Tunas Gerakan Perempuan Papua dalam Situasi Konflik
2. Tunas Gerakan Perempuan Papua dalam Situasi Konflik
Pasang surutnya konflik di Tanah Papua berdampak langsung pada semua anggota masyarakat Papua, tidak terkecuali kaum perempuan. Pengalaman kekerasan yang mendera kaum ini menempa mereka untuk semakin jernih memahami persoalan yang dialami, dan semakin kuat untuk dapat bertahan hidup dalam kondisi yang serba tidak menentu.
Pada awal abad ke-20 pihak lembaga pekabaran Injil Belanda (UZV dan ZNHK) mendorong pendidikan sebagai upaya perubahan peradaban bagi anak-anak Papua yang dimotori oleh istri-istri guru. Selain sekolah untuk anak-anak laki-laki Jongens Vervolg School/JVVS dan berbagai sekolah kejuruan seperti Opleiding Doorps school Onderwijzers /ODO (Pendidikan Guru Sekolah Dasar), sejak tahun 1949 dibuka sekolah formal bagi anak-anak perempuan, Meisjes Vervolg School/MVVS (Sekolah Gadis Lanjutan). Tujuan pendirian sekolah-sekolah adalah untuk memutuskan belenggu adat dan budaya yang menghambat kemajuan, termasuk bagi bagi para gadis Papua. Sebuah yayasan yang bernama Zending Schoollen (Sekolah-sekolah Lembaga Pekabaran Injil) didirikan tahun 1952 untuk pendidikan anak-anak di kampung, sementara di ibu kota pemerintahan didirikan sekolah LSB (Lagere School B) untuk anak-anak pegawai sipil dan umum . Kemudian pada tahun 1962, Yayasan Pendidikan Kristen didirikan untuk menggantikan Zending Schollen sampai saat ini. Namun, memasuki masa peralihan pemerintahan Belanda kepada UNTEA PBB pada tahun 1962, sekolah-sekolah kejuruan negeri untuk perempuan ditutup. Kemudian Gereja Katolik dan Protestan mendirikan pusat pendidikan non-formal untuk perempuan Papua. Pada tanggal 2 April 1962, Gereja Kristen Injili (GKI) di Irian Barat (sekarang GKI di Tanah Papua), mendirikan Pusat Pendidikan Sosial
(PPS), sekarang menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wanita atau P3W 9 ) di Abepura, Kota Jayapura Provinsi Papua. Pusat pembinaan ini bertujuan meningkatkan ketrampilan hidup dan kemampuan untuk melatih perempuan lainnya di kampung. Pada pembukaan PPS, Ketua Sinode GKI pribumi pertama, Pendeta FJS Rumainum, menyatakan, ”Celakalah suatu bangsa jika kaum laki-lakinya maju, tetapi kaum perempuan tidak ikut dalam perubahan zaman.” * Gereja Katolik, diprakarsai oleh Delegatus atau Seksi Sosial (Delsos) Jayapura, pada awal tahun 1970- an mendirikan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), sebuah pusat pendidikan bagi perempuan calon pendidik masyarakat kampung, di Enarotali. Murid SKB adalah anak-anak gadis gereja Katolik dan Kingmi (Gereja Kemah Injil Masehi Indonesia) dari sejumlah kampung di berbagai wilayah di Papua. Secara umum, pusat-pusat pendidikan ini mengajarkan perempuan Papua ketrampilan dasar ”keputrian” seperti menjahit, memasak dan masalah gizi, kesehatan (membantu ibu dalam persalinan), serta ketrampilan ekonomi. Selain lembaga pendidikan non-formal, mulai tahun 1970-an gereja Katolik dan gereja Protestan (Gereja Kristen Injili/ GKI) mendirikan sekolah-sekolah formal berasrama tingkat SD hingga SMA di beberapa wilayah Papua, seperti di Merauke, Wamena, Jayapura, dll. Sejumlah alumni sekolah berasrama ini mengakui bahwa pendidikan pola asrama telah berkontribusi dan pengembangan kedisiplinan, solidaritas dan persatuan di antara murid yang berasal dari berbagai wilayah di Papua.
Sejumlah perempuan alumni sekolah-sekolah berasrama ini menjadi pemimpin gerakan perempuan Papua. Misalnya, Mama Saly Yaboisembut (lulusan SMP Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik Santo Paulus, Abepura) mantan anggota DPRD Wamena; Mama Abina Wasanggai alumni SMP YPK (Yayasan Pendidikan Kristen) Kotaraja Jayapura, mantan Komisioner Komisi Daerah HAM Papua dan sekarang ini menjabat sebagai Sekretaris Solidaritas Perempuan
9 Sebagian alumni P3W menjadi pemimpin masyarakat, istri pejabat, dll., seperti Orpa Yohame dari Anggruk-Yahukimo yang menjadi anggota Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan Majelis Rakyat Papua, Yultje Wenda, istri Lukas Enembe, Bupati Puncak Jaya; dan Dorothea Merabano, Kepala SD YPK Mamda, Kemtuk. * Wawancara dengan Pdt. Mesach Koibur (Ketua Sinode Gereja Kristen Injili/ GKI di Irian Jaya ke-IV) pada 11 Maret 2010.
Papua; Louisa Maturbongs (alumni SMP YPPK Kokonao), seorang birokrat di Dinas Sosial Provinsi Papua; Mama Agusthina Basikbasik (alumni SPG YPPK Merauke), mantan Asisten III Kabupaten Merauke sekarang anggota DPD RI; Mama Yusan Yeblo (SKKA), Komisioner Komnas Perempuan periode 1998-2003; dan Zipora Modouw (alumni SGA Abepura), Kepala Badan/ Biro Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Papua saat ini.
Pada tahun 1980-an, sejumlah perempuan Papua mulai memelopori gerakan pemberdayaan dan penyadaran perempuan agar kritis terhadap situasi sosial sehari-hari. Dipimpin oleh Johana Regina Rumadas (alm), Elsye Ayamseba (alm), Dorkas Hanasbey (alm), Greet Jolmend, sekolompok perempuan membentuk Kelompok Kerja Wanita (KKW) pada 10 November 1983 dengan misi pemberdayaan perempuan mulai dari kampung. Isu pertama KKW saat itu adalah perbedaan pandangan laki-laki dan perempuan tentang mas kawin. KKW, seperti kebanyakan organisasi perempuan pada masa itu, mengelola program penguatan perempuan di bidang ekonomi dan teknologi, sekaligus membangun kesadaran kritis tentang situasi sosial sekitar. Perhatian kepada pemberdayaan perempuan juga dipengaruhi oleh perkembangan internasional, khususnya setelah keterlibatan Mientje D. Roembiak, utusan Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Desa (YPMD), pada Konferensi Perempuan Dunia di Nairobi tahun 1985. Sekalipun demikian, persoalan kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan belum menjadi isu utama perjuangan perempuan Papua. Isu perempuan pada waktu itu adalah perempuan dalam pembangunan (women in devolopment) mendominasi era ini. dalam pembangunan mendominasi era ini.
Pada tahun 1997, penghujung rezim Orde Baru, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan dan aktivis perempuan bergabung dalam Jaringan Kesehatan Perempuan di Indonesia Timur (JKPIT) untuk wilayah Papua. JKPIT mencoba menghubungkan persoalan kesehatan perempuan Papua dengan persoalan pelanggaran HAM, khususnya isu kekerasan terhadap perempuan. Dengan kacamata HAM, JKPIT Papua sudah memulai advokasi HAM perempuan dalam konteks industri besar dengan membangun jaringan dengan perempuan di kampung-kampung (”akar-rumput”) yang bergulat dengan persoalan yang muncul akibat kiprah perusahaan seperti PT Freeport di Timika, perkebunan kelapa sawit di Arso, dan penebangan kayu di Merauke.