Biografi Pengarang Samuel Benchetrit dan

BAB III
OBJEK PENELITIAN

3.1 Riwayat Hidup Pengarang
Semuel Benchetrit adalah seorang pria berkebangsaan Perancis yang lahir di
tanah Champaigny-sur-Merne tepat pada tanggal 26 Juni 1973. Benchetrit terlahir
dari lingkungan keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang Yahudi yang berasal
dari Maroko dan berprofesi sebagai tukang kunci, sedangkan ibunya adalah
seorang penata rias rambut. Pada masa kecilnya, ia tinggal di sebuah apartemen
sederhana di banlieue Paris. Menginjak usia 15 tahun, ia berhenti dari sekolah dan
memutuskan untuk bekerja mencari nafkah. Benchetrit pernah menjadi seorang
asisten fotografer dan pramubakti bioskop. Oleh karena ketekunannya di usia
remaja, Benchetrit menuai kesuksesannya meskipun tanpa ijazah sekolah ataupun
perguruan tinggi. Saat ini selain menjadi penulis novel dan sekenario, ia pun aktif
di dunia perfilman sebagai aktor dan sutradara.
Pada tahun 1997 Benchetrit menikah dengan seorang aktris cantik Marie
Trintignant yang saat itu berusia 11 tahun lebih dewasa darinya. Satu tahun
setelahnya, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Jules
Benchetrit, namun usia pernikahan mereka tidak lebih dari 10 tahun, karena Marie
tewas dibunuh. Kemudian Benchetrit kembali membuka lembaran baru dengan
menjalin kisah asmaranya beberapa tahun kemudian, dengan aktris Perancis Anna

Mauglalis. Hubungannya dengan Anna dikaruniai seorang anak perempuan

12

13

bernama Saül yang lahir pada Maret 2007. Kini mereka tidak lagi bersama, Anna
pun menikah dengan seorang pria pengusaha asal Australia pada Maret 2013 lalu.
Selain aktif di dunia hiburan, Benchetrit pun turut serta mendukung partai
sosialis, yang merupakan partai politik sayap kiri terbesar di Perancis. Dalam
dunia politik, partai sayap kiri disebut sebagai la ceinture rouge ‘ikat pinggang
merah’ karena menguasai banlieue (mengitari kota Paris bagaikan ikat pinggang).
Dukungan bagi partai ini sebagian besar datang dari para imigran yang sudah
menjadi warga Perancis, juga warga Perancis asli yang tinggal di banlieue Paris.
Pada tahun 2002 ia mendukung Lionel Jospin sebagai presiden, namun hasil
pemilu dimenangkan oleh mantan walikota Paris, yaitu Jacques Chirac dari partai
sayap kanan. Pada pemilu presiden 2007, Benchetrit mendukung Ségolène Royal
dari partai sosialis, dan hasil pemilu kembali dimenangkan oleh partai sayap
kanan yaitu Nicolas Sarkozy.
Benchetrit mempublikasikan novel pertamanya berjudul Récit d’Un Branleur

pada tahun 2000. Akibat kesulitannya di masa remaja, Benchetrit sering kali
menulis novel yang bertema penderitaan. Pada usianya yang ke-33 tahun, ia
menulis perjalanan kisah hidupnya yang dituangkan ke dalam novel berseri, dan
diberi judul Les Chroniques de l’Asphalte. Seri pertama diterbitkan pada tahun
2005, seri selanjutnya yaitu ke-2 dan ke-3 diterbitkan pada tahun 2007 dan 2010.
Pada tahun 2008 ia memperoleh Prix du Meilleur Scénario di acara Festival Film
Sundance melalui filmnya yang berjudul J’ai Toujours Rêvé d’Être Un Gangster.
Di tahun selanjutnya ia dianugerahi Prix Populiste pada novel keempatnya yang
berjudul Le Couer en Dehors. Pria yang gemar melukis ini, kerap melakoni peran

14

dalam film-film yang disutradarainya sendiri. Pada tahun 2011, anaknya pun
‒Jules Benchetrit‒ turut bermain peran dalam filmnya yang berjudul Chez Gino.
Berikut merupakan karya-karya Samuel Benchetrit dan film-film yang pernah
diperankannya:
Novel: Récit d’Un Branleur (2000), Les Chroniques de l’Asphalte Seri I (2005),
Les Chroniques de l’Asphalte Seri II (2007), Le Cœur en Dehors (Prix Populiste
2009), dan Les Chroniques de l’Asphalte Seri III (2010).
Teater: Comédie Sur Un Quai de Gare (2001) dan Moins Deux (2005).

Sutradara Film: Saint Valentin (1995), Nouvelle de La Tour L (2000), Janis et
John (2003), J’ai Toujours Rêvé d’Être Un Gangster (2008), Chez Gino (2011),
dan Un Voyage (2014).
Penulis Sekenario Film: Nouvelle de La Tour L (2000), Janis et John (2003),
J’ai Toujours Rêvé d’Être Un Gangster (Prix du Meilleur Scénario 2008), Chez
Gino (2011), dan Un voyage (2014).
Aktor Film: Janis et John (2003), Backstage (2005), J’ai Toujours Rêvé d’Être
Un Gangster (2008), Chez Gino (2011), Goldman (2011), Un Enfant de
Toi (2012), dan Les Gazelles (2014).

3.2 Ringkasan Cerita
Suatu hari di banlieue Paris, hiduplah seorang anak laki-laki keturunan Afrika
bernama Charly Traoré. Setelah ia berumur satu bulan, ayah Charly pergi
meninggalkan keluarganya untuk kembali ke Mali. Sejak saat itu, keluarganya

15

tidak pernah lagi mendapatkan kabar bahkan kiriman uang untuk biaya hidup
mereka di Perancis. Oleh karena terpaksa, beberapa kali Charly mengemis di
pinggir jalan. Ibunya yang tidak pernah mendapatkan pendidikan sekolah,

akhirnya bekerja sebagai pembantu di kediaman tuan Roland, seorang pensiunan
kaya raya yang selalu menghabiskan waktu dengan membaca buku.
Charly mengenyam bangku pendidikan di sebuah sekolah yang memiliki
kualitas rendah. Di sekolah, ia selalu terintimidasi oleh anak-anak Perancis yang
menganggapnya sebagai berandalan dan pembuat masalah, namun demikian ia
tergolong sebagai murid yang pandai. Anak-anak Perancis yang bersekolah di
sana, memiliki kelas tersendiri yang lebih bagus, karena orangtua mereka selalu
riskan jika anak mereka bergabung dengan anak-anak kaum imigran. Kakak
Charly yang bernama Henry, telah putus sekolah karena terjerumus ke dunia
narkoba, seperti remaja imigran lainnya akibat dari situasi depresi. Henry
seringkali membuat ibunya cemas karena selalu tiba di rumah pada larut malam,
bahkan terkadang ia tidak pulang sama sekali. Joséphine ‒ibu Charly‒
menghadapi Henry dengan sangat sabar dan tabah, sekalipun Henry telah keluar
masuk kantor polisi karena kenakalannya.
Di pagi hari ketika hendak menuju sekolah, Charly bertemu dengan dua orang
polisi, yang dengan kasar bertanya kepadanya mengenai rumah ibu dan kakaknya.
Akibat rasa penasarannya, maka ia meninggalkan sekolah dan mengikuti para
polisi itu. Ia menyaksikan secara langsung bahwa Joséphine ditangkap oleh
mereka. Charly melihat wajah ibunya yang begitu gelisah ketika berbicara dengan
polisi itu. Dia semakin cemas ketika mereka membawa sang ibu menuju mobil


16

polisi, hanya senyuman pahit yang diberikan kepadanya seolah mengisyaratkan
untuk berkata selamat tinggal.
Charly pergi berkelana sampai ke sudut-sudut banlieue untuk mencari
keberadaan Henry. Tempat pertama yang ditujunya adalah gedung Malraux,
tempat para pecandu dan pengedar narkoba biasa berkerumunan. Dalam
perjalanan menuju gedung tersebut, Charly melewati atap gedung dan menyusuri
gudang yang kondisinya sangat kumuh dan kotor akibat prilaku penduduk yang
membuang sampah sembarangan. Selanjutnya, ia melewati tempat penyimpanan
koleksi mobil curian Mario Bosse yang berjumlah lebih dari sepuluh. Selama
perjalanan ke Malraux, Charly dihantui oleh kisah para pencandu narkoba yang
telah meninggal dan konon arwahnya bergentayangan di gudang-gudang. Setelah
keluar dari gudang tersebut, Charly bertemu dengan seorang kakek yang
ditakutinya, karena Charly telah melewati tempat tinggalnya. Pikirannya tertuju
pada insiden pembunuhan dua tahun silam tepat di depan apartemen Ravel,
seorang anak tewas dibunuh ketika sedang berbincang-bincang bersama anakanak lainnya, hanya karena dianggap telah mengganggu kenyamanan penghuni
lantai dua apartemen tersebut. Malangnya setibanya di gedung Malraux, Charly
tidak dapat menemukan Henry.

Tepat pukul 10 pagi, Charly memutuskan pergi ke kawasan Berlioz untuk ke
sekolah menemui teman-temannya. Ia melewati tempat tinggal penduduk banlieue
dan memerhatikan kawasan sekelilingnya, bahwa penduduk pavilun yang
sebagian besar merupakan orang Perancis terlihat lebih individualis, kontras
dengan para penduduk apartemen yang sebagian besar dari mereka adalah kaum

17

imigran yang sangat sosialis. Setibanya di gerbang sekolah, Charly melihat muridmurid kelas tiga yang sedang merokok dengan tenangnya. Ia pun bertemu dengan
teman-temannya dan menceritakan peristiwa yang menimpa ibunya pagi itu,
mereka sangat terkejut dan tidak mengerti mengapa wanita sebaik ibu Charly bisa
ditangkap oleh polisi. Karim bercerita tentang Mario Fardine yang bersama
ibunya ditangkap oleh polisi karena telah menjual narkotika demi menghidupi
keluarganya. Yéyé yang kakaknya merupakan teman sesama pecandu narkoba
dengan Henry, menduga ibu Charly merupakan penjual narkotika.
Charly tertegun ketika Brice bercerita bahwa ibunya pun ditangkap oleh
polisi. Sejak ayahnya meninggal, demi menghidupi Brice dan neneknya, ibunya
rela menjadi wanita prostitusi di bar-bar daerah selatan. Satu nasihat dari Brice
yang melekat di hati Charly, bahwa seburuk apapun perbuatan yang dilakukan
oleh seorang ibu tidak lain adalah karena memikirkan kehidupan anak-anaknya.

Di dunia ini tidak ada seorang ibu manapun yang tidak mencintai anak-anaknya.
Kini Brice tinggal bersama neneknya yang sudah pikun dan tua renta.
Charly menyusuri kawasan Berlioz meskipun dengan rasa lapar yang tidak
tertahankan. Ia melewati sebuah toko roti, Charly sangat menginginkan roti itu
namun seketika tersadar bahwa ia tidak memiliki sepeser pun uang di sakunya. Di
tengah perjalanan, Charly bertemu dengan Freddy Tanquin. Dia adalah teman
Charly yang sangat pemberani, ia menemaninya mencari Henry sampai masuk ke
sebuah tempat di dekat Courcheval yang disebut “pusat”. Freddy setiap hari
melewati tempat tersebut menuju kawasan seberang “pusat” untuk belajar
bersama kakeknya, sebab ia tidak dapat belajar layaknya anak-anak lain karena

18

telah dikeluarkan dari sekolah. Mereka harus memasuki lubang tembok yang
sengaja dibuat oleh sekumpulan geng untuk mempermudah jalan masuk dan
keluar tempat tersebut. Kondisi di dalamnya begitu buruk dan berbahaya, banyak
pemakai narkoba berkeliaran. Jika polisi datang untuk menangkap, mereka dapat
dengan mudahnya bersembuyi atau kabur melewati lubang-lubang tembok yang
telah mereka buat. Tembok tersebut sengaja dibangun oleh walikota untuk
menutupi jalan masuk dan keluar “pusat” yang akan direhabilitasi, namun rencana

tersebut belum juga terealisasi karena alokasi dana pembangunannya selalu
dipakai untuk urusan lain. Lingkungan daerah itu semakin terlihat buruk, karena
bau air seni dan selokan, juga berserakan botol-botol bir dan alat-alat untuk
penggunaan narkoba seperti jarum suntik dan sendok yang telah berkarat.
Di dalam “pusat”, Charly dan Freddy bertemu dengan seorang pria yang
mengaku mengetahui keberadaan Henry, lalu ia memeras mereka dan mengancam
akan membunuh. Beruntung mereka berdua berhasil meloloskan diri dari
cengkeramannya. Setelah keluar dari pusat, mereka bertemu dengan dua orang
polisi. Charly akhirnya memutuskan untuk berlari menghindari para polisi itu.
Naasnya para polisi tersebut malah mengejar Charly dan Freddy. Beruntung
mereka berhasil bersembunyi di dalam sebuah tanggul, namun Freddy tidak bisa
lama menemani Charly. Mereka pun berpisah di dekat jembatan perbatasan
kawasan Berlioz, tempat para geng anak-anak muda banlieue biasa berkumpul.
Charly melanjutkan pencarian kakaknya ke perpustakaan Marcel Proust
seorang diri. Ia berjalan di atas rel kereta api dan melihat banyak bangunan runtuh
yang temboknya dilukisi aneka gambar. Charly teringat akan hari karnaval tahun

19

lalu yang merupakan hari kesukaannya. Pada saat itu, penduduk datang ke acara

peresmian dan berpakaian dengan tema yang telah ditentukan oleh walikota,
namun sebagian penduduk mencemooh tema tersebut, karena menganggap diri
mereka bukan badut. Akhirnya mereka yang tidak menyesuaikan pakaian dengan
tema tersebut, dilarang untuk mengikuti acaranya. Walikota kemudian menegur
mereka melalui pidato panjangnya.
Setibanya Charly di perpustakaan Marcel Proust, ia segera mencari
keberadaan kakaknya, namun hasilnya nihil. Charly melanjutkan pencarian Henry
ke kawasan Saint Ex. Saint Ex merupakan kawasan yang jauh dari perkotaan,
namun di sana banyak didirikan bangunan kantor dan pertokoan, mirisnya tidak
seorang pun yang ingin bekerja di sana. Akhirnya bangunan tersebut dibiarkan
begitu saja sejak dibangun. Bangunan kosong itu kemudian dihuni oleh orangorang yang tidak memiliki tempat tinggal, namun walikota justru merusak tangga
dan lantai bangunan-bangunan itu. Charly berhenti di depan salah satu gedung
tersebut, di sekitarnya terdapat pecahan kaca yang berlimpahan dan akhirnya ia
bertemu kakaknya di sana.
Henry memberitahukan Charly bahwa polisi mencari ibunya kerena tidak
memiliki kartu identitas dan surat izin tinggal di Perancis. Oleh sebab itu, polisi
membawa ibunya ke pusat retensi, –kantor untuk menahan orang-orang asing
yang tidak memiliki kartu identitas, dan surat izin tinggal di Perancis– dan tidak
menutup kemungkinan ia akan dikembalikan ke negara asalnya di Mali.
Sementara petugas pemerintahan akan menindaklanjuti kasus Joséphine, jika

mereka mengetahui bahwa tuan Roland telah mempekerjakan seorang imigran

20

ilegal. Sejatinya Joséphine telah mengurus surat izin tinggalnya ke dinas
pemerintahan daerah, tetapi petugas sipil tidak menemukan data Joséphine di
dalam komputer, dan ia selalu bersikeras meminta fotokopian kartu identitasnya.
Joséphine telah berulang kali menjelaskan bahwa saat itu ia tidak sedang
memegang kartu identitas bahkan fotokopiannya, karena semua dokumen penting
telah dibawa pergi oleh suaminya ke Afrika, namun petugas sipil itu tidak
mempedulikan penjelasan tersebut. Oleh karena Joséphine tidak memiliki kartu
identitas, maka surat rumah yang saat ini ditempati mereka adalah atas nama
Nathalie ‒anak tuan Roland‒, seorang pengacara yang sangat berbakat. Beruntung
Joséphine telah berhasil mengurus kartu identitas Charly sebagai warga Perancis
karena ia terlahir di sana, namun tidak dengan Henry yang terlahir di tanah Afrika.
Usai bertemu Henry, Charly memutuskan pergi ke kediaman tuan Roland
yang lokasinya hampir dekat dengan pusat kota Paris. Ia teringat akan
kunjungannya ke sebuah museum di Paris, yaitu museum Pablo Picasso. Charly
merasa sangat takjub ketika berada di tempat tersebut karena melihat keindahan
seni yang terdapat di sana. Situasinya kontras dengan bangunan Pablo Picasso di

dekat rumahnya, yang kondisinya sangat kumuh. Sepulang dari kediaman tuan
Roland, Charly berencana untuk menginap di rumah Karim, namun ia tidak bisa
tidur dengan tenang, karena pikirannya selalu terbayang pada nuansa rumahnya.
Ia pun akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah Karim dan pergi ke
gedung pusat retensi menemui ibunya. Setibanya di sana, ia duduk terdiam di
anak tangga gedung tersebut, seraya berharap wanita yang paling berharga dalam
hidupnya segera keluar dari balik pintu untuk datang menemuinya.