Hukum Acara Perdata

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan

Manusia dalam berinteraksi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat sering menimbulkan konflik. Konflik ini adakalanya dapat diselesaikan secara damai, tetapi adakalanya konflik tersebut menimbulkan ketegangan yang terus menerus sehingga menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Hukum materiil di Negara kita, baik yang termuat dalam suatu bentuk perundang-undangan maupun yang tidak tertulis, merupakan pedoman atau pegangan ataupun penuntun bagi seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah di dalam pergaulan hidup, baik itu perseorangan, masyarakat maupun dalam bernegara, apa yang dapat ia lakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Ketentuan-ketentuan tersebut misalnya antara lain, “tidak boleh mencuri barang orang lain, tidak boleh mengganggu hak orang lain, ataupun tidak boleh kita berbuat dalam melaksanakan hak kita secara sewenang-wenang tanpa memperhatikan hak orang lain, dan sebagainya.1

Agar dalam mempertahankan hak masing-masing pihak itu tidak melampaui batas-batas dari norma yang ditentukan, maka perbuatan sekehendaknya sendiri harus dihindarkan. Jika kita melaksanakan hukum materiil itu sendiri menurut kehendak sendiri atau pihak yang bersangkutan, maka dalam hal ini akan timbullah apa yang dikenal dengan istilah “Main Hakim Sendiri”. Inilah yang justru sangat dikhawatirkan oleh kita semua, sebab dengan keadaan demikian itu tentu saja ketertiban dalam masyarakat tidak akan terjamin lagi, sedangkan ketertiban ini merupakan salah satu tujuan daripada hukum. Maka dari itu, apabila para pihak merasa hak-haknya terganggu dan menimbulkan kerugian, maka orang yang merasa haknya dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Hukum acara perdata bisa juga disebut dengan hukum perdata formil, namun sebutan hukum acara perdata lebih lazim dipakai. Hukum acara perdata atau hukum perdata formil pada dasarnya merupakan bagian dari hukum perdata. Sebab, di samping hukum perdata formil, juga

1 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), hal 1


(2)

ada hukum perdata materil. Hukum perdata materil ini lazimnya hanya disebut dengan hukum perdata saja.

Dalam rangka menegakkan hukum perdata materiil, fungsi hukum acara perdata sangat menentukan. Hukum perdata materiil tidak dapat dipaksakan berlakunya tanpa adanya dukungan dari hukum acara perdata ini. Oleh karena itulah maka dalam hal ini diperlukan sekali suatu bentuk perundang-undangan yang akan mengatur dan menetapkan tentang cara bagaimanakah melaksanakan hukum materiil ini. Sebab tanpa adanya aturan tersebut, maka hukum materiil ini hanya merupakan rangkaian kata-kata yang indah dan enak dibaca saja, tapi tidak dinikmati oleh warga masyarakat.2 Hukum yang mengatur tentang cara mempertahankan dan menerapkan hukum materiil ini, dalam istilah hukum sehari-hari dikenal dengan sebutan Hukum Formil atau Hukum Acara Perdata. Hukum perdata yang ingin dipertahankan dengan hukum acara perdata tersebut meliputi peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan seperti, KUHPerdata, Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Perkawinan dan sebagainya) dan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat yang hidup dalam masyarakat.3

Jadi, diharapkan dengan adanya hukum acara perdata ini, para pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak-haknya yang telah dirugikan oleh pihak lain melalui pengadilan, tidak main hakim sendiri (eigenrigthing). Dalam hukum acara perdata ini diatur hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak yang berperkara secara seimbang di depan sidang pengadilan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Harus disadari bahwa hukum acara perdata dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hukum acara perdata di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan hukum acara perdata dalam lingkungan Peradilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.4

Untuk lebih jelasnya, berikut ini pemakalah akan membahas lebih ulas mengenai hukum acara perdata beserta ketentuan-ketentuan lain yang mengikutinya.

B. Rumusan Permasalahan

1. Bagaimana yang dimaksud dengan hukum acara perdata? 2. Apa sumber berlakunya hukum acara perdata di Indonesia? 3. Bagaimana cara mengajukan gugatan atau permohonan? 2 M.Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: S inar Grafika, 2008), hal 2

3 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004) hlm. 2 4 Ibid,. hlm. 1


(3)

4. Pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam perkara perdata? 5. Apakah perkara perdata dapat diwakilkan oleh pihak ketiga? 6. Kemana perkara perdata dapat diajukan?

7. Bagaimana proses penyelesaian perkara perdata?

8. Apa saja alat bukti yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara perdata? 9. Bagaimana kedudukan arbitrase dalam hukum acara perdata?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk menjelaskan pengertian dari hukum acara perdata

2. Untuk menyebutkan sumber berlakunya hukum acara perdata di Indonesia 3. Untuk menjelaskan cara mengajukan gugatan atau permohonan

4. Untuk menyebutkan pihak-pihak yang terlibat dalam perkara perdata

5. Untuk menjelaskan apakah perkara perdata dapat diwakilkan oleh pihak ketiga 6. Untuk menjelaskan kemana perkara perdata dapat diajukan

7. Untuk menjelaskan proses penyelesaian perkara perdata.

8. Untuk menyebutkan alat bukti yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara perdata 9. Untuk mendeskripsikan kedudukan arbitrase dalam hukum acara perdata

BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA


(4)

Hukum acara sering disebut sebagai “hukum proses”. Proses artinya rangkaian pembuatan atau rangkaian cara-cara berbuat atau bertindak, mulai dari memasukkan gugatan/permohonan sampai selesai diputuskan dan dilaksanakan (di eksekusi).5

Hukum acara sering disebut juga hukum formal. Formal artinya bentuk atau cara, jadi hukum formal maksudnya hukum yang mengutamakan pada kebenaran bentuk atau kebenaran cara. Itulah sebabnya ber-Acara di muka pengadilan tidak cukup hanya tahu dengan materi hukum tetapi lebih dari itu, sebab ia terikat pada bentuk-bentuk atau cara-cara tertentu yang sudah diatur. Keterikatan kepada bentuk atau kepada cara ini, berlaku bagi pencari keadilan terutama, juga bagi pengadilan (maksudnya hakim-hakimnya) sehingga tidak bisa semuanya sendiri atau seenaknya. Oleh karena itu hukum acara perdata disebut sebagai hukum perdata formil, karena ia mengatur tentang proses penyelesaian perkara melalui Pengadilan sesuai dengan norma-norma yang telah ditentukan secara formal.6 Hukum acara perdata termasuk dalam ruang lingkup hukum privat (Private law) di samping hukum perdata materiil.

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan Hakim.7

Prof. DR. Wirjono Projodikoro, SH, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. 8

Prof. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosoedibio merumuskan Hukum Acara Perdata adalah “keseluruhan daripada ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum perdata dapat ditegakkan dalam hal penegakan dikehendaki, berhubung terjadinya suatu pelanggaran dan bagaimana ia dapat dipelihara dalam hal suatu tindakan pemeliharaan dikehendaki, berhubung terjadinya suatu peristiwa perdata”.9

5 Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 8 6 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan... hlm. 2

7 M.Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata... hlm. 2 8 Opcit,. hlm. 1


(5)

Dari rumusan-rumusan di atas, maka dapat diketahui bahwa hukum acara perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkara yang diajukan oleh penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam Hukum Perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya.10

Hukum Acara Perdata itu sebenarnya mempunyai unsur (objek) yang diaturnya, yaitu: (1) orang yang maju bertindak ke muka pengadilan karena terjadinya pelanggaran atau peristiwa perdata yang perlu ditertibkan kembali, (2) pengadilan itu sendiri, yang akan menertibkan kembali hukum perdata yang telah dilanggar dimaksud. 11

Jadi tampaklah di sini, bahwa terdapat hubungan yang erat antara hukum perdata (hukum materiil) dengan hukum acara perdata (hukum formil), dimana secara garis besarnya dapatlah dikemukakan di sini bahwa hukum acara perdata berfungsi untuk mempertahankan atau menegakkan hukum perdata, sehingga dengan adanya hukum acara perdata ini maka hukum perdata benar-benar akan dirasakan manfaatnya oleh semua orang. Karena hukum acara perdata ini memberikan jalan atau petunjuk pada orang-orang (pihak) bagaimana cara menyelesaikan suatu perkara yang sedang ia hadapi dengan melalui jalur hukum sesuai dengan cara yang telah ditentukan dalam hukum acara yang bersangkutan.12 Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum acara perdata ini menunjukkan jalan yang harus dilakukan oleh orang (pihak) agar soal yang sedang di hadapi dapat diperiksa dan diselesaikan oleh pengadilan.

Akhirnya dapatlah disimpulkan bahwa objek daripada ilmu pengetahuan hukum acara perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan Negara. Perantara kekuasaan Negara disini maksudnya dengan melalui badan atau lembaga peradilan, yaitu suatu badan yang berdiri yang diadakan oleh Negara yang bebas dari pengaruh siapapun atau lembaga apapun

10 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan... hlm. 2 11 Ibid, hlm. 8


(6)

juga, yang memberikan putusan yang mengikat bagi semua pihak yang bertujuan mencegah eigenrichting (menghakimi sendiri).13

B. SUMBER-SUMBER HUKUM ACARA PERDATA

Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) dan pasal 6 UU No. 1 tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara peradilan sipil, maka sumber dasar penerapan Hukum Acara Perdata dalam praktik peradilan adalah:14

1. HIR (het Herzine Indonesisch Reglement/Reglemen Indonesia Baru Stb. 1848 No.16, Stb.1941 No. 44)

Yaitu reglemen tentang tugas kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan perkara pidana golongan Bumi Putera dan Timur Asing di Jawa dan Madura). Pemberlakuan UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP maka sebagian ketentuan HIR khusus untuk Acara Pidana dicabut, sedangkan ketentuan HIR untuk Acara Perdata masih berlaku yaitu dalam Bab IX “Perihal Mengadili Perkara Dalam Perkara Perdata yang Diperiksa oleh Pengadilan Negeri” yang terdiri dari:

Bagian Pertama, tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan dari pasal 115-161.  Bagian Kedua, tentang bukti mulai pasal 162-177.

Bagian ketiga, tentang musyawarah dan putusan mulai pasal 178-187.  Bagian Keempat, tentang banding mulai pasal 188-194.

Bagian kelima, tentang menjalankan putusan mulai pasal 195-224.

Bagian keenam, tentang hal-hal yang menjadi perkara istimewa mulai pasal 225-236.  Bagian ketujuh, tentang izin berpekara tanpa ongkos perkara mulai pasal 237-245. HIR hanya diberlakukan untuk daerah Jawa dan Madura seperti tertera dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.19/1964 dan putusan Mahkamah Agung RI No.1099 K/Sip/1972.

2. RBg (Reglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 No. 227)15

Diterapkan untuk wilayah luar Jawa dan Madura. Pada bab II RBg bagian Hukum Acara Perdata terdiri dari 7 titel (I,II,III,VI, dan VII) tidak digunakan lagi karena ada beberapa pengadilan yang sudah dihapus, sehingga hanya title IV dan V yang berlaku yaitu:

13 Ibid, hlm. 4

14 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teory dan Praktik Peradilan Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), hlm. 10.


(7)

Bagian pertama, tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan dari pasal 142-188.  Bagian kedua, tentang musyawarah dan putusan mulai pasal 189-198.

Bagian ketiga, tentang banding mulai pasal 199-205.

Bagian keempat, tentang menjalankan putusan mulai pasal 106-258.

Bagian kelima, tentang beberapa hal mengadili perkara istimewa mulai pasal 259-272  Bagian keenam, tentang izin berperkara tanpa ongkos perkara ulai pasa 273-281.  Bagian ketujuh, tentang bukti mulai pasal 282-314.16

3. Rv (Reglement op de burgerlijke rechtsvordering voorderaden van Justitie opa Java en het hoogerechtshof van indonesie, alsmede voor de residentiegerechten op Java en Madura) atau Reglement Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa.

Rv adalah reglament yang berisi ketentuan hukum acara perdata yang berlaku khusus bagi golongan Eropa dan orang yang dipersamakan dengan mereka. Menurut Prof. Dr. R. Supomo S.H dihapusnya Raad van Justitie dan Hoogerechtshof maka Rv tidak berlaku dan hanya HIR dan Rbg saja yang berlaku. Tapi dalam praktik peradilan (Pengadilan Negeri dan pengadilan Tinggi) serta Mahkamah Agung RI tetap digunakan dan dipertahankan.

4. KUHAP dan KUHD

Hukum acara perdata pada KUHP terdapat khusus didalam buku I dan IV (pasal 1865-1993). Sedangkan dalam KUHD tedapat dalam pasal 7,8,9,22,23,32,255,258,272,273,274 dan 275. Hukum acara perdata juga diatur dalam aturan Kepailitan dan reglament tentang organisasi kehakiman STB.1847 No.23 yang merupakan sumber dasar penerapan hukum acara perdata dalam praktek peradilan.

5. Undang-undang17

Undang-undang merupakan sumber hukum acara perdata dalam Undang-undang No. 20 th.1947 khusus acara banding khusus untuk daerah Jawa dan Madura. Pasal 199-205 RBg untuk luar Jawa dan Madura. Untuk acara kasasi dalam UU No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

Ketentuan hukum acara perdata juga diatur pada UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, UU perkawinan beserta pelaksanaannya dan lain sebagaimya.

6. Yurisprudensi, Surat Edaran MA, Adat Kebiasaan, Doktrin, Perjanjian Bilateral Yurisprudensi merupakan suatu kumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan yang sama. Perjanjian bilateral pun dapat dijadikan sebagai sumber dasar penerapan 16 Ibid., hlm. 12.


(8)

hukum acara perdata. Hukum acara perdata ada sebagian tertulis yaitu yang termuat dalam UU dan ada sebagian yang tidak tertulis yaitu adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perdata.18 Adat kebiasaan yang tidak tertulis dari hakim dalam melakukan pemeriksaan tidak dapat menjamin kepastian hukum. Doktrin juga merupakan rujukan hakim untuk menggali hukum dalam menyelesaikan perkara dengan mempelajari ilmu pengetahuan.19

C. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA

Asas-asas umum Hukum Acara Perdata bertitik tolak pada praktik peradilan Indonesia sebagai berikut:

1. Hakim Bersifat Menunggu

Pelaksanaannya yaitu dengan inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak yang diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan, kalau tidak ada tuntutan maka tidak ada hakim. Jadi tuntutan hak diajukan oleh pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim hanya menunggu datangnya tuntutan yang diajukan kepadanya. Seorang hakim tidak boeh menolak untuk memeriksa dan mengadili walaupun dengan alasan hukumnya kurang jelas (pasal 14 ayat 1 UU no.14/1970), hal ini karena adanya anggapan hakim tahu hukumnya. Jika hakim tidak menemukan hukum tertulis, maka ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Seorang hakim bukan berarti mengetahui segala peraturan hukum, melainkan ia hanya diminta untuk mempertimbangkan benar tidaknya suatu peristiwa atau salah tidaknya seseorang lalu memberi putusan.

2. Hakim Pasif20

Hakim bersikap pasif dalam arti bahwa ruang lingkup sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara bukan oleh hakim. Karena hakim hanya membantu mencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan serta rintangan untuk tercapainya peradilan. Hakim harus aktif memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu kedua pihak dalam mencari kebenaran.

Para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketanya yang telah diajukan ke pengadilan dan hakim tidak dapat menghalanginya. Ha ini berupa pencabutan gugatan atau perdamaian. Sedangkan hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang memutuskan

18 Ibid., hlm.14-15.

19 Sudikno Menokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002), hlm. 9 20 Ibid., hlm.12.


(9)

perkara yang tidak dituntut. Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh pihak bersangkutan, dan pihak tersebutlah yang wajib membuktikannya, bukan hakim.

Maka jelaslah pengertian pasif disini yaitu hakim tidak berperan dalam membatasi luas dan sempitnya suatu sengketa, dengan tidak pula membatasi atau menguranginya sedikitpun.

3. Siat Terbukanya Persidangan21

Sidang pemeriksaan peradilan pada dasarnya terbuka untuk umum. Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan hak asasi manusia dibidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektivitas peradilan dengan mempertanggungjaabkan pemeriksaan, tidak memihak, memutuskan dengan adil.

Bila putusan yang diucapkan dalam sidang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan menurut hukum. Secara formil asas ini membuka kesempatan untuk “social control” dan tidak berpengaruh terhadap berlangsungnya acara secara tertulis.

4. Mendengar Kedua Belah Pihak

Dalam hukum acara perdata kedua belah pihak harus diperlakukan sama, diberi kesempatan mengemukakan pendapat, dan tidak memihak. Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai yang benar jika pihak yang lain tidak didengar atau tidak diberi kesempatan mengeluarkan pendapatnya. Maka hal ini pula yang menyebabkan pengajuan alat bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak.

5. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan22

Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan ini sebagai pertanggungjawaban hakim dari putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum. Oleh karena adanya alasan itu maka putusan mempunyai nilai yang objektif, wibawadan bukan karena hakim yang menjatuhkannya. Putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk kasasi.

Untuk dapat mempertanggungjawabkan putusan, sering dicari dukungan pada yurisprudensi dan ilmu pengetahuan. Namun dukungan pada yurisprudensi bukan berarti hakim terikat dan harus mengikuti putusan mengenai perkara sejenis yang pernah diputuskan. Begitu pula seorang hakim juga harus mengikuti perkembanganilmu pengetahuan, yang nanti juga akan ikut mempengaruhinya dalam memberikan putusan. Tanpa pengetahuan putusan akan mengambang, terlalu subjektif dan tidak meyakinkan.

21 Ibid., hlm.14. 22 Ibid., hlm.15.


(10)

6. Beracara Dikenakan Biaya23

Biaya berperkara meliputi biaya kepaniteraan dan biaya panggilan, pemberitahuan para pihak, biaya materai serta biaya pengacara jika seseorang meminta bantuan. Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi. Jika penggugat ternyata terbukti bukan orang yang tidak mampu, maka permohonan perkara akan ditolak oleh pengadilan.

7. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan24

Tidak ada kewajiban para pihak untuk mewakilkan pada orang lain, tetapi para pihak dapat diwakilkan oleh kuasanya jika dikehendaki. Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan pada kuasanya.

Dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung, hakim dapat mengetahui dengan jelas duduk persoalannya. Namun jika diwakilkan pada kuasa hukumnya bisa jadi kuasa tersebut kurang mendalami peristiwa secara rinci. Inilah yang menyebabkan kuasa sering hanya siap dengan surat jawabannya saja, tapi jika ada pertanyaan dari hakim ia harus berkonsultasi dahulu dengan pihak yang berkepentingan.

Selain itu, menggunakan kuasa hukum juga bermanfaat bagi orang yang belum pernah berperkara di pengadilan yang membuatnya gugup. Terlebih lagi seorang kuasa memiliki iktikad baik dan lebih mengetahui konsekuensi hukum dari setiap yang ia kemukakan, sehingga ia hanya akan menyebutkan peristiwa-peristiwa yang relevan saja. Seorang kuasa atau wakil juga dapat mempersempit peluang bagi pihak yang buta hukum menjadi sasaran penipuan dan perlakuan sewenang-wenang.

Tidak ada ketentuan bahwa seorang pembantu/wakil/kuasa harus seorang sarjana hukum. Akan tetapi untuk mempermudah proses jalannya persidangan guna memperoleh putusan yang adil, akan lebih baiknya seorang kuasa merupakan sarjana hukum karena mereka lebih paham hukum dan dapat menjamin pemeriksaan yang obyektif.

D. PERIHAL GUGATAN

Gugatan menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH, adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrigthing). Jadi dapat diketahui bahwa gugatan adalah suatu 23 Ibid., hlm.17.


(11)

permohonan yang disampaikan kepada Pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut.

Dalam hal gugatan kepada Pengadilan selalu ada pihak Penggugat atau para penggugat, tergugat atau para tergugat dan turut tergugat atau para turut tergugat. Cara menyelesaikan perselisihan lewat pengadilan tersebut diatur dalam Hukum Acara Perdata (Burgerlijke Procesrecht, Civil Law of Procedure). 25

Dalam hukum acara perdata dikenal 2 istilah dalam mengajukan perkara, yaitu gugatan dan permohonan. Berikut penjelasan mengenai gugatan dan permohonan:

a. Dalam perkara gugatan ada suatu sengketa, suatu konflik yang harus diselesikan dan harus diputus oleh pengadilan, sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa atau perselisihan, misalnya segenap ahli waris secara bersama-sama menghadap ke pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari warisan almarhum, atau permohonan untuk mengganti nama dari Liem Sio Liong menjadi Sudono Salim, atau permohonan pengangkatan seorang anak, wali dan lainnya.

b. Dalam suatu gugatan ada dua atau lebih pihak yaitu pihak penggugat dan tergugat yang merasa haknya atau hak mereka dilanggar, sedangkan dalam permohonan hanya ada satu pihak yaitu pihak pemohon.26

c. Suatu gugatan dikenal sebagai pengadilan contentiosa atau pengadilan sungguh-sungguh, sedangkan suatu permohonan dikenal sebagai pengadilan voluntair atau pengadilan pura-pura.

d. Hasil suatu gugatan adalah putusan (vonis) sedangkan hasil suatu permohonan adalah penetapan (beschikking).

1. Cara Membuat Gugatan.

Sebuah gugatan dapat diajuakan secara tertulis (Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg) dan boleh diajukan secara lisann (Pasal 120 HIR/ Pasal 144 RBg). Namun, dalam praktek peradilan sekarang, orang sudah tidak lazim lagi mengajukan gugatan lisan. Apalagi dalam kasus-kasus perdata yang sulit dan nilai gugatannya besar, gugatan selalu diajukan secara tertulis, sehingga gugatan tersebut benar-benar dapat disusun secara sistematis, logis, dan lengkap.27

25Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan... hlm 1 26 Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata... hlm. 16


(12)

Hukum acara perdata yang termuat dalam HIR dan RBg tidak menyebut syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam surat gugatan. Akan tetapi, Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya memberikan fatwa bagaimana surat gugatan itu disusun:

a. Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan, asal cukup memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi dasar tuntutan (MA tanggal 15-3-1970 K/Sip/1972)

b. Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas (MA tanggal 21-11-1970 Nomor 492 K/Sip/1970)

c. Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap (MA tanggal 13-5-1975 Nomor 151 K/Sip/1975 dan lain-lain).

d. Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak tanah, batas-batas, dan ukuran tanah (MA tanggal 9-7-1973 Nomor 81 K/Sip/1971).28

Sedangkan persyaratan tentang isi atau surat gugatan yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata adalah dalam pasal 8 ayat (3), harus memuat:

1. Identitas para pihak, meliputi nama, tempat tinggal dan pekerjaan. Dalam prakteknya juga sering juga dicantumkan agama, umur, dan status (kawin atau belum kawin).29 2. Posita atau fundamentum petendi yaitu dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan

hukum antara penggugat dan tergugat serta alasan-alasan daripada tuntutan. Secara garis besar, dalam posita harus memuat antara lain:30

a) objek perkara yaitu mengenai hal apa gugatan itu diajukan, apakah menyangkut sengketa kewarisan, sengketa perkawinan, perbuatan melawan hukum, sengketa cedera janji dan sebagainya. Objek sengketa merupakan hal yang sangat penting dalam surat gugatan, oleh karena itu harus diuraikan secara jelas dan rinci.

b) Fakta-fakta hukum, yaitu hal-hal yang menyebabkan timbulnya sengketa sehingga penggugat menderita rugi dan perlu diselesaikan melalui pengadilan, misalnya apakah ada perjanjian antara pihak penggugat dan tergugat sehingga tergugat wanpresatasi, atau tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan timbulnya kerugian bagi pihak penggugat dan lain-lain,

28 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata... hlm. 25-26

29 Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004) hlm. 30 30 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan,... hlm. 20


(13)

c) Kualifikasi perbuatan tergugat, yaitu suatu perumusan mengenai perbuatan materiil maupun moril dari tergugat yang dapat berupa perbuatan melawan hukum, wanprestasi, perselisihan dalam perkawinan dan lain-lain. Kualifikasi perbuatan tergugat ini disusun secara alternatif, sehingga apabila satu perbuatan tidak terbukti dapat diajukan alternative lain sehingga segala perbuatan tergugat tidak lepas dari tuntutan penggugat. d) Uraian kerugian yang diderita oleh penggugat, kerugian itu dapat berupa materiil dan

dapat berupa moriil. Berapa kerugian yang diderita oleh penggugat harus disebutkan secara pasti, jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Uraian kerugian ini harus didukung oleh bukti-bukti tertulis seperti kwitansi, faktur, nota-bon pengeluaran dan lain-lain.

e) Hubungan posita dengan petitum harus ada kaitan yang jelas, maksudnya antara petitum dan posita sangat erat hubungannya karena posita adalah dasar membuat petitum, petitum tidak boleh melebihi posita, hal-hal yang tidak diuraikan dalam posita tidak boleh dimohonkan dalam petitum. 31

3. Petitum, adalah apa yang diminta atau dituntut.

Butir pertama dari setiap petita selalu tentang formal perkara, belum boleh langsung loncat ke materi perkara. Butir pertama itu berbunyi: “Mohon agar Pengadilan Agama menerima gugatan penggugat”, maksudnya ialah karena syarat-syarat formal gugatan sudah cukup, penggugat mohon agar secara formal gugatannya dinyatakan diterima.

Butir terakhir dari bagian petita selalu tentang permintaan agar pihak lawan dibebankan biaya perkara, misalnya berbunyi “agar Pengadilan menghukum tergugat untuk membayar segala biaya perkara”. Atau bisa juga disingkat dengan kalimat “Biaya perkara menurut hukum”, maksudnya adalah sesuai dengan hukum, yaitu siapa yang kalah akan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Perlu diingatkan bahwa menurut Pasal 89 ayat (1) UU No 7 tahun 1989, khusus dalam semua perkara di bidang perkawinan maka biaya perdata selalu di bebankan kepada penggugat atau pemohon.


(14)

Butir ditengah-tengah dari bagian petita adalah tuntutan mengenai materi perkara (pokok perkara). Tuntutan di sini boleh tunggal dan boleh juga terdiri dari beberapa tuntutan yang digabung (sesuai dan asal didukung oleh posita). Gabungan tuntutan ini disebut “kumulasi objektif”. Menurut Acara Perdata kumulasi objektif diperkenankan asal berkaitan langsung yang erat merupakan satu rangkaian kesatuan (biasanya kausalitet). Mereka yang mengerti ber-Acara selalu akan mempergunakan di mana mungkin kumulasi objektif itu, hal mana menghemat waktu, biaya dan sekaligus tuntas semua.

Perlu diingatkan sehubungan dengan petita ini, yaitu pengadilan dilarang mengabulkan tuntutan melampaui apa yang dituntut oleh penggugat, sebaliknya pengadilan dilarang tidak mengadili semua terhadap apa yang dituntutnya, walaupun mungkin ada yang dikabulkan dan ada yang ditolak, atau ada yang dikabulkan sebagian dan ditolak sebagian lainnya.32

Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua teori tentang cara menyusun gugatan kepada pengadilan yaitu: (1) substantiering theory, teori ini menyatakan bahwa gugatan selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebut kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut. Bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya, di dalam gugatan itu ia tidak cukup hanya menyebut bahwa ia hanya pemilik benda itu, tetapi juga harus menyebutkan sejarah pemilikannya, misalnya karena membeli, mawaris, hadiah, dan sebagainya. (2) individualiserings theorie, teori ini menyatakan bahwa dalam gugatan cukup disebut peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-kejadian tersebut. Sejarah terjadinya atau sejarah adanya pemilikan hak milik atas benda itu dimasukkan dalam gugatan, karena hal itu dapat dikemukakan dalam persidangan dengan disertai bukti-bukti seperlunya. 33

Teori mana yang paling banyak dipakai dalam praktek Peradilan selama ini, sebenarnya sangat tergantung pada sejarah berlakunya hukum acara perdata pada zaman penjajah dahulu. Menurut system yang dianut oleh B.Rv beracara harus dilaksanakan secara tertulis dan harus didampingi oleh pengacara yang ahli hukum. Oleh karena itu surat gugat harus dibuat secara 32 Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama... hlm. 65-66


(15)

tertulis, maka penyusunan surat gugat itu haruslah dibuat secara lengkap, sistematis dan yuridis sebagaimana yang tersebut dalam teori substanstiering theorie. Menurut system HIR dan R.Bg beracara di dalam sidang pengadilan tidak mesti harus tertulis, lisan pun diperkenankan dan juga tidak ada keharusan untuk mewakilkan kepada advokat atau pengacara. Oleh karena itu dalam surat gugatan tidak ada format dan redaksi khusus yang mesti harus dituruti, tergantung pada kondisi dan keadaan perkara yang akan dimajukan kepada pengadilan, dalam hal ini boleh mengikuti individualiserings theorie.

Dari uraian di atas, teori mana yang harus dipergunakan sebenarnya tidaklah menjadi persoalan. Tetapi dalam perkembangan praktek dan kemajuan dalam pendidikan hukum cukup memberikan indikasi bahwa adanya kecenderungan untuk mengikuti teori pertama tanpa harus mengabaikan teori kedua.

Namun, sebelum para pihak yang bermaksud mengajukan gugatan ke pengadilan, mereka haruslah mengetahui beberapa prinsip gugatan perdata, yaitu: 34

a. Harus ada dasar hukumnya

Gugatan yang tidak ada dasar hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh hakim dalam sidang Pengadilan karena dasar hukum inilah yang menjadi dasar putusan yang diambilnya. Dasar hukum dalam mengajukan gugatan diperlukan untuk meyakinkan para pihak yang terkait dengan gugatan itu bahwa peristiwa kejadian dan peristiwa hukum benar-benar terjadi, tidak diada-adakan atau rekayasa. Juga untuk membantu hakim dalam upaya menemukan hukum dalam memutuskan pekara yang diajukan kepadanya. Serta untuk mencegah agar tidak semua orang dengan mudahnya mengajukan gugatannya ke Pengadilan. Hanya kepentingan yang cukup dan layak serta mempuyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima sebagai gugatan di Pengadilan.

b. Adanya kepentingan hukum

Suatu tuntutan hak yang akan diajukan kepada Pengadilan yang dituangkan dalam sebuah gugatan, pihak Penggugat haruslah mempunyai kepentingan hukum yang cukup. Orang yang tidak mempunyai kepentingan hukum tidak dibenarkan untuk menjadi para pihak dalam mengajukan gugatan. Hanya orang yang berkepentingan langsung yang dapat mengajukan


(16)

gugatan, sedangkan orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung haruslah mendapat kuasa terlebih dahulu dari orang atau badan hukum untuk dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

c. Merupakan suatu sengketa

Pengertian perkara sebenarnya lebih luas dari sengketa, dengan kata lain sengketa itu adalah bahagian dari perkara, sedangkan sengketa itu belum tentu perkara. Dalam pengertian perkara tersimpul dua keadaan yaitu ada perselisihan dan tidak ada perselisihan. Dalam perselisihan ada suatu yang diperselisihkan dan dipertengkarkan serta disengketakan, ia tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah tersebut, melainkan penyelesaiannya perlu lewat Pengadilan sebagai instansi yang berwenang. Sedangkan tidak ada perselisihan artinya tidak ada yang disengketakan, yang bersangkutan tidak minta putusan Pengadilan melainkan hanya penetepan saja dari hakim sehingga mendapat kepastian hukum yang harus dihormati oleh semua pihak.

Tindakan hakim yang demikian disebut Jurisdictio Voluntaria, seperti permohonan ditetapkan sebagai ahli waris yang sah, penetapan wali adhal, isbat nikah. Pengadilan dibenarkan memeriksa perkara yang bersifat tidak ada perselisihan (yuridictio voluntaria) itu hanya kalau peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara tersebut, jika tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya maka Pengadilan dilarang untuk menyelesaikan perkara tersebut. 35

Sehubungan dengan hal itu, gugatan yang diajukan kepada Pengadilan haruslah bersifat sengketa, dan persengketaan itu telah menyebabkan kerugian dari pihak penggugat, sehingga perlu diselesaikan melalui pengadilan sebagai instansi yang berwenang dan tidak memihak. Oleh karena itu haruslah berhati-hati dalam menyusun gugatan terhadap pihak lawan atau tergugat, karena kalau dalam mendudukkan pihak tergugat tidak cermat maka akan mengakibatkan gagalnya gugatan di Pengadilan.

d. Di buat dengan cermat dan terang

Gugatan secara tertulis harus disusun dalam surat gugatan yang dibuat secara cermat dan terang, jika tidak dilakukan secaa demikian maka akan mengalami kegagalan dalam sidang 35 Ibid,. hlm. 12


(17)

Pengadilan. Surat gugat tesebut harus disusun secara singkat, padat, dan mencakup segala persoalan yang disengketakan. Surat gugat tidak boleh abscluur libel, artinya tidak boleh kabur baik mengenai pihak-pihaknya, objek sengketanya dan landasan hukum yang dipergunakannya sebagai dasar gugat.

e. Memahami hukum formil dan materiil

Sebuah gugatan dikatakan baik dan benar apabila orang yang membuat surat gugat itu mengetahui tentang hukum formil dan hukum materiil, sebab kedua hukum tersebut berkaitan erat dengan seluruh isi gugatan yang akan dipertahankan dalam sidang Pengadilan. Dalam praktek Peradilan Agama sangat sulit ditemukan pada Penggugat mengetahui hukum formil dan materiil secara utuh, meskipun kadang-kadang perkara yang diajukan itu mempergunakan jasa pemberi bantuan hukum. Jalan keluar yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan terhadap orang belum memahami hukum formil dan materiil ini adalah sebagaimana disebut dalam pasal 119 HIR dan pasal 143 R.Bg dimana dikemukakan bahwa Ketua Pengadilan berwenang memberikan nasehat dan bantuan kepada Penggugat atau kuasanya dengan tujuan agar tidak mengalami kesulitan dalam membuat gugatan bagi orang-orang yang kurang pengetahuannya tentang hukum formil dan materiil itu.

2. Kemana Mengajukan Gugatan36

Secara garis besar pasal 118 HIR/142 RBg mengatur tentang kemana gugatan dapat diajukan, diantaranya:

a. Gugatan perdata yang dalam tingkat pertama masuk wewenang Pengadilan Negeri, harus diajukan dengan surat gugatan, yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh orang yang dikuasakan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal tergugat, yang bisa dilihat dari Kartu Tanda Penduduknya.

b. Jika tidak diketahui tempat tinggalnya, gugatan diajukan pada pengadilan negeri tempat kediaman tergugat. Hal ini dilihat dapat dilihat dari rumah tempat kediamannya.

c. Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugatan diajukan pada tempat tinggal salah seorang dari para tergugat, terserah pilihan penggugat, jadi penggugat yang menentukan dimana akan mengajukan gugatannya.


(18)

d. Apabila pihak tergugat ada dua orang, yaitu seorang misalnya adalah yang berhutang dan yang lain penjaminnya, maka gugatan harus diajukan kepada pengadilan negeri pihak yang berhutang.

e. Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat tinggal penggugat. 37

Selain itu terdapat ketentuan lainnya tentang kemana gugatan dapat diajukan. Ketentuan-ketentuan tersebut terdapat dalam KUHPerdata, Hukum Acara Perdata dan Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974), yaitu:

1. Apabila dalam hal tergugat tidak cakap untuk menghadap dimuka pengadilan, gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri oleh orangtuanya, walinya atau pengampunya (pasal 21 KUHPerdata).

2. Yang menyangkut pegawai negeri, yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Negeri di daerah mana ia bekerja (KUHPerdata).

3. Tentang hal kepailitan, yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Negeri yang menyatakan tergugat pailit (pasal 99 ayat (15) Hukum Acara Perdata).

4. Yang menyangkut permohonan perceraian, diajukan kepada Pengadilan Negeri dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami istri (pasal 63 (1) b UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 38 (1) dan (2) PP No. 9 tahun 1975). 5. Dalam hal tergugat bertempat tinggal diluar negeri, gugatan diajukan di tempat kediaman

penggugat dan ketua pengadilan negeri menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat. (pasal 20 (2) dan (3) PP No. 9 tahun 1975.

Contoh: Permohonan Penggantian Nama

Jakarta, 5 September 2003 Kepada Yth,

Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur

di-Jakarta. Dengan hormat,


(19)

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:

Afrisa, S.H., advokat, berkantor di Jalan Otto Iskandardinata No. 5 Jakarta Timur, berdasarkan surat kuasa tanggal 1 Agustus 1995, (terlampir), bertindak untuk dan atas nama Agus Santoso, bertempat tinggal di Jalan Aries No. 2 Jakarta Timur, dengan ini mengajukan surat permohonan ini, selanjutnya disebut sebagai PEMOHON.

Adapun permohonannya adalah sebagai berikut:

Bahwa pemohon pada tanggal 30 Juli 1975 di Jakarta Timur telah menikah dengan Istri Pemohon yang bernama Silvia, seperti terbukti dari petikan Akta Perkawinan No. 150 tahun 1975 tanggal 5 Mei 1975 yang dikeluarkan oleh Kantor Catatab Sipil di Jakarta Timur. (Foto copy, terlampir);

Bahwa selama dalam ikatan perkawinan dengan Istri Pemohon tersebut telah dilahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama, Ong Bek Tiong, pada tanggal 30 Agustus 1977 pukul 23.00 WIB di Jakarta Timur.

Bahwa kelahiran anak Pemohon tersebut telah dicatat dalam daftar buku tentang kelahiran yang disediakan bagi warga negara Indonesia berdasarkan Lembaran Negara 1933 No. 75 juncto Lembaran Negara 1936 No. 607 di Kantor Catatan Sipil Jakarta Timur.

Bahwa dalam akta kelahiran anak pemohon tersebut telah dicatat sebagai anak laki-laki dari suami istri Agus Santoso dan Silvia, seperti terbukti dari petikan Akta Kelahirrran No. 100 tahun 1977 yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Jakarta Timur. (Foto copy terlampir)

Bahwa kemudia terdapat keinginan Pemohon bersama Istri Pemohon untuk mengganti atau mengubah nama anak dari Pemohon dan Istri Pemohon menjadi Agustinus.

Bahwa Pemohon sebagai ayah dari anak tersebut sangat berkepentingan sekali, agar Akta Kelahiran dari Pemohon tersebut segera diperbaiki.

Berdasarkan segala apa yang diuraikan di atas, Pemohon mohon dengan hormat sudilah kiranya Pengadilan Negeri Jakarta Timur berkenan menetapkan;

- Mengabulkan permohonan Pemohon tersebut di atas;

- Memerintahkan atau setidak-tidaknya memberikan kuasa kepada Pegawai Catatan Sipil Jakarta Timur untuk memperbaiki Akta Kelahiran No. 100 tahun 1977 yang terdapat dalam daftar buku tentang kelahiran bagi warga negara Indonesia berdasarkan Lembaran Negara 1933 No. 75 juncto Lembaran Negara No. 607 terhadap perkataan: “anak laki-laki yang bernama Ong Bek Tiong dari suami istri Agus Santoso dan Silvia dicoret dan sebagai gantinya ditulis: “Anak laki-laki yang bertnama Agustinus dari suami istri Agus Santoso dan Silvia”.

Hormat Kuasa Pemohon, Afrida, S.H. ===========================================================================


(20)

Jakarta, 23 Februari 2002 Hal: Gugatan Perceraian

Kepada Yth,

Ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat

Jakarta Assalamu’alaikum wr.wb

Yang bertandatangan dibawah ini:

Sukma, S.H. dan Sugito, S.H. Advokat dan Penasehat Hukum pada Pusat Pengkajian dan Pelayanan Hukum (P3H) Fakultas Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah Jl. Raya Jatiwaringin Po. Box 7725, Jakarta Timur, selaku kuasa dari Ny. Darmawati, pekerjaan karyawan, umur, 25 tahun, bertempat tinggal di Jl. Kembang Asri II/8 Rt. 011/06 Kembangan Jakarta Barat, dalam hal ini memilih domisili hukum di Kantor Kuasanya di Pusat Pengkajian dan Pelayanan Hukum (P3H) Fakultas Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah Jl. Raya Jatiwaringin Po. Box 7725, Jakarta Timur.

---Untuk selanjutnya disebut Penggugat---Bersama ini mengajukan gugatan perceraian melawan:

M. Ridwan, pekerja: tidak ada, umur: 34 tahun, beralamat di Jl. Terusan Hang Lekir IV/40 Rt. 001/08 Kelurahan Kecamatan Kebayoran Lama – Jakarta Selatan.

---Untuk selanjutnya disebut Tergugat---POSITA

Adapun dasar-dasar atau alasan-alasan gugatan sebagaimana tersebut dibawah ini:

1. Bahwa Penggugat adalah istri dari Tergugat berdasarkan perkawinan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kebon Jeruk Jakarta Barat tanggal 14 Desember 1990, (bukti P-1).

2. Bahwa dari perkawinan tersebut tidak membuahkan seorang anak sampai sekarang.

3. Bahwa walaupun perkawinan tersebut telah berlangsung selama dua tahun, akan tetapi perkawinan tersebut selalu saja mengalami percekcokan terus menerus sehingga tidak ada lagi kecocokan antara Penggugat dan Tergugat. (Pasal 19 huruf f PP. No. 9 tahun 1975).

4. Bahwa setelah perkawinan sampai sekarang (dua tahun) Tergugat tidak memberikan nafkah lahir kepada Penggugat karena Tergugat menganggur, sehingga Penggugat mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

5. Bahwa selain itu Tergugat sebagai suami tidak menunjukkan kedewasaan dan tidak bertanggung jawab dengan selalu melakukan/main judi. (Pasal 19 huruf a PP No. 9 tahun 1975).

6. Bahwa Penggugat sudah berusaha menasehati Tergugat sejak pisah rumah dari bulan Desember 1992, namun Tergugat tetap tidak bertanggung jawab selaku suami.


(21)

7. Bahwa oleh karena hal-hal tersebut diatas, kiranya rumahh tangga Penggugat dan Tergugat tidak dapat lagi dipertahankan karena rumah tangga yang harmonis yang menjadi tujuan dari perkawinan seperti yang disebut didalam UU No. 1 tahun 1974 sama sekali tidak tercapai.

PETITUM

Maka berkenaan dengan hal-hal tersebut diatas mohon agar Pengadilan Agama Jakarta Barat dapat kiranya mengadili perkara ini dan memberikan putusan sebagai berikut:

Menyatakan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang dilansungkan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kebun Jeruk Jakarta Barat tanggal 14 Desember 1990 sesuai Akta Perkawinan No. 1087/84/XII/1990, putus karena perceraian. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini. Wassalamu’alaikum wr.wb.

Kuasa Penggugat

Sukma, S.H. Sugito, S.H.

E. PIHAK-PIHAK DALAM PERKARA PERDATA

Dalam setiap perkara perdata yang berada dalam pemeriksaan pengadilan sekurang-kurangnya terdapat 2 pihak yang berhadapan satu sama lain, yaitu pihak penggugat (erser, plaintid) yang mengajukan gugatan dan pihak penggugat (gedaagde, defendant) yang digugat.38

Penggugat ialah orang yang menuntut hak perdatanya ke muka pengadilan perdata. penggugat ini disebut eiser (Belanda) atau al-mudda’y (Arab). Penggugat mungkin sendiri dan mungkin gabungan dari beberapa orang, sehingga muncullah istilah Penggugat 1, Penggugat 2, Penggugat 3, dan seterusnya. Juga mungkin memakai kuasa sehingga ditemui istilah Kuasa Penggugat, Kuasa Penggugat 1, Kuasa Penggugat 2, dan seterusnya. Lawan dari penggugat disebut tergugat atau gedagde (Belanda), atau al-mudda’a ‘alaih (Arab). Keadaan tergugat juga mungkin sendiri atau mungkin gabungan dari beberapa orang atau memakai kuasa, sehingga muncul istilah Tergugat 1, Tergugat 2, Tergugat 3, dan seterusnya. Kuasa Tergugat 1, Kuasa Tergugat 2, Kuasa Tergugat 3, dan seterusnya.


(22)

Gabungan penggugat atau gabungan tergugat seperti di atas, disebut “kumulasi subjektif” artinya subjek hukum yang bergabung dalam perkara. Suatu perkara perdata yang terdiri dari dua pihak, yaitu ada penggugat dan ada tergugat yang berlawanan, disebut jurisdiction contentiosa

atau “peradilan yang sesungguhnya”. Karena peradilan yang sesungguhnya maka produk Pengadilan adalah putusan atau vonnis (Belanda) atau al-qada’u (Arab).39

1. Perwakilan dalam Perkara

Pada dasarnya beracara dimuka pengadilan dapat dilakukan secara langsung oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan. Namun demikian dalam HIR/RBG terdapat ketentuan yang memberikan kesempatan kepada pihak-pihak tersebut untuk meminta bantuan atau mewakilkan kepada seorang kuasa. Pasal 123 HIR/147 RBG menentukan: (1) kedua belah pihak jika mereka menghendaki dapat meminta bantuan atau mewakilkan kepada seorang kuasa yang untuk maksud itu harus dilakukan dengan surat kuasa khusus, kecuali badan yang memberi kuasa itu hadir sendiri.

Dalam praktek biasanya jika suatu instansi pemerintah terlibat dalam suatu kasus gugatan peradilan, maka pejabat instansi tersebut memberikan kuasa kepada bawahannya yang ahli hukum untuk mewakili dalam perkara tersebut atau Jaksa Agung sebagai kuasa dari pemerintahan. Namun, apabila dipandang perlu hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, meskipun telah diwakili oleh seorang kuasa. (Pasal 58 UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

Pemberian kuasa dengan surat kuasa khusus artinya menunjuk kepada macam perkara tertentu dengan rincian isi kuasa yang diberikan, seperti perkara tentang masalah warisan, jual beli tanah, perceraian, perbuatan melawan hukum. Cara memberikan kuasa dapat dilakukan dengan akta notaris (notarial document), akta yang dibuatt oleh panitera Pengadilann Negeri, yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pemberi kuasa, atau dengan akta dibawah tangan yang dilegalisir serta didaftar menurut ordonansi Stb. No. 46 tahun 1916, yaitu ordonansi tentang cara menandatangani akta dibawah tangan.40

Berikut yang perlu dicantumkan dalam surat kuasa khusus:41

39 Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama... hlm. 58-59

40 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Putra Aditya Bakti, 2010), hlm. 71 41 Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata... hlm. 21


(23)

1. Identitas pemberi dan penerima kuasa, yaitu nama lengkap, pekerjaan, alamat atau tempat tinggal,

2. Hal yang menjadi persengketaan antara kedua belah pihak, misalnya perkara perdata jual beli sebidang tanah di tempat tertentu.

3. Batasan tentang isi kuasa yang diberikan. Penerima kuasa melakukan tindakan berdasarkan apa yang disebutkan dalam surat kuasa tersebut dan tidak diperbolehkan melakukan sesuatu diluar surat kuasa yang diterimanya. Pembatasan tersebut juga menyangkut apakah kuasa itu berlaku hanya di pengadilan tingkat pertama atau termasuk juga banding dan kasasi.

4. Memuat hak substitusi (hak pengganti). Hal ini perlu apabila penerima kuasa berhalangan, ia dapat melimpahkan kuasa kepada pihak lain untuk menjaga agar perkara tersebut tidak tertunda, karena penerima kuasa berhalangan.

2. Penerima Kuasa

Menurut HIR/RBg tidak ada ketentuan yang mengatur tentang syarat penerima kuasa. Jadi setiap orang dapat menjadi penerima kuasa, apakah ia sarjana hukum atau tidak, boleh saja menjadi penerima kuasa dalam sidang pengadilan.

Sekarang ini penerima kuasa untuk beracara di pengadilan dapat diklasifikasikan menjadi 3 golongan berdasarkan kriteria pengangkatannya atau izin yang diberikan, yaitu:

1. Advokat atau procereur, yang merupakan penasehat hukum resmi. Mereka adalah sarjana hukum yang resmi diangkat sebagai advokat oleh pemerintah (menteri kehakiman atas persetujuan Mahkamah Agung) dan bukan pegawai negeri. Seorang advokat dapat membuka kantor atas nama dirinya sendiri, dan izin operasionalnya diseluruh Indonesia. 2. Pengacara praktek, yaitu penasehat hukum resmi atau pembela umum (public defender).

Mereka diangkat oleh pengadilan tinggi berdasarkan Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 tahum 1975, setelah mengikuti ujian. Mereka dapat membuka kantor atas nama mereka dan beroperasi hanya di provinsi tempat mereka mendapatkan izin.

3. Penasehat hukum insindental. Pengacara insindentil diizinkan oleh ketua pengadilan. Mereka ini terdiri dari siapa saja, sarjana hukum atau tidak, pegawai negeri atau bukan. Dengan syarat sudah dewasa dan memenuhi syarat-syarat untuk melakukan perbuatan hukum.42


(24)

Contoh Surat Kuasa: Gugatan Utang Piutang.

SURAT KUASA

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya: Marulloh, bertempat tinggal di Jalan Raya Jatiwaringin No. 125 Bekasi;

Dengan ini menerangkan memberikan kuasa kepada:

Zulfan, SH, Penasehat Hukum, berkantor di Jalan Juanda No.1 Bekasi.

---Khusus---Untuk dan atas nama pemberi kuasa mewakili sebagai Penggugat, mengajukan gugatan terhadap Asrori, di Pengadilan Negeri Bekasi mengenai utang piutang;

Untuk itu yang diberi kuasa dikuasakan untuk menghadap dan menghadiri semua persidangan Pengadilan Negeri di Bekasi, menghadap instansi-instansi, jwatan-jawatan, hakim, pejabat-pejabat, pembesar-pembesar, menerima, mengajukan kesimpulan-kesimpulan, meminta sitaan (sita jaminan), mengajukan atau menolak saksi-saksi, menerima atau menolak keterangan saksi-saksi, meminta atau memberikan segala keterangan yang diperlukan, dapat mengadakan perdamaian dengan syarat-syarat yang dianggap baik oleh yang diberi kuasa, menerima uang pembayaran dan memberikan kuitansi tanda penerimaan uang, meminta penetapan-penetapan, putusan, pelaksanaan putusan (eksekusi), melakuakan peneguran-peneguran, dapat mengambil segala tindakan yang penting, perlu dan berguna sehubungan dengan menjalankan perkara, serta dapat mengerjakan segala sesuatu pekerjaan yang umumnya dapat dikerjakan oleh seorang kuasa/wali guna kepentingan tersebut diatas, juga untuk mengajukan permohonann banding atau kasasi.

Kekuasaan ini diberikan dengan upah (honorarium) dan hak retensi (hak menahan barang milik orang lain) serta dengan hak untuk melimpahkan (substitusi) baik sebagian maupun seluruhnya yang dikuasakan ini kepada orang lain.

Bekasi, 26 Agustus 2002

Penerima Kuasa Pemberi Kuasa

Materai Rp 6000

Zulfan, S.H. Marulloh

Contoh Surat Kuasa Substitusi


(25)

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Didit Azis, S.H.

Pekerjaan : Advokat/Penasehat Hukum

Alamat : Jl. Kramat Raya No.1 Jakarta Pusat

dengan ini menyatakan memindahkan/mengalihkan/mengsubstitusikan kuasa yang telah diberikan oleh:

Nama : Zaenab

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jl. Merdeka No.100 Bogor

dengan Surat-Kuasa tertanggal 5 Agustus 1995 tentang perkara perdata/wan prestasi No. 100/Pdt/G/95/PN.Bogor, yang akan dialihkan kepada yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Mafulloh, S.H. Pekerjaan : Asisten Advokat

Alamat : Jl. Kramat Raya No. 1 Jakarta Pusat.

Jakarta, 10 September 2002

Penerima Substitusi Pemberi Substtitusi

Materai Rp 6000

Mafulloh, S.H. Didit Azis, S.H.

F. PEMERIKSAAN DI DEPAN PENGADILAN 1. Penentuan sidang dan pemanggilan43

Dalam pasal 121-122 HIR, 145-146 RBg diatur mengenai penentuan waktu sidang dan pemanggilan pihak-pihak yang berperkara. Setelah perkara didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri, ketua menetapkan majelis hakim yang akan memeriksa perkara. Ketua majelis hakim bersangkutan menentukan hari dan jam perkara akan diperiksa di muka sidang.

Kemudian panggilan dilaksanakan oleh jurusita atau petugas lain yang bertindak sebagai pengganti dan harus dilakukan sesuai dengan surat perintah pemanggilan. Apabila pihak yang 43 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia... hlm. 79-80


(26)

dipanggil tidak diketahui kediamannya atau pihak yang bersangkutan tidak dikenal, maka menurut Pasal 390 HIR, 718 RBg pemanggilan harus dilakukan dengan perantaraan Bupati/walikota yang dalam daerah hukumnya Penggugat bertempat tinggal.

2. Pemeriksaan perkara

Pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan dilakukan oleh satu tim hakim yang berbentuk majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim, seorang bertindak sebagai hakim ketua dan lainnya sebagai hakim anggota. Hal itu diatur dalam undang-undang No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Sidang majelis hakim yang memeriksa perkara dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera yang lazim disebut panitera pengganti.

3. Sita Jaminan44

Sita jaminan adalah sita yang dapat dilakukan oleh pengadilan atas permohonan Penggugat untuk mengamankan barang yang sedang dipersengketakan agar tidak rusak, dihilangkan atau dipindahtangankan sebelum perkara itu berakhir.45 Permohonan penyitaan biasanya dicantumkan dalam surat gugatan dengan menyebuutkan alasan-alasannya. Akan tetapi ketentuan dalam Pasal 226, Pasal 227 HIR/Pasal 260, Pasal 261 RBg memberikan kemungkinan kepada Penggugat untuk mengajukan permohonann penyitaan secara terpisah dengan surat gugatan.

4. Acara verstek (tanpa hadir)

Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan patut. Apabila pada hari sidang pertama yang telah ditentukan Penggugat tidak hadir dan tidak pula menyuruh wakilnya untuk hadir, maka gugatannya dinyatakan gugur dan dia dihukum membayar biaya perkara. Akan tetapi dia berhak melakukan gugatan sekali lagi setelah membayar lebih dahulu biaya perkara tersebut (pasal 124 HIR, 148 RBg).

Apabila pada hari pertama pihak Tergugat tak datang, begitu juga dengan wakilnya walau sudah dipanggil dengan patut, maka gugatan dikabulkan tanpa hadirnya Tergugat (verstek,

44 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata...hlm. 55 45 Opcit,. hlm. 57


(27)

default), kecuali itu melawan hukum atau tidak beralasan. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 126 HIR/150 RBg majelis hakim masih bisa memerintahkan untuk memanggil Tergugat sekali lagi agar hadir pada sidang berikutnya dan majelis hakim menyatakan sidang ditunda. Verstek sendiri berarti pernyataan bahwa Tergugat tidak hadir pada hari pertama sidang.46

5. Perdamaian di muka pengadilan

Dalam hukum acara perdata berlaku, upaya perdamaian diatur dalam pasal 130 HIR, 154 RBg. Menurut ketentuan pasal 130 ayat (1) HIR, 154 ayat (1) RBg, bila pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, ketua perupaya untuk mendamaikan mereka. Upaya mendamaikan tersebut tidak hanya pada sidang pertama, melainkan juga sepanjang pemeriksaan perkara, bahkan sampai pada sidang terakhir pun sebelum ketua mengetok palu putusannya.

6. Jawaban tergugat

Dalam pemeriksaan perkara di muka sidang Peradilan Negeri, jawab-menjawab antara kedua belah pihak merupakan hal yang amat penting. Namun demikian, apa yang dikemukakan tergugat merupakan hal yang lebih penting lagi karena tergugat menjadi sasaran penggugat. Jawaban tergugat dapat perupa pengakuan, bantahan atau tangkisan (eksepsi), dan referte.

Eksepsi yang diajukan adalah dalam bentuk:47

- Ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan, yaitu jiika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible).

- Dengan demikian, keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale).

7. Replik dan Duplik

Setelah tergugat mengajukan jawaban, tahap selanjutnya adalah replik, yaitu jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik ini juga dapat diajukan, baik secara tertulis maupun secara lisan. Replik diajukan oleh penggugat untuk meneguhkan

46 Ibid,. hlm. 86-87


(28)

gugatannya, dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya.

Setelah penggugat mengajukan replik, tahapan pemeriksaan selanjutnya adalah dublik, yaitu jawaban tergugat terhadap replik yang diajukan oleh penggugat. Sama halnya dengan replik, dublik ini pun dapat diajukan secara tertulis maupun secara lisan. Duplik diajukan tergugat untuk meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan penggugat.48

Jika perkara perdata tidak dapat diselesaikan secara damai, tahapan-tahapan pemeriksaan di Pengadilan Negeri dapat digambarkan sebagai berikut:

1) Penggugat mengajukan gugatan (di kepaniteraan, diproses). 2) Tergugat menyampaikan eksepsi/jawaban.

3) Penggugat menyampaikan replik. 4) Tergugat menyampaikan duplik.

5) Penggugat dan tergugat menyampaikan alat-alat bukti.

6) Penggugat dan tergugat menyampaikan tanggapan terhadap alat bukti yang diajukan pihak lawan.

7) Penggugat dan tergugat menyampaikan kesimpulan, dan 8) Hakim membacakan keputusan.

G. PEMBUKTIAN

1. Pengertian Pembuktian

Menurut M. Yahya Harahap, SH. (1991:01) dalam pengertian yang luas, pembuktian adalah kemampuan penggugat atau tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih disengketakan atau hanya sepanjang yang menjadi perselisihan diantara pihak-pihak yang beperkara.

Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak yang beperkara untuk meyakinkan tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakannya di dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan dimuka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.


(29)

Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembuktian adalah upaya para pihak yang beperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang diajukan kepada hakim. Para praktisi hukum membedakan tentang kebenaran yang dicari dalam hukum perdata dan hukum pidana. Dalam hukum perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formal, sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran materil. Didalam praktik peradilan sebenarnya hakim dituntut mencari kebenaran materil terhadap perkara yang sedang diperiksanya, karena tujuan pembuktian itu adalah untuk mayakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu, sehingga hakim dapat mengonstatir, mengualifisir dan mengkonstituir, serta mengambil keputusan berdasarkan kepada pembuktian tersebut.49

2. Macam-macam Alat-alat Bukti dalam Perkara Perdata

Alat-alat bukti sah dalam pasal 164 HIR/ 284 RBg/Pasal 1866 BW, yaitu: 1. Bukti Surat/ Tulisan;

2. Bukti Saksi;

3. Bukti Persangkaan; 4. Bukti Pengakuan; 5. Bukti Sumpah;

Sistem HIR/ RBg dalam acara perdata menyebutkan bahwa hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah dalam undang, sehingga putusan Hakim juga didasarkan pada Undang-undang atas alat-alat bukti tersebut. Dalam pasal tentang alat-alat bukti tersebut ditentukan, bahwa di dalam segala hal dengan memperhatikan aturan/ ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal berikutnya.

1) Alat Bukti Surat/ Tulisan

Alat bukti surat atau tulisan diatur dalam Pasal 138, Pasal 165 dan Pasal 167 HIR/Pasal 164, Pasal 285 dan Pasal 305 RBg/Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894 BW.50

49 Abdul Manan, Penerapan hukum acara perdata... hlm. 227


(30)

Surat/tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan dengan maksud mencurahkan isi hati atau guna menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipakai sebagai pembuktian.51 Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta. Akta dapat dibedakan menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

Dalam hukum pembuktian, bukti tulisan atau surat merupakan alat bukti yang diutamakan jika dibandingkan dengan alat bukti yang lain.52

a. Akta

Akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Dengan demikian, unsur-unsur yang penting untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu bukti tulisan tersebut. Yang dimaksud dengan penandatangan ialah membubuhkan nama si penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf (singkatan tanda tangan) dianggap belum cukup. Nama itu harus ditulis tangan oleh si penanda tangan sendiri atas kehendaknya sendiri.53

Akta dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: a) Akta Otentik

Akta otentik termuat dalam Pasal 165 HIR/ 285 RBg. Yang disebut akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwewenang membuatnya dan merupakan bukti sempurna bagi kedua pihak dan ahli warisnya dan sekaligus orang yang mendapat hak daripadanya, juga tentang pokok soal yang tercantum di dalamnya serta apa yang tercantum pada akta itu sebagai pemberitahuan.

Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, pegawai pencatatan sipil, panitera, camat, dan sebagainya. Pada umumnya akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum, berkekuatan sebagai keterangan resmi (akta resmi) ialah apa-apa yang dialami oleh pejabat sendiri, misalnya pihak-pihak yang menghadap kepadanya mengucapkan kata-kata yang kemudian ditulis oleh pejabat tersebut. Ini termasuk Akta Relas misalnya berita acara sidang.

51 Soeparmono, Hukum Acara Perdata, dan Yurisprudensi (Bandung: Mandar Baru, 2005) hlm. 119 52 Abdul Manan, Penerapan hukum acara perdata... hlm. 240


(31)

Keterangan resmi ini dianggap benar dan berlaku terhadap semua orang. Sedang kekuatan mengikatnya yaitu terhadap para pihak, ahli warisnya, dan pendapat hak.

Kekuatan Pembuktian Akta Otentik54

- Kekuatan pembuktian formil. Di sini membuktikan bahwa pihak-pihak telah menerangkan apa yang termuat dalam akta tersebut, tanpa menghiraukan kebenaran isinya akta itu.

- Kekuatan pembuktian meteriil. Di sini membuktikan bahwa antar pihak-pihak benar bahwa hal atau peristiwa dalam akta tersebut benar-benar terjadi menurut isinya.

- Kekuatan pembuktian mengikat. Di sini membuktikan antara pihak-pihak dan pihak ke tiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta telah benar dan menerangkan apa yang tertulis di dalam akta tersebut. Oleh karena itu akta otentik mempunyai kekuatan bukti terhadap pihak ke tiga (pihak luar)55

Sebuah akta otentik haruslah memenuhi unsur-unsur:

1. Dibuat oleh atau dihadapan penjabat resmi atau berwenang 2. Sengaja dibuat akta tersebut untuk surat bukti

3. Bersifat partai

4. Atas permintaan partai

5. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan meningkat.56 b) Akta di Bawah Tangan

Akta dibawah tangan adalah suatu akta yang ditanda tangani dan dibuat dengan maksud dijadikan bukti suatu perbuatan hukum tanpa bantuan seorang pejabat.

Apabila suatu akta di bawah tangan, isi dan tandatangan akta itu telah diakui oleh yang membuatnya, maka akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti halnya pada akta otentik, yaitu mempunyai kekuatan bukti sempurna. Hal itu mempunyai kekuatan bukti terhadap pembuat akta, ahli warisnya, dan pendapat haknya.

Apabila tandatangan dalam akta disangkal (dibantah) oleh pihak yang menandatangani, maka pihak yang mengajukan akta tersebut harus berusaha membuktikan dan Hakim harus memeriksa kebenaran tanda tangan tersebut. Akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian kepada pihak ketiga.

Kekuatan bukti akta di bawah tangan:

54 Soeparmono, Hukum Acara Perdata, dan Yurisprudensi... hlm 121 55 Ibid,. hlm. 121


(32)

- memenuhi perumusan dalam undang-undang seyogyanya dalam pertimbangan yang terlepas dari dalam kasasi yang diajukan ditambahkan, bahwa hal itu dilakukan berdasarkan alasan kasasi mahkamah agung sendiri.

- Nampak kwitansi dianggap sebagai akta di bawah tangan yang bersifat sepihak dan kewajiban untuk melunaskan hutangnya (pasal 291 ayat (1) RBg).

b. Surat/tulisan Bukan Akta

Surat-surat non-akta sebagaimana yang diatur dalam pasal 294 ayat (2) RBg dan pasal 1881 ayat (2) KUHPerdata, bentuknya dapat berupa surat biasa/koresponden, catatan harian, dan sebagainya. Surat-surat tersebut tidak sengaja dibuat sebagai surat bukti atau tidak sengaja dibuat untuk alat bukti. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim. Jika isinya mengandung fakta maka dapat dipergunakan sebagai bukti permulaan atau sebagai surat keterangan yang memerlukan dukungan alat bukti lain.57

Ada beberapa tulisan bukan akta yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai alat bukti yang mengikat, artinya harus dipercaya oleh hakim, yang disebut dalam Pasal 1881 ayat (1) sub 1 dan sub 2 serta Pasal 1883 BW, yaitu:58

a. Surat-surat yang dengan tegas menyebut tentang suatu pembayaran yang telah diterima. b. Surat-surat yang dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk

memperbaiki suatu kekurangan di dalam sesuatu alas hak (titel) bagi seorang untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan.

c. Catatan yang dicantumkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya jika apa yang ditulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap debitur.

d. Catatan-catatan yang dicantumkan kreditur pada salinan suatu alas hak atau tanda pembayaran, asal saja salinan atau tanda pembayaran ini berada dalam tangan debitur. 2) Alat Bukti Saksi

Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139-152 HIR/168-172 RBg, dan Pasal 1902 sampai 1908 BW. Keterangan saksi adalah kesaksian tentang hal-hal atau peristiwa dan kejadian yang dialami sendiri, yaitu apa-apa yang dialami, dilihat dan didengar sendiri perihal kepastian yang

57 Ibid,. hlm. 243


(33)

diberiakan dipersidangan. Keterangan saksi harus lisan dan pribadi didepan sidang, bukan yang diperoleh secara pikiran atau dugaan atau yang didengar dari pihak ketiga atau orang lain.

Tiap kesaksian harus disebutkan sebab-sebab ia mengetahui itu, jadi tidak cukup keterangan bahwa ia telah tahu, sebab kalau hanya demikian bukan kesaksiaan dan tidak mempunyai nilai bukti dan tidak mempunyai kekuatan bukti sempurna.

Orang-orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi:

- Tidak mampu absolut (mutlak) yaitu keluarga sedarah atau perkawinan dalam keturunan lurus salah satu pihak dan suami/istri salah satu pihak, meskipun bercerai.

- Tidak mampu relatif (nisbi) yaitu anak belum berumur 15 tahun dan orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya sehat.

Kewajiban saksi adalah:

1. Saksi wajib datang dipersidangan : Pasal 139-141 HIR/165-167 RBg 2. Saksi wajib untuk bersumpah atau janji: Pasal 147 HIR/175 RBg

3. Saksi wajib memberikan kesaksian secara benar: Pasar 150 HIR/178RBg.

Menurut rangkaian Pasal 140, Pasal 141, dan Pasal 148 HIR/Pasal 166, Pasal 167, dan Pasal 176 RBg, seseorang yang bukan karena sesuatu alasan yang sah tidak dapat memenuhi panggilan menjadi saksi dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagai berikut:

a. Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggilnya menjadi saksi.

b. Secara paksa dibawa menghadap pengadilan, kalau perlu dengan bantuan Polri. c. Dimasukkan dalam penyanderaan.59

Tujuan undang-undang mengharuskan saksi untuk bersumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangannya adalah agar saksi tersebut betul-betul memberikan keterangan yang sebenarnya. Meskipun demikian, belum tentu sumpahnya tersebut merupakan jaminan sepenuhnya bahwa semua keterangan saksi benar dan dapat dipercaya. Oleh karenanya, dalam mempertimbangkan nilai kesaksian, Pasal 172 HIR/Pasal 309 RBg menentukan, agar hakim memperhatiakan benar-benar kecocokan keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lain.

Pemeriksaan saksi harus dilakukan seorang demi seorang, tidak boleh dilakukan pemeriksaan terhadap 2 orang saksi sekaligus atau lebih secara bersama-sama (Pasal 144 ayat 59 Ibid,. hlm. 101


(34)

(1) HIR/Pasal 171 ayat(1) RBg). Maksudnya tidak lain adalah agar saksi-saksi tersebut tidak menyesuaikan keterangan mereka satu sama lain.60

3) Bukti Persangkaan (dugaan)

Diatur dalam pasal 173 HIR/310 RBg serta pasal 1912-1922 BW. Yang dimaksud dengan persangkaan adalah kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang dikenal atau dianggap terbukti, dengan mana diketahui adanya suatu peristiwa yang tidak dikenal. Jika yang menarik kesimpulan tersebut adalah undnag-undang, maka disebut dengan persangkaan undang-undang.

Sedangkan jika yang menarik kesimpulan itu alah hakim, maka disebut dengan persangkaan hakim.

Persangkaan sebagai alat bukti bersifat sementara, tetapi tidak dapat berdiri sendiri, tetapi diambil dari alat-alat bukti lainnya.61 Menurut ilmu pengetahuan persangkaan merupakan alat bukti yang tidak langsung dibedakan atas 2 macam, yaitu persangkaan berdasarkan kenyataan dan persangkaan berdasarkan unndnag-undang.

4) Bukti Pengakuan

Dasar hukum pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174 HIR dan pas 311 RBg. Serta pasal 1923-1928 KUH Perdata. Bukti pengakuan dibedakan menjadi 2 yaitu:

 Pengakuan di muka sidang  Pengakuan di luar sidang

Pengakuan merupakan alat bukti maka, demi kepastian hukum harus dinyatakan bahwa pengakuan itu merupakan alat bukti yang sah menurut hukum, setiap pengakuan yang telah diucapkan di depan sidang oleh salah satu pihak yang berperkara sendiri atau kuasa hukumnya, maka pengakuan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Hal ini berarti apabila tergugat telah mengakui segala dalil gugat maka pengakuan itu membebaskan penggugat untuk membuktikan lebih lanjut. Konsekuensi dari hal ini, hakim harusmengabulkan tuntutan penggugat dan perkara dianggap selesai.

60 Ibid,. hlm. 105


(35)

Pengakuan di luar sidang sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 175 HIR dan Pasal 312 RBg hanya menyangkut pengakuan lisan saja. Oleh karena Hakim tidak mendengar sendiri pengakuan tersebut maka diperlukan alat bukti lain yaitu alat bukt saksi. Dari keterangan saksi itu Hakim dapat menilai pengakuan lisan di luar sidang itu, apakah mempunyai kekuatan pembuktian atau tidak.62

5) Bukti Sumpah

Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 182-185 dan 314 RBg, pasal 155-158 dan177 HIR dan pasal 1929-1945 KUH perdata. Menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, S.H sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberikan keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Jadi, sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam persidangan majelis hakim.

Sumpah sebagai alat bukti berbeda dengan sumpah yang diucapkan sanksi sebelum memberi keterangan di depan majelis hakim. Sumpah tersebut bukan sebagai alat bukti, tetapi kesaksiannya itulah yang menjadi bukti, sebaliknya sumpah yang diucapkan para pihak dalam perkara adalah menjadi alat bukti.

Sumpah saksi hanya menyatakan benar apa yang dikethui,sumpah didengar dan dilihat oleh saksi sesuai dengan apa yang diterangkannya di depan sidang pengadilan. Sebaliknya sumpah sebagai sebagai alat bukti isinya tentang kebenaran apa yang dilakukan pihak yang bersupah itu.

Dalam praktik Peradilan Agama Islam, dikenal beberapa sumpah sebagai alat bukti, yaitu: a. Sumpah pelengkap

Agar sumpah pelengkap dapat dijadikan alat bukti, maka harus memenuhi syarat-syarat formal dan materil sebagai berkut:

1. Syarat formal sumpah pelengkap

 Sumpah tersebut untuk melengkapi atau menguatkan pembuktian yangsudah ada, tetapi belum mncapaibatas minimal pembuktian.


(36)

 Bukti yang sudah ada baru bernilai bukti permulaan

 Para pihak yang berperkara sudah tidak mampu lagi menambah alat bukti yang ada dengan alat bukti yang lain

 Sumpah dibebankn atas perintah hakim dan diucapkan didepan sidang majelis hakim secara person.

2. Syarat materil sumpah pelengkap;

 Isi lafadz sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang beperkara atau yang berperkara atau yang mengucapkan sumpah tersebut.

 Isi sumpah harus berkaitan langsung dengan pokok perkara dan tidak bertentangan dengan agama, moral dan kesusilaan.

b. Sumpah Pemutus

Sumpah pemutus atau juga sering disebut dengan sumpah yang menenukan diatur dalam pasal 156 HIR, pasal 183 RBg dan pasal 1930 KUH Perdata. Dalam pasal-pasal ini dikemukakan bahwa jika tidak ada sesuatu keterangan untuk menguatkan gugatan atau jawaban atas gugatan itu, maka salah satu pihak dapat meminta pihak lain bersumpah dimuka hakim.jadi sumpah pemutus ini dapat dibebankan kepada salah satu pihak walaupun sama sekali tidak ada bukti, pembebanan tersebut atas permohonan salah satu pihak yang berperkara.

Tujuan dari pelaksanaan sumpah pemutus adalah untuk menyelesaikan perkara. Oleh karena itu, pihak yang telah mengucapkan sumpah tidak boleh lagi diperintahkan memberikan bukti-bukti lagi untuk membenarkan apa yang dinyatakan dengan sumpahnya itu.63

3. Pemeriksaan Setempat

Pemeriksaan setempat diatur dalam Pasal 153 HIR/Pasal 180 RBg yang menetukan demikian: 1. Jika dianggap perlu dan berguna, ketua dapat mengangkat seorang atau dua orang komisaris

pada pengadilan itu, yang dengan bantan panitera akan memeriksa sesuatu keadaan setempat, sehingga menjadi keterangan.

2. Tentang pekerjaan dan hasilnya dibuat oleh panitera surat berita acara atau relas yang ditandatangani oleh komisaris dan panitera tersebut.

3. RBg: Jika tempat yang akan diperiksa itu terletak diluar daerah hukum tempat kedudukan pengadilan itu, ketua dapat minta kepada pemerintah setempat supaya melakukan atau


(37)

menyuruh melakuakn pemeriksaan itu dan mengirimkan dengan selekas-lekasnya berita acara pemeriksaan tersebut.

Dalam praktek pemeriksaan setempat dilakukan sendiri oleh hakim ketua sidang, hakim-hakim anggota (jika majelis), dan panitera pengganti, serta dihadiri oleh pihak-pihak yang berperkara. Pemeriksaan setempat pada hakikatnya tidak lain daripada pemeriksaan perkara dalam persidangan, hanya saja persidangan itu berlangsung diluar gedung dan tempat kedudukan penagdilan, tetapi masih didalam wilayah hukum pengadilan yang bersangkutan.64

4. Keterangan Ahli

Keterangan ahli diatur dalam Pasal 154 HIR/Pasal 181 RBg yang menentukan bahwa jika menurut pertimbangan pengadilan suatu perkara dapat menjadi lebih jelas kalau dimintakan keterangan ahli, atas permintaan pihak yang berperkara atau karena jabatan, pengadilan dapat mengangkat seorang ahli untuk dimintakan pendapatnya mengenai sesuatu hal pada perkara yang sedang diperiksa.

Pendapat ahli dikuatkan dengan sumpah, maksudnya tidak lain agar pendapat tersebut disampaikan seobjektif mungkin. Namun, hakim tidak mewajibkan untuk menuruti pendapat ahli jika pendapat ahli itu berlawanan dengan keyakinannya.

H. PUTUSAN PENGADILAN DALAM PERKARA PERDATA

Setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara itu. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.65 Perlu diketahui, bahwa putusan disini adalah putusan peradilan tingkat pertama.66

1. Asas Putusan

Pembahasan mengenai asas yang mesti ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, dan Pasal 19 64 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia... hlm. 143

65 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata...hlm 126 66 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata... hlm. 797


(1)

demikian ini, yaitu yang bersifat ekonomis, maka hakim pengadilan negeri merasa kaku menghadapinya.

Oleh karena itu hal-hal yang diuraikan diatas ini maka dibutuhkan cara penyelesaian sengketa itu di luar pengadilan berdasarkan perjanjian antara pihak yang bersangkutan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa mereka kepada suatu lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa diluar pengadilan.

1. Pengertian Arbitrase

Arbitrase/perwasitan adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa diluar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang bersengketa diserahkan kepada seorang atau beberapa orang wasit.75 Sedangkan menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 dirumuskan:

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibaut secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.76

Menurut pasal 130 HIR RBg diberikan kesempatan bagi para pihak yang bersangkutan untuk mengadakan penyelesaian perkara atau perdamaian di luar pengadilan. Sedangkan menurut pasal 377 atau pasal 705 RBg menentukan bahwa apabila orang bumi putra dan orang timur asing menyuruh menyelesaikan perselisihannya maka dalam hal itu mereka wajib menurut peraturan mengadili perkara yang berlaku bagi golongan Eropa, sedangkan HIR sendiri tidak mengatur tentang perwasitan.

Disamping itu masih ada pengaturan lain yang mengatur tentang perwasitan yaitu UU mahkamah agung (UU No. 1 tahun 1950; pasal 15, 108 s.d. 111) kemudian masih dikenal perwasitan atau arbitrase perburuhan yang diatur dalm UU No. 22 tahun 1957 yaitu mengenai penyelesaian perburuan di Indonesia.77

2. Penunjukan dan Pengangkatan Arbiter/wasit

75 Ibid,. hlm. 84

76 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata...hlm 189


(2)

Sebutan untuk orang yang memeriksa dan memutuskan sengketa melalui arbitrase adalah arbiter (wasit). Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh pengadilan negeri atau lembaga arbitrase untuk memberikan putusan melalui arbitrase (Pasal 1 angka 7).

Jadi, arbiter yang memeriksa dan memutuskan sengketa melalui arbitrase itu bisa orang perorangan dan bisa lembaga arbitrase. Seseorang yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Cakap melakukan tindakan hukum. b. Berumur paling rendah 35 tahun.

c. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa.

d. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase. e. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.

Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi wasit sesuai dengan pasal 617 RV. Larangan untuk diangkat menjadi wasit berlaku untuk para hakim, pegawai penuntut umum dan panitera berdasarkan pasal 34 RV.

Kemudian, yang dimaksud dengan lembaga arbitrase adalah badan yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketauntuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu dan juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa (Pasal 1 ayat (8)).

Apabila para pihak tidak dapat mencapai kata sepakat tentang penunjukan atau pemilihan wasit, maka atas permintaan para pihak yang bersangkutan wasit diangkat oleh hakim yang berwenang memeriksa perkaranya sekiranya diajukan baginya (ini berdasarkan pasal 619 RV). Bagi wasit yang tidak diangkat oleh hakim tidak dapat diajukan keberatan kecuali karena alasan timbul sesudah pengangkatan (menurut pasal 621 RV).78

Bahwa seseorang yang menerima penunjukannya sebagai wasit harus menyatakan kesediaaanya itu secara tertulis atau kesediaannya itu dimuat dalam akta pengangkatannya dan dalam hal ini diartur pada pasal 622 RV. Apabila tugas sudah diterimanya maka wasit tidak boleh menarik diri kecuali dengan alasan yang disetujui oleh hakim sesuai dengan pasal 623 RV.


(3)

Dalam perwasitan ini dapat dilakukan dengan dua jalan: 1. Dinamakan pactum de compromittendo

2. Dinamakan akta compromise

Ad. 1. pactum de compromittendo adalah suatu klausula dalam perjanjian dimana ditentukan bahwa para pihak diharuskan mengajukan perselisihanya kepada seorang atau majelis wasit. pactum de compromittendo ini hanyalah merupakan sebahagian saja dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian. Dalam waktu membuat pactum de compromittendo sama sekali belum terjadi perselisihan.

Ad. 2. Akta kompromis itu merupakan perjanjian khusus yang dibuat setelah terjadinya perselisihan untuk mengatur tentang cara mengajukan perselisiahna yang telah terjadi kepada seorang wasit untuk diselesaikan .dalam akta kompromis ditentukan batas waktu untuk memutuskan sengketa oleh wasit dan batas waktunya adalah 6 bulan sesuai dengan pasal 620 RV.

Berakhirnya tugas wasit disebabkan karena :

a. Putusan telah dijatuhkan berarti sengketanya telah diselesaikan

b. Lewatnya waktu yang ditetapkan dalam akta komprmis tanpa menghasilkan keputusan. c. Lewatnya waktu 6 bulan setelah wasit menerima pengangkatannya jika tidak ditetapkan

batas waktu.

d. Pencabutan oleh para pihak

e. Meninggalnya seorang wasit atau karena ditolaknya wasit itu

Berdasarkan surat keputusan dari Kamar Dagang dan Industry Indonesia (KADIN) No. SKEP/152/DPH/1977 tanggal 30 november 1977 didirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai badan arbitrase dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul tentang soal-soal perdagangan, industry dan keuangan baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. 79

Kemudian syarat yang harus dipenuhi dalam permohonan arbitrase adalah : 1. Nama lengkap dan tempat tinggal kedua belah pihak

2. Suatu uraian singkat tentang duduknya sengketa

3. Apa yang dituntut harus didaftarkan ke secretariat BANI yang bersangkutan.


(4)

Dan dalam biaya yang dikenakan dalam arbitrase adalah : 1. Uang pendaftaran

2. Biaya administrasi/pemeriksaan

3. Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau ahli,biaya ini dipikul oleh pihak yang meminta dipanggilnya saksi atau ahli tersebut dan biaya ini harus di bayar lebih dahulu kepada secretariat.

4. Biaya perjalanan dari arbiter atau majelis arbiter untuk melakukan perjalanan dibebankan kepada kedua belah pihak masing-masing separuh dan harus di bayar lebih dahulu kepada secretariat.

5. Honorarium arbiter ditetapkan untuk setiap sengketa oleh ketua BANI tetapi jumlahnya tidak melebihi yang ditetapkan untuk sengketa terssebut/


(5)

BAB III PENUTUP KESIMPULAN

Hukum Acara Perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkara yang diajukan oleh penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam Hukum Perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Para pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain dalam permasalahan perdata dapat mengajukan gugatan ke pengadilan atau permohonan jika tidak melibatkan orang lain.

Setelah gugatan diajukan, maka pengadilan akan memeriksa berkas-berkas yang dilampirkan oleh Penggugat (orang yang mengajukan gugatan) dan mulai menginterogasi Tergugat (orang yang digugat).

Apabila Tergugat merasa keberatan atas perkara yang ditujukan kepadanya, maka ia dapat menangkis (eksepsi) jawaban dari pihak Penggugat.

Setiap Penggugat dan Tergugat diberi kesempatan yang sama untuk menjelaskan pendapat mereka dimuka pengadilan baik dengan mereka sendiri maupun melalui wakilnya dan diperbolehkan membawa alat-alat bukti sebagai keakuratan penjelasan mereka.

Tergugat juga dapat mengajukan perlawanan (verzet) atas verstek yang ia lewati pada sidang pertama pada Pengadilan Negeri tempat ia digugat, banding di tingkat Pengadilan Tinggi dan juga kasasi pada Mahkamah Agung.

Selain penyelesaian di pengadilan, perkara perdata juga dapat diselesaikan antara sesama kedua belah pihak melalui arbitrase. Penunjukan arbiter harus memenuhi syarat tertentu dan berpengalaman dibidangnya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

A.Rasyid, Roihan. 2006. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Harahap, Yahya. 2009. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika

Makarao, Moh. Taufik. 2004. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT. Rineka Cipta Manan, Abdul. 2000. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan. Jakarta:

Yayasan Al-Hikmah.

Menokusumo, Sudikno. 2002 Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta Muhammad, Abdulkadir.2010. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: Putra Aditya Bakti Mulyadi, Lilik. 2005 Hukum Acara Perdata Menurut Teory dan Praktik Peradilan Indonesia,

Jakarta: Djambatan

Rasaid, M.Nur. 2008. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika

Soeparmono. 2005. Hukum Acara Perdata, dan Yurisprudensi, Bandung: Mandar Baru

Syahrani, Riduan. 2004. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti