Menteri Kehutanan No 104/Kpts-II/2003, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam ditunjuk sebagai Otoritas Pengelola CITES di Indonesia.
Kepala LIPI melalui SK No 1973/2002 telah menunjuk Pusat Penelitian Biologi
LIPI sebagai pelaksana harian Otoritas Keilmuan yang tugasnya melaksanakan
tugas-tugas harian yang berkaitan dengan kewenangan LIPI sebagai otoritas
Keilmuan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (Mumpuni dan
Riyanto 2012).
Terhadap hidupan liar yang diperdagangkan secara internasional, CITES
mengkategorikannya dalam tiga kategori Apendiks, yaitu Apendiks I, II dan III.
Apendiks I merupakan tumbuhan dan satwa liar yang menurut CITES termasuk
dalam golongan mendekati kepunahan, sehingga pemanfaatan jenis tersebut perlu
mendapatkan perlakuan internasional yang sangat ketat. Perdagangan jenis
Apendiks I tidak memperkenankan adanya pengambilan langsung dari alam
kecuali hasil penangkaran pada keturunan kedua. Bagi jenis yang termasuk dalam
Apendiks II, perdagangan internasional masih dapat dilakukan dengan kuota
tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Pengelola pada negara tersebut. Apendiks
III merupakan tumbuhan dan satwa liar yang dikategorikan jarang sehingga
pemanfaatan jenis tersebut perlu dipantau secara internasional.
Sebagai satwa liar yang termasuk dalam Apendiks II CITES, pemanfaatan
A. cartilaginea diatur dalam prinsip NDF (Non Detrimental Findings) yang
dimaksudkan untuk menjamin bahwa perdagangan internasional yang dilakukan
tidak akan merusak populasi spesies tersebut di alam. Salah satu bentuk
penterjemahan prinsip NDF adalah melalui sistem kuota tangkap dan kuota ekspor
serta pengaturan peredaran, perlindungan dan konservasi jenis tersebut (Oktaviani
dan Samedi 2008). Management Authority CITES di Indonesia telah
mengeluarkan kebijakan mengenai aturan berat A. cartilaginea yang tidak
diperbolehkan dipanen yaitu pada kisaran 5–15 kg pada keputusan Direktur
Jenderal PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) Departemen
Kehutanan tentang penetapan kuota. Kebijakan tersebut didasarkan pada asumsi
bahwa rentang tersebut merupakan masa reproduksi A. cartilaginea sehingga
pemanenan pada rentang tersebut dikhawatirkan mengancam kelestarian
populasinya di masa yang akan datang.
Pengelolaan A. cartilaginea setelah terdaftar sebagai Apendiks II CITES
sampai dengan saat ini berada di bawah Direktorat Jenderal PHKA Departemen
Kehutanan, dimana sebelumnya pengelolaan berada di bawah Direktorat Jenderal
Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Perdagangan A. cartilaginea
Perdagangan hidupan liar di Indonesia sudah berlangsung sejak lama, baik
untuk pasar dalam maupun luar negeri dan umumnya mengandalkan panenan
langsung dari alam. Awalnya pemanenan dari alam dilakukan hanya untuk
memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari masyarakat, dan selanjutnya menjadi

4

kegiatan jual beli untuk mendapatkan uang tunai dengan pihak lain (komersial)
(Mumpuni dan Riyanto 2012).
Perdagangan satwa liar telah menjadi sumber pendapatan bagi banyak orang
dan faktor ekonomi merupakan motivasi utama dari perdagangan komoditas ini,
mulai dari pendapatan lokal berskala kecil sampai dengan bisnis yang berorientasi
utama profit (Nijman 2010). Pelaku perdagangan umumnya terdiri atas penangkap
(hunter), pengumpul kecil atau perantara (middlemen), pengumpul besar
(collector) dan eksportir (ID CITES MA 2008; Nijman et al. 2012).
A.cartilaginea mempunyai nilai kegunaan produktif yaitu nilai manfaat
yang diberikan kepada produk-produk yang diambil dari alam dan dijual ke pasar
komersial, baik pada tingkat nasional maupun internasional (Indrawan et al. 2007)
yang bentuk nyata dari nilai tersebut adalah harga. Beberapa penelitian untuk
mengetahui harga A. cartilaginea di pasar dalam negeri seperti dilakukan
Oktaviani dan Samedi (2008), Kusrini et al. (2009) dan Ginting (2012)
menyebutkan bahwa kisaran harga ditentukan oleh berat dari A.cartilaginea. Amri
dan Khairuman (2000) menyebutkan harga A. cartilaginea di pasar internasional
adalah USD 20.00/kg, sedangkan Nijman et al. (2012) mengasumsikan harga A.
cartilaginea adalah USD 10.00/kg maka nilai perdagangan A. cartilaginea
mencapai angka USD 10 juta per tahun untuk beberapa wilayah yang diobservasi.
Perdagangan A. cartilaginea meliputi perdagangan untuk konsumsi dan
perdagangan sebagai satwa peliharaan (pet), dengan jumlah pemanfaatan untuk
konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan sebagai satwa peliharaan. Perdagangan
A. cartilaginea sebagai satwa peliharaan lebih untuk memenuhi permintaan
ekspor, sebagaimana hasil penelitian Daniel (2011) di Jakarta yang menunjukkan
jumlah individu A. cartilaginea yang dimanfaatkan sebagai satwa peliharaan
hanya sejumlah 4 individu. Sebagai satwa peliharaan, A. cartilaginea kurang
begitu disukai karena sifatnya yang ganas, dikenal suka menggigit dan
mempunyai gigitan yang sangat kuat. Selain itu, tubuh A. cartilaginea cepat
menjadi besar sehingga akan memenuhi akuarium dengan cepat. Untuk diekspor
sebagai satwa peliharaan, ukuran individu A. cartilaginea biasanya berukuran
panjang sekitar 12–15 cm atau berat sekitar 0.5–0.5 kg (ID CITES MA 2008).
Perdagangan A. cartilaginea untuk konsumsi dilakukan dengan
memanfaatkan hampir seluruh bagian tubuh A. cartilaginea (daging, telur, darah,
jeroan, lemak, karapas) karena dipercaya berkhasiat sebagai obat (Ginting 2012).
Pemanfaatan untuk konsumsi ini terjadi baik di dalam maupun luar negeri.
Nijman et al. (2012) mengemukakan sejumlah 200–450 000 individu A.
cartilaginea dari Sumatera Utara dan Riau diekspor selama tahun 1998–1999,
melebihi kuota yang ditetapkan saat itu yaitu 10 000 individu dengan nilai ekspor
sekitar 10 juta USD per tahun. Sinaga (2008) menyatakan realisasi ekspor A.
cartilaginea tahun 2005 mencapai 102.84%, tahun 2006 sebesar 99.87% dan
tahun 2007 sejumlah 98.93%, dimana kuota sampai dengan tahun 2007 belum
memisahkan jumlah individu yang dimanfaatkan untuk konsumsi dan sebagai
satwa pelihharaan. Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
permintaan ekspor untuk A. cartilaginea adalah tinggi. Dibandingkan dengan labilabi jenis lain, para konsumen menganggap daging jenis A. cartilaginea lebih
enak sehingga lebih banyak diminati (Mardiastuti 2009).
Jakarta merupakan ibukota negara Republik Indonesia, sehingga
mempunyai akses yang sangat mudah untuk masuk dan keluar Jakarta, baik

5

melalui kendaraan darat, air maupun udara. Selain itu, daya beli masyarakat
Jakarta dapat digolongkan tinggi dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia
sehingga merupakan pasar yang prospektif bagi berbagai komoditas, termasuk
satwa liar. Jakarta dipilih sebagai lokasi penelitian dikarenakan beberapa hal yang
telah dikemukakan di atas sehingga diasumsikan Jakarta mempunyai angka
pemanfaatan A. cartilaginea yang tinggi.

Tujuan Penelitian
Hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk 2 makalah untuk masing-masing
tujuan penelitian, dimana tujuan penelitian ini adalah:
1.
Mengidentifikasi karakteristik perdagangan A. cartilaginea untuk konsumsi
domestik, dilihat dari 1) jumlah, asal dan alur perdagangan dan 2)
karakteristik konsumen, baik konsumen yang berupa rumah makan maupun
konsumen perorangan.
2.
Mengidentifikasi karakteristik morfometri A. cartilaginea yang
diperdagangkan untuk konsumsi di Jakarta, meliputi sebaran ukuran berat
labi-labi, nisbah kelamin, struktur umur berdasarkan PLK (panjang
lengkung karapas), serta masa dewasa kelamin A. cartilaginea.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam dapat
memperkaya dan melengkapi hasil-hasil penelitian mengenai labi-labi A.
cartilaginea, khususnya tentang perdagangan labi-labi yang dimanfaatkan untuk
konsumsi secara domestik di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Hasil penelitian ini
dapat menggambarkan pemanfaatan A. cartilaginea untuk konsumsi, dilihat dari
jumlah yang diperdagangkan serta karakteristik morfometrinya. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat menjadi masukan strategis bagi Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan selaku
Management Authority CITES dalam merumuskan perbaikan regulasi panenan A.
cartilaginea dari alam.

6

2 MAKALAH I: PERDAGANGAN LABI-LABI UNTUK
KONSUMSI DI PROVINSI DKI JAKARTA
(The Trade of Softshell Turtle for Consumption in Jakarta Province)
Dhian Eko Prastiwi1, Mirza D. Kusrini2, Ani Mardiastuti2
Mahasiswa Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati,
Sekolah Pascasarjana IPB
2
Staf Pengajar pada Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB
1

Abstract
It has been known that softshell turtle are traded for consumption in
selected markets in Indonesia. However, there is no publication on the turtle trade
for domestic consumption. This research aimed to assess trade of softshell turtle
for domestic consumption in Jakarta. Study was conducted in Pasar Petak
Sembilan from December 2013 to March 2014. We conducted snowball sampling
to identify traders selling softshell turtle for food and interviewed them. During
three months survey, total number of turtle sold were 8 818 kg, consist of 7 171.6
kg of Amyda cartilaginea (equal to 2 390.5 kg/month) and 1 646.5 kg of Trionyx
siamensis (equal to 548.8 kg/month). Most of A cartilaginea came from South
Sumatera (49%), Jambi (20%) and Lampung (19%), as well as some areas at
West Java and Banten. Thirty four restaurants and three vendors selling softshell
turtle food were identified, with number of needs about 4 kg of turtle
meat/restaurants or vendors (equal to 4 440 kg/month). Price of serving varied
between Rp 26 000–200 000.
Keywords : trade, quota, domestic consumption, A. cartilaginea

Pendahuluan
Suku labi-labi (Trionychidae) merupakan bagian dari kelompok kura-kura
yang mempunyai penyebaran paling luas di dunia (Iskandar 2000). Labi-labi
dimanfaatkan sebagai bahan pangan dimana hampir seluruh bagian tubuhnya
(daging,telur, darah, jeroan, lemak, karapas/batok) tidak luput dari pemanfaatan
(Ginting 2012). Terdapat kepercayaan tradisional bahwa memakan labi-labi
dianggap baik bagi kesehatan (Amri dan Khairuman 2002) terutama bagi
beberapa etnis di Asia (Farajallah 2013).
Salah satu jenis suku labi-labi, yaitu bulus atau common softshell turtle (A.
cartilaginea), dijumpai di Indonesia sebagai salah satu lokasi penyebarannya,
selain Brunei Darussalam, Cambodia, Lao PDR, India, Malaysia, Singapura,
Thailand dan Vietnam (ID CITES MA 2008). Labi-labi ukuran besar
dimanfaatkan untuk memenuhi permintaan konsumsi pasar domestik dan
internasional, sementara ukuran kecil digunakan sebagai satwa peliharaan (ID
CITES MA 2008).

7

Labi-labi termasuk satwa liar yang tidak dilindungi Undang-Undang RI,
namun masuk Apendiks II CITES tahun 2005 (Kusrini et al. 2009) dan
dikategorikan vulnerable (rentan) menurut Red Data Book International Union
for Conservation Nature (IUCN). Jenis-jenis yang terdaftar dalam Apendiks II
CITES, perdagangannya diatur dengan kuota yang ditetapkan oleh Kementerian
Kehutanan selaku Management Authority CITES. Keputusan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan tentang Kuota
Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar Tahun 2011, 2012
dan 2013 menyebutkan, provinsi yang mendapatkan kuota labi-labi sebanyak 14
provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tahun 2014, terdapat
penambahan 1 lokasi yaitu Sulawesi Tengah terkait upaya eradikasi labi-labi
sebagai satwa introduksi di Sulawesi.
Penelitian-penelitian yang dilakukan sebagai dasar penetapan kuota lebih
berorientasi survey populasi di alam, belum melihat kebutuhan konsumsi
domestik. Selama ini konsumsi domestik dianggap lebih sedikit daripada ekspor
(ID CITES MA 2008), namun tidak tertutup kemungkinan hal sebaliknya terjadi,
seperti penelitian perdagangan kaki katak di Indonesia yang menunjukkan
konsumsi dalam negeri jauh lebih besar daripada jumlah ekspor (Kusrini dan
Alford 2006).
Penelitian ini bertujuan melihat karakteristik perdagangan labi-labi untuk
konsumsi domestik di Jakarta dilihat dari: 1) jumlah, asal dan alur perdagangan
dan 2) karakteristik konsumen, baik konsumen yang berupa rumah makan maupun
konsumen perorangan. Penentuan Jakarta sebagai lokasi penelitian didasarkan
asumsi bahwa Jakarta merupakan lokasi pemanfaatan labi-labi skala besar. Jakarta
diketahui mempunyai pasar untuk jual beli labi-labi, seperti yang dijumpai di
Mensalon-Nunukan, Malinau dan Pasar Induk Bulungan, Kalimantan Timur
(Kusrini et al. 2009) dan di Kalimantan Barat (Lilly 2010).

Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di wilayah Provinsi DKI Jakarta mulai akhir Desember
2013 sampai dengan akhir Maret 2014. Pengambilan data perdagangan labi-labi
dilakukan di Pasar Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat. Pasar Petak Sembilan
diketahui satu satunya pasar yang menjual labi-labi di Provinsi DKI Jakarta.
Sementara itu, pengambilan data rumah makan yang menjual labi-labi olahan
mencakup seluruh wilayah DKI Jakarta (lihat Gambar 1.2 pada Hasil).
Metode Pengumpulan Data
Untuk mengetahui jumlah labi-labi yang dikonsumsi domestik di wilayah
Provinsi DKI Jakarta, dilakukan melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama
dengan mengumpulkan data jumlah labi-labi yang diperdagangkan di pasar,
sedangkan pendekatan kedua dengan mengumpulkan data pedagang atau rumah
makan yang menjual hasil olahan labi-labi.

8

Pendekatan pertama menggunakan metode snowball sampling dengan
bantuan key informan, yaitu salah satu eksportir labi-labi. Eksportir tersebut
menginformasikan salah satu pedagang labi-labi yang biasa menyuplai, dan dari
pedagang tersebut selanjutnya diketahui pedagang lain yang juga berjualan labilabi yang seluruhnya berjumlah 5 orang. Dari masing-masing pedagang kemudian
dikumpulkan data melalui teknik wawancara tidak terstruktur mengenai jumlah
kiriman labi-labi serta lokasi asalnya. Umumnya labi-labi yang dijual dalam
kondisi hidup namun kemudian dipotong saat ada permintaan, oleh karena itu data
penjualan yang disajikan dalam bentuk berat (kg) bukan jumlah (ekor). Data kurakura jenis lain yang juga dijual pedagang labi-labi dicatat sebagai informasi
tambahan. Pengukuran morfometri (meliputi berat, panjang dan lebar lengkung
karapas) untuk mengetahui karakteristik labi-labi dilakukan terhadap 131 individu
labi-labi yang dibeli konsumen, serta observasi terhadap konsumen untuk
mengetahui karakteristiknya.
Pendekatan kedua dilakukan dengan metode survei dan inventarisasi untuk
mengidentifikasi rumah makan yang menjual hasil olahan labi-labi di Jakarta.
Survei menggunakan kata kunci pi-oh sebagai sebutan yang lazim bagi labi-labi
yang biasa dikonsumsi. Hasil survei pendahuluan menunjukkan bahwa rumah
makan biasa menggunakan labi-labi jenis A. cartilaginea dari pasar sebagai bahan
bakunya, sehingga diasumsikan rumah makan yang terdapat menu pi-oh, berarti
memanfaatkan A. cartilaginea untuk diolah. Data yang dikumpulkan meliputi
nama rumah makan, lokasi, harga dan informasi lain yang mendukung dilakukan
melalui wawancara tidak terstruktur.
Analisis Data
Uji normalitas data dilakukan melalui uji one sample Kolmogorov-Smirnov.
Data jumlah dan asal labi-labi yang diperdagangkan selanjutnya dianalisis secara
deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan antara lokasi asal labi-labi dengan jumlah yang dikirimkan,
dilakukan uji Mann-Whitney pada selang kepercayaan 95%. Sementara itu, uji chi
square dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan jumlah labi-labi yang
dijual setiap hari, dan untuk mengetahui perbedaan antara jenis labi-labi yang
dijual dilakukan uji independent sample t test pada selang kepercayaan 95%.

Hasil
Jumlah Labi-labi yang Diperdagangkan
Labi-labi yang diperdagangkan untuk konsumsi di pasar terdiri atas jenis A.
cartilaginea (82%) dan Trionyx siamensis atau labi-labi Cina (18%). Sebagian
pedagang menjual kedua jenis labi-labi tersebut, sebagian lagi hanya menjual jenis
A. cartilaginea . Beberapa pedagang terkadang menjual kura-kura ambon (Cuora
amboinensis) jika terdapat stok pengiriman, akan tetapi jumlah kura-kura ambon
yang diperdagangkan tidak menjadi bagian dari penelitian ini. Menurut pedagang,
kura-kura ambon biasa digunakan dalam acara keagamaan masyarakat Tionghoa.
Jumlah kedua jenis labi-labi yang dijual selama periode pengambilan data
adalah 8 818.1 kg (Tabel 2.1 dan 2.2). Hasil pengamatan menunjukkan

9

kcenderungan jumlah pembelian yang meningkat menjelang akhir pekan (Gambar
2.1).
Terdapat perbedaan antara labi-labi jenis A. cartilaginea dengan T.
siamensis dilihat dari berat (t = 14.261, P = 0.000, db = 129), panjang lengkung
karapas (t = 17.457, P = 0.000, db = 129) dan lebar lengkung karapas (t = 16.875,
P = 0.000, db = 129). Jenis A. cartilaginea mempunyai rata-rata berat 4.26 kg,
rata-rata panjang lengkung karapas 33.81 cm dan rata-rata lebar lengkung karapas
27.92 cm (n=112), sedangkan jenis T. siamensis mempunyai rata-rata berat 0.84
kg, rata-rata panjang lengkung karapas 18.92 cm dan rata-rata lebar lengkung
karapas 16.03 cm (n=19).
Tabel 2.1 Jumlah labi-labi yang diperdagangkan per bulan
Bulan
Jumlah (kg)
Persentase
Spesies
Desember
845.5
A. cartilaginea
Januari
Februari
Maret

Jumlah A. cartilaginea
Rata-rata A. cartilaginea

82

384.0
570.0
401.5
291.0
1646.5

18

8818.1

100

2 390.5
Desember
Januari
Februari
Maret

T. siamensis

3390.0
1404.5
1531.6
7171.6

Jumlah T. siamensis
Rata –rata T. siamensis
Jumlah keseluruhan A. cartilaginea dan
T. siamensis
Rata-rata

548.8

2 939.4

Tabel 2.2 Jumlah labi-labi yang diperdagangkan masing-masing pedagang
N
o

1.
2.
3.

Nama
Pedagang
Aloy
Joy
Pardi

Toni
4.
Untung
5.
Total 5 pedagang

Spesies
A. cartilaginea
T. siamensis
A. cartilaginea
T. siamensis
A. cartilaginea
T. siamensis
A. cartilaginea
A. cartilaginea

Total
(kg)
239.0
85.0
1 149.7
1 531.0
3 770.9
30.5
220.0
1 792.0
8 818.1

Persentase
3
5
16
93
53
2
3
25
100

10

30.00
25.5

Rata-rata (kg)

25.00
20.00
18.6

15.00
10.00
8.3
7.2
5.9

5.00
0.00

0.9
0.64

1.8
0.00

Senin

Selasa

1.49
0.00

Rabu

Trionyx siamensis

0.14

Kamis
Hari

0.00

Jum'at

0.00

Sabtu

Minggu

Amyda cartilaginea

Gambar 2.1 Fluktuasi rata-rata harian jumlah pembelian labi-labi oleh konsumen
di pasar dalam seminggu
Asal Labi-labi yang Diperdagangkan
Labi-labi jenis T. siamensis hanya berasal dari Karawang (Jawa Barat),
sementara jenis A. cartilaginea berasal dari 12 lokasi, 5 lokasi merupakan
provinsi yang mendapatkan ijin pemanfaatan labi-labi (Sumatera Selatan,
Sumatera Barat, Lampung, Jambi dan Kalimantan), 7 lokasi lainnya tidak
mendapatkan ijin pemanfaatan (Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, Majalengka,
Parung, Cikampek dan Serang). Tiga lokasi dengan dengan jumlah kiriman
terbanyak adalah Palembang (3 482 kg atau 49%), Jambi (1 465 kg atau 20%) dan
Lampung (1 332 kg atau 19%) sebagaimana Tabel 2.3.
Terdapat perbedaan jumlah labi-labi yang dikirim dari Jawa dan luar Jawa
(U = 71.000, P < 0.05) dimana jumlah labi-labi dari luar Jawa ( ̅ = 48.61 kg, n =
51) lebih banyak dibanding dari Jawa ( ̅ = 15.46 kg, n = 24).
Tabel 2.3 Jumlah labi-labi A. cartilaginea berdasarkan lokasi asal

Kategori

Provinsi

Daerah

Jumlah (kg)
703.6

Jawa
Banten
Jawa Barat

Serang
Bogor
Cikampek
Karawang
Majalengka

Persentase
10

51.5
96.0
207.0
1.0
105.3

11

Parung
Sukabumi
Tasikmalaya
Luar
Jawa
Kalimantan
Kalimantan
Jambi
Jambi
Lampung
Lampung
Sumatera
Padang
Barat
Sumatera
Palembang
Selatan
Jumlah Jawa dan Luar Jawa

2.5
108.5
131.8
6 468.0

90

100.0
1 465.0
1 332.0
89.0
3 482.0
7 171.6

Karakteristik Pedagang Labi-labi Hidup
Jumlah pedagang yang berjualan labi-labi hidup adalah 5 orang, semua
berjenis kelamin laki-laki, rata-rata umur 40 tahun dengan tingkat pendidikan
bervariasi, mulai lulus dari sekolah dasar sampai dengan pendidikan tinggi tingkat
diploma tiga, serta berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tiga dari 5
pedagang memiliki hubungan keluarga, meskipun dalam hal berdagang mereka
melakukannya secara profesional. Terdapat jaringan antar pedagang labi-labi di
pasar, terlihat apabila salah satu pedagang tidak mempunyai stok labi-labi dengan
kategori berat tertentu sesuai permintaan konsumen, maka stok tersebut diambil
dari pedagang lainnya. Salah satu pedagang labi-labi di pasar menyebutkan, 4
rumah makan di Jakarta Barat mendapatkan labi-labi dari pedagang tersebut, akan
tetapi untuk menyebutkan rumah makan lainnya yang juga mendapatkan labi-labi,
pedagang tersebut merasa keberatan.
Karakteristik Pedagang Labi-labi Olahan
Pedagang labi-labi olahan terdiri atas 34 rumah makan dan 3 pedagang kaki
lima. Keberadaan rumah makan tersebut menyebar di wilayah Jakarta, Jakarta
Barat (n = 24), Jakarta Utara (n = 10), Jakarta Pusat (n = 2) dan Jakarta Timur (n
= 1). Pedagang kali lima terpusat di Jakarta Barat, pada salah satu gang yang
berdekatan dengan pasar. Sembilan rumah makan menjadikan hasil olahan labilabi sebagai menu utama, 25 rumah makan yang lain menjadikannya sebagai
pelengkap menu utama. Di Jakarta Barat, lokasi rumah makan berada di wilayah
Mangga Besar, Sawah Besar, Mangga Dua dan Kebon Jeruk. Sementara itu di
Jakarta Utara, dijumpai di Muara Karang, Penjaringan, perumahan Pantai Indah
Kapuk dan Sunter (Gambar 1.2).
Rumah makan yang menjual hasil olahan labi-labi merupakan rumah makan
dengan menu khas masakan Cina (chinese food).Labi-labi biasanya dimasak tim
obat, sup, angsio dan kuah jahe dengan harga berkisar Rp 26 000–Rp 200 000 per
porsi. Beberapa rumah makan menghargai masakan labi-labi dalam satuan porsi,
sementara lainnya memberikan harga untuk setiap berat (ons) labi-labi yang
diolah dengan berat minimum yang telah ditentukan oleh pihak rumah makan.
Sementara itu, pedagang kaki lima hanya menjual dalam bentuk sup dengan harga
Rp 40 000 per porsi. Informasi kebutuhan labi-labi hanya diperoleh dari salah satu
pedagang kaki lima, yang menyebutkan perkiraan kebutuhan kurang lebih 4 kg

12

per hari. Pedagang tersebut terkadang membeli labi-labi dalam kondisi mati (jika
pedagang labi-labi mempunyai stok labi-labi mati) dengan alasan harga beli lebih
rendah dibandingkan membeli labi-labi kondisi masih hidup.
Pembelian labi-labi dapat terjadi dalam jumlah sedikit (1 atau 2 individu),
serta dalam jumlah banyak (dapat mencapai 60 kg labi-labi). Pembelian labi-labi
jumlah banyak, biasanya akan diantar ke rumah makan melalui kurir pedagang
labi-labi. Sebelum membeli, rumah makan akan menanyakan terlebih dahulu
ketersediaan labi-labi dan kondisinya, apabila dianggap sesuai oleh pihak rumah
makan maka pemesanan segera dilakukan. Waktu pemesanan tidak dapat
dipastikan, akan tetapi memiliki frekuensi satu atau dua kali dalam seminggu.
Labi-labi yang dibeli dalam jumlah banyak tersebut dapat langsung dipotong atau
dibawa hidup-hidup ke rumah makan, sesuai dengan permintaan rumah makan.

Gambar 2.2 Sebaran rumah makan yang menjual hasil olahan labi-labi di Jakarta
Karakteristik Konsumen
Sebanyak 102 (97%) dari 105 konsumen yang diamati merupakan
masyarakat etnis Cina, diduga golongan ekonomi menengah ke atas, mengingat
harga labi-labi relatif mahal yaitu Rp 60 000/kg untuk semua berat labi-labi (baik
labi-labi berukuran kecil, sedang maupun besar). Konsumen dapat berjenis
kelamin laki-laki maupun perempuan dengan umur berkisar 25 tahun atau lebih.
Beberapa konsumen perorangan dijumpai membeli labi-labi dalam frekuensi
tertentu (1 atau 2 minggu sekali). Beberapa konsumen menyebutkan alasan
mengkonsumsi labi-labi dikarenakan dipercaya baik untuk kesehatan dan mampu
mengobati beberapa jenis penyakit, termasuk salah satu jenis kanker.
Konsumen pada umumnya membawa semua organ tubuh labi-labi yang
telah dipotong (baik karapas atau batok, usus, empedu dan lemaknya) dan

13

sebagian kecil hanya mengambil dagingnya saja. Lemak yang tidak diambil
dimanfaatkan pedagang untuk membuat minyak bulus, sedangkan karapas atau
batok dan empedu yang tidak diambil akan dikeringkan melalui penjemuran.
Minyak bulus oleh pedagang dijual kembali dengan harga Rp 100 000 untuk 1
botol air mineral ukuran 600 ml, empedu yang dikeringkan dihargai Rp 2 000 per
buah dan batok atau karapas dihargai Rp 15 000–Rp 20 000 untuk 5 buah.
Empedu basah terkadang ada yang memakannya langsung dan biasanya diberikan
secara cuma-cuma karena tidak banyak orang yang mengkonsumsinya. Menurut
pedagang, minyak bulus dapat menambah kekencangan kulit, empedu dapat
digunakan sebagai obat penyakit diabetes dan batok atau karapas selanjutnya
diekstrak sebagai bahan baku obat. Adapun usus dalam jumlah banyak digunakan
sebagai pakan ikan lele oleh salah satu pedagang yang terdapat di pasar.
Alur Perdagangan
Perdagangan labi-labi untuk konsumsi di Jakarta dilakukan dalam 2 jalur,
yaitu melalui pasar serta jual beli langsung di rumah makan yang menjual hasil
olahan labi-labi. Hal tersebut didasarkan informasi dari pedagang di pasar yang
menyebutkan bahwa tidak semua rumah makan mendapatkan labi-labi dari pasar.
Informasi salah satu rumah makan yang berada di dekat pasar juga menyebutkan,
mereka mendapatkan labi-labi dari Palembang secara langsung, bukan membeli di
pasar, sehingga alur perdagangan diduga seperti Gambar 2.3.
Labi-labi biasanya dikirim menggunakan sarana transportasi berupa truk,
kereta maupun sepeda motor melalui orang yang telah biasa mengantarkan labilabi dengan sistem pembayaran secara cash and carry maupun melalui transfer.
Selama masa penelitian, baru sekali dijumpai pembayaran langsung oleh
pedagang kepada pengantar, yaitu pada saat pengantar hanya mengirimkan labilabi sebanyak satu individu dengan berat sekitar 5 kg. Pada kesempatan lain,
pedagang tidak langsung membayar kepada pengantar, yang diduga pembayaran
dilakukan melalui transfer setelah akumulasi beberapa kali pengiriman labi-labi.
Harga beli labi-labi adalah Rp 45 000 per kg dan harga jualnya adalah Rp 60
000 per kg untuk berbagai ukuran berat labi-labi. Harga tersebut berlaku untuk
konsumen perorangan maupun rumah makan yang membeli dalam jumlah besar.
Sedangkan bagi pedagang lain yang mengambil labi-labi untuk dijual kembali
(karena tidak terdapat stok seperti permintaan konsumen), dihargai Rp 55 000 /kg.
Preferensi terhadap berat labi-labi yang lebih disukai oleh konsumen jarang
dijumpai dalam penelitian ini. Konsumen perorangan umumnya membeli labi-labi
pada ukuran yang dianggap sesuai dengan jumlah anggota keluarga mereka.
Apabila tidak dijumpai labi-labi dengan ukuran sesuai permintaan, konsumen
kadang beralih ke jenis T. siamensis. Beberapa kali dijumpai konsumen membeli
labi-labi dengan jenis kelamin tertentu namun dengan frekuensi yang sangat
jarang.

14

Habitat
Penangkap
sambilan

Penangkap
profesional
Pemasok/
pengumpul

Pedagang di pasar

Rumah makan

Gambar 2.3 Alur perdagangan labi-labi untuk konsumsi di wilayah Jakarta

Pembahasan
Jumlah, Konsumen dan Harga Labi-labi yang Diperdagangkan untuk
Konsumsi di Jakarta
Jenis A.cartilaginea diperdagangkan dalam jumlah lebih banyak
dibandingkan jenis T. siamensis disebabkan pasokan jenis A. cartilaginea yang
masuk ke pasar lebih banyak dibanding jenis T. siamensis. Pasaran jenis A.
cartilaginea relatif dikuasai oleh pedagang Pardi (53%), sedangkan jenis T.
siamensis (93%) relatif dikuasai oleh pedagang Joy. Hal tersebut diduga karena
pasokan yang kontinu dan jumlah pemasok yang lebih banyak dibanding
pedagang lainnya.
Bulan dengan penjualan tertinggi adalah Januari, diduga karena permintaan
yang tinggi terkait dengan tahun baru Imlek yang banyak dirayakan oleh
masyarakat etnis Cina, yang diketahui merupakan konsumen terbesar daging kurakura (van Dijk et al. 2000). Pengambilan data yang dimulai akhir Desember dan
kesulitan mendapatkan data pada bulan Februari, menyebabkan data perdagangan
labi-labi yang tercatat pada kedua bulan tersebut tidak banyak. Melihat jumlah
yang dijual per hari, hari Sabtu merupakan hari dengan penjualan tertinggi
(Gambar 2.1), karena Sabtu merupakan hari libur sehingga diduga banyak
konsumen yang membeli labi-labi untuk dinikmati bersama keluarga, mengingat
konsumen yang ditemui banyak yang merupakan konsumen perorangan.
Penelitian ini menitikberatkan pada perdagangan jenis A. cartilaginea,
dikarenakan pada tahun 2005 jenis tersebut masuk dalam Apendiks II CITES dan
tahun 2008 masuk dalam kategori Review Significat Trade sehingga perlu ada
perhatian khusus atas populasi alami, yang berarti pemanfaatan untuk pemanenan
harus sesuai kaidah kelestarian (Kusrini et al. 2009) atau dalam kerangka Non
Detriment Findings (NDF). Berdasar hal tersebut, jenis A. cartilaginea dipandang
lebih memerlukan kajian-kajian terkait NDF assessment agar perdagangannya
dalam lingkup internasional dapat berkelanjutan, dibandingkan dengan T.
siamensis yang tidak terdaftar dalam Apendiks CITES. NDF assessment
merupakan dasar dalam penentuan kuota tangkap bagi seluruh hidupan liar yang

15

ditetapkan CITES yang membutuhkan data demografi, ekologi dan biologi untuk
memastikan pemanenan jangka panjang dapat dilakukan dan tidak menyebabkan
kepunahan.
Penetapan kuota dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, bekerjasama dengan LIPI dan berbagai
pihak terkait, termasuk asosiasi pengusaha reptil (Nijman et al. 2012). Sembilan
puluh persen kuota digunakan untuk ekspor dan 10% dimanfaatkan di dalam
negeri. Tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014, A. cartilaginea mendapatkan kuota 28
000 individu per tahun untuk konsumsi dan pet, dengan rincian 25 200 individu
untuk ekspor dan 2 800 individu untuk pemanfaatan dalam negeri. Jumlah
tersebut dirinci lagi untuk ekspor (konsumsi dan pet) sejumlah 23 400 dan 1 800
individu, serta untuk dalam negeri (konsumsi dan pet) sejumlah 2 600 dan 200
individu (Ditjen PHKA 2010;2011).
Jumlah pemanfaatan domestik labi-labi melalui pendekatan jumlah labi-labi
yang diperdagangkan di pasar menghasilkan