8 Sedang Borich 1996 dan juga Slavin 2000 mengemukakan teknik IDEAL
yang dikembangkan oleh Bransford Stein tahun 1993, sebagai teknik pemecahan masalah. Teknik IDEAL merupakan akronim dari lima langkah pemecahan masalah
dalam proses pembelajaran berbasis masalah yang terdiri dari
I dentify, Define, Explore,
A ct
dan
L ook
. Kelima langkah pemecahan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
Identifikasi masalah. Pebelajar pertama-tama harus mengetahui apa masalah atau
masalah-masalah yang akan dipecahkannya. Pada tahap ini pebelajar menanyai dirinya sendiri apakah ia memahami persoalannya dan apakah persoalan itu telah
dinyatakan dengan jelas.
Tentukan batasan-batasan istilah. Pebelajar mencek apakah mereka memahami
makna setiap kata yang terdapat dalam pernyataan masalah.
Mengeksplorasi strategi-strategi. Pebelajar mengumpulkan informasi yang relevan
dan menguji cobakan strategi strategi untuk memecahkan masalah.
Bertindak berdasar strategi. Sesudah para pebelajar mencari berragam pilihan
strategi, mereka kemudian menggunakan salah satu di antaranya.
Meninjau dampak-dampaknya. Di tahap ini pebelajar menanyai diri sendiri
apakah mereka telah mencapai pemecahan masalah yang dapat diterima.
4. Model BelajarPembelajaran Berbasis Kasus
Case-Based Learning
.
Pembelajaran berbasis kasus
Case-based instruction
menurut Ertmer dkk 1996 telah lama diterima sebagai metode pengajaran efektif di sekolah sekolah
hukum dan bisnis dan sekarang meningkat penggunaannya dalam bidang profesional lain seperti kesehatan, ilmu politik, jurnalistik, pendidikan guru, arsitektur, psikologi
dan pengukuran pendidikan, serta desain pembelajaran. Kagan 1993 juga mencatat terjadinya peningkatan perhatian para peneliti dan pendidik terhadap pemanfaatan
kasus-kasus dalam kelas dalam pendidikan guru selama beberapa tahun terakhir ini.
Landasan Teoritis Belajar Berbasis Kasus
Landasan teoritis pembelajaranbelajar berbasis kasus adalah teori pemrosesan informasi, karena belajar berbasis kasus dilandasi oleh model berpikir berbasis kasus
case-based reasoningCBR
. Menurut Riesbeck 1996 CBR pada intnya adalah memecahkan masalah dengan mengadaptasikan solusi-solusi lama, dan menafsirkan
9 situasi-situasi baru dengan membandingkannya dengan situasi-situasi lama. Ada tiga
proses dasar dalam CBR yaitu pemanggilan kembali, adaptasi dan penyimpanan. Ketika pemecah masalah diperhadapkan pada situasi baru, proses pemanggilan
kembali informasi-pen akan menemukan kasus deskripsi beberapa bagian episode dari kasus lama yang mirip dengan situasi baru itu. Proses adaptasi kemudian akan
terjadi ketika pemecah masalah menerapkan informasi-informasi yang telah direkam dalam kasus lama ke dalam situasi baru, dan menimbang perbedaan-perbedaan
signifikan di antara situasi lama dan situasi baru itu. Proses penyimpanan terjadi
manakala pebelajar menambahkan kasus baru yang sudah diadaptasikan, sejalan dengan pengetahuan tentang bagaimana hal itu harus dikerjakan, ke dalam ingatan,
untuk digunakan di masa depan. Model penalaran berbasis kasus di atas mengimplikasikan bahwa hal yang
paling penting untuk dipelajari dalam sebuah pembelajaran adalah kasus-kasus baru dan cara cara baru dalam meng
indeks
kasus-kasus tersebut. Persoalan yang dihadapi
manusia, dan juga komputer, dalam memecahkan kasus adalah persoalan pemberian indeks yaitu bagaimana memberi namalabel kepada kasus-kasus baru secara tepat
sehingga mereka dapat dipanggil kembali kelak dalam situasi yang relevan. Jika kasus- kasus diberi label terlalu khusus maka mereka tidak akan dapat diingat jika situasi yang
mirip muncul. Jika kasus-kasus diberi label dengan rincian rincian yang tak relevan atau terlalu abstrak, maka mereka akan diingat justru ketika tidak diperlukan. Jadi
mempelajari cara terbaik memberikan indeks pada kasus-kasus berarti mempelajari prinsip prinsip penting yang melandasi sebuah kasus.
Penalaran berbasis kasus itu juga mengimplikasikan prinsip-prinsip perancangan lingkungan pembelajaran yang mencakup:
a Dalam rangka mempelajari kasus-kasus, siswa memerlukan pengalaman. Oleh
karena itu lingkungan belajar harus menyimulasikan dunia di mana mereka dapat memperoleh pengalaman itu.
b Dalam rangka membangun kasus berbasis luas, para pebelajar memerlukan
lebih banyak contoh-contoh dibanding yang mungkin diperolehnya secara mandiri. Lebih dari itu mereka perlu diperhadapkan pada kasus-kasus nyata,
bukan sekedar simulasi. Oleh karena itu lingkungan belajar harus menyediakan
10 akses ke kasus-kasus yang berbasis pada pengalaman-pengalaman dari dunia
nyata. c
Dalam rangka mengindeks kasus-kasus dengan indeks yang meningkatkan pemangggilan dan penggunaan kembali kasus-kasus itu, maka para pebelajar
memerlukan tujuan tujuan dan rencana-rencana yang jelas. Oleh karena itu lingkungan belajar harus mencakup tugas tugas dan peran-peran yang jelas bagi
para pebelajar. d
Dalam rangka agar mampu belajar memberi indeks secara lebih baik, maka para pebelajar sesekali perlu mengalami kegagalan. Oleh karena itu lingkungan
belajar harus menantang para pebelajar dengan masalah-masalah yang sulit. e
Dalam rangka membangun indeks yang lebih baik pebelajar perlu membangun penjelasan yang baik tentang apa yang salah. Oleh karena itu lingkungan belajar
harus sangat mendukung bagi terjadinya proses proses pemberian penjelasan.
Karakteristik Pembelajaran Berbasis Kasus
Blumenfeld, Soloway, Marx, Krajcik, Guzdizal dan Palincar sebagaimana dikutip Ertmer dkk 1996 menyatakan bahwa belajar berbasis kasus memerlukan
keterlibatan dari „pengetahuan, usaha, ketekunan dan pengaturan diri’ dari pebelajar
yang harus membuat rencana, mengumpulkan informasi, membangun dan merevisi solusi masalah,
. Meskipun komponen komponen itu tidak merupakan syarat khusus bagi belajar berbasis kasus namun memang merupakan hal yang penting dalam
lingkungan belajar yang mensyaratkan siswa terlibat dalam tugas tugas belajar yang kompleks dan mendua arti.
Meskipun ada banyak variasi bentuk dan gaya, pembelajaran berbasis kasus cenderung melibatkan masalah-masalah yang kompleks yang terjadi dalam praktik
kehidupan. Sebagai pendekatan yang berpusat pada pebelajar, pembelajaran berbasis kasus memberikan berbagai macam tuntutan pada pebelajar yang jauh melebihi
tuntutan pembelajaran tradisional, atau kelas yang berpusat pada Guru. Para pebelajar harus dapat menyelesaikan sejumlah tugas yang sulit, mengajukan masalah, terlibat
secara pribadi atau dalam kelompok dalam menganalisa situasi problematik, membuat keputusan tentang bobot relatif dari masing masing potongan bukti, membuat
keputusan dari sekian banyak pilihankemungkinan, menggunakan orang lain sebagai
11 sumber dan melaksanakan keputusan yang dipilih berdasarkan pada rekomendasi-
rekomendasi yang diajukan. Pendek kata para pebelajar harus memiliki ketrampilan- ketrampilan proses belajar mandiri.
Blumenfeld dkk juga dikutip Ertmer dkk 1996 sebagai menyebut adanya tiga faktor penting bagi keberhasilan belajar berbasis kasus dan proyek yaitu:
a pebelajar tertarik dan menghargai proyek kasus ybs;
b persepsi pebelajar terhadap kompetensinya untuk menyelesaikan proyek tugas
c pebelajar memusatkan perhatian pada proses proses belajar bukannya pada hasil
pekerjaan mereka Faktor-faktor itu
– minat dan penghargaan pada tugas belajar, persepsi terhadap kemampuan dan fokus pada proses proses mencapai tujuan
– hakikatnya merupakan karakteristik dari pebelajar yang mampu mengatur diri sendiri
self-regulated learner
. Jadi keberhasilan belajar berbasis kasus bergantung pada kemampuan pebelajar untuk
mengatur belajarnya. Dengan perkataan lain sekedar memberikan kesempatan untuk mengintegrasikan pengetahuannya melalui studi kasus pada pebelajar, belum menjamin
bahwa terjadinya pembelajaran berbasis kasus, jika para pebelajar itu tidak memiliki ketrampilan atau motivasi yang diperlukan untuk mengatur belajarnya.
Dalam rangka pengembangan pembelajaran berbasis kasus dengan bantuan komputer, Hung dkk 2003 menyatakan bahwa pada intinya prinsip-prinsip yang
menandai pembelajaran berbasis kasus adalah sebagai berikut: a
Dari segi seting tujuan: diperlukan penyediaan ceritera menyeluruh
cover story
untuk memberikan seting belajar yang bermakna. b
Dari sisi motivasi: kegiatan belajar harus menarik dan relevan dengan pebelajar. c
Dari sisi peran-peran pebelajar: diperlukan rekayasa peran-peran khusus bagi masing-masing pebelajar dalam keterlibatan mereka dalam tugas-tugas dan
kegiatan-kegiatan di mana mereka dapat menerapkan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
d Dari segi kegiatan belajar: harus disediakan kesempatan belajar yang kaya bagi
para pebelajar
12 e
Dari sisi sumber daya: harus pula disediakan sumber sumber informasi dalam bentuk ceritera-ceritera yang terkait.
f Dalam hal umpan balik: pebelajar harus menerima umpan balik yang memadai
baik dari pengajar maupun lingkungan belajar simulatifnya.
Strategi Pembelajaran Berbasis Kasus
Belajar berbasis kasus dilaksanakan dengan skenario pembelajaran yang berbasis tujuan
goal based scenariosGBS
. Dalam GBS pebelajar diberi permainan peran dan masalah yang menarik untuk dipecahkan, atau tujuan-tujuan untuk dicapai.
Peran dan masalah masalah harus benar benat merupakan minat nyata pebelajar dan bukan sekedar soal beritera yang artifisial.
Masalah dipecahkan melalui interaksi pebelajar dengan lingkungan simulatif, seperti laboratorium penelitian pertanian, tenda komando atau rumah sakit. Simulasi itu
mencakup pula interaksi-interaksi berbasis grafis atau video dengan agen-agen simulasi. Jika pebelajar menghadapi masalah atau macet, seorang tutor, dalam bentuk
video muncul untuk memberikan saran, menceriterakan ceritera dan sejenisnya. Ceritera ceritera itu berasal dari arsip-teks multi media, video wawancara dengan pakar
bidang tertentu, dan ceritera pengalaman pribadi yang mirip dengan situasi simulasi yang dihadapi pebelajar.
Ada dua kelompok ketrampilan utama yang harus dipelajari melalui GBS yaitu: 1
Ketrampilan-ketrampilan proses, seperti menjadi
teller bank
, menerbangkan pesawat, di mana fokusnya adalah belajar satu atau beberapa langkah prosedur yang
saling berhubungan. Ketrampilan semacam ini harus diajarkan dengan GBS yang diarahkan oleh peran
role-
driven GBS’s 2
Ketrampilan-ketrampilan mencapai hasil seperti membangun jembatan atau mengatasikerusakan mesin disel, di mana fokusnya adalah pada hasil, dan teknik-
teknik yang diperlukan untuk mencapai hasil. Ketrampilan semacam ini harus diajarkan dengan GBS yang diarahkan oleh hasil
outcome-
driven GBS’s
GBS yang diarahkan oleh peran
role-
driven GBS’s
Dalam GBS`ini ada cara salah dan benar untuk melakukan sesuatu, dan tatanan tentang bagaimana mereka melakukan sesuatu sering menjadi penting. Permainan
peran dalam situasi yang disimulasikan memperkuat pengetahuan para pebelajar
13 dengan
rehearsal
, pengulangan dan refleksi. Pengalaman-pengalaman khusus dalam GBS memotovasi dan memperkuat prinsip prinsip prosedural. Dengan membiarkan
pebelajar mencoba cara cara yang berbeda dalam melakukan sesuatu mereka belajar mengapa sesuatu harus dikerjakan dengan cara tertentu.
Inti dari sistem semacam ini adalah kekayaan dan keaneka-ragaman dari interaksi-interaksi yang disimulasikan. Interaksi-interaksi itu diorganisasikan ke dalam
skrip, yaitu urutan-rutan kejadian yang dipersiapkan terlebih dulu berdasarkan dugaan, yang kadang dilengkapi dengan cabang-cabang di mana kegiatan mungkin menyebar,
tergantung pada pilihan seorang aktor terhadap apa yang ada dalam skrip. Kunci dari kegiatan semacam ini adalah dimilikinya sejumlah besar skrip,
masing masing den gan cabang yang banyak, untuk „menampung‟ banyak hal yang
dapat terjadi dalam menampilkan satu tugas yang sama.
GBS yang diarahkan oleh hasil
outcome-
driven GBS’s
Dalam GBS`s model ini fokusnya adalah hasil dan proses pencapaian hasil, bukan pada prosedur atau skrip, dengan asumsi bahwa jarang ada satu langkah berikut
yang benar, dan biasanya banyak kemungkinan tentang jawaban yang terbaik. Pensimulasi membiarkan pebelajar mencoba tindakan yang berbeda-beda dan
melihat apa yang terjadi. Simulasi-simulasi yang diarahkan oleh hasil ini dibangun dengan menambahkan agen-agen dan obyek-obyek, keadaan-keadaan mereka dan
saling hubungannya, tindakan-tindakan yang munkin dilakukan pebelajar, dan bagaimana keadaan-keadaan, hubungan-hubungan dan tindakan-tindakan yang
mungkin itu berubah pada setiap tindakan yang dilakukan masing masing pebelajar. Jadi GBS`s ini tidak bertumpu pada skrip-skrip tingkat tertinggi.
Contoh dari belajar berbasis kasus boleh jadi adalah
Creative Problem SolvingCPS
atau Pemecahan Masalah secara KreatifPMK, yang oleh Sewell dkk 2003 dinilai sebagai kerangka kerja yang amat cocok dengan Pendidikan IPS, karena
dimulai dengan pengenalan masalah dan diakhiri dengan pengambilan keputusan serta tindakan sosial. CPS terdiri atas enam tahap kegiatan yaitu a mengenali adanya
masalah, b menemukan fakta-fakta, c menemukan masalah, d menemukan ide-ide, e menemukan solusi-solusi, e mewujudnyatakan solusi. Keenam langkah itu
mendukung tingkat berpikir tinggi karena dalam masing masing tahap itu sisa harus
14 memusatkan perhatiannya pada a bagaimana mengenali adanya masalah, b bagaimana
mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk memperjelas masalah, c bagaimana membuat rumusan permasalahan, d bagaimana mencurahkan ide-ide pemecahan
masalah, e bagaimana berpikir logis melaui ide ide kreatif guna memutuskan solusi masalah yang tepat, dan f bagaimana melaksakan solusi
5. Model Pemecahan Masalah Kolaboratif