BAB II BIOGRAFI PENGARANG
BAB II
BIOGRAFI PENGARANG
A. Kelebihan W.S. Rendra
Krisna (dalam Mohamad dkk, 2004:39) mengemukakan kelebihan Rendra dalam
membawakan puisinya adalah pada segi dramatiknya, karena dia seorang dramawan.
Puisi-puisi yang dibawakannya bermula dari tempo yang lamban, mencapai klimaks dan
kemudian menurun anti klimaks. Penciptaan karya milik Rendra sebagian besar
merupakan perlawanan terhadap kemiskinan, dogmatisme, formalitas agama yang beku,
kesewenangan, korupsi, dan lain-lain. Sajak-sajaknya tersebut lahir tidak dikonsep dulu,
tetapi lahir seperti mengalirnya suara hati dan proses kejiwaannya. Pembawaan bahasa
dalam karyanya juga sederhana, namun kaya akan pengungkapan dan kedalaman isinya.
Menurut Waluyo (1991:230) sajak-sajak Rendra pada hakekatnya adalah berisi
tentang balada-balada. Ciri yang menonjol pada karyanya antara lain berbau politik,
bergaya epik (bercerita) yang diwujudkan dalam lariknya, banyak mengungkapkan
masalah social, kemiskinan, pengangguran, dan kepincangan dalam hidup. Hal ini
merupakan daya tarik dari kumpulan puisi Rendra.
Rendra juga merupakan seniman yang suka dengan humor, selain itu beliau makin
memperkuat diri dengan daya pancaran kharismatiknya supaya tetap utuh sebagai
seniman tua dan ada kewajiban mengembangkan diri menelusuri warna yang bersifat
realistis. Puisi-puisi yang dihasilkan memiliki kelengkapan, antara lain puisi tentang
Tuhan, tentang alam, dan puisi tentang keadaan yang ada di hadapannya atau di
sekelilingnya (Rusady dalam Mohamad dkk, 2004:208).
Bagi Halim (2012) sosok WS Rendra adalah bukan hanya sekadar seorang
dramawan, penyair, prosaic, tetapi lebih umumnya beliau adalah seorang seniman. Karyakaryanya sungguh memukau penikmat sastra. Salah satunya pada kumpulan puisinya
yang berjudul Blues untuk Bonnie. Isi dari puisi tersebut adalah rasa ketidak senangan
Rendra terhadap system Pemerintahan di Indonesia, oleh sebab itu beliau menuliskan
pemberontakannya lewat sajak-sajaknya. Selain itu, puisi ini juga menceritakan tentang
seks di mana terlukis pada puisi yang berjudul “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta.
Beliau menjadi sosok oposisi bagi Orde Baru, inspirator, teladan, dan pemicu semangat
perlawanan terhadap ketidakadilan. Pantaslah jika beliau banyak mendapat penghargaan
dari dalam dan luar negeri, sanjungan, dan perlakuan tidak menyenangkan dari Rezim
Orde Baru.
B. Riwayat Hidup W.S Rendra
Willibrordus Surendra Bawana Rendra adalah nama panjang dari W.S. Rendra.
Beliau lahir tanggal 7 November 1935 tepatnya di Solo, Jawa Tengah. Beliau adalah
seorang dramawan, penyair dan budayawan Indonesia yang karya-karyanya mendunia.
Sejumlah karyanya telah menjadi kajian ilmiah sejumlah peneliti manca Negara Sebagai
penulis sajak dan lakon, namanya makin menghebat ketika beliau mendirikan Bengkel
Teater di Yogyakarta pada 1967 lalu padepokannya tersebut diboyong ke Depok tahun
1985. Sebelum menjadi sastrawan terkenal, beliau mengenyam pendidikan di TK
Marsudirini yang merupakan Yayasan Kanisius, SD hingga SMU Katolik di St. Yosef,
Solo pada tahun 1955. Beliau sempat menempuh pendidikan di bangku kuliah di Fakultas
Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, namun tidak tamat. Berkat
aktivitasnya di dunia sastra, beliau mendapatkan beasiswa pada 1963 hingga 1967, dari
Rockefeler Foundation untuk belajar di American Academy of Dramatic Art, seangkatan
dengan Marlon Brando, Kirk Douglass, dan Jack Nicholson. Sepulang dari Amerika
Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater, yang ditimbang sebagai kawah candradimuka para
pekerja kesenian saat itu.
Umur 24 tahun Rendra menikahi Sunarti Suwandi pada 31 Maret 1959 dan
dikaruniai lima anak, yakni Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta,
Samuel Musa, dan Clara Shinta. Sebelum Sunarti mengajukan cerai pada tahun 1981,
Rendra juga sempat menikah dengan Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat pada
12 Agustus 1970 yang merupakan keturunan darah biru dari Keraton Yogyakarta dan
menjadikan Rendra memluk Agama Islam. Pernikahannya dengan Sito, beliau dikaruniai
empat anak, yakni Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.
Pernikahan Rendra dengan Sito juga mengalami perceraian pada tahun 1979. Selanjutnya
beliau menikah lagi dengan istri ketiga yaitu Zuraida. Rendra dikaruniai dua anak dari
pernikahannya dengan Zuraida, yaitu Isaias Sadewa dan Maryam Supraba.
Setelah mengkhatamkan pendidikannya
Selain di dunia kepenyairan, semua orang tahu, karya dramanya dikenal
mengusung pesan yang sangat dekat dengan isyu yang berkembang di masyarakat saat
itu. Setelah memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Wahyu Sulaiman Rendra
pada 12 Agustus 1970, ia mengaku semakin tahu ke mana harus melangkah dan
menajamkan jiwa keseniannya. Penyair yang mendapat julukan si Burung Merak ini
mangkat pada Kamis, 6 Agustus 2009 pukul 22.10 WIB di RS Mitra Keluarga, Depok,
setelah sempat berpindah ke beberapa rumah sakit lainnya.
Peletak dasar-dasar teater modern Indonesia itu dimakamkan di makam keluarga
di markas Bengkel Teater di Cipayung, Citayam, Depok, Jum'at (7/9/2009) bersanding
dengan sejumlah kawan dekatnya, antara lain Roedjito dan Mbah Surip.
C. Karya-karya W.S Rendra
W.S. Rendra merupakan seniman yang mendapat julukan Si Burung Merak
karena kehidupannya kontroversional, yakni mempunyai istri tiga sehingga menjadikan
beliau mendapatkan julukan tersebut. Di sisi lain dari kehidupannya yang sangat
kontroversi tersebut, ada karya-karya memukau yang telah dihadirkan oleh Rendra.
Karyanya yang sedikit nakal, yakni berisi suatu pemberontakan atau ketidaksukaan beliau
terhadap pemerintahan, menjadikannya disukai oleh penikmat sastra. Berikut ini
merupakan kumpulan puisi dari W.S. Rendra.
1. Ballada Orang-orang Tercinta (1956)
2. Empat Kumpulan Sajak (1961)
3. Blues untuk Bonnie (1971)
4. Sajak-sajak Sepatu Tua (1972)
5. Potret Pembangunan dalam Puisi (1980)
6. Nyanyian Orang Urakan (1985)
7. Disebabkan oleh Angin (1993)
8. Orang-orang Rangkasbitung (1997)
9. Perjalanan aminah (1997)
10. Mencari Bapak (1997)
BIOGRAFI PENGARANG
A. Kelebihan W.S. Rendra
Krisna (dalam Mohamad dkk, 2004:39) mengemukakan kelebihan Rendra dalam
membawakan puisinya adalah pada segi dramatiknya, karena dia seorang dramawan.
Puisi-puisi yang dibawakannya bermula dari tempo yang lamban, mencapai klimaks dan
kemudian menurun anti klimaks. Penciptaan karya milik Rendra sebagian besar
merupakan perlawanan terhadap kemiskinan, dogmatisme, formalitas agama yang beku,
kesewenangan, korupsi, dan lain-lain. Sajak-sajaknya tersebut lahir tidak dikonsep dulu,
tetapi lahir seperti mengalirnya suara hati dan proses kejiwaannya. Pembawaan bahasa
dalam karyanya juga sederhana, namun kaya akan pengungkapan dan kedalaman isinya.
Menurut Waluyo (1991:230) sajak-sajak Rendra pada hakekatnya adalah berisi
tentang balada-balada. Ciri yang menonjol pada karyanya antara lain berbau politik,
bergaya epik (bercerita) yang diwujudkan dalam lariknya, banyak mengungkapkan
masalah social, kemiskinan, pengangguran, dan kepincangan dalam hidup. Hal ini
merupakan daya tarik dari kumpulan puisi Rendra.
Rendra juga merupakan seniman yang suka dengan humor, selain itu beliau makin
memperkuat diri dengan daya pancaran kharismatiknya supaya tetap utuh sebagai
seniman tua dan ada kewajiban mengembangkan diri menelusuri warna yang bersifat
realistis. Puisi-puisi yang dihasilkan memiliki kelengkapan, antara lain puisi tentang
Tuhan, tentang alam, dan puisi tentang keadaan yang ada di hadapannya atau di
sekelilingnya (Rusady dalam Mohamad dkk, 2004:208).
Bagi Halim (2012) sosok WS Rendra adalah bukan hanya sekadar seorang
dramawan, penyair, prosaic, tetapi lebih umumnya beliau adalah seorang seniman. Karyakaryanya sungguh memukau penikmat sastra. Salah satunya pada kumpulan puisinya
yang berjudul Blues untuk Bonnie. Isi dari puisi tersebut adalah rasa ketidak senangan
Rendra terhadap system Pemerintahan di Indonesia, oleh sebab itu beliau menuliskan
pemberontakannya lewat sajak-sajaknya. Selain itu, puisi ini juga menceritakan tentang
seks di mana terlukis pada puisi yang berjudul “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta.
Beliau menjadi sosok oposisi bagi Orde Baru, inspirator, teladan, dan pemicu semangat
perlawanan terhadap ketidakadilan. Pantaslah jika beliau banyak mendapat penghargaan
dari dalam dan luar negeri, sanjungan, dan perlakuan tidak menyenangkan dari Rezim
Orde Baru.
B. Riwayat Hidup W.S Rendra
Willibrordus Surendra Bawana Rendra adalah nama panjang dari W.S. Rendra.
Beliau lahir tanggal 7 November 1935 tepatnya di Solo, Jawa Tengah. Beliau adalah
seorang dramawan, penyair dan budayawan Indonesia yang karya-karyanya mendunia.
Sejumlah karyanya telah menjadi kajian ilmiah sejumlah peneliti manca Negara Sebagai
penulis sajak dan lakon, namanya makin menghebat ketika beliau mendirikan Bengkel
Teater di Yogyakarta pada 1967 lalu padepokannya tersebut diboyong ke Depok tahun
1985. Sebelum menjadi sastrawan terkenal, beliau mengenyam pendidikan di TK
Marsudirini yang merupakan Yayasan Kanisius, SD hingga SMU Katolik di St. Yosef,
Solo pada tahun 1955. Beliau sempat menempuh pendidikan di bangku kuliah di Fakultas
Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, namun tidak tamat. Berkat
aktivitasnya di dunia sastra, beliau mendapatkan beasiswa pada 1963 hingga 1967, dari
Rockefeler Foundation untuk belajar di American Academy of Dramatic Art, seangkatan
dengan Marlon Brando, Kirk Douglass, dan Jack Nicholson. Sepulang dari Amerika
Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater, yang ditimbang sebagai kawah candradimuka para
pekerja kesenian saat itu.
Umur 24 tahun Rendra menikahi Sunarti Suwandi pada 31 Maret 1959 dan
dikaruniai lima anak, yakni Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta,
Samuel Musa, dan Clara Shinta. Sebelum Sunarti mengajukan cerai pada tahun 1981,
Rendra juga sempat menikah dengan Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat pada
12 Agustus 1970 yang merupakan keturunan darah biru dari Keraton Yogyakarta dan
menjadikan Rendra memluk Agama Islam. Pernikahannya dengan Sito, beliau dikaruniai
empat anak, yakni Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.
Pernikahan Rendra dengan Sito juga mengalami perceraian pada tahun 1979. Selanjutnya
beliau menikah lagi dengan istri ketiga yaitu Zuraida. Rendra dikaruniai dua anak dari
pernikahannya dengan Zuraida, yaitu Isaias Sadewa dan Maryam Supraba.
Setelah mengkhatamkan pendidikannya
Selain di dunia kepenyairan, semua orang tahu, karya dramanya dikenal
mengusung pesan yang sangat dekat dengan isyu yang berkembang di masyarakat saat
itu. Setelah memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Wahyu Sulaiman Rendra
pada 12 Agustus 1970, ia mengaku semakin tahu ke mana harus melangkah dan
menajamkan jiwa keseniannya. Penyair yang mendapat julukan si Burung Merak ini
mangkat pada Kamis, 6 Agustus 2009 pukul 22.10 WIB di RS Mitra Keluarga, Depok,
setelah sempat berpindah ke beberapa rumah sakit lainnya.
Peletak dasar-dasar teater modern Indonesia itu dimakamkan di makam keluarga
di markas Bengkel Teater di Cipayung, Citayam, Depok, Jum'at (7/9/2009) bersanding
dengan sejumlah kawan dekatnya, antara lain Roedjito dan Mbah Surip.
C. Karya-karya W.S Rendra
W.S. Rendra merupakan seniman yang mendapat julukan Si Burung Merak
karena kehidupannya kontroversional, yakni mempunyai istri tiga sehingga menjadikan
beliau mendapatkan julukan tersebut. Di sisi lain dari kehidupannya yang sangat
kontroversi tersebut, ada karya-karya memukau yang telah dihadirkan oleh Rendra.
Karyanya yang sedikit nakal, yakni berisi suatu pemberontakan atau ketidaksukaan beliau
terhadap pemerintahan, menjadikannya disukai oleh penikmat sastra. Berikut ini
merupakan kumpulan puisi dari W.S. Rendra.
1. Ballada Orang-orang Tercinta (1956)
2. Empat Kumpulan Sajak (1961)
3. Blues untuk Bonnie (1971)
4. Sajak-sajak Sepatu Tua (1972)
5. Potret Pembangunan dalam Puisi (1980)
6. Nyanyian Orang Urakan (1985)
7. Disebabkan oleh Angin (1993)
8. Orang-orang Rangkasbitung (1997)
9. Perjalanan aminah (1997)
10. Mencari Bapak (1997)