Model Belajar Berbasis Masalah

5 pemahaman seseorang itu hanya dapat dibangun dan dimantapkan dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Melalui interaksi dalam lingkungan sosial pebelajar dapat melihat apakah pemahamannya tentang suatu pengetahuan dapat mengakomodasi isu-isu dan pandangan-pandangan orang lain, dan apakah ada sudut pandang yang bermanfaat untuk disatukan ke dalam pemahamannya. 8 Sediakan kesempatan dan dukungan agar pebelajar melakukan refleksi baik tentang materi yang dipelajari maupun proses belajar yang mereka jalani. Salah satu tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan ketrampilan- ketrampilan pengaturan diri -menjadi mandiri. Refleksi dapat membantu siswa mengembangkan kesadaran meta-kognisi, yaitu kesadaran tentang cara belajar dan apa yang dipelajarinya. Demikianlah prinsip-prinsip pembelajaran yang bersumber dari filsafat konstruktivisme. Berikut akan diulas ketiga model belajarpembelajaran yang dapat dicandra sebagai bersumber dari filsafat tersebut.

3. Model Belajar Berbasis Masalah

Problem Based Learning . Pembelajaran berbasis masalah pertama kali berkembang di lingkungan pendidikan mediskedokteran untuk menjawab kebutuhan adanya kurikulum yang tidak terlalu kompetitif dan dapat mendorong siswa agar lebih terlibat dalam pembelajaran, sehingga tidak terlalu memberi tekananstres sebagaimana yang terjadi dalam kurikulum tradisional. Walaupun mungkin munculnya pendekatan pembelajaran berbasis masalah lebih dipicu oleh kebutuhan praktis, namun kaijan yang kemudian berkembang telah menemukan bahwa pembelajaran berbasis masalah memuat banyak prinsip dalam teori kognitif sekarang ini. Lebih dari itu kini telah berkembang berbagai upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran berbasis masalah ke pembelajaran bidang studi di luar kedokteran.  Landasan Teoritis Belajar Berbasis Masalah Landasan teoritis bagi pembelajaran berbasis masalah adalah teori kognitif tentang belajar. Teori kognitif berpendapat bahwa proses belajar seseorang terjadi bukan dengan cara menyerap informasi melainkan dengan menafsirkan informasi- informasi tersebut. Efektivitas belajar bergantung pada proses-proses internal dalam diri siswa, yang harus mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. 6 Lebih dari itu pandangan terbaru dalam teori kognitif menyatakan bahwa proses kognisi itu secara fundamental sangat ditentukan oleh situasi situated cognition . Artinya, kegiatan pengembangan pengetahuan adalah bagian tak terpisahkan dari apa yang dipelajari, dan oleh karena itu memisahkan pengetahuan dari konteks di mana pengetahuan itu digunakan, sama artinya dengan membuang makna dan tujuan belajar yang ada dalam situasi kehidupan nyata. Dengan mengabaikan watak keterikatan proses kognisi pada lingkungannya, pendidikan tradisional telah mengingkari tujuannya sendiri yaitu untuk meningkatkan pengembangan pengetahuan siswa yang kokoh dan bermanfaat. Oleh karena itu para pakar strategi belajar kognitif merekomendasikan agar sebagian besar kurikulum bidang studi di sekolah-sekolah diorganisasikan seputar masalah-masalah kehidupan nyata yang dapat dipecahkan siswa dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Hal itu dapat dilakukan dengan pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah jadinya mengorganisasikan kurikulum di sekitar persoalan-persoalan yang distrukturkan secara longgar dan para siswa memecahkan persoalan itu dengan menggunakan pengetahuan dan ketrampilan yang berasal dari sejumlah disiplin ilmu.  Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah. Pembelajaran berbasis masalah menurut Baptise 2003 dilandasi oleh sejumlah nilai dan asumsi yaitu a kerjasama partnership , b kejujuran dan keterbukaan honesty and openness , c rasa hormat respect , dan d kepercayaan trust . Pembelajaran berbasis masalah dijalankan atas dasar pengakuan pentingnya kerjasama. Pembelajaran ini mendorong mereka yang terlibat di dalamnya untuk memandang setiap orang lain dalam kacamata persaudaraan dan kolaborasi serta menjauhkan gagasan-gagasan berkompetisi. Sejak awal pembelajaran berbasis masalah juga bersifat terbuka. Struktur pengalaman belajar, mulai dari tugas tugas individual sampai ke tujuan tujuan kurikuler, semua dapat diketahui secara terbuka oleh siapapun. Interaksi antar pribadi juga mencerminkan pengutamaan kejujuran dan keterbukaan. Nilai lain yang juga mendasari pembelajaran berbasis masalah adalah rasa hormat. Oleh karena sistem belajar diarahkan untuk memelihara integritas maka semua pihak harus saling menghormati satu sama lain. Rasa hormat itu tercermin dalam kedisiplinan, tatakrama, pemberian perhatian, pengajuan pertanyaan secara sopan dan 7 bermakna, dan yang paling penting adalah terlibat dalam proses belajar. Ketika semua nilai di atas terwujud atau diintergrasikan dalam lingkungan belajar maka kepercayaan akan mulai tumbuh dan kemudian terbangun dengan kokoh. Jadi karakteristik pokok dari pembelajaran berbasis masalah adalah a pembelajarannya berpusat kepada siswa, b lembaga memainkan peranan sebagai fasilitator atau penunjuk jalan, c masalah atau skenario belajar menjadi landasan, pusat perhatian dan struktur belajar, dan d informasi dan pemahaman baru siswa diperoleh melalui belajar yang diarahkan sendiri self directed learning . Tampak bahwa pembelajaran berbasis masalah memang sejalan dengan paradigma kontruktivisme yang berpendapat bahwa makna itu dikonstruksi oleh individu melalui pengalamannya dalam konteks tertentu. Konteks belajar dan kegiatan pebelajar berdampak pada bagaimana sesuatu itu dipahami, dan oleh karena itu dipelajari. Melalui konteks pemecahan masalah yang diciptakan, dan juga kegiatan yang harus dilakukan pebelajar dalam konteks itu, pembelajaran berbasis masalah berdampak terhadap kegiatan pebelajar dalam mengkonstruksi pengetahuan Fokus dalam pembelajaran berbasis masalah adalah pebelajar sebagai konstruktor dari pengetahuannya sendiri dalam konteks yang mirip dengan situasi di mana ia akan menerapkan pengetahuan kelak.  Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah. Sebagai sebuah model maka ada banyak strategi untuk mengimplementasikan pembelajaran berbasis masalah. Savery Duffy 1996 misalnya lebih suka mengadopsi model Barrow, dalam menjelaskan implementasi pembelajaran berbasis masalah di lingkungan pendidikan kedokteran. Proses pembelajaran berbasis masalah di bidang kedokteran mencakup: a penyajian masalah berupa tugas mendiagnosa pasien dan merekomendasikan penanganannya, b pebelajar kemudian belajar mandiri dengan peluang konsultasi pada pakar, c pertemuan kembali para pebelajar untuk mengevaluasi sumber daya dan kemudian bekerja menangani masalah dengan tingkat pemahaman baru, d penilaian di akhir proses dilakukan dalam bentuk penilaian diri atau penilaian teman. 8 Sedang Borich 1996 dan juga Slavin 2000 mengemukakan teknik IDEAL yang dikembangkan oleh Bransford Stein tahun 1993, sebagai teknik pemecahan masalah. Teknik IDEAL merupakan akronim dari lima langkah pemecahan masalah dalam proses pembelajaran berbasis masalah yang terdiri dari I dentify, Define, Explore, A ct dan L ook . Kelima langkah pemecahan masalah tersebut adalah sebagai berikut:  Identifikasi masalah. Pebelajar pertama-tama harus mengetahui apa masalah atau masalah-masalah yang akan dipecahkannya. Pada tahap ini pebelajar menanyai dirinya sendiri apakah ia memahami persoalannya dan apakah persoalan itu telah dinyatakan dengan jelas.  Tentukan batasan-batasan istilah. Pebelajar mencek apakah mereka memahami makna setiap kata yang terdapat dalam pernyataan masalah.  Mengeksplorasi strategi-strategi. Pebelajar mengumpulkan informasi yang relevan dan menguji cobakan strategi strategi untuk memecahkan masalah.  Bertindak berdasar strategi. Sesudah para pebelajar mencari berragam pilihan strategi, mereka kemudian menggunakan salah satu di antaranya.  Meninjau dampak-dampaknya. Di tahap ini pebelajar menanyai diri sendiri apakah mereka telah mencapai pemecahan masalah yang dapat diterima.

4. Model BelajarPembelajaran Berbasis Kasus