Bagian Utama isi Copy

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai besar (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas
hortikultura yang memiliki nilai ekonomis penting di Indonesia. Cabai besar
merupakan cabai dengan ukuran lebih panjang dibandingkan dengan cabai
lainnya. Buahnya dikenal sebagai bahan penyedap dan pelengkap berbagai menu
masakan khas Indonesia. Karenanya hampir setiap hari produk ini dibutuhkan,
selain itu, cabai mengandung banyak gizi yang baik untuk kesehatan mulai dari
karbohidrat, lemak, protein, kalsium, vitamin A, B1 dan vitamin C dan mineral
yang terdapat dalam buah cabai. Tanaman cabai ternyata masih satu famili
(solanaceae) dengan tanaman kentang, tomat, dan terung, sehingga kemungkinan
adanya kesamaan dalam serangan hama dan penyakit. Cabai yang paling pedas
pun setara dengan sayuran dan buah-buahan lainnya (Warisno, 2010).
Cabai adalah tanaman anggota genus Capsicum.

Buahnya dapat

dimanfaatkan sebagai sayuran, obat-obatan maupun bumbu dapur, bergantung
pada tujuan penggunaannya. Buah cabai yang pedas sangat populer di masyarakat
sebagai penguat rasa makanan.


Dalam industri makanan, penggunan ekstrak

bubuk cabai dapat digunakan sebagai pengganti lada untuk membangkitkan selera
makan dan penyedap masakan, digunakan juga dalam pembuatan ramuan obatobatan (industri farmasi), industri pewarna makanan, bahan campuran pada
berbagai industri pengolahan makanan dan minuman serta penghasil minyak
atsiri (Cahyono, 2003).
Tanaman cabai bukan tanaman asli Indonesia, tetapi berasal dari Benua
Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke Negara-negara benua Amerika,

2
Eropa dan Asia termasuk Negara Indonesia. Di Indonesia tanaman cabai tersebar
di Pulau Jawa seperti Jawa Timur, Gresik, Lamongan, Tuban, dan Malang. Jawa
tengah (Brebes, Semarang, Magelang, Rembang, dan DI Yongyakarta) dan Jawa
Barat (Cianjur, Bandung, Serang, Bekasi, dan Bogor). Kawasan di luar Pulau
Jawa meliputi Lampung, Sumatera Barat, dan Aceh Timur. Berdasarkan data
statistik pertanian, produksi rata-rata cabai Indonesia periode 1987 – 1991 tercatat
506.430 ton per tahun pertumbuhannya sekitar 2,38 % pada tahun terakhir (Alexs,
2009).
Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (2013),
produktivitas cabai besar di Kalimantan Selatan selama periode tahun 2008

sampai tahun 2012 yaitu rata-rata 6,02 t/ha, ini lebih rendah dibandingkan dengan
produktivitas nasional tahun 2012 mencapai 7,94 t/ha.

Salah satu kendala

rendahnya produksi adalah adanya gangguan Organisme Pengganggu Tumbuhan
(OPT), satu diantaranya penyakit antraknosa. Penyebab penyakit antraknosa pada
cabai adalah cendawan Colletotrichum spp. Penyakit ini merupakan salah satu
penyakit penting pada tanaman cabai karena dapat menyebabkan kerugian antara
20 – 50 % bahkan dapat mencapai 100% (Rompas, 2001; Wiratma et al., 1983).
Penyakit antraknosa menyerang buah cabai yang masih muda melalui luka
akibat lalat buah. Gejalanya ialah noda lekukan berwarna hitam kelam pada
buahnya, dan dapat pula pada batang serta ranting-rantingnya. Penyakit ini dapat
ditularkan melalui benih (biji) yang ditanam. Pada serangan hebat dapat
merusakkan tanaman sehingga tidak dapat dipanen karena buahnya tidak dapat
dijual. Biji cabai yang terserang penyakit ini biasanya berkerut dan berwarna
kehitaman hitaman (Sunaryono, 1992).

3
Data kumulatif luas tambah serangan antraknosa tahun 2011 adalah 10,1

t/ha kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2012 menjadi 14,7 t/ha (Dinas
Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2014).
Pengendalian

penyakit

antraknosa

menggunakan pestisida yaitu fungsida.

pada

cabai

yang

selama

ini


Pengendalian dengan menggunakan

pestisida memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, matinya organisme
bukan sasaran, terdapatnya residu pestisida. Di samping itu, penggunaan pestisida
dalam jangka yang panjang dapat mengakibatkan patogen dan serangga menjadi
resisten terhadap pestisida yang digunakan (Sariah, 2005).
Salah satu pengendalian yang aman terhadap lingkungan adalah
pengendalian hayati. Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan menggunakan
agens biokontrol yang ada di sekitar rizosfer pertanaman cabai dan tanaman
lainnya. Salah satu agens biokontrol yang banyak digunakan adalah rizobakteria.
Penggunaan agens biokontrol sebagai salah satu bentuk pengendalian hayati ini
mendapatkan perhatian yang cukup besar di seluruh dunia karena telah terbukti
efektif mengendalikan berbagai jenis patogen. Perlakuan ini semakin populer
karena meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap permasalahan keamanan
hayati dan permasalahan kesehatan lingkungan sehubungan dengan fitotoksisitas
akibat penggunaan pestisida sintetik yang berlebihan. Selain itu, pengendalian
hayati dengan agens biokontrol mempunyai potensi untuk melindungi tanaman
selama siklus hidupnya. Selain sebagai agens biokontrol, rizobakteria tersebut
juga dapat sebagai mikroorganisme pemacu pertumbuhan tanaman yang dikenal
sebagai Plant Growth-Promoting Rizobacteria (PGPR) dan menginduksi

ketahanan sistemik tanaman (Silva et al., 2004; Yan et al., 2004).

Keuntungan

dari

penggunaan

rhizobakteria

tanaman

yaitu

4
tidak

mempunyai bahaya atau efek samping sehingga bahaya dari pencemaran
lingkungan dapat dihindari dengan baik. Beberapa spesies rhizobakteri yang
mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman antara lain genus-genus rhizobium,

Azotobacter, Azospirilium, Bacillus, Arthrobacter, Bacterium, Mycobacterium,
dan Pseudomonas (Biswas et al., 2000).
Rumusan Masalah
Apakah isolat rizobakteria (Pseudomonas kelompok Flourescens(PF) dan
Bacillus spp) yang berasal dari rizosfer pertanaman cabai dari Kota Banjarbaru
(Kecamatan Landasan Ulin yaitu Desa Suka Maju dan Kecamatan Cempaka yaitu
Gunung Kupang) dan Kabupaten Banjar yaitu Kecamatan Karang Intan Desa
Padang Panjang efektif dalam pengendalian penyakit antraknosa.
Hipotesis
Berdasarakan perumusan masalah yang ada maka hipotesis penelitian ini
adalah isolat rizobakteria (Pseudomonas kelompok Flourescens (PF) dan Bacillus
spp) yang ditemukan mampu mengendalikan penyakit antraknosa Colletotrichum
spp.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan isolat
rizobakteria (Pseudomonas kelompok Flourescens (PF) dan Bacillus spp) dalam
pengendalian penyakit antraknosa Colletotrichum spp
Manfaat penelitian

5

Manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tambahan kepada petani tentang cara pengendalian penyakit Antraknosa pada
tanaman cabai.

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Tanaman Cabe
Tanaman cabai ( Capsicum annum L.) adalah merupakan tanaman sayuran
yang tergolong tanaman setahun, berbentuk perdu, dari suku (famili) terongterongan (Solanaceae). Menurut Tindall (1983)
Klasifikasi tanaman tomat adalah sebagai berikut:
Kerajaan

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Anak divisi

: Angiospermae


Ordo

: Polemoniales

Famili

: Solanaceae

Genus

: Capsicum

Spesies

: Capsicum annum L.
Tanaman cabai termasuk tanaman semusim yang tergolong ke dalam

famili Solanaceae, buahnya sangat digemari, karena memiliki rasa pedas dan
merupakan perangsang bagi selera makan.


Selain itu buah cabai memiliki

kandungan vitamin-vitamin, protein dan gula fruktosa. Di Indonesia tanaman ini
mempunyai arti ekonomi penting dan menduduki tempat kedua setelah sayuran
kacang-kacangan (Rusli et al.,1997).

Daun

7
Tanaman cabai memiliki daun yang bervariasi menurut spesies dan
varietasnya ada yang berbentuk oval, lonjong, dan lanset. Panjang tangkai daun
antara 2-5 cm. Permukaan daun cabai ada yang halus dan juga ada yang berkerut.
Warna permukaan daun bagian atas biasanya berwarna hijau, hijau tua, hijau
muda, dan bahkan bisa berwarna hijau kebiruan. Sedangkan permukaan daun
bagian bawah umumnya berwarna hijau, hijau muda, dan hijau pucat.
Bunga
Tanaman cabai memiliki bunga bervariasi tetapi memiliki bentuk yang
sama yaitu bentuk bintang. Hal ini menunjukan tanaman cabai termasuk dalam
sub kelas Ateridae (berbunga bintang). Bunga cabai umumnya tumbuh pada

bagian ketiak daun dalan keadaan tunggal atau bergerombol yang bisa terdapat 23 bunga.

Diameter bunga antara 5-20 mm. Mahkota bunga tanaman cabai

memiliki warna yang bervariasi, ada yang berwarna putih, putih kehijauan, dan
ungu.
Batang
Tanaman cabai merupakan tanaman perdu dengan batang tidak berkayu.
Batang akan tumbuh sampai ketinggian 2 meter atau lebih, kemudian membentuk
banyak cabang. Batang tanaman cabai berwarna hijau, hijau tua, atau hijau muda.
Akar
Tanaman cabai memiliki perakaran yang cukup rumit dan hanya terdiri
dari akar serabut saja. Umumnya diakar terdapat bintil-bintil yang merupakan
hasil simbiosis dengan beberapa mikroorganisme. Meskipun tidak memiliki akar
tunggang, namun ada beberapa akar tumbuh kearah bawah yang berfungsi
sebangai akar tunggang semu.

8
Buah dan biji
Buah cabai yang paling banyak dikenal dan memiliki banyak variasi. Pada

cabai besar umumnya buah rata dan halus dan kuli daging buahnya tebal. Pada
saat muda buah cabai biasanya berwarna hijau atau hijau tua. Sedangkan pada
saat buah telah tua warna buah berubah menjadi merah, merah tua, atau hijau
kemerahan.
Didalam buah terdapat biji.

Biji buah cabai ini dapat dikelompoka

menjadi 3 (tiga) jenis yaitu buah berbiji banyak, berbiji sedikit, dan bahkan ada
yang tidak berbiji sama sekali. Biji cabai berbentuk pipih dengan warna kream
atau putih kekuningan.
Syarat Tumbuh Tanaman Cabai
Syarat tumbuh merupakan kondisi optimal yang dibutuhkan tanaman
untuk dapat tumbuh dan berkembang, serta berproduksi dengan baik.

Iklim

mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan cocok atau tidaknya
suatu tempat untuk membudidayakan tanaman. Tanaman cabai umumnya dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik didataran rendah sampai dataran tinggi,
dengan tingkat ketinggian 0 – 1.000 meter dpl. Untuk tanaman cabai besar cocok
ditanam didataran menengah hingga tinggi, dengan ketinggian 400 – 600 (1.000)
meter dpl. Cabai besar memang membutuhkan suhu udara yang cukup rendah
untuk dapat berproduksi dengan baik. Curah hujan yang optimum untuk tanman
cabai adalah antara 500 – 300 mm/tahun. Suhu udara yang sesuai untuk tanaman
cabai antara 8 – 34oC. Namun optimalnya, tanaman cabai mendapatkan suhu
udara siang 21 – 28oC dan suhu udara malam 8 – 20 oC.

Tanaman cabai

membutuhkan intensitas cahaya matahari yang tinggi yaitu diatas 70%. Apabila

9
intensitas cahaya matahari berkurang, meskipun tidak berpengaruh terhadap
produksi, namum berpengaruh terhadap umur panen buah (Harpenas, 2010).
Selain iklim tanah juga merupakan aspek penting dalam budidaya cabai,
karena tanah berperan sebagai media tumbuh sekaligus sebagai sumber unsur
hara. Tanaman cabai membutuhkan tanah yang gembur dengan tingkat kesuburan
yang tinggi untuk dapat tumbuh dan berproduksi optimal. Tekstur tanah yang
cocok untuk tanaman cabai adalah lempung berpasir, pasir berlepung, lempung,
dan lempung berdebu, sedangkan tanah yang berliat tinggi tidak cocok untuk
lahan tanaman cabai. Derajat kemasaman tanah atau pH yang paling baik untuk
pertumbuhan tanaman cabai adalah pH netral yaitu 6,0 – 7,5 (Setiadi, 2008).

Penyakit Antraknosa
Penyakit

antraknosa

disebabkan

cendawan

genus

Colletotrichum.

Cendawan ini mempunyai enam spesies utama yaitu C. gloeosporiodes, C.
acutatum,

C.

dematium,

C.

capsici

dan

C.acutatum.

Colletotrichum

gloeosporiodes dan C.acutatum mengakibatkan kerusakan buah dan kehilangan

10
hasil paling besar. Lebih dari 90 persen penyakit antraknosa yang menginfeksi
buah cabai diakibatkan C. Gloeosporiodes. Namun akhir-akhir ini, C. acutatum
menggantikan posisi C. gloeosporiodes (Syukur, 2007)
Ordo ini terdiri dari satu family khusus, yaitu Melanconiaceae. Banyak
spesies yang masuk family khusus ini merupakan parasit yang menyebabkan
penyakit tumbuhan yang dikenal dengan antraknosa (Dwidjoseputro, 1978).

Gambar 1 : Buah cabai yang terserang Antraknosa
Sumber : (http://bppindonesia.com/penyakit-patek-atau-antraknosa/)

Gejala Serangan Antraknosa
Cendawan Colletotrichum spp mula-mula membentuk bercak cokelat
kehitaman, yang lalu meluas menjadi busuk lunak. Pada tengah bercak terdapat
kumpulan titik-titik hitam yang terdiri atau kelompok seta dan konidium
cendawan (Gambar 1). Serangan yang berat dapat menyebabkan seluruh buah
mengering dan mengerut (keriput).
menjadi berwarna seperti jerami.

Buah yang seharusnya berwarna merah

11
Jika cuaca kering cendawan hanya membentuk bercak kecil yang tidak
meluas. Tetapi kelak setelah buah dipetik, karena kelembapan udara yang tinggi
selama disimpan dan diangkut, cendawan akan berkembang dengan cepat. Di
India Colletotrichum spp juga menyerang ranting-ranting muda dan menyebabkan
mati ujung (die-back).
Daur penyakit Antraknosa
Cendawan pada buah masuk ke dalam ruang biji dan menginfeksi biji.
Kelak cendawan menginfeksi semai yang tumbuh dari biji buah sakit. Cendawan
hanya sedikit sekali menggangu tanaman yang sedang tumbuh, tetapi memakai
tanaman ini untuk bertahan sampai terbentuknya buah hijau. Selain itu cendawan
dapat mempertahankan diri dalam sisa-sisa tanaman sakit. Seterusnya konidium
disebarkan oleh angin. Menurut Nur Imah Sidik dan pusposendjojo (1985) infeksi
Colletotrichum spp hanya terjadi melalui luka-luka.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi penyakit Antraknosa
Salah satu faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan
cendawan Colletotrichum spp adalah pH tanah dimana pH 4,5 dan 8 dapat
menyebabkan cendawan tidak tumbuh secara maksimal karena derajat keasaman
(pH) optimal untuk pertumbuhan cendawan Colletotrichum spp adalah pH 5
(Yulianty, 2006)
Periode inkubasi Colletotrichum sp. antara 5-7 hari atau 4-6 hari setelah
inokulasi. Suhu optimal untuk pertumbuhan cendawan antara 24-300C dengan
kelembaban relatif 80-92% (Rompas, 2001).
Penyakit kurang terdapat pada musim kemarau, di lahan yang memiliki
drainase baik dan gulma yang terkendali dengan baik (semangun, 1989). Menurut

12
misra & mahmod dalam bulkis (1994) suhu optimal untuk perkecambahan bila
kelembaban relatif lebih dari 100%, suhu optimun untuk pertumbuhan cendawan
ini sekitar 280C, yang merupakan pertumbuhan paling baik terjadi pada
perkecambahan 92%. Pada tanaman cabai yang ditanam secara tumpang sari
dengan tomat dan jagung intensitas penyakit antraknosa lebih rendah, tetapi
sistem tanam ini meningkatkan bercak daun karena Cercospora capsici. Suhu
optimun untuk pertumbuhan cendawan ini sekitar 280C, yang merupakan
pertumbuhan paling baik terjadi pada perkecambahan 92% (chowdry dalam
Bulkis, 1994).
Menurut Budi Astuti dan Suhardi (1986), perkembangan bercak dari kedua
penyakit tersebut paling baik terjadi pada suhu 30 0C, sedangkan sporulasi
cendawan G. Piperatum pada suhu 230C, dan Colletotrichum spp pada suhu 300C.
Buah yang muda cenderung lebih rentan daripada yang setengah masak.
Pusposendjojo dan Rasyid (1985) menyatakan bahwa perkembangan bercak
karena Colletotrichum spp lebih cepat terjadi pada buah yang lebih tua, meskipun
buah muda lebih cepat gugur karena infeksi ini.
Penyakit antraknosa dapat timbul pada buah cabai rawit maupun cabai
besar. Menurut Sidik dan Pusposendjojo (1985), cabai besar varietas Tampar
Brebah tampak lebih tahan terhadap Colletotrichum spp daripada varietas Prissen,
Plumpung, Teropong, Tegal, Tampar Rembang, dan Tampar Tuban (Semangun,
2007)
Rizobakteria
Bakteri yang hidup di daerah perakaran (rizosfer) dan berperan penting
dalam pertumbuhan tanaman disebut rizobakteria.

Terdapat beberapa genus

13
bakteri yang berasosiasi dengan tanaman sebagai penghambatan pertumbuhan
cendawan patogen, yaitu Alcaligenes, Acinetobacter, enterobacter, Erwinia
Rhizobium, Flavobacterium, Agrobacterium, Bacillus, Burkholderia, Serratia,
Streptomyces, Azospirillum, Acetobacter, Herbaspirilium dan Pseudomonas.
Rizobakteria bersimbiosis mutualisme secara tidak langsung dengan tanaman,
karena beberapa bakteri dilaporkan mampu memicu pertumbuhan tanaman atau
disebut sebagai mikroorganisme PGPR (Plant Growth-Promoting Rhizobacteria).
Pada dasarnya rizobakteria dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu (1)
rizobakteria yang memacu pertumbuhan tanaman (PGPR : Plant GrowthPromoting Rizobakteria) dan (2) rizobakteria yang merugikan tanaman (DRB :
deleterious rhizobakteria) (Kloepper, 1993).
PGPR dapat menekan pertumbuhan patogen tanaman dengan dua
mekanisme yaitu :
1. Memacu pertumbuhan tanaman sehingga lebih “sehat” sehingga tidak
mudah diserang oleh patogen
2. Menghasilkan metabolit tertentu seperti :antibiotik siderofor dan HCN
yang dapat membunuh patogen. PGPR

memiliki beberapa fungsi

khususnya bagi tanaman antara lain dapat meningkatkan kesuburan tanah
dan sebagai agen pengendali biologi yang berkolerasi dengan pemacu
pertumbuhan tanaman (Kloepper, 1993).
Secara umum, mekanisme PGPR dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman
adalah:
1. Biotimulants, PGPR mampu menghasilkan atau mengubah konsentrasi
hormon tanaman seperti asam indolasetat (indoleasetic acid = IAA), asam

14
giberelat, sitokinin, dan etilen atau prekursor (1-1aminosiklopropena-1karboksilat deaminase) didalam tanaman, tidak bersimbiotik dalam fiksasi
N2, melarutkan fosfat mineral, mempengaruhi pembintilan atau menguasai
bintil akar.
2. Bioprotectants, PGPR memberi efek antagonis terhadap patogen tanaman
melalui beberapa cara yaitu produksi antibiotik, siderofore, enzim kitinase,
β-1,3-glucanase, sianida, parasitisme, kompetisi sumber nutrisi dan relung
eklologi, menginduksi ketahanan tanaman secara sistemik (Kloepper,
1993).
Tanaman merupakan habitat berbagai spesies bakteri yang secara umum
dikenal sebagai rizobakteri. Isolat rizobakteri dapat berfungsi sebagai pemacu
pertumbuhan tanaman atau plant growth promoting rhizobacteria (PGPR)
merugikan dan sebagai agens antagonis terhadap patogen tanaman (Timmusk,
2003).
Penelitian agens biokontrol dilaporkan oleh

Sutariati (2006) yang

menunjukkan perlakuan benih cabai dengan campuran rizobakteria B. polymixa
BG25 dan P. Fluorescens PG01 mampu mengurangi tingkat kejadian penyakit
antraknosa. Penurunan kejadian penyakit antraknosa terjadi melalui mekanisme
antibiosis, parasitisme dan kompetisi nutrisi serta sebagai PGPR yang
menginduksi ketahanan tanaman cabai terhadap infeksi C. capsici.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Maunuksela (2004) dan Thakuria
(2004) melaporkan bahwa beberapa kelompok rhizobakteria bersifat sebagai
agens hayati memiliki kemampuan memacu pertumbuhan tanaman. Rhizobakteri
ini berasal dari kelompok Bacillus spp., Pseudomonas fluorescens dan Serratia

15
spp, yang telah dilaporkan mampu memproduksi hormon tumbuh seperti asam
indol asetat (IAA). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Taufik et al. (2005 dan 2010) bahwa aplikasi PGPR mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman cabai di rumah kaca. Inokulasi agens hayati Bacillus formis
melalui perlakuan pada benih sebelum tanam dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman dan hasil kacang tanah lebih dari 19% dibandingkan dengan kontrol
(Kishore et al., 2005).

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan
Benih cabai.Benih cabai yang digunakan merupakan benih cabai merah
varietas “Hot chilli”.
Tanah. Tanah digunakan sebagai media tanam yaitu tanah jenis ultisol
Media semai.Media semai yang digunakan adalah media tanah pupuk kandang
dengan perbandingan 1:1.
Air.Air digunakan untuk menyiram tanaman adalah air dari PDM..
Koran.Koran digunakan untuk meniriskan benih setelah direndam.
Tali rafia.Tali rafia digunakan untuk mengikat tanaman cabai keturus/kayu
galam.
Turus/Kayu galam.Turus/Kayu galam untuk dijadikan turus agar tanaman
tumbuh berdiri tegak.
Mulsa.Mulsa digunakan untuk menutup lahan agar pertumbuhan gulma
lebih sedikit

16
Alat
Cangkul.Cangkul digunakan untuk membuat bedengan
Gembor. Gembor yang digunakan yaitu dengan kapasitas 5 liter, untuk
menyiram tanaman.
Alat tulis.Alat tulis digunakan untuk mencatat data dan hasil penelitian
yang berupa buku, pulpen, pensil, pengaris, dan penghapus.
Kamera.Kamera digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian.
Papan nama, Papan nama digunakan untuk membri nama atau kode pada
tanman
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktor
tunggal. Ada 8 perlakuan dan ulangan sebanyak 3 kali sehingga berjumlah 24
satuan percobaan.
Perlakuan tersebut adalah
C

=

Kontrol tanpa perlakuan

C+Pf.A

=

Cabe + Pseudomonas fluerescens asal Gunung kupang

C+Pf.B

=

Cabe + Pseudomonas fluerescens asal Desa Suka Mara

C+Pf.C

=

Cabe + Pseudomonas fluerescens asal Desa Padang panjang

C+Pf.D

=

Cabe + Pseudomonas fluerescens asal Desa Suka Maju

C+Bc.A

=

Cabe + Bacillus spp asal Gunung kupang

C+Bc.B

=

Cabe + Bacillus spp asal Desa Suka Mara

C+Bc.C

=

Cabe + Bacillus spp asal Desa Padang panjang

17

Persiapan Penelitian
Tempat dan Waktu
Persiapan penelitian berupa perbanyakan isolat rizobakteri dilakukan di
Laboraturium Fitopatologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas
Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Pelaksanaan penelitian
dilakukan dilahan petani Suka mara. Penelitian berlangsung dari bulan Desember
2014 sampai dengan Maret 2015.
Pelaksanaan
Pengolahan Tanah
Pembersihan lahan. Pembersihan lahan areal penanaman cabai terutama
dilakukan terhadap rumput-rumput liar atau gulma yang dapat meningkatkan
kelembapan areal kebun. Pembersihan juga dilakukan terhadap tanaman keras
lainnya yang dapat menggangu tanaman cabai, terutama yang bisa
menghambat sinar matahari.

Bekas tanaman keras atau batu-batu harus

disingkirkan agar tidak menggangu perakaran tanaman cabai.
Pembajakan atau Pencangkulan. Lahan yang sudah selesai dibersihkan
bisa langsung dibajak atau dicangkul dengan kedalaman sekitar 30-40 cm.
Sewaktu dilakukan pencangkulan ini, rumput dan sisa tanaman lunak yang
dibiarkan menumpuk sewaktu dilakukan pembersihan lahan bisa dicampur
sekaligus dengan tanah sehingga membusuk dan dapat menjadi pupuk. Tujuan
pencangkulan ini adalah untuk membalik tanah dan mengubah struktur tanah

18
yang tadinya padat atau keras menjadi gembur atau remah sehingga akar cabai
dapat dengan mudah menembus tanah dan mengambil zat makanan.
Pembuatan Bedengan. Tanah yang sudah dicangkul sebaiknya didiamkan
terkena sinar matahari selama kurang lebih 2 minggu supaya terjadi pertukaran
udara dan bibit penyakit atau hama yang berada di dalam tanah hilang. Setelah
dua minggu tanah terjemur, pembuatan bedengan dapat langsung dibuat.
Tujuan pembuatan bedengan agar tanaman cabai tidak tergenang air pada
musim hujan. Bedengan untuk penanaman pada musim hujan harus dibuat
lebar karena pada musim hujan sinar matahari tidak optimal sehingga kondisi
kebun akan menjadi lembab. Jarak antar bedeng yang ideal sebaiknya 75-100
cm dengan lajur bedengan menghadap ke arah utara selatan. Tinggi bedengan
minimal 50 cm dan lebar 90 cm - 100 cm. Panjang bedengan diusahakan tidak
terlalu panjang (rata-rata 10-15 m atau tergantung pada kondisi lahan) untuk
mempermudah perawatan dan pembuangan air. Untuk membentuk bedengan
yang rapi dan mempermudah pekerjaan, sebelum membuat bedengan
sebaiknya dibuat plot-plot dengan menggunakan tali (raffia atau benang kasur)
dengan ukuran panjang, lebar, dan tinggi sesuai dengan ukuran yang kita
kehendaki. Pembentukan bedengan dilakukan dengan menggunakan cangkul
dengan cara menaikkan tanah di luar plot untuk bedengan.

Berbarengan

dengan pembentukan bedengan ini, pemupukan dengan menggunakan pupuk
kandang atau kompos bisa sekaligus dilakukan. Bedengan kemudian ditutup
dengan mulsa plastik untuk mencegah pertumbuhan gulma dan menjaga
kelembaban tanah
Persemaian Benih

19
Perendaman benih cabai. Benih cabai direndam dalam suspensi larutan
rizobakteria (Pseudomonas kelompok Flourescens (PF) dan Bacillus spp) 10 ml
selama 6 jam, dan sebagai kontrol benih direndam dengan air selama 6 jam.
Masing –masing perlakuan di ulang sebanyak tiga kali.
Penyemaian benih. Sebelum tanam ditempat permanen, benih disemai
dalam polibag kecil (khusus semai).

Media berupa tanah halus dan pupuk

kandang dengan perbandingan (1:1) tanah yang sudah halus disterilkan dengan
uap panas ± 3 jam, media tanah disiapkan 1 minggu sebelum penyemaian benih.
Waktu benih ditanam, diatasnya ditutup selapis tipis tanah agar pada waktu
perkecambahan aman dari serangan OPT lain. Kemudian persemaian tersebut
diletakkan di tempat teduh dan dilakukan penyiraman secukupnya agar media
semai tetap lembab. Bibit yang akan dipindahkan ke bedengan seleksi terlebih
dahulu, dipilih bibit yang sehat dan pertumbuhannya seragam.

Setelah bibit

ditanam langsung disiram supaya kondisinya lembab dan diberi naungan pelepah
pisang agar bibit dapat beradaptasi dulu pada kondisi lahan.
Penanaman
Penanaman. Bibit cabai umur 3-4 mss (biasanya telah tumbuh 4-6 helai
daun, tinggi antara 10 – 15 cm ) sudah dapat dipindahkan ke bedengan yang siap
digunakan dan terpasang mulsa yang sudah dilubangi sebagai tempat tanam.

Pemeliharaan

20
Pemeliharaan benih. Benih biasanya tumbuh terus dengan baik. Bila ada
tanaman yang mati, sebaiknya segera disulam.

Tujuannya agar pertumbuhan

tanaman susulan tidak terlalu jauh berbeda dengan yang lebih dahulu tumbuh
baik. Tindakan pemeliharaan lain untuk tanaman tomat yang penting adalah
penyiangan, penggemburan, dan pengairan.
Penyiangan. Penyiangan dilakukan dengan koder atau dengan langsung
mencabut. Penyiangan dengan kored berfungsi juga sebagai penggembur tanah.
Pengairan. Pengairan dilakukan terutama pada awal penanaman atau pada
saat air hujan tak mencukupi kebutuhan tanaman.
Panen
Panen. Pemetikan buah cabai dilakukan dengan hati-hati agar percabangan
atau tangkai tanaman tidak patah dengan menggunakan gunting tajam atau
gunting pangkas. Umur panen cabai pertama sekitar 75-80 hst, yang ditandai
dengan 85-90% cabai sudah berwarna merah.
Pengamatan
Parameter pengamatan yang dilakukan adalah parameter pertumbuhan
yaitu tinggi tanaman, sedangkan bobot basah basah biomasa dan bobot kering
biomasa tanaman diamti saat akhir penelitian; parameter hasil terdiri dari jumlah
buah pertanaman dan bobot buah segar pertanaman; parameter penyakit yang
diamati adalah presentase tingkat kejadian penyakit antraknosa; parameter pH
tanah pengambilan sampel tanah dilakukan untuk mengetahui perubahan pH
tanah setelah tanam.
Parameter pertumbuhan
Tinggi tanaman

21
Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang bagian bawah atas permukaan tanah
sampai ujung tanaman tertinggi. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan sejak
perpindahan semai ke polibag hingga umur tanaman 5 mst. Waktu pengamatan
seminggu sekali. Satuan pengukuran adalah centimeter (cm)
Bobot basah biomasa
Berat basah biomasa dihitung dengan menimbang setiap sampel tanaman yang
didestruksi pada akhir penelitian, terhadap akar, batang, dan daun. Satuan
pengukuranya adalah gram(gr).
Bobot kering biomasa
Berat kering biomasa dihitung dengan menimbang setiap tanaman sampel
tanaman yang didestruksi pada akhir penelitian, terhadap akar, batang, dan daun
setelah dikeringkan menggunakan oven listrik pada 750C selama 48 jam. Satuan
pengukuranya adalah gram (gr).
Parameter hasil
Bobot buah segar per tanaman
Bobot buah segar pertanaman, dihitung dengan cara menimbang buah segar per
tanaman secara kumulatif dari panen pertama sampai panen terakhir. Permanen
dilakukan sebanyak 5 kali dengan selang waktu 3 (tiga) hari. Satuan pengukuran
dinyatakan dengan gram (gr).

Jumlah buah per tanaman

22
Jumlah buah pertanaman yang dihitung adalah buah yang dipanen dihitung secara
kumulatif dari panen pertama sampai panen ke 5 dalam penelitian. Satuan
pengukuran dinyatakan dengan buah.
Parameter penyakit
Persentase kejadian penyakit antraknosa
Tingkat kejadian penyakit diamati sejak muncuk gejala antraknosa yang ditandai
dengan munculnya bercak nekrotis berupa lingkaran konsentris pada buah cabai.
Buah positif terserang antraknosa jika diameter bercak nekrotis ≥ 4 mm. Interval
pengamatan 1 minggu sekali sampai panen

Tingkat serangan penyakit busuk buah dengan cara menghitung jumlah buah
terserang dan jumlah buah sehat per petak contoh (Direktorat Jenderal
Hortikultura, 2007c) dengan menggunakan rumus :

P = A/N x 100 %
Keterangan ;
P = Tingkat kerusakan tanaman (%)
A = Jumalah buah yang terserang per petak contoh
N = Jumlah buah yang diamati per petak contoh

Parameter pengamatan pH tanah

23
Pengamatan pH tanah dilakukan sebelum penanaman, pengambilan sampel tanah
di lapangan dilakukan menggunakan bor pada kedalaman 0-15cm dan 15-30 cm
atau pada lapisan olah tanah pada beberapa titik sampling dalam lokasi yang
sama.

Analisis Data
Model linier aditif yang digunakan untuk menganalisis faktor yang diamati
adalah :
Yij =  + i + j + ij
Dimana
i

= 1,2,3,4, 5, 6, 7 dan 8 (perlakuan rizobakteria),

J

= 1,2 dan 3 (kelompok/ulangan),

Yijk

= Respon satuan percobaan yag menerima perlakuan ke-I pada
kelompok ke-j,


i
j
ij

= Nilai tengah (rata-rata) umum,
= Pengaruh kelompok ke-j,
= Pengaruh perlakuan ke-I,
= Pengaruh galat acak percobaan yang menerima perlakuan ke-I pada
kelompok ke-j.
Setelah data yang diperoleh dinyatakan homogen, kemudian dapat

dilakukan analisis ragam dengan RAK 1 faktor menggunakan uji F pada taraf
5% dan 1%. Apabila dari hasil analisis ragam tersebut menunjukan pengaruh
yang nyata atau sangat nyata, maka dapat dilanjutkan dengan uji BNJ (Beda Nyata
Jujur) pada taraf 5%.

Tabel 1. Analisis ragam

24
Sumber
Keragaman
(SK)
Kelompok
Perlakuan
Galat
Total

Derajat Bebas
(db)
4-1 = 3
6-1 = 5
(4-1)(6-1) = 15
4.6-1 = 23

Jumlah
Kuadrat
(JK)
JKR
JKP
JKE
JKT

Kuadrat
Tengah
KT
KTR
KTP
KTE

F Tabel
F Hitung
KTR/KTE
KTP/KTE

5%

1%

dbR : dbE
dbP : dbE

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, K dan Lahmuddin Lubis. 2003. Teknik PHT pada Tanaman Cabai. Jurusan
Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. Universitas
Sumatera Utara.
Alexs. 2009. Kreatif Bertanam Cabai Dalam Pot. Pustaka Baru Press.
Yongyakarta.
Biswas, J.C., J.K. Ladha, F.B. Dazzo, Y.G.Yanni, and B.G. Rolfe. 2000. Rhizobial
inoculation influences seedling vigor and yield of rice. Agron J. 92: 880886.
Bulkis, S. 1994. Identifikasi Penyebab Penyakit Buah pada TanamanLombok
Besar (Capsicum annum L.) Di Desa Gunung Raja. Kecamatan Bati-Bati
[Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
Cahyono, B. 2003. Cabai Rawit Teknik Budidaya dan Analisis Usaha Tani.
Kanisius. Yogyakarta.

25
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura.2013. Laporan Tahunan Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura.Departemen Pertanian Provinsi
Daerah Tingkat I Kal-Sel. Banjarbaru.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura.2014. Laporan Tahunan Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura.Departemen Pertanian Provinsi
Daerah Tingkat I Kal-Sel. Banjarbaru.
Dwidjoseputro, 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni Bandung. Hal : 123
Fernando D, Nakkeeran, Zhang Yilan. 2005. biosynthesis of antibiotics by PGPR
and its relation in biocontrol of plant diseases.dalam: Z.A. Siddiqui (ed.),
PGPR: Biocontrol and Biofertilization 67-109. Springer, Dordrecht, The
Netherlands
Harpenas, A, Dermawan, R. 2010. Budidaya Cabe Unggul. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Kloepper, J. W. 1993. Plant Growth-Promotting Rhizobakceria as biological
control agents.Dalam : F.B. Metting, Jr. (ed)., Soil Microbiology Ecology
Application in Agricultural anda Environmental Management. Marcel
Dekker Inc. New York.
Maunuksela, L. 2004. Molecular And Physiological Characterization Of
Rhizosphere Bacteria And Frankia In Forest Soils Devoid of Actinorhizal
Plants. Dissertationes Biocentri Wikki Universitatis Helsingiensis.
http://ethesis. Helsinki. fi./julkaisnt/mat/ manuksela/molecula.pdf. [19 Juli
2008].
Pusposendjojo, N. Dan B.A. Rasyid (1985), Perkembangan Colletrichum capsici
pada berbagai tingkat umur buah lombok (Capsicum annuum).Kongr.Nas
VIII PFI, Cibubur, Jakarta, Okt. 1985.
Rusli, I., Mardinus danZulpadli, 1997. Penyakit Antraknosa Pada Buah Cabai Di
Sumatera Barat. Prosiding Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah,
Palembang, 27-29 Oktober 1997. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia.
187,190.
Rompas, J.P., 2001. Efek Isolasi Bertingkat Colletotrichum capsici Terhadap
Penyakit Antraknosa Pada Cabai. Prosiding Kongres Nasional XVI dan
Seminar Ilmiah, Bogor, 22-24 Agustus 2001. Perhimpunan Fitopatologi
Indonesia. 163
Rompas, J, 2001. Efek isolasi beryingkat Colletrichum capsici terhadap Penyakit
Antraknosa pada caba. Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Hasil.
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Palembang, 27-29 Desember 1997.

26
Semangun, H. 1989. Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gajah Mada
University press. Yogyakarta
Semangun, H. 2007. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia.Gajah
Mada University Press.Yongyakarta.
Setiadi. 2008. Bertanam Cabe.Penebar Swadaya. Jakarta.
Sumaryono, H., 1992. Budidaya Cabai Merah (Capsicum annum L.). Sinar Baru
Algesindo. Bandung. Hal :27-28.
Syukur, M., 2007. Mencari Genotip Cabai Tahan Antraknosa, diakses dari
http://ipb.bogor.Agricultural.university/mencari.genotip.cabai.tahan.antrakn
osa.htm.
Tarumingkeng, R C. 1992. Insektisida; Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak
Penggunaannya. Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta.
Timmusk, S., 2003. Mechanism of action of the plant-growth-promoting
rhizobacterium Paenibacillus poyimyxa [Dissertation]. Uppsala, Sweden:
Departemen of Cell and Molecular Biology, Uppsala University.
Tindall, H.D., 1983. Vegetable in the Tropics. Mac Milan Press Ltd., London
Thakuria, D., N.C. Talukdar, C. Goswami, S. Hazarika, R.C. Boro, and M.R.
Khan. 2004. Characterization and screening of bacteria from rhizosphere of
rice grown in acidic soils of assam. Curren Sci. 86: 978-985. http://
www.bio.uu.nl/fytopath/pdffiles/ Bookch.vanLoon 2003 [17 Maret 2010]
Tjondronegoro, P. D., M. Natasaputra, A. W. Gunawan, M. Djaelani, dan A.
Suwanto. 1989. Botani Umum. Bogor: PAU Ilmu Hayat Institut Pertanian
Bogor.
Yulianty . 2006. Pengaruh pH terhadap Pertumbuhan Jamur Colletotrichum spp
Penyebab Antraknosa pada. Cabai (Capsicum annum L) Asal
lampung.http;//www.thechileman.org/guide.disease.ass. Diakses tanggal 20
Oktober 2014
Warisno dan Kres D. 2010. Peluang usaha dan budidaya Cabai. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta
Wiratma, D. A., Murwani, E. R. dan Sastrahidayat, I. R., 1983. Pengaruh
Komponen Cuaca Terhadap Tingkat Serangan Jamur Colletotrichum sp.
Penyebab Antraknose Pada Cabe Rawit di Laboratorium. Kongres Nasional
PFI Ke VII Medan, 21-23 September 1983

27