Dinamika Paras Laut di Perairan Indonesia

DINAMIKA PARAS LAUT DI PERAIRAN INDONESIA

SRI HADIANTI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dinamika Paras Laut di
Perairan Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014

Sri Hadianti
NIM C54080039

ABSTRAK
SRI HADIANTI. Dinamika Paras Laut di Perairan Indonesia. Dibimbing oleh
BISMAN NABABAN.
Pemanasan global merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
dinamika paras laut. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan dinamika paras
laut di perairan Indonesia dengan menggunakan Map of Sea Level Anomaly
(MSLA) dari data satellite altimetry yang diperoleh dari data Archiving,
Validation and Interpretation of Satellite Oceanographic data (AVISO) delayed
time dari jenis Data Unification and Altimeter Combination System (DUACS).
Data satellite altimetry di ekstrak dari delapan stasiun di perairan lepas pantai
Indonesia selama dua puluh tahun dari 14 Oktober 1992 sampai 4 April 2012.
Hasil menunjukkan bahwa secara umum perairan Indonesia mengalami kenaikan
paras laut. Kenaikan paras laut dari kedelapan stasiun selama periode dua puluh
tahun mempunyai rata-rata sebesar 10.95 cm dengan nilai tertinggi sebesar 15.75
cm di Laut Banda. Secara umum, fluktuasi paras laut di perairan Indonesia
dipengaruhi oleh fenomena El Niño-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian
Ocean Dipole (IOD).


Kata kunci: dinamika paras laut, satelit, MSLA, AVISO, ENSO, IOD, perairan
Indonesia.

ABSTRACT
SRI HADIANTI. Sea Level Dynamic in Indonesian Waters. Supervised by
BISMAN NABABAN.
Global warming is one of several factors influencing sea level dynamic.
This research was conducted to determine sea level dynamic in Indonesian waters
using Map of Sea Level Anomaly (MSLA) of satellite altimetry data derived from
Archiving, Validation and Interpretation of Satellite Oceanographic (AVISO) data
delayed time from Data Unification and Altimeter Combination System
(DUACS). Satellite altimetry data were extracted from eight stations in
Indonesian offshore for twenty years from 14 October 1992 until 4 April 2012.
The results showeds that in general Indonesian waters experienced a rise in sea
level. The increase of sea level from eight stations in Indonesian waters for the
period of twenty years had an average of 10.95 cm with the highest of 15.75 cm in
Banda Sea. Generally, fluctuations sea level in Indonesian waters were affected by
El Niño-Southern Oscillation (ENSO) and Indian Ocean Dipole (IOD)
phenomena.


Keywords: sea level dynamic, satellite, MSLA, AVISO, ENSO, IOD, Indonesian
waters.

DINAMIKA PARAS LAUT DI PERAIRAN INDONESIA

SRI HADIANTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Judul Skripsi : Dinamika Paras Laut di Perairan Indonesia
Nama
: Sri Hadianti
NIM
: C54080039

Disetujui oleh

Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc.
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr.Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: 27 Juni 2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah dinamika paras laut, dengan judul Dinamika
Paras Laut di Perairan Indonesia. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, masukan, dan bimbingan
dalam penyelesaian skripsi ini, Dr. Ir. Vincentius Siregar, DEA. dan Dr. Henry
Munandar Manik, S.Pi., MT. yang telah memberikan masukan dalam ujian akhir,
Ayi Rahmat, S.Pi., M.Si. sebagai dosen pembimbing akademik, jajaran pegawai,
staff, dan para dosen yang telah membantu penulis selama menjalankan masa
studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, nenek, kakak,
adik, seluruh keluarga dan teman-teman serta semua pihak atas segala doa dan
kasih sayangnya dan juga yang telah membantu dalam penyusunan penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk semua kalangan.

Bogor, Juni 2014
Sri Hadianti

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... viii
PENDAHULUAN ............................................................................................

1

Latar Belakang ..............................................................................................

1

Tujuan Penelitian ..........................................................................................

2

METODE .........................................................................................................

3

Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................................


3

Bahan ............................................................................................................

4

Alat ................................................................................................................

4

Metode Perolehan Data ................................................................................

5

Metode Pengolahan Data ..............................................................................

7

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................


8

Perairan Barat Sumatera, Selatan Jawa, dan Selatan Bali ............................

8

Perairan Laut Natuna dan Utara Jawa ...........................................................

11

Perairan Utara Selat Makassar, Laut Banda, dan Utara Papua .....................

12

SIMPULAN DAN SARAN ..............................................................................

22

Simpulan .......................................................................................................


22

Saran .............................................................................................................

22

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

22

LAMPIRAN ......................................................................................................

25

RIWAYAT HIDUP ...........................................................................................

27

DAFTAR TABEL

1 Nilai maksimum, minimum, dan rata-rata laju MSLA pada delapan
stasiun ........................................................................................................... 15
2 Nilai statistik hasil regresi berganda ............................................................ 16

DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi 8 stasiun penelitian di perairan Indonesia ................................
2 Contoh 9 titik sampling pada 1 stasiun ........................................................
3 Fluktuasi dan kecenderungan anomali paras laut di Indonesia pada barat
Sumatera, selatan Jawa, dan selatan Bali dibandingkan dengan SOI dan
DMI ..............................................................................................................
4 Fluktuasi dan kecenderungan anomali paras laut di Indonesia pada Laut
Natuna dan bagian utara Jawa dibandingkan dengan SOI dan DMI ...........
5 Fluktuasi dan kecenderungan anomali paras laut di Indonesia pada
bagian utara Selat Makassar, Laut Banda, dan Utara Papua
dibandingkan dengan SOI dan DMI ............................................................
6 Pacific Decadal Oceanographic (PDO) index dari bulan Oktober 1992
hingga April 2012 ........................................................................................
7 Keadaan perairan Indonesia pada nilai MSLA minimum ............................
8 Keadaan perairan Indonesia pada nilai MSLA rata-rata ..............................
9 Keadaan perairan Indonesia pada nilai MSLA maksimum ..........................


3
7

9
11

13
16
20
21
21

DAFTAR LAMPIRAN
1 Listing program pemisahan delapan stasiun pada daerah Indonesia ............ 25
2 Data maksimum dan minimum MSLA ........................................................ 26

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemanasan global yang terjadi belakangan ini berpengaruh nyata terhadap
semua segi kehidupan di permukaan bumi termasuk di Indonesia. Menurut
BMKG (2012), iklim yang ada di bumi sangat dipengaruhi oleh keseimbangan
panas yang terjadi di bumi itu sendiri. Aliran panas di bumi dipengaruhi proses
radiasi yang berasal dari matahari. Secara umum perubahan iklim yang terjadi di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh aktifitas manusia dan beberapa unsur alami.
Aktifitas manusia menghasilkan empat macam gas rumah kaca yang utama yaitu :
Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Dinitrogen Oksida (N2O), dan Halocarbon
(kelompok gas yang mengandung Flour, Chlor, dan Brom). Gas-gas ini
terakumulasi di atmosfer sehingga konsentrasinya semakin meningkat dengan
berjalannya waktu. Peningkatan yang signifikan pada semua gas-gas ini terjadi
pada era industri (BMKG 2012).
Hasil pengamatan selama seratus lima puluh tujuh tahun terakhir
menunjukkan bahwa suhu permukaan secara global mengalami peningkatan
sebesar 0.05 oC/dekade, dan selama dua puluh lima tahun terakhir peningkatan
suhu semakin tajam, yaitu sebesar 0.18 oC/dekade (NOAA-ESRL 2007, BMKG
2012). Secara umum kecenderungan suhu paras laut di perairan Indonesia selama
periode delapan belas tahun (Juli 1990 sampai Desember 2008) cenderung
meningkat dengan kecenderungan yang relatif rendah (0.00002 sampai
0.00008). Secara statistik, nilai kecenderungan suhu paras laut di perairan
Indonesia masih tergolong sangat rendah namun bernilai positif karena terjadi
peningkatan nilai suhu. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan pola suhu
paras laut di perairan Indonesia selama dua dekade terakhir ini cenderung
meningkat (Nababan dan Gaol 2010). Kementrian Lingkungan Hidup (2012)
menyatakan bahwa perubahan iklim yang dilihat dari segi rata-rata jangka panjang
temperatur menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan sebesar 0.63 oC
sepanjang dua puluh lima tahun terakhir, tetapi jika dilihat pada kurun waktu lima
puluh dan seratus tahun, kenaikannya hanya sebesar 0.2 oC/abad. Dampak
pemanasan global akan menyebabkan kenaikan suhu paras laut yang kemudian
mengakibatkan terjadinya pemuaian air laut. Pemanasan global juga akan
menyebabkan mencairnya es abadi di pegunungan serta di daerah Greenland dan
Antartika (KLH 2012). Pemuaian air laut dan mencairnya es abadi akan
menyebabkan naiknya paras laut. Selain itu, meningkatnya suhu air secara tidak
langsung akan menambah volume air laut melalui proses pemuaian. IPCC (2007)
memprediksikan bahwa kenaikan rata-rata paras laut akan meningkat antara 9 dan
88 cm pada tahun 1990 hingga tahun 2100, sejalan dengan peningkatan suhu bumi
dengan kisaran antara 1.4 sampai 5.8 oC. Selain itu, IPCC (2007) juga
memperkirakan bahwa pada tahun 2080, kenaikan paras laut bisa mengkonversi
sebanyak 33% dari lahan basah pesisir di dunia menjadi lautan.
Vermeer dan Rahmstorf (2009) menyatakan bahwa secara global, kenaikan
paras laut sekitar 3.1 mm/tahun, sementara rata-rata kenaikan paras laut pada abad
ke-20 hanya 1.7 mm/tahun. Lebih dari sepertiga dari tingkat kenaikan paras laut
diakibatkan oleh mencairnya es baik di Greenland, Antartika maupun es glacier.

2
Beberapa riset terakhir menunjukkan bahwa proses mencairnya es meninggi
seiring dengan makin intensifnya pemanasan global. Apabila proses pemanasan
dan mencairnya es berlangsung seperti pada lima tahun terakhir ini, maka
diprediksi kenaikan tinggi paras laut pada tahun 2100 sebesar 80 cm sampai 180
cm (Vermeer dan Rahmstorf 2009).
Penelitian mengenai perubahan paras laut telah banyak dilakukan dengan
menggunakan data citra satelit (Leben 2003, Nurmaulia et al. 2005, Nababan
2011, Gaol et al. 2012). Berdasarkan perhitungan rata-rata anomali paras laut dan
analisis kecenderungan linier dari data altimetri satelit Topex selama kurun waktu
±10 tahun (Agustus 1992 sampai Juli 2002). Nurmaulia et al. (2005)
menyimpulkan adanya kecenderungan peningkatan paras laut di perairan
Indonesia. Dalam penelitian Nurmaulia et al. (2005) data anomali paras laut
diambil dari data Topex yang aktif pada cycle 001 sampai 364 dengan
menggunakan koordinat batas daerah kajian yaitu sekitar Samudera Hindia, Laut
Jawa, Laut Bangka, Laut Maluku, dan Laut Banda. Perhitungan anomali paras laut
dilakukan terlebih dahulu di setiap titik, kemudian dilakukan perhitungan rata-rata
anomali paras laut dalam satu daerah tertentu per cycle selama sepuluh tahun
(Nurmaulia et al. 2005).
Dalam penelitian ini data anomali paras laut diperoleh dari satelit altimetri
Cryosat-2, OSTM/Jason-2, Jason-2, Topex/Poseidon, Envisat, GFO, ERS-1, ERS2, dan Geosat selama kurun waktu dua puluh tahun dari tahun 1992 sampai 2012.
Pemilihan stasiun (ekstraksi) data satelit altimeter dilakukan di daerah laut lepas
untuk menghindari data error (noise) dari pengaruh daerah pesisir serta data
satelit altimeter pada laut dalam (kedalaman > 1000m) sudah memiliki tingkat
akurasi sampai 5 cm (Legresy dan Remy 1997, Carton dan Chao 1999, Leben et
al. 2002, Leben dan Powel 2003, Yang et al. 2008).
Menurut UNDP (2007) sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari
17,000 pulau dan 80,000 kilometer garis pantai, Indonesia amat rentan terhadap
kenaikan paras laut. Kenaikan satu meter dapat menenggelamkan 405,000 hektar
wilayah pesisir dan menenggelamkan 2,000 pulau yang terletak dekat permukaan
laut beserta kawasan terumbu karang (UNDP 2007). Hal ini berpengaruh terhadap
batas-batas negara, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa minimal 8 dari 92
pulau-pulau kecil terluar yang merupakan perbatasan perairan Indonesia sangat
rentan terhadap kenaikan paras laut (UNDP 2007). Oleh karena itu, penelitian ini
sangat penting untuk dilakukan, kita harus memperhatikan perubahan paras laut
yang terjadi untuk mengetahui bagaimana keadaan pulau-pulau kecil, daerah
pesisir dan dataran rendah di masa yang akan datang, masih akan ada atau
menjadi lautan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui variabilitas paras laut di
perairan Indonesia selama kurun waktu dua puluh tahun serta faktor yang
mempengaruhi variabilitas tersebut.

3

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2012 sampai Februari 2014 di
Laboratorium Inderaja Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor,
sedangakan untuk waktu data yang digunakan yaitu data selama 20 tahun mulai
dari 14 Oktober 1992 hingga 4 April 2012 yang berupa data mingguan. Lokasi
ekstraksi data satelit altimeter untuk penelitian ini diambil dari delapan titik
koordinat stasiun yang berada pada perairan laut lepas di perairan Indonesia
(Gambar 1).

Gambar 1 Peta lokasi 8 stasiun penelitian di perairan Indonesia
Stasiun pengambilan data satelit altimeter berada jauh dari daerah pesisir
untuk menghindari pengaruh daratan terhadap data satelit altimeter. Kedelapan
stasiun tersebut diantaranya stasiun 1 yaitu bagian barat Sumatera dengan
koordinat 0.091oLS dan 97.333oBT, stasiun 2 yaitu bagian selatan Jawa dengan
koordinat 8.724oLS dan 108.333oBT, stasiun 3 yaitu bagian selatan Bali dengan
koordinat 10.039oLS dan 115.333oBT, stasiun 4 yaitu Laut Natuna dengan
koordinat 2.242oLU dan 107.333oBT, stasiun 5 yaitu bagian utara Jawa dengan
koordinat 5.084oLS dan 113oBT, stasiun 6 yaitu bagian utara Selat Makasar
dengan koordinat 1.909oLU dan 120oBT, stasiun 7 yaitu Laut Banda dengan
koordinat 5.416oLS dan 127.333oBT, dan stasiun 8 yaitu bagian utara Papua
dengan koordinat 1.242oLU dan 131.667oBT.

4
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data paras laut satelit
altimeter dari AVISO sistem DUACS jenis Delayed Time rangkaian Ref dengan
tipe data Map of Sea Level Anomaly selama dua puluh tahun dengan format data
mingguan. Archiving, Validation and Interpretation of Satellite Oceanographic
data (AVISO) merupakan sistem pengumpulan data oseanografi dari beberapa
tipe data satelit dan salah satu kumpulan data yang disediakan oleh AVISO ini
adalah sistem Data Unification and Altimeter Combination System (DUACS).
DUACS merupakan bagian dari Centre National D’Etudes Spatiales (CNES)
segmen dasar misi banyak Ssalto multimission ground segment (SSALTO). Data
tersebut merupakan data hasil olahan dari beberapa satelit altimetri diantaranya
Cryosat-2, OSTM/Jason-2, Jason-2, Topex/Poseidon, Envisat, GFO, ERS-1, ERS2, dan Geosat (CNES 2012).
System DUACS dibuat dari tiga komponen yaitu Real Time (RT) data, Near
Real Time (NRT) data dan Delayed Time (DT) data. Pada RT dan NRT, objek
sistem utamanya adalah untuk menyediakan aplikasi cara kerja yang dapat
digunakan secara langsung dari data Altimeter dengan kualitas yang tinggi dari
semua misi yang tersedia. Pada DT, adalah untuk menegaskan ketetapan dan
database Altimeter yang dengan mudah digunakan pengguna menggunakan
bagian dari seni yang direkomendasikan dari komunitas altimetri (CNES 2012).
Komponen Delayed Time dari sistem DUACS bertanggung jawab mengenai
produksi dari hasil proses Criosat-2, Jason-1, Jason-2, Topex/Poseidon, Envisat,
GFO, ERS-1, ERS-2, dan bahkan data Geosat yang dihasilkan untuk menyediakan
data homogen, kalibrasi dalam, dan ketelitian tinggi dalam rangkaian waktu yang
panjang dari data altimeter Sea Level Anomaly (SLA) dan Map of Sea Level
Anomaly (MSLA) (CNES 2012).
Data DT ini dibuat menjadi dua rangkaian, yaitu Updated (Upd) data dan
Reference data (Ref). Rangkaian Upd merupakan data yang sudah diperbaharui
rangkaiannya menggunakan hingga 4 satelit pada waktu tertentu (diambil kedalam
pertimbangan T/P pada orbit barunya dan GFO), menggunakan semua misi yang
tersedia. Rangkaian Ref dibentuk berdasarkan hanya dua misi terbesar yaitu T/P
dan ERS disertai Jason-1 dan Envisat atau OSRM/Jason-2 dan Envisat berurutan,
pada dua orbit yang sama. Data ini homogen pada semua periode data yang
tersedia. Sampling yang dilakukan telah stabil, tetapi mungkin tidak pada kualitas
yang terbaik pada waktu yang diberikan. Penggunaan rangkaian Ref diutamakan
untuk aplikasi yang membutuhkan ke stabilan yang bagus (tetapi masih harus
dipertimbangkan bahwa datanya mungkin tidak pada kualitas yang terbaik)
(CNES 2012). Berdasarkan data AVISO sistem DUACS ini terdapat beberapa tipe
data yang mempunyai karakter masing-masing. Salah satu tipe data tersebut yaitu
Map of Sea Level Anomaly (MSLA) yang akan digunakan dalam penelitian ini
untuk mendapatkan grafik dinamika paras laut di Indonesia.
Alat
Alat yang digunakan selama penelitian untuk pengolahan data adalah
perangkat keras berupa personal computer (PC) atau laptop, modem, dan
perangkat lunak diantaranya Ocean Data View (ODV) 4, Matrix Laboratory

5
(MATLAB) R2010a, Surfer 10, ArcGIS, Minitab 15, Windows Movie Maker 2.6,
Microsoft Excel 2010, dan Microsoft Word 2010.
Metode Perolehan Data
Data Delayed Time dihasilkan dari produk AVISO Geophysical Data
Records (GDR) untuk Topex/Poseidon, Jason-1, dan Envisat (GDR-A: siklus 1
sampai 22/GDR-B: siklus 23 sampai 85/GDR-C: dari siklus 86) dan dari NOAA
GDR untuk GFO dan dari CERSAT (IFREMER) OPR untuk ERS-1 dan ERS-2
(fase C (pertama dari 35 hari terakhir dari ulangan periode orbit), fase E dan F
(fase geodetik), fase G untuk ERS-1 (35 hari terakhir dari ulangan periode orbit,
fase berurutan dua-dua dengan ERS-1)). Data disajikan dalam format NetCDF
data yang dibaca pada Ocean Data View berupa grid data yang terbentuk dari
titik-titik sampling. Data tersebut memiliki resolusi spasial 0.33o x 0.33o dalam
periode mingguan. Data ini di proses melalui beberapa rangkaian yang dapat
dibagi ke dalam tujuh tahap utama seperti akuisisi, homogenasi, kontrol kualitas
data, kalibrasi silang misi banyak, dan generasi produk (CNES 2012). Semua
proses ini dilakukan oleh AVISO.
Akuisisi
Proses akuisisi pada Delayed Data lebih sederhana dibandingkan pada Near
Real Time. Proses ini terdiri dari proses sinkronisasi semua data pelengkap
dibutuhkan homogenisasi yang baik dari data set altimeter. Tahap akuisisi
menggunakan GDRs atau OPRs yang disediakan oleh agensi.
Homogenasi
Proses homogenasi terdiri dari menerapkan koreksi yang paling baru, model
dan referensi yang direkomendasikan dari produk altimeter. Setiap misi diproses
secara terpisah sesuai dengan keperluannya tergantung pada data dasar yang
dimasukkan.
Memasukkan kontrol kualitas data
Pemasukkan kontrol kualitas data merupakan proses yang penting
diterapkan untuk memberi jaminan bahwa DUACS menggunakan hanya data
altimeter yang paling akurat. Proses ini menolak persentasi kecil dari perhitungan
altimeter, tetapi data yang keliru ini dapat menjadi penyebab hilangannya kualitas
yang signifikan. Kontrol kualitas dipercayakan pada standar dasar perbaikan data
dengan label kualitas atau parameter awal, tetapi juga pada algoritma kompleks
perbaikan data berdasarkan pada deteksi dari kekeliruan artefak, mono, dan
validasi persilangan misi banyak, serta statistik makroskopik untuk memperbaiki
aliran keluar data yang besar agar tidak bertemu sistem syarat.
Kalibrasi silang misi banyak
Proses kalibrasi silang misi banyak memastikan bahwa semua aliran dari
semua satelit menyediakan kekonsistenan dan informasi yang akurat. Dilakukan
pembuangan sisa kesalahan orbit, atau panjangnya kesalahan panjang gelombang,
sebaik bias skala besar dan ketidaksesuaian antara berbagai aliran data. Proses ini
mengacu pada dua algoritma yang sangat berbeda yaitu meminimalisasi silang

6
misi banyak global untuk kesalahan reduksi orbit atau Orbit Error Reduction
(OER) dan interpolasi optimal atau Optimal Interpolation (OI) untuk Long
Wavelength Errors (LWE).
Generasi Produk
Proses generasi produk tersusun atas empat tahap, yaitu perhitungan SLA
mentah, validasi silang, filter dan sub-sampling, dan generasi pada produk. Ketika
geoid masih belum dikenal secara baik, Sea Surface Height (SSH) tidak dapat
digunakan secara langsung, bahkan anomali SSH malah digunakan. Mereka
dihitung dari perbedaan SSH instan berdasarkan referensi temporal. Referensi
temporal ini dapat berupa Mean Profile (MP) pada kasus analisis ulangan jalur
atau jaringan Mean Sea Surface (MSS) ketika analisis ulangan jalur tidak dapat
digunakan. Kesalahan yang mempengaruhi data SLA, MP, dan MSS mempunyai
perbedaan jarak dan panjang gelombang.
Perhitungan SLA mentah merupakan tahap awal pada proses ini. Pada
analisis ulangan jalur (ketika satelit terbang diluar ulangan orbit), perhitungan
dilakukan dari sampel ulang sepanjang teoritis jalur dasar (atau jalur tengah)
dihubungkan pada setiap misi. MP dikurangi dari sampling ulang data untuk
menghasilkan SLA. MP merupakan waktu rata-rata dari sampling ulang data yang
serupa selama waktu yang panjang. Perhitungan MP bukan rata-rata yang
sederhana dari lokasi yang bersamaan dengan data SSH dari jalur dasar yang sama
pada periode maksimum dalam waktu yang memungkinkan. Analisis ulangan
jalur tidak memungkinkan bagi ERS-1 pada 168 hari misi geodetik (fase E-F dari
April 1994 hingga Maret 1995) atau untuk Envisat sejak November 2010, dan
untuk misi Cryosat-2 (C2) karena satelitnya tidak berada pada fase jalur ulangan.
Alternatif untuk mengisi kekosongan tersebut yaitu dengan menggunakan MSS.
Jaringan MSS diperoleh sepanjang jalur MP dan data dari fase geodetik. Terdapat
beberapa error pada MP yang juga terdapat pada MSS.
Setelah analisis ulangan jalur, teknik validasi silang digunakan sebagai
proses penyaringan utama terhadap isolasi dan sedikit kesalahan perhitungan.
Aliran SLA dibandingkan terhadap data sebelumnya dan data set SLA yang utama
menggunakan klimatologi selama dua belas tahun dan tiga kriteria sigma untuk
menghilangkan pencilan. Sisa gangguan dan skala signal yang kecil dihilangkan
dengan melakukan penyaringan data menggunakan penyaringan Lanczos. Sebagai
data yang telah disaring dari skala yang kecil, sub sampling telah selesai
diterapkan, kemudian data jalur SLA diproduksi. Harus diingat bahwa
penyaringan dan sub sampling diadaptasi untuk setiap bagian dan produk sebagai
fungsi dari karakteristik area dan asimilasi yang diperlukan.
Penggabungan
Proses penggabungan ini dibagi kedalam 2 bagian, yaitu pemetaan dan
generasi produk. Prosedur pemetaan menggunakan interpolasi yang optimal
dengan fungsi korelasi yang realistik yang diterapkan untuk menghasilkan peta
SLA dan ADT (produk MSLA dan MADT) pada waktu tertentu. Generasi
prosedur untuk satu peta pada setiap misi altimeter tetapi juga peta digabungkan
dengan perhitungan gabungan dari semua misi altimeter yang tersedia.

7
Kontrol Kualitas Akhir
Kontrol kualitas merupakan proses terakhir terhadap DUACS sebelum
produknya dikirim. Disamping itu, untuk kontrol harian otomatis dan peringatan
terhadap operator, setiap produksi dikirim sebagai laporan QC besar terdiri dari
catatan detail, gambar, dan statistik dari setiap tahapan proses. Ahli altimetri
menganalisis laporan ini sebanyak dua kali setiap minggunya. Laporan pendek
dikirim ke pengguna DUACS setiap pengiriman produk. Setelah produk tersebut
selesai dihasilkan, ditampilkan dalam format Network Common Data Form
(NetCDF) yang disajikan di ftp://ftp.aviso.oceanobs.com/ yang dapat di download
secara gratis setelah melakukan registrasi secara online.
Data sekunder lain yang digunakan yaitu data nilai Southern Oscillation
Index (SOI) untuk mengetahui periode terjadinya El-Niño dan La-Niña selama 20
tahun sesuai dengan data AVISO yang telah didapatkan. Data SOI yang
digunakan yaitu data bulanan yang diperoleh dari situs http://www.bom.gov.au/
climate/current/soihtm1.shtml yang telah dikalibrasi berdasarkan perhitungan nilai
mean dan standar deviasi selama periode 1933 sampai dengan 1992. Kemudian
data tambahan lainnya yaitu data nilai Dipole Mode Indeks (DMI) untuk
mengetahui fenomena Dipole Mode di Samudera Hindia diperoleh dari situs
http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod/DATA/dmi.monthly.ascii dengan
format data bulanan.
Metode Pengolahan Data
Tahapan pengolahan data altimeter dilakukan sebagai berikut: (1) Download
data dari situs ftp://ftp.aviso.oceanobs.com/, (2) Pembacaan data NetCDF dengan
menggunakan perangkat lunak Ocean Data View (ODV), (3) Cropping terhadap
koordinat wilayah se Indonesia, (4) Ekspor data dari ODV ke dalam format .txt,
(5) Pemisahan data delapan stasiun menggunakan syntax pada perangkat lunak
MATLAB, (4) Penyusunan data dan grafik masing-masing stasiun di Microsoft
Excel. Gambar 2 menunjukkan gambaran data NetCDF ditampilkan pada ODV
yang terdiri dari beberapa titik sampling yang mengandung nilai anomali paras
laut. Kotak yang berwarna merah merupakan salah satu contoh koordinat stasiun,
yaitu stasiun selatan Bali yang diambil dari kumpulan data 9 titik sampling yang
saling berdekatan.

Gambar 2 Contoh 9 titik sampling pada 1 stasiun

8
Proses pengolahan paras laut dilakukan di Microsoft Excel. Dari sembilan
titik sampling pada masing-masing stasiun tersebut dihasilkan delapan titik
koordinat pada satu stasiun yang mewakili satu data. Dari kesembilan data titik
sampling tersebut diambil rata-ratanya sehingga didapatkan satu data pada satu
stasiun pada waktu tertentu. Data yang telah diperoleh di plotkan kedalam bentuk
grafik pada Excel yang akan menampilkan grafik kecenderungan perubahan paras
laut selama dua puluh tahun yang terjadi pada delapan stasiun di perairan
Indonesia. Proses pengolahan SOI dan DMI dilakukan plotting grafik dari data
bulanan yang telah diperoleh.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Perairan Barat Sumatera, Selatan Jawa, dan Selatan Bali
Pada lokasi stasiun 1 di Sumatera Barat, stasiun 2 di laut Selatan Jawa, dan
stasiun 3 di laut Selatan Bali menunjukkan kenaikan paras laut dengan persamaan
berturut-turut y = 0.0079x - 0.9818, y = 0.0097x – 1.1744, dan y = 0.0099x –
2.0364, nilai y merupakan anomali paras laut dan x merupakan waktu dalam hal
ini mingguan. Berdasarkan selisih nilai paras laut yang dihasilkan dari slope
grafik yang terbentuk pada data awal hingga data akhir dihasilkan kenaikan paras
laut setinggi 8.0264 cm pada stasiun 1, 9.8552 cm pada stasiun 2, dan 10.0584 cm
pada stasiun 3 selama dua puluh tahun.
Gambar 3 menunjukkan kecenderungan dinamika paras laut beberapa
stasiun yang berada di bagian selatan Indonesia yang berhubungan langsung
dengan Samudera Hindia beserta grafik SOI dan DMI. Pada gambar tersebut,
sumbu y mewakili tingginya anomali paras laut dan sumbu x mewakili waktu
dalam periode mingguan, sedangkan komponen yang terdapat dalam grafik SOI
dan DMI yaitu sumbu y1 di sebelah kiri merupakan nilai SOI dengan rentang -40
hingga 40, y2 di sebelah kanan grafik merupakan nilai DMI dengan rentang -2
sampai 3, dan sumbu x yang mewakili waktu dengan periode bulanan. Pada grafik
terlihat fluktuasi paras laut yang dihasilkan dari ketiga stasiun dengan garis
berwarna hijau selama dua puluh tahun, sedangkan garis yang berwarna kuning
merupakan garis linear (slope) dari anomali paras laut selama periode pengamatan
yang merupakan garis kecenderungan (trend) paras laut. Pada grafik SOI dan
DMI, garis biru mewakili nilai SOI, sedangkan garis merah mewakili nilai DMI.
Grafik stasiun 1, 2, dan 3 secara umum memiliki pola yang sama.
Variabilitas yang terjadi secara musiman, terjadi penurunan dan peningkatan
setiap tiga bulan. Secara umum pada satu tahun terjadi dua kali kenaikan dan
penurunan yang signifikan. Pada akhir musim penghujan di awal tahun terjadi
penurunan sekitar bulan Februari, kemudian pada pertengahan musim peralihan
dari musim hujan menuju musim kemarau terjadi kenaikan sekitar bulan Mei.
Lalu pada akhir musim kemarau terjadi penurunan sekitar bulan september,
hingga pada musim penghujan akhir tahun terjadi peningkatan pada bulan
Desember.

11-38

10-38

09-38

08-39

07-39

06-39

05-39

04-39

03-40

02-40

01-40

00-40

99-40

98-40

y = 0.0099x - 2.0364

97-41

Stasiun 3. Selatan Bali

96-41

y = 0.0097x - 1.1842

95-41

Stasiun 2. Selatan Jawa

94-41

40
20
0
-20
-40

y = 0.0079x - 0.9818

93-41

MSLA (cm)

40
20
0
-20
-40

Stasiun 1. Barat Sumatera

92-41

MSLA (cm)

40
20
0
-20
-40

MSLA (cm)

9

Tahun-Minggu ke
40

3
DMI

2
1

0

0

11-10

10-10

09-10

08-10

07-10

06-10

05-10

04-10

03-10

02-10

01-10

00-10

99-10

98-10

97-10

96-10

-2

95-10

-40

94-10

-1
93-10

-20

92-10

SOI

20

DMI

SOI

Tahun-Bulan

Gambar 3 Fluktuasi dan kecenderungan anomali paras laut di Indonesia pada
barat Sumatera, selatan Jawa, dan selatan Bali dibandingkan dengan SOI dan DMI
Jika dibandingkan terhadap grafik SOI dan DMI terjadi fenomena dan
dinamika yang berbanding lurus dengan SOI, sedangkan dengan DMI berbanding
terbalik. Berdasarkan nilai statistik dari hasil regresi berganda didapatkan
persamaan pada sasiun 1, 2, dan 3 berturut turut yaitu MSLA = 3.43 + 0.209 SOI 7.96 DMI; MSLA = 4.24 + 0.387 SOI - 8.83 DMI; MSLA = 3.24 + 0.410 SOI 2.90 DMI. Pada stasiun 1 dihasilkan nilai R2 sebesar 39.9% yang menunjukkan
bahwa nilai anomali paras laut pada stasiun 1 ini dipengaruhi oleh fenomena
ENSO dan Dipole Mode sebesar 39.9%. R2 adalah koefisien determinasi berganda
yang menunjukkan seberapa besar kemampuan semua variabel bebas dalam
menjelaskan varians dari variabel terikatnya. Hal tersebut menjelaskan bahwa jika
nilai R2 tidak mencapai 100% berarti variabel terikat yang dihasilkan tidak
sepenuhnya dipengaruhi oleh variabel bebas yang telah ditentukan dalam regresi
linear berganda tersebut, yang berarti juga ada variabel bebas lain yang ikut andil
dalam mempengaruhi nilai variabel terikat tersebut. Untuk pengaruh dari SOI

10
sendiri yaitu sebesar 17.7% dengan persamaan regresi MSLA = 3.08 + 0.313 SOI ,
sedangkan untuk pengaruh DMI sebesar 32,6% dengan persamaan regresi MSLA
= 3.47 - 9.25 DMI. Berdasarkan nilai regresi dari SOI dan DMI terlihat bahwa
pada stasiun 1 ini nilai dari DMI lebih berpengaruh banyak dibandingkan dengan
nilai SOI.
Pada stasiun 2 dihasilkan nilai R2 sebesar 39.5% yang menunjukkan bahwa
nilai anomali paras laut pada stasiun 2 ini dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan
Dipole Mode sebesar 39.5%. Untuk pengaruh dari SOI sendiri yaitu sebesar
24.7% dengan persamaan regresi MSLA = 3.86 + 0.502 SOI, sedangkan untuk
pengaruh DMI sebesar 26% dengan persamaan regresi MSLA = 4.32 - 11.2 DMI.
Pengaruh SOI dan DMI pada stasiun ini memiliki andil yang hampir sama. Pada
stasiun 3 dihasilkan nilai R2 sebesar 29.7% yang menunjukkan bahwa nilai
anomali paras laut pada stasiun 3 ini dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan
Dipole Mode sebesar 29.7%. Untuk pengaruh dari SOI sendiri yaitu sebesar
27.4% dengan persamaan regresi MSLA = 3.12 + 0.447 SOI, sedangkan untuk
pengaruh DMI sebesar 8.5% dengan persamaan regresi MSLA = 3.33 - 5.42 DMI.
Berdasarkan nilai regresi dari SOI dan DMI terlihat bahwa pada stasiun 3 ini nilai
dari SOI lebih berpengaruh banyak dibandingkan dengan nilai DMI, yang berarti
berbanding terbalik dengan stasiun 1.
Nilai terendah yang dihasilkan pada ketiga stasiun ini yaitu terjadi pada
tahun antara akhir 1997 hingga awal 1998, sesuai dengan terjadinya nilai SOI
yang terendah. Terjadi penurunan penurunan pada akhir tahun 1994 hingga awal
tahun 1995, tahun 2007 awal, tahun 2010 awal dan tahun 2011 akhir. Tetapi
penurunan yang terjadi pada tahun-tahun tersebut tidak terlalu ekstrim.
Berdasarkan grafik SOI pada tahun 1994 hingga awal tahun 1995 memang terjadi
El Niño, tetapi tidak terlalu tinggi. Peristiwa El Niño yang telah menyebabkan
penurunan drastis tersebut, menyebabkan terjadinya fenomena naiknya paras laut
yang cukup tinggi saat periode El Niño tersebut habis. Hingga Juni 1998,
termoklin menjadi sangat dangkal di pasifik tengah, hingga menghasilkan kondisi
yang baik untuk dimulainya La Niña. Selama fase awal La Niña (Januari 1998),
termoklin di ekuator di Pasifik Barat semakin dalam. Pada fase La Niña ini paras
laut lebih tinggi dari keadaan biasanya, karena dipengaruhi oleh curah hujan yang
lebih tinggi juga. Kenaikan yang sangat drastis pada tahun 2011 akibat adanya La
Niña yang langsung diikuti oleh fenomena El Niño pada tahun 2011 akhir yang
menyebabkan penurunan nilai secara drastis pula.
Berdasarkan siklus Dipole Mode pada bulan Mei hingga Juni terjadi
anomali angin tenggara yang lemah disekitar ketiga stasiun ini. Selanjutnya pada
bulan Juli hingga Agustus, anomali negatif suhu paras laut tersebut terus menguat
dan semakin meluas sampai ke ekuator hingga pantai barat Sumatera, sementara
itu anomali positif suhu paras laut mulai muncul di Samudera Hindia bagian barat.
Perbedaan tekanan diantara keduanya semakin memperkuat angin tenggara di
sepanjang equator dan pantai barat Sumatera. Siklus ini mencapai puncaknya
pada bulan oktober dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan
November hingga Desember.

11
Perairan Laut Natuna dan Utara Jawa

11-38

10-38

09-38

08-39

07-39

06-39

05-39

04-39

03-40

02-40

01-40

00-40

99-40

98-40

97-41

96-41

y = 0.0111x - 2.0395

95-41

Stasiun 5. Utara Jawa

94-41

y = 0.0069x - 0.8643

93-41

40
20
0
-20
-40

Stasiun 4. Laut Natuna

92-41

MSLA (cm)

40
20
0
-20
-40

MSLA (cm)

Pada stasiun 4 di Laut Natuna dan stasiun 2 di bagian utara Jawa terlihat
juga adanya kecenderungan kenaikan paras laut dengan persamaan berturut-turut
y = 0.0069x - 0.8643 dan y = 0.0111x – 2.0395 (y merupakan anomali paras laut
dan x merupakan waktu dalam mingguan). Berdasarkan selisih nilai paras laut
yang dihasilkan dari slope grafik yang terbentuk pada data awal hingga data akhir
dihasilkan kenaikan paras laut setinggi 7.0104 cm pada stasiun 4 dan 11.2776 cm
pada stasiun 5 selama dua puluh tahun. Selisih nilai paras laut yang dihasilkan di
Laut Natuna merupakan selisih terendah diantara selisih nilai stasiun yang lain
yang berarti kenaikan paras laut yang dialami di daerah Laut Natuna merupakan
kenaikan yang paling rendah. Variabilitas yang terjadi secara musiman, terjadi
penurunan dan peningkatan setiap enam bulan. Secara umum pada satu tahun
terjadi satu kali kenaikan dan penurunan yang signifikan. Penurunan terjadi pada
musim kemarau pada bulan Agustus, sedangkan kenaikan terjadi pada bulan
Desember.
Gambar 4 menunjukkan kecenderungan dinamika paras laut di Laut
Natuna dan bagian utara Jawa beserta grafik SOI dan DMI. Garis berwarna coklat
merupakan fluktuasi yang terbentuk dari nilai anomali paras laut yang dihasilkan
selama dua puluh tahun, sedangkan garis yang berwarna jingga merupakan garis
linear (trend) dari anomali paras laut.

Tahun-Minggu
40

3
DMI

2
1

0

0

11-10

10-10

09-10

08-10

07-10

06-10

05-10

04-10

03-10

02-10

01-10

00-10

99-10

98-10

97-10

96-10

-2

95-10

-40

94-10

-1
93-10

-20

92-10

SOI

20

DMI

SOI

Tahun-Bulan

Gambar 4 Fluktuasi dan kecenderungan anomali paras laut di Indonesia pada
Laut Natuna dan bagian utara Jawa dibandingkan dengan SOI dan DMI

12
Keadaan fluktuasi di stasiun Laut Natuna yang terlihat teratur ini bukan
berarti bahwa Laut Natuna tidak dipengaruhi oleh pengaruh El Niño maupun La
Niña. Hal ini bisa disebabkan karena pengambilan titik stasiun di sekitar laut ini
berdekatan dengan pantai, sehingga data altimetri yang digunakan tidak terlalu
tepat karena data altimetri seharusnya diambil pada laut dalam yang sudah tidak
dipengaruhi oleh data error (noise) dari pengaruh daerah pesisir (Legresy dan
Remy 1997, Carton dan Chao 1999, Leben et al. 2002, Leben dan Powel 2003,
Yang et al. 2008). Dinamika yang terjadi pada stasiun Utara Jawa terlihat bahwa
terjadi kenaikan paras laut yang cukup tinggi pada periode pertengahan tahun
2009, akhir tahun 2010, dan awal tahun 2012. Terjadinya kenaikan paras laut yang
cukup drastis tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh La Niña. Saat fenomena La
Niña terjadi, air yang dibawa turun ke daerah ini dari samudera pasifik menjadi
meningkat, curah hujan juga meningkat, sehingga paras laut mengalami kenaikan
lebih tinggi dari biasanya.
Berdasarkan nilai statistik dari hasil regresi berganda didapatkan
persamaan pada sasiun 4 dan 5 berturut turut yaitu MSLA = 2.76 + 0.256 SOI 0.54 DMI dan MSLA = 3.79 + 0.330 SOI - 2.07 DMI. Pada stasiun 4 dihasilkan
nilai R2 sebesar 9.5% yang menunjukkan bahwa nilai anomali paras laut pada
stasiun 4 ini dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan Dipole Mode sebesar 9.5%.
Untuk pengaruh dari SOI sendiri yaitu sebesar 9.4% dengan persamaan regresi
MSLA = 2.73 + 0.263 SOI, sedangkan untuk pengaruh DMI sebesar 1.3% dengan
persamaan regresi MSLA = 2.81 - 2.12 DMI. Berdasarkan nilai regresi dari SOI
dan DMI terlihat bahwa pada stasiun 4 ini nilai dari SOI lebih berpengaruh
dibandingkan dengan nilai DMI walaupun kedunya tidak terlalu berpengaruh
banyak terhadap nilai anomali paras laut yang dihasilkan. Pada stasiun 5
dihasilkan nilai R2 sebesar 29.8% yang menunjukkan bahwa nilai anomali paras
laut pada stasiun 5 ini dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan Dipole Mode
sebesar 29.8%. Untuk pengaruh dari SOI sendiri yaitu sebesar 28% dengan
persamaan regresi MSLA = 3.70 + 0.357 SOI, sedangkan untuk pengaruh DMI
sebesar 7.8% dengan persamaan regresi MSLA = 3.86 - 4.10 DMI. Pengaruh SOI
dan DMI pada stasiun ini juga lebih besar pengarui SOI dibanding pengaruh DMI,
sama seperti pada stasiun Laut Natuna.
Perairan Utara Selat Makassar, Laut Banda, dan Utara Papua
Stasiun 6 di bagian utara Selat Makassar, stasiun 7 di Laut Banda, dan
stasiun 8 di bagian utara Papua yang menunjukkan kenaikan paras laut dengan
persamaan berturut-turut y = 0.013x – 2.2435, y = 0.0155x - 3.3936, dan y =
0.015x – 3.1485 (y merupakan anomali paras laut dan x merupakan waktu dalam
mingguan). Berdasarkan selisih nilai paras laut yang dihasilkan dari slope grafik
yang terbentuk pada data awal hingga data akhir dihasilkan kenaikan paras laut
setinggi 13.208 cm pada stasiun 6, 15.748 cm pada stasiun 7, dan 15.24 cm pada
stasiun 8 selama dua puluh tahun. Selisih yang dihasilkan pada stasiun Laut
Banda merupakan selisih tertinggi diantara selisih nilai stasiun yang lain, itu
artinya, kenaikan paras laut yang dialami oleh daerah Laut Banda ini merupakan
kenaikan yang paling tinggi. Keadaan ini sangat berbahaya bagi lingkungan Laut
Banda, karena sekitar Laut Banda ini terdapat pulau-pulau kecil yang dapat
terancam keberadaannya apabila terjadi kenaikan paras laut yang terus meningkat.

13

11-38

10-38

09-38

08-39

07-39

06-39

05-39

04-39

03-40

02-40

01-40

00-40

99-40

98-40

y = 0.015x - 3.1485

97-41

Stasiun 8. Utara Papua

96-41

y = 0.0155x - 3.3936

95-41

Stasiun 7. Laut Banda

94-41

30
20
10
0
-10
-20
-30

y = 0.013x - 2.2435

93-41

MSLA (cm)

40
20
0
-20
-40

Stasiun 6. Utara Selat Makassar

92-41

MSLA (cm)

40
20
0
-20
-40

MSLA (cm)

Hal tersebut dapat menyebabkan hilangnya atau tenggelamnya pulau-pulau kecil
yang berada disekitarnya. Variabilitas yang terjadi pada stasiun utara Selat
Makassar dan utara Papua terjadi secara bulanan, setiap tiga bulannya terjadi dua
kali kenaikan dan penurunan. Pada stasiun Laut Banda variabilitas yang terjadi
yaitu secara musiman, dan secara garis besar pada satu tahun terjadi satu kali
penurunan dan kenaikan, penurunan yang terjadi sekitar bulan Juli atau
pertengahan musim kemarau, sedangkan kenaikan terjadi pada musim peralihan
dari musim hujan ke musim kemarau, antara bulan Maret dan April.

Tahun-Minggu
40

3
DMI

2
1

0

0

11-10

10-10

09-10

08-10

07-10

06-10

05-10

04-10

03-10

02-10

01-10

00-10

99-10

98-10

97-10

96-10

-2

95-10

-40

94-10

-1
93-10

-20

92-10

SOI

20

DMI

SOI

Tahun-Bulan

Gambar 5 Fluktuasi dan kecenderungan anomali paras laut di Indonesia pada
bagian utara Selat Makassar, Laut Banda, dan Utara Papua dibandingkan dengan
SOI dan DMI
Gambar 5 menunjukkan perbandingan grafik beberapa stasiun di bagian
timur Indonesia dengan grafik SOI dan DMI. Garis berwarna ungu merupakan
garis yang terbentuk dari nilai anomali paras laut yang dihasilkan selama dua
puluh tahun, sedangkan garis yang berwarna hijau merupakan garis linear dari
anomali paras laut. Jika dilihat dari tiga tipe grafik yang dihasilkan, ketiga pola

14
grafiknya berbeda-beda. Dinamika yang terjadi pada stasiun Selat Utara Makassar
strait ini tidak terlalu berfluktuatif, melainkan terlihat sekali anomali dari
dinamika paras laut yang mengalami penurunan drastis dan juga kenaikan yang
drastis.
Paras laut mengalami peningkatan sangat drastis juga yang terjadi pada
2010 akhir. Terjadinya kenaikan paras laut yang cukup drastis dalam kurun waktu
cukup lama tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh La Niña. Saat fenomena La
Niña terjadi mengakibatkan menguatnya angin timuran yang membuat air
terakumulasi di sepanjang Pasifik barat, menyebabkan melambatnya pembentukan
kembali kolam panas. Seiring dengan semakin intensif dan meluasnya kolam
panas, termoklin juga semakin dalam. Proses ini terus berlangsung hingga
terbentuk kondisi yang menguntungkan untuk berkembangnya El Niño
(Santriyani dan Octarina 2011). Transisi ini jauh lebih lambat, hingga memakan
waktu sekitar satu sampai dua tahun, yang bisa kita lihat secara langsung bahwa
El Niño yang terjadi pada stasiun ini berlangsung 1 tahun setelah La Niña terjadi.
Dinamika yang terjadi di stasiun 7 teratur walaupun rentang nilai antara fluktuasi
dari naik hingga turun cukup jauh. Untuk dinamika yang terjadi pada stasiun utara
Papua berfluktuatif secara tidak teratur. Terdapat banyak penurunan yang cukup
tajam. Selain di tahun 1998, penurunan yang mencolok yaitu pada tahun 2003,
tahun 2010 awal dan 2011 akhir. Jika dibandingkan dengan grafik SOI dan DMI,
ketiga grafik stasiun tersebut tidak ada yang mempunyai pola serupa, walaupun
pada stasiun utara Papua terlihat agak berbanding lurus dengan grafik SOI yang
ditampilkan.
Berdasarkan nilai statistik dari hasil regresi berganda didapatkan persamaan
pada sasiun 6, 7, dan 8 berturut turut yaitu MSLA = 4.48 + 0.393 SOI - 1.02 DMI;
MSLA = 4.60 + 0.509 SOI - 0.96 DMI; MSLA = 4.58 + 0.476 SOI - 0.673 DMI.
Pada stasiun 6 dihasilkan nilai R2 sebesar 42.9% yang menunjukkan bahwa nilai
anomali paras laut pada stasiun 1 ini dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan
Dipole Mode sebesar 42.9%. Untuk pengaruh dari SOI sendiri yaitu sebesar
42.47% dengan persamaan regresi MSLA = 4.43 + 0.406 SOI, sedangkan untuk
pengaruh DMI sebesar 6.4% dengan persamaan regresi MSLA = 4.56 - 3.44 DMI.
Berdasarkan nilai regresi dari SOI dan DMI terlihat bahwa pada stasiun 6 ini nilai
dari SOI lebih berpengaruh banyak dibandingkan dengan nilai DMI.
Pada stasiun 7 dihasilkan nilai R2 sebesar 36.5% yang menunjukkan
bahwa nilai anomali paras laut pada stasiun 7 ini dipengaruhi oleh fenomena
ENSO dan Dipole Mode sebesar 36.5%. Untuk pengaruh dari SOI sendiri yaitu
sebesar 36.3% dengan persamaan regresi MSLA = 4.56 + 0.522 SOI, sedangkan
untuk pengaruh DMI sebesar 4.7% dengan persamaan regresi MSLA = 4.71 - 4.10
DMI. Pada stasiun ini juga lebih berpengaruh fenomena ENSO dibanding dengan
Dipole Mode. Pada stasiun 8 dihasilkan nilai R2 sebesar 46.3% yang menunjukkan
bahwa nilai anomali paras laut pada stasiun 8 ini dipengaruhi oleh fenomena
ENSO dan Dipole Mode sebesar 46.3%. Untuk pengaruh dari SOI sendiri yaitu
sebesar 46.1% dengan persamaan regresi MSLA = 4.55 + 0.484 SOI, sedangkan
untuk pengaruh DMI sebesar 5.4% dengan persamaan regresi MSLA = 4.68 - 3.61
DMI. Berdasarkan nilai regresi dari SOI dan DMI terlihat bahwa pada stasiun 8
ini nilai dari SOI lebih berpengaruh banyak dibandingkan dengan nilai DMI
seperti yang terjadi pada stasiun 6 dan 7.

15
Dinamika paras laut di Indonesia ditampilkan dalam delapan grafik
kecenderungan dari delapan titik stasiun yang ada di Indonesia. Delapan grafik
tersebut menampilkan bahwa semua daerah di Indonesia pada umumnya
mengalami kenaikan paras laut. Kenaikan yang terjadi selama dua puluh tahun ini
memang tidak terlalu signifikan, yaitu rata-rata kenaikan paras laut dari delapan
stasiun yaitu 10.95 cm yang diambil dari delapan data kenaikan paras laut dari
masing-masing stasiun. Walaupun jika dilihat dari nilainya, nilai tersebut
merupakan nilai yang sangat kecil, tetapi nilai tersebut merupakan nilai rata-rata
dan bisa saja terjadi kenaikan paras laut yang cukup tinggi dan menyebabkan
banjir rob ke daratan saat terjadi kenaikan paras laut di titik yang maksimal.
Berdasarkan data MSLA dari delapan stasiun tersebut didapatkan nilai
kenaikan paras laut selama dua puluh tahun yang tertinggi yaitu 15.75 cm di
stasiun Laut Banda yang dihitung berdasarkan slope yang dihasilkan dari grafik,
selisih antara nilai y pada akhir pengukuran dengan nilai y pada awal pengukuran.
Nilai kenaikan paras laut yang terendah terjadi di stasiun Laut Natuna. Dari grafik
kecenderungan tersebut dapat diketahui slope kenaikan paras laut yang dapat
dijadikan bahan acuan untuk prediksi beberapa tahun ke depan.
Laju paras laut pada setiap stasiun di seluruh Indonesia berdasarkan nilai
maksimum, minimum dan rata-ratanya menunjukkan perbedaan yang cukup
signifikan, ditunjukkan oleh Tabel 1. Nilai paras laut maksimum yang tertinggi
terjadi di stasiun selatan Jawa dengan nilai 46.29 cm. Nilai paras laut minimum
yang terendah terjadi di stasiun barat Sumatera dengan nilai -31.99 cm. Nilai ratarata yang dihasilkan memiliki rentang antara 2.66 cm sampai 4.51 cm. Nilai ratarata tersebut dihasilkan dari nilai rata-rata selama dua puluh tahun masing-masing
stasiun dari nilai anomali paras laut pada 9 titik sampling yang telah dirata-ratakan
dengan menggunakan Microsoft Excel 2010. Selama periode dua puluh tahun
terlihat bahwa fluktuasi yang terjadi sangatlah besar, rentang yang dihasilkan
antara nilai minimum dan maksimum cukup besar dengan nilai rata-rata yang jauh
dari kedua nilai tersebut.
Tabel 1 Nilai maksimum, minimum, dan rata-rata laju MSLA pada delapan
stasiun
Stasiun Maksimum Minimum Rata-rata
1
30,70
-31,99
3,03
2
46,29
-31,16
3,77
3
36,35
-21,41
3,02
4
33,22
-17,48
3,61
5
30,87
-21,32
4,48
6
35,30
-19,92
2,66
7
29,81
-17,19
4,38
8
24,27
-20,48
4,51
Tabel 2 merupakan nilai statistik dari hasil regresi berganda. Nilai koefisien
determinan atau R2 terendah berada pada stasiun 4 yaitu laut Natuna, seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada laut natuna ini data satelit yang
dihasilkan belum dapat dipastikan kevalidannya, sehingga pengaruh dari SOI dan
DMI bukan berarti memiliki pengaruh yang sangat kecil. Nilai SOI dan DMI yang

16
paling berpengaruh terjadi di stasiun 8, yaitu bagian Utara Papua. Hal tersebut
dapat dikarenakan stasiun ini berada paling dekat dengan Samudera Pasifik,
sehingga fenomena El Niño dan La Niña berpengaruh lebih kuat pada stasiun ini,
walaupun pengaruh dari DMInya rendah. Pengaruh DMI yang paling tinggi terjadi
di stasiun 1, bagian barat Sumatera. Hal ini juga dapat disebabkan karena stasiun
barat Sumatera ini merupakan stasiun yang paling dekat dengan Samudera Hindia,
sehingga pengaruh dari fenomena Dipole Mode lebih besar.
Tabel 2 Nilai statistik hasil regresi berganda
Stasiun Maksimum Minimum Rata-rata
39.9
17.7
32.6
1
39.5
24.7
26
2
29.7
27.4
8.5
3
9.5
9.4
1.3
4
29.8
28
7.8
5
42.9
42.47
6.4
6
36.5
36.3
4.7
7
46.3
46.1
5.4
8
Dari data statistik yang dihasilkan, pengaruh dari SOI dan DMI ini tidak ada
yang men