HUKUM ACARA PERDATA 005

HUKUM ACARA PERDATA
Pengertian Pokok Hukum Acara
Untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, badanbadan peradilan memerlukan peraturan-peraturan hukum
yang mengatur cara-cara bagaimana dan apakah yang
akan terjadi jika norma-norma hukum yang telah
diadakan tidak ditaati oleh masyarakat. Dibidang hukum
ini dinamakan Hukum Acara atau Hukum Formal, yaitu
rangkaian kaidah yang mengatur cara-cara bagaimana
mengajukan sesuatu perkara kemuka suatu badan
peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan.
Dapat juga dikatakan suatu rangkaian peraturan hukum
yang mengatur tentang cara-cara memelihara dan
mempertahankan hukum materiil.
Hukum Acara disebut juga Hukum Formal, jadi Hukum
Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata Formal, yang
dimuat dalam Hetherziene Indonesisch Reglement (HIR)
atau Reglemen Indonesia Baru (RIB).
HIR ini merupakan bagian dari tata hukum Hindia
Belanda yang masih berlaku pada waktu ini, dan
tercantum dalam Stb 1941 no 44
Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan hukum

yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan
kedepan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam
arti luas (meliputi juga hukum dagang); cara-cara
melaksanakan putusan-putusan (vonis) hakim yang juga
diambil berdasarkan peraturan-peraturan tersebut; dan
cara-cara memelihara dan mempertahankan Hukum
Perdata Materiil.

Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturanperaturan yang memuat cara bagaimana orang harus
bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan
bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama
lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
hukum perdata. (Wirjono Prodjodikoro)
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya
hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.
(Sudikno Mertokusumo)
Hukum Perdata (materiil) yang ingin ditegakkan atau
dipertahankan dengan hukum acara tersebut meliputi
peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan

perundang-undangan (mis. BW, UU Perkawinan, UU
Pengadilan Agama, dll) dan peraturan hukum yang tidak
tertulis berupa hukum adat yang hidup dalam
masyarakat.
Fungsi dari Hukum Perdata Formal adalah
mempertahankan dan melaksanakan Hukum Perdata
Materiil, artinya Hukum Perdata Materiil dipertahankan
oleh alat-alat penegak hukum berdasarkan Hukum Acara
Perdata ini.
Lapangan keperdataan memuat peraturan-peraturan
tentang keadaan hukum dan perhubungan hukum
mengenai kepentingan-kepentingan perseorangan (mis.
Perkawinan, jual beli, sewa, hutang piutang, hak milik,
waris, dsb).

Perkara perdata adalah perkara mengenai perselisihan
antar akepentingan perseorangan atau antara kepentingan
suatu
badan
pemerintah

dengan
kepentingan
perseorangan (mis perselisihan tentang perjanjiann jual
beli, sewa, pembagian waris, dsb)
Lembaga-lembaga hukum yang terdapat dalam lapangan
keperdataan, misalnya, pengadilan perdata, kantor
catatan sipil (untuk pendaftaraan kelahiran, perkawinan,
perceraian dan kematian), Balai Harta Peninggalan
(Weeskamer), Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster),
Notaris, Juru Sita, Jual Lelang, Kantor Lembaga Bantuan
Hukum, dan Pengacara.
Dalam bidang Hukum Acara pengadilan berlaku asasasas pengadilan sbb :
1. Dilarang bertindak sebagai hakim sendiri.
2. Hukum acara harus tertulis dan dikodifikasikan
3. Kekuasaan pengadilan harus bebas dari pengaruh
kekuasaan badan negara lainnya.
4. Semua putusan pengadilan harus berisi dasar-dasar
hukum
5. Kecuali yang ditetapkan oleh UU, sidang pengadilan
terbuka untuk umum dan keputusan hakim senantiasa

dinyatakan dengan pintu terbuka.
Hukum Acara Perdata Indonesia bersumber dari 3
kodifikasi hukum, yaitu :
1. Reglemen Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi
golongan Eropa yang bermukim di Jawa dan Madura.
2. Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) yang
berlaku bagi golongan Indonesia di Jawa dan Madura,
sekarang diganti dengan KUHAPer

3. Reglemen Hukum untuk daerah seberang yang berlaku
bagi peradilan Eropa dan Indonesia diluar Jawa dan
Madura.
Dalam kenyataan pelaksanaan hukum oleh pengadilan
dewasa ini sebagian besar digunakan RIB bagi seluruh
Indonesia. Apabila ada hal-hal yang tidak diatur dalam
RIB, maka pengadilan menggunakan aturan-aturan dari
Reglemen Hukum Acara Perdata (HIR)
ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
1. Hakim bersifat menunggu
Dalam perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan

perkara kepengadilan sepenuhnya terletak pada pihak
yang berkepentingan.
2. Hakim dilarang menolak perkara
Bila suatu perkara sudah masuk ke pengadilan hakim
tidak boleh menolak untuk memeriksan dan mengadili
perkara tersebut, dengan alasan hukumnya tidak atau
kurang jelas.
Bila hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis
maka ia wajib menggali hukum yang hidup dalam
masyarakat atau mencari dalam Yurisprudensi (Ps 14
ayat 1 UU No. 14/ 1970)
3. Hakim bersifat aktif
Hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha
sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala hambatan
dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.

4. Persidangan yang terbuka
Asas ini dimaksudkan agar ada kontrol sosial dari
masyarakat atas jalannya sidang peradilan sehingga

diperoleh keputusan hakim yang obyektif, tidak berat
sebelah dan tidak memihak (Ps 17 dan 18 UU no
14/1970)
5. Kedua belah pihak harus didengar
Dalam perkara perdata, para pihak harus diperlakukan
sama dan didengar bersama-sama serta tidak
memihak. Pengadilan mengadili dengan tidak
membeda-bedakan orang, hal ini berarti bahwa
didalam Hukum Acara Perdata hakim tidak boleh
menerima keterangan dari salah satu pihak saja, pihak
lawannya harus diberi kesempatan untuk memberikan
keterangan dan pemeriksaan bukti harus dilakukan
dimuka sidang yang dihadiri oleh keduabelah pihak.
6. Putusan harus disertai alasan
Bila proses pemeriksaan perkara telah selesai, maka
hakim memutuskan perkara tersebut. Keputusan hakim
harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk
mengadilinya. Alasan-alasan yang dicantumkan
tersebut merupakan pertanggungjawaban hakim atas
keputusannya kepada pihak-pihak yang berperkara dan

kepada masyarakat sehingga mempunyai nilai obyektif
dan mempunyai wibawa
7. Sederhana, cepat dan biaya ringan
Sederhana yaitu acara yang jelas, mudah dipahami dan
tidak berbelit-belit.

Cepat menunjuk pada jalannya peradilan banyak
formalitas merupakan hambatan bagi jalannya
peradilan (mis. Perkara tertunda bertahun-tahun karena
saksi tidak datang atau para pihak bergantian tidak
datang bahkan perkara dilanjutkan oleh ahli waris)
Biaya ringan maksudnya agar tidak memakan biaya
yang benyak.
8. Obyektivitas
Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah dan
memihak. Para pihak dapat mengajukan keberatan,
bila ternyata sikap hakim tidak obyektif.
9. Hak menguji tidak dikenal
Hakim Indonesia tidak mempunyai hak menguji
undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD.

Dalam pasal 26 ayat 1 UU tentang ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman (UU No. 14/1970) dinyatakan
bahwa Hak menguji diberikan kepada mahkamah
agung terhadap peraturan perundang-undangan yang
tingkatannya lebih rendah dari UU dan dapat
menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut
tidak sah.
PERBEDAAN ANTARA HUKUM ACARA PERDATA
DAN HUKUM ACARA PIDANA
1. Inisiatif melakukan acara perdata datang dari pihakpihak yang berkepentingan, sedangkan acara pidana
perkara datang dari negara.(Jaksa Penuntut)

2. Dalam acara perdata pemeriksaan dilakukan dalam
persidangan yaitu dalam acara dimuka hakim. Acara
perdata tidak mengenal pengusutan dan atau
penyelidikan permulaan.
3. Dalam
acara
pidana
hakim

bertindak
memimpinsedangkan dalam acara perdata hakim
menunggu saja.
4. Saat ini setiap pengadilan negeri melaksanakan
peradilan anak yang tidak hanya bersifat acara perdata
tetapi juga acara pidana.