Revisi Ampelocissus (Vitaceae) Di Sumatera
REVISI AMPELOCISSUS (VITACEAE) DI SUMATERA
SYADWINA HAMAMA DALIMUNTHE
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Revisi Ampelocissus
(Vitaceae)” di Sumatera adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Syadwina Hamama Dalimunthe
NIM G353130421
RINGKASAN
SYADWINA HAMAMA DALIMUNTHE. Revisi Ampelocissus (Vitaceae) di
Sumatera. Dibimbing oleh TATIK CHIKMAWATI dan ELIZABETH ANITA
WIDJAJA.
Sumatera merupakan wilayah yang kaya akan hutan hujan tropis yang
menjadi habitat utama tumbuhan merambat, termasuk marga Ampelocissus.
Ampelocissus memiliki ciri rambut berwarna putih hingga merah di seluruh
permukaan tumbuhan, sulur pada tangkai perbungaan, perbungaan malai hingga
tirsus, bunga berbilangan 4-5, cakram bunga beralur 5-10, dan potongan
melintang biji berbentuk huruf T. Publikasi mengenai konsep jenis dan marga
Ampelocissus sangat berkembang, tetapi kajian Ampelocissus secara lengkap dan
rinci di Sumatera belum pernah dilakukan. Studi tentang permasalahan taksonomi
marga ini diperlukan dengan pengkajian morfologi dan anatomi, khususnya
mengenai konsep jenis, keanekaragaman, dan distribusi spasial marga
Ampelocissus di Sumatera.
Prosedur penelitian mengikuti standar revisi dan pengambilan sampel
mengikuti metode jelajah flora. Sebanyak 71 nomor koleksi Herbarium
Bogoriense (BO), 12 nomor koleksi eksplorasi di Pulau Sumatera, serta potretpotret spesimen holotype diamati. Preparat sayatan paradermal disiapkan dengan
metode Cutler dan preparat sayatan melintang disiapkan dengan teknik potongan
beku (freeze sections technique). Sebanyak 25 ciri morfologi digunakan dalam
analisis hubungan keserupaan dengan koefisien simple matching, dan
menggunakan metode pengelompokan UPGMA (Unweighted Pair Group Method
with Arithmetic Mean).
Sepuluh jenis dan satu varietas Ampelocissus ditemukan di Pulau
Sumatera. Tujuh jenis sesuai diidentifikasi sesuai dengan studi sebelumnya,
meliputi A. arachnoidea Planch., A. gracilis (Wall.) Planch., A. imperialis (Miq.)
Planch., A. korthalsii Planch., A. ochracea (Teijsm. & Binn.) Merr., A. polythyrsa
(Miq.) Gagnep., dan A. thyrsiflora (Blume) Planch. Tiga jenis dan satu varietas
merupakan rekaman baru, A. elegans (Kurz) Gagnep., A. filipes Planch., A.
rubiginosa Lauterb., dan A. ochracea var. trilobata Merr.
Setiap jenis Ampelocissus dibedakan atas beberapa ciri morfologi, yaitu
tipe indumentum; tipe, bentuk, pangkal, tepi, dan pertulangan daun; bentuk daun
penumpu; keberadaan dan ukuran daun pelindung; tipe perbungaan, bentuk
kuncup bunga, dan tipe pelekatan kepala sari. Pengamatan anatomi dilakukan
terhadap sepuluh jenis Ampelocissus di Sumatera, sedangkan jenis A. korthalsii
tidak dapat diamati. Antara jenis Ampelocissus bervariasi pada beberapa ciri
anatomi, meliputi bentuk dinding antiklinal sel epidermis adaksial dan abaksial,
jumlah lapisan jaringan tiang, bentuk epidermis atas, tebal daun, keberadaan
papila, tipe dan bentuk kristal kalsium oksalat, serta kedudukan stomata pada sisi
abaksial daun.
Jenis-jenis Ampelocissus di Pulau Sumatera ditemukan pada ketinggian 51400 m dpl, yang tersebar dari utara, selatan hingga wilayah kepulauan di
Sumatera. Ampelocissus thyrsiflora merupakan jenis yang memiliki persebaran
terluas di Sumatera.
Analisis gugus Ampelocissus di Pulau Sumatera berdasarkan 25 ciri
morfologi menunjukkan koefisien kemiripan 0.35-0.96. Marga Ampelocissus
terbagi menjadi tiga kelompok besar pada koefisien 0.55. Jenis-jenis
Ampelocissus memisah berdasarkan ciri habitus, tipe daun, bentuk daun,
keberadaan daun pelindung, tipe perbungaan, bentuk dan keberadaan indumentum
kuncup bunga, serta tipe pelekatan kepala sari. Analisis gugus Ampelocissus di
Pulau Sumatera berdasarkan 16 ciri anatomi menunjukkan koefisien kemiripan
0.48-0.81. Gugus yang ditentukan oleh ciri anatomi memiliki kesamaan dengan
gugus berdasarkan ciri morfologi. Ciri anatomi merupakan ciri tambahan untuk
membedakan jenis-jenis dalam marga Ampelocissus. Ciri anatomi yang memiliki
nilai taksonomi penting adalah tipe bentuk dinding antiklinal, tipe rambut,
keberadaan papila, dan tipe kristal oksalat.
Kata kunci : anatomi, hubungan keserupaan, morfologi, sebaran
SUMMARY
SYADWINA HAMAMA DALIMUNTHE. Revision of Ampelocissus in Sumatra.
Supervised by TATIK CHIKMAWATI and ELIZABETH ANITA WIDJAJA.
Sumatra is known as a rich region with tropical rain forests where the main
habitat of vines plant, including Ampelocissus is present. Ampelocissus
characterized by white to red-colored trichomes, a tendril on inflorescense, cyme
to thyrse inflorescense, 4-5 merous flowers, 5-10 ridge on floral disc, and Tshaped on seed cross section. The publications on species and genus concept of
Ampelocissus are highly developed, yet the study of Sumatran Ampelocissus has
not been undertaken. The study of Ampelocissus taxonomic aspect is necessary to
be carried out by observing the morphological and anatomical characters,
especially the species concept, diversity, and spatial distribution of Ampelocissus
in Sumatra.
The study followed the standard procedure of taxonomic revision. A total
71 collection numbers of Herbarium Bogoriense specimens, 12 collection
numbers collected during Sumatra exploration, and several holotype specimen
photographs were observed. Paradermal section was prepared using Cutler
procedure while the transversal section was done using freeze sections technique.
Anatomical study was observed on ten species of Sumatran Ampelocissus. As
many as 25 morphological characters were used to analyze the similarity
relationship based on simple matching coefficient, using UPGMA clustering
method.
Ten species and one variety of Ampelocissus are found in Sumatra. Seven
species known from previous study, i.e.: A. arachnoidea (Hassk.) Planch., A.
gracilis (Wall.) Planch., A. imperialis (Miq.) Planch., A. korthalsii Planch., A.
ochracea (Teijsm. & Binn.) Merr., A. polythyrsa (Miq.) Gagnep., and A.
thyrsiflora (Blume) Planch. Three species and one variety are new records, i.e.: A.
elegans (Kurz) Gagnep., A. filipes Planch., A. rubiginosa Lauterb., and A.
ochracea var. trilobata Merr.
Morphologically, Ampelocissus species was distinguished by several
characters, i.e.: indumentum type; leaf type, shape, base, margin, venation of
leaves; stipule shape; bractea presence and size; inflorescence types, flower bud
shape, and anther attachment type. Among Ampelocissus species varied in several
anatomical characters, i.e.: the shape of abaxial and adaxial anticlinal epidermal
cell wall, number of palisade cell, shape of upper epidermal cell, leaf thickness,
the presence of papilla, type and shape of calcium oxalate crystals, and stomatal
position in abaxial leaves.
Ampelocissus species in Sumatra were found at 5-1400 m asl and
distributed from northern to southern part of Sumatra as well as the archipelago
region of Sumatra. Ampelocissus thyrsiflora showed the widest distribution on
Sumatra.
Cluster analysis of Ampelocissus in Sumatra based on 25 morphological
characters showed similarity coefficient of 0.35-0.96. Ampelocissus is divided into
three major groups at similarity coefficient of 0.50. Ampelocissus species were
classified based on several characteristics, i.e.: habits, leaf type, leaf shape, the
presence of bract, inflorescene type, shape and presence of indumentum in flower
bud, and anther attachment type. Cluster analysis of Ampelocissus in Sumatra
based on 16 anatomical characters showed similarity coefficient of 0.48-0.81. The
cluster based on anatomical characters can be used as additional tools to
distinguish among species in Ampelocissus. The anatomical characters with high
taxonomic value are shape of anticlinal epidermal cell wall, type of hair, the
presence of papilla, the type and shape of calcium oxalate crystals.
Keywords: anatomy, distribution, morphology, similarity
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
REVISI AMPELOCISSUS (VITACEAE) DI SUMATERA
SYADWINA HAMAMA DALIMUNTHE
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji luar komisi: Prof Dr Mien A Rifai MSc
Judul Tesis : Revisi Ampelocissus (Vitaceae) di Sumatera
Nama
: Syadwina Hamama Dalimunthe
NIM
: G353130421
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Tatik Chikmawati MSi
Ketua
Prof Dr Elizabeth A Widjaja MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Miftahudin MSi
Dr Ir Dahrul Syah MScAgr
Tanggal Ujian: 21 Juni 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian ini adalah Revisi Ampelocissus (Vitaceae) di Sumatera.
Penelitian ini berlangsung dari bulan Juli 2014 hingga Juli 2015.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Tatik Chikmawati MSi dan
Prof Dr Elizabeth Anita Widjaja MSc selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan nasihat, saran serta bimbingan. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada bapak dan ibu pengajar Biologi Tumbuhan (BOT) atas semua ilmu,
pengalaman, bimbingan, dan nasihat selama ini. Terima kasih kepada Dirjen
Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas pemberian Beasiswa Pendidikan Pascasarjana
Dalam Negeri (BPP-DN) 2013, International Association of Plant Taxonomy
(IAPT) 2014 atas beasiswa eksplorasi, pihak-pihak Taman Nasional dan Balai
Konservasi Sumber Daya Alam atas perizinan penelitian. Ucapan terima kasih
untuk teman-teman Biologi Tumbuhan angkatan 2013 atas kebersamaan,
kecerian, kehangatan dan semangat yang telah diberikan. Terima kasih kepada
Bapak Tri Harsono, Yusran, Junior, Dewi, Yeni, Lias, Septy, Evan, Hariri, dan
Dwi yang telah membantu pekerjaan di lapangan.
Ucapan terima kasih penulis berikan kepada orang tua (Bapak Syamsul
Bahri Dalimunthe dan Ibu Nazimah AR), abang Ahriza Falahi, kakak Jehan
Novida, Julia Layla, Rahma Laysa, Yumna Sofia, serta adik Fathi Ahmad atas
segala do’a, kasih sayang, semangat, dan dukungannya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Bogor, Agustus 2016
Syadwina Hamama Dalimunthe
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
1
1
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Vitaceae
Ampelocissus
Taksonomi Ampelocissus
Anatomi Vitaceae
4
4
5
6
8
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Bahan
Prosedur Penelitan
Pengamatan Morfologi
Pengamatan Anatomi
9
9
10
10
11
12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Variasi Ciri Morfologi Organ Vegetatif
Variasi Ciri Morfologi Organ Generatif
Variasi Ciri Anatomi Daun
Pengelompokan Jenis-jenis Ampelocissus
Sebaran
Sintesis Taksonomi Ampelocissus
Taksonomi Ampelocissus Planch.
Kunci Identifikasi Morfologi Marga Ampelocissus
Kunci Identifikasi Anatomi Marga Ampelocissus
Deskripsi Jenis-jenis Ampelocissus di Sumatera
14
14
19
22
31
34
36
37
38
39
39
5 SIMPULAN
62
DAFTAR PUSTAKA
63
RIWAYAT HIDUP
66
DAFTAR TABEL
1 Ciri morfologi marga Ampelocissus yang digunakan dalam analisis
keserupaan
2 Ciri anatomi marga Ampelocissus yang digunakan dalam analisis
keserupaan
3 Variasi ciri morfologi marga Ampelocissus di Sumatera
4 Variasi ciri anatomi marga Ampelocissus di Sumatera
5 Perbandingan morfologi jenis A. imperialis dan A. ochracea
11
13
16
24
51
DAFTAR GAMBAR
1 Ilustrasi morfologi suku Vitaceae (Cissus erosa). A= daun dan bagian
batang bersulur, B= batang dengan daun dan perbungaan, C=
perbungaan, D= kuncup bunga, E= kelopak bunga, F= bunga dengan
benang sari (antepetalous), G= ovarium, H= kepala sari, I= bakal buah
dan cakram (pada beberapa jenis), J= perbuahan, K= biji, bagian
abaksial dengan kalazal pada bagian tengah, L= biji, tulang biji (raphe)
dan dua alur pada bagian tengah (Wen 2007)
2 Bentuk potongan melintang biji suku Vitaceae dan kerabat dekat. A.
Leeaceae, B. Cissus, C. Vitis, D. Tetrastigma, E. Ampelocissus, F.
Cayratia (Wen 2007)
3 Ciri morfologi marga Ampelocissus gracilis. A. batang dengan buah, B.
bentuk perbungaan dan sulur, C. bunga, D. rambut halus pada
permukaan tumbuhan (Yeo et al. 2013)
4 Bentuk kristal kalsium oksalat pada suku Vitaceae. A= bintang, B=
jarum mempundi (Metcalfe dan Chalk 1950)
5 Lokasi pengambilan sampel penelitian di Pulau Sumatera. 1= Taman
Nasional Gunung Leuser, 2= Taman Wisata Alam dan Cagar Alam
Sibolangit, 3= Taman Hutan Raya Bung Hatta, 4= Taman Nasional
Bukit Tiga Puluh, 5= Taman Nasional Kerinci Seblat, 6= Kabupaten
Banyuasin, 7= Taman Nasional Way Kambas, 8= Provinsi BangkaBelitung
6 Tipe indumentum pada permukaan cabang Ampelocissus. A. wol, B.
memasai, C. membulu sikat, D. menggimbal
7 Letak indumentum pada abaksial daun Ampelocissus. A. menutupi
seluruh bagian, B. kosong pada tulang daun utama sekunder, C-D.
hanya pada tulang daun utama dan sekunder
8 Morfologi daun marga Ampelocissus. A-B. Tipe daun: A. monomorfis
bentuk menjantung, B. dimorfis, daun muda tunggal menjantung dan
daun dewasa majemuk berbentuk bulat telur sungsang-asimetri, C.
bentuk ujung daun. 1= runcing, 2= melancip, 3= bercuping, 4=
bertaring, D. bentuk pangkal daun, 5= menjantung tumpang tindih, 6=
menjantung terbuka, 7= menjantung terbuka menyegi
4
5
6
8
9
15
15
17
9 Morfologi daun majemuk marga Ampelocissus. A-D. bentuk daun dan
jumlah pinak daun: A. bulat telur sungsang-asimetri berpinak tiga, B.
bulat telur sungsang-asimetri berpinak lima, C. bulat melonjong lansetasimetri berpinak lima, D. bulat melonjong-asimetri berpinak lima, E.
daun majemuk menjari kaki, F. daun dimorfis, G. bentuk ujung daun,
H. bentuk pangkal daun. 1= menjari, 2= menjari kaki, 3= bertaring, 4=
melancip, 5= runcing, 7= membaji, 8= menirus
10 Perbungaan. A-B. tipe perbungaan: A. malai, B. tirsus; C-D. Pelekatan
kuncup bunga: C. duduk (sesil), D. bertangkai
11 Cabang perbungaan. A-B. jarak ruas: A. panjang, B. pendek; C-D.
keberadaan daun pelindung: C. ada, D. tidak ada
12 Kuncup bunga. A-B. kedudukan: A. berhadapan, B. berkarang; C-D.
keberadaan indumentum: C. wol, D. licin
13 Bentuk kuncup bunga. A. membulat, B. melonjong
14 Bentuk serta ukuran putik dan tangkai putik bunga. A. melonjong dan
panjang, B. melonjong dan pendek, C. memipih dan pendek
15 Tipe pelekatan kepala sari. A. basifixed, B. dorsifixed
16 Bentuk dinding antiklinal sel epidermis adaksial. A. tidak beraturan
bersegi, B. tidak beraturan membulat, C. berliuk
17 Bentuk dinding antiklinal sel epidermis abaksial. A. tidak beraturan
membulat; B. tidak beraturan melonjong; C. tidak beraturan berliuk; D.
berliuk bergelombang
18 Tipe rambut pada permukaan daun. A. adaksial daun, B-D. abaksial
daun, sg= rambut kelenjar uniselular, sgm= rambut kelenjar
multiselular; ss= rambut beruntun tunggal
19 Keberadaan papila pada stomata di permukaan abaksial. A. licin, B.
berpapila rebah, C. berpapila tegak
20 Tipe rambut pada permukaan abaksial dan adaksial. A. permukaan
adaksial dan rambut beruntun tunggal, B-D. permukaan abaksial, B.
rambut beruntun tunggal, C. rambut kelenjar uniselular, D. rambut
kelenjar multiselular
21 Ukuran ketebalan daun jenis Ampelocissus. A. tipis, B. tebal
22 Jumlah lapisan jaringan tiang daun Ampelocissus. A. satu lapis, B. dua
lapis. 1= jaringan tiang satu lapis, 2= jaringan tiang dua lapis
23 Bentuk epidermis atas daun. A. tebal, B. tipis
24 Tipe kristal kalsium oksalat jarum. A. membundar, B. mempundi, C.
menjarum
25 Bentuk stomata pada permukaan abaksial daun Ampelocissus. A. rata,
B. rata berpapila, C. menonjol
26 Fenogram jenis Ampelocissus di Sumatera berdasarkan 25 ciri
morfologi
27 Fenogram jenis Ampelocissus di Sumatera berdasarkan 16 ciri anatomi
28 Kisaran sebaran jenis-jenis Ampelocissus di Sumatera
29 Persebaran Jenis Ampelocissus di Sumatera. =A. arachnoidea; =A.
elegans;
= A. filipes; + = A. gracilis;
= A. imperialis;
=A.
ochracea;
= A. polythyrsa;
= A. rubiginosa;
=A. thyrsiflora;
= = A. ochracea var. trilobata
18
20
20
21
21
22
22
23
25
25
27
28
28
29
29
30
30
31
33
35
36
30 Ampelocissus arachnoidea (Docters Van Leeuwen-Reijnvaan 5387). A.
spesimen herbarium, B. bunga bertangkai
31 Sayatan paradermal dan melintang daun A. arachnoidea. A. rambut
abaksial daun, B. stomata, C. dinding antiklinal sel epidermis, D.
sayatan melintang, E. kedudukan stomata. 1= jaringan tiang satu lapis,
dr= kristal kalsium oksalat bintang, k= kristal kalsium oksalat jarum, s=
stomata, sg= rambut kelenjar uniselular, ss= rambut beruntun tunggal
32 Ampelocissus elegans (Teysmann s.n.). A. spesimen herbarium, B.
kuncup bunga sesil, C. bagian-bagian bunga
33 Sayatan paradermal dan melintang daun A. elegans. A. permukaan
adaksial daun, B. permukaan abaksial daun, C. stomata, D. sayatan
melintang, E. kedudukan stomata. 1= jaringan tiang satu lapis, k=
kristal kalsium oksalat jarum, s= stomata, sg= rambut kelenjar
uniselular, ss= rambut beruntun tunggal
34 Ampelocissus filipes (JA Lorzing 4638). A. spesimen herbarium, B.
kuncup bunga berindumentum, C. bagian-bagian bunga
35 Sayatan paradermal dan melintang daun A. filipes. A. dinding antiklinal
sel epidermis adaksial daun; B. permukaan abaksial daun; C. sayatan
melintang. 1= jaringan tiang satu lapis, k= kristal kalsium oksalat
jarum, s= stomata, sg= rambut kelenjar uniselular, ss= rambut beruntun
tunggal
36 Ampelocissus gracilis (W Takeuchi, E Sambas 18282). A. spesimen
herbarium, B. bagian-bagian bunga, C. cakram dan kelopak bunga
37 Sayatan paradermal dan melintang daun A. gracilis. A. dinding
antiklinal sel epidermis adaksial daun, B. permukaan abaksial daun, C.
stomata, D. sayatan melintang, E. kedudukan stomata. 1= jaringan tiang
satu lapis, dr= kristal kalsium oksalat bintang, k= kristal kalsium
oksalat jarum, s= stomata, sg= rambut kelenjar uniselular, ss= rambut
beruntun tunggal
38 Variasi tipe indumentum pada Ampelocisus gracilis. A. memasai, B.
membulu sikat
39 Ampelocissus imperialis (Teysmann 597). A. spesimen herbarium
40 Sayatan paradermal dan melintang daun A. imperialis. A. dinding
antiklinal adaksial daun, B. permukaan abaksial daun, C. sayatan
melintang. 1= jaringan tiang satu lapis, k= kristal kalsium oksalat
jarum, s= stomata, sgm= rambut kelenjar multiselular
41 Ampelocissus korthalsii (Korthals PW s.n.). Spesimen holotipe yang
tersimpan di Herbarium Meise
42 Ampelocissus ochracea (CHNB s.n.). A. spesimen herbarium; B. kepala
sari; C. variasi bunga berbilangan 3
43 Sayatan paradermal dan melintang daun A. ochracea. A. dinding
antiklinal sel epidermis adaksial daun, B. permukaan abaksial daun; C.
sayatan melintang. k= kristal kalsium oksalat jarum, s= stomata, sg=
rambut kelenjar uniselular
44 Ampelocissus ochracea var. trilobata (W Takeuchi, Juprisi Zegar,
Kolang Sihotang 18550). A. spesimen herbarium; B. daun pelindung;
C. tangkai dan kepala sari; D. kelopak bunga menutupi kuncup bunga
40
40
41
42
43
44
45
46
46
47
48
49
50
51
52
45 Sayatan paradermal dan melintang daun A. ochracea var. trilobata. A.
permukaan adaksial daun, B. permukaan abaksial daun, C. dinding
antiklinal sel epidermis, D. stomata, E. kedudukan stomata, F. sayatan
melintang. 1= jaringan tiang satu lapis, k= kristal kalsium oksalat
jarum, s= stomata, sg= rambut kelenjar uniselular, ss= rambut beruntun
tunggal
46 Ampelocissus polythyrsa (Teysmann s.n.). A. spesimen herbarium, B.
kuncup bunga sesil, C. kepala sari dan tangkai sari dengan tipe
pelekatan basifixed
47 Sayatan paradermal dan melintang daun A. polythyrsa. A. dinding
antiklinal adaksial daun, B. permukaan abaksial daun, C. stomata, D.
sayatan melintang, E. kedudukan stomata. 1= jaringan tiang satu lapis,
k= kristal kalsium oksalat jarum, s= stomata, sg= rambut kelenjar
uniselular, ss= rambut beruntun tunggal
48 Ampelocissus rubiginosa (Soepadmo 251). A. spesimen herbarium, B.
daun, C. kuncup bunga berbentuk melonjong, D. kepala sari dan tangkai
sari dengan tipe pelekatan dorsifixed
49 Sayatan paradermal dan melintang daun A. rubiginosa. A. dinding
antiklinal sel epidermis adaksial daun, B. permukaan abaksial daun, C.
stomata, D. sayatan melintang, E. kedudukan stomata. 1= jaringan tiang
satu lapis, 2= jaringan tiang dua lapis, k= kristal kalsium oksalat jarum,
s= stomata, sg= rambut kelenjar uniselular, ss= rambut beruntun
tunggal
50 Ampelocissus thyrsiflora (Dalimunthe SH 6). A. spesimen herbarium,
B. bunga berbilangan empat, C. kuncup bunga berbentuk membulat, D.
tipe perbuahan beri
51 Sayatan paradermal dan melintang daun A. thyrsiflora. A. dinding
antiklinal sel epidermis adaksial daun, B. permukaan abaksial daun, C.
stomata, D. sayatan melintang, E. kedudukan stomata. 1= jaringan tiang
satu lapis, k= kristal kalsium oksalat jarum, p= papila, s= stomata, sg=
rambut kelenjar uniselular
52 Variasi tipe dan bentuk daun A. thyrsiflora. A-B: tipe daun majemuk
menjari, A. jumlah helai anak daun tiga, B. helai anak daun lima. C-D:
bentuk daun, C. melonjong, D. bundar telur sunsang, E. melanset
53 Variasi ujung kuncup bunga A. thyrsiflora. A. membulat, B. bersegi
54 Variasi kuncup perbungaan A. thyrsiflora. A. berindumentum, B. licin
53
54
55
56
57
58
59
60
60
61
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ampelocissus merupakan salah satu marga dari suku Vitaceae. Marga ini
terdiri atas 95 jenis yang tersebar di Asia, Australia, Afrika, dan Amerika Tengah
(Wen 2007). Kawasan Malesia merupakan wilayah sebaran utama marga
Ampelocissus dan sebanyak 39 jenis Ampelocissus ditemukan pada kawasan ini
(Wen et al. 2013a). Borneo dan Filipina dianggap sebagai pusat keanekeragaman
marga Ampelocissus (Latiff 1982). Dua jenis Ampelocissus tercatat di Pulau Jawa
(Backer dan Bakhuizen van den Brink 1963) dan juga ditemukan satu jenis baru
yaitu A. asekii di Papua (Wen et al. 2013b). Habitat Ampelocissus berada pada
hutan subtropis dan tropis, yaitu pada sepanjang tepi sungai dan daerah terbuka
dataran rendah hutan Dipterocarpus (Yeo et al. 2013), tetapi ada beberapa jenis
Ampelocissus yang dapat hidup di daerah hutan sekunder.
Ampelocissus mudah dibedakan dengan marga lain dalam suku Vitaceae dan
beberapa kerabatnya dari beberapa ciri yaitu, rambut berwarna putih hingga merah
di seluruh permukaan tumbuhan, sulur pada tangkai perbungaan, perbungaan
malai hingga tirsus, bunga berbilangan 4-5, cakram bunga (glandular yang
menempel pangkal bakal buah), putik beralur 5-10, dan potongan melintang biji
berbentuk huruf T.
Jenis-jenis Ampelocissus mempunyai potensi sebagai buah konsumsi,
tumbuhan obat, dan tanaman hias. Jenis A. arachnoidea Planch. merupakan
tumbuhan asli Indonesia yang berpotensi sebagai tumbuhan penghasil buah yang
dapat dimakan (Uji 2007). Ampelocissus thyrsiflora (Blume) Planch. dikenal
sebagai ‘gegaten harimau’ yang dalam bahasa Dairi artinya makanan harimau,
digunakan masyarakat lokal Kabupaten Dairi-Sumatera Utara sebagai obat
tradisional penambah stamina (Sari 2009). Masyarakat Suku Dayak Benuaq
menggunakan A. imperialis Miq.) Planch. (Miq.) Planch. sebagai obat bisul dan
bengkak (Falah et al. 2013). Tidak hanya di Indonesia, A. latifolia (Roxb.) Planch.
dimanfaatkan oleh masyarakat Rajasthan-India untuk menyembuhkan penyakit
TBC, gastrisitis, dan juga sebagai penawar racun (Choudhary et al. 2008) dan di
Afrika, kandungan polifenol dari A. grantii (Baker) Planch. dimanfaatkan sebagai
antioksidan dan antimikrob (Zongo et al. 2010). Adapun kegunaan jenis-jenis
Ampelocissus selain sebagai obat dan penghasil buah, yakni sebagai tanaman hias.
Tiga jenis Ampelocissus asal Singapura, yaitu A. elegans Gagnep. dan A.
ascendiflora Latiff. yang memiliki morfologi perbungaan yang khas dan daun
yang menarik, serta A. polystachya (Wall.) Planch. mempunyai batang yang besar
dengan struktur yang sesuai untuk penghias taman dan gazebo (Yeo et al. 2013).
Marga Ampelocissus pertama kali dipublikasi oleh Planchon pada tahun
1887, yang membagi marga Ampelocissus menjadi empat seksi berdasarkan
bentuk perbungaan, daun, biji dan wilayah sebaran. Adapun keempat seksinya
adalah seksi Ampelocissus, Kalocissus, Eremocissus dan Nothocissus. Pembagian
klasifikasi ini diikuti oleh banyak ahli termasuk Gilg, Gagnepain, Merrill,
Lauterbach, Graib, Suessenguth (Latiff 1982).
Perubahan intragenerik dan infragenerik Ampelocissus banyak dilakukan
oleh para taksonom dunia. King (1896) dan Ridley (1922) melakukan pembagian
2
berbeda dengan seksi yang diusulkan oleh Planchon (1887). Marga Vitis L. dibagi
menjadi empat seksi, yaitu seksi Ampelocissus, seksi Tetratigma, seksi
Ampelopsis dan seksi Cissus. Latiff (1982) menaikkan status seksi Nothocissus
menjadi marga Nothocissus (Planch.) Latiff. Jenis yang termasuk seksi ini
adalahAmpelocissus spicifer (Griff.) Planch. yang direvisi menjadi Nothocissus
spicifera (Griff.) Latiff. Namun, pemindahan kategori takson yang dilakukan oleh
Latiff masih tidak tepat dan perlu diteliti lebih lanjut (Soejima dan Wen 2006).
Studi terakhir mengenai perubahan infragenerik pada marga Ampelocissus,
menyarankan seksi Ampelocissus dibagi atas subseksi Paniculate dan Cymose;
seksi Kalocissus terbagi menjadi subseksi Kalocissus dan Botrya; dan seksi baru
yaitu Ridleya dibagi menjadi subseksi Ridleya dan Borneocissus (Latiff 2001).
Studi terbaru tentang filogenetik berdasarkan penanda kloroplas trnL-F dan atpBrbcL, menyarankan bahwa jenis-jenis Ampelocissus yang berasal dari Asia lebih
berkerabat dekat dengan jenis-jenis pada marga Pterisanthes dan Nothocissus jika
dibandingkan dengan jenis Ampelocissus yang berasal dari Amerika Tengah. Jenis
Ampelocissus martini Planch. dari Asia Tenggara terpisah dengan jenis lain yang
berasal dari Asia (Soejima dan Wen 2006).
Pulau Sumatera merupakan pulau terbesar kelima di dunia dengan luas area
475.000 km2 dan meliputi 25% wilayah Indonesia (Laumonier 1997). Wilayah ini
termasuk dalam kawasan Malesia yang memiliki keanekaragaman flora yang
tinggi setelah Papua dan Borneo, serta kaya akan hutan hujan tropis yang menjadi
habitat utama tumbuhan merambat (Davis et al. 1995; Roos et al. 2004), termasuk
marga Ampelocissus. Tujuh jenis Ampelocissus terdapat di Pulau Sumatera dan
menjadi tempat kedua lokasi temuan terbanyak Ampelocissus setelah Borneo (14
jenis) (Merril 1921). Adapun jenis yang ditemukan di Sumatera yaitu A.
arachnoidea Planch., A. gracilis (Wall.) Planch., A. imperialis (Miq.) Planch., A.
korthalsii Planch., A. ochraceae (Teijsm. & Binn.) Merr., A. polythyrsa (Miq.)
Gagnep., A. spicifer (Griff.) Planch., dan A. thyrsiflora (Blume) Planch. (Planchon
1887; Ridley 1922; Merril 1938; Latiff 1982) yang tersebar di Sumatera bagian
utara, barat dan selatan.
Pengkajian tentang konsep jenis dan marga Ampelocissus sangat
berkembang, tetapi banyak jenis Ampelocissus yang belum ditempatkan pada
kategori takson yang sebenarnya (Chen dan Manchester 2007), termasuk A.
spicifer (Griff.) Planch. yang memiliki perbungaan dan indumentum yang berbeda
dengan marga Ampelocissus yang juga ditemukan di Sumatera (Latiff 2001).
Publikasi mengenai pengkajian tentang konsep jenis dan marga Ampelocissus
sangat berkembang, tetapi kajian dari banyak jenis Ampelocissus secara lengkap
dan rinci di Sumatera belum pernah dilakukan. Selain itu, informasi hanya
berdasarkan koleksi pada zaman kolonial, sehingga diperlukan penelitian lebih
lanjut mengenai keanekaragamannya di Pulau Sumatera. Oleh karena itu, studi
tentang permasalahan taksonomi marga ini diperlukan dengan pengkajian
morfologi dan anatomi, khususnya mengenai konsep jenis, keanekaragaman, dan
distribusi spasial marga Ampelocissus di Sumatera.
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperjelas konsep marga Ampelocissus
berdasarkan pengamatan karakter morfologi dan anatomi. Penelitian ini dilakukan
guna memutakhirkan data tentang konsep jenis, keanekaragaman, hubungan
kekerabatan dan distribusi spasial Ampelocissus di Sumatera.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Vitaceae
Vitaceae adalah kelompok tumbuhan merambat, herba sukulen hingga
berkayu. Suku ini sangat mudah dikenali dari beberapa ciri yaitu daun tunggal,
majemuk menjari-menjari kaki, sulur yang letaknya berhadapan dengan daun,
kelenjar mutiara yang muncul di permukaan daun, perenkima yang mengandung
kristal kalsium oksalat, bunga malai hingga tirsus, buah beri bertangkai atau
duduk, dan morfologi biji yang unik dengan sepasang lipatan dorsal atau ventral
pada kalaza (Gambar 1).
Gambar 1 Ilustrasi morfologi suku Vitaceae (Cissus erosa). A= daun dan bagian
batang bersulur, B= batang dengan daun dan perbungaan, C=
perbungaan, D= kuncup bunga, E= kelopak bunga, F= bunga dengan
benang sari (antepetalous), G= ovarium, H= kepala sari, I= bakal buah
dan cakram (pada beberapa jenis), J= perbuahan, K= biji, bagian
abaksial dengan kalazal pada bagian tengah, L= biji, tulang biji
(raphe) dan dua alur pada bagian tengah (Wen 2007)
Pada tahun 1753, suku ini dibagi menjadi dua marga yaitu Cissus L. dan
Vitis L. oleh Linnaeus, kemudian jumlah marga dalam suku ini bertambah
menjadi 10 marga (Planchon 1887) dan sekarang menjadi 14 marga (Wen 2007).
Adapun 14 marga Vitaceae tersebut adalah Acareosperma Gagnep., Ampelocissus
Planch., Ampelopsis Michx., Cayratia Juss., Cissus L., Clematicissus Planch.,
5
Cyphostemma (Planch.) Alston, Nothocissus (Miq.) Latiff, Parthenocissus
Planch., Pterisanthes Blume, Rhoicissus Planch., Tetrastigma (Miq.) Planch.,
Vitis L., dan Yua C.L. Li (Ren 2011). Setiap marga memiliki pola distribusi
geografisnya sendiri, seperti marga Ampelopsis Michx. (20 jenis), tersebar pada
wilayah beriklim hangat; Parthenocissus Planch. (15 jenis), dan Vitis L. (~60
jenis), tersebar di Asia Timur dan Amerika Utara. Ampelocissus Planch. (~90
jenis), Cayratia Juss. (~50 jenis), Leea Royen ex L. (~30 jenis) dan Tetrastigma
Planch. (~90 jenis) sebagian besar tersebar di Asia selatan dan Malesia; namun
Ampelocissus juga ditemukan di Afrika. Cissus L. (~300 jenis) tersebar di seluruh
dunia dengan keanekaragaman terbesar di Amerika Selatan dan Afrika tropis.
Cyphostemma (Planch.) Alton (~200 jenis), Rhoicissus Planch. (~12 jenis)
terutama tersebar di Afrika. Nothocissus (Planch.) Latiff (6 jenis) dan Pterisanthes
Bl. (20 jenis), endemik di Malaysia dan Borneo. Yua C.L. Li (3 jenis) endemik di
China dan India, Clematicissus Planch. (1 jenis) endemik di Australia, dan
Acareosperma Gagnep. (1 jenis) adalah jenis langka dari Laos (Chen dan
Manchester 2007).
Suku Vitaceae memiliki morfologi biji yang unik dengan sepasang lipatan
dorsal atau ventral kalaza pada bagian tengah biji. Potongan biji secara melintang
pada tiap marga memiliki bentuk yang bervariasi, sehingga dapat dijadikan
karakter pembeda antara marga dalam suku Vitaceae (Gambar 2). Karakter biji
dapat digunakan untuk membedakan marga dari suku Vitaceae, dan dapat
memberikan dasar yang baik guna menginterpretasikan sisa-sisa fosil untuk
merekonstruksi sejarah evolusi serta fitogeografi grup basal Rosid (Chen dan
Manchester 2007).
Gambar 2 Bentuk potongan melintang biji suku Vitaceae dan kerabat dekat. A.
Leeaceae, B. Cissus, C. Vitis, D. Tetrastigma, E. Ampelocissus,
F.Cayratia (Wen 2007)
Ampelocissus
Ampelocissus merupakan tumbuhan herba atau berkayu yang
menggunakan sulur untuk merambat. Marga ini berbeda dari marga Vitaceae
lainnya karena mempunyai indumentum berwarna putih hingga merah yang ada di
seluruh permukaan tumbuhan, tipe perbungaan malai dengan sulur yang berada
pada perbungaan; bunga biseksual, berbilangan 4-5; buah beri berdaging; biji 1- 4,
6
potongan melintang biji berbentuk T dan jumlah kromosomnya 20 (2n=40) (Wen
2007; Wen et. al. 2013a). Antara jenis dalam marga ini dapat dibedakan
berdasarkan bagian vegetatif dan generatif (Gambar 3). Adapun beberapa ciri
yang dapat membedakan satu jenis dengan jenis lainnya pada marga
Ampelocissus, yaitu daun tunggal bercuping 3-5 hingga majemuk menjari 3-9;
daun mahkota berbentuk memanjang, membulat-memanjang, menyebar atau
membengkok pada antesis; cakram bunga (glandular yang menempel pangkal
bakal buah), putik beralur 5-10. Buah dengan 1-4 biji dengan bentuk memanjang
hingga bundar telur sungsang (Wen 2007).
Gambar 3 Ciri morfologi marga Ampelocissus gracilis. A. batang dengan buah, B.
bentuk perbungaan dan sulur, C. bunga, D. rambut halus pada
permukaan tumbuhan (Yeo et al. 2013)
Taksonomi Ampelocissus
Planchon memperkenalkan marga Ampelocissus pertama kali pada tahun
1884 dan dimuat dalam majalah La vigne Américaine: sa culture, son avenir enEurope yang terbit di Eropa. Planchon mempublikasi dan mempertelakan marga
baru Ampelocissus berdasarkan jenis Vitis latifolia (Roxb.) Planch. yang disimpan
di herbarium Paris (Planchon 1884). Tiga tahun kemudian sebanyak 54 pertelaan
jenis baru marga Ampelocissus dipublikasi dalam Monographie des Ampélidées
vrais diterbitkan dalam Monographiae phanaerogamarum (Planchon 1887).
Berdasarkan bentuk perbungaan dan wilayah distribusi, Ampelocissus dibagi
menjadi empat seksi, yaitu Ampelocissus dengan ciri perbungaan tirsus, tersebar
di Asia, Afrika, dan Amerika; Kalocissus dengan perbungaan malai, tersebar di
Malesia; Nothocissus dengan perbungaan malai seperti cambuk, tersebar di
Malesia, dan Eremocissus dengan malai linear kecil, ditemukan hanya satu jenis
di Amerika Tengah (Planchon 1884).
Setelah penerbitan monografi Ampelocissus oleh Planchon 1884, penelitian
masalah taksonomi marga Ampelocissus sangat berkembang. Gilg dan Brandt
(1911) membagi seksi Ampelocissus menjadi 2 subseksi berdasarkan bentuk
perbungaanya, yaitu Paniculate dan Cymose. Latiff (2001) melakukan perubahan
infragenerik pada marga Ampelocissus menjadi seksi Ampelocissus yang juga
7
membagi seksi tersebut menjadi subseksi Paniculate dan Cymose; seksi
Kalocissus terbagi menjadi subseksi Kalocissus dan Botrya; terakhir seksi baru
yaitu Ridleya dibagi menjadi subseksi Ridleya dan Borneocissus. Pembagian
infragenerik pada marga Ampelocissus ini juga berdasarkan bentuk perbungaan,
daun, biji juga wilayah distribusinya. Seiring berjalannya waktu dan berdasarkan
hasil penelitian yang akan datang, tingkatan takson ini diprediksi dapat berpindah
lagi ke golongan takson lain (Yeo et al. 2013).
Dalam studi hubungan filogenetik suku Vitaceae, enam marga yang
memiliki bunga berbilangan lima, disarankan membentuk klad ParthenocissusAmpelocissus-Vitis-Nothocissus-Pterisanthes-Yua (Ren 2011), juga didukung
kedekatan hubungan antara marga Nothocissus dan Pterisanthes dari pada jenis
kogenerik di Amerika Tengah (Soejima dan Wen 2006). Dengan berkembangnya
pengkajian terhadap suku Vitaceae, marga-marga tersebut dapat dikategorikan ke
tingkatan takson yang lain (Chen dan Manchester 2007). Marga Pterisanthes,
merupakan marga endemik Malesia dengan 20 jenis, memiliki biji dan tipe
perbungaan yang sangat mirip dengan Ampelocissus. Marga ini memiliki sulur
pada perbungaannya, tetapi dengan struktur tangkai berbentuk laminar. Kesamaan
morfologi antara Pterisanthes dan Ampelocissus telah lama diakui (Latiff 1982),
dan data molekuler menunjukkan bahwa Pterisanthes merupakan subklad
Ampelocissus (Soejima dan Wen 2006).
Ampelocissus terdiri dari 95 jenis yang sebagian besar tersebar di wilayah
Malesia, Asia selatan, Afrika serta lima jenis ditemukan di Amerika Tengah. Di
Indonesia tercatat sebanyak 25 jenis Ampelocissus, tujuh jenis di antaranya
terdapat di pulau Sumatera, tiga jenis di pulau Jawa (Backer dan Bakhuizen van
den Brink Jr. 1963), 14 jenis di Borneo (Merril 1921), dan 1 jenis di Papua (Wen
2013b). Ketujuh jenis Ampelocissus yang terdapat di Sumatera antara lain adalah,
A. arachnoidea, A. gracilis, A. imperialis, A. korthalsii, A. ochracea, A.
polythyrsa, A. spicifer, dan A. thyrsiflora (Planchon 1887; Merril 1938; Latiff
1982). Jenis tersebut tersebar di Sumatera bagian utara, barat dan selatan.
Marga yang berkerabat dekat dengan Ampelocissus adalah Nothocissus.
Marga ini diangkat dari salah satu seksi pada empat seksi Ampelocissus yang
dibagi oleh Planchon. Nothocissus dipisahkan dari Ampelocissus karena memiliki
perbungaan seperti cambuk dan permukaan biji yang berkerut (Latiff 1982).
Pemindahan tingkatan takson tersebut masih dipertanyakan (Chen dan Manchester
2007), sehingga perlu peninjauan ulang jenis yang dikelompokkan ke dalam
marga Nothocissus (Soejima dan Wen 2006). Pada awalnya, N. spicifera (Griff.)
Latiff adalah satu-satunya jenis dalam marga ini, kemudian lima jenis Cissus
dipindahkan ke dalam marga Nothocissus, dua jenis di antaranya endemik Papua,
sedangkan tiga jenis lainnya berasal dari Australia (Latiff 2001).
Anatomi Vitaceae
Evaluasi terhadap ciri anatomi beberapa kultivar Vitis menunjukkan, bahwa
dinding sel antiklinal pemukaan adaksial daun memiliki bentuk tidak teratur
(polygonal). Dinding sel antiklinal pemukaan abaksial daun memiliki variasi
bentuk rata dan rata bergelombang. Stomata yang hanya terdapat pada permukaan
8
abaksial daun (tipe anomositik) dan keberadaan trikoma pada epidermis daun
terdapat pada beberapa kulitvar Vitis (Najmaddin 2014).
Pada studi sebelumnya, Ren et al. (2003) juga telah melakukan pengamatan
terhadap beberapa jenis Vitaceae termasuk marga Ampelocissus. Hasil
pengamatan jaringan anatomi daun selaras dengan Najmaddin (2014) yakni
variasi bentuk sel epidermis daun rata atau tidak teratur, dan dinding sel antiklinal
berbentuk rata, berliuk atau berliuk bergelombang.
Variasi kedudukan stomata ditemukan pada bagian epidermis bawah daun
pada beberapa kultivar Vitis, yakni menonjol keatas (sel penjaga berada di atas,
dan dikelilingi oleh sel pelengkap); rata (sel penjaga sama tinggi dengan sel
pelengkap) dan tenggelam (sel penjaga tenggelam terhadap sel pelengkap) yang
tersebar acak dan orientasi yang tidak beraturan.Trikoma ditemukan terutama
pada permukaan bawah daun, dapat berbentuk uni atau multicellular rebah atau
tegak yang berbentuk paku kecil (Monteiro et al. 2013).
Karakter anatomi yang khas pada suku Vitaceae termasuk marga
Ampelocissus adalah kristal kalsium oksalat yang berada pada seluruh jaringan
tumbuhan. Kalsium (Ca) bersifat racun sehingga tumbuhan mengubah kalsium
(Ca) menjadi kristal kalsium oksalat untuk perlindungan terhadap hewan
herbivora. Bentuk kristal kalsium oksalat suku Vitaceae yang sangat berperan
protektif terhadap hewan pemakan tumbuhan adalah raphid (kristal jarum).
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa setiap jenis memiliki bentuk dan dimensi
kristal kalsium oksalat yang bervariasi. Jenis-jenis Vitis memiliki berbagai
morfologi kristal kalsium oksalat, yang terdapat di organ vegetatif ataupun
generatif. Bentuk kristal kalsium oksalat jarum dan druse (bintang) yang dimiliki
tiap jenis dalam marga Ampelocissus dapat dipengaruhi oleh karakteristik tanah,
kondisi lingkungan dan faktor genetik (Ifrim et al. 2012).
Pada umumnya kristal kalsium oksalat pada daun terdistribusi pada jaringan
tiang hingga bunga karang (Gambar 4). Kristal kalsium oksalat jarum mempunyai
beberapa bentuk yaitu menjarum (solitary), membulat (acicular) atau mempundi
(clustered). Kristal kalsium oksalat yang bentuknya membulat atau pun
mempundi dapat membentuk idioblas (kantung yang berisi kristal kalsium oksalat
bintang dan kristal kalsium oksalat lainnya). Selain itu, terdapat juga sel getah
(mucilage cell) yang terletak di dalam kristal kalsium oksalat jarum yang kosong
(Metcalfe dan Chalk 1950).
A
B
Gambar 4 Bentuk kristal kalsium oksalat pada suku Vitaceae. A= bintang, B=
jarum mempundi (Metcalfe dan Chalk 1950)
9
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni 2014 sampai Mei 2015. Pengamatan
pendahuluan dilakukan di Herbarium Bogoriense (BO) – LIPI. Pengambilan
sampel dilakukan di Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci
Seblat, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Taman Nasional Way Kambas, Taman
Hutan Raya Bung Hatta, Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Sibolangit,
Kabupaten Banyuasin dan Provinsi Bangka-Belitung (Gambar 5). Pemrosesan
sampel dilakukan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Departemen Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Pengamatan ciri morfologi dilaksanakan di Laboratorium Biosistematika, Bidang
Botani – LIPI. Persiapan serta pengamatan preparat anatomi dilakukan di
Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam – Institut Pertanian Bogor, Pusat Penelitian Biologi,
Laboratorium Biosistematika, Bidang Botani dan Bidang Zoologi - LIPI.
1
2
3
4
5
8
6
7
Gambar 5 Lokasi pengambilan sampel penelitian di Pulau Sumatera. 1=Taman
Nasional Gunung Leuser, 2=Taman Wisata Alam dan Cagar Alam
Sibolangit, 3=Taman Hutan Raya Bung Hatta, 4=Taman Nasional
Bukit Tiga Puluh, 5=Taman Nasional Kerinci Seblat, 6=Kabupaten
Banyuasin, 7=Taman Nasional Way Kambas, 8=Provinsi BangkaBelitung
10
Bahan
Bahan tumbuhan yang digunakan berupa 71 nomor koleksi Herbarium Bogoriense
(BO), 12 nomor koleksi yang ditemukan dari kegiatan eksplorasi Sumatera, dan
foto-foto nomor koleksi holotipe yang diperoleh jaringan resmi herbarium Brux,
K, L, dan P.
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian mengikuti standar revisi oleh Rifai (2013) yaitu: (1)
Penentuan konsep takson dan geografi, (2) Pengumpulan data dari spesimen di
Herbarium Bogoriense (BO) serta spesimen yang dikumpulkan dari lapangan, (3)
Peninjauan pustaka/publikasi, (4) Pengelompokan spesimen berdasarkan karakter
morfologi, (5) Pemeriksaan spesimen, (6) Pengujian karakter morfologi yang
dipakai oleh peneliti sebelumnya sebagai perbandingan pada karakter yang
diamati, (7) Pemeriksaan konsep marga dan jenis berdasarkan studi sebelumnya,
(8) Penentuan hubungan kekerabatan, (9) Penyelesaian masalah tata nama, (10)
Penyusunan kunci identifikasi, (11) Pemberian etiket identifikasi baru, (12)
Penyusunan pertelaan setiap jenis, (13) Pembuatan gambar, dan (14) Penyusunan
naskah untuk publikasi.
Data yang dikumpulkan berupa deskripsi data morfologi berdasarkan
pengamatan spesimen di Herbarium Bogoriense (BO) – LIPI sebagai studi awal
dan koleksi segar dari Pulau Sumatera. Pengambilan sampel dilakukan dengan
metode jelajah flora (Rugayah et al. 2004). Sampel yang diambil merupakan
ranting berdaun dengan bunga atau buah sebanyak tiga rangkap. Selanjutnya
sampel diberi label gantung yang berisi nomor dan catatan lapangan. Jenis-jenis
Ampelocissus yang ditemukan didokumentasikan dan dicatat karakter penting
meliputi habitat, lingkungan tempat tumbuh, tinggi tumbuhan, warna indumentum
dan buah. Lokasi spesimen temuan jenis-jenis Ampelocissus ditentukan dengan
Global Positioning System (GPS) dan data ekologi dari sampel temuan dicatat
atau didokumentasikan. Data koordinat lokasi hasil Global Positioning System
(GPS) digambarkan dalam peta Sumatera dengan perangkat lunak ArcMap versi
10.2 untuk mengetahui distribusi spasial marga Ampelocissus di Sumatera.
Pembuatan spesimen herbarium mengikuti Djarwaningsih et al. (2002).
Spesimen yang dikoleksi dari lapangan dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran.
Setelah spesimen ditata rapi, di atasnya diberi karton bergelombang dan
aluminium bergelombang, demikian seterusnya. Setelah tinggi tumpukan sekitar
30-40 cm, bagian teratas dan terbawah ditutup dengan sasag kayu, kemudian
diikat dengan tali atau sabuk pengikat. Spesimen yang telah ditata selanjutnya
dikeringkan didalam oven dengan suhu 60° C selama 3-4 hari dan setelah kering,
spesimen ditempel pada kertas karton atau bebas asam dengan ukuran 30x43 cm.
Penempelan spesimen dapat dilakukan dengan merekatkan spesimen ke karton
menggunakan selotip kertas. Pada lembar spesimen juga dilampirkan label yang
berisi informasi mengenai spesimen herbarium.
11
Pengamatan Morfologi
Ciri dan sifat ciri morfologi Ampelocissus diamati mengacu pada Chen
(2009) dan deskriptor Vitis spp. (IPGRI 1997). Jenis Ampelocissus korthalsii
merupakan jenis yang ditemukan di Sumatera (Planchon 1887), tetapi spesimen
herbarium tidak diketemukan. Pengamatan morfologi A. korthalsii. berdasarkan
potret nomor koleksi holotype yang tersimpan di Herbarium Meise (Brux).
Pengamatan potret A. korthalsii dilakukan hanya pada organ vegetatif, sedangkan
organ generatif tumbuhan tidak dapat diamati, sehingga informasi mengenai ciri
organ generatif tidak dikemukakan. Ciri batang pada tumbuhan marga
Ampelocissus tidak tersedia pada lembaran herbarium, sehingga informasi
mengenai ciri batang tidak dikemukakan.
Tabel 1 Ciri morfologi marga Ampelocissus yang digunakan dalam analisis
keserupaan
No.
1.
Ciri
Habitus
2.
Tipe indumentum
3.
Bentuk daun
4.
6.
7.
Tipe daun
Permukaan kesat pada permukaan
adaksial daun
Tepi daun
Tipe pertulangan
8.
Bentuk ujung daun
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Bentuk pangkal daun
Bentuk pangkal menjantung daun
Tangkai anak daun
Dimorfisme daun
Cuping daun
Cuping daun menajam
Ukuran daun pelindung (cm)
Cabang sulur
Tangkai bunga
Bentuk kuncup bunga
Indumentum kuncup bunga
Tipe pelekatan kepala sari
21.
Bentuk perbungaan
22.
23.
Jumlah cabang perbungaan
Panjang ruas (cm)
24.
Kedudukan bulir
25.
Jarak bulir (cm)
5.
Sifat Ciri
0=liana; 1=herba
0=membulu sikat; 1=wol; 2=memasai;
3=menggimbal;
0=menjantung; 1=bulat telur; 2=bulat telur
sungsang; 3=lonjong; 4=melanset
0=tunggal; 1=majemuk
0=ada; 1=tidak ada
0=rata; 1=bergigi; 2=menggergaji ganda
0=menjari tiga; 1=menyirip
0=berembang; 1=runcing; 2=melancip;
3=bertaring
0=menjantung; 1=membaji; 2=menirus
0=1=bersudut; 2.menyegi
0=tidak ada; 1=ada
0=tidak ada; 1=ada
0=tidak ada; 1=ada
0=tidak ada; 1=ada
0=< 1; 1=≥ 2
0=tidak ada; 1=ada
0=tidak ada; 1=ada
0=bulat; 1=lonjong
0=tidak ada; 1=ada
0=dorsifixed; 1=basifixed
0=membulat; 1=menyegitiga; 2=
memanjang
0=≥15; 1=≤10
0=≥2; 1= ≥1; 2=≤0.9
0=bertangkai tidak beraturan;
1=berhadapan; 2=berkarang
0=≥1; 1= ≥0.3-0.9; 2=≤0.1
12
Identifikasi jenis dilakukan berdasarkan protolog Merril (1938), Planchon
(1887), dan Latiff (1982, 2001). Hasil pengamatan ditulis dalam bentuk deskripsi
dan kunci determinasi yang disusun mengikuti Wen (2007).
Spesimen yang diamati berasal dari Herbarium Bogoriense (BO) dan hasil
eksplorasi Sumatera dikelompokkan menurut kesamaan ciri morfologi. Penamaan
yang terdapat pada lembar spesimen herbarium BO diabaikan terlebih dahulu.
Pengumpulan data dilakukan dengan memeriksa dan mencatat setiap ciri serta
sifat ciri spesimen herbarium, yang selanjutnya disusun dalam bentuk matriks.
Pengujian ciri dan sifat ciri oleh peneliti sebelumnya dilakukan dengan
membandingkan matriks data ciri morfologi hasil studi sebelumnya dengan
matriks ciri morfologi yang didapat dari hasil pemeriksaan spesimen herbarium.
Pemeriksaan dan penentuan konsep jenis dilakukan berdasarkan ciri serta sifat ciri
yang terkumpul dari studi sebelumnya.
Hasil karakterisasi ciri morfologi dibuat dalam bentuk matriks data biner
ataupun multistate yang selanjutnya digunakan untuk analisis keserupaan
menggunakan perangkat lunak NTSYS-pc (Numerical Taxonomy and
Multivariate Analysis System) 2.11a (Rohlf 2000). Koefisien keserupaan dianalisis
dengan SIMQUAL, menggunakan indeks simple matching dan dengan metode
pengelompokan UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic
Mean).
Penyelesaian masalah tata nama dengan mengklarifikasi konsep jenis
dengan cara membandingkan spesimen herbarium, hasil studi sebelumya dan data
yang didapat dari hasil penelitian. Penentuan ciri kunci setiap jenis yang telah
diteliti, digunakan dalam penyusunan kunci identifikasi jenis Ampelocissus yang
terdapat di Sumatera. Variasi-variasi morfologi yang belum dilaporkan oleh
peneliti sebelumnya dipaparkan. Tahap selanjutnya, pemberian etiket identifikasi
baru, dapat berupa jenis, subjenis atau varietas baru. Setiap jenis Ampelocissus
yang terdapat di Sumatera dipertelakan dan disusun berdasarkan ciri dan sifat ciri
umum ke khusus. Pada tahapan terakhir, pembuatan gambar seluruh jenis ataupun
jenis yang memiliki variasi signifikan terhadap jenis yang pernah dipertelakan
atau digambar pada studi sebelumnya.
Pengamatan Anatomi
Pengamatan anatomi dilakukan dengan membuat sayatan paradermal dan
melintang daun dari 33 nomor koleksi Herbarium Bogoriense (BO), dan empat
nomor koleksi dari kegiatan eksplorasi Sumatera. Sampel yang digunakan
mewakili sepuluh jenis Ampelocissus di Sumatera, sedangkan jenis A. korthalsii
tidak dapat diamati, karena sampel daun tidak diperoleh. Pembuatan preparat yang
diamati menggunakan daun dewasa dari tumbuhan Ampelocissus yang dipotong
dengan ukuran 1x1 cm.
Preparat sayatan paradermal disiapkan dengan metode Cutler (1978).
Preparat sayatan paradermal disiapkan dengan menentukan satu bagian daun
dewasa untuk menjadi titik pengamatan yang meliputi bagian ujung, tengah dan
pangkal daun. Daun dipotong dengan ukuran 1x1 cm, selanjutnya direndam dalam
larutan asam nitrat 16.22 % selama 5 menit dan direbus hingga epidermis terlepas.
Setelah itu sayatan direndam di dalam larutan kloralhidrat selama 30 detik untuk
13
menghilangkan klorofilnya, dicuci dengan aquades dan direndam di dalam larutan
pewarna safranin 2% selama 1 menit. Sayatan selanjutnya diletakkan di atas gelas
preparat yang telah ditambahkan dengan 1 tetes gliserin kemudian ditutup dengan
kaca penutup. Bagian tepi kaca penutup ditutup dengan kuteks jernih sehingga
men
SYADWINA HAMAMA DALIMUNTHE
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Revisi Ampelocissus
(Vitaceae)” di Sumatera adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Syadwina Hamama Dalimunthe
NIM G353130421
RINGKASAN
SYADWINA HAMAMA DALIMUNTHE. Revisi Ampelocissus (Vitaceae) di
Sumatera. Dibimbing oleh TATIK CHIKMAWATI dan ELIZABETH ANITA
WIDJAJA.
Sumatera merupakan wilayah yang kaya akan hutan hujan tropis yang
menjadi habitat utama tumbuhan merambat, termasuk marga Ampelocissus.
Ampelocissus memiliki ciri rambut berwarna putih hingga merah di seluruh
permukaan tumbuhan, sulur pada tangkai perbungaan, perbungaan malai hingga
tirsus, bunga berbilangan 4-5, cakram bunga beralur 5-10, dan potongan
melintang biji berbentuk huruf T. Publikasi mengenai konsep jenis dan marga
Ampelocissus sangat berkembang, tetapi kajian Ampelocissus secara lengkap dan
rinci di Sumatera belum pernah dilakukan. Studi tentang permasalahan taksonomi
marga ini diperlukan dengan pengkajian morfologi dan anatomi, khususnya
mengenai konsep jenis, keanekaragaman, dan distribusi spasial marga
Ampelocissus di Sumatera.
Prosedur penelitian mengikuti standar revisi dan pengambilan sampel
mengikuti metode jelajah flora. Sebanyak 71 nomor koleksi Herbarium
Bogoriense (BO), 12 nomor koleksi eksplorasi di Pulau Sumatera, serta potretpotret spesimen holotype diamati. Preparat sayatan paradermal disiapkan dengan
metode Cutler dan preparat sayatan melintang disiapkan dengan teknik potongan
beku (freeze sections technique). Sebanyak 25 ciri morfologi digunakan dalam
analisis hubungan keserupaan dengan koefisien simple matching, dan
menggunakan metode pengelompokan UPGMA (Unweighted Pair Group Method
with Arithmetic Mean).
Sepuluh jenis dan satu varietas Ampelocissus ditemukan di Pulau
Sumatera. Tujuh jenis sesuai diidentifikasi sesuai dengan studi sebelumnya,
meliputi A. arachnoidea Planch., A. gracilis (Wall.) Planch., A. imperialis (Miq.)
Planch., A. korthalsii Planch., A. ochracea (Teijsm. & Binn.) Merr., A. polythyrsa
(Miq.) Gagnep., dan A. thyrsiflora (Blume) Planch. Tiga jenis dan satu varietas
merupakan rekaman baru, A. elegans (Kurz) Gagnep., A. filipes Planch., A.
rubiginosa Lauterb., dan A. ochracea var. trilobata Merr.
Setiap jenis Ampelocissus dibedakan atas beberapa ciri morfologi, yaitu
tipe indumentum; tipe, bentuk, pangkal, tepi, dan pertulangan daun; bentuk daun
penumpu; keberadaan dan ukuran daun pelindung; tipe perbungaan, bentuk
kuncup bunga, dan tipe pelekatan kepala sari. Pengamatan anatomi dilakukan
terhadap sepuluh jenis Ampelocissus di Sumatera, sedangkan jenis A. korthalsii
tidak dapat diamati. Antara jenis Ampelocissus bervariasi pada beberapa ciri
anatomi, meliputi bentuk dinding antiklinal sel epidermis adaksial dan abaksial,
jumlah lapisan jaringan tiang, bentuk epidermis atas, tebal daun, keberadaan
papila, tipe dan bentuk kristal kalsium oksalat, serta kedudukan stomata pada sisi
abaksial daun.
Jenis-jenis Ampelocissus di Pulau Sumatera ditemukan pada ketinggian 51400 m dpl, yang tersebar dari utara, selatan hingga wilayah kepulauan di
Sumatera. Ampelocissus thyrsiflora merupakan jenis yang memiliki persebaran
terluas di Sumatera.
Analisis gugus Ampelocissus di Pulau Sumatera berdasarkan 25 ciri
morfologi menunjukkan koefisien kemiripan 0.35-0.96. Marga Ampelocissus
terbagi menjadi tiga kelompok besar pada koefisien 0.55. Jenis-jenis
Ampelocissus memisah berdasarkan ciri habitus, tipe daun, bentuk daun,
keberadaan daun pelindung, tipe perbungaan, bentuk dan keberadaan indumentum
kuncup bunga, serta tipe pelekatan kepala sari. Analisis gugus Ampelocissus di
Pulau Sumatera berdasarkan 16 ciri anatomi menunjukkan koefisien kemiripan
0.48-0.81. Gugus yang ditentukan oleh ciri anatomi memiliki kesamaan dengan
gugus berdasarkan ciri morfologi. Ciri anatomi merupakan ciri tambahan untuk
membedakan jenis-jenis dalam marga Ampelocissus. Ciri anatomi yang memiliki
nilai taksonomi penting adalah tipe bentuk dinding antiklinal, tipe rambut,
keberadaan papila, dan tipe kristal oksalat.
Kata kunci : anatomi, hubungan keserupaan, morfologi, sebaran
SUMMARY
SYADWINA HAMAMA DALIMUNTHE. Revision of Ampelocissus in Sumatra.
Supervised by TATIK CHIKMAWATI and ELIZABETH ANITA WIDJAJA.
Sumatra is known as a rich region with tropical rain forests where the main
habitat of vines plant, including Ampelocissus is present. Ampelocissus
characterized by white to red-colored trichomes, a tendril on inflorescense, cyme
to thyrse inflorescense, 4-5 merous flowers, 5-10 ridge on floral disc, and Tshaped on seed cross section. The publications on species and genus concept of
Ampelocissus are highly developed, yet the study of Sumatran Ampelocissus has
not been undertaken. The study of Ampelocissus taxonomic aspect is necessary to
be carried out by observing the morphological and anatomical characters,
especially the species concept, diversity, and spatial distribution of Ampelocissus
in Sumatra.
The study followed the standard procedure of taxonomic revision. A total
71 collection numbers of Herbarium Bogoriense specimens, 12 collection
numbers collected during Sumatra exploration, and several holotype specimen
photographs were observed. Paradermal section was prepared using Cutler
procedure while the transversal section was done using freeze sections technique.
Anatomical study was observed on ten species of Sumatran Ampelocissus. As
many as 25 morphological characters were used to analyze the similarity
relationship based on simple matching coefficient, using UPGMA clustering
method.
Ten species and one variety of Ampelocissus are found in Sumatra. Seven
species known from previous study, i.e.: A. arachnoidea (Hassk.) Planch., A.
gracilis (Wall.) Planch., A. imperialis (Miq.) Planch., A. korthalsii Planch., A.
ochracea (Teijsm. & Binn.) Merr., A. polythyrsa (Miq.) Gagnep., and A.
thyrsiflora (Blume) Planch. Three species and one variety are new records, i.e.: A.
elegans (Kurz) Gagnep., A. filipes Planch., A. rubiginosa Lauterb., and A.
ochracea var. trilobata Merr.
Morphologically, Ampelocissus species was distinguished by several
characters, i.e.: indumentum type; leaf type, shape, base, margin, venation of
leaves; stipule shape; bractea presence and size; inflorescence types, flower bud
shape, and anther attachment type. Among Ampelocissus species varied in several
anatomical characters, i.e.: the shape of abaxial and adaxial anticlinal epidermal
cell wall, number of palisade cell, shape of upper epidermal cell, leaf thickness,
the presence of papilla, type and shape of calcium oxalate crystals, and stomatal
position in abaxial leaves.
Ampelocissus species in Sumatra were found at 5-1400 m asl and
distributed from northern to southern part of Sumatra as well as the archipelago
region of Sumatra. Ampelocissus thyrsiflora showed the widest distribution on
Sumatra.
Cluster analysis of Ampelocissus in Sumatra based on 25 morphological
characters showed similarity coefficient of 0.35-0.96. Ampelocissus is divided into
three major groups at similarity coefficient of 0.50. Ampelocissus species were
classified based on several characteristics, i.e.: habits, leaf type, leaf shape, the
presence of bract, inflorescene type, shape and presence of indumentum in flower
bud, and anther attachment type. Cluster analysis of Ampelocissus in Sumatra
based on 16 anatomical characters showed similarity coefficient of 0.48-0.81. The
cluster based on anatomical characters can be used as additional tools to
distinguish among species in Ampelocissus. The anatomical characters with high
taxonomic value are shape of anticlinal epidermal cell wall, type of hair, the
presence of papilla, the type and shape of calcium oxalate crystals.
Keywords: anatomy, distribution, morphology, similarity
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
REVISI AMPELOCISSUS (VITACEAE) DI SUMATERA
SYADWINA HAMAMA DALIMUNTHE
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji luar komisi: Prof Dr Mien A Rifai MSc
Judul Tesis : Revisi Ampelocissus (Vitaceae) di Sumatera
Nama
: Syadwina Hamama Dalimunthe
NIM
: G353130421
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Tatik Chikmawati MSi
Ketua
Prof Dr Elizabeth A Widjaja MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Miftahudin MSi
Dr Ir Dahrul Syah MScAgr
Tanggal Ujian: 21 Juni 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian ini adalah Revisi Ampelocissus (Vitaceae) di Sumatera.
Penelitian ini berlangsung dari bulan Juli 2014 hingga Juli 2015.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Tatik Chikmawati MSi dan
Prof Dr Elizabeth Anita Widjaja MSc selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan nasihat, saran serta bimbingan. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada bapak dan ibu pengajar Biologi Tumbuhan (BOT) atas semua ilmu,
pengalaman, bimbingan, dan nasihat selama ini. Terima kasih kepada Dirjen
Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas pemberian Beasiswa Pendidikan Pascasarjana
Dalam Negeri (BPP-DN) 2013, International Association of Plant Taxonomy
(IAPT) 2014 atas beasiswa eksplorasi, pihak-pihak Taman Nasional dan Balai
Konservasi Sumber Daya Alam atas perizinan penelitian. Ucapan terima kasih
untuk teman-teman Biologi Tumbuhan angkatan 2013 atas kebersamaan,
kecerian, kehangatan dan semangat yang telah diberikan. Terima kasih kepada
Bapak Tri Harsono, Yusran, Junior, Dewi, Yeni, Lias, Septy, Evan, Hariri, dan
Dwi yang telah membantu pekerjaan di lapangan.
Ucapan terima kasih penulis berikan kepada orang tua (Bapak Syamsul
Bahri Dalimunthe dan Ibu Nazimah AR), abang Ahriza Falahi, kakak Jehan
Novida, Julia Layla, Rahma Laysa, Yumna Sofia, serta adik Fathi Ahmad atas
segala do’a, kasih sayang, semangat, dan dukungannya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Bogor, Agustus 2016
Syadwina Hamama Dalimunthe
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
1
1
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Vitaceae
Ampelocissus
Taksonomi Ampelocissus
Anatomi Vitaceae
4
4
5
6
8
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Bahan
Prosedur Penelitan
Pengamatan Morfologi
Pengamatan Anatomi
9
9
10
10
11
12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Variasi Ciri Morfologi Organ Vegetatif
Variasi Ciri Morfologi Organ Generatif
Variasi Ciri Anatomi Daun
Pengelompokan Jenis-jenis Ampelocissus
Sebaran
Sintesis Taksonomi Ampelocissus
Taksonomi Ampelocissus Planch.
Kunci Identifikasi Morfologi Marga Ampelocissus
Kunci Identifikasi Anatomi Marga Ampelocissus
Deskripsi Jenis-jenis Ampelocissus di Sumatera
14
14
19
22
31
34
36
37
38
39
39
5 SIMPULAN
62
DAFTAR PUSTAKA
63
RIWAYAT HIDUP
66
DAFTAR TABEL
1 Ciri morfologi marga Ampelocissus yang digunakan dalam analisis
keserupaan
2 Ciri anatomi marga Ampelocissus yang digunakan dalam analisis
keserupaan
3 Variasi ciri morfologi marga Ampelocissus di Sumatera
4 Variasi ciri anatomi marga Ampelocissus di Sumatera
5 Perbandingan morfologi jenis A. imperialis dan A. ochracea
11
13
16
24
51
DAFTAR GAMBAR
1 Ilustrasi morfologi suku Vitaceae (Cissus erosa). A= daun dan bagian
batang bersulur, B= batang dengan daun dan perbungaan, C=
perbungaan, D= kuncup bunga, E= kelopak bunga, F= bunga dengan
benang sari (antepetalous), G= ovarium, H= kepala sari, I= bakal buah
dan cakram (pada beberapa jenis), J= perbuahan, K= biji, bagian
abaksial dengan kalazal pada bagian tengah, L= biji, tulang biji (raphe)
dan dua alur pada bagian tengah (Wen 2007)
2 Bentuk potongan melintang biji suku Vitaceae dan kerabat dekat. A.
Leeaceae, B. Cissus, C. Vitis, D. Tetrastigma, E. Ampelocissus, F.
Cayratia (Wen 2007)
3 Ciri morfologi marga Ampelocissus gracilis. A. batang dengan buah, B.
bentuk perbungaan dan sulur, C. bunga, D. rambut halus pada
permukaan tumbuhan (Yeo et al. 2013)
4 Bentuk kristal kalsium oksalat pada suku Vitaceae. A= bintang, B=
jarum mempundi (Metcalfe dan Chalk 1950)
5 Lokasi pengambilan sampel penelitian di Pulau Sumatera. 1= Taman
Nasional Gunung Leuser, 2= Taman Wisata Alam dan Cagar Alam
Sibolangit, 3= Taman Hutan Raya Bung Hatta, 4= Taman Nasional
Bukit Tiga Puluh, 5= Taman Nasional Kerinci Seblat, 6= Kabupaten
Banyuasin, 7= Taman Nasional Way Kambas, 8= Provinsi BangkaBelitung
6 Tipe indumentum pada permukaan cabang Ampelocissus. A. wol, B.
memasai, C. membulu sikat, D. menggimbal
7 Letak indumentum pada abaksial daun Ampelocissus. A. menutupi
seluruh bagian, B. kosong pada tulang daun utama sekunder, C-D.
hanya pada tulang daun utama dan sekunder
8 Morfologi daun marga Ampelocissus. A-B. Tipe daun: A. monomorfis
bentuk menjantung, B. dimorfis, daun muda tunggal menjantung dan
daun dewasa majemuk berbentuk bulat telur sungsang-asimetri, C.
bentuk ujung daun. 1= runcing, 2= melancip, 3= bercuping, 4=
bertaring, D. bentuk pangkal daun, 5= menjantung tumpang tindih, 6=
menjantung terbuka, 7= menjantung terbuka menyegi
4
5
6
8
9
15
15
17
9 Morfologi daun majemuk marga Ampelocissus. A-D. bentuk daun dan
jumlah pinak daun: A. bulat telur sungsang-asimetri berpinak tiga, B.
bulat telur sungsang-asimetri berpinak lima, C. bulat melonjong lansetasimetri berpinak lima, D. bulat melonjong-asimetri berpinak lima, E.
daun majemuk menjari kaki, F. daun dimorfis, G. bentuk ujung daun,
H. bentuk pangkal daun. 1= menjari, 2= menjari kaki, 3= bertaring, 4=
melancip, 5= runcing, 7= membaji, 8= menirus
10 Perbungaan. A-B. tipe perbungaan: A. malai, B. tirsus; C-D. Pelekatan
kuncup bunga: C. duduk (sesil), D. bertangkai
11 Cabang perbungaan. A-B. jarak ruas: A. panjang, B. pendek; C-D.
keberadaan daun pelindung: C. ada, D. tidak ada
12 Kuncup bunga. A-B. kedudukan: A. berhadapan, B. berkarang; C-D.
keberadaan indumentum: C. wol, D. licin
13 Bentuk kuncup bunga. A. membulat, B. melonjong
14 Bentuk serta ukuran putik dan tangkai putik bunga. A. melonjong dan
panjang, B. melonjong dan pendek, C. memipih dan pendek
15 Tipe pelekatan kepala sari. A. basifixed, B. dorsifixed
16 Bentuk dinding antiklinal sel epidermis adaksial. A. tidak beraturan
bersegi, B. tidak beraturan membulat, C. berliuk
17 Bentuk dinding antiklinal sel epidermis abaksial. A. tidak beraturan
membulat; B. tidak beraturan melonjong; C. tidak beraturan berliuk; D.
berliuk bergelombang
18 Tipe rambut pada permukaan daun. A. adaksial daun, B-D. abaksial
daun, sg= rambut kelenjar uniselular, sgm= rambut kelenjar
multiselular; ss= rambut beruntun tunggal
19 Keberadaan papila pada stomata di permukaan abaksial. A. licin, B.
berpapila rebah, C. berpapila tegak
20 Tipe rambut pada permukaan abaksial dan adaksial. A. permukaan
adaksial dan rambut beruntun tunggal, B-D. permukaan abaksial, B.
rambut beruntun tunggal, C. rambut kelenjar uniselular, D. rambut
kelenjar multiselular
21 Ukuran ketebalan daun jenis Ampelocissus. A. tipis, B. tebal
22 Jumlah lapisan jaringan tiang daun Ampelocissus. A. satu lapis, B. dua
lapis. 1= jaringan tiang satu lapis, 2= jaringan tiang dua lapis
23 Bentuk epidermis atas daun. A. tebal, B. tipis
24 Tipe kristal kalsium oksalat jarum. A. membundar, B. mempundi, C.
menjarum
25 Bentuk stomata pada permukaan abaksial daun Ampelocissus. A. rata,
B. rata berpapila, C. menonjol
26 Fenogram jenis Ampelocissus di Sumatera berdasarkan 25 ciri
morfologi
27 Fenogram jenis Ampelocissus di Sumatera berdasarkan 16 ciri anatomi
28 Kisaran sebaran jenis-jenis Ampelocissus di Sumatera
29 Persebaran Jenis Ampelocissus di Sumatera. =A. arachnoidea; =A.
elegans;
= A. filipes; + = A. gracilis;
= A. imperialis;
=A.
ochracea;
= A. polythyrsa;
= A. rubiginosa;
=A. thyrsiflora;
= = A. ochracea var. trilobata
18
20
20
21
21
22
22
23
25
25
27
28
28
29
29
30
30
31
33
35
36
30 Ampelocissus arachnoidea (Docters Van Leeuwen-Reijnvaan 5387). A.
spesimen herbarium, B. bunga bertangkai
31 Sayatan paradermal dan melintang daun A. arachnoidea. A. rambut
abaksial daun, B. stomata, C. dinding antiklinal sel epidermis, D.
sayatan melintang, E. kedudukan stomata. 1= jaringan tiang satu lapis,
dr= kristal kalsium oksalat bintang, k= kristal kalsium oksalat jarum, s=
stomata, sg= rambut kelenjar uniselular, ss= rambut beruntun tunggal
32 Ampelocissus elegans (Teysmann s.n.). A. spesimen herbarium, B.
kuncup bunga sesil, C. bagian-bagian bunga
33 Sayatan paradermal dan melintang daun A. elegans. A. permukaan
adaksial daun, B. permukaan abaksial daun, C. stomata, D. sayatan
melintang, E. kedudukan stomata. 1= jaringan tiang satu lapis, k=
kristal kalsium oksalat jarum, s= stomata, sg= rambut kelenjar
uniselular, ss= rambut beruntun tunggal
34 Ampelocissus filipes (JA Lorzing 4638). A. spesimen herbarium, B.
kuncup bunga berindumentum, C. bagian-bagian bunga
35 Sayatan paradermal dan melintang daun A. filipes. A. dinding antiklinal
sel epidermis adaksial daun; B. permukaan abaksial daun; C. sayatan
melintang. 1= jaringan tiang satu lapis, k= kristal kalsium oksalat
jarum, s= stomata, sg= rambut kelenjar uniselular, ss= rambut beruntun
tunggal
36 Ampelocissus gracilis (W Takeuchi, E Sambas 18282). A. spesimen
herbarium, B. bagian-bagian bunga, C. cakram dan kelopak bunga
37 Sayatan paradermal dan melintang daun A. gracilis. A. dinding
antiklinal sel epidermis adaksial daun, B. permukaan abaksial daun, C.
stomata, D. sayatan melintang, E. kedudukan stomata. 1= jaringan tiang
satu lapis, dr= kristal kalsium oksalat bintang, k= kristal kalsium
oksalat jarum, s= stomata, sg= rambut kelenjar uniselular, ss= rambut
beruntun tunggal
38 Variasi tipe indumentum pada Ampelocisus gracilis. A. memasai, B.
membulu sikat
39 Ampelocissus imperialis (Teysmann 597). A. spesimen herbarium
40 Sayatan paradermal dan melintang daun A. imperialis. A. dinding
antiklinal adaksial daun, B. permukaan abaksial daun, C. sayatan
melintang. 1= jaringan tiang satu lapis, k= kristal kalsium oksalat
jarum, s= stomata, sgm= rambut kelenjar multiselular
41 Ampelocissus korthalsii (Korthals PW s.n.). Spesimen holotipe yang
tersimpan di Herbarium Meise
42 Ampelocissus ochracea (CHNB s.n.). A. spesimen herbarium; B. kepala
sari; C. variasi bunga berbilangan 3
43 Sayatan paradermal dan melintang daun A. ochracea. A. dinding
antiklinal sel epidermis adaksial daun, B. permukaan abaksial daun; C.
sayatan melintang. k= kristal kalsium oksalat jarum, s= stomata, sg=
rambut kelenjar uniselular
44 Ampelocissus ochracea var. trilobata (W Takeuchi, Juprisi Zegar,
Kolang Sihotang 18550). A. spesimen herbarium; B. daun pelindung;
C. tangkai dan kepala sari; D. kelopak bunga menutupi kuncup bunga
40
40
41
42
43
44
45
46
46
47
48
49
50
51
52
45 Sayatan paradermal dan melintang daun A. ochracea var. trilobata. A.
permukaan adaksial daun, B. permukaan abaksial daun, C. dinding
antiklinal sel epidermis, D. stomata, E. kedudukan stomata, F. sayatan
melintang. 1= jaringan tiang satu lapis, k= kristal kalsium oksalat
jarum, s= stomata, sg= rambut kelenjar uniselular, ss= rambut beruntun
tunggal
46 Ampelocissus polythyrsa (Teysmann s.n.). A. spesimen herbarium, B.
kuncup bunga sesil, C. kepala sari dan tangkai sari dengan tipe
pelekatan basifixed
47 Sayatan paradermal dan melintang daun A. polythyrsa. A. dinding
antiklinal adaksial daun, B. permukaan abaksial daun, C. stomata, D.
sayatan melintang, E. kedudukan stomata. 1= jaringan tiang satu lapis,
k= kristal kalsium oksalat jarum, s= stomata, sg= rambut kelenjar
uniselular, ss= rambut beruntun tunggal
48 Ampelocissus rubiginosa (Soepadmo 251). A. spesimen herbarium, B.
daun, C. kuncup bunga berbentuk melonjong, D. kepala sari dan tangkai
sari dengan tipe pelekatan dorsifixed
49 Sayatan paradermal dan melintang daun A. rubiginosa. A. dinding
antiklinal sel epidermis adaksial daun, B. permukaan abaksial daun, C.
stomata, D. sayatan melintang, E. kedudukan stomata. 1= jaringan tiang
satu lapis, 2= jaringan tiang dua lapis, k= kristal kalsium oksalat jarum,
s= stomata, sg= rambut kelenjar uniselular, ss= rambut beruntun
tunggal
50 Ampelocissus thyrsiflora (Dalimunthe SH 6). A. spesimen herbarium,
B. bunga berbilangan empat, C. kuncup bunga berbentuk membulat, D.
tipe perbuahan beri
51 Sayatan paradermal dan melintang daun A. thyrsiflora. A. dinding
antiklinal sel epidermis adaksial daun, B. permukaan abaksial daun, C.
stomata, D. sayatan melintang, E. kedudukan stomata. 1= jaringan tiang
satu lapis, k= kristal kalsium oksalat jarum, p= papila, s= stomata, sg=
rambut kelenjar uniselular
52 Variasi tipe dan bentuk daun A. thyrsiflora. A-B: tipe daun majemuk
menjari, A. jumlah helai anak daun tiga, B. helai anak daun lima. C-D:
bentuk daun, C. melonjong, D. bundar telur sunsang, E. melanset
53 Variasi ujung kuncup bunga A. thyrsiflora. A. membulat, B. bersegi
54 Variasi kuncup perbungaan A. thyrsiflora. A. berindumentum, B. licin
53
54
55
56
57
58
59
60
60
61
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ampelocissus merupakan salah satu marga dari suku Vitaceae. Marga ini
terdiri atas 95 jenis yang tersebar di Asia, Australia, Afrika, dan Amerika Tengah
(Wen 2007). Kawasan Malesia merupakan wilayah sebaran utama marga
Ampelocissus dan sebanyak 39 jenis Ampelocissus ditemukan pada kawasan ini
(Wen et al. 2013a). Borneo dan Filipina dianggap sebagai pusat keanekeragaman
marga Ampelocissus (Latiff 1982). Dua jenis Ampelocissus tercatat di Pulau Jawa
(Backer dan Bakhuizen van den Brink 1963) dan juga ditemukan satu jenis baru
yaitu A. asekii di Papua (Wen et al. 2013b). Habitat Ampelocissus berada pada
hutan subtropis dan tropis, yaitu pada sepanjang tepi sungai dan daerah terbuka
dataran rendah hutan Dipterocarpus (Yeo et al. 2013), tetapi ada beberapa jenis
Ampelocissus yang dapat hidup di daerah hutan sekunder.
Ampelocissus mudah dibedakan dengan marga lain dalam suku Vitaceae dan
beberapa kerabatnya dari beberapa ciri yaitu, rambut berwarna putih hingga merah
di seluruh permukaan tumbuhan, sulur pada tangkai perbungaan, perbungaan
malai hingga tirsus, bunga berbilangan 4-5, cakram bunga (glandular yang
menempel pangkal bakal buah), putik beralur 5-10, dan potongan melintang biji
berbentuk huruf T.
Jenis-jenis Ampelocissus mempunyai potensi sebagai buah konsumsi,
tumbuhan obat, dan tanaman hias. Jenis A. arachnoidea Planch. merupakan
tumbuhan asli Indonesia yang berpotensi sebagai tumbuhan penghasil buah yang
dapat dimakan (Uji 2007). Ampelocissus thyrsiflora (Blume) Planch. dikenal
sebagai ‘gegaten harimau’ yang dalam bahasa Dairi artinya makanan harimau,
digunakan masyarakat lokal Kabupaten Dairi-Sumatera Utara sebagai obat
tradisional penambah stamina (Sari 2009). Masyarakat Suku Dayak Benuaq
menggunakan A. imperialis Miq.) Planch. (Miq.) Planch. sebagai obat bisul dan
bengkak (Falah et al. 2013). Tidak hanya di Indonesia, A. latifolia (Roxb.) Planch.
dimanfaatkan oleh masyarakat Rajasthan-India untuk menyembuhkan penyakit
TBC, gastrisitis, dan juga sebagai penawar racun (Choudhary et al. 2008) dan di
Afrika, kandungan polifenol dari A. grantii (Baker) Planch. dimanfaatkan sebagai
antioksidan dan antimikrob (Zongo et al. 2010). Adapun kegunaan jenis-jenis
Ampelocissus selain sebagai obat dan penghasil buah, yakni sebagai tanaman hias.
Tiga jenis Ampelocissus asal Singapura, yaitu A. elegans Gagnep. dan A.
ascendiflora Latiff. yang memiliki morfologi perbungaan yang khas dan daun
yang menarik, serta A. polystachya (Wall.) Planch. mempunyai batang yang besar
dengan struktur yang sesuai untuk penghias taman dan gazebo (Yeo et al. 2013).
Marga Ampelocissus pertama kali dipublikasi oleh Planchon pada tahun
1887, yang membagi marga Ampelocissus menjadi empat seksi berdasarkan
bentuk perbungaan, daun, biji dan wilayah sebaran. Adapun keempat seksinya
adalah seksi Ampelocissus, Kalocissus, Eremocissus dan Nothocissus. Pembagian
klasifikasi ini diikuti oleh banyak ahli termasuk Gilg, Gagnepain, Merrill,
Lauterbach, Graib, Suessenguth (Latiff 1982).
Perubahan intragenerik dan infragenerik Ampelocissus banyak dilakukan
oleh para taksonom dunia. King (1896) dan Ridley (1922) melakukan pembagian
2
berbeda dengan seksi yang diusulkan oleh Planchon (1887). Marga Vitis L. dibagi
menjadi empat seksi, yaitu seksi Ampelocissus, seksi Tetratigma, seksi
Ampelopsis dan seksi Cissus. Latiff (1982) menaikkan status seksi Nothocissus
menjadi marga Nothocissus (Planch.) Latiff. Jenis yang termasuk seksi ini
adalahAmpelocissus spicifer (Griff.) Planch. yang direvisi menjadi Nothocissus
spicifera (Griff.) Latiff. Namun, pemindahan kategori takson yang dilakukan oleh
Latiff masih tidak tepat dan perlu diteliti lebih lanjut (Soejima dan Wen 2006).
Studi terakhir mengenai perubahan infragenerik pada marga Ampelocissus,
menyarankan seksi Ampelocissus dibagi atas subseksi Paniculate dan Cymose;
seksi Kalocissus terbagi menjadi subseksi Kalocissus dan Botrya; dan seksi baru
yaitu Ridleya dibagi menjadi subseksi Ridleya dan Borneocissus (Latiff 2001).
Studi terbaru tentang filogenetik berdasarkan penanda kloroplas trnL-F dan atpBrbcL, menyarankan bahwa jenis-jenis Ampelocissus yang berasal dari Asia lebih
berkerabat dekat dengan jenis-jenis pada marga Pterisanthes dan Nothocissus jika
dibandingkan dengan jenis Ampelocissus yang berasal dari Amerika Tengah. Jenis
Ampelocissus martini Planch. dari Asia Tenggara terpisah dengan jenis lain yang
berasal dari Asia (Soejima dan Wen 2006).
Pulau Sumatera merupakan pulau terbesar kelima di dunia dengan luas area
475.000 km2 dan meliputi 25% wilayah Indonesia (Laumonier 1997). Wilayah ini
termasuk dalam kawasan Malesia yang memiliki keanekaragaman flora yang
tinggi setelah Papua dan Borneo, serta kaya akan hutan hujan tropis yang menjadi
habitat utama tumbuhan merambat (Davis et al. 1995; Roos et al. 2004), termasuk
marga Ampelocissus. Tujuh jenis Ampelocissus terdapat di Pulau Sumatera dan
menjadi tempat kedua lokasi temuan terbanyak Ampelocissus setelah Borneo (14
jenis) (Merril 1921). Adapun jenis yang ditemukan di Sumatera yaitu A.
arachnoidea Planch., A. gracilis (Wall.) Planch., A. imperialis (Miq.) Planch., A.
korthalsii Planch., A. ochraceae (Teijsm. & Binn.) Merr., A. polythyrsa (Miq.)
Gagnep., A. spicifer (Griff.) Planch., dan A. thyrsiflora (Blume) Planch. (Planchon
1887; Ridley 1922; Merril 1938; Latiff 1982) yang tersebar di Sumatera bagian
utara, barat dan selatan.
Pengkajian tentang konsep jenis dan marga Ampelocissus sangat
berkembang, tetapi banyak jenis Ampelocissus yang belum ditempatkan pada
kategori takson yang sebenarnya (Chen dan Manchester 2007), termasuk A.
spicifer (Griff.) Planch. yang memiliki perbungaan dan indumentum yang berbeda
dengan marga Ampelocissus yang juga ditemukan di Sumatera (Latiff 2001).
Publikasi mengenai pengkajian tentang konsep jenis dan marga Ampelocissus
sangat berkembang, tetapi kajian dari banyak jenis Ampelocissus secara lengkap
dan rinci di Sumatera belum pernah dilakukan. Selain itu, informasi hanya
berdasarkan koleksi pada zaman kolonial, sehingga diperlukan penelitian lebih
lanjut mengenai keanekaragamannya di Pulau Sumatera. Oleh karena itu, studi
tentang permasalahan taksonomi marga ini diperlukan dengan pengkajian
morfologi dan anatomi, khususnya mengenai konsep jenis, keanekaragaman, dan
distribusi spasial marga Ampelocissus di Sumatera.
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperjelas konsep marga Ampelocissus
berdasarkan pengamatan karakter morfologi dan anatomi. Penelitian ini dilakukan
guna memutakhirkan data tentang konsep jenis, keanekaragaman, hubungan
kekerabatan dan distribusi spasial Ampelocissus di Sumatera.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Vitaceae
Vitaceae adalah kelompok tumbuhan merambat, herba sukulen hingga
berkayu. Suku ini sangat mudah dikenali dari beberapa ciri yaitu daun tunggal,
majemuk menjari-menjari kaki, sulur yang letaknya berhadapan dengan daun,
kelenjar mutiara yang muncul di permukaan daun, perenkima yang mengandung
kristal kalsium oksalat, bunga malai hingga tirsus, buah beri bertangkai atau
duduk, dan morfologi biji yang unik dengan sepasang lipatan dorsal atau ventral
pada kalaza (Gambar 1).
Gambar 1 Ilustrasi morfologi suku Vitaceae (Cissus erosa). A= daun dan bagian
batang bersulur, B= batang dengan daun dan perbungaan, C=
perbungaan, D= kuncup bunga, E= kelopak bunga, F= bunga dengan
benang sari (antepetalous), G= ovarium, H= kepala sari, I= bakal buah
dan cakram (pada beberapa jenis), J= perbuahan, K= biji, bagian
abaksial dengan kalazal pada bagian tengah, L= biji, tulang biji
(raphe) dan dua alur pada bagian tengah (Wen 2007)
Pada tahun 1753, suku ini dibagi menjadi dua marga yaitu Cissus L. dan
Vitis L. oleh Linnaeus, kemudian jumlah marga dalam suku ini bertambah
menjadi 10 marga (Planchon 1887) dan sekarang menjadi 14 marga (Wen 2007).
Adapun 14 marga Vitaceae tersebut adalah Acareosperma Gagnep., Ampelocissus
Planch., Ampelopsis Michx., Cayratia Juss., Cissus L., Clematicissus Planch.,
5
Cyphostemma (Planch.) Alston, Nothocissus (Miq.) Latiff, Parthenocissus
Planch., Pterisanthes Blume, Rhoicissus Planch., Tetrastigma (Miq.) Planch.,
Vitis L., dan Yua C.L. Li (Ren 2011). Setiap marga memiliki pola distribusi
geografisnya sendiri, seperti marga Ampelopsis Michx. (20 jenis), tersebar pada
wilayah beriklim hangat; Parthenocissus Planch. (15 jenis), dan Vitis L. (~60
jenis), tersebar di Asia Timur dan Amerika Utara. Ampelocissus Planch. (~90
jenis), Cayratia Juss. (~50 jenis), Leea Royen ex L. (~30 jenis) dan Tetrastigma
Planch. (~90 jenis) sebagian besar tersebar di Asia selatan dan Malesia; namun
Ampelocissus juga ditemukan di Afrika. Cissus L. (~300 jenis) tersebar di seluruh
dunia dengan keanekaragaman terbesar di Amerika Selatan dan Afrika tropis.
Cyphostemma (Planch.) Alton (~200 jenis), Rhoicissus Planch. (~12 jenis)
terutama tersebar di Afrika. Nothocissus (Planch.) Latiff (6 jenis) dan Pterisanthes
Bl. (20 jenis), endemik di Malaysia dan Borneo. Yua C.L. Li (3 jenis) endemik di
China dan India, Clematicissus Planch. (1 jenis) endemik di Australia, dan
Acareosperma Gagnep. (1 jenis) adalah jenis langka dari Laos (Chen dan
Manchester 2007).
Suku Vitaceae memiliki morfologi biji yang unik dengan sepasang lipatan
dorsal atau ventral kalaza pada bagian tengah biji. Potongan biji secara melintang
pada tiap marga memiliki bentuk yang bervariasi, sehingga dapat dijadikan
karakter pembeda antara marga dalam suku Vitaceae (Gambar 2). Karakter biji
dapat digunakan untuk membedakan marga dari suku Vitaceae, dan dapat
memberikan dasar yang baik guna menginterpretasikan sisa-sisa fosil untuk
merekonstruksi sejarah evolusi serta fitogeografi grup basal Rosid (Chen dan
Manchester 2007).
Gambar 2 Bentuk potongan melintang biji suku Vitaceae dan kerabat dekat. A.
Leeaceae, B. Cissus, C. Vitis, D. Tetrastigma, E. Ampelocissus,
F.Cayratia (Wen 2007)
Ampelocissus
Ampelocissus merupakan tumbuhan herba atau berkayu yang
menggunakan sulur untuk merambat. Marga ini berbeda dari marga Vitaceae
lainnya karena mempunyai indumentum berwarna putih hingga merah yang ada di
seluruh permukaan tumbuhan, tipe perbungaan malai dengan sulur yang berada
pada perbungaan; bunga biseksual, berbilangan 4-5; buah beri berdaging; biji 1- 4,
6
potongan melintang biji berbentuk T dan jumlah kromosomnya 20 (2n=40) (Wen
2007; Wen et. al. 2013a). Antara jenis dalam marga ini dapat dibedakan
berdasarkan bagian vegetatif dan generatif (Gambar 3). Adapun beberapa ciri
yang dapat membedakan satu jenis dengan jenis lainnya pada marga
Ampelocissus, yaitu daun tunggal bercuping 3-5 hingga majemuk menjari 3-9;
daun mahkota berbentuk memanjang, membulat-memanjang, menyebar atau
membengkok pada antesis; cakram bunga (glandular yang menempel pangkal
bakal buah), putik beralur 5-10. Buah dengan 1-4 biji dengan bentuk memanjang
hingga bundar telur sungsang (Wen 2007).
Gambar 3 Ciri morfologi marga Ampelocissus gracilis. A. batang dengan buah, B.
bentuk perbungaan dan sulur, C. bunga, D. rambut halus pada
permukaan tumbuhan (Yeo et al. 2013)
Taksonomi Ampelocissus
Planchon memperkenalkan marga Ampelocissus pertama kali pada tahun
1884 dan dimuat dalam majalah La vigne Américaine: sa culture, son avenir enEurope yang terbit di Eropa. Planchon mempublikasi dan mempertelakan marga
baru Ampelocissus berdasarkan jenis Vitis latifolia (Roxb.) Planch. yang disimpan
di herbarium Paris (Planchon 1884). Tiga tahun kemudian sebanyak 54 pertelaan
jenis baru marga Ampelocissus dipublikasi dalam Monographie des Ampélidées
vrais diterbitkan dalam Monographiae phanaerogamarum (Planchon 1887).
Berdasarkan bentuk perbungaan dan wilayah distribusi, Ampelocissus dibagi
menjadi empat seksi, yaitu Ampelocissus dengan ciri perbungaan tirsus, tersebar
di Asia, Afrika, dan Amerika; Kalocissus dengan perbungaan malai, tersebar di
Malesia; Nothocissus dengan perbungaan malai seperti cambuk, tersebar di
Malesia, dan Eremocissus dengan malai linear kecil, ditemukan hanya satu jenis
di Amerika Tengah (Planchon 1884).
Setelah penerbitan monografi Ampelocissus oleh Planchon 1884, penelitian
masalah taksonomi marga Ampelocissus sangat berkembang. Gilg dan Brandt
(1911) membagi seksi Ampelocissus menjadi 2 subseksi berdasarkan bentuk
perbungaanya, yaitu Paniculate dan Cymose. Latiff (2001) melakukan perubahan
infragenerik pada marga Ampelocissus menjadi seksi Ampelocissus yang juga
7
membagi seksi tersebut menjadi subseksi Paniculate dan Cymose; seksi
Kalocissus terbagi menjadi subseksi Kalocissus dan Botrya; terakhir seksi baru
yaitu Ridleya dibagi menjadi subseksi Ridleya dan Borneocissus. Pembagian
infragenerik pada marga Ampelocissus ini juga berdasarkan bentuk perbungaan,
daun, biji juga wilayah distribusinya. Seiring berjalannya waktu dan berdasarkan
hasil penelitian yang akan datang, tingkatan takson ini diprediksi dapat berpindah
lagi ke golongan takson lain (Yeo et al. 2013).
Dalam studi hubungan filogenetik suku Vitaceae, enam marga yang
memiliki bunga berbilangan lima, disarankan membentuk klad ParthenocissusAmpelocissus-Vitis-Nothocissus-Pterisanthes-Yua (Ren 2011), juga didukung
kedekatan hubungan antara marga Nothocissus dan Pterisanthes dari pada jenis
kogenerik di Amerika Tengah (Soejima dan Wen 2006). Dengan berkembangnya
pengkajian terhadap suku Vitaceae, marga-marga tersebut dapat dikategorikan ke
tingkatan takson yang lain (Chen dan Manchester 2007). Marga Pterisanthes,
merupakan marga endemik Malesia dengan 20 jenis, memiliki biji dan tipe
perbungaan yang sangat mirip dengan Ampelocissus. Marga ini memiliki sulur
pada perbungaannya, tetapi dengan struktur tangkai berbentuk laminar. Kesamaan
morfologi antara Pterisanthes dan Ampelocissus telah lama diakui (Latiff 1982),
dan data molekuler menunjukkan bahwa Pterisanthes merupakan subklad
Ampelocissus (Soejima dan Wen 2006).
Ampelocissus terdiri dari 95 jenis yang sebagian besar tersebar di wilayah
Malesia, Asia selatan, Afrika serta lima jenis ditemukan di Amerika Tengah. Di
Indonesia tercatat sebanyak 25 jenis Ampelocissus, tujuh jenis di antaranya
terdapat di pulau Sumatera, tiga jenis di pulau Jawa (Backer dan Bakhuizen van
den Brink Jr. 1963), 14 jenis di Borneo (Merril 1921), dan 1 jenis di Papua (Wen
2013b). Ketujuh jenis Ampelocissus yang terdapat di Sumatera antara lain adalah,
A. arachnoidea, A. gracilis, A. imperialis, A. korthalsii, A. ochracea, A.
polythyrsa, A. spicifer, dan A. thyrsiflora (Planchon 1887; Merril 1938; Latiff
1982). Jenis tersebut tersebar di Sumatera bagian utara, barat dan selatan.
Marga yang berkerabat dekat dengan Ampelocissus adalah Nothocissus.
Marga ini diangkat dari salah satu seksi pada empat seksi Ampelocissus yang
dibagi oleh Planchon. Nothocissus dipisahkan dari Ampelocissus karena memiliki
perbungaan seperti cambuk dan permukaan biji yang berkerut (Latiff 1982).
Pemindahan tingkatan takson tersebut masih dipertanyakan (Chen dan Manchester
2007), sehingga perlu peninjauan ulang jenis yang dikelompokkan ke dalam
marga Nothocissus (Soejima dan Wen 2006). Pada awalnya, N. spicifera (Griff.)
Latiff adalah satu-satunya jenis dalam marga ini, kemudian lima jenis Cissus
dipindahkan ke dalam marga Nothocissus, dua jenis di antaranya endemik Papua,
sedangkan tiga jenis lainnya berasal dari Australia (Latiff 2001).
Anatomi Vitaceae
Evaluasi terhadap ciri anatomi beberapa kultivar Vitis menunjukkan, bahwa
dinding sel antiklinal pemukaan adaksial daun memiliki bentuk tidak teratur
(polygonal). Dinding sel antiklinal pemukaan abaksial daun memiliki variasi
bentuk rata dan rata bergelombang. Stomata yang hanya terdapat pada permukaan
8
abaksial daun (tipe anomositik) dan keberadaan trikoma pada epidermis daun
terdapat pada beberapa kulitvar Vitis (Najmaddin 2014).
Pada studi sebelumnya, Ren et al. (2003) juga telah melakukan pengamatan
terhadap beberapa jenis Vitaceae termasuk marga Ampelocissus. Hasil
pengamatan jaringan anatomi daun selaras dengan Najmaddin (2014) yakni
variasi bentuk sel epidermis daun rata atau tidak teratur, dan dinding sel antiklinal
berbentuk rata, berliuk atau berliuk bergelombang.
Variasi kedudukan stomata ditemukan pada bagian epidermis bawah daun
pada beberapa kultivar Vitis, yakni menonjol keatas (sel penjaga berada di atas,
dan dikelilingi oleh sel pelengkap); rata (sel penjaga sama tinggi dengan sel
pelengkap) dan tenggelam (sel penjaga tenggelam terhadap sel pelengkap) yang
tersebar acak dan orientasi yang tidak beraturan.Trikoma ditemukan terutama
pada permukaan bawah daun, dapat berbentuk uni atau multicellular rebah atau
tegak yang berbentuk paku kecil (Monteiro et al. 2013).
Karakter anatomi yang khas pada suku Vitaceae termasuk marga
Ampelocissus adalah kristal kalsium oksalat yang berada pada seluruh jaringan
tumbuhan. Kalsium (Ca) bersifat racun sehingga tumbuhan mengubah kalsium
(Ca) menjadi kristal kalsium oksalat untuk perlindungan terhadap hewan
herbivora. Bentuk kristal kalsium oksalat suku Vitaceae yang sangat berperan
protektif terhadap hewan pemakan tumbuhan adalah raphid (kristal jarum).
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa setiap jenis memiliki bentuk dan dimensi
kristal kalsium oksalat yang bervariasi. Jenis-jenis Vitis memiliki berbagai
morfologi kristal kalsium oksalat, yang terdapat di organ vegetatif ataupun
generatif. Bentuk kristal kalsium oksalat jarum dan druse (bintang) yang dimiliki
tiap jenis dalam marga Ampelocissus dapat dipengaruhi oleh karakteristik tanah,
kondisi lingkungan dan faktor genetik (Ifrim et al. 2012).
Pada umumnya kristal kalsium oksalat pada daun terdistribusi pada jaringan
tiang hingga bunga karang (Gambar 4). Kristal kalsium oksalat jarum mempunyai
beberapa bentuk yaitu menjarum (solitary), membulat (acicular) atau mempundi
(clustered). Kristal kalsium oksalat yang bentuknya membulat atau pun
mempundi dapat membentuk idioblas (kantung yang berisi kristal kalsium oksalat
bintang dan kristal kalsium oksalat lainnya). Selain itu, terdapat juga sel getah
(mucilage cell) yang terletak di dalam kristal kalsium oksalat jarum yang kosong
(Metcalfe dan Chalk 1950).
A
B
Gambar 4 Bentuk kristal kalsium oksalat pada suku Vitaceae. A= bintang, B=
jarum mempundi (Metcalfe dan Chalk 1950)
9
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni 2014 sampai Mei 2015. Pengamatan
pendahuluan dilakukan di Herbarium Bogoriense (BO) – LIPI. Pengambilan
sampel dilakukan di Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci
Seblat, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Taman Nasional Way Kambas, Taman
Hutan Raya Bung Hatta, Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Sibolangit,
Kabupaten Banyuasin dan Provinsi Bangka-Belitung (Gambar 5). Pemrosesan
sampel dilakukan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Departemen Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Pengamatan ciri morfologi dilaksanakan di Laboratorium Biosistematika, Bidang
Botani – LIPI. Persiapan serta pengamatan preparat anatomi dilakukan di
Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam – Institut Pertanian Bogor, Pusat Penelitian Biologi,
Laboratorium Biosistematika, Bidang Botani dan Bidang Zoologi - LIPI.
1
2
3
4
5
8
6
7
Gambar 5 Lokasi pengambilan sampel penelitian di Pulau Sumatera. 1=Taman
Nasional Gunung Leuser, 2=Taman Wisata Alam dan Cagar Alam
Sibolangit, 3=Taman Hutan Raya Bung Hatta, 4=Taman Nasional
Bukit Tiga Puluh, 5=Taman Nasional Kerinci Seblat, 6=Kabupaten
Banyuasin, 7=Taman Nasional Way Kambas, 8=Provinsi BangkaBelitung
10
Bahan
Bahan tumbuhan yang digunakan berupa 71 nomor koleksi Herbarium Bogoriense
(BO), 12 nomor koleksi yang ditemukan dari kegiatan eksplorasi Sumatera, dan
foto-foto nomor koleksi holotipe yang diperoleh jaringan resmi herbarium Brux,
K, L, dan P.
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian mengikuti standar revisi oleh Rifai (2013) yaitu: (1)
Penentuan konsep takson dan geografi, (2) Pengumpulan data dari spesimen di
Herbarium Bogoriense (BO) serta spesimen yang dikumpulkan dari lapangan, (3)
Peninjauan pustaka/publikasi, (4) Pengelompokan spesimen berdasarkan karakter
morfologi, (5) Pemeriksaan spesimen, (6) Pengujian karakter morfologi yang
dipakai oleh peneliti sebelumnya sebagai perbandingan pada karakter yang
diamati, (7) Pemeriksaan konsep marga dan jenis berdasarkan studi sebelumnya,
(8) Penentuan hubungan kekerabatan, (9) Penyelesaian masalah tata nama, (10)
Penyusunan kunci identifikasi, (11) Pemberian etiket identifikasi baru, (12)
Penyusunan pertelaan setiap jenis, (13) Pembuatan gambar, dan (14) Penyusunan
naskah untuk publikasi.
Data yang dikumpulkan berupa deskripsi data morfologi berdasarkan
pengamatan spesimen di Herbarium Bogoriense (BO) – LIPI sebagai studi awal
dan koleksi segar dari Pulau Sumatera. Pengambilan sampel dilakukan dengan
metode jelajah flora (Rugayah et al. 2004). Sampel yang diambil merupakan
ranting berdaun dengan bunga atau buah sebanyak tiga rangkap. Selanjutnya
sampel diberi label gantung yang berisi nomor dan catatan lapangan. Jenis-jenis
Ampelocissus yang ditemukan didokumentasikan dan dicatat karakter penting
meliputi habitat, lingkungan tempat tumbuh, tinggi tumbuhan, warna indumentum
dan buah. Lokasi spesimen temuan jenis-jenis Ampelocissus ditentukan dengan
Global Positioning System (GPS) dan data ekologi dari sampel temuan dicatat
atau didokumentasikan. Data koordinat lokasi hasil Global Positioning System
(GPS) digambarkan dalam peta Sumatera dengan perangkat lunak ArcMap versi
10.2 untuk mengetahui distribusi spasial marga Ampelocissus di Sumatera.
Pembuatan spesimen herbarium mengikuti Djarwaningsih et al. (2002).
Spesimen yang dikoleksi dari lapangan dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran.
Setelah spesimen ditata rapi, di atasnya diberi karton bergelombang dan
aluminium bergelombang, demikian seterusnya. Setelah tinggi tumpukan sekitar
30-40 cm, bagian teratas dan terbawah ditutup dengan sasag kayu, kemudian
diikat dengan tali atau sabuk pengikat. Spesimen yang telah ditata selanjutnya
dikeringkan didalam oven dengan suhu 60° C selama 3-4 hari dan setelah kering,
spesimen ditempel pada kertas karton atau bebas asam dengan ukuran 30x43 cm.
Penempelan spesimen dapat dilakukan dengan merekatkan spesimen ke karton
menggunakan selotip kertas. Pada lembar spesimen juga dilampirkan label yang
berisi informasi mengenai spesimen herbarium.
11
Pengamatan Morfologi
Ciri dan sifat ciri morfologi Ampelocissus diamati mengacu pada Chen
(2009) dan deskriptor Vitis spp. (IPGRI 1997). Jenis Ampelocissus korthalsii
merupakan jenis yang ditemukan di Sumatera (Planchon 1887), tetapi spesimen
herbarium tidak diketemukan. Pengamatan morfologi A. korthalsii. berdasarkan
potret nomor koleksi holotype yang tersimpan di Herbarium Meise (Brux).
Pengamatan potret A. korthalsii dilakukan hanya pada organ vegetatif, sedangkan
organ generatif tumbuhan tidak dapat diamati, sehingga informasi mengenai ciri
organ generatif tidak dikemukakan. Ciri batang pada tumbuhan marga
Ampelocissus tidak tersedia pada lembaran herbarium, sehingga informasi
mengenai ciri batang tidak dikemukakan.
Tabel 1 Ciri morfologi marga Ampelocissus yang digunakan dalam analisis
keserupaan
No.
1.
Ciri
Habitus
2.
Tipe indumentum
3.
Bentuk daun
4.
6.
7.
Tipe daun
Permukaan kesat pada permukaan
adaksial daun
Tepi daun
Tipe pertulangan
8.
Bentuk ujung daun
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Bentuk pangkal daun
Bentuk pangkal menjantung daun
Tangkai anak daun
Dimorfisme daun
Cuping daun
Cuping daun menajam
Ukuran daun pelindung (cm)
Cabang sulur
Tangkai bunga
Bentuk kuncup bunga
Indumentum kuncup bunga
Tipe pelekatan kepala sari
21.
Bentuk perbungaan
22.
23.
Jumlah cabang perbungaan
Panjang ruas (cm)
24.
Kedudukan bulir
25.
Jarak bulir (cm)
5.
Sifat Ciri
0=liana; 1=herba
0=membulu sikat; 1=wol; 2=memasai;
3=menggimbal;
0=menjantung; 1=bulat telur; 2=bulat telur
sungsang; 3=lonjong; 4=melanset
0=tunggal; 1=majemuk
0=ada; 1=tidak ada
0=rata; 1=bergigi; 2=menggergaji ganda
0=menjari tiga; 1=menyirip
0=berembang; 1=runcing; 2=melancip;
3=bertaring
0=menjantung; 1=membaji; 2=menirus
0=1=bersudut; 2.menyegi
0=tidak ada; 1=ada
0=tidak ada; 1=ada
0=tidak ada; 1=ada
0=tidak ada; 1=ada
0=< 1; 1=≥ 2
0=tidak ada; 1=ada
0=tidak ada; 1=ada
0=bulat; 1=lonjong
0=tidak ada; 1=ada
0=dorsifixed; 1=basifixed
0=membulat; 1=menyegitiga; 2=
memanjang
0=≥15; 1=≤10
0=≥2; 1= ≥1; 2=≤0.9
0=bertangkai tidak beraturan;
1=berhadapan; 2=berkarang
0=≥1; 1= ≥0.3-0.9; 2=≤0.1
12
Identifikasi jenis dilakukan berdasarkan protolog Merril (1938), Planchon
(1887), dan Latiff (1982, 2001). Hasil pengamatan ditulis dalam bentuk deskripsi
dan kunci determinasi yang disusun mengikuti Wen (2007).
Spesimen yang diamati berasal dari Herbarium Bogoriense (BO) dan hasil
eksplorasi Sumatera dikelompokkan menurut kesamaan ciri morfologi. Penamaan
yang terdapat pada lembar spesimen herbarium BO diabaikan terlebih dahulu.
Pengumpulan data dilakukan dengan memeriksa dan mencatat setiap ciri serta
sifat ciri spesimen herbarium, yang selanjutnya disusun dalam bentuk matriks.
Pengujian ciri dan sifat ciri oleh peneliti sebelumnya dilakukan dengan
membandingkan matriks data ciri morfologi hasil studi sebelumnya dengan
matriks ciri morfologi yang didapat dari hasil pemeriksaan spesimen herbarium.
Pemeriksaan dan penentuan konsep jenis dilakukan berdasarkan ciri serta sifat ciri
yang terkumpul dari studi sebelumnya.
Hasil karakterisasi ciri morfologi dibuat dalam bentuk matriks data biner
ataupun multistate yang selanjutnya digunakan untuk analisis keserupaan
menggunakan perangkat lunak NTSYS-pc (Numerical Taxonomy and
Multivariate Analysis System) 2.11a (Rohlf 2000). Koefisien keserupaan dianalisis
dengan SIMQUAL, menggunakan indeks simple matching dan dengan metode
pengelompokan UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic
Mean).
Penyelesaian masalah tata nama dengan mengklarifikasi konsep jenis
dengan cara membandingkan spesimen herbarium, hasil studi sebelumya dan data
yang didapat dari hasil penelitian. Penentuan ciri kunci setiap jenis yang telah
diteliti, digunakan dalam penyusunan kunci identifikasi jenis Ampelocissus yang
terdapat di Sumatera. Variasi-variasi morfologi yang belum dilaporkan oleh
peneliti sebelumnya dipaparkan. Tahap selanjutnya, pemberian etiket identifikasi
baru, dapat berupa jenis, subjenis atau varietas baru. Setiap jenis Ampelocissus
yang terdapat di Sumatera dipertelakan dan disusun berdasarkan ciri dan sifat ciri
umum ke khusus. Pada tahapan terakhir, pembuatan gambar seluruh jenis ataupun
jenis yang memiliki variasi signifikan terhadap jenis yang pernah dipertelakan
atau digambar pada studi sebelumnya.
Pengamatan Anatomi
Pengamatan anatomi dilakukan dengan membuat sayatan paradermal dan
melintang daun dari 33 nomor koleksi Herbarium Bogoriense (BO), dan empat
nomor koleksi dari kegiatan eksplorasi Sumatera. Sampel yang digunakan
mewakili sepuluh jenis Ampelocissus di Sumatera, sedangkan jenis A. korthalsii
tidak dapat diamati, karena sampel daun tidak diperoleh. Pembuatan preparat yang
diamati menggunakan daun dewasa dari tumbuhan Ampelocissus yang dipotong
dengan ukuran 1x1 cm.
Preparat sayatan paradermal disiapkan dengan metode Cutler (1978).
Preparat sayatan paradermal disiapkan dengan menentukan satu bagian daun
dewasa untuk menjadi titik pengamatan yang meliputi bagian ujung, tengah dan
pangkal daun. Daun dipotong dengan ukuran 1x1 cm, selanjutnya direndam dalam
larutan asam nitrat 16.22 % selama 5 menit dan direbus hingga epidermis terlepas.
Setelah itu sayatan direndam di dalam larutan kloralhidrat selama 30 detik untuk
13
menghilangkan klorofilnya, dicuci dengan aquades dan direndam di dalam larutan
pewarna safranin 2% selama 1 menit. Sayatan selanjutnya diletakkan di atas gelas
preparat yang telah ditambahkan dengan 1 tetes gliserin kemudian ditutup dengan
kaca penutup. Bagian tepi kaca penutup ditutup dengan kuteks jernih sehingga
men