SEBARAN DAERAH PENANGKAPAN TUNA

SEBARAN DAERAH PENANGKAPAN TUNA DI PERAIRAN LAUT BANDA
Oleh :
AYU ADHITA DAMAYANTI/C451070051
BUDI NUGRAHA/C451070071
PENDAHULUAN
Tuna merupakan sumberdaya ikan yang mempunyai nilai ekonomis penting.
Perikanan tuna di Indonesia berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah unit
penangkapan tuna. Kenaikan rata-rata unit penangkapan tuna secara keseluruhan dari
tahun 1991 sampai tahun 2001 meningkat sebesar 10,25 %, dengan rata-rata peningkatan
produksi tuna sebesar 8,4 % (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2003). Pada tahun
2002 tuna dalam bentuk segar dan beku sekitar 18.011,5 ton dari Bali dan 17.471 ton dari
Muara Baru diekspor ke negara-negara lain seperti Jepang, Malaysia, Jerman, dan
sebagainya (Proctor et al., 2003).
Potensi sumberdaya ikan pelagis besar, terutama tuna, di Laut Banda pada tahun
2001 sebesar 104.120 ton, sedangkan tingkat pemanfaatannya baru sekitar 27,95 % (Pusat
Riset Perikanan Tangkap, 2001). Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi tuna di Laut
Banda masih memungkinkan untuk dikembangkan dan dimanfaatkan semaksimal
mungkin.
Pemanfaatan sumberdaya tuna di berbagai wilayah perairan Indonesia tidak merata.
Di beberapa wilayah perairan masih terbuka peluang besar untuk pengembangan
pemanfaatannya, sedangkan di beberapa wilayah yang lain sudah mencapai padat tangkap

(fully exploited), bahkan lebih tangkap (over fishing).
Masalah utama yang dihadapi dalam upaya optimalisasi hasil tangkapan ikan,
khususnya tuna adalah sangat terbatasnya data dan informasi mengenai kondisi oseanografi
dan daerah penangkapan yang potensial.

Armada penangkap ikan berangkat dari

pangkalan selalu mencari daerah penangkapan ikan dengan ketidakpastian tentang daerah
penangkapan yang potensial.

Sehingga, akibat ketidakpastian daerah penangkapan

tersebut, kapal penangkap banyak menghabiskan waktu dan bahan bakar untuk mencari
daerah penangkapan tersebut. Oleh karena itu, informasi mengenai daerah penangkapan
atau penyebaran tuna baik secara horisontal maupun vertikal sangat diperlukan guna
menunjang keberhasilan operasi penangkapan tuna.

Sumber : www.dkp.go.id

Gambar 1. Peta sebaran tuna di Indonesia

SUMBERDAYA TUNA
Tuna merupakan anggota dari famili Scombridae. Ada beberapa jenis tuna
exportable yang tertangkap dari perairan Indonesia, diantaranya adalah madidihang atau
yellowfin tuna (Thunnus albacares), tuna mata besar atau bigeye tuna (Thunnus obesus),
albakora atau albacore (Thunnus alalunga) dan tuna sirip biru selatan atau southern
bluefin tuna (Thunnus maccoyi) (Gambar 2).
Tuna adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol (schooling) sewaktu
mencari makan. Kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 km/jam. Kemampuan renang
ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala
ruang (wilayah geografis) yang cukup luas, termasuk diantaranya beberapa spesies yang
dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera. Pengetahuan mengenai penyebaran tuna
sangat penting artinya bagi usaha penangkapannya.
Jenis tuna menyebar luas di seluruh perairan tropis dan subtropis. Penyebaran jenisjenis tuna tidak dipengaruhi oleh perbedaan garis bujur (longitude) tetapi dipengaruhi oleh
perbedaan garis lintang (latitude) (Nakamura, 1969). Di Samudera Hindia dan Samudera
Atlantik menyebar di antara 40ºLU dan 40ºLS (FAO, 1983). Khususnya di Indonesia, tuna
hampir didapatkan menyebar di seluruh perairan di Indonesia. Di Indonesia bagian barat
meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai utara dan timur Aceh, pantai barat Sumatera,
selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Di Perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut
Banda, Flores, Halmahera, Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah utara Irian Jaya
dan Selat Makasar.


Distribusi tuna di laut sangat ditentukan oleh berbagai faktor, baik faktor internal
dari ikan itu sendiri maupun faktor eksternal dari lingkungan. Faktor internal meliputi
jenis (genetis), umur dan ukuran, serta tingkah laku (behaviour). Perbedaan genetis ini
menyebabkan perbedaan dalam morfologi, respon fisiologis dan daya adaptasi terhadap
lingkungan. Faktor eksternal merupakan faktor lingkungan, diantara adalah parameter
oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan kedalaman lapisan thermoklin, arus dan
sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan.
Penyebaran vertikal tuna di perairan tropis sangat dipengaruhi oleh lapisan
termoklin.

Tuna menyebar sampai ratusan meter di bawah permukaan air laut.

Berdasarkan deteksi gema, ikan tuna banyak terdapat pada kedalaman 100 – 200 m dengan
kedalaman renang 20 – 200 m (Nishimura, 1964 diacu dalam Suharto, 1995). Kedalaman
renang tuna bervariasi tergantung jenisnya. Umumnya tuna dapat tertangkap di kedalaman
0 – 400 m. Salinitas perairan yang disukai berkisar 32 – 35 ppt atau di perairan oseanik.
Suhu perairan berkisar 17 – 310C.
Madidihang tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Panjang madidihang
bisa mencapai lebih dari 2 m. Jenis tuna ini menyebar di perairan dengan suhu yang

berkisar antara 17 – 310C dengan suhu optimum yang berkisar antara 19 – 23 0C,
sedangkan suhu yang baik untuk kegiatan penangkapan berkisar antara 20 – 28 0C (Uda,
1952 diacu dalam Laevastu and Hela, 1970).
Tuna mata besar menyebar dari Samudera Pasifik melalui perairan di antara pulaupulau di Indonesia sampai ke Samudera Hindia. Ikan ini terutama ditemukan di perairan
sebelah selatan Jawa, sebelah barat daya Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Laut
Banda dan Laut Maluku. Menurut Uda (1952) diacu dalam Laevastu and Hela (1970), tuna
mata besar merupakan jenis yang memiliki toleransi suhu yang paling besar, yaitu berkisar
antara 11 – 280C dengan kisaran suhu penangkapan antara 18 – 230C.
Sebaran tuna albakora sangat dipengaruhi oleh suhu. Jenis ini menyenangi suhu
yang relatif lebih rendah. Albakora juga memiliki ukuran yang relatif lebih kecil
dibandingkan dua jenis tuna di atas.
Tuna sirip biru selatan didapatkan menyebar hanya di belahan bumi selatan. Oleh
karena itu jenis ini sering disebut sebagai southern bluefin tuna. Ikan ini tidak terlalu
banyak tertangkap oleh nelayan Indonesia.

Tabel 1. Habitat dan penyebaran horisontal dan vertikal beberapa jenis tuna
Jenis ikan
Thunnus alalunga
(Albacore)
Thunnus albacares

(Yellowfin tuna)
Thunnus atlanticus
(Blackfin tuna)
Thunnus maccoyii
(Southern bluefin tuna)
Thunnus obesus
(Bigeye tuna)
Thunnus thynnus
(Nothern bluefin
tuna)
Thunnus tonggol
(Longtail tuna)

Swimming layer
(m)
>380
200
0 - 250

Habitat

epipelagis
mesopelegis
oseanis
epipelagis
oseanis
epipelagis
oseanis
epipelagis
oseanis
epipelagis
mesopelagis
oseanis

Batas kisaran
suhu air ( 0C)

Distribusi
geografis

15,6 - 25,2


45 0 – 50 0LU
30 0 – 40 0LS

18 - 31
≥ 20

Perairan Tropis
Subtropis
Samudera Atlantik
Barat

5 - 30

>30 0LS

13 - 29

Perairan Tropis
Subtropis


Tidak terbatas

epipelagis
oseanis

Batas toleransi
tinggi

Samudera Atlantik
Samudera Pasifik

-

epipelagis

-

Samudera Pasifik
Barat


Sumber : FAO (1983)

Albakora

Madidihang

Tuna Mata Besar

Tuna Sirip Biru Selatan

Sumber : www.fishbase.com

Gambar 2. Jenis-jenis ikan tuna.
KEADAAN UMUM PERAIRAN LAUT BANDA
Laut Banda merupakan kawasan perairan Indonesia Timur yang termasuk ke dalam
perairan Samudera Pasifik Barat dan berbatasan dengan Samudera Hindia.

Secara


topografi kedalaman kawasan perairan Indonesia Timur lebih dari 2.000 m bahkan di

beberapa tempat mencapai 5.000 – 6.000 m (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap,
2001).
Menurut Wyrtki (1958) seperti diacu dalam Suharsono (2003) di perairan Laut
Banda pada musim timur yaitu antara bulan April sampai September terjadi upwelling dan
pada musim barat yaitu antara bulan Oktober sampai Maret terjadi downwelling. Pada
musim timur angin bertiup dari timur menuju barat, sehingga menyebabkan arus
permukaan mengalir dari Laut Banda menuju Laut Flores dan Laut Jawa.

Hal ini

menimbulkan pergerakan massa air dari lapisan bawah yang bersuhu lebih dingin ke atas
sehingga terjadilah upwelling. Pada musim barat terjadi sebaliknya, angin bertiup dari
barat ke timur dan menyebabkan arus permukaan bergerak dari Laut Jawa, Laut Sulawesi
dan Laut Flores menuju ke Laut Banda sehingga menyebabkan terjadinya penumpukan
massa air yang besar dan kemudian tenggelam (downwelling).
Upwelling ditandai dengan penurunan suhu, kenaikan oksigen, zat hara nitrat, dan
fosfat (Rochford, 1962 diacu dalam Suharsono, 2003). Terjadinya penurunan suhu pada
saat upwelling diperkuat oleh pengamatan variasi suhu musiman yang dilakukan di Banda

Timur yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan suhu sebesar 2 – 6 0C pada bulan Juni –
September dan suhu maksimum terjadi pada bulan November (Boely et al., 1990 diacu
dalam Suharsono, 2003).

Meningkatnya oksigen dan nutrien pada musim timur ini

menyebabkan terjadinya peningkatan produktivitas primer dan jumlah plankton hingga 2 –
3 kali apabila dibandingkan dengan musim barat (Arinardi, 1999 diacu dalam Suharsono,
2003). Peningkatan jumlah biomassa plankton tersebut secara tidak langsung memberi
pengaruh pada meningkatnya produksi ikan pelagis besar. Pada saat terjadinya upwelling
produksi ikan pelagis meningkat sebesar 4 – 5 kali apabila dibandingkan dengan musim
barat. Sehingga hasil tangkapan ikan tuna nelayan Kepulauan Banda meningkat pada
musim timur dan mencapai puncaknya pada awal musim barat yaitu antara bulan Oktober
– November (Amin dan Nugroho, 1990 diacu dalam Suharsono, 2003).
Potensi lestari tuna besar di Laut Banda pada tahun 1997 berdasarkan sumber dari
Komisi Nasional Pengkajian Stok (1998) yaitu sebagai berikut : madidihang sebesar
13.723 ton dengan hook rate 1,52; tuna mata besar sebesar 7.294 ton dengan hook rate
0,664; dan albakora sebesar 150 ton dengan hook rate 0,03. Dari ketiga jenis tuna besar
tersebut tingkat pemanfaatannya tercatat baru sebesar 29,5 % (Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, 2001).

DAERAH PENANGKAPAN TUNA (TUNA FISHING GROUND)
Pengertian daerah penangkapan (fishing ground) adalah suatu perairan tempat ikan
yang menjadi sasaran.

Menurut Gunarso (1998), beberapa daerah di Indonesia yang

merupakan daerah penangkapan ikan tuna antara lain adalah Laut Banda, Laut Maluku dan
perairan selatan Jawa terus menuju timur.

Begitu pula di perairan selatan dan barat

Sumatera serta perairan lainnya.
Daerah penangkapan yang potensial sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu
operasi penangkapan. Penentuan daerah penangkapan tuna dengan tepat dapat dilakukan
dengan dukungan berbagai informasi. Informasi tersebut salah satunya dapat diperoleh
berdasarkan pengalaman nelayan dimana informasi tersebut dicatat di dalam buku
pelayaran (log book).
Karakteristik fishing ground yang baik menurut Nomura (1977) seperti diacu
dalam Suryadi (1982) adalah sebagai berikut :
(1) Perairan tersebut mempunyai kondisi yang sangat baik sehingga ikan mudah datang
bersama-sama secara bergerombol dan perairan tersebut merupakan tempat yang
cocok bagi ikan;
(2) Perairan tersebut merupakan tempat yang mudah bagi nelayan untuk mengoperasikan
alat tangkapnya; dan
(3) Perairan tersebut secara ekonomis menguntungkan.
Ditambahkan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan Jepang, dilaporkan
daerah penangkapan tuna yang baik adalah :
(1) Tempat-tempat pertemuan arus dari daerah perairan dangkal, sempit, dengan laut
dalam;
(2) Tempat-tempat terjadinya konvergensi dan divergensi diantara arus yang berdekatan;
dan
(3) Tempat-tempat dimana arus mengalir dengan deras atau tempat dengan arus yang
sempit.
Daerah penangkapan yang pernah dilaporkan oleh PT. PSB sebagai berikut :
Januari

: barat Sumatera, selatan NTB/NTT, Laut Flores, Laut Banda bagian timur.

Pebruari

: barat Sumatera, selatan Jawa/Bali/NTB/NTT dan relatif kecil di Laut
Banda.

Maret

: barat Sumatera, selatan Jawa/Bali/NTB/NTT dan relatif kecil di Laut
Banda.

April

: barat Sumatera, selatan Jawa/Bali/NTB/NTT, Laut Flores dan di Laut Banda
cukup padat.

Mei

: terutama di selatan Jawa/Bali/NTB dan Laut Banda.

Juni

: selatan Jawa/Bali/NTB dan Laut Banda.

Juli

: selatan Jawa/Bali, lepas pantai NTB/NTT dan sedikit di Laut Banda.

Agustus

: sedikit di barat Sumatera dan selatan Jawa dan Laut Banda.

September : barat Sumatera, selatan Jawa, lepas pantai NTB dan Laut Banda.cukup
padat.
Oktober

: selatan Jawa/Bali/NTB/NTT dan Laut Banda.

November : barat Sumatera, sedikit di selatan Jawa/NTB, Laut Flores dan Laut Banda.
Desember : selatan NTB/NTT dan Laut Banda serta Laut Flores.
Nilai daerah penangkapan suatu perairan dapat ditentukan berdasarkan nilai hook
rate yang dihasilkan sewaktu melakukan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan
tuna longline. Hook rate hasil tangkapan adalah jumlah ikan (tuna atau jenis lainnya) yang
tertangkap untuk setiap 100 mata pancing. Penentuan nilai hook rate dapat dilakukan
berdasarkan periode penangkapan tertentu dan jangka waktu tertentu, seperti hook rate per
setting per kapal, hook rate per trip per kapal, dan sebagainya.
Sebagai contoh daerah penangkapan di perairan Laut Banda. Gambar 3 – 7
menunjukkan daerah penangkapan tuna di perairan Laut Banda dengan melihat nilai hook
rate berdasarkan setting per kapal pada bulan Oktober – Februari. Pada gambar-gambar
tersebut terlihat bahwa daerah penangkapan tuna longline di perairan Laut Banda berada
pada koordinat 4 – 80LS dan 122 – 1280BT. Nilai hook rate tuna di perairan Laut Banda
setiap bulan berubah, tergantung dari hasil tangkapan yang diperoleh. Pada bulan Oktober
– November (Gambar 3) nilai hook rate-nya 0,00 – 0,38, bulan November – Desember
(Gambar 4) nilai hook rate-nya 0,00 – 0,60, bulan Desember (Gambar 5) nilai hook ratenya 0,00 – 0,56, bulan Januari (Gambar 6) nilai hook rate-nya 0,00 – 1,42 dan bulan
Februari (Gambar 7) nilai hook rate-nya 0,00 – 0,77. Secara umum, dapat dilihat bahwa
nilai rata-rata hook rate tuna di perairan Laut Banda yaitu sebesar 0,27.
Dengan diketahuinya nilai-nilai hook rate dan musim penangkapan setiap daerah
penangkapan, maka kapal-kapal tuna longline yang akan melakukan operasi penangkapan
dapat langsung menuju ke daerah-daerah yang memiliki nilai hook rate cukup tinggi.

Sehingga kapal-kapal tersebut dapat menekan atau mengurangi biaya operasional dalam
melakukan operasi penangkapan.

SU L A W E SI
200 m

-3 °

M A L U K U

L A U T B A N D A
L a titu d e

50 m
2 00 m

-7 °

L A U T F L O R E S
H o o k R a te
0
0
0
0
0

-1 1 °
118°

122°

126°

.0
.1
.2
.3
.3

0
4
5
1
3

to
to
to
to
to

0
0
0
0
0

.1
.2
.3
.3
.3

4
5
1
3
8

130°

L o n g itu d e

Gambar 3. Daerah penangkapan dan hook rate tuna di perairan Laut Banda pada
bulan Oktober – November.

SU L A W E SI
-3 °

20 0 m

M A L U K U

L A U T B A N D A

L a t itu d e

50 m
200 m

-7 °

L A U T F L O R E S
H o o k R a te
0
0
0
0
0

-1 1 °
118°

122°

126°

.0
.2
.2
.3
.4

6
0
7
3
7

to
to
to
to
to

0
0
0
0
0

.2
.2
.3
.4
.6

0
7
3
7
0

130°

L o n g itu d e

Gambar 4. Daerah penangkapan dan hook rate tuna di perairan Laut Banda pada
bulan November – Desember.

SU L A W E SI
-3 °

20 0 m

M A L U K U

L A U T B A N D A

L a t itu d e

50 m
200 m

-7 °

L A U T F L O R E S
H o o k R a te
0
0
0
0
0

-1 1 °
118°

122°

126°

.0
.0
.1
.1
.4

0
7
3
4
0

to
to
to
to
to

0
0
0
0
0

.0
.1
.1
.4
.5

7
3
4
0
6

130°

L o n g itu d e

Gambar 5. Daerah penangkapan dan hook rate tuna di perairan Laut Banda pada
bulan Desember.

SU L A W E SI
-3 °

20 0 m

M A L U K U

L A U T B A N D A

L a t itu d e

50 m
200 m

-7 °

L A U T F L O R E S
H o o k R a te
0
0
0
0
1

-1 1 °
118°

122°

126°

.0
.0
.3
.7
.1

0
6
9
5
6

to
to
to
to
to

0
0
0
1
1

.0
.3
.7
.1
.4

6
9
5
6
2

130°

L o n g itu d e

Gambar 6. Daerah penangkapan dan hook rate tuna di perairan Laut Banda pada
bulan Januari.

SU L A W E SI
-3 °

20 0 m

M A L U K U

L A U T B A N D A

L a t itu d e

50 m
200 m

-7 °

L A U T F L O R E S

H o o k R a te
0
0
0
0
0

-1 1 °
118°

122°

126°

.0
.0
.1
.3
.7

0
6
3
2
7

to
to
to
to
to

0
0
0
0
0

.0
.1
.3
.7
.7

6
3
2
7
7

130°

L o n g itu d e

Gambar 7. Daerah penangkapan dan hook rate tuna di perairan Laut Banda pada
bulan Februari.
Selain informasi mengenai daerah penangkapan atau penyebaran tuna secara
horisontal, informasi mengenai penyebaran tuna secara vertikal atau kedalaman renang
tuna (swimming layer) sangat diperlukan guna menunjang keberhasilan operasi
penangkapan tuna. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Riset Perikanan
Laut pada tahun 2002 – 2003 dengan menggunakan minilog diketahui bahwa kedalaman
renang ikan-ikan tuna di perairan Laut Banda berkisar antara 100 – 400 m dengan kisaran
suhu antara 10 – 18,90 C. Terbanyak pada kedalaman 200,1 – 250,0 m dan pada kisaran
suhu 11 – 14,90 C, kemudian pada kedalaman 250,1 – 300,0 m. Hasil-hasil ini
menunjukkan bahwa di perairan Laut Banda kedalaman yang paling baik untuk
menangkap ikan-ikan tuna adalah antara 200 – 300 m.
SIMPULAN
1.

Daerah penangkapan tuna di perairan Laut Banda berada pada koordinat 4 –
80LS dan 122 – 1280BT.

2.

Nilai hook rate tuna di perairan Laut Banda bulan Oktober – November
0,00 – 0,38, bulan November – Desember 0,00 – 0,60, bulan Desember 0,00 – 0,56,
bulan Januari 0,00 – 1,42 dan bulan Februari 0,00 – 0,77 dengan nilai rata-rata sebesar
0,27.

3.

Kedalaman yang paling baik untuk menangkap ikan-ikan tuna di perairan
Laut Banda adalah antara 200 – 300 m dengan kisaran suhu 11 – 14,90 C.

DAFTAR PUSTAKA
Balai Riset Perikanan Laut. 2003. Hubungan Antara Suhu dan Kedalaman Mata Pancing
Terhadap Hasil Tangkapan Bigeye Tuna (Thunnus obesus) dan Yellowfin Tuna
(Thunnus albacares) Dengan Tuna Longline di Perairan Laut Banda dan Sekitarnya.
Laporan Akhir Penelitian. Balai Riset Perikanan Laut. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2001. Evaluasi Pemanfaatan Sumber Daya Ikan
Tuna dan Cakalang di Perairan Samudera Hindia, Laut Sulawesi, dan Samudera
Pasifik. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap. Direktorat Sumber Daya Ikan. Jakarta
______. 2003. Statistik Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
FAO. 1983. FAO Spesies Catalogue Vol. 2 Scombrids of The World. Food and Agriculture
Organization of The United Nations. United Nations Development Programme.
Rome. 137 p.
Gunarso, W. 1998. Tingkah Laku Ikan dan Perikanan Pancing. Diktat Kuliah.
Laboratorium Tingkah Laku Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 119 hal.
Laevastu, T. and Ilmo Hela. 1970. Fisheries Oceanography New Ocean Enviromental
Services. Fishing News Book LTD. London.
Nakamura, H. 1969. Tuna Distribution and Migration. Fishing News Book Ltd. London.
Proctor, C.H, M Fedi A. Sondita, Ronny I. Wahju, Tim L.O. Davis, John S. Gunn and
Retno Andamari. 2003. A review of Indonesia’s Indian Ocean Tuna Fisheries.
ACIAR Project FIS/2001/079.
Pusat Riset Perikanan Tangkap. 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi. Badan Riset Kelautan dan Perikanan – Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta.
Suharsono. 2003. Kondisi Terumbu Karang di Kepulauan Banda dan Suksesi Karang di
Bekas Muntahan Lahar Pulau Gunung Api. Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol 5 No 1.
ISSN 1410 – 7821.
Suharto. 1995. Pengaruh Kedalaman Mata Pancing Rawai Tuna Terhadap Hasil Tangkapan
(Percobaan Orientasi dengan KM. Madidihang di Samudera Hindia Sebelah Barat
Sumatera). Skripsi (tidak dipublikasikan). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 78 hal.
Suryadi A. 1982. Peranan Perikanan Rawai Tuna Dalam Pengelolaan Zona Ekonomi
Ekslusif 200 Mil. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 54 hal.
www.dkp.go.id

www.fishbase.com