THE EFFECTS OF ALCOHOLIC BEVERAGES ON AMOUNT OF MALE MICE PURKINJE CELL (Mus musculus L.) STRAIN BALB/C

(1)

PENGARUH PEMBERIAN MINUMAN BERALKOHOL TERHADAP JUMLAH SEL PURKINJE SEREBELUM MENCIT

(Mus musculus L.) JANTAN GALUR BALB/C

(Skripsi)

Oleh

MUHALLA MIRZA PRIMANDA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2010


(2)

ABSTRACT

THE EFFECTS OF ALCOHOLIC BEVERAGES ON AMOUNT OF MALE MICE PURKINJE CELL (Mus musculus L.) STRAIN BALB/C

By

Muhalla Mirza Primanda

Alcohol has many benefits, as antibiotic, fuel, dissolver and reagents. For health, alcohol is used as stimulants and depresses of nerve system. Alcohol has many disadvantages. Many accidents occurred are caused by alcohol consumption. Alcohol beverage chronically can affect brain cell, especially in cerebellum. This research aim to know decrease amount of mice Purkinje cell who given orally alcoholic beverage.

Twenty mice (Mus musculus L.) strain Balb/c (age 3-4 months) divided at random become 4 group, that is control, dose 0,56, dose 0,80, dose 1,12 each consisted of 5 mice. During 30 day given orally 1,12 mL aquadest (control), and dose 0,56, 0,80, and 1,12 given alcohol orally each 0,56 mL, 0,80 mL, and 1,12 mL. After 30 days, mice were decapitated and its cerebellum taken to be made microscopic slide and interpretated by using microscope.

Alcoholic beverages X branded reduce the amount of Purkinje cell of cerebellum. By using test of ANOVA and Pearson there is relation that has no meaning of each group. With the Pearson’s test there is weak negative correlation between steps up dose of alcoholic beverages with the decrease of Purkinje cell of cerebellum.

Alcoholic beverages X branded reduce the amount of Purkinje cell that has no meaning. There is negative correlation between steps up dose of alcoholic beverages with amount of Purkinje cell of Cerebellum.


(3)

ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN MINUMAN BERALKOHOL TERHADAP JUMLAH SEL PURKINJE SEREBELLUM MENCIT (Mus musculus L.)

JANTAN GALUR BALB/C

Oleh

Muhalla Mirza Primanda

Alkohol mempunyai banyak kegunaan, sebagai zat pembunuh kuman, bahan bakar, pelarut dan reagensia. Dalam dunia kesehatan, alkohol digunakan sebagai stimulan dan depresi sistem saraf. Alkohol juga memiliki kerugian. Banyak kejadian kecelakaan disebabkan konsumsi minuman beralkohol. Konsumsi alkohol secara kronis dapat mempengaruhi sel saraf otak terutama bagian serebelum. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat penurunan jumlah sel Purkinje mencit yang diberikan minuman beralkohol peroral.

Sebanyak 20 ekor mencit (Mus musculus L.) galur Balb/c jantan (usia 3-4 bulan) dibagi secara acak menjadi 4 kelompok, yaitu kontrol, dosis 0,56, dosis 0,80, dosis 1,12 masing-masing terdiri dari 5 ekor. Selama 30 hari, diberikan secara peroral 1,12 mL aquades (kontrol), dosis 0,56, 0,80, dan 1,12 diberikan minuman beralkohol masing-masing 0,56 mL, 0,80 mL, dan 1,12 mL. Setelah 30 hari, mencit didekapitasi dan diambil serebelum untuk dibuat sediaan mikroskopis dan diinterpretasi dengan menggunakan mikroskop.

Pemberian minuman beralkohol merk X mengurangi jumlah sel Purkinje serebelum. Dengan uji ANOVA dan Pearson terdapat hubungan yang tidak bermakna masing-masing kelompok. Dengan uji Pearson terdapat korelasi negatif yang lemah antara peningkatan dosis minuman beralkohol dengan penurunan jumlah sel Purkinje serebelum.

Pemberian minuman beralkohol merk X mengurangi jumlah sel Purkinje dengan tidak signifikan. Terdapat korelasi negatif yang lemah antara peningkatan dosis pemberian minuman beralkohol dengan jumlah sel Purkinje serebelum.


(4)

Judul Skripsi : PENGARUH PEMBERIAN MINUMAN BERALKOHOL TERHADAP JUMLAH SEL PURKINJE MENCIT (Mus musculus L.) JANTAN GALUR BALB/C

Nama Mahasiswa : Muhalla Mirza Primanda No. Pokok Mahasiswa : 0518011017

Jurusan : Pendidikan Dokter

Fakultas : Matematika dan Ilmu PengetahuanAlam

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

dr. Waluyo Rudiyanto, M. Kes. dr. Susianti, M. Sc.

NIP.137610292003121002 NIP.132308672

2. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Unila

Prof. Dr. dr. Efrida warganegara, M. Kes., Sp, MK NIP. 195012231977102001


(5)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Pembimbing I : dr. Waluyo Rudiyanto, M. Kes.

Pembimbing II : dr. Susianti, M. Sc.

Penguji

Bukan Pembimbing : dr. Muhartono, M. Kes, Sp. PA

2. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Dr. Sutyarso, M. Biomed. NIP. 1957042419870311001


(6)

Kepada Ibunda Dan Ayahanda Tercinta Serta Adik-Adikku

Yang Tersayang


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jambi, pada tanggal 29 februari 1988, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Muniful Hamid dan Ibu Zuraida.

Pada tahun 1993 hingga tahun 1995 penulis bersekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 212 Jambi. Lalu melanjutkan di SD Negeri 01, Sungai Penuh, Jambi hingga selesai. Tahun 1999 penulis bersekolah di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 2 Sungai Penuh. Lalu akhir tahun 1999 hingga tahun 2002 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP Negeri 1, Kota Agung, Lampung dan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan pada tahun 2005 di SMA Al-Kautsar di Bandar Lampung. Kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Lampung Persiapan Fakultas Kedokteran dan mengambil jurusan S1-Kedokteran.


(8)

MOTTO

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar (segala minuman yang

memabukkan) dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang

besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar

dari manfaatnya".

(Q.S. Al Baqarah: 219).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam

keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,

(Q.S. An Nisa: 43).

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,

(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk

perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu

mendapat keberuntungan.

(Q.S. Al Maidah: 90).

Janganlah kamu meminum khamr karena khamr adalah kunci segala

kejahatan.(HR. Ibnu Majjah).

Hadist riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata:

Rasulullah saw. bersabda: Setiap minuman yang memabukkan adalah

khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram. Barang siapa minum

khamar di dunia lalu ia mati dalam keadaan masih tetap meminumnya

(kecanduan) dan tidak bertobat, maka ia tidak akan dapat meminumnya di

akhirat (di surga).


(9)

Karya kecil ku ini,

Aku persembahkan kepada:

Yang Tersayang Ibu dan Ayah ku.

Yang Terkasih Adik-Adikku


(10)

SANWACANA

Alhamdulillah. Puji dan syukur ku ucapkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat serta karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan dalam hidupku sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

Skripsi dengan judul “Pengaruh Minuman beralkohol terhadap jumlah sel Purkinje serebelum mencit (Mus musculus L.) jantan galur Balb/c” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran fakultas Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat masukan, bantuan, dorongan, saran, bimbingan, dan kritik dari berbagai pihak. Maka dengan segenap kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Sutyarso, M. Biomed selaku dekan Fakultas MIPA Universitas Lampung. 2. Prof. Dr. dr. Efrida Warganegara, M. Kes, Sp. MK. selaku dekan Persiapan

Fakultas Kedokteran Unila.

3. dr. Waluyo Rudiyanto, M. Kes yang selalu membimbing, memberikan saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama ini.


(11)

4. dr.Susianti, M. Sc. yang memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan skripsi ini. Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama ini.

5. dr. Muhartono, M. Kes. Sp. PA. Yang banyak memberikan arahan dan masukan dalam proses penyelesaian skripsi ini.

6. dr. Ahmad Saifudin, M. Kes yang selalu memberikan masukan atas pembuatan skripsi saya.Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan.

7. dr. Masykur, Sp, A selaku pembimbing akademik, terima kasih atas motivasi dan do’a nya.

8. Aba, Harris, mb Munji, Muti, mama, papa, Mauludin, Ageng, Astri (Hesti RS), Ayu (Muti), Shin ta, Ferli, Egi, temen2 mencit dan tikus yang bantu ngerjain skripsi.

9. Uum riyana, yang telah banyak membantu mencari bahan, memberikan semangat, mengoreksi, mengeprint, dll. Terima kasih atas kasih sayangnya. 10.Special thanks for Tya Agnesa FKIP Matematika ’06 yang selalu membantu

minjemin LCD nya dengan kak Mei dan Yayat.

11.Keluargaku tercinta: Ayah Ibuku, dan adik-adikku, acik Mal yang senantiasa mencurahkan kasih sayang, cinta, dukungan, dan doanya untukku.

12.Terima kasih kepada dr. Wiranto, pak Hendri, mb Ida, spesial thanks buat mb Yulis, mas Bayu, mb Nur, mb Romi, mb Novi (baru), mas Darto, pak Pangat, bang Dai, bang Miqdar, mas Gofur, pak Yanto (Balitvet), pak Sugio (BPPV), drh.Wisnu, pak Narman, kak Jon, ayuk Ani, Syfa, ayuk Riza, k Irawan, bang Pendi, ayuk Lina dan abang Feri, mang Budi, ayuk Yana yang membantu terselesainya penelitian ini.


(12)

13.Pak Makmun, bu Sofie, mas Heri, mas Wawan, pak Ponijan, bu Esma, pak Zul, dan seluruh staf TU yang membantu lancarnya terselesaikan skripsi ini. 14.Terima kasih kepada teman-temanku, Ade, Affan, Antoni, Bagas, Hesti Ayu,

Hesti RS, mb Fitri, Mia Ayu, Amri, Lidya, sulya, Popo, Ool, Suslina, Risa, Novi dan pak Taofik, Pak Washington, Nyoman, Sarah, Yessi, mb Mei, Atik, mb Luci, Rahma, Adite, Maya, Tuti, Tutik, k, Deby, mb Cica, mb Linda, Eca, mb Desi, mb Zelta, Bagas (bio), Tira dkk, Adityo, Eka, Maya, Reni, Yuli, Raden, Evi, k Ahmad, dr. Meli, Ijul, Mirza (06), Harum (09), Gilang, Budi, Gigih, Wira, Nisa, Lintang, Reta, dan sisanya liat di absen aja, yang selalu memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam proses penyelesaian skripsi ini karena itu penulis menerima semua saran dan kritik yang membangun.Akhir kata Penulis Mengucapkan “Terima Kasih”.

Bandar Lampung, 29 Juni 2010 Penulis,


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Kerangka Penelitian ... 5

1. Kerangka Teori ... 5

2. Kerangka Konsep ... 8

F. Hipotesis ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Alkohol ... 9

1. Definisi ... 9

2. Farmakokinetik ... 11

B. Anatomi Otak ... 16

C. Serebelum ... 19

1. Histologi Otak ... 19

2. Fungsi Serebelum ... 20

D. Sel Purkinje ... 23


(14)

III. METODE PENELITIAN ... 28

A. Desain Penelitian ... 28

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

C. Populasi dan Sampel ... 29

1. Kriteria Inklusi ... 29

2. Kriteria Eksklusi ... 29

D. Alat dan Bahan Penelitian ... 30

1. Alat Penelitian ... 30

2. Bahan Penelitian ... 30

3. Bahan Kimia ... 30

E. Prosedur Penelitian ... 31

1. Prosedur Penentuan Dosis Minuman Beralkohol ... 31

2. Prosedur Penelitian ... 33

3. Prosedur Pembuatan Preparat ... 35

F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel ... 39

1. Identifikasi Variabel ... 39

2. Definisi Operasional Variabel ... 40

G. Pengolahan dan Analisis Data ... 40

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Hasil ... 41

B. Pembahasan ... 44

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 46

A. Simpulan ... 46

B. Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 48


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori ... 7

2. Kerangka Konsep ... 8

3. Otak. Potongan Median ... 18

4. Serebelum. Tampak Belakang Atas ... 18

5. Serebelum. Pewarnaan HE. Perbesaran lemah ... 20

6. Sel Purkinje. ... 25

7. Diagram Alur Penelitian ... 35

8. Gambaran Mikroskopis Sel Purkinje Mencit Setelah Perlakuan dengan Perbesaran 400x ... 42


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Definisi Operasional ... 40

2. Rata-Rata Jumlah Badan Sel Purkinje per Kelompok Perlakuan ... 41

3. Rata-Rata Jumlah Badan Sel Purkinje Serebelum per Lapang Pandang ... 51

4. Descriptives ... 52

5. Tests of Normality ... 53

6. Test of Homogeneity of Variances ... 53

7. Uji One Way ANOVA ... 54


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alkohol merupakan senyawa yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum dapat digunakan sebagai zat pembunuh kuman, bahan bakar maupun pelarut dan reagensia (Syabatini, 2008). Dalam dunia kesehatan alkohol juga digunakan sebagai obat yang digunakan pada sistem saraf (Master, 2002).

Alkohol pada sistem saraf diyakini sebagai stimulan, tetapi efek stimulan ini hanya sedikit. Seperti pada obat anestesi dan hipnotik lain, alkohol bekerja sebagai obat sedatif yang dalam jumlah rendah sampai sedang bisa menghilangkan kecemasan dan membantu menimbulkan rasa tenang atau bahkan euforia (Masters, 2002; Makiyah et al., 2005). Alkohol juga bersifat depresan terhadap sistem saraf pusat dengan menghambat aktivitas neuronal dan menurunkan ketajaman mental serta memperburuk koordinasi motorik seperti pada gambaran orang yang mabuk setelah minum alkohol. Hal ini berakibat pada hilangnya kendali diri dan mengarah kepada keadaan membahayakan diri sendiri maupun orang disekitarnya (Dewi, 2008; Makiyah


(18)

2

Di Amerika Serikat, kira-kira 75% dari populasi dewasanya mengkonsumsi minuman beralkohol secara teratur. Mayoritas dari populasi ini bisa menikmati efek memuaskan yang diberikan alkohol tanpa menjadikannya sebagai risiko terhadap kesehatan (Masters, 2002). Sekitar 10% dari populasi umum di Amerika Serikat (sekitar 14 juta) tidak mampu membatasi konsumsi alkohol, suatu kondisi yang dikenal sebagai penyalahgunaan alkohol atau alkoholisme (Masters, 2002; Dewi, 2008).

Konsumsi alkohol dalam jumlah besar selama jangka waktu yang panjang (biasanya bertahun-tahun) dapat menyebabkan defisit neurologis. Abnormalitas neurologis yang paling sering dijumpai pada alkoholisme kronis adalah terjadinya kerusakan saraf perifer simetris, gangguan pada cara berjalan (gait), ataksia, serta merusak ketajaman visual hingga degenerasi saraf optikus. Gangguan neurologis lainnya yang berkaitan dengan alkoholisme adalah demensia (Masters, 2002).

Seseorang yang mengkonsumsi alkohol akan cenderung lebih agresif dan tidak terkendali sehingga sering mengalami kecelakaan. Hal ini dilihat dari banyaknya kecelakaan lalu lintas akibat penyalahgunaan alkohol. Satu dari tiga kecelakaan di Amerika Serikat disebabkan karena pengemudinya di bawah pengaruh alkohol. Pengemudi tersebut memiliki kadar alkohol darah masih berada dalam batas wajar. Kecelakaan lalu lintas tersebut menyebabkan 25.000 kematian per tahun (Hawari, 1995; Masters, 2002).

Mortalitas yang terjadi tercatat rata-rata 20.000 kematian per tahun disebabkan penyalahgunaan alkohol. Diperkirakan sekitar 30% dari semua orang yang


(19)

3

pernah masuk rumah sakit selalu disertai dengan masalah yang menyangkut alkohol. Setiap tahun, ribuan anak di Amerika Serikat dilahirkan dengan cacat morfologis dan fungsional yaitu Fetal Alcohol Syndrome akibat pemaparan terhadap alkohol selama kehamilan. Empat puluh juta anak dan suami/istri menanggung derita mental karena satu atau lebih anggota keluarga menderita ketergantungan alkohol (Hawari, 1995; Masters, 2002).

Penelitian oleh Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) Avicena Smalsa Surakarta, bertujuan melihat pengaruh alkohol terhadap proses belajar tikus dengan memasukkan 2 ekor tikus pada media berupa lorong-lorong yang dibuat dari kardus dan disusun berliku-liku. Tikus diperlakukan melakukan eksplorasi pada lorong menuju pintu keluar untuk mengingat jalur menuju keluar. Pada hari selanjutnya, tikus diberikan alkohol 40% peroral dan yang lain tidak. Hasil yang didapatkan, pada tikus yang tidak diberikan alkohol, langsung dapat menuju pintu keluar, sedangkan pada tikus yang diberikan alkohol tidak dapat berjalan menuju pintu keluar. Hal ini menandakan bahwa alkohol sangat mempengaruhi otak untuk fungsi belajar (Habibi, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Shivarajashankara et al. (2002) dengan memberikan fluorida dosis 0,5 ppm, 30 ppm, dan 100 ppm yang dicampur ke dalam minuman pada hewan percobaan tikus. Kemudian otak tikus dibuat sediaan mikroskopis dengan pewarnaan cresyl violet dan dilihat pengaruhnya pada bagian-bagian otak, yaitu hipokampus, amigdala, korteks serebrum, dan serebelum dengan menggunakan mikroskop cahaya. Pada penelitian yang dilakukannya ini didapatkan bahwa sel Purkinje serebelum adalah bagian yang


(20)

4

paling berpengaruh, yaitu terdapat peningkatan jumlah sel granula, tetapi penurunan jumlah sel Purkinje dan sel molekular.

Penelitian yang dilakukan oleh Fakhrurrazy (2004) dengan memberikan alkohol peroral dosis 3%, 12%, dan 20% selama 30 hari pada tikus sebanyak 2 mL/hari/ekor. Kemudian otak tikus dibuat sediaan mikroskopis dengan metode parafin dan pewarnaan toluidin biru dilihat dengan menggunakan mikroskop. Didapatkan hasil yaitu terdapat penurunan jumlah sel Purkinje yang bermakna antar kelompok.

Pada uji pendahuluan didapatkan pengaruh pemberian alkohol pada mencit berupa berkurangnya sel purkinje serebelum. Berdasarkan hal-hal diatas, maka peneliti ingin mengetahui pengaruh minuman beralkohol terhadap jumlah sel Purkinje serebelum dengan menggunakan hewan percobaan mencit jantan galur Balb/c.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dalam penulisan ini rumusan masalah yang akan diteliti adalah:

Bagaimana hubungan antara pemberian minuman beralkohol dengan jumlah sel Purkinje serebelum mencit (Mus musculus L.) jantan galur Balb/c.


(21)

5

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui pengaruh pemberian minuman beralkohol terhadap jumlah sel Purkinje mencit jantan galur Balb/c.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti dapat menambah pengetahuan tentang pengaruh minuman beralkohol terhadap serebelum mencitjantan galur Balb/c.

2. Bagi peneliti selanjutnya dapat menjadikan penelitian ini sebagai acuan untuk melakukan penelitian dengan jenis minuman beralkohol lainnya atau terhadap organ tubuh lainnya.

E. Kerangka Penelitian

1. Kerangka Teori

Konsumsi alkohol kronis meningkatkan aktivasi sel glia yang dikenal sebagai astrosit dan mikroglia, juga meningkatkan ekspresi gen dan sitokin proinflammasi otak. Semua itu merupakan indikator dari neurodegenerasi dan kerusakan otak. Mekanisme induksi gen proinflamasi yang diakibatkan oleh alkohol membutuhkan kadar alkohol darah yang tinggi (Crews, 2008).


(22)

6

Mikroglia merupakan sel yang sangat berperan pada neurodegenerasi alkoholik. Seseorang peminum mengalami peningkatan mikroglia di korteks. Mikroglia adalah sel pertahanan otak dan terdapat sekitar 20% sel otak namun dapat berproliferasi ketika teraktivasi (Eroschenko, 2003; Crews, 2008).

Dua faktor transkripsi DNA yang dipengaruhi alkohol adalah cAMP responsive element binding protein (CREB) dan faktor transkripsi yang pertama kali ditemukan pada aktivasi limfosit B, nuclear factor κB (NF-κB). Dua faktor ini membutuhkan kadar alkohol darah yang tinggi. Alkohol meningkatkan pengikatan DNA pada NF-κB dan menurunkan pengikatan DNA pada CREB sehingga meningkatkan transkripsi gen proinflamasi. Aktifnya transkripsi NF-κB meningkatkan sitokin proinflamasi, dengan Tumor necrosis factor (TNF) α sebagai prototipe (Crews, 2008).

Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate hidrogenase (NADPH) oksidase, kompleks enzim yang terdapat di membran sel, merupakan suatu proinflamasi yang memproduksi radikal bebas oksigen teraktivasi yang dapat membunuh bakteri dan sel lainnya (Crews, 2008). Otak seorang peminum didapatkan peningkatan transkripsi gen NF-κB, sitokin proinflamasi, gen proinflamasi dan mikroglia yang dibandingkan dengan kontrol pada usia yang sama (Crews, 2008).

Alkohol dapat menyebabkan kerusakan pada sel saraf (neuron), yang menghasilkan sel saraf kehilangan selnya dan fungsinya


(23)

7

(neurodegenerasi). Pada serebrum, sel saraf yang mengalami kerusakan yaitu sel piramidal hippokampus, sel granul girus dentatum, neuron pada korteks frontal. Bagian korteks frontal merupakan bagian yang sensitif untuk terjadi kerusakan akibat alkohol. Pada serebelum, sel Purkinje merupakan sel neuron yang terletak pada korteks yang juga mengalami neurodegenerasi akibat alkohol (Crews, 2008).

Gambar 1. Kerangka Teori Sitokin proinflamasi Gen

proinflamasi

TNF α NADPH

oksidase alkohol

Mikroglia Ikatan

DNA NF-κB

Ikatan

DNA CREB

Neurodegenerasi Neurogenesis


(24)

8

2. Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep

F. Hipotesis

Terdapat penurunan jumlah sel Purkinje serebelum mencit yang diberikan minuman beralkohol. Grup 3 Dosis 0,80 Grup 4 Dosis 1,12 Minuman beralkohol

(14,8%) Grup 1

Kontrol Media

Minuman beralkohol dosis 0,8 mL

Minuman beralkohol dosis 1,12 mL

Jumlah Sel Purkinje Jumlah Sel Purkinje Grup 2 Dosis 0,56 Jumlah Sel Purkinje Minuman beralkohol dosis 0,56 mL

Jumlah Sel Purkinje


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Alkohol

1. Definisi

Istilah alkohol sendiri pada awalnya berasal dari bahasa Arab “Al Kuhl” (bubuk halus antimon atau substansi murni lain) yang digunakan untuk menyebut bubuk yang sangat halus dan biasanya dipakai untuk bahan kosmetik khususnya eyeshadow. Sejak 5000 tahun yang lalu, alkohol digunakan sebagai minuman dengan berbagai tujuan, seperti sarana untuk komunikasi transedental dalam upacara kepercayaan dan untuk memperoleh kenikmatan (Dewi, 2008; Dorland, 2005).

Dari segi kimiawi, alkohol merupakan suatu senyawa kimia yang mengandung gugus -OH yang terikat pada atom karbon dan atom hidrogen dan/atau atom karbon lain. Rumus kimia umum alkohol adalah CnH2n+1OH (Dewi, 2008). Alkohol dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok tergantung pada bagaimana posisi gugus -OH dalam rantai atom-atom karbonnya. Kelompok-kelompok alkohol antara lain alkohol primer, sekunder, dan tersier (Dewi, 2008).


(26)

10

Alkohol dapat membentuk ikatan hidrogen antara molekul-molekulnya maupun dengan air. Hal ini dapat mengakibatkan titik didih maupun kelarutan alkohol dalam air cukup tinggi (Syabatini, 2008). Titik didih alkohol meningkat seiring dengan meningkatnya panjang gugus alkil, banyak cabang dan banyak gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon (Dewi, 2008; Syabatini, 2008).

Seperti air, alkohol adalah asam atau basa sangat lemah. Pada larutan encer dalam air, alkohol mempunyai pKa yang kira-kira sama dengan pKa air. Namun dalam keadaan murni keasaman alkohol jauh lebih lemah daripada air. Hal ini disebabkan karena alkohol mempunyai tetapan elektrik yang rendah (Syabatini, 2008).

Masyarakat umum sering menyebutkan alkohol sebagai etenol. Hal ini disebabkan karena memang etanol yang digunakan sebagai bahan dasar pada minuman tersebut, bukan metanol, atau grup alkohol lainnya (Dewi, 2008). Etanol adalah alkohol primer yang berwujud cairan jernih, tak berwarna, mudah menguap dan mudah terbakar, dapat dikelirukan dengan air, metanol, eter, kloroform dan aseton. Etanol ini dibentuk dari peragian karbohidrat yang dikandung dari malt dan beberapa buah-buahan seperti

hop, anggur dan sebagainya oleh mikroba atau melalui sintesis dari etilen dan alkohol memiliki kadar energi 7 kkal/gr (Dewi, 2008; Dorland, 2005; Linder, 2006).

Dalam dunia kimia, farmasi dan kedokteran, etanol banyak digunakan, diantaranya sebagai pelarut. Alkohol merupakan pelarut yang paling


(27)

11

bermanfaat dalam bidang farmasi, digunakan sebagai pelarut utama untuk banyak senyawa organik, serta sebagai bakterisida (pembasmi bakteri) terutama sebagai pembersih kulit sebelum injeksi. Etanol 60-80 % berkhasiat sebagai bakterisida yang kuat dan cepat terhadap bakteri-bakteri, sebagai germisida alat-alat, sebagai obat sedatif dan depresan sistem saraf pusat yang memberikan efek tenang dan euforia (Al-Jawi, 2005; Masters, 2002; Makiyah et al., 2005).

Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 3/1997, minuman beralkohol dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan. Minuman beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol 1% sampai 5%, misalnya bir. Minuman beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol 5% sampai 20%, misalnya anggur. Minuman beralkohol golongan C adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol 20% sampai 55%, misalnya wiski dan brendi (Al-Jawi, 2005; Keppres RI, 1997).

2. Farmakokinetik

a. Absorbsi

Alkohol adalah molekul kecil yang larut dalam air yang diabsorbsi dengan cepat dari saluran cerna (Masters, 2002). Setelah diminum, alkohol kebanyakan diabsorbsi di duodenum melalui difusi. Kecepatan absorbsi bervariasi, tergantung beberapa faktor, antara lain:

1) Volume, jenis, dan konsentrasi alkohol yang dikonsumsi. Alkohol dengan konsentrasi rendah diabsorbsi lebih lambat. Namun alkohol


(28)

12

dengan konsentrasi tinggi akan menghambat proses pengosongan lambung. Selain itu, karbonasi juga dapat mempercepat absorbsi alkohol.

2) Kecepatan minum, semakin cepat seseorang meminumnya, semakin cepat absorbsi terjadi.

3) Makanan memegang peranan besar dalam absorbsi alkohol. Efek utama makanan terhadap alkohol adalah perlambatan pengosongan lambung. Jumlah, waktu, dan jenis makanan sangat mempengaruhi. Makanan tinggi lemak secara signifikan dapat memperlambat absorbsi alkohol.

4) Metabolisme lambung, seperti juga metabolisme hati, dapat secara signifikan menurunkan bioavailabilitas alkohol sebelum memasuki sistem sirkulasi (Dewi, 2008).

b. Distribusi

Volume distribusi dari alkohol mendekati volume cairan tubuh total sekitar 0,5-0,7 L/Kg Berat Badan (Masters, 2002). Setelah minum alkohol dalam keadaan puasa, kadar puncak alkohol di dalam darah dicapai dalam waktu 30 menit (Masters, 2002). Di dalam sistem saraf pusat, konsentrasi alkohol meningkat dengan cepat karena otak menampung sebagian besar aliran darah dan alkohol melewati membran biologi dengan cepat (Masters, 2002).


(29)

13

c. Metabolisme

1) Tahap 1 (Jalur alkohol dehidrogenase)

Pada tahap awal, alkohol dioksidasi menjadi asetaldehid oleh enzim alkohol dehidrogenase (ADH), suatu enzim sitolitik yang mengandung seng dan mengkatalisis perubahan alkohol menjadi aldehid. Enzim ini terdapat sedikit pada konsentrasi alkohol yang rendah dalam darah. Kemudian saat kadar alkohol dalam darah meningkat hingga taraf sedang, kecepatan metabolisme menjadi maksimal, yaitu 7-10 gram/jam (setara dengan sekali minum dalam satu jam). Kecepatan metabolisme tersebut sangat berbeda antara masing-masing individu, dan bahkan berbeda pula pada orang yang sama dari hari ke hari (Dewi, 2008).

Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

C2H5OH + NAD+ CH3CHO + NADH + H+

Enzim ini terutama berada dalam hati, namun dapat juga dijumpai dalam organ lain seperti otak dan lambung (Dewi, 2008; Lee dan Charles, 1998).

Selama perubahan etanol menjadi asetaldehid menurut reaksi tadi, ion hidrogen ditransfer dari alkohol pada nikotinamid adenin dinukleotida (NAD+) untuk membentuk NADH. Sebagai hasil akhir, oksidasi alkohol menyebabkan berlebihan zat yang bersifat


(30)

14

mereduksi di dalam hati terutama NADH (Lee dan Charles, 1998; Masters, 2002).

Alkohol dalam jumlah yang bermakna dimetabolisime oleh alkohol dehidrogenase lambung dalam perut pada laki-laki tapi pada wanita lebih sedikit, akibatnya wanita memiliki kadar alkohol dalam darah lebih tinggi daripada laki-laki setelah pemberian dosis etanol peroral, tetapi setelah pemberian intravena tidak ada perbedaan antara kedua jenis kelamin. Kandungan cairan tubuh total yang rendah dan tingginya lemak juga menyebabkan wanita lebih cepat menjadi alkoholik dibanding pria (Lee dan Charles, 1998; Masters, 2002; Dewi, 2008).

2) Tahap 2 (Sistem oksidasi etanol mikrosom (SOEM))

Sistem enzim ini juga dikenal sebagai sistem oksidasi dengan fungsi campuran, menggunakan NADPH pengganti NAD sebagai kofaktor dalam metabolisme etanol yang digambarkan dalam reaksi berikut:

C2H5OH + NADPH + H+ + O2 CH3CHO + NADP+ + 2H2O Untuk alkohol dengan konsentrasi di bawah 10 mg% (22 mol/L), alkohol dehidrogenase merupakan sistem oksidasi yang utama, sedangkan untuk konsentrasi alkohol yang lebih tinggi SOEM memegang peranan yang lebih berarti (Lee dan Charles, 1998; Dewi, 2008).


(31)

15

Pada konsentrasi etanol dalam darah di bawah 10 mg/dL (22 mol/L), sistem MEOS yang memiliki Km relatif tinggi untuk alkohol, memberikan sedikit pengaruh terhadap metabolisme etanol. Namun, bila etanol dalam jumlah besar dikonsumsi, sistem alkohol dehidrogenase menjadi jenuh karena pengosongan jumlah kofaktor yang dibutuhkan, NAD+. Bila konsentrasi etanol meningkat diatas 100 mg/dL, akan terjadi peningkatan peran dari sistem MEOS, yang tidak mengandalkan kofaktor (Masters, 2002).

3) Tahap 3 (Metabolisme asetaldehid)

Lebih dari 90% asetaldehid yang terbentuk dari alkohol dioksidasi di dalam hati. Aldehid dehidrogenase yang tergantung pada NAD mitokondria merupakan jalur utama untuk metabolisme asetaldehid karena kadar asetaldehid di dalam hati setelah pemberian alkohol hanya 100-350 µmol/L. Hasil dari reaksi ini adalah asetat, yang dapat dimetabolisme lebih lanjut menjadi CO2 dan air. Konsumsi alkohol yang kronis menyebabkan penurunan jumlah oksidasi asetaldehid di dalam mitokondria yang sehat, meskipun aktivitas enzim tidak terpengaruh (Lee dan Charles, 1998). Orang dewasa dapat memetabolisme 7-10 gram (150-220 mmol) alkohol per jam, yang ekuivalen dengan kira-kira 10 ons bir, 3,5 ons anggur atau 1 ons minuman keras yang disuling dengan kadar murni 80 (Masters, 2002).


(32)

16

B. Anatomi Otak

Otak dapat dibagi menjadi serebrum (otak besar), trunkus ensefalikus (batang otak), dan serebelum (otak kecil). Serebrum (otak depan atau prosensefalon) terdiri dari telensefalon dan diensefalon. Telensefalon mencakup korteks serebrum, substansia grisea, substansia subkortikal, dan ganglia basalis yang merupakan massa kelabu yang terdapat jauh di bagian dalam hemisfer serebrum. Subbagian utama dari diensefalon adalah talamus dan hipotalamus (DeGroot dan Joseph, 1997).

Serebrum dipisahkan oleh fisura media menjadi dua hemisfer, hemisfer kanan dan kiri. Permukaan lateral masing-masing hemisfer dibedakan menjadi lobus frontal, parietal, temporal, dan oksipital. Otak mendapat darah dari arteri karotis interna dan arteri vertebralis (Yusup, 1992).

Pada potongan melintang dari serebrum, serebelum dan medula spinalis tampak daerah-daerah yang berwarna putih (substansia alba) dan kelabu (substansia grisea). Distribusi mielin yang berbeda dalam SSP menyebabkan perbedaan ini, komponen utama dari substansia alba adalah akson yang bermielin dan oligodendrosit yang memproduksi mielin dan tidak mengandung badan sel neuron. Serebelum terdiri dari vermis dan dua lobus lateralis (DeGroot dan Joseph, 1997; Junqueira et al., 1998).

Serebelum terbagi menjadi tiga lobus oleh dua fisura yang dalam, yakni: lobus anterior, lobus posterior, dan lobus flokulonodular. Di sebelah bawah dari pusat serebelum tampak suatu pita sempit yang dipisahkan dari bagian


(33)

17

serebelum yang tersisa oleh celah dangkal, yang disebut vermis. Pada area ini, terletak sebagian besar fungsi pengatur serebelar untuk pergerakan-pergerakan otot menurut sumbu tubuh, leher, bahu, serta pinggul. Pada tiap sisi vermis ada bagian yang besar, menonjol ke lateral yang disebut hemisfer serebeli, dan setiap hemisfer ini dibagi menjadi zona intermediat dan zona lateral (Guyton dan John, 1996).

Zona intermediat hemisfer berhubungan dengan pengaturan kontraksi otot yang terletak di bagian distal anggota badan atas dan anggota badan bawah, khususnya tangan dan jari-jari tangan serta kaki dan jari-jari kaki. Zona lateral hemisfer bekerja pada tempat yang lebih jauh, karena tampaknya area ini ikut berperan dalam seluruh rangkaian gerakan motorik. Tanpa adanya zona lateral ini, maka sebagian besar aktivitas gerakan tubuh yang khas akan tidak tepat lagi sehingga menjadi sangat tidak teratur (Guyton dan John, 1996).

Kurang lebih 18% dari seluruh volume darah dalam tubuh beredar di dalam otak, yang besarnya 2% dari berat badan. Darah mengangkut oksigen, zat gizi, dan zat-zat lainnya yang diperlukan agar jaringan otak dapat berfungsi dengan baik dan dapat mengeluarkan metabolit-metabolit yang ada. Otak menggunakan kira-kira 20% dari oksigen yang diabsorbsi dalam paru-paru dan sisanya akan menuju ke bagian tubuh yang lain. Aliran oksigen yang konstan harus terus dipertahankan karena kesadaran akan menghilang dalam kurang waktu dari 1 menit setelah aliran darah ke otak terhenti, dan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki akan terjadi dalam waktu 5 menit (DeGroot dan Joseph, 1997).


(34)

18

Gambar 3. Otak. potongan median (Putz dan Reinhard, 2006).


(35)

19

C. Serebelum

1. Histologi

Korteks serebeli memiliki tiga lapisan: lapisan molekular luar, lapisan tengah yang terdiri dari sel-sel Purkinje besar, dan lapisan granular dalam, suatu lapisan yang tersusun dari sel-sel granula yang sangat kecil. Sel-sel Purkinje memiliki badan sel yang mencolok dengan dendritnya yang berkembang dengan sempurna sehingga menyerupai kipas. Dendrit ini menempati hampir seluruh lapisan molekular dan menjadi alasan untuk jarangnya nuklei pada lapisan itu. Lapisan granular disusul oleh sel-sel yang sangat kecil yang cenderung merata, berbeda dengan lapisan molekular yang kurang padat sel (Junqueira et al, 1998; DeGroot dan Joseph, 1997).

Serebelum mempunyai kira-kira 30 juta unit fungsional yang hampir identik, yang terletak pada sel Purkinje tunggal yang sangat besar, yang terletak di korteks serebeli dan berhubungan dengan sel nuklear dalam (Guyton dan John, 1996). Output yang berasal dari unit fungsional adalah hasil dari sel nuklear dalam yang terus-menerus dalam pengaruh eksitasi dan inhibisi. Pengaruh eksitasi berasal dari hubungan langsung dengan serat-serat aferen yang memasuki serebelum dari otak atau dari perifer. Pengaruh inhibisi seluruhnya timbul dari sel Purkinje (Guyton dan John, 1996).


(36)

20

Keterangan:

ML : Molecular Layer

PL : Purkinje layer

GL : Granular Layer

W : White Matter

Gambar 5. Serebelum. Pewarnaan HE. Perbesaran lemah (Gartner et al., 2002).

2. Fungsi serebelum

Sistem saraf menggunakan serebelum untuk mengkoordinasikan fungsi pengatur motoriknya pada tiga tingkatan (Guyton dan John, 1996), sebagai berikut:

a. Vestibuloserebelum.

Bagian ini pada prinsipnya terdiri dari lobus flokulonodular serebelum kecil (yang terletak di bawah serebelum posterior) dan bagian vermis yang berdekatan. Bagian ini berfungsi bersama batang otak dan medula spinalis untuk mengatur keseimbangan dan gerakan sikap tubuh.


(37)

21

Bagian ini sebagian besar terdiri dari vermis dari posterior dan anterior serebelum ditambah lobus intermediat yang berdekatan pada kedua sisi vermis. Bagian ini terutama merupakan lintasan untuk mengkoordinasikan gerakan-gerakan bagian distal anggota tubuh, khususnya tangan dan jari-jari. Bagian ini berfungsi mengatur umpan balik terhadap gerakan-gerakan angota tubuh bagian distal melalui korteks serebelar intermediat dan nukleus interposisi.

c. Serebroserebelum.

Bagian ini terdiri dari zona lateral dari hemisfer serebelar yang luas, di sebelah lateral lobus intermediat. Bagian ini sebenarnya menerima semua inputnya dari korteks motorik dan korteks premotorik serta korteks somatosensorik yang berdekatan. Bagian ini menjalarkan informasi outputnya kearah atas, kembali ke otak. Bagian ini berfungsi juga sebagai alat umpan balik bersama dengan seluruh sistem sensorimotorik kortikal untuk merencanakan gerakan volunter tubuh dan anggota tubuh yang berurutan, merencanakan semua ini sepersepuluh detik sebelum gerakan terjadi. Berfungsi merencanakan, mengurutkan, dan menghitung waktu gerakan-gerakan kompleks.

Serebelum berperan penting dalam menentukan saat aktivitas motorik dan pengalihan yang cepat dari satu gerakan ke gerakan berikutnya. Serebelum juga membantu mengatur intensitas kontraksi otot bila beban otot berubah, seperti mengendalikan kontraksi otot agonis dan antagonis agar sesuai dan berlangsung dengan segera (Guyton dan John, 1996).


(38)

22

Serebelum terutama penting untuk pengaturan aktivitas otot yang cepat seperti berlari, mengetik, main piano, dan bahkan untuk bicara. Hilangnya area otak ini dapat menimbulkan inkoordinasi dari hampir seluruh aktivitas ini walaupun tidak terdapat kelumpuhan otot (Guyton dan John, 1996).

Serebelum membantu mengurutkan aktivitas motorik dan juga memonitor dan memperbaiki penyesuaian aktivitas motorik tubuh sehingga dapat menyesuaikan diri terhadap sinyal-sinyal motorik yang dicetuskan oleh korteks motorik dan bagian otak lainnya. Serebelum ini terus-menerus menerima informasi yang baru terjadi untuk menimbulkan kontraksi otot yang diinginkan dari area pengatur motorik bagian otak lainnya. Serebelum juga terus-menerus menerima informasi sensorik dari bagian perifer tubuh yang memberi tahu mengenai berbagai perubahan setiap bagian tubuh, seperti: posisinya, kecepatan geraknya, kekuatan geraknya, dan sebagainya (Guyton dan John, 1996).

Serebelum membandingkan keadaan setiap bagian tubuh pada saat sekarang yang ditimbulkan oleh informasi sensorik yang bersifat umpan balik dari perifer, dengan gerakan yang diinginkan oleh sistem motorik. Bila kedua-duanya tidak serasi, maka dengan segera akan dikeluarkan sinyal perbaikan yang sesuai yang dijalarkan kembali ke sistem motorik guna meningkatkan atau mengurangi besarnya aktivitas otot yang spesifik (Guyton dan John, 1996).

Serebelum membantu korteks serebri untuk merencanakan urutan gerakan berikutnya dalam waktu sepersekian detik sebelumnya, sementara gerakan


(39)

23

masih berlangsung. Jadi membantu seseorang untuk bergerak maju secara lancar dari satu gerakan ke gerakan berikutnya. Serebelum juga mampu belajar dari kesalahan yang dibuat, artinya jika gerakan yang terjadi tidak tepat seperti yang diinginkan, maka lintasan serebelar belajar untuk membuat gerakan yang lebih kuat atau lebih lemah pada waktu selanjutnya (Guyton dan John, 1996).

D. Sel Purkinje

Sel Purkinje adalah neuron yang ditemukan di korteks serebelum, di dasar otak. Sel ini adalah neuron yang terbesar, dan bertanggung jawab untuk sebagian besar sinyal elektrokimia di serebelum. Sel Purkinje dinamakan oleh ahli anatomi Ceko, Jan Evangelista Purkynĕ, yang ditemukannya pada tahun 1837 (Anonim b, 2003).

Sel Purkinje dikenal dari struktur dendrit yang bercabang, yang menerima impuls elektrokimia dari sel-sel lainnya. Neuron Purkinje dikenal sebagai sel penghambat, yang melepaskan neurotransmitter GABA yang terikat dengan reseptor yang bekerja menghambat, atau mengurangi sinyal neuron. Sel Purkinje ini mengirimkan proyeksi penghambatan ke neuron di pusat serebelum yang disebut nuklei serebelar profunda (Anonim, 2003).

Sel Purkinje dan serebelum sangat penting untuk fungsi motorik tubuh. Kelainan yang melibatkan sel-sel Purkinje biasanya berpengaruh terhadap


(40)

24

gerakan seseorang. Sel Purkinje dapat dipengaruhi oleh kelainan genetik dan penyakit yang didapat (Anonim, 2003).

Penyakit genetik yang mempengaruhi sel-sel Purkinje termasuk serebelar hipoplasia, autisme, ataksia telangiektasis, dan penyakit Niemann Pick Tipe C. Untuk hipoplasia serebelar, pasien dilahirkan dengan serebelum yang tidak berkembang, baik karena sel-sel Purkinje tidak pernah berkembang atau karena mengalami degenerasi dalam rahim. Kelainan genetik lain yang mempengaruhi serebelum, gejalanya mungkin tidak muncul sampai beberapa tahun setelah lahir, setelah itu mereka dapat memburuk. Penyakit Niemann Pick Tipe C kadang-kadang menyebabkan kematian dalam beberapa bulan setelah lahir, dan dalam kasus lain tidak terlihat sampai remaja. Semua kelainan serebelar ditandai oleh penurunan fungsi motorik, seperti kelainan cara berjalan, kejang, gerakan mata yang tidak teratur, atau gerakan anggota badan yang tidak terkoordinasi (Anonim, 2003).

Sel Purkinje juga dapat dirusak oleh perkembangan di kemudian hari, seperti kelainan autoimun termasuk diperoleh Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS) dan kelainan neurodegeneratif yang tidak bersifat genetik. Sel Purkinje juga dapat dirusak oleh zat toksik dalam lingkungan. Konsumsi alkohol berlebihan atau litium dapat menyebabkan serebelum berdegenerasi. Stroke juga dapat merusak sel Purkinje (Anonim, 2003).


(41)

25

Gambar 6. Sel Purkinje (Junqueira dan Jose, 2007).

E. Pengaruh Alkohol Terhadap Otak

Susunan saraf rentan terhadap berbagai jenis toksikan. Kerentanannya sebagian dapat dikaitkan dengan fakta bahwa neuron memiliki suatu laju metabolisme yang tinggi, dengan sedikit kapasitas untuk metabolisme anaerobik. Karena dapat dirangsang oleh listrik, neuron cenderung lebih mudah kehilangan integritas membran sel. Panjangnya akson merupakan alasan lain mengapa susunan saraf terutama rentan terhadap efek toksik, karena badan sel memasok aksonnya secara struktural maupun secara metabolisme (Lu, 1994).

Sistem saraf pusat sangat dipengaruhi oleh alkohol dibandingkan sistem lain dalam tubuh. Pada otak, alkohol mengakibatkan depresi yang menyerupai depresi akibat narkotik, kemungkinan melalui gangguan pada transmisi sinaptik, dimana impuls saraf akan mengalami inhibisi. Terjadi pembebasan


(42)

26

pusat otak yang lebih rendah dari kontrol pusat yang lebih tinggi dan inhibisi (Dewi, 2008). Pada dosis sedang, alkohol cenderung menghambat keterampilan yang memerlukan perhatian dan proses informasi, juga kerterampilan motorik yang diperlukan untuk menjalankan kendaraan bermotor (Masters, 2002).

Seorang peminum alkohol kronik menunjukkan kerusakan otak yang mirip dengan pasien defisiensi tiamin, Sindrom Wernike Korsakof. Ensefalopati Wernike ditandai dengan kebingungan, paralisis otot ekstra okular (terutama rektus lateral), dan ataksia yang timbul secara cukup mendadak. Sindrom dapat berkembang menjadi koma dan kematian jika tidak diobati tetapi berespon baik terhadap tiamin pada stadium awal. Perubahan morfologik pada ensefalopati Wernicke paling jelas ditemukan di korpus mamilaris hipotalamus, daerah di medial dorsal talamus, dan substansia grisea di sekitar akuaduktus serebri. Pada substansia grisea, ensefelopati Wernike berkorelasi dengan kelainan gerakan mata yang tampak secara klinis. Perubahan paling dini adalah proliferasi endotel kapiler disertai gangguan permeabilitas vaskular. Perdarahan terjadi akibat kebocoran sel darah merah dari kapiler abnormal ini. Jika ensefalopati Wernike tidak segera ditangani, dapat terjadi defisit daya ingat permanen yang dikenal sebagai psikosis Korsakof (Burns et al., 2007).

Psikosis Korsakof ditandai dengan ketidakmampuan membentuk ingatan baru atau mengulang yang lama, seperti dengan konfabulasi. Perubahan morfologik pada sindrom Korsakof terdapat di daerah yang sama dengan ensefalopati


(43)

27

Wernike dan mencakup gliosis serta pengendapan hemosiderin akibat pendarahan sebelumnya. Berbeda dengan perubahan setelah iskemik, neuron relatif tidak terkena, tetapi sering agak menciut (Burns et al., 2007).

Psikosa alkoholik timbul dalam berbagai bentuk. Intoksikasi alkohol akut ialah psikosa karena sindroma otak organik berhubungan dengan alkohol secara akut. Deteriorasi alkoholik ialah sindroma otak organik kronik dengan gangguan ingatan dan penilaian, serta disorientasi dengan amnesia total yang timbul pada individu dengan alkoholisme kronik. Intoksikasi patologik mulai secara tiba-tiba, kesadaran menurun, penderita bingung dan gelisah serta terdapat disorientasi ilusi halusinasi optik dan waham. Delirium tremens terjadi sesudah periode minum yang lama dan berlebihan lalu dihentikan (jarang di bawah umur 30 tahun dan biasanya sesudah 3-5 tahun alkoholisme yang berat). Terdapat kegelisahan, tremor, gangguan tidur, ilusi, halusinasi visual, taktik dan penciuman (halusinasi akustik tidak didapatkan), disorientasi, nadi cepat, suhu badan meninggi, kulit basah serta bicara tidak jelas. Pada halusinasi alkoholik terdapat halusinasi akustik yang mengancam dengan kesadaran yang menurun (Maramis, 2005).


(44)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah eksperimen dengan metode desain paralel. Menggunakan 20 ekor mencit (Mus musculus L.) jantan galur Balb/c yang dibagi menjadi 4 kelompok dengan 1 kontrol, masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor dipilih dengan menggunakan dengan metode acak. Lama pemberian minuman beralkohol selama 30 hari dan dilihat gambaran mikroskopis dengan metode double blinded.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama bulan November–Desember 2009 di Laboratorium Program Studi Pendidikan Dokter Unila dan pembuatan sediaan mikroskopis otak dilaksanakan di Laboratorium Patologi Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III Bandar Lampung.


(45)

29

C. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah mencit jantan berumur 3-4 bulan yang diperoleh dari Balai Penelitian Veteriner Bogor. Sampel penelitian sebanyak 20 ekor yang dibagi dalam 4 kelompok secara acak, sesuai dengan rumus Federer untuk penentuan jumlah sampel pada uji eksperimental, yakni t (n-1) > 15. Dimana t merupakan jumlah kelompok perlakuan, dan n adalah jumlah pengulangan atau jumlah sampel setiap kelompok.

4(n-1) > 15 4n-4 > 15 4n > 19 n > 4,75

sehingga didapat jumlah sampel sebanyak 5 ekor setiap kelompok.

1. Kriteria Inklusi: a. Sehat

b. Memiliki berat badan antara 20-30 gram. c. Jenis kelamin jantan.

d. Berusia sekitar ± 3-4 bulan.

2. Kriteria Eksklusi:

a. Sakit (penampakan rambut kusam, rontok atau botak, aktivitas kurang atau tidak aktif).


(46)

30

b. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di laboratorium.

D. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat Penelitian:

a. Kandang hewan uji (mencit) yang digunakan sebagai tempat perlakuan mencit.

b. Timbangan digital Mettler Toledo dengan tingkat ketelitian 0,01 g untuk menimbang berat badan mencit.

c. Spuit oral 1 cc, untuk mencekoki minuman beralkohol. d. Minor set, untuk mengambil serebelum mencit.

e. Kapas dan alkohol.

2. Bahan penelitian:

a. Minuman beralkohol, merk X dengan kadar 14,8% yang didapat dari penjual di Bandar Lampung.

b. Aquades, untuk perlakuan kontrol.

3. Bahan Kimia:

a. Kloroform, untuk membius mencit.

b. Formalin 10%, untuk mengawetkan serebelum mencit.

c. Alkohol 80%, Alkohol 90 %, Alkohol 95%, Alkohol Absolut I, Alkohol Absolut II, Alkohol Absolut III, Alkohol Absolut IV, Xylol I, Xylol II, Xylol III, Xylol IV, Xylol V, Harris Hematoxylin, Acid


(47)

31

alkohol, Eosin, Alkohol 96% I, Alkohol 96% II, canada balsam dan paraffin dalam proses pembuatan sediaan mikroskopis.

E. Prosedur Penelitian

1. Prosedur Penentuan Dosis Minuman Beralkohol

Cara perhitungan dosis I, dosis II, dan dosis III:

Dosis minuman beralkohol yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan dari hasil survey yang telah dilakukan di semua terminal di Bandar Lampung.

Adapun hasil yang diperoleh dari survey tersebut adalah:

a. Minuman yang paling banyak dikonsumsi masyarakat adalah minuman beralkohol merk X dengan kadar alkohol 14,8 %.

b. Dosis minimal yang biasa digunakan pada masyarakat yang setiap hari mengkonsumsi minuman beralkohol, yakni 1-2 botol besar per hari sebanyak 620 mL/botol.

Volume minuman beralkohol ini adalah 620 ml dalam 1 botol besar, sehingga dosis yang biasa dikonsumsi masyarakat adalah 620-1240 ml.


(48)

32

Bila dikonversikan dengan angka konversi 0,0026 (Sastramihardja, 2004)

Namun, mengingat maksimal dosis pemberian per oral pada mencit, yaitu 1 ml/ pemberian (Sastramihardja, 2004) yang tidak mencukupi apabila menggunakan dosis tersebut, maka peneliti hanya mengambil ½ dosis dari dosis hasil survey yaitu 310 ml. Kemudian dosis ini dikonversikan ke mencit.

Dosis yang digunakan pada mencit

Didapatkan dosis minuman beralkohol yang digunakan sebesar 0,80 ml, adalah dosis II.

= Konversi x dosis (ml) = 0,0026 x 310 ml = 0,8 ml

= konversi x dosis (mL) = 0,0026 x 620 mL = 1,612 mL

= konversi x dosis (mL) = 0,0026 x 1240 mL = 3,224 mL


(49)

33

Rumus untuk menentukan faktor peningkatan dosis adalah (Thomson, 1985): F = min 1 D Dmaks n Keterangan:

F = Faktor peningkatan dosis n = Banyak variasi dosis Dmaks = Dosis maksimal Dmin = Dosis minimal F = 3 1

1 2

= 2 2 = 1,41

Adapun hasil dari perhitungan tersebut, maka didapatkan faktor peningkatan dosis sebesar 1,41.

Berdasarkan perhitungan Thomson, maka diperoleh dosis perlakuan yakni: - Kelompok I :

41 , 1 80 , 0

= 0,56 mL

- Kelompok II : 0,80 ml

- Kelompok III: 0,80 x 1,41 = 1,12 mL

2. Prosedur Penelitian

a. Sebanyak 20 ekor mencit, dikelompokkan dalam 4 kelompok. Kelompok pertama sebagai kontrol media, hanya diberi aquades,


(50)

34

kelompok kedua adalah kelompok dengan pemberian dosis I minuman beralkohol sebanyak 0,56 mL, kelompok ketiga adalah kelompok dengan pemberian dosis II minuman beralkohol sebanyak 0,80 mL, kelompok keempat adalah kelompok dengan pemberian dosis III minuman beralkohol sebanyak 1,12 mL, kemudian mencit akan diletakkan di kandang dalam laboratorium selama 7 hari sebagai adaptasi.

b. Mengukur berat badan mencit sebelum perlakuan.

c. Mencekoki mencit dengan minuman beralkohol selama 30 hari, satu kali setiap hari. Mencit tetap diberikan makan dan minum, ad libitum. d. Setelah 30 hari, pemberian minuman beralkohol dihentikan, 5 ekor

mencit dari tiap kelompok dinarkosis dengan kloroform.

e. Mencit didekapitasi, diambil serebelum untuk dibuat sediaan mikroskopis. Pembuatan sediaan mikroskopis dengan metode parafin dan pewarnaan Hematoksilin-Eosin.

f. Sampel serebelum ini difiksasi dengan formalin 10%. Selanjutnya sampel ini dikirim ke Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Bandar Lampung untuk pembuatan sediaan mikroskopis serebelum.


(51)

35

Timbang Berat badan mencit

Kontrol Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 dosis 0,56 dosis 0,80 dosis 1,12

Mencit diadaptasikan selama 7 hari Mencit diberi perlakuan selama 30 hari

Cekok Cekok Cekok Aquades Min. beralkohol Min. beralkohol Min. beralkohol

1,12 mL 0,56 mL 0,80 mL 1,12 mL 1 x sehari 1 x sehari 1 x sehari 1 x sehari

Mencit dinarkosis dengan kloroform lalu didekapitasi

Kepala dibuka, diambil serebelum dan difiksasi dengan formalin 10% Serebelum dikirim ke Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Bandar

Lampung untuk pembuatan sediaan mikroskopis Mengamati sediaan mikroskopis dengan mikroskop

Interpretasi hasil pengamatan Gambar 7. Diagram alur penelitian

3. Prosedur Pembuatan Preparat a. Fixation

1) Setelah mengambil serebelum, kemudian segera difiksasi dengan larutan pengawet berupa: Buffer formalin atau 10% formalin. media


(52)

36

Perbandingan antara volume spesimen dengan larutan 1:10 untuk mendapatkan hasil yang baik.

b. Trimming

1) Setelah minimal 24 jam difiksasi, spesimen diambil dan dipotong menjadi 2.

2) Masukkan semua spesimen ke dalam larutan fiksasi dan biarkan selama minimal 24 jam.

3) Potong jaringan setebal 2-4 cm.

4) Masukkan potongan-potongan jaringan ke dalam ”embedding cassete”. Dalam satu embedding cassete dapat diisi 1-5 buah potongan jaringan disesuaikan dengan ukuran dari besar kecilnya potongan.

c. Dehidration

1) Berturut-turut dilakukan perlakuan sebagai berikut:

2) Berikan alkohol 80% selama 2 jam, lalu alkohol 90% selama 2 jam, alkohol 95% selama 1 jam, alkohol absolut I selama 1 jam, alkohol absolut II selama 1 jam, alkohol absolut III selama 1 jam. d. Clearing

1) Berturut-turut dilakukan perlakuan sebagai berikut:

2) Berikan larutan Xylol I selama 1 jam, Xylol II selama 1 jam, Xylol III selama 1 jam.


(53)

37

e. Impregnasi

1) Berturut-turut dilakukan perlakuan sebagai berikut:

2) Berikan larutan Paraffin I selama 2 jam, Paraffin II selama 2 jam, Paraffin III selama 2 jam.

f. Embedding

1) Bersihkan sisa-sisa paraffin yang ada pada ”pan” dengan

memanaskan beberapa saat diatas api dan usap dengan kapas. 2) Siapkan parafin cair dengan memasukkan paraffin kedalam cangkir

logam dan dimasukkan dalam oven dengan suhu diatas 580C. 3) Tuangkan paraffin cair kedalam ”pan”.

4) Pindahkan jaringan satu persatu dari ”embedding cassete” ke dasar

pan” dengan mengatur jarak satu dengan lainnya.

5) Masukkan/apungkan ”pan” ke dalam air.

6) Lepaskan paraffin yang berisi jaringan tersebut dari ”pan” dengan

memasukkan ke dalam oven dengan suhu 4-60C beberapa saat. 7) Potong-potong paraffin sesuai dengan letak jaringan yang ada

dengan menggunakan skalpel/pisau hangat.

8) Letakkan pada balok kayu, ratakan pinggirnya dan buat ujungnya sedikit meruncing.

9) Blok paraffin siap dipotong dengan menggunakan mikrotom. g. Cutting

1) Pemotongan dilakukan pada ruangan dingin.


(54)

38

3) Lakukan pemotongan kasar dan dilanjutkan dengan pemotongan halus dengan ketebalan 4-5 mikron.

4) Setelah pemotongan, pilih lembaran jaringan yang paling baik, apungkan pada air dan hilangkan kerutannya dengan cara menekan salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yang lain ditarik mengunakan kuas runcing.

5) Pindahkan lembaran jaringan tersebut kedalam water bath selama beberapa detik sampai mengembang sempurna.

6) Dengan gerakan menyendok, ambil lembaran jaringan tersebut dengan slide bersih dan tempatkan ditegah atau pada sepertiga atas atau bawah, dicegah jangan sampai ada gelembung udara dibawah jaringan.

7) Tempatkan slide yang berisi jaringan pada inkubator (suhu 370C) selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna.

h. Staining (Pewarnaan) dengan Harrris Hematoxylin Eosin

1) Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, diplih yang terbaik, selanjutnya secara berurutan dimasukkan ke dalam zat kimia dibawah ini dengan waktu sebagai berikut:

2) Xylol I selama 5 menit, Xylol II selama 5 menit, Xylol III selama 5 menit, Alkohol Absolut I selama 5 menit, Alkohol Absolut II selama 5 menit, Aquades selama 1 menit, Harris Hematoxylin

selama 20 menit, Aquades selama 1 menit, Acid alkohol selama 2-3 celupan, Aquades selama 1 menit, Aquades selama 15 menit, Eosin


(55)

39

selama 3 menit, Alkohol Absolut III selama 3 menit, Alkohol Absolut IV selama 3 menit, Xylol IV selama 5 menit, Xylol V selama 5 menit.

i. Mounting

Setelah proses pewarnaan selesai, slide ditempatkan di atas tisu pada tempat yang datar, tetesi dengan bahan mounting yaitu canada balsam

dan ditutup dengan cover glass cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara.

j. Pembacaan slide dengan mikroskop. Slide diperiksa dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 40x, dan 400x. Hasil: inti sel berwarna biru dan sitoplasma berwarna merah muda (Akoso et al., 1999).

F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

1. Identifikasi Variabel

a. Variabel Independen

Variabel independen adalah dosis minuman beralkohol. b. Variabel Dependen


(56)

40

2. Definisi Operasional Variabel

Tabel 1. Definisi operasional

Variabel Definisi Skala

Dosis minuman beralkohol

Dosis pada manusia yaitu sebanyak 1/2 botol besar (310 ml), pada mencit dosis tersebut dikonversi sehingga diberikan sebanyak 0,56 ml (dosis I), 0,80 ml (dosis II), 1,12 ml (dosis III). Dosis I adalah 1/1,41 kali dosis II, dan dosis III adalah 1,41 kali dari dosis II.

Numerik

Jumlah sel Purkinje serebelum mencit.

Jumlah sel Purkinje serebelum mencit dilihat dengan mengamati sediaan mikroskopis menggunakan mikroskop cahaya pada pembesaran 400x pada 5 lapang pandang.

Numerik

G. Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dengan menggunakan program SPSS versi 15.0 dengan uji

oneway ANOVA, untuk mengetahui kebermaknaan perbedaan jumlah sel Purkinje serebelum mencit antar kelompok, dilanjutkan dengan analisis Post Hoc LSD (Least Significant Difference). Kemudian dilakukan uji Pearson untuk mengetahui besar pengaruh pemberian minuman beralkohol terhadap jumlah sel Purkinje serebelum mencit.


(57)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian minuman beralkohol terhadap jumlah sel Purkinje serebelum mencit, diperoleh simpulan sebagai berikut:

Terdapat pengurangan yang tidak signifikan jumlah sel Purkinje serebelum mencit yang diberikan minuman beralkohol.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang didapat, penulis menyarankan:

1. Bagi peminum, dapat mengurangi dan menghentikan meminum minuman berlakohol karena dosis yang digunakan pada penelitian ini adalah setengah dari dosis yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat sehingga dalam kenyataan mungkin memang terdapat kerusakan pada otak.

2. Bagi peneliti selanjutnya, dapat meneliti organ lain, seperti jantung dan paru-paru atau menggunakan persentase yang lebih tinggi dengan perbedaan persentase antar kelompok yang besar.


(58)

47

3. Bagi peneliti selanjutnya, dapat meneliti faktor-faktor lain yang dapat merusak otak yang dilihat dari jumlah sel Purkinje.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim a, 2003. Alcohol Use. http://www.thelivercentre.com.au/development/ alcohol/default.htm. Diakses pada 5 Februari 2010.

Anonim b, 2003. What are Purkinje Cells? http://translate.google.co.id/translate? hl=id&langpair=en|id&u=http://www.wisegeek.com/what-are-purkinje-cells.htm. Diakses pada 25 januari 2010.

Akoso, T., Sapta S., Sri W., Margaretha M., Ronny M. 1999. Manual Standar Metoda Diagnosa Laboratorium Kesehatan Hewan edisi 1. Departemen Pertanian. Jakarta.

Al-jawi, M. 2005. Alkohol Dalam Makanan, Obat, dan Kosmetik: tinjauan fiqih islam. http://www.mail-archive.com/rezim70@yahoogroups.com/msg014 10.html. Diakses pada 13 september 2009

Burns, D. dan Vinay K. dalam Vinay Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins, edisi ke 7, volume 2. EGC: Jakarta.

Crews, F. 2008. Alcohol Related Neurodegeneration and Recovery Mechanisms From Animal Models. http://pubs.niaaa.nih.gov/publications/ arh314/377-388.pdf. diakses pada 27 oktober 2009

DeGroot, J. dan Joseph G. 1997. Neuroanatomi Korelatif. EGC: Jakarta.

Dewi, N. 2008. Perioperatif Pada Pasien Dalam Pengaruh Alkohol http://butterflystillfly.wordpress.com/2009/02/05/perioperatif-pada-pasien-dalam-pengaruh-alkohol/ Diakses pada 13 september 2009.

Dorland, W. 2005. Kamus Kedokteran Dorland. EGC. Jakarta.

Eroschenko, V. 2003. Atlas Histologi Di Fiore dengan Korelasi Fungsional edisi 9. EGC: Jakarta.

Fakhrurrazy. 2004. Koordinasi Motorik dan Jumlah Sel Purkinje Cerebellum Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Dewasa Setelah Pemberian Alkohol Peroral. Yogyakarta. http://arc.ugm.ac.id/files/%282828-h-2004%29.pdf. Diakses pada 23 januari 2010.


(60)

49

Guyton, A. dan John E. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. EGC: Jakarta.

Habibi, M. 2008. Pengaruh Alkohol Terhadap Proses Belajar Tikus. http://kiravicena.blogspot.com/2008/01/pengaruh-alkohol.html. Diakses pada 14 agustus 2009.

Hawari, D. 1995. Antisipasi Penyalahgunaan Narkotika Psikotropika, Alkohol & Zat Adiktif Lainnya. http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1995/ 05/11/0008.html. Diakses pada 13 september 2009.

Japardi, I. 2002. Sawar Darah Otak http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi44.pdf. Diakses pada 23 Februari 2010.

Junqueira, L. dan Jose C. 2007. Histologi Dasar Teks dan Atlas. Edisi 10. EGC. Jakarta.

Junqueira, L., Jose C., Robert O. 1998. Histologi Dasar. Edisi ke-8. EGC: Jakarta. Gartner, L. dan James L. 2002. Color Atlas of Histology third edition. EGC:

Jakarta.

Keppres RI. 1997. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol http://www.jakarta.go.id/v70/direktorihukum/public/download/KEPUTUS AN_PRESIDEN_NO_3_TAHUN_1997_-_PENGAWASAN_DAN_ PENGENDALIAN_MINUMAN_BERALKOHOL_(U).pdf. Diakses pada 15 oktober 2009

Laurence, 2004. dalam Sastramihardja.. Penuntun Praktikum Farmakologi 1. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Lee, N. dan Charles E. 1998. Alkohol. dalam Katzung. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. EGC: Jakarta.

Linder, M. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara Klinis. Penerbit Universitas Indonesia: Jakarta.

Lu, F. 1995. Toksikologi dasar: Asas, Organ, Sasaran, dan Penilaian Risiko Edisi ke-2. Penerbit Universitas Indoesia: Jakarta.

Makiyah, S., Soedjono A., Marsetyawan. 2005. Intensitas Fluoresensi Neuron-Neuron Dopaminergik di Area Ventralis Tegmenti Setelah Pemberian Alkohol Secara Kronis Pada Tikus (Rattus norvegicus). Mutiara Medika

volume 5 nomor 1. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta: Yogyakarta.


(61)

50

Maramis, W. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press. Surabaya.

Masters, S. 2002. Etanol. dalam Katzung. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi 9. Jakarta: Salemba Medika.

Putz, R. dan Reinhard P. 2006. Sobotta, Atlas Anatomi Manusia jilid 1, edisi 22. EGC: Jakarta.

Shivarajashankara, Y., Shivashankara, Gopalakrishna B., Muddanna R., Hanumanth R. 2002. Histological Changes in The Brain of Young Fluoride-Intoxicated Rats. http://www.fluoride-journal.com/02-35-1/351-12.pdf. Diakses pada 22 januari 2010.

Syabatini, A. 2008. Alkohol, Fenol, Aldehid dan Keton. http://annisanfushie. wordpress.com/2008/12/07/alkohol-fenol-aldehid-dan-keton/ Diakses pada 13 september 2009 Banjarbaru: Universitas lambung mangkurat.

Thomson, E. 1985. Drug Bio Screening Fundamental of Drug Evaluation Techniques in Pharmacology, grace way publ.co.,inc. New York.

Yusup, E. 1992. Histopatologi Tumor Otak. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/ cdk_077_tumor_otak.pdf. Diakses pada 31 agustus 2009.


(1)

40

2. Definisi Operasional Variabel

Tabel 1. Definisi operasional

Variabel Definisi Skala

Dosis minuman beralkohol

Dosis pada manusia yaitu sebanyak 1/2 botol besar (310 ml), pada mencit dosis tersebut dikonversi sehingga diberikan sebanyak 0,56 ml (dosis I), 0,80 ml (dosis II), 1,12 ml (dosis III). Dosis I adalah 1/1,41 kali dosis II, dan dosis III adalah 1,41 kali dari dosis II.

Numerik

Jumlah sel Purkinje serebelum mencit.

Jumlah sel Purkinje serebelum mencit dilihat dengan mengamati sediaan mikroskopis menggunakan mikroskop cahaya pada pembesaran 400x pada 5 lapang pandang.

Numerik

G. Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dengan menggunakan program SPSS versi 15.0 dengan uji oneway ANOVA, untuk mengetahui kebermaknaan perbedaan jumlah sel Purkinje serebelum mencit antar kelompok, dilanjutkan dengan analisis Post Hoc LSD (Least Significant Difference). Kemudian dilakukan uji Pearson untuk mengetahui besar pengaruh pemberian minuman beralkohol terhadap jumlah sel Purkinje serebelum mencit.


(2)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian minuman beralkohol terhadap jumlah sel Purkinje serebelum mencit, diperoleh simpulan sebagai berikut:

Terdapat pengurangan yang tidak signifikan jumlah sel Purkinje serebelum mencit yang diberikan minuman beralkohol.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang didapat, penulis menyarankan:

1. Bagi peminum, dapat mengurangi dan menghentikan meminum minuman berlakohol karena dosis yang digunakan pada penelitian ini adalah setengah dari dosis yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat sehingga dalam kenyataan mungkin memang terdapat kerusakan pada otak.

2. Bagi peneliti selanjutnya, dapat meneliti organ lain, seperti jantung dan paru-paru atau menggunakan persentase yang lebih tinggi dengan perbedaan persentase antar kelompok yang besar.


(3)

47

3. Bagi peneliti selanjutnya, dapat meneliti faktor-faktor lain yang dapat merusak otak yang dilihat dari jumlah sel Purkinje.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim a, 2003. Alcohol Use. http://www.thelivercentre.com.au/development/ alcohol/default.htm. Diakses pada 5 Februari 2010.

Anonim b, 2003. What are Purkinje Cells? http://translate.google.co.id/translate? hl=id&langpair=en|id&u=http://www.wisegeek.com/what-are-purkinje-cells.htm. Diakses pada 25 januari 2010.

Akoso, T., Sapta S., Sri W., Margaretha M., Ronny M. 1999. Manual Standar Metoda Diagnosa Laboratorium Kesehatan Hewan edisi 1. Departemen Pertanian. Jakarta.

Al-jawi, M. 2005. Alkohol Dalam Makanan, Obat, dan Kosmetik: tinjauan fiqih islam. http://www.mail-archive.com/rezim70@yahoogroups.com/msg014 10.html. Diakses pada 13 september 2009

Burns, D. dan Vinay K. dalam Vinay Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins, edisi ke 7, volume 2. EGC: Jakarta.

Crews, F. 2008. Alcohol Related Neurodegeneration and Recovery Mechanisms From Animal Models. http://pubs.niaaa.nih.gov/publications/ arh314/377-388.pdf. diakses pada 27 oktober 2009

DeGroot, J. dan Joseph G. 1997. Neuroanatomi Korelatif. EGC: Jakarta.

Dewi, N. 2008. Perioperatif Pada Pasien Dalam Pengaruh Alkohol http://butterflystillfly.wordpress.com/2009/02/05/perioperatif-pada-pasien-dalam-pengaruh-alkohol/ Diakses pada 13 september 2009.

Dorland, W. 2005. Kamus Kedokteran Dorland. EGC. Jakarta.

Eroschenko, V. 2003. Atlas Histologi Di Fiore dengan Korelasi Fungsional edisi 9. EGC: Jakarta.

Fakhrurrazy. 2004. Koordinasi Motorik dan Jumlah Sel Purkinje Cerebellum Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Dewasa Setelah Pemberian Alkohol Peroral. Yogyakarta. http://arc.ugm.ac.id/files/%282828-h-2004%29.pdf. Diakses pada 23 januari 2010.


(5)

49

Guyton, A. dan John E. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. EGC: Jakarta.

Habibi, M. 2008. Pengaruh Alkohol Terhadap Proses Belajar Tikus. http://kiravicena.blogspot.com/2008/01/pengaruh-alkohol.html. Diakses pada 14 agustus 2009.

Hawari, D. 1995. Antisipasi Penyalahgunaan Narkotika Psikotropika, Alkohol & Zat Adiktif Lainnya. http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1995/ 05/11/0008.html. Diakses pada 13 september 2009.

Japardi, I. 2002. Sawar Darah Otak http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi44.pdf. Diakses pada 23 Februari 2010.

Junqueira, L. dan Jose C. 2007. Histologi Dasar Teks dan Atlas. Edisi 10. EGC. Jakarta.

Junqueira, L., Jose C., Robert O. 1998. Histologi Dasar. Edisi ke-8. EGC: Jakarta. Gartner, L. dan James L. 2002. Color Atlas of Histology third edition. EGC:

Jakarta.

Keppres RI. 1997. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol http://www.jakarta.go.id/v70/direktorihukum/public/download/KEPUTUS AN_PRESIDEN_NO_3_TAHUN_1997_-_PENGAWASAN_DAN_ PENGENDALIAN_MINUMAN_BERALKOHOL_(U).pdf. Diakses pada 15 oktober 2009

Laurence, 2004. dalam Sastramihardja.. Penuntun Praktikum Farmakologi 1. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Lee, N. dan Charles E. 1998. Alkohol. dalam Katzung. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. EGC: Jakarta.

Linder, M. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara Klinis. Penerbit Universitas Indonesia: Jakarta.

Lu, F. 1995. Toksikologi dasar: Asas, Organ, Sasaran, dan Penilaian Risiko Edisi ke-2. Penerbit Universitas Indoesia: Jakarta.

Makiyah, S., Soedjono A., Marsetyawan. 2005. Intensitas Fluoresensi Neuron-Neuron Dopaminergik di Area Ventralis Tegmenti Setelah Pemberian Alkohol Secara Kronis Pada Tikus (Rattus norvegicus). Mutiara Medika volume 5 nomor 1. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta: Yogyakarta.


(6)

Maramis, W. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press. Surabaya.

Masters, S. 2002. Etanol. dalam Katzung. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi 9. Jakarta: Salemba Medika.

Putz, R. dan Reinhard P. 2006. Sobotta, Atlas Anatomi Manusia jilid 1, edisi 22. EGC: Jakarta.

Shivarajashankara, Y., Shivashankara, Gopalakrishna B., Muddanna R., Hanumanth R. 2002. Histological Changes in The Brain of Young Fluoride-Intoxicated Rats. http://www.fluoride-journal.com/02-35-1/351-12.pdf. Diakses pada 22 januari 2010.

Syabatini, A. 2008. Alkohol, Fenol, Aldehid dan Keton. http://annisanfushie. wordpress.com/2008/12/07/alkohol-fenol-aldehid-dan-keton/ Diakses pada 13 september 2009 Banjarbaru: Universitas lambung mangkurat.

Thomson, E. 1985. Drug Bio Screening Fundamental of Drug Evaluation Techniques in Pharmacology, grace way publ.co.,inc. New York.

Yusup, E. 1992. Histopatologi Tumor Otak. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/ cdk_077_tumor_otak.pdf. Diakses pada 31 agustus 2009.