Ilmu sosial atau humaniora yang mencoba memahami tindak tanduk manusia akan mengalami kesulitan ketika hendak membuat ukuran yang pasti dan tetap. Manusia selalu
berubah, tindakannya tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti.
A. POST-POSITIVISME
Post-positivisme merupakan pemikiran yang menggugat asumsi dan kebenara-kebenaran positivisme. Beberapa asumsi dasar post-positivisme :
1. Fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori 2. Falibilitas teori
Tidak satu teori pun yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menujukkan fakta anomali
3. Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai 4. Interaksi antara subjek dan objek peneliti
Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah
B. POST-POSITIVISME DALAM PENELITIAN SOSIAL DAN KOMUNIKASI
Kekurangan-kekurangan dari pemikiran positivisme pada dasarnya membutuhkan dasar filsafat ilmu yang berbeda, salah satunya adalah menolak dan mengganti prisip-prinsip positivisme
seperti ontologi realisme, epistemologi objektif, dan aksiologi bebas-nilai dengan bentuk pemikiran yang menghargai prinsip nominalisme, subjketivisme, dan nilai-nilai yang hadir
dengan sendirinya omnipresent.
I. ONTOLOGI POST-POSITIVISME
Secara ontologis, post-positivisme bersifat critical realism. Critical realism memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal yang mustahil
bila manusia dapat melihat realitas tersebut secara benar. Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan
triangulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti, dan teori Denzin dan Guba, 2001:40.
Tiga bentuk ontologi yang berkembang : 1. Realisme
Kalangan realis meyakini bahwa realitas yang dapat diamati adalah realitas sebenarnya, yang mutlak benar.
2. Nominalisme Kalangan ini mengajukan gagasan bahwa keberadaan fenomena sosial hanya terwujud dalam
batas nama dan label yang subjek berikan pada realitas tersebut. 3. Konstruksionisme sosial
Kalangan ini menekankan bahwa realitas itu dianggap ada atau tidak bergantung pada pengaruh makna sosial yang dimiliki subjek . Makna sosial ini dibentuk melalui interaksi
historis yang dialami subjek.
Pandangan post-positivisme mirip dengan pandangan konstruksionisme sosial dalam dua cara : 1. Kaum post-positivisme meyakini bahwa proses konstruksi sosial terjadi dalam berbagai cara
dan terpola secara relatif pada kerja penelitian. Semua orang mempunyai kehendak bebas dan kreativitas, walaupun mereka menjalankan kreativitas tersebut dalam cara yang kerap
sudah terpola dan dapat diprediksi. 2. Banyak kalangan post-positivis meyakini bahwa konstruksi sosial tersebut dapat ditemukan
secara objektif pada para pelaku dunia sosial. Dari konstruksi tersebut, peneliti harus diarahkan untuk mempelajari ekses dari pengaruh konstruksi ini dalam kehidupan
komunikatif.
Dengan demikian, ontologi kalangan post-positivis sama dengan ontologi konstruksionis sosial. Ontologi ini meyakini bahwa fenomena sosial memiliki pola-pola alamiah proses konstruksi
sosial dan memiliki dampak umum yang dapat diprediksi . Ontologi post-positivisme berbeda dengan positivisme yang meyakini realitas sosial sebagai fenomena yang tetap, abadi dan tidak
berubah, Kalangan ini lebih menekankan pada kepercayaan tentang keteraturan dan pola interaksi manusia dengan yang lainnya.
II. EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI