HUBUNGAN INISIASI MENYUSU DINI DENGAN KELANCARAN PENGELUARAN ASI PADA IBU POST PARTUM DI PUSKESMAS PATRANG KABUPATEN JEMBER

(1)

i

HUBUNGAN INISIASI MENYUSU DINI DENGAN

KELANCARAN PENGELUARAN ASI PADA IBU

POST PARTUM

DI PUSKESMAS PATRANG

KABUPATEN JEMBER

SKRIPSI

Oleh

Alisa Miradia Puspitasari NIM 122310101074

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER


(2)

ii

HUBUNGAN INISIASI MENYUSU DINI DENGAN

KELANCARAN PENGELUARAN ASI PADA IBU

POST PARTUM

DI PUSKESMAS PATRANG

KABUPATEN JEMBER

SKRIPSI

diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Pendidikan di Program Studi Ilmu Keperawatan (S1)

dan mencapai gelar Sarjana Keperawatan

Oleh

Alisa Miradia Puspitasari NIM 122310101074

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER


(3)

iii SKRIPSI

HUBUNGAN INISIASI MENYUSU DINI DENGAN

KELANCARAN PENGELUARAN ASI PADA IBU

POST PARTUM

DI PUSKESMAS PATRANG

KABUPATEN JEMBER

Oleh

Alisa Miradia Puspitasari NIM 122310101074

Pembimbing

Dosen Pembimbing Utama : Ns. Ratna Sari Hardiana, M.Kep Dosen Pembimbing Anggota : Ns. Peni Perdani Juliningrum, M.Kep


(4)

iv

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Ibunda saya tercinta Siti Kholifah, Ayahanda Suyono, dan semua kakak-kakak saya, terima kasih atas doa, dukungan, motivasi, dan kasih sayang yang selalu diberikan kepada saya;

2. Teman-teman kesayangan saya: Armita Iriyana, Berlinda Damar Asri, Rini Novitasari, Lidatu Nara Shiela, Almh. Kezia Sinta Pratiwi dan motivator skripsi tercinta saya Aswin Rizky terima kasih banyak telah menguatkan dan memberikan semangat dalam masa skripsi ini dan saya sangat bersyukur memiliki kalian;

3. Teman-teman angkatan 2012 di Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember (Florence Nightingale’12);

4. Almamater yang saya banggakan Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember dan seluruh bapak/ibu guru terhormat dari SDN Jember Lor 3, SMPN 2 Jember, dan SMAN 2 Jember.


(5)

v MOTTO

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan,

maka tidak ada dosa atas keduanya. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa

yang kamu kerjakan” (QS. Al-Baqarah: 233)

“Dan Tuhan memelihara ketidakpastian itu pada seluruh umat manusia agar manusia terus belajar, terus bermimpi dan ujung-ujungnya

kita akan kembali padanya” (Dhirgantoro)

*) Departemen Agama RI. 2006. Al Qur’an dan Terjemahannya. Surabaya: KARYA AGUNG


(6)

vi

PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini: Nama : Alisa Mitradia Puspitasari NIM : 122310101074

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul “Hubungan Inisiasi Menyusu Dini dengan Kelancaran Pengeluaran ASI pada Ibu Post Partum di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember” adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali jika dalam pengutipan substansi disebutkan sumbernya, dan belum pernah diajukan pada institusi manapun, serta bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, Juni 2016 Yang menyatakan,

Alisa Miradia Puspitasari NIM 122310101074


(7)

(8)

viii

Hubungan Inisiasi Menyusu Dini dengan Kelancaran Pengeluaran ASI pada Ibu Post Partum di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember (The Correlation of Early Breastfeeding Initiation with Smoothness Excretion Breast Milk on Post Partum Mothers at Patrang Public Health Centre Jember Regency)

Alisa Miradia Puspitasari School of Nursing, University of Jember

ABSTRACT

The problems faced by is still low-self the scope of the level breastfeed exclusive in Indonesia, which still far from the national target. One of factors is difficulty breastfeeding for her baby, that was due to disturbed the natural process to suckle after the baby was born. This reseacrh was aimed to analyze the correlation early breastfeeding initiation with smoothness excretion breast milk on post partum mothers at Patrang Public Health Centre Jember Regency. Design used in this research was prospective design, the sample was all post partum mothers at Patrang Public Health Centre on 18 May to 8 June 2016, with a accidental sampling technique. Research variables are early breastfeeding initiation and smoothness excretion breast milk. The instrument used observation sheet of early breastfeeding initiation and questionnaires of smoothness excretion breast milk. The analysis based on statistical chi square by using CI=95% showed p value = 0,028 (p value<α=(0,05)). It means that there was correlation between early breastfeeding initiation and smoothness excretion ASI. Early breastfeeding initiation were appropriately has a risk 0,392 times to the smoothness excretion ASI. Therefore, early breastfeeding initiation should be applied because the benefits are very important for mother and her baby.


(9)

ix

RINGKASAN

Hubungan Inisiasi Menyusu Dini dengan Kelancaran Pengeluaran ASI pada Ibu Post Partum di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember; Alisa Miradia Puspitasari, 122310101074; xix+151 halaman; Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember.

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan alamiah yang ideal untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama kehidupan bayi. Setiap ibu dianjurkan memberikan ASI eksklusif. Terkait pemberian ASI terkadang terjadi luka atau lecet pada puting ibu karena respon bayi saat pengeluaran ASI tidak lancar sehingga bayi memperkuat hisapannya sebagai usaha untuk mendapatkan ASI yang cukup. Ibu yang mengalami ketidaklancaran pengeluaran ASI akan berpengaruh terhadap pemberian ASI yang kurang maksimal. IMD dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat meningkatkan kelancaran pengeluaran ASI. Reflek hisapan bayi pada puting ibu akan merangsang produksi ASI. Semakin awal dan semakin sering bayi menyusu, maka payudara akan memproduksi ASI lebih banyak. Kontak kulit saat IMD juga akan menyebabkan pelepasan banyak hormon oksitosin. Oksitosin membuat ASI yang telah terkumpul di dalam sel alveoli mengalir ke saluran-saluran duktus.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan inisiasi menyusu dini dengan kelancaran pengeluaran ASI pada ibu post partum di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember. Jenis penelitian ini adalah observasi analitik dengan metode pendekatan prospective. Sampel 26 ibu post partum. Teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling. Pengumpulan data menggunakan lembar observasi inisiasi menyusu dini dan kuesioner kelancaran pengeluaran ASI.

Berdasarkan hasil uji statistik chi square diketahui bahwa secara statistik terdapat hubungan inisiasi menyusu dini dengan kelancaran pengeluaran ASI.


(10)

x

Tingkat kepercayaan yang digunakan ialah 95% dengan p value (0,028) < α (0,05) dan nilai odds ratio (OR) = 11,333. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah usia rata-rata ibu adalah 24,27 tahun, paritas terbanyak ialah multipara, sebagian besar responden beragama Islam, tingkat pendidikan terbanyak ialah SMA, pekerjaan sebagian besar ialah ibu rumah tangga, pendapatan keluarga sebagian besar lebih dari upah minimum regional, dan rata-rata berat badan lahir bayi ialah 3200 gram. Inisiasi menyusu dini dilakukan responden sebagian besar berada dalam kategori tepat. Sebagian besar kelancaran pengeluaran ASI berada dalam kategori lancar. Terdapat hubungan yang signifikan antara inisiasi menyusu dini dengan kelancaran pengeluaran ASI di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember berdasarkan hasil p value yang lebih kecil dari nilai α.

Berdasarkan hasil penelitian ini, tenaga kesehatan diharapkan mampu meningkatkan pelaksanaan program kelas ibu hamil yang dapat memberikan informasi dan simulasi pada ibu mengenai IMD. Petugas kesehatan setempat dan melakukan roleplay dengan mengikutsertakan ibu. Promosi kesehatan juga dapat dilaksanakan dengan pemberian informasi terkait hal-hal yang dapat mempengaruhi kelancaran ASI, seperti pentingnya IMD, dan dukungan suami serta keluarga demi suksesnya pemberian ASI.


(11)

xi PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul “Hubungan Inisiasi Menyusu Dini dengan Kelancaran Pengeluaran ASI pada Ibu Post Partum di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember”. Penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian proposal skripsi ini, terutama kepada:

1. Ns. Lantin Sulistyorini, M.Kes selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember;

2. Ns. Ratna Sari Hardiani, M.Kep selaku dosen pembimbing utama yang telah membimbing, memberikan masukan, dan saran demi kesempurnaan proposal skripsi ini;

3. Ns. Peni Perdani Juliningrum, M.Kep selaku dosen pembimbing anggota yang telah memberikan bimbingan dan arahan demi kesempurnaan proposal skripsi ini;

4. Ns. Lantin Sulistyorini, S.Kep., M.Kes selaku Dosen Penguji I dan Hanny Rasni, S.Kp.,M.Kep selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini;


(12)

xii

5. Ns. Dodi Wijaya, M.Kep selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan, arahan dan motivasi selama melaksanakan studi di Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember;

6. Dinas Kesehatan dan Puskesmas Patrang Kabupaten Jember serta yang telah memberi ijin dan bantuan dalam memberikan data serta informasi;

7. Ibu post partum di wilayah kerja Puskesmas Patrang yang bersedia menjadi responden studi pendahuluan dalam proposal skripsi ini;

8. Orangtua dan keluarga besar tercinta yang selalu mendoakan dan menjadi sumber motivasi demi terselesaikannya proposal skripsi ini;

9. Sahabat dan teman-teman PSIK Universitas Jember angkatan 2012 yang selalu mendukung;

10. Semua pihak yang membantu dalam penyusunan proposal skripsi ini. Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan proposal skripsi ini. Penulis berharap semoga proposal skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jember, Juni 2016


(13)

xiii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERNYATAAN ... vi

HALAMAN PENGESAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

RINGKASAN ... ix

PRAKATA ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Tujuan Umum ... 10

1.3.2 Tujuan Khusus ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

1.4.1 Bagi Peneliti ... 11

1.4.2 Bagi Keilmuan Keperawatan ... 11

1.4.3 Bagi Instansi Pelayanan Kesehatan ... 11

1.4.4 Bagi Masyarakat ... 12


(14)

xiv

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1 Post Partum ... 14

2.1.1 Adaptasi Fisik ... 15

2.1.2 Adaptasi Psikologi ... 20

2.2 Kelancaran Pengeluaran ASI ... 22

2.2.1 Pengertian ASI ... 22

2.2.2 ASI Menurut Stadium Laktasi ... 23

2.2.3 Fisiologi Laktasi ... 24

2.2.4 Refleks dalam Hisapan Bayi ... 28

2.2.5 Tanda-Tanda Kelancaran ASI ... 29

2.2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelancaran Pengeluaran ASI ... 30

2.2.6 Konsep Diagnosa dan Intervensi Keperawatan Terkait Menyusui menurut NANDA NIC dan NOC... 34

2.3 Inisiasi Menyusu Dini ... 38

2.3.1 Pengertian Inisiasi Menyusu Dini ... 38

2.3.2 Manfaat Inisiasi Menyusu Dini ... 39

2.3.3 Tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini ... 40

2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini ... 42

2.3.5 Faktor Penghambat Inisiasi Menyusu Dini ... 44

2.4 Hubungan Inisiasi Menyusu Dini dengan Kelancaran Pengeluaran ASI pada Ibu Post Partum ... 47

2.5 Kerangka Teori ... 49

BAB 3. KERANGKA KONSEP... 50

3.1 Kerangka Konsep... 50

3.2 Hipotesis Penelitian ... 51

BAB 4. METODE PENELITIAN ... 52

4.1 Desain Penelitian ... 52

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian ... 53


(15)

xv

4.2.2 Sampel Penelitian ... 53

4.2.3 Teknik Pengambilan Sampel ... 53

4.2.4 Kriteria Subjek Penelitian ... 54

4.3 Lokasi Penelitian ... 54

4.4 Waktu Penelitian ... 55

4.5 Definisi Operasional... 55

4.6 Pengumpulan Data... 57

4.6.1 Sumber Data ... 57

4.6.2 Teknik Pengumpulan Data ... 57

4.6.3 Alat Pengumpulan Data ... 58

4.6.4 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 61

4.7 Pengolahan Data ... 63

4.7.1 Editing ... 63

4.7.2 Coding ... 63

4.7.3 Entry ... 65

4.7.4 Cleaning ... 65

4.8 Analisa Data ... 65

4.8.1 Analisa Univariat ... 66

4.8.2 Analisa Bivariat ... 66

4.9 Etika Penelitian ... 67

4.9.1 Informed Consent ... 67

4.9.2 Kerahasiaan ... 67

4.9.3 Anonimitas ... 68

4.9.4 Keadilan ... 68

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 69

5.1 Hasil Penelitian ... 70

5.1.1 Karakteristik Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang ... 71

5.1.2 Inisiasi Menyusu Dini di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember ... 73 5.1.3 Kelancaran Pengeluaran ASI pada Ibu Post Partum


(16)

xvi

di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten

Jember ... 75

5.1.4 Hubungan Inisiasi Menyusu Dini dengan Kelancaran Pengeluaran ASI pada Ibu Post Partum di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember ... 77

5.2 Pembahasan ... 79

5.2.1 Karakteristik Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember ... 79

5.2.2 Inisiasi Menyusu Dini di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember ... 82

5.2.3 Kelancaran Pengeluaran ASI pada Ibu Post Partum di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang ... 86

5.2.4 Hubungan Inisiasi Menyusu Dini dengan Kelancaran Pengeluaran ASI pada Ibu Post Partum di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember ... 90

5.3 Keterbatasan Penelitian ... 95

5.4 Implikasi Keperawatan ... 96

BAB 6. PENUTUP ... 98

6.1 Kesimpulan ... 98

6.2 Saran ... 99

6.2.1 Bagi Peneliti ... 99

6.2.2 Bagi Pendidikan Keperawatan ... 100

6.2.3 Bagi Puskesmas ... 100

6.2.4 Bagi Masyarakat ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 102


(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Macam Bentuk Puting ... 17

Gambar 2.2 Skema Fisiologi Laktasi ... 26

Gambar 2.3 Kerangka Teori Penelitian ... 48

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 49


(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan Menyusui... 36 Tabel 4.1 Definisi Operasional Inisiasi Menyusu Dini dengan

Kelancaran Pengeluran ASI di wilayah kerja Puskesmas

Patrang Kabupaten Jember ... 56 Tabel 4.2 Blue Print Kuesioner Kelancaran Pengeluaran ASI

Sebelum dan Sesudah Uji Validitas dan Reliabilitas... 60 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Ibu Post Partum dan Bayi di

wilayah kerja Puskesmas Patrang Berdasarkan Usia dan

Berat Badan Lahir ... 70 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Ibu Post Partum di wilayah kerja

Puskesmas Patrang berdasarkan Agama dan

Pendidikan Terakhir ... 71 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Ibu Post Partum di wilayah kerja

Puskesmas Patrang berdasarkan Pekerjaan Ibu, Pendapatan,

dan Status Paritas ... 71 Tabel 5.4 Distribusi data responden menurut IMD di wilayah kerja

Puskesmas Patrang ... 72 Tabel 5.5 Distribusi data responden menurut indikator IMD di

wilayah kerja Puskesmas Patrang ... 73 Tabel 5.6 Distribusi data responden menurut kelancaran pengeluaran ASI

pada ibu post partum di wilayah kerja Puskesmas Patrang ... 75 Tabel 5.7 Distribusi data responden menurut indikator kelancaran

pengeluaran ASI pada ibu post partum di wilayah kerja

Puskesmas Patrang ... 75 Tabel 5.8 Analisis Hubungan Inisiasi Menyusu Dini dengan

Kelancaran Pengeluaran ASI pada Ibu Post Partum di


(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A: Lembar Informed ... 106

Lampiran B: Lembar Consent ... 107

Lampiran C: Lembar Checklist Observasi IMD ... 108

Lampiran D: Kuesioner Kelancaran Pengeluaran ASI ... 110

Lampiran E: Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Kelancaran Pengeluaran ASI ... 113

Lampiran F: Hasil Analisis Data ... 117

Lampiran G: Dokumentasi Penelitian ... 129

Lampiran H: Surat Permohonan Ijin ... 130


(20)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan alamiah yang ideal untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama kehidupan bayi. ASI merupakan susu segar dan steril yang diproduksi langsung oleh ibu dan dapat mengurangi gangguan gastrointestinal dibandingkan dengan makanan lain jika diminum oleh bayi. ASI mengandung semua zat gizi yang diperlukan untuk bertahan hidup pada enam bulan pertama dan dibutuhkan untuk menyediakan energi bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi secara optimal. ASI yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan bayi yaitu protein, lemak, elektrolit, enzim, antibodi, dan hormon (Aritonang, 2005).

Pemberian ASI harus dianjurkan kepada setiap ibu yang melahirkan karena banyak manfaat yang diperoleh dengan pemberian ASI. Manfaat yang didapat dari pemberian ASI yaitu manfaat fisiologis dan psikologis pada ibu dan bayi (Hassan et al, 2002). Manfaat fisiologis dari beberapa penelitian epidemiologis menyatakan bahwa ASI melindungi bayi dan anak dari penyakit infeksi, misalnya diare, otitis media, dan infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah (Kemenkes RI, 2014).


(21)

Penelitian yang dilakukan oleh Beaudry et al, dalam Wong (2003) mengatakan bahwa ASI terdiri dari sejumlah mikronutrien yang disebut bioavailable, yang berarti nutrisi tersedia dalam jumlah dan kualitas yang membuat ASI mudah dicerna dan diserap oleh usus bayi baru lahir untuk energi dan pertumbuhan. Kandungan dalam ASI memiliki proporsi yang sesuai dengan kebutuhan bayi (Takasihaeng, 2005). Kolostrum yang mengandung antibodi atau makrofag yang dapat membentuk komplemen, lisozim, dan laktoferin yang mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan Escherichia Coli dalam usus halus, kombinasi laktoferin dengan zat besi dalam ASI juga mampu mencegah pertumbuhan kuman penyakit (Markum, 2000).

Manfaat psikologis pemberian ASI yaitu meningkatkan hubungan emosional ibu dengan bayi dan mempercepat proses hubungan tali kasih ibu dan anak (bonding attachment). Ibu akan merasa bangga dan merasa diperlukan rasa sayang yang dibutuhkan bayi. Kontak fisik langsung selama menyusui antara bayi dan ibu yang sangat besar pengaruhnya dalam mencegah hipotermi pada bayi antara ibu dan bayi selama proses menyusui (Wulandari, 2011).

Terkait dengan pentingnya pemberian ASI, World Health Organization (WHO) melalui United Nations Children’s Fund (UNICEF) dalam Global Strategy on Infant and Young Child Feeding tahun 2002 menetapkan standar emas makanan bayi. Standar emas makanan bayi dimulai dari Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dalam 30 sampai 60 menit setelah bayi lahir, memberikan ASI secara eksklusif kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan, mulai memberikan makanan pendamping ASI sejak bayi berusia 6 bulan, dan meneruskan pemberian


(22)

ASI sampai anak berusia dua tahun atau lebih. Hal ini sejalan dengan kebijakan di Indonesia yang mengupayakan pemberian ASI eksklusif dapat diterapkan. Upaya tersebut terlihat dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (KEPMENKES RI) nomor 450/MENKES/SK/IV/2004 tentang pemberian ASI eksklusif pada bayi Indonesia sejak bayi lahir sampai dengan bayi berumur enam bulan dan dianjurkan sampai anak berusia dua tahun (Kemenkes, 2014).

Kebijakan pemerintah tentang ASI eksklusif ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal ini terlihat bahwa cakupan ASI eksklusif di Indonesia belum mencapai 80% sesuai target yang diharapkan. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan cakupan ASI eksklusif sebesar 32% dan menunjukkan peningkatan menjadi 42% pada tahun 2012 (Kemenkes RI, 2014). Dinas Kesehatan Provinsi melaporkan cakupan ASI eksklusif 0-6 bulan adalah 54,3% pada tahun 2013. Cakupan ASI eksklusif tertinggi (79,7%) berada di Nusa Tenggara Barat (NTB), sedangkan yang terendah (25,7%) berada di Maluku. Jawa Timur berada di posisi ke-4 dari cakupan tertinggi yaitu 70,8% (Kemenkes RI, 2014). Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Jember tahun 2014, cakupan ASI eksklusif di Jember yaitu 68,27% dengan cakupan tertinggi (97,41%) berada di wilayah kerja Puskesmas Mangli dan yang terendah (35,74%) berada di wilayah kerja Puskesmas Arjasa.

Tidak tercapainya ASI eksklusif dapat dikarenakan berbagai hal, misalnya pengetahuan ibu, kesehatan ibu, pekerjaan ibu, kesehatan bayi, budaya, dan iklan susu formula. Banyak ibu yang mempunyai kebiasaan malu-malu menyusui bayinya karena mereka menganggap menyusui tidak sopan (Siregar, 2004). ASI


(23)

yang lancar akan mencukupi kebutuhan makanan bayi sehingga tercapainya ASI eksklusif. Kesehatan ibu yang menyebabkan ASI eksklusif tidak tuntas adalah kegagalan laktasi dan penyakit pada ibu serta adanya kelainan pada payudara yaitu terjadinya pembendungan air susu karena penyempitan duktus laktiferus karena tidak dikosongkan dengan sempurna, kelainan puting susu seperti puting susu terbenam dan cekung sehingga manyulitkan bagi bayi untuk menyusu, serta mastitis (Nugroho, 2011).

Luka atau lecet pada puting ibu terjadi karena respon bayi saat pengeluaran ASI tidak lancar sehingga bayi memperkuat hisapannya sebagai usaha untuk mendapatkan ASI yang cukup. Mekanisme lain dapat terjadi akibat teknik menyusui yang salah dimana bayi hanya disusukan pada puting susu. Lecet pada puting ibu menyebabkan bertambahnya stress pada ibu. Apabila hal ini berlanjut maka proses menyusui akan berhenti dan bayi tidak mendapatkan ASI sebagai nutrisi terbaiknya (Soetjiningsih, 2001). Hasil penelitian lainnya yang dilakukan Suprijati (2013), didapatkan bahwa awal mulanya ibu memberikan ASI setelah kelahiran bayinya namun akhirnya memberikan susu formula dikarenakan tidak mau repot saat bayi rewel dan adanya kendala ASI tidak lancar.

Menurut data Riskesdas (2013), susu formula merupakan jenis makanan prelakteal yang paling banyak diberikan pada bayi baru lahir sebesar 79,8%. Susu formula ini tidak sesuai dengan kebutuhan bayi karena intervalnya tiap 6 bulan usia bayi. Makanan prelakteal ini berbahaya karena dapat menggantikan kolostrum sebagai makanan bayi yang paling awal. Bayi mungkin terkena diare dan menderita intoleransi terhadap protein di dalam susu formula tersebut.


(24)

Pemberian makanan prelakteal sangat merugikan karena akan menghilangkan rasa haus bayi sehingga malas menyusui (Kemenkes RI, 2014). Bayi yang malas menyusu akan membuat payudara ibu tidak dapat dikosongkan secara sempurna sehingga produksi ASI menjadi tidak lancar.

ASI tidak lancar merupakan kondisi yang sering ditemukan pada ibu menyusui. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Febriana (2010) menyatakan bahwa sebagian besar ibu yang menjadi respondennya (66,7%) mengalami ASI tidak lancar dikarenakan ibu mengalami kecemasan. Stress pada ibu akan menghambat kerja hormon oksitosin sehingga mempengaruhi kelancaran ASI. Air susu yang tidak dikeluarkan akibat refleks let down yang buruk akan menyebabkan berkurangnya sirkulasi darah kapiler yang menyebabkan terhambatnya proses menyusui. Hal ini dapat menyebabkan bayi yang haus menjadi tidak puas. Ketidakpuasan ini akan menambah stress pada ibu.

Ibu yang mengalami ketidaklancaran pengeluaran ASI akan berpengaruh terhadap pemberian ASI pada bayi yang kurang maksimal. Hal ini akan mempengaruhi cakupan ASI eksklusif menjadi rendah. Salah satunya di Puskesmas Patrang merupakan daerah dengan angka ibu menyusui tertinggi, namun cakupan ASI esklusifnya rendah sebesar 50,36% (Dinkes Kabupaten Jember, 2016).

Menurut Widuri (2013), ada beberapa upaya bagi ibu agar berhasil menyusui dengan baik dan lancar sejak proses menyusui, yaitu salah satunya dengan menyusui segera setelah lahir yaitu biasanya diawali dengan IMD, kontak kulit antara ibu dan bayi, tidak membuat patokan jadwal menyusu, dan sebaiknya


(25)

menyusu dilakukan dengan kedua payudara secara bergantian. Hal ini sesuai dengan Suririah (2009) yang menyatakan bahwa pemberian ASI sebaiknya dilakukan sesuai dengan keinginan bayi (on demand). Refleks hisapan bayi pada puting ibu akan merangsang produksi ASI. Semakin awal dan semakin sering bayi menyusu, payudara akan memproduksi ASI lebih banyak (Nugroho, 2011).

IMD adalah proses membiarkan bayi dengan nalurinya sendiri dapat menyusu segera dalam 1 jam pertama setelah lahir, bersama kontak kulit antara kulit bayi dan kulit ibu. IMD dimulai dengan adanya kontak kulit antara ibu dengan bayi baru lahir kemudian dilanjutkan dengan pemberian ASI. Pelaksanaan IMD memberi ibu peluang 8 kali lebih berhasil untuk memberikan ASI eksklusif sampai 4 atau 6 bulan dibanding dengan ibu yang tidak melakukan IMD (Fikawati & Syafiq, 2013). IMD juga dapat membantu ibu dalam menyusui yang merupakan alternatif terbaik untuk mencegah pemberian makanan atau minuman prelaktal.

Pada praktek IMD, kontak kulit ini akan membuat ASI cepat keluar karena semakin banyak hormon oksitosin yang dilepaskan di aliran darah ibu (Depkes RI, 2008). Menurut Sulistyawati (2009), hormon oksitosin merupakan hormon yang diproduksi oleh hipotalamus yang disimpan di hipofisis posterior. Disaat bayi menghisap puting ibu, akan terjadi aliran transmitter melalui serabut saraf thoracicus IV menuju neurohipofisis menghasilkan pelepasan hormon oksitosin yang semakin banyak. Oksitosin akan masuk ke aliran darah ibu dan merangsang sel otot di sekeliling alveoli berkontraksi membuat ASI yang telah terkumpul di dalamnya mengalir ke saluran-saluran duktus. Oksitosin juga berfungsi menyebabkan kontraksi rahim sehingga membantu mengurangi perdarahan pasca


(26)

melahirkan (Khairani, 2012). Oksitosin akan membuat ibu merasa puas, bahagia, percaya diri bisa memberikan ASI pada bayinya, memikirkan bayinya dengan penuh kasih dan perasaan positif lainnya akan membuat refleks oksitosin bekerja, dan produksi ASI menjadi lancar.

Menurut Kemenkes (2014), kenyataannya cakupan IMD pada bayi secara nasional masih rendah, hal ini dapat dilihat dari data RISKESDAS tahun 2010 yang hanya sebesar 24,3% untuk IMD. Kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2013 sebesar 34,5 % pemberian ASI pada kurun waktu kurang dari satu jam. Pada daerah Jawa Timur, cakupan IMD masih dibawah angka cakupan nasional yaitu 32,5%.

Penelitian lainnya yang dilakukan Fikawati & Syafiq (2013), mengatakan bahwa tingginya pengetahuan ibu tentang IMD tidak diikuti dengan prakteknya. Menurut Roesli (2008), seringnya tidak dilakukan IMD ini dikarenakan tenaga kesehatan kurang tersedia, ibu harus dijahit pasca melahirkan, dan ibu terlalu lelah untuk menyusui. Bahkan meski vitamin K dan tetes mata harus segera dilakukan, ternyata tindakan tersebut dapat ditunda hingga satu jam.

IMD telah dilaksanakan di beberapa wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Jember, salah satunya di Puskemas Patrang (Dinkes Jember, 2016). Hasil studi pendahuluan peniliti di Puskesmas Patrang didapatkan kriteria pasien yang dilakukan IMD adalah proses persalinan normal tidak ada penyulit, hamil cukup bulan, perdarahan normal setelah persalinan (≤ 250 cc), dan kondisi bayi baik (tidak asfiksia). Gambaran pelaksanaan IMD di Puskesmas Patrang yaitu setelah bayi lahir, bayi dikeringkan seluruh tubuh kecuali kedua tangannya dan tidak


(27)

membersihkan vernix. IMD dilakukan setelah tali pusat bayi dipotong. Bayi ditengkurapkan di dada ibu tanpa dibedong dengan posisi kepala dimiringkan dan posisi badan seperti menunggang kuda. Ibu memegangi bayi, kemudian diberi selimut di atas bayi. Bayi dibiarkan melekat pada kulit ibu dan mencari puting susu ibu secara aktif selama 1 jam. Apabila bayi belum mencapai puting susu ibu setelah 1 jam, mulut bayi didekatkan ke puting susu ibu untuk menyusu awal. Bayi jarang dapat mencapai puting susu ibu secara mandiri untuk menyusu sebanyak 13 bayi dari 16 bayi yang dilakukan IMD. Pelaksaan IMD dilakukan dengan didampingi oleh suami atau keluarga agar ibu merasa tenang.

Studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 ibu post partum didapatkan bahwa 6 orang (60%) ibu yang melakukan IMD dan 4 diantaranya ASInya merembes, frekuensi menyusui 8-10 kali dalam sehari, dan bayi tenang selama 2-3 jam setelah disusui. Dari 6 orang ibu tersebut mengatakan bahwa ibu merasa senang dan terharu saat bayi ditengkurapkan di dada ibu pada pelaksanaan IMD. Sedangkan 40% lainnya tidak melakukan IMD karena terjadi perdarahan melebihi 250cc setelah persalinan, kurang pengetahuan, bayi lahir prematur, dan kemasukan air ketuban. Sebanyak 3 dari 4 ibu yang tidak melakukan IMD mengalami payudara bengkak dan puting lecet sehingga bayi diberi susu formula dan merasa sedih karena tidak dapat melakukan kontak dini segera setelah lahir dengan bayinya. Bayi juga tetap rewel setelah disusui dan frekuensi menyusuinya lebih dari 10 kali yang menandakan bayi belum puas untuk menyusu.


(28)

Solusi yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Jember untuk mengatasi rendahnya pelaksanaan IMD adalah melakukan konseling dan penyuluhan. Namun Dinkes Jember belum melakukan follow up terkait pelaksanaan IMD. Hal ini juga dilakukan petugas kesehatan di Puskesmas Patrang untuk melakukan penyuluhan pada ibu yang akan melahirkan pada program kelas ibu hamil. Penyuluhan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan ibu tentang manfaat-manfaat dilakukannya IMD. Namun pada kenyataannya, program ini belum berjalan optimal karena belum semua Posyandu yang melakukan. Petugas kesehatan di Puskesmas Patrang juga melakukan pembinaan standarisasi pada bidan daerah dalam hal manajemen bayi baru lahir normal setiap 3 bulan sekali.

IMD seharusnya tetap dilakukan sebagai salah satu metode untuk menstimulasi kelancaran pengeluaran ASI dan sebagai langkah awal tercapainya ASI Eksklusif. Semakin segera bayi yang mendapatkan program IMD maka dapat memberikan rangsangan pada puting payudara dan bonding sehingga meningkatkan peluang suksesnya proses menyusui sejak dini. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik mengangkat judul “Hubungan Inisiasi Menyusu Dini Dengan Kelancaran Pengeluaran ASI Pada Ibu Post Partum di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember”.


(29)

1.2 Rumusan masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kelancaran pengeluaran ASI pada ibu post partum di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember?

1.3 Tujuan

Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kelancaran pengeluaran ASI pada ibu post partum di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik ibu post partum di Puskesmas Patrang 2. Mengidentifikasi pelaksanaan inisiasi menyusu dini di Puskesmas

Patrang

3. Mengidentifikasi kelancaran pengeluaran ASI pada ibu post partum di Puskesmas Patrang

4. Menganalisis hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kelancaran pengeluaran asi pada ibu post partum di Puskesmas Patrang


(30)

1.4 Manfaat

Beberapa manfaat dalam penelitian ini adalah: 1.4.1 Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman secara langsung bagi peneliti yaitu dengan mengetahui hubungan IMD terhadap kelancaran pengeluaran ASI. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti yang akhirnya dapat disampaikan ke ibu hamil untuk mempersiapkan IMD.

1.4.2 Bagi keilmuan keperawatan

Hasil studi ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan evidence based research keperawatan khususnya di bidang keperawatan maternitas dan dapat menambah informasi untuk memperkaya bahan pustaka tentang Inisiasi Menyusu Dini terhadap kelancaran pengeluaran ASI.

1.4.3 Bagi instansi pelayanan kesehatan

Data dan hasil yang diperoleh dapat dijadikan sumber informasi dan masukan bagi tenaga kesehatan terutama yang berperan dalam membantu persalinan untuk mengoptimalkan program kesehatan dan kebijakan tentang pemfasilitasian dalam melakukan Inisiasi Menyusu Dini.


(31)

1.4.4 Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang bermanfaat bagi masyarakat dan menambah ilmu pengetahuan terutama dampak dari pelaksanaan IMD terhadap kelancaran ASI. Pada ibu dan keluarga diharapkan dapat memotivasi ibu melakukan IMD. ASI yang lancar juga dapat mengurangi beban ekonomi dalam keluarga karena tidak harus membeli susu formula.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian terdahulu yang mendukung penelitian sekarang yaitu penelitian yang dilakukan oleh Martini yang berjudul Hubungan Inisiasi Menyusu Dini dengan Tinggi Fundus Uteri Ibu Postpartum Hari ke-tujuh di Wilayah Kerja Puskesmas Kotabumi II Lampung Utara. Jenis penelitiannya adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan kohort prospektif. Populasi adalah ibu postpartum yang melahirkan di wilayah kerja Puskesmas Kotabumi II Kabupaten Lampung Utara khusunya di BP Meida dan BP Yuli periode bulan Februari sampai Maret 2012. Besar sampel adalah 78 responden diperoleh dengan consecutive sampling. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa responden dengan tinggi fundus uteri normal sebanyak 61,5% dan rata-rata waktu yang diperlukan bayi untuk IMD adalah 61,1 menit. Hasil analisis bivariat menggunakan chi square, ibu yang memberikan ASI eksklusif sampai tujuh hari mempunyai peluang mendapatkan proses TFU normal 29,8 kali lebih tinggi disbanding yang tidak menyusui eksklusif setelah dikontrol variable mobilisasi dini, IMD, pendidikan, dan paritas.


(32)

Penelitian yang sekarang berjudul Hubungan Inisiasi Dini dengan Kelancaran Pengeluaran ASI pada Ibu Post Partum di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember. Jenis penelitian adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan prospective. Populasi adalah ibu post partum yang melahirkan di Puskesmas Patrang. Teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan variabel independen kategorik dan variabel dependen kategorik, maka uji statistik yang digunakan adalah Chi Square.


(33)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Post Partum

Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks dan janin turun ke dalam jalan lahir (Prawirohardjo, 2010). Persalinan dianggap normal jika wanita berada pada atau dekat masa aterm, tidak terjadi komplikasi, terdapat satu janin dengan presentasi puncak kepala, dan persalinan selesai dalam 24 jam (Bobak, 2005).

Post partum adalah masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta keluar lepas dari rahim, sampai enam minggu berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organ-organ yang berkaitan dengan kandungan, yang mengalami perubahan seperti perlukaan dan lain sebagainya berkaitan saat melahirkan (Suherni, 2009). Periode post partum adalah masa enam minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ reproduksi kembali seperti keadaan normal sebelum hamil (Bobak, 2005). Tidak ada batasan waktu paling singkat pada masa post partum, tetapi batasan maksimumnya adalah 40 hari atau enam minggu (Wulandari, 2011). Pada masa postpartum ibu banyak mengalami kejadian yang penting, mulai dari perubahan fisik, masa laktasi maupun perubahan psikologis menghadapi keluarga baru dengan kehadiran bayi yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang.


(34)

Menurut Mitayani (2011), periode post partum dibagi dalam tiga periode yaitu sebagai berikut:

a. Periode immediate post partum

Periode ini terjadi dalam masa 24 jam post partum atau setelah melahirkan. b. Periode early post partum

Periode ini terjadi setelah 24 jam post partum sampai akhir minggu pertama sesudah melahirkan dan sering sekali terjadi resiko komplikasi.

c. Periode late post partum

Periode ini terjadi pada masa minggu kedua sampai minggu keenam sesudah melahirkan dan terjadi perubahan secara bertahap.

2.1.1 Adaptasi Fisik

Menurut Bobak (2005), perubahan-perubahan fisik pada ibu post partum adalah:

a. Sistem Reproduksi 1) Uterus

Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan disebut involusi. Lapisan luar dari desidua yang mengelilingi plasenta akan menjadi neurotic (layu atau mati) saat proses involusi uterus. Lapisan desidua yang dilepaskan dari dinding uterus disebut lochea (Wulandari, 2011). Proses involusi uterus dapat diketahui dengan melakukan palpasi untuk meraba tinggi fundus uteri (TFU).


(35)

2) Serviks

Perubahan yang terjadi pada serviks adalah bentuk serviks agak menganga seperti corong saat segera setelah bayi lahir dan konsistensinya lunak. Warna serviks merah kehitam-hitaman karena penuh pembuluh darah. Terkadang terdapat leserasi atau perlukaan kecil. Robekan kecil selama dilatasi menyebabkan serviks tidak pernah kembali seperti keadaan sebelum hamil (Sulistyawati, 2009). Muara serviks yang berdilatasi sampai 10 cm saat persalinan akan menutup secara bertahap dan perlahan. Apabila tangan dapat masuk ke rongga rahim setelah bayi lahir, maka setelah dua jam hanya dapat dimasuki 2-3 jari dan serviks menutup kembali pada minggu ke enam post partum.

3) Vagina

Vagina yang awalnya sangat teregang akan kembali secara bertahap ke ukuran sebelum hamil yaitu dalam 6-8 minggu setelah bayi lahir. Penurunan hormon estrogen pada masa post partum menyebabkan penipisan mukosa vagina dan hilangnya rugae. Rugae akan terlihat kembali pada minggu ke empat (Wulandari, 2011).

4) Payudara

Menurut Nugroho (2011), secara vertical payudara terletak antara kosta II dan IV, secara horizontal mulai dari pinggir sternum sampai linea aksilaris medialis. Sepasang kelenjar payudara beratnya kurang lebih 200 gram, sedangkan saat hamil 600 gram, dan saat menyusui 800 gram. Bentuk payudara cembung ke depan dengan puting di tengahnya, yang terdiri atas


(36)

kulit, jaringan erektil, dan berwarna tua (Astutik, 2014). Pada payudara terdapat tiga bagian utama:

a) Korpus (badan)

Korpus adalah bagian yang membesar. Korpus alveolus adalah unit terkecil yang memproduksi susu (Nugroho, 2011). Setiap alveolus dilapisi oleh sel-sel yang menyekresi air susu yang disebut acini. Lobulus adalah kumpulan dari alveolus dan lobus adalah kumpulan beberapa lobulus yang berkumpul menjadi 15-20 lobus tiap payudara. Di sekeliling setiap alveolus terdapat sel-sel mioepitel yang terkadang disebut sel keranjang (basket cell) atau sell aba-laba (spider cell). Apabila sel-sel ini dirangsang oleh oksitosin, maka akan berkontraksi sehingga mengalirkan air susu ke dalam duktus laktiferus (Astutik, 2014). Duktus laktiferus merupakan saluran sentral sebagai muara beberapa tubulus laktiferus.

b) Areola

Areola adalah daerah lingkaran pada bagian yang kehitaman di tengah payudara yang teridir dari kulit longgar dan mengalami pigmentasi (Astutik, 2014). Areol sinus laktiferus adalah saluran di bawah areola yang besar melebar dan akhirnya memusat ke dalam puting dan bermuara ke luar. Di dalam dinding alveolus maupun saluran-saluran terdapat otot polos yang apabila berkontraksi dapat memompa ASI keluar.

c) Papilla atau puting

Puting adalah bagian yang menonjol di puncak areola payudara dengan panjang ± 6 mm. Terdapat empat macam bentuk puting yaitu bentuk


(37)

normal/umum, pendek/datar, panjang, dan terbenam/terbalik (Nugroho, 2011).

Gambar 2.1 Macam Bentuk Puting

Bentuk puting tidak selalu berpengaruh pada proses laktasi karena bayi menyusu pada payudara ibu bukan pada puting, yang terpenting dalam proses laktasi adalah puting susu dan areola dapat ditarik sehingga membentuk tonjolan atau dot ke dalam mulut bayi (Astutik, 2014).

Menurut Bobak (2005) adapun perbedaan payudara pada ibu menyusui dan tidak menyusui, sebagai berikut:

a) Ibu tidak menyusui

Kadar prolaktin akan turun dengan cepat apabila ibu memilih untuk tidak menyusui. Sekresi dan ekskresi kolostrum menetap selama beberapa hari pertama setelah wanita melahirkan. Pada beberapa wanita saat dilakukan palpasi pada payudara hari kedua dan ketiga ditemukan adanya nyeri seiring dimulainya produksi susu. Apabila bayi tidak menyusu atau dihentikan maka dalam beberapa hari sampai satu minggu laktasi akan berhenti (Bobak, 2005).


(38)

b) Ibu yang menyusui

Sebelum laktasi dimulai, payudara teraba lunak dan suatu cairan kekuningan (kolostrum) dikeluarkan dari payudara. Setelah laktasi dimulai, payudara teraba hangat dan keras ketika disentuh. Rasa nyeri akan menetap selama 48 jam.

b. Sistem endokrin 1) Hormon plasenta

Selama periode post partum, terjadi perubahan hormon yang besar. Pengeluaran plasenta menyebabkan penurunan signifikan hormon-hormon yang diproduksi oleh plasenta (Wulandari, 2011). Penurunan hormon human placental lactogen (hPL), estrogen, dan kortisol, serta placental enzyme insulinase membalik efek diabetogenik kehamilan sehingga kadar gula darah menurun pada masa post partum. Human Chorionic Gonadotropin (HCG) juga akan menurun dengan cepat dan menetap sampai 10% dalam 3 jam hingga hari ke 7 post partum.

2) Hormon hipofisis dan fungsi ovarium

Kadar prolaktin yang tinggi pada wanita menyusui tampaknya berperan dalam menekan ovulasi. Prolaktin akan menghambat pengeluaran hormon penting ovulasi, yaitu follicle stimulating hormone (FSH). Hormon ini yang bertanggungjawab merangsang pembesaran telur dalam ovarium. Jika seorang wanita sedang dalam masa menyusui atau memang memproduksi prolaktin secara berlebihan, maka ia akan mengalami kesulitan untuk hamil. Bagi ibu menyusui, fungsi prolaktin yang menghambat ovulasi ini berguna


(39)

untuk memastikan ia tidak hamil sebelum anak yang lebih dulu lahir, selesai disusui.

3) Hormon oksitosin

Oksitosin dikeluarkan dari kelenjar hipofisis posterior yang bekerja terhadap otot uterus dan jaringan payudara. Selama tahap ketiga persalinan, oksitosin menyebabkan pemisahan plasenta. Kemudian oksitosin bekerja pada otot yang menahan kontraksi, mengurangi tempat plasenta dan mencegah perdarahan (Astutik, 2014). Pada ibu yang menyusui bayinya, hisapan bayi akan merangsang keluarnya oksitosin dan membantu uterus kembali ke bentuk normal dan berdampak pada pengeluaran ASI juga.

2.1.2 Adaptasi Psikologi

Masa nifas juga merupakan salah satu fase yang memerlukan adaptasi psikologis. Seorang wanita akan semakin terdorong untuk menjadi ibu yang sebenarnya karena ikatan antara ibu dan bayi pun sudah lama terbentuk sebelum kelahiran. Pentingnya rawat gabung atau rooming in pada ibu nifas agar ibu dapat leluasa menumbuhkan rasa kasih sayang kepada bayinya tidak hanya dari segi fisik seperti menyusui, mengganti popok saja tapi juga dari segi psikologis seperti menatap, mencium, menimang sehingga kasih sayang ibu dapat terus terjaga. Hasil akhir pada adaptasi ini tergantung pada tingkat kesesuaian antara keterampilan dan kapasitas seseorang dan sumber dukungan sosialnya di satu sisi dan jenis tantangan atau stressor yang dihadapi disisi lain. Menurut Reva Rubin


(40)

dalam Sulistyawati (2009), adaptasi psikologi ibu post partum dibagi menjadi 3 fase yaitu :

a. Fase Taking In

Fase taking in adalah waktu refleksi bagi ibu. Fase ini terjadi pada hari 1-2 hari setelah persalinan (Wulandari, 2011). Pada fase ini ibu masih pasif dan sangat tergantung, fokus perhatian terhadap tubuhnya, ibu lebih mengingat pengalaman melahirkan dan persalinan yang dialami, dan ibu membutuhkan waktu untuk beristirahat dan memperoleh kembali kekuatan fisik.

b. Fase Taking Hold

Fase taking hold adalah adalah pergerakkan dari tergantung menuju tingkah laku mandiri. Fase ini terjadi pada hari 2-4 hari setelah persalinan. Pada fase ini tingkat energi ibu bertambah dan akan merasa lebih nyaman serta mampu lebih berfokus dan bertanggung jawab untuk merawat bayi yang baru dilahirkannya dibandingkan pada dirinya sendiri (Mansyur, 2014). Mekanisme pertahanan diri pasien merupakan sumber penting dalam fase ini, karena postpartum blues bisa terjadi. Ibu menjadi sangat sensitif sehingga membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat untuk mengatasi kritikan yang dialami ibu.

c. Fase Letting Go

Fase ini dialami pada akhir minggu pertama post partum. Ibu sudah mampu merawat diri sendiri, ibu mulai sibuk dengan tanggung jawabnya, dan ibu menyadari atau merasa kebutuhan bayi sangat tergantung dari kesehatan sebagai ibu (Mansyur, 2014). Ibu terkadang bingung dengan perasaan kecemburuan


(41)

karena setiap orang hanya menanyakan tentang keadaan bayi hari ini dan bukan tentang diri ibu.

2.2 Kelancaran Pengeluaran ASI 2.2.1 Pengertian ASI

ASI adalah satu jenis makanan yang mencukupi seluruh unsur kebutuhan bayi baik fisik, psikologisosial maupun spiritual. ASI mengandung nutrisi, hormon, unsur kekebalan pertumbuhan, anti alergi, serta anti inflamasi. Nutrisi dalam ASI mencakup hampir 200 unsur zat makanan (Purwanti, 2004). Keseimbangan zat-zat gizi dalam air susu ibu berada pada tingkat terbaik dan air susunya memiliki bentuk paling baik bagi tubuh bayi. Pada saat yang sama ASI juga sangat kaya akan sari-sari makanan yang mempercepat pertumbuhan sel-sel otak dan perkembangan sistem saraf (Yahya, 2007).

Pengeluaran ASI adalah suatu interaksi yang sangat komplek antara rangsangan mekanik, saraf dan bermacam-macam hormon. Hubungan yang utuh antara hipotalamus dan hipofise akan mengatur kadar prolaktin dan oksitosin dalam darah. Hormon-hormon ini sangat perlu untuk pengeluaran permulaan dan pemeliharaan penyediaan air susu selama menyusui. ASI pada ibu terkadang mengalir lambat tetapi keadaan ini tidak berarti bahwa proses laktasi tidak dapat terjadi. Pasokan ASI bergantung pada kebutuhan bayi maka untuk mendapatkan air susu yang memadai adalah dengan menyusu lebih sering (Wulandari, 2011).


(42)

2.2.2 ASI Menurut Stadium Laktasi

ASI menurut stadium laktasi adalah kolostrum, air susu transisi atau peralihan, dan air susu matur (Nugroho, 2011).

a. Kolostrum

Kolostrum dikenal dengan cairan emas yang encer berwarna kuning yang mengandung sel darah putih yang dapat membunuh kuman penyakit. Protein utama pada kolostrum adalah immunoglobulin yang digunakan sebagai zat antibody untuk mencegah dan menetralisir bakteri, virus, jamur, dan parasit. Kolostrum juga merupakan pencahar ideal untuk membersihkan zat yang tidak terpakai dari usus bayi yang baru lahir (Nugrooho, 2011). Kolostrum disekresi oleh kelenjar payudara dari hari pertama sampai ketiga atau keempat post partum. Pada awal menyusui, kolostrum yang keluar mungkin hanya sesendok teh saja. Pada hari pertama dalam kondisi normal produksi kolostrum sekitar 10-100cc dan akan meningkat hingga 150-300 ml per 24 jam (Astutik, 2014).

b. Air susu peralihan

ASI yang keluar setelah kolostrum sampai sebelum ASI matur, yaitu mulai hari ke-4 hingga hari ke-10. Selama 2 minggu, volume ASI bertambah banyak dan berubah warna serta komposisinya (Nugroho, 2011). Volume ASI makin meningkat dari ke hari sehingga pada waktu bayi berumur tiga bulan dapat diproduksi kurang lebih 800 ml per 24 jam. Kadar protein makin rendah, sedangkan kadar lemak dan karbohidrat semakin tinggi (Astutik, 2014).


(43)

c. Air susu matur

ASI yang disekresikan pada hari ke-10 dan seterusnya. Pada ibu yang sehat dengan produksi ASI cukup, ASI merupakan satu-satunya makanan yang paling baik dan cukup untuk bayi sampai umur 6 bulan (Roesli, 2008).

Pada ASI matur terdapat dua jenis ASI yaitu: 1) Foremilk

Foremilk adalah ASI encer yang diproduksi pada awal proses menyusui dengan kadar air tinggi dan mengandung banyak protein, laktosa, mineral, air, tetapi rendah lemak (Depkes RI, 2007). Foremilk merupakan ASI yang keluar pada awal menyusui lima menit pertama (Nugroho, 2011). ASI ini dihasilkan sangat banyak dan cocok untuk menghilangkan rasa haus bayi (Astutik, 2014).

2) Hindmilk

Hindmilk adalah ASI yang mengandung tinggi lemak yang memberikan zat tenaga atau energi dan diproduksi menjelang akhir proses menyusui (Depkes RI, 2007). Hindmilk keluar setelah foremilk habis saat menyusui hamper selesai, sehingga dianalogikan hidangan utama setelah hidangan pembuka (Astutik, 2014). Hindmilk membuat bayi akan lebih cepat kenyang.

2.2.3 Fisiologi Laktasi

Pada permulaan kehamilan terjadi peningkatan yang jelas dari duktulus yang baru, percabangan-percabangan dan lobules, yang dipengaruhi oleh hormon-hormon plasenta dan korpus luteum. Prolaktin dari hipofise anterior mulai


(44)

merangsang kelenjar air susu untuk menghasilkan air susu yang disebut kolostrum pada usia kehamilan tiga bulan. Pengeluaran kolostrum masih dihambat oleh estrogen dan progesteron, tetapi jumlah prolaktin meningkat dan hanya aktivitas dalam pembuatan kolostrum yang ditekan.

Dua hormon terpenting yang berperan dalam laktasi adalah prolaktin yang merangsang produksi air susu, dan oksitosin yang berperan dalam penyemprotan (ejeksi) susu (Coad, 2006).

a. Refleks prolaktin

Saat menjelang akhir kehamilan terutama hormon prolaktin memegang peranan untuk merangsang pengeluaran kolostrum dan air susu, namun jumlah

kolostrum terbatas, karena aktifitas prolaktin dihambat oleh estrogen dan

progesteron yang kadarnya memang tinggi (Nugroho, 2011). Setelah lepasnya

plasenta dan kurang berfungsinya korpus luteum maka sekresi hormon estrogen

dan progesteron akan berkurang, sehingga kerja prolaktin dalam merangsang

proses pengeluaran kolostrum dan air susu tidak lagi di hambat. Ini berarti kadar

prolaktin meningkat. Adanya hisapan bayi yang merangsang puting susu dan

areola payudara, akan merangsang ujung-ujung saraf sensoris yang berfungsi

sebagai reseptor mekanik dalam proses pengeluaran air susu.

Hipotalamus akan menekan pengeluaran estrogen dan progesteron yang

menghambat sekresi prolaktin dan sebaliknya merangsang pengeluaran prolaktin

dan oksitosin sebagai pemacu sekresi air susu (Nugroho, 2011). Hormon prolaktin

ini merangsang sel-sel alveoli yang berfungsi untuk membuat air susu. Kadar


(45)

melahirkan sampai penyapihan anak dan pada saat tersebut tidak akan ada

peningkatan prolaktin walaupun ada hisapan bayi, namun pengeluaran air susu

tetap berlangsung.

b. Refleks let down

Refleks let down secara primer merupakan respon terhadap isapan bayi

(Bobak, 2005). Bersamaan dengan pembentukan prolaktin oleh hipofise anterior,

rangsangan yang berasal dari isapan bayi ada yang dilanjutkan ke hipofise

posterior yang kemudian dikeluarkan oksitosin. Melalui aliran darah, hormon ini

diangkut menuju uterus yang dapat menimbulkan kontraksi pada uterus sehingga

terjadi involusi dari organ tersebut. Oksitosin yang sampai pada alveoli akan

mempengaruhi sel mioepitelium. Di bawah pengaruh oksitosin, sel-sel di sekitar

alveoli berkontraksi, mengeluarkan susu melalui system duktus kedalam mulut bayi (Bobak, 2005).

Reflek let down tidak akan terjadi apabila ibu dalam kondisi stress, cemas,

dan tegang (Widuri, 2013). Ini disebabkan oleh karena adanya pelepasan dari

adrenalin (epinefrin) yang menyebabkan vasokontriksi dari pembuluh darah

alveoli, sehingga oksitosin sedikit harapannya untuk dapat men-capai target organ

mioepitelium. Akibat dari tidak sempurnanya refleks let down maka akan terjadi

penumpukan air susu di dalam alveoli yang secara klinis tampak payudara

membesar. Payudara yang besar dapat berakibat abses, gagal untuk menyusui dan

rasa sakit. Rasa sakit ini akan merupakan stres lagi bagi seorang ibu sehingga stres


(46)

Karena refleks let down tidak sempurna maka bayi yang haus jadi tidak

puas. Ketidak puasan ini akan merupakan tambahan stres bagi ibunya. Bayi yang

haus dan tidak puas ini akan berusaha untuk dapat air susu yang cukup dengan

cara menambah kuat hisapannya sehingga tidak jarang dapat menimbulkan

luka-luka pada puting susu dan sudah barang tentu luka-luka-luka-luka ini akan dirasakan sakit

oleh ibunya yang juga akan menambah stres-nya tadi. Dengan demikian akan

terbentuk satu lingkaran setan yang tertutup (circulus vitiosus) dengan akibat

kegagalan dalam menyusui (Nugroho, 2011).


(47)

2.2.4 Refleks dalam Hisapan Bayi

Bayi yang sehat mempunyai tiga refleks intrinsik yang dibutuhkan agar

bisa menyusu dengan baik dan ASI bisa terisap dengan maksimal (Astutik, 2014).

Refleks tersebut aadalah:

a. Refleks mencari (rooting reflex)

Bayi akan menoleh apabila pipinya tersentuh, refleks ini timbul saat bayi baru

lahir (Astutik, 2014). Rangsangan yang dapat menimbulkan refleks ini adalah

dengan cara menempelkan payudara ibu pada pipi atau daerah sekeliling mulut

bayi. Kepala bayi akan mencari menuju puting susu yang menempel diikuti

dengan membuka mulut. Setelah itu bayi akan berusaha menangkap dan menarik

puting susu ibu ke dalam mulutnya (Nugroho, 2011).

b. Refleks mengisap (sucking reflex)

Refleks ini terjadi saat langit-langit mulut bayi tersentuh oleh puting. Puting

susu yang sudah dalam mulut bayi akan ditarik lebih jauh dengan bantuan lidah

dan rahang akan menekan areola yang sudah terletak pada langit-langit (Astutik,

2014). Tekanan bibir dan gerakan rahang bayi secara berirama akan

menyebabkan gusi menjepit areola dan sinus laktiferus sehingga air susu akan

mengalir ke puting susu. Air susu akan keluar dari puting saat bagian belakang

lidah menekan puting susu pada langit-langit. Bayi hanya mendapat menghisap air

susu sedikit dan puting susu ibu akan lecet apabila rahang bayi hanya menekan


(48)

c. Refleks menelan (swallowing reflex)

Refleks ini terjadi saat mulut bayi terisi oleh ASI. Gerakan menghisap yang

ditimbulkan oleh otot-otot pipi terjadi setelah air susu keluar dari puting susu,

sehingga pengeluaran air susu akan bertambah dan diteruskan masuk ke lambung

dengan mekanisme menelan (Astutik, 2014). Keadaan akan berbeda bila bayi

diberi susu botol, dimana rahang mempunyai peranan sedikit saat menelan karena

air susu mengalir dengan mudah dari lubang dot. Bayi-bayi yang baru lahir akan

mengalami bingung puting (nipple confusion) apabila bayi dicoba menyusu

bergantian dengan menggunakan susu dalam botol. Keadaan ini berakibat kurang

baik dalam pengeluaran air susu. Bayi yang terpaksa tidak bisa disusui langsung

oleh ibu sebaiknya diberi minum air susu melalui sendok (Nugroho, 2011).

2.2.5 Tanda-Tanda Kelancaran ASI

Menurut Bobak (2005) dan Mansyur (2014), untuk mengetahui banyaknya produksi ASI terdapat beberapa kriteria yang dipakai sebagai patokan untuk mengetahui jumlah ASI lancar atau tidak adalah:

a. ASI yang banyak dapat merembes keluar melalui puting; b. Sebelum disusukan payudara terasa tegang;

c. Payudara ibu terasa lembut dan kosong setiap kali menyusui; d. Bayi paling sedikit menyusu 8-10 kali dalam 24 jam;

e. Ibu dapat merasakan rasa geli karena aliran ASI setiap kali bayi mulai menyusui;


(49)

g. Berat badan bayi naik dengan memuaskan sesuai umur : 1) 1-3 bulan (kenaikan berat badan 700 gr)

2) 4-6 bulan (kenaikan berat badan 600 gr) 3) 7-9 bulan (kenaikan berat badan 400 gr) 4) 10-12 bulan (kenaikan berat badan 300 gr)

Dalam keadaan normal usia 0-5 hari biasanya berat badan bayi akan menurun. Setelah usia 10 hari berat badan bayi akan kembali seperti lahir; h. Jika ASI cukup, setelah menyusu bayi akan tertidur /tenang selama 3-4 jam.

Bayi yang mendapatkan ASI memadai umumnya lebih tenang, tidak rewel dan dapat tidur pulas (Wulandari, 2011). Secara alamiah ASI diproduksi dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan bayi;

i. Bayi sekurang-kurangnya buang air kecil 6-8 kali dalam sehari; j. Bayi mengeluarkan urine berwarna kuning pucat, seperti jerami; k. Bayi BAB satu kali dalam 24 jam. Tinja bayi lunak berwarna kuning.

2.2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelancaran Pengeluaran ASI

Menurut Nugroho (2011) dan Sulistyoningsih (2011), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kelancaran pengeluaran ASI yaitu:

a. Hisapan bayi

Hisapan mulut bayi pada payudara ibu akan menstimulus hipofisis anterior dan posterior sehingga mengeluarkan hormon prolaktin (sebagai produksi ASI) dan hormon oksitosin (sebagai pengeluaran ASI). Hisapan bayi tidak sempurna


(50)

akan membuat hormon prolaktin dan oksitosin terus menurun dan ASI akan terhenti (Purwanti, 2004).

Proses menyusui lebih dini akan menyebabkan rangsangan puting susu yang kemudian membentuk prolaktin oleh hipofisis sehingga pengeluaran ASI makin lancar (Perinasia, 2009). Ibu yang melakukan IMD akan mendapatkan rangsangan pada puting ibu oleh hisapan bayi. Penelitian oleh Tantina (2015) didapatkan hasil bahwa semakin cepat ada rangsangan hisapan dari puting ibu, maka proses pengeluaran ASI akan cepat. Hal ini selaras dengan adanya program IMD yang memanfaatkan refleks yang dimiliki bayi baru lahir yaitu reflek mencari, reflek menghisap dan reflek menelan. Hisapan pada puting ibu saat IMD merangsang pengeluaran prolaktin dan oksitosin untuk memproduksi ASI. Pelaksanaan IMD yang mencapai puting dapat memberikan stimulus awal untuk keberhasilan menyusui. Bayi akan mulai menghisap puting ibunya yang bertujuan untuk merangsang ASI segera berproduksi dan bisa keluar (Widuri, 2013).

b. Kontak langsung ibu dan bayi

Ikatan kasih sayang ibu dan bayi terjadi oleh berbagai rangsangan, seperti sentuhan kulit dan mencium bau yang khas antara ibu dan bayi. Kontak langsung ini sangat dibutuhkan untuk menciptakan kepuasan bagi ibu dan juga bayi. Bayi merasa aman dan puas karena dia mendapatkan kehangatan dari dekapan ibunya. Ibu yang merasa rileks dan nyaman maka pengeluaran ASI akan berlangsung baik (Wulandari, 2011).

Kontak kulit ini saat IMD bermanfaat untuk melindungi bayi dari kehilangan panas tubuhnya dan menimbulkan perasaan emosional antara ibu dan bayi. Ibu


(51)

yang dilakukan IMD saat bayi diletakkan di atas perut, ibu akan memegang, membelai dan memeluk bayinya. Perilaku seperti ini mempengaruhi psikis ibu yang juga mempengaruhi pengeluaran hormon produksi ASI (Tantina, 2015).

c. Frekuensi penyusuan

Frekuensi penyusuan ini berkaitan dengan kemampuan stimulasi hormon dan kelenjar payudara. Studi yang dilakukan pada ibu dengan bayi cukup bulan menunjukkan bahwa frekuensi penyusuan 10 kali dalam sehari selama dua minggu pertama setelah melahirkan berhubungan dengan produksi ASI yang cukup.

d. Psikologis ibu

Ibu yang cemas dan stress menggangu laktasi sehingga mempengaruhi produksi ASI karena menghambat pengeluaran ASI. Ibu dalam keadaan tertekan, sedih, kurang percaya diri, dan berbagai bentuk ketegangan emosional akan menurunkan volume ASI bahkan tidak akan terjadi produksi ASI. Keberhasilan proses menyusui sangat tergantung pada adanya rasa percaya diri ibu bahwa ia mampu menyusui atau memproduksi ASI yang cukup untuk bayinya (Sulistyoningsih, 2011). Semua hal itu dapat dihindari dengan cara ibu cukup istirahat dan menghindari rasa khawatir berlebihan.

e. Umur kehamilan saat melahirkan

Umur kehamilan dan berat lahir mempengaruhi produksi ASI. Hal ini disebabkan bayi yang lahir prematur (umur kehamilan kurang dari 34 minggu) sangat lemah dan tidak mampu mengisap secara efektif sehingga produksi ASI lebih rendah dari pada bayi yang lahir tidak prematur. Lemahnya kemampuan


(52)

mengisap pada bayi prematur dapat disebabkan berat badan yang rendah dan belum sempurnanya fungsi organ.

f. Berat lahir bayi

Hubungan berat bayi lahir dengan volume ASI berkaitan dengan kekuatan untuk mengisap, frekuensi, dan lama penyusuan lebih besar. Bayi berat lahir rendah (BBLR) mempunyai kemampuan mengisap ASI lebih rendah dibanding bayi dengan berat lahir normal (>2500 gr). Kemampuan mengisap pada BBLR yang rendah akan mempengaruhi stimulasi hormon prolaktin dan oksitosin dalam memproduksi ASI (Budiasih, 2008).

g. Kualitas dan kuantitas makanan ibu

Ibu-ibu dengan asupan makanan sehari-hari yang kurang, terutama sejak masa kehamilan dapat menyebabkan produksi ASI akan berkurang atau bahkan tidak keluar sehingga keadaan ini akan berpengaruh terhadap bayinya. Agar ASI yang diproduksi mencukupi kebutuhan bayi, perlu diperhatikan kualitas dan kuantitas makanan ibu. Makanan ibu harus memenuhi jumlah kalori, protein, lemak dan vitamin serta mineral yang cukup (Wulandari, 2011).

h. Pil kontrasepsi

Penggunaan alat kontrasepsi hendaknya diperhatikan karena pemakaian kontrasepsi yang tidak tepat dapat mempengaruhi produksi ASI (Wulandari, 2011). Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi estrogen dan progesteron berkaitan dengan penurunan volume dan durasi ASI. Alat kontrasepsi yang paling tepat digunakan adalah Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) misalnya spiral atau


(53)

IUD, karena AKDR dapat merangsang uterus ibu sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kadar hormon oksitosin (Siregar, 2014).

i. Konsumsi alkohol

Meskipun minuman alkohol dosis rendah di satu sisi dapat membuat ibu merasa rileks sehingga membantu proses pengeluaran ASI namun disisi lain etanol dapat menghambat produksi oksitosin.

j. Konsumsi rokok

Merokok dapat mengurangi volume ASI karena akan mengganggu hormon prolaktin dan oksitosin untuk produksi ASI. Merokok akan menstimulasi pelepasan adrenalin dimana adrenalin akan menghambat pelepasan oksitosin.

2.2.7 Konsep Diagnosa dan Intervensi Keperawatan Terkait Menyusui menurut NANDA NIC dan NOC

Menurut NANDA 2015-2017 (Herdman dan Kamitsuru, 2014), NIC (Bulecheck et al, 2012), dan NOC (Moorhead et al, 2012) klasifikasi diagnosa dan intervensi terkait menyusui adalah sebagai berikut.

Domain 2. Nutrisi Kelas 1. Makan

a. Ketidakcukupan ASI

Definisi: Rendahnya produksi ASI Batasan karakteristik:

Bayi


(54)

2) Bayi sering menangis

3) Sering berusaha untuk menyusui pada payudara

4) Waktu menyusui yang lama 5) Menolak menyusu pada payudara

tidak memuaskan

7) Urin terkosentrasi dalam jumlah kecil

8) Peningkatan berat badan <500 gram dalam 1 bulan

Ibu

1) Tidak adanya produksi susu dengan stimulasi putting

2) Keterlambatan produksi susu

3) Pengeluaran ASI kurang dari volume yang seharusnya

Faktor yang berhubungan: Bayi

1) Kekurangan kesempatan untuk menyusu pada payudara

2) Kekurangan waktu untuk menyusu

Ibu

1) Konsumsi alkohol

2) Ketidakcukupan volume cairan 3) Malnutrisi

4) Kehamilan 5) Merokok

6) Sedang dalam pengobatan b. Ketidakefektifan menyusui

Definisi: Kesulitan pemberian air susu pada bayi atau anak langsung dari payudara, yang dapat mempengaruhi status nutrisi bayi/anak.

Batasan karakteristik:

1) Bayi menangis didekat payudara 2) Bayi menangis pada jam pertama

9) Pengosongan payudara yang tidak efektif setelah menyusui


(55)

setelah menyusu

3) Bayi selalu mendekat pada payudara

4) Bayi tidak menghisap payudara secara terus menerus

5) Bayi rewel pada satu jam menyusu 6) Bayi tidak mampu latch on pada

payudara ibu dengan tepat 7) Bayi menolak latching on pada

payudara

8) Bayi tidak responsif terhadap tindakan kenyamanan lain

10)Penurunan berat badan bayi secara terus menerus

11)Tidak tampak tanda-tanda pelepasan oksitoksin 12)Asupan air susu yang tidak

adekuat

13)Puting lecet/luka setelah seminggu pertama menyusui

14)Kurang penambahan berat badan bayi

15)Kurangnya kesempatan bayi untuk menghisap payudara

Faktor yang berhubungan: 1) Pasokan susu tidak memadai 2) Kurangnya dukungan keluarga 3) Kurangnya pengetahuan orang tua

tetang pentingnya ASI 4) Riwayat kegagalan menyusui

5) Kecemasan pada ibu 6) Kelelahan pada ibu 7) Prematuritas

8) Menyusui tambahan dengan putting buatan

c. Kesiapan meningkatkan menyusui

Definisi: Suatu pola pemberian air susu pada bayi atau anak langsung dari payudara yang dapat ditingkatkan.


(56)

Batasan karakteristik:

1) Ibu menyatakan keinginan untuk dapat mampu memberikan air susu guna kebutuhan bayinya;

2) Ibu menyatakan keinginan untuk meningkatkan kemampuan pemberian air susu eksklusif.

Intervensi Keperawatan NIC dan NOC Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan Menyusui

No. NOC NIC

1. Breastfeeding Establishment:

Maternal

a. Pemompaan ASI b. Dukungan keluarga

c. Kepuasan dalam menyusui d. Ejeksi susu (letdown) reflek

Lactation Counseling

a. Motivasi ibu untuk meningkatkan keinginan menyusui

b. Bantu ibu mempertahankan perlekatan bayi pada payudara (posisi bayi, perlekatan dan tekanan pada areola)

c. Beri kesempatan ibu untuk menyusu setelah bayi lahir

d. Diskusikan dengan ibu tetang frekuensi normal menyusui

e. Instruksikan pada ibu untuk berkonsultasi dengan petugas kesehatan tentang cara mengoptimalkan suplai ASI

2. Breastfeeding Establishment:

Infant

a. minimum menyusu selama 5-10 menit

b. menyusu minimum 8 kali sehari

c. kepuasan bayi setelah menyusu

d. buang air kecil per hari sesuai usia

Emotional Support

a. Tanyakan pada ibu apa yang menyebabkan emosi

b. Berikan pernyataan empati

c. Fasilitasi ibu untuk identifikasi respon koping

Kangoroo care

a. Jelaskan keuntungan dan implikasi kontak skin to skin dengan bayi b. Instruksikan orang tua untuk

meningkatkan waktu kontsk skin to skin

Lactation Suppression

a. Dukung ibu untuk menentukan jadwal (frekuensi dan durasi) b. Instruksikan ibu untuk


(57)

mengekspresikan ASI yang cukup

3. Knowledge: Breastfeeding

a. Manfaat pemberian ASI b. Fisiologi laktasi

c. Komposisi ASI, reflek let down, foremilk dan hindmilk d. Isyarat bayi lapar

Teaching: Infant Nutrition 0-3Months a. Sediakan informasi mengenai

menyusui

b. Instruksikan pada orangtua untuk tidak memberikan cairan selain ASI sebelum 4 bulan

c. Instruksikan pada orangtua untuk tidak memberikan madu.

2.3 Inisiasi Menyusu Dini

2.3.1 Pengertian Inisiasi Menyusu Dini

Inisiasi menyusu dini (IMD) adalah bayi mulai menyusu sendiri segera setelah lahir. Cara bayi melakukan inisiasi menyusu dini ini dinamakan the breast crawl atau merangkak mencari payudara (Roesli, 2008). Ketika bayi sehat di letakkan di atas perut atau dada ibu segera setelah lahir dan terjadi kontak kulit (skin to skin contact), bayi akan bereaksi oleh karena rangsangan sentuhan ibu, bayi akan bergerak di atas perut ibu dan menjangkau payudara. Inisiasi menyusu dini disebut sebagai tahap ke empat persalinan yaitu tepat setelah persalinan sampai satu jam setelah persalinan, meletakkan bayi baru lahir dengan posisi tengkurap setelah dikeringkan tubuhnya namun belum dibersihkan, tidak dibungkus di dada ibunya segera setelah persalinan dan memastikan bayi mendapat kontak kulit dengan ibunya, menemukan puting susu dan mendapatkan kolostrum atau ASI yang pertama kali keluar (Roesli, 2008).

Inisiasi menyusu dini adalah proses menyusu bukan menyusui yang merupakan gambaran bahwa inisiasi menyusu dini bukan program ibu menyusui bayi tetapi bayi yang harus aktif sendiri menemukan puting susu ibu. Setelah


(58)

lahir bayi belum menujukkan kesiapannya untuk menyusu. Reflek menghisap bayi timbul setelah 20-30 menit setelah lahir. Bayi menunjukan kesiapan untuk menyusu 30-40 menit setelah lahir (Roesli, 2008).

2.3.2 Manfaat Inisiasi Menyusu Dini

Menurut Roesli (2008) terdapat beberapa manfaat yang didapat saat melaksanakan IMD, yaitu:

a. Bagi Bayi

1) Dada ibu berfungsi sebagai thermoregulator yang dapat mencegah resiko hipotermia dan mengahngatkan bayi.

2) Hisapan bayi pada puting ibu sewaktu IMD merangsang pengeluaran hormon oksitosin yang membuat ibu lebih tenang (Kemenkes, 2014). Bayi pun akan merasa lebih tenang sehingga pernafasan dan detak jantung bayi menjadi lebih stabil.

3) Saat bayi menjilati puting ibu, bakteri non patogen akan ikut tertelan. Bakteri ini akan berkembangbiak dan selanjutnya akan membangun sistem kekebalan bayi terhadap berbagai penyakit.

4) Kontak kulit bayi dengan kulit ibu meningkatkan jalinan kasih sayang antara ibu dan bayi (Kemenkes, 2014). Kontak kulit dalam 1-2 jam pertama ini sangat penting, karena setelah itu bayi akan tertidur.

5) Bayi dapat langsung menghisap kolostrum yang mengandung protein dan imunoglobulin yang akan membantu tubuh bayi membentuk daya tahan


(59)

tubuh terhadap infeksi sekaligus penting untuk pertumbuhan usus dengan membuat lapisan yang melindungi dan mematangkan dinding usus bayi. 6) Bayi yang mendapatkan ASI melalui IMD sejak awal kelahirannya dapat

megurangi resiko alergi.

7) Produksi ASI menjadi lancar dan banyak, dan memudahkan bayi mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan dan tetap menyusu sampai berusia 2 tahun (Kemenkes, 2014).

b. Bagi Ibu

1) Proses IMD akan membantu kontraksi rahim, pengeluaran plasenta, dan mengurangi perdarahan pasca persalinan.

2) Proses IMD merangsang pengeluaran hormon oksitosin yang membuat ibu merasa tenang dan bahagia. Oksitosin juga menyebabkan refleks pengeluaran ASI dan kontraksi rahim yang mengurangi perdarahan pasca persalinan (Kemenkes, 2014).

2.3.3 Tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini

Berikut ini langkah–langkah melakukan IMD yang dianjurkan (Roesli, 2008) :

a. Begitu lahir, bayi diletakkan diperut ibu yang sudah dialasi kain kering.

b. Keringkan seluruh tubuh bayi termasuk kepala secepatnya kecuali kedua tangannya.


(60)

d. Vernix (zat lemak putih) yang melekat ditubuh bayi sebaiknya tidak dibersihkan karena zat ini membuat nyaman kulit bayi.

e. Tanpa dibedong bayi langsung ditengkurapkan didada atau perut ibu dengan kontak kulit bayi dan kulit ibu. Ibu dan bayi diselimuti bersama–sama. Jika perlu bayi diberi topi untuk mengurangi pengeluaran panas dari kepalanya.

Roesli (2008) menambahkan langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam melakukan IMD adalah sebagai berikut:

a. Dianjurkan suami atau keluarga mendampingi ibu saat persalinan

b. Disarankan untuk tidak atau mengurangi penggunaan obat kimiawi saat persalinan. Dapat diganti dengan cara non kimiawi misalnya pijat, aromaterapi, gerakan atau hypnobirthing.

c. Seluruh badan dan kepala bayi dikeringkan secepatnya,kecuali kedua tangannya. Lemak putih (vernix) yang menyamankan kulit bayi sebaiknya dibiarkan

d. Bayi ditengkurapkan didada atau perut ibu dan mata bayi setinggi puting ibu (Maryunani, 2012). Biarkan kulit bayi melekat dengan kulit ibu. Posisi kontak kulit dengan kulit ini dipertahankan minimum satu jam atau setelah menyusu awal selesai. Keduanya diselimuti jika perlu gunakan topi bayi e. Bayi dibiarkan mencari puting susu ibu, ibu dapat merangsang bayi dengan

sentuhan lembut, tetapi tidak memaksakan bayi ke puting susu.

f. Jika bayi belum menemukan puting payudara ibunya dalam waktu satu jam, bantu ibu dengan mendekatkan bayi ke puting susu ibu (Maryunani, 2012).


(61)

Biarkan kulit bayi tetap bersentuhan dengan kulit ibunya sampai berhasil menyusu pertama.

2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan IMD adalah sebagai berikut:

a. Pengetahuan

Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa paparan informasi, pendidikan, lingkungan sekitar dan pengalaman mempengaruhi pengetahuan seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih (2009) dan Rahmawati (2008) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan pelaksanaan IMD yang berarti bahwa semakin baik pengetahuan ibu semakin baik pula tindakan ibu dalam pelaksanaan IMD. Pendidikan ibu juga memiliki peranan yang penting dalam menyerap informasi yang diperoleh sehingga berdampak pada pengetahuan ibu mengenai IMD. Yunus (2013) menyatakan bahwa pengalaman melahirkan ibu dapat mempengaruhi pengetahuan ibu mengenai IMD yaitu pengalaman melahirkan bayinya. Jika ibu memiliki paritas > 1 kali, maka pengetahuannya mengenai hal–hal dalam persalinan salah satunya IMD akan berbeda dengan mereka yang memiliki paritas satu kali.

b. Sikap

Sikap itu tidak dapat dilihat langsung tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku tertutup, sikap secara nyata menunjukkan adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus. Ibu yang memiliki pengetahuan cukup mengenai IMD


(62)

dan manfaatnya sebagian besar akan memiliki sikap positif terhadap IMD dan cenderung melaksanakan IMD selama 30 menit hingga 1 jam pasca melahirkan (Yunus, 2013).

c. Kepercayaan

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan sikap kita. Kepercayaan merupakan sesuatu yang diyakini seseorang karena diberikan turun temurun dari orang tua kepada anaknya sehingga menjadi sebuah perilaku mendasar (Notoatmodjo, 2003). Sebagian masyarakat masih ada yang menganggap bahwa cairan kolostrum yang keluar beberapa saat setelah ibu melahirkan tidak bagus diberikan kepada bayi. Bahkan sebagian besar dari mereka tidak mempercayai jika bayi yang baru lahir dapat langsung menyusu dan dapat ditengkurapkan di dada ibu (Yunus, 2013).

d. Dukungan keluarga

Kondisi emosi menentukan tingkat produksi ASI yang dihasilkan ibu. Kestabilan emosi tersebut bisa diraih bila sang suami turut mendukung (Roesli, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2011) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara dukungan suami dengan pelaksanaan IMD. Hal yang menyebabkan dukungan suami tidak diperoleh ibu karena beberapa petugas kesehatan tidak membolehkan suami untuk masuk ruang bersalin sehingga tidak dapat mendampingi ibu pada saat persalinan yang akan berlanjut pada pelaksanaan IMD (Yunus, 2013).


(63)

e. Dukungan tenaga kesehatan

Betapapun sempitnya waktu yang dimiliki oleh petugas kesehatan tersebut diharapkan masih dapat meluangkan waktu untuk memotivasi dan membantu ibu yang baru melahirkan untuk IMD. Hasil penelitian Widiastuti (2013) menunjukkan bahwa semakin lama seseorang bekerja semakin banyak pengalaman sehingga semakin baik hasil pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, demikian juga akan mempengaruhi dalam pelaksanaan pekerjaan, dalam hal ini sebagai perawat dan bidan untuk membantu ibu persalinan dalam melaksanakan IMD pada bayi. Tingkat pendapatan yang kurang mengakibatkan sebagian responden tidak dapat memanfaatkan Puskesmas sebagai sarana dalam persalinannya sehingga mereka lebih cenderung memanggil bidan ke rumah mereka untuk membantu persalinan dan sebagian besar bidan yang membantu persalinan mereka di rumah tidak menerapkan IMD pada ibu pasca bersalinan (Yunus, 2013).

2.3.5 Faktor Penghambat Inisiasi Menyusu Dini

Roesli (2008), menyatakan faktor-faktor penghambat IMD adalah adanya pendapat atau persepsi ibu, masyarakat dan petugas kesehatan yang salah atau tidak benar tentang hal ini, yaitu:

a. Bayi kedinginan

Bayi berada dalam suhu yang aman jika melakukan kontak kulit dengan sang ibu, suhu payudara ibu meningkat 0,5 derajat dalam dua menit jika bayi diletakkan di dada ibu. Berdasarkan hasil penelitian Dr.Niels Bergman (2005)


(64)

dalam Roesli (2008), ditemukan bahwa suhu dada ibu yang melahirkan menjadi 1˚C lebih panas daripada suhu dada ibu yang tidak melahirkan. Jika bayi yang diletakkan di dada ibu ini kepanasan, suhu dada ibu akan turun 1˚C. Jika bayi kedinginan, suhu dada ibu akan meningkat 2˚C untuk menghangatkan bayi. b. Setelah melahirkan ibu terlalu lelah untuk segera menyusui bayinya

Seorang ibu jarang terlalu lelah untuk memeluk bayinya segera setelah lahir. Keluarnya oksitosin saat kontak kulit ke kulit serta saat bayi menyusu dini membantu menenangkan ibu.

c. Tenaga kesehatan kurang tersedia

Saat bayi di dada ibu, penolong persalinan dapat melanjutkan tugasnya. Bayi dapat menemukan sendiri payudara ibu, libatkan ayah atau keluarga terdekat untuk menjaga bayi sambil memberi dukungan pada ibu.

d. Kamar bersalin atau kamar operasi

Dengan bayi di dada ibu, ibu dapat dipindahkan ke ruang pulih atau kamar perawatan. Beri kesempatan pada bayi untuk meneruskan usahanya mencapai payudara dan menyusu dini.

e. Ibu harus dijahit

Kegiatan merangkak mencari payudara terjadi di area payudara, yang dijahit adalah bagian bawah tubuh ibu.

f. Suntikan vitamin K dan tetes mata untuk mencegah penyakit gonore harus segera diberikan setelah lahir


(1)

Kontak kulit antara ibu dan bayi selama 1 jam

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

tidak tepat 6 23,1 23,1 23,1

tepat 20 76,9 76,9 100,0

Total 26 100,0 100,0

Bayi mencari dan menemukan puting ibu untuk menyusu awal selama 1 jam

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

tidak tepat 7 26,9 26,9 26,9

tepat 19 73,1 73,1 100,0


(2)

F.3 Hasil Univariat Kelancaran Pengeluaran ASI

Statistics

ASI

N

Valid 26

Missing 0

Mean 79,00

Std. Error of Mean 2,453

Median 84,00

Std. Deviation 12,506

Skewness -,910

Std. Error of

Skewness ,456

Minimum 56

Maximum 92

kelancaranASI

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

tidak lancar 7 26,9 26,9 26,9

lancar 19 73,1 73,1 100,0


(3)

INDIKATOR KELANCARAN PENGELUARAN ASI Statistics indikator 1 indikator 2 indikator 3 indikator 4 indikator 5 indikator 6 N

Valid 26 26 26 26 26 26

Missing 0 0 0 0 0 0

Mean 20,38 22,81 12,88 6,00 7,04 9,88

Std. Error of Mean ,628 ,985 ,434 ,319 ,180 ,295

Median 22,00 24,00 13,00 6,00 7,00 11,00

Std. Deviation 3,201 5,020 2,215 1,625 ,916 1,505 Skewness -1,188 -,872 -,656 -,121 -,419 -,703 Std. Error of

Skewness ,456 ,456 ,456 ,456 ,456 ,456

Minimum 13 11 8 3 5 7

Maximum 24 28 16 8 8 12

Waktu menyusui

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

tidak lancar 9 34,6 34,6 34,6

lancar 17 65,4 65,4 100,0

Total 26 100,0 100,0

Kondisi payudara

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

tidak lancar 9 34,6 34,6 34,6

lancar 17 65,4 65,4 100,0


(4)

Sensasi pada ibu

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

tidak lancar 9 34,6 34,6 34,6

lancar 17 65,4 65,4 100,0

Total 26 100,0 100,0

Respon bayi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

tidak lancar 11 42,3 42,3 42,3

lancar 15 57,7 57,7 100,0

Total 26 100,0 100,0

Buang air kecil (BAK) pada bayi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

tidak lancar 10 38,5 38,5 38,5

lancar 16 61,5 61,5 100,0

Total 26 100,0 100,0

Buang air besar (BAB) pada bayi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

tidak lancar 9 34,6 34,6 34,6

lancar 17 65,4 65,4 100,0


(5)

F.4 Analisis Bivariat Inisiasi Menyusu Dini dengan Kelancaran Pengeluaran ASI pada Ibu Post Partum di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang

observasiIMD * kelancaranASI Crosstabulation

kelancaranASI Total tidak lancar lancar

observasiIMD tidak tepat

Count 4 2 6

% within

observasiIMD 66,7% 33,3% 100,0%

tepat

Count 3 17 20

% within

observasiIMD 15,0% 85,0% 100,0%

Total

Count 7 19 26

% within

observasiIMD 26,9% 73,1% 100,0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 6,262a 1 ,012

Continuity Correctionb 3,911 1 ,048 Likelihood Ratio 5,743 1 ,017

Fisher's Exact Test ,028 ,028

Linear-by-Linear

Association 6,021 1 ,014

N of Valid Cases 26

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,62. b. Computed only for a 2x2 table


(6)

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for

observasiIMD (tidak tepat / tepat)

11,333 1,395 92,056

For cohort

kelancaranASI = tidak lancar

4,444 1,356 14,563

For cohort kelancaranASI = lancar

,392 ,125 1,234